PRIA TANPA NAMA
(Translater : Zerard)

Kurang lebih satu minggu kemudian, orang-orang mulai menggunakan tempat latihan, walaupun pada dasarnya bangunan tersebut belum selesai.
Surya mentari musim panas membanjiri bukit berumput dan angin sepoi-sepoi berhembus berlalu. Apakah ada cuaca yang lebih baik yang dapat menggoda seseorang untuk bekerja dan berkeringat?
“Yikes—ow! Hati-hati, sekarang tanganku jadi keram!”
“Jangan kamu jatuhkan tangan perisaimu! Kamu mau aku belah kepalamu?!”
“Yipes! Ack! Waah—!”
Metal dan metal saling berdenting pada lingkaran pasir putih.
Fasilitas rumit (seseorang mungkin dapat mengiranya seperti bangunan sihir) masih dalam pembangunan, namun bahkan seorang pemula sekalipun dapat memasang pagar. Ruangan melingkar yang di pergunakan untuk pertarungan latihan adalah yang pertama selesai, dan para pemuda dengan tidak sabar ingin memakainya. Itu karena, area pada bagian belakang bangunan Guild terlalu sempit, dan mendapatkan perlengkapan pinjaman untuk di pakai bukanlah sesuatu yang buruk.
“Tanganmu keram? Aku nggak peduli walaupun tanganmu putus! Jangan turunkan perisaimu! Perisaimu itu adalah rekan yang paling dapat kamu andalkan dalam pertarungan!”
“Apa kita nggak bisa, kamu tahulah, pelan-pelan dikit?!”
Pada saat itu, adalah Knight Wanita dan Rhea Fighter—fighter muda itu menggunakan armor kulit dan membawa sebuah perisai bundar—yang sedang beradu di dalam ring.
Yah, beradu mungkin kata yang sedikit berlebihan. Knight Wanita mendominasi duel ini dan dia menikmatinya. Sedangkan untuk Rhea Fighter, yang dapat dia lakukan hanyalah menjerit dan mengangkat perisainya untuk menghalau serangan yang datang.
Dan dia juga perlu untuk: pedang latihan ini tidak memiliki mata, namun jika terkena dengannya, tentunya akan tetap meninggalkan luka yang lebih parah dari sekedar memar.
“Kenapa? Berdiri! Kalau kamu nggak bisa berdiri cuma karena ini, bagaimana mungkin kamu bisa berhadapan dengan gigi naga dan cakarnya?!”
“Aku ini Cuma Porcelain! Aku belum mau memikirkan tentang naga!!”
“Apa kamu nggak tahu perumpamaan tentang pertemuan acak dengan naga? Whoop—putus sudah kakimu!”
“Eek!!”
Sebuah ayunan dari Knight Wanita mengenai kaki Rhea Fighter, dan membuat gadis itu terjatuh di pasir.
Tertawa dengan begitu lantang, Knight Wanita memanfaatkan kesempatannya, menyerang dengan hulu pedangnya. Satu serangan dari hulu pedang seperti ini, dengan pedang yang di pegang secara terbalik dan di angkat di atas kepala, dapat menjadi serangan mematikan.
Terkesiap dan menjerit, Rhea Fighter mencoba untuk melarikan diri dari perangkap, hanya untuk mendapati dirinya terjatuh kembali.
Knight Wanita tidak kenal ampun, atau mungkin rasa simpatinya kurang: apapun itu, dia datang tanpa belas kasih. Hampir melewati batasan kejam. Dan dirinya bingung mengapa tidak ada seorangpun yang ingin menikahinya…
“Whoa…”
“Yeah, gila.”
Rookie Warrior dan wizard berambut merah memperhatikan, ekspresi mereka kaku, mencoba untuk tidak memikirkan kenyataan bahwa giliran berikutnya adalah mereka. Mereka tidak pernah menyadari bahwa duduk di luar lingkaran itu, mencoba untuk memberanikan diri mereka untuk menghadapi apapun yang akan datang, merupakan sebuah latihan tersendiri.
Di manakah mereka pikir sedang berada—Labirin Besar yang tidak tertembus? Adalah mustahil untuk pergi kesana atau kembali dari sana.
“Hei, jangan melamun bocah kampret.”
Pantat dari tombak memberikan masing-masing dari kedua petualang muda itu pukulan di kepala. Dan siapa lagi yang memegang tombak itu selain Spearman, tidak berpakaian seperti biasanya, dan hanya memakai pakaian sehari-hari dengan kalung peringkat yang menggantung di lehernya.

“Perhatianmu mudah teralihkan gara-gara perempuan. Percaya aku, aku paham banget. Tapi kalau kamu nggak fokus, hal berikutnya yang akan terjadi adalah kematianmu.”
“Uh, itu bukan yang lagi aku lakukan kok.”
“Yeah, dan aku nggak punya masalah sepertimu , Spearman…”
Satu menggeutu, sedangkan satunya tertawa kecil sendiri. “Dengar,” Spearman memulai dengan dahi mengernyit. “Aku nggak tahu apa pendapat kalian tentang aku, tapi kalian sepertinya nggak terdengar siap untuk mempelajari apapun.”
“Yeah, tapi,” Rookie Warrior berkata seperti itu adalah hal yang paling wajar sedunia. “Kamu selalu di tolak sama resepsionis itu kan?”
“Aku juga baru datang kemari, dan bahkan aku juga tahu tentang hal itu,” sang wizard menambahkan.
Sebuah nadi di dahinya berdenyut dan tercetak jelas, namun tampaknya kedua bocah itu tidak menyadarinya.
“Oh, begitu.” Dia berkata dengan senyum yang kaku. “Pintar juga kalian ya? Yah, bukan kalian saja yang bisa memainkan permainan itu.”
“?”
Kedua bocah melihat kepada pria itu dengan penuh Tanya, yang di mana Spearman menunjuk telunjuknya selurus sebuah tombak dan melanjutkan, “Di petualanganmu sebelumnya, kamu terburu-buru masuk, menggunakan sihirmu, dan pada akhirnya nggak bisa melakukan apapun.”
“Erk…”
“Dan kamu selalu menghabiskan waktumu berburu tikus raksasa, jadi kamu nggak mempunyai stamina yang cukup untuk pertarungan panjang dan menggunakan semua hadiahmu untuk membeli Stamina potion.”
“Guh?!”
Kedua hal ini adalah benar. Rahasia memalukan para bocah yang dimana mereka ingin agar tidak terlalu tersebar. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya terkecuali anggota party mereka, dan…
“Re-resepsionis? Dia memberi tahumu…?”
“Betul banget. Dia memintaku untuk mengawasi kalian, memastikan kalian memiliki tenaga fisik yang kalian butuhkan.” Spearman tertawa kecil dan kemudian berdiri dan mengambil kuda-kuda. Rookie Warrior dan sang bocah wizard juga turut mengambil kuda-kuda, terlihat takut seolah mereka akan bersiap untuk bertarung dengan seorang warrior yang hidup kembali dari kematian.
“Ayo main petak umpet. Aku akan jadi pencari dan kalian bersembunyi.”
Adalah ketika Spearman memutar senjatanya dengan begitu lihai dan kembali berkuda-kuda, para bocah menyadari betapa marahnya pria itu.
“Yikes, ayo lari dari sini!”
“Ye-yeah, ayo pergi!”
Alih-alih memohon maaf atau merenungkan apa yang mereka telah lakukan, mereka berlari secepat kuda yang ketakutan. Tidak di ragukan itu adalah pilihan yang tepat.
“Hei! Kalian nggak akan bisa lari semudah itu!”
Para bocah berlari di sekitaran area berlatih dengan begitu cepat hingga mereka meninggalkan perlengkapan mereka (termasuk tongkat sang wizard) yang tergeletak di tanah. Spearman mengejar mereka.
Pekerja konstruksi, bersama dengan para petualang yang sedang beristirahat, memperhatikan keributan tersebut dengan lelah. Tentu saja, semua orang mengetahui bahwa Spearman itu tidaklah serius. Pria itu mempertahankan kecepatan lari yang cukup untuk menangkap para bocah.
Semua yang menonton secara pribadi menyetujui bahwa walaupun penampilan Spearman seperti itu, Pria itu sangatlah ahli dalam mengawasi orang lain.
Instruksi pada tempat ini akan di tangani oleh petualang tingkat tinggi yang telah pensiun. Namun tidak ada yang melarang para petualang yang masih aktif untuk memberikan sedikit pelajaran dengan caranya sendiri. Mungkin hanya untuk melewati waktu, atau bahkan sebagai bentuk latihan diri mereka sendiri.
Tempat latihan ini bahkan masih belum selesai, dan para petualang sudah dengan senang hati menggunakannya untuk berkumpul dan berbicara.
“…”
Goblin Slayer memperhatikan semua ini tanpa berkata-kata, tangannya bergerak tanpa henti. Dia duduk di sebuah lahan terbuka, bukan pada area latihan yang telah selesai di bangun ataupun bagian yang masih dalam pembangunan.
Burung-burung bernyanyi di langit biru, dan hembusan angin membelai rerumputan.
Jika seseorang melihat mengarahnya, seseorang tersebut akan melihat dua wanita muda sedang menunggu pria itu menyelesaikan apa yang dia lakukan dengan gelisah.
Satu adalah seorang rhea druid, sedangkan satunya lagi adalah seorang cleric apprentice yang melayani Supreme God.
“Begini cara kamu melakukannya.” Dia berkata, pada akhirnya menunjukkan kepada para gadis, produk hasil buatannya. Mereka berkedip melihatnya.
Adalah sebuah ketapel sederhana, sehelai kain di ikatkan pada sebuah batu kecil agar dapat di lempar.
“Huh? Gitu doing?”
“Benar-benar sederhana sekali.”
“Ya.” Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Pengembala terkadang membawanya untuk menakuti serigala.”
“Sepertinya ini bisa di buat dengan cepat di saat yang mendesak.”
“Yang kamu butuhkan cuma sebuah tali. Amunisi mudah di capi. Nggak ada salahnya untuk mempelajari cara menggunakannya.”
Semua ini terjadi ketika mereka melihat Goblin Slayer melempar sebuah batu pada sebuah festival. Bagi mereka, ini merupakan sebuah kemampuan sempurna untuk mereka berdua yang berdiri di baris belakang dan memerlukan sesuatu untuk melindungi diri mere sendiri.
Sekarang Goblin Slayer berdiri. “Pedang sering di anggap sebagai senjata terbaik untuk manusia, tapi ketapel jauh lebih baik.” Dia berkata, secara perlahan memutar ketapelnya. Dia memastikan gerakannya tampak jelas untuk dapat di perhatikan oleh kedua pemula. Dalam pertarungan, angkat, putar, dan tembak biasanya di lakukan dalam satu gerakan, kali ini dia menunjukkannya secara perlahan kepada mereka.
“Manusia hebat dalam melempar, entah itu batu atau tombak. Tubuh kita tercipta untuk melempar.”
Dia mengangkat ketapelnya tinggi, secara perlahan mempercepat putarannya, mencari sasaran. Berusaha untuk menghindari kemungkinan adanya kecelakaan, dia membidik pada arah berlawanan dari tempat latihan.
Di balik semak-semak, sebuah boneka menggunakan armor dan helm—rakitan dari bengkel Guild. Tidak begitu tinggi—yang melambangkan tinggi dari goblin.
“Inilah hasilnya.”
Seraya dia berbicara, Goblin Slayer menembakkan batu; batu itu bersiul di udara dan menghantam pelindung kepala boneka. Helm itu berguling jatuh di rumput, yang di mana Goblin Slayer mendekati dan mengambilnya, dengan santai melemparnya kepada kedua gadis.
“Wow!”
“Eek!”
Kedua gadis tersebut menjerit. Namun itu adalah hal yang wajar: batu tersebut telah menghantam telak helm metal dan kepala boneka berguling di dalam helm itu. Apa yang akan terjadi kepada tengkorak seseorang yang menggunakan helm ini ketika terhantam oleh batu itu, mereka tidak berani membayangkannya.
“Dengan cara seperti ini, bahkan seseorang yang lemah seperti rhea pun dapat menghadapi paling tidak satu musuh yang mendekat.”
“Guruku sendiri juga seorang rhea.” Bisikan pelan ini menyebabkan Gadis Druid berkedip.
Goblin Slayer mendekati mereka dengan langkah sigapnya, mengambil batu yang ada di dalam helm. Batu itu telah di asah seperti mata panah. Sesuatu yang dia lakukan khusus untuk melempar seperti ini, memfokuskan pada tenaga di banding dengan stabilitas saat di udara. Persiapan seperti ini terkadang cukup efektif.
“Kalau kamu bisa menjaga jarak dengan musuh pertama, kemungkinan besar rekan partymu akan datang dan menolongmu.”
“Cuma…kemungkinan?” Apprentice Cleric bertanya penuh keraguan.
“Ya.” Nada Goblin Slayer sangat serius. “Ini hanya sebagai salah satu cara yang bisa kamu gunakan di saat kamu membutuhkannya. Kalau bagimu ini sudah cukup maka berlatihlah.”
“Pak. Goblin Slayer. Aku benar-benar merasa cara penyampaian kata-katamu kasar banget.” Gadis Druid berkata. Pantas saja gadis imut priestess itu selalu terlihat stress.
“Benarkah?” Goblin Slayer bertanya, asli tidak memahaminya. Kedua gadis itu mengabaikan masalah ini, kemudian mengambil ketapelnya. Mereka menarik ketapel tersebut dengan “Apa benar seperti ini?” dan “Gimana kalau begini?” sebelum pada akhirnya mereka menembakkan batu mereka mengarah kepada boneka.
Beberapa dari tembakkan mereka mengenai sasaran, dan beberapa lainnya meleset. Beberapa bahkan tidak terbang pada arah yang benar. Namun Goblin Slayer tidak mengatakan apapun pada usaha mereka. Jika mereka memiliki pertanyaan, mereka akan bertanya kepadanya. Karena itu, akan lebih baik membiarkan mereka fokus pada latihan mereka. Seperti itulah Goblin Slayer di ajarkan, dan dia merasa bahwa dia harus melakukan hal yang sama.
Mereka yang tidak mencoba tidak akan bisa melakukannya.
Sekarang, pada akhirnya, dia mengira bahwa dia telah memahami apa yang masternya—Burglar—maksudkan.
Dan apakah dia, pada akhirnya dapat melakukannya?
Dia tidak memiliki jawaban. Tidak mungkin dapat menjawabnya.
Goblin Slayer menghela, duduk di tempat di mana dia terlihat lelah.
Pada saat yang sama, sebuah suara membuyarkan pikirannya. “Heh-heh-heh! Kalian rajin sekali.” Sebuah sosok membayangi dirinya.
“Oh…” Goblin Slayer berputar untuk melihat Gadis Guild, memegang sebuah payung dan tersenyum.
“…Jadi kamu datang.”
“Tentu saja. Hanya untuk mengamati, atau mungkin…yah, bukan menginspeksi. Tapi ya, aku datang.”
Gadis Guild duduk di samping pria itu, lengannya bertumpu pada lututnya. Dia mengenakan pakaian kerjanya yang biasa. Mungkin baju itu terasa sedikit panas pada awal musim panas ini, karena tetesan keringat mengalir dari dahinya.
Sangatlah jelas bahwa pekerjaan birokrasi seperti yang dia lakukan, tidak dapat di lakukan dengan memakai pakaian sembarangan. Dan mungkin dia juga merasa sedikit malu, apapun itu, dia tidak akan mencoba membuka kerahnya atau berbaring di atas rumput.
“…Apa kamu tidak kepanasan , Goblin Slayer?”
“Nggak.” Dia berkata dengan gelengan kepala. “Nggak terlalu.”
“Yang benar?”
“Apa untungnya aku berbohong?”
Jawaban itu tampaknya tidak terlalu membuat Gadis Guild merasa senang, dia mendengus dan bergumam. “Lupakan saja.” Setelah beberapa saat, dia bertanya. “Bagaimana menurutmu tentang petualang Obsidian dan Porcelain kami?”
“Hmm.” Goblin Slayer berkata, memperhatikan para gadis berlatih dengan ketapelnya.
Mereka terlihat begitu antusias dan serius. Mereka adalah gadis yang baik.
Namun itu bukanlah sebuah jaminan bahwa mereka dapat selamat.
“Aku nggak tahu.”
“Oh, kamu ini…” Gadis Guild menggembungkan pipinya dan mengangkat jari telunjuk, mengoyangkannya perlahan seraya menegus. “Kamu seharusnya menjawab pertanyaan seperti itu dengan cara penuh percaya diri dan pasti!”
“Begitukah?”
“iya. Terutama ketika jawabanmu akan di catat.”
“Aku akan mengingatnya.” Goblin Slayer berkata dan berdiri. Dia dapat merasakan Gadis Guild memperhatikannya.
Sudah waktunya.
“Hei, semuanya! Mau makan siang?”
“Segar langsung dari kebun!”
Decitan sebuah gerobak dapat terdengar, di iringi dengan suara dua orang wanita: Priestess dan Gadis Sapi.
Mereka tidak memutuskan secara spesifik tentang ini. Ini bukanlah sesuatu yang formal. Mereka tidak memiliki kewajiban untuk membawakan makan siang.
Hanyalah sebuah tindakan tenggang rasa yang sederhana.
Goblin Slayer merasa berterima kasih bahwa paman Gadis Sapi melakukan sesuatu seperti ini untuk para petualang. Pikiran dangkal bahwa itu semua mungkin saja untuk dirinya sendiri tidak pernah terlintas di benaknya.
“Ups, sebaiknya aku pergi dan membantunya.” Gadis Guild berkata. Dia membersihkan rumput dan tanah dari rok seraya dia berdiri. Dia menguap kecil, melipat paying dan menggenggamnya. Kemudian dia berlari kecil melewati rerumputan layaknya burung kecil.
“Oh, benar juga,” dia berkata, berputar dengan senyuman. Angin bertiup menghembus kepangnya. “Apa kita perlu menganggap ini sebagai ‘Mengunjungi para petualang yang sedang bertugas’?”
Goblin Slayer tidak menjawab. Dia berputar mengarah para gadis yang sedang berlatiha keras dengan ketapelnya dan berkata. “Istirahatlah.”
Wajah kedua gadis itu merah karena kelelahan. Mereka mengangguk cepat dan bergegas menuju gerobak. Dia memperhatikan mereka pergi dan kemudian berpaling dari para petualang yang semakin berkumpul di sekitar makan dan mulai melangkah pergi.
Dia merasakan sedikit penyesalan karena telah di minta untuk membantu latihan seperti ini dan menerimanya.
“Hei, Goblin Slayer!”
Adalah Spearman yang menghentikannya. Dia tidak menyadari petualang itu mendatanginya.
Spearman memperhatikan Gadis Guild pergi dengan kepangnya yang berayun, kemudian dia menghela napas dan menatap helm Goblin Slayer.
“Mana orang gede itu?” dia bertanya, artinya Heavy Warrior. “Kemana dia?”
“Dia membawa anak kecil lainnya ke dalam gua hari ini.”
Half Elf Fighter dan Bocah Scout telah pergi bersamanya. Tidak ada satupun petualangan yang tidak memiliki resiko, tetapi dalam ekspedisi seperti itu, seharusnya semua akan baik-baik saja.
Goblin Slayer terdiam beberapa saat dan kemduan bertanya pelan. “Apa pendapatmu tentang bocah itu?”
“Ahh, bocah wizard tengik itu?” Spearman tersenyum sadis.
Bocah itu sedang pergi menuju gerobak, mengambil sebuah botol air lemon yang telah di dinginkan di dalam sumur. Kecepatan dia meminumnya, menandakan betapa kerasnya sang Spearman mengejar dirinya.
“Dia punya nyali. Tapi aku nggak tahu soal kemampuan sihirnya sih.”
“Begitu?”
“Kamu kesurupan apaan?” Spearman berkata seraya melirik helm baja kotor itu. “Mengajar di tempat latihan ini? Aku kira kamu berfokus pada gadis clericmu itu.”
“Itu nggak sepenuhnya benar.” Goblin Slayer berkata acuh, dan kemudian mulai melangkah pergi.
Tampaknya dia berniat untuk meninggalkan area ini secepat mungkin. Hal ini membuat Spearman menatap langit, tidak yakin apa yang harus di lakukannya.
Haaaa…”
Matahari telah begitu tinggi. Tampaknya akan menjadi musim panas yang seperti biasanya.
“…Hey, kamu nganggur malam ini?” Spearman bertanya.
“Hrm…” Goblin Slayer mendengus. Dia melirik mengarah Gadis Sapi; Gadis Sapi melirik membalas mengarahnya. Gadis itu tersenyum, melambaikan tangannya. Entah mengapa, mereka berdua tampak seperti sedang berbicara.
Kemudian Goblin Slayer mengangguk. “…Ya. Aku rasa aku bebas malam ini.”
“Kalau begitu, ayo pergi minum.”
“….Maksudmu alkohol?”
“Apa ada minuman lainnya yang di minum seorang pria?”
Goblin Slayer merasa sulit memahami maksud dari Spearman, ataupun niat pria itu. Apa untungnya bagi pria itu untuk mengundang dirinya minum?
“Kamu mengundangku?”
“Kamu lihat ada orang lain di sekitar kita? Ayo ajak orang gede itu. Tiga pria. Nggak ada tapi-tapian.”
“…Begitu.”
“Ayolah. Ikut saja.”
Goblin Slayer menatap langit tak bersuara. Matahari telah melewati puncaknya, menyinari tempat ini dengan cahayanya. Di tempat ini, sangatlah mudah baginya untuk melihatnya jalannya waktu, tidak peduli musim apapun itu.
Adalah kakak perempuannya yang mengajarinya hal ini.
Dia tidak dapat melupakannya.
“…Baiklah.”
“Mantap.” Spearman berkata, memukul pundak Goblin Slayer dengan kepalnya.
*****
Langit biru yang begitu cerah tampak memanjang tanpa batas.
Sang bocah terbaring di rerumputan; dia dapat merasakan helaian rumput yang menempel pada punggung dan pipinya yang berkeringat.
Dia terlentang, melebarkan tangan dan kakinya, menghirup oksigen masuk ke dalam paru-parunya. Adalah kurangnya oksigen yang menyebabkan seseorang terengah-engah. Jika kamu bernapas, kamu akan mendapatkan oksigen. Itulah mengapa napasnya menjadi tidak beraturan.
Angin musim panas menghembus lembut di wajahnya seraya satu pikiran mengambang di kepalanya secara terus menerus: dia bukanlah seseorang yang payah.
Mantra menguras tenaga penggunanya, dan petualang sering sekali berjalan melewati lahan dan pegunungan.
Mengapa? Yah, kuda sangatlah mahal. Kuda harus di beri makan dan kandang. Kuda memerlukan sepatu dan perlengkapan.
Jika kamu hanya pergi dari kota ke kota, pos k epos, mungkin semua itu tidak akan berpengaruh banyak. Namun para petualang sering sekali berpergian menuju labirin bawah tanah yang terpelosok, atau lahan supranatural yang belum pernah di jelajahi kaki manusia.
Akan sangatlah sulit membawa kuda ataupun barang bawaan pribadi, dan juga, merental kuda akan jauh lebih buruk. Petualang pemberani dengan banyak pengalaman berkata bahwa petualang adalah pedagang berjalan, dan itu sepenuhnya benar. Oleh karena itu, seorang wizard membutuhkan stamina yang sama banyaknya dengan warrior manapun. Dia memahami itu.
Ya, tentu saja dia memahaminya—akan tetapi… Akan tetapi…
“Ini sama sekali….”
“…Ca-peeeeeeekknya….”
Benar, musuh mereka tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Namun terdapat perbedaan besar antara Porcelain dan Silver. Antara tingkat sepuluh dan tiga.
Suara kedua, yang ikut mengeluh, berasal dari Rhea Fighter, berbaring di sampingnya. dia begitu berantakan, karena sudah di latih habis-habisan oleh Knight Wanita beberapa menit sebelumnya. Dia melemparkan armor, perisai, dan pedangnya, mungkin dia tidak sanggup menahan hawa panas, dan kini berbaring terlentang di rerumputan. Dadanya (tidak begitu besar, namun cukup besar untuk ukuran seorang rhea) kembang-kempis.
Sang bocah meliriknya, namun di saat dia melihat baju gadis itu yang penuh keringat, dia memaksakan kepalanya untuk mendengak ke atas menatap langit, dia merasa sedikit malu, dan sedikit merasa bersalah.
Kepalanya berdenyut di arenakan rasa panas dan napasnya yang terengah-engah, namun dia masih dapat menggerakkannya. Ketika gadis itu telah selesai, giliran bocah itu dengan Knight Wanita akan di mulai.
“Ja-jadi… Apa kamu…sudah bisa…?”
“…Nggak tahu.”
Dengan kata lain. Semua itu tidaklah lebih dari sekedar sesi di hajar habis-habisan dan terjatuh.
Wizard Boy meringis dan mengeluarkan dengusan, namun Knight Wanita tampaknya tidak menganggap bahwa dirinya terlalu kejam kepada petualang muda. Paling tidak, latihan ini dapat memberikanmu pelajaran untuk selalu menjaga pertahananmu bahkan ketika berhadapan dengan musuh yang banyak.
Tidak di ragukan Spearman-pun akan merasa hal yang sama jika seseorang menanyakan pendapatnya. Kekuatan dan daya tahun adalah lebih penting dari pada berpikir dengan cepat, ketika keadaan memaksa. Petualang yang berburu naga dan ogre dengan serius tentu saja akan mengalahkan beberapa Porcelain.
Karena itu, ya, para mentor tidak mengerahkan semua tenaganya. Tetapi…
“…Apa mereka nggak kepanasan seperti itu?” sang gadis rhea berkata.
“Entahlah.”
Tidak jauh darinya, Rookie Warrior merebahkan kepalanya di atas lutut Apprentice Cleric. Semua orang terlihat begitu kelelahan. Mungkin Gadis Druid pergi dengan Bocah Scout, karena mereka tidak terlihat di sekitar area ini.
Rhea Fighter menggerutu karena gadis itu seharusnya ikut berlatih menggunakan ketapel juga, namun Wizard Boy menjentikkan lidahnya.
“Nggak ada hal apapun yang bisa kamu pelajari dari pria seperti itu.
“Menurutmu begitu? Dia tingkat Silver loh.”
“Tapi dia nggak pernah melawan apapun selain goblin.”
“Dia keras kepala dan terlalu terobsesi pula, dan kamu nggak akan pernah tahu apa yang dia pikirkan.” Sang bocah menambahkan dengan gumaman cemberut. “Goblin? Seorang petualang seharusnya dapat membunuh goblin dengan satu serangan.”
“Bahkan aku juga nggak akan kalah dalam pertarungan satu lawan satu dengan goblin.” Sang rhea menyetujui.
“Iya kan? ‘Goblin Slayer’ apaan!”
“Mereka menyebutnya seperti itu karena dia membunuh goblin kan?” Kalimat itu tidak berasal dari Rhea Fighter melainkan dari Apprentice Cleric. “Dengar, aku nggak bermaksud kalau aku nggak ada rasa curiga dengan pria itu.” Dia membelai rambut Rookie Warrior seraya berbicara. “Tapi aku rasa seseorang yang nggak melakukan apapun nggak berhak mengkritik seseorang yang benar-benar melakukan sesuatu.”
“…”
“Aku dengar kamu bahkan gagal dalam pembasmian goblin.”
“Ah bacot!” sang bocah meludah ke udara.” Aku sendiri dengar kamu nggak pernah berburu apapun selain tikus raksasa.”
“Yah…untuk saat ini cuma itu yang kami bisa lakukan.” Rookie Warrior berkata, hampir terdengar seperti kelihan. Tidak seperti sang rhea fighter, dia masih menggunakan armor, pedang, dan pentungan. Dia hanya melonggarkan pengikat perlengkapannya untuk membiarkan tubuhnya bernapas.
“Kita sudah memahami bagaimana cara menyerang dan bertahan melawan tikus raksasa. Tapi kalau tikus itu menyerang lebih dari tiga secara bersamaan, kami akan mati.”
“Tapi tikus itu beracun kan?” Sang gadis rhea berkata. “Bukannya bertarung melawan mereka terus-terusan itu berbahaya?”
“Yah, itulah kenapa anti racun dan potion selalu menguras dompet kami…”
“Lain kali kalau levelku sebagai cleric naik, aku berencana untuk memohon kepada dewa untuk di berikan keajaiban Cure.”
Kemudian, dia berkata kepada mereka berdua untuk menabung uang mereka agar dapat membeli perlengkapan yang lebih baik. Mengganti pedangnya dengan sesuatu yang memiliki mata pedang yang lebih lebar, mungkin membeli beberapa baju besi untuk perlindungan yang lebih baik. Helm membuat sulit untuk melihat, namun paling tidak mereka dapat membeli topi keras atau semacamnya…
“…Pfft.” Sang bocah menganggap semua ini tidak menarik. Dia menjentikkan lidahnya, yang di mana Rhea Fighter melototinya “Terserahlah.” Gumamnya, memalingkan wajahnya agar dia tidak dapat melihat matanya.
“Halo semuanya! Mau air lemon?” Priestess muncul, berkeliling bukit, tersenyum dengan lebar. Dia membawa sebuah keranjang besar penuh dengan beberapa botol kecil dan makanan. “Aku juga punya beberapa camilan…”
Priestess tidak begitu di sambut, mungkin karena tidak seorangpun dari mereka memiliki nafsu makan setelah berlarian atau mengayunkan senjata mereka. Rookie Warrior hanya mengeluh, “Urrrgh,” dan Rhea Fighter berkata. “Ku rasa aku bakal muntahin apapun yang akan aku makan…”
Apprentice Cleric menggeleng kepalanya diam, mungkin karena dia tidak ingin makan seorang diri.
“Er, tapi… Kalau kamu nggak makan, kamu nggak akan bisa bertahan sampai siang.” Priestess berkata, mengernyitkan alisnya. Akan tetapi tentu saja, dia tidak dapat memaksa mereka untuk mengambil makanannya.
Wizard Boy tentunya tidak memiliki niatan khusus untuk membantu Priestess, yang berdiri di sana dengan kebingungan, namun walaupun begitu, sang bocah mengangkat tangannya dan berkata. “Aku mau makan.”
“Apa, yang benar?” Rhea Fighter bertanya.
“Yeah.” Sang bocah berambut merah menjawab, berdiri dari rerumputan. “Aku pernah dengar kalau…kamu nggak makan setelah berlatih…kamu nggak akan bisa berotot.”
“Ancok, serius? Kalau begitu aku makan juga.”
“…Oke… Aku juga…”
“Kalau begitu aku mau juga. Terima kasih.”
Makan siangnya terdiri dari roti lapis sederhana: sepek, daging, sayuran, dan beberapa keju di antaranya.  Rasa asin gurih memberikan tenaga baru pada tubuh lelah berkeringat mereka.
Pada awalnya, grup mereka ingin mencari minuman untuk mendampingi makannya, namun tidak lama kemudian, mereka meneguk persediaan air mereka dengan rakus.
Gadis itu benar-benar mengerti sekali ya? Priestess mendapati dirinya sendiri berpikir mengagumi.
Gadis kebun itu telah membantu Goblin Slayer selama beberapa tahun sekarang. Dia sangat mengetahui apa yang di butuhkan para petualang setelah latihan keras di pagi ahri.
Apa yang mereka butuhkan…
“Kakakku itu hebat! Kalau goblin itu nggak menggunakan racun, dia akan mengalahkan mereka semua!”
“Baiklah.” Priestess berkata pelan, memperkuat tekadnya. Kemudian dia duduk di samping bocah itu.
“Gimana keadaannya? Maksudku…gimana keadaanmu?”
Secara serentak dia mempertanyakan itu kepada semua orang yang berada di sana dan bocah itu.
“Capeeeek banget!” Rhea Fighter menjawab dengan segera.
“Yeah!” Rookie Warrior menambahkan.
“Kurang lebih aku masih sanggup.” Apprentice Cleric berkata dengan terdengar sedikit bangga.
“…”
Akan tetapi, bocah berambut merah, tidak mengatakan apapun, dia hanya mendengus.
“Um…” Priestess berkata.
Dia cuekin aku.
Alisnya mengernyit dengan canggung, dan Priestess memutuskan untuk mengganti topic pembicaraan. Daripada berdiri di sana terdiam menunggu inspirasi datang, akan lebih baik untuk bertindak dengan segera. Itu adalah sesuatu yang dia pelajari dari Goblin Slayer.
“Hei.” Priestess berkata, menatap Rhea Fighter. “Sepertinya aku nggak melihat anggota partymu yang lain…”
“Oh, Pemimpin kami itu anak kedua atau ketiga dari seorang bangsawan di suatu tempat,” Rhea Fighter berkata, menggigit besar roti lapisnya dan mengunyah dengan berisik. “Tapi tiba-tiba kakak pergi dan terbunuh, dan tidak ada pewaris yang menggantikannya, karena itu keluarganya menginginkan pemimpin kami kembali. Dan seperti itulah akhir dari party kami.”
“Ah…”
Yah, hal seperti itu biasa terjadi. Anak kedua atau ketiga—yang tertua—dapat mendapati diri mereka terjebak dalam situasi sosial yang tidak nyaman. Jika mereka menginginkan peran lain selain sebagai cadangan jika sesuatu terjadi pada anak tertua, maka mereka harus pergi dan mendapatkan peran itu sendiri. Orang tua mereka mungkin akan memberikan mereka sedikit lahan, atau jika tidak, maka meraih reputasi dengan seni bela diri juga merupakan suatu pilihan, atau mungkin menikah dengan keluarga bangsawan lainnya…
Keluarga Knight sangatlah ketat akan hal ini, knighthood pada umumnya merupakan gelas untuk satu generasi. Orang tua tidak dapat mewariskannya kepada anak mereka. Seorang anak tertua mungkin dapat menerima kesempatan untuk menjadi knight dan berlatih, kesempatan untuk membuat namanya, namun anak berikutnya setelah orang itu memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk mendapatkan hal yang sama. (TL Note :Knighthood = kekesatriaan/ seseorang yang di lantik menjadi knight.)
Oleh karena itu banyak petualang yang berasal dari keluarga seperti itu. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita di sini. Anak perempuan kedua atau ketiga merupakan tingkat copper dari banyaknya petualang yang ada.
Dan kemungkinan bertahan hidup mereka-yang-menyatakan-dirinya-knight sangatlah tinggi. Mereka memiliki perlengkapan, mereka mengetahui harus berbuat apa, dan terkadang mereka sangatlah piawai menggunakan pedang, yang di mana semua hal itu berkontribusi akan keselamatan mereka.
Namun terkadang, sesuatu akan terjadi pada anak tertua, dan para petualang ini akan di panggil kembali oleh keluarganya yang telah mereka tinggalkan. Bagi pemimpin party ini… Yah, jalan untuk menjadi kepala keluarga telah terbuka, dan pada saat ini dia tidak terluka sama sekali, oleh karena itu dia dapat menganggap dirinya beruntung.
Perihal koneksi keluarga, kualitas perlengkapan, pengetahuan, pengalaman, kemampuan, ataupun kematian masihah tidak begitu penting.
“Aku rasa itu bukan berarti kehidupan dia akan jadi mudah.”
Bangsawan juga punya permasalahannya sendiri, Rhea Fighter berpikir kepada dirinya sendiri. Dia berbicara dengan begitu sok hingga terlihat lucu, dan Priestess tidak dapat menahan tawa kecilnya.
Pada saat yang sama, Priestess merasa sedikit khawatir. Ini artinya bahwa wanita muda tersebut akan memulai petualangannya menuju tempat yang berbahaya sendirian. Sejauh Priestess dapat mengingat, kaum rhea di anggap dewasa ketika berumur tiga puluh tahun, karena itu kurang lebih, Rhea Fighter mungkin lebih tua dari Priestess.
“Bukannya pergi sendiri itu sulit?” Priestess bertanya.
“Memang nggak mudah, tapi hei—Aku punya mimpi!” Rhea Fighter menjawab, membusungkan dadanya bangga. “Aku akan menjadi besar! Begitu besar hingga tak seorangpun akan peduli kalau aku kecil!”
“Yah, aku paham itu,” Rookie Warrior berkata, memasukkan potongan terakhir roti lapis ke dalam mulutnya. “Saat aku bilang aku akan menjadi pria terkuat, mereka mentertawaiku. Mereka bilang aku terlalu ndeso untuk itu!”
“Iya, bener banget!” sang gadis rhea berkata, menepuk tangannya.
“Tentu saja mereka tertawa.” Apprentic Cleric berkata. “Kalau kamu menjadi yang terkuat, coba kamu pikirkan seberapa buruknya orang-orang dari kota lain akan terlihat!” Dia tersenyum dengan sedikit kebanggaan; melihat bocah itu bersemangat seperti ini membuat dirinya girang. “Heh-heh! Aku yakin sekarang kamu senang karena sudah memutuskan ikut denganku untuk berlatih!”
“Aku senang karena aku nggak harus meninggalkanmu sendirian. Karena itu pasti akan berbahaya buatmu.”
“Bentar dulu, siapa  yang meninggalkan siapa?
“Guh?”
“Apa, kamu nggak mau ngaku?”
Dan merekapun berdebat.
Priestess menyipitkan matanya senang; dia merasa telah melihat sesuatu yang menggembirakan. Kedua anak kecil yang berdebat mengingatkannya kepada anggota partynya sendiri.
“Kalian akrab sekali,” Priestess berkata.
Akrab apaan!—adalah sesuatu yang katakana.
Mereka berdua saling bertukar pandang; masing-masing bergumam sesuatu kemudian menutup mulut mereka.
Percakapan merekapun terhenti di saat itu.
Sebuah hembusan angina membelai pipi.
“………Aku cuma nggak ngerti,” sang bocah mengeluh. “Apapun itu, aku cuma harus berfokus membunuh beberapa goblin, dan membunuh mereka dengan benar. Itu prioritasku.”
Biar para bajingan yang mentertawai kakakku tahu.
Priestess merasa tidak yakin harus berkata apa, mendengar perkataan pedas sang bocah wizard. Priestess belum genap setahun menjadi petualang. Dia masih belum memiliki pengalaman yang cukup untuk memberikan sebuah saran. Terutama, ketika dia berusaha memikirkan apa yang di rasakan bocah itu.
Itulah mengapa—
“Aku dulu—“
Itulah mengapa dia menggigit bibirnya seraya berbicara.
“Aku dulu pernah kenal dengan seorang wizard.”
Tenggorokannya kencang, dan suaranya bergetar. Dia harus dapat memberanikan dirinya.
“Dia berkata kalau…dia ingin bertarung melawan naga suatu hari.”
“…Naga?”
Naga—naga yang sesungguhnya—adalah musuh yang mengerikan. Mereka tidaklah seperti makhluk yang terkadang berkeliaran di sekitar lahan atau pegunungan. Mereka kaya akan kekuatan. Mereka memiliki tenaga dan stamina, kecerdasan dan sihir, wewenang dan kekayaan.
Itulah mengapa pembasmi naga sangatlah di puja-puja dan di kenang.
“Itu…mungkin hanyalah sebuah mimpi. Itu mustahil.”
“Tentu saja itu cuma sebuah mimpi,” Priestess berkata dengan senyuman. “Tidak lebih dari itu.”
Ya—ya, Priestess yakin akan hal itu.
Waktu itu, momen ketika mereka mengunjungi gua ppertama, masih terngiang di benaknya.
Hanya karena party mereka terbantai dengan seketika…
bukan berarti nilai dari setiap ucapan mereka ikut menghilang.
Sekarang Priestess mengira bahwa dia dapat memahami hal itu, paling tidak sedikit memahaminya.
Adalah hal yang berharga—bukan sesuatu untuk di ejek dan di hina.
Tidak peduli seberapa mustahilnya, tidak peduli seberapa jauhnya, tidak peduli akan betapa mereka akan gagal.
Mimpi adalah mimpi.
Bukanlah sesuatu yang harus di wujudkan.
Adalah sesuatu yang tidak pantas untuk di injak-injak para goblin.
“…”
Sang bocah merasa tidak Ingin berkata apapun lagi. Atau mungkin dia berniat mengatakan sesuatu, namun sebelum dia dapat membuka mulutnya kembali:
“Halo, juniorku yang imut-imut! Kalian sepertinya benar-benar sudah bekerja keras!”
Sebuah suara bening, tinggi dan elok di dengar, mendekati dari arah rerumputan.
Mereka melihat mengarah kota untuk menemukan tiga sosok yang tidak asing datang mendekati mereka.
“Di siang hari ini, elf favorit kalian akan mengajak kalian tur ke dalam beberapa gua!”
“Favorit apaan, Telinga Panjang?” dari samping ranger itu, Dwarf Shaman menyikut rusuk elf itu. “Aku tahu ini hari libur kita, tapi kamu ketiduran terus sampai hampir tengah hari.”
“Kamu tahu apa yang mereka sebut sebelum tengah hari? Pagi hari. Paling nggak bagi para elf.”
“Aku yakin banget itu nggak benar.”
Perdebatan mereka berlanjut seraya mereka semakin mendekat. Priestess melirik kepada Rookie Warrior dan Apprentice Clerici seolah ingin mengatakan, tuh kan? Namun tidak satupun dari mereka yang memperhatikan lirikannya.
“Gua! Apa itu artinya…goblin” Priestess bertanya.
“Oh ayolah. Apa kamu berusaha meniru Orcbolg?” High Elf Archer melambaikan tangannya seolah dia sedang mengusir serangga.
“Maksudku itu sarang beruang—yah bekas sarang beruang. Musim hibernasi sudah selesai dan beruang itu sedang pergi keluar untuk mempersiapkan musim semi, jadi seharusnya Ini kesempatan yang baik untuk menjelajahinya.”
Priestess mengangguk memahami. Tidak seperti saluran air atau lahan, terdapat keunikan tersendiri untuk bergerak dan menggunakan senjata di dalam gua. Jika anak-anak kecil ini dapat berlatih menggunakan senjatanya di dalam gua tanpa monster, hal ini mungkin akan membantu mereka.
“Er, Namun janganlah lupa bahwa kami belum menyantap makan siang kami.” Lizard Priest berkata, menyatukan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh. Napasnya menyembur dari lubang hidung yang berada di atas rahang besarnya. “Dan tampaknya anda telah menyediakan makan siang. Dengan ijin anda, dapatkah kami….?”
“Oh, tentu saja. Ini roti lapis.” Priestess berkata. Dia merogoh keranjangnya dan mengeluarkan beberapa bungkus menu makan siang. “Isi rotinya daging, sepek, sayuran… Oh, dan keju.”
“Ah! Sungguh sebuah berkah dari surga! Madu! Betapa membahagiakannya!”
“Kami juga punya beberapa yang cuma berisi timun dan keju, kalau kamu mau. Dan ada anggur juga.”
“Asik!”
“Ho-ho-ho! Benar-benar lengkap. Terima kasih, kalau begitu aku nggak akan sungkan-sungkan!”
Priestess meletakkan keranjangnya, dan ketiga temannya menyerbu keranjang itu, masing-masing bersemangat untuk menjadi yang pertama mendapatkan makanannya. Priestess tsrsenyum melihat pemandangan di depannya. Seraya dia memperhatikan mereka, hembusan angin musim panas kembali membelai.
Priestess memegang topinya agar tidak terbang, menutup matanya menikmati belaian sejuk angin di pipinya.
“Oh, bagaimana dengan Goblin Slayer—?”
Apa dia mau makan siang?
Sebelum Priestess dapat menyelesaikan pertanyaannya, dia memperhatikan sekelilingnya: dia tidak melihat pria itu di manapun.
Huh?
Kemudian dia melihat pria itu—di kejauhan, berbicara dengan dua petualang lainnya, Spearman dan Heavy Warrior.
“Hrm,” Priestess menghela, seolah meniru pria itu. Priestess merasa sedikit kesepian—namun juga sedikit senang.
“…Heh-heh.”
Ya, tidak di ragukan: ini adalah hal yang bagus.
*****
“Kalau begitu, aku pergi.” Goblin slayer berlata kepada Gadis Sapi. Dia sedang  berada di dalam ruangannya, melakukan pemeriksaan cepat terhadap perlengkapannya. “Aku akan telat malam ini. Aku nggak perlu makan malam.”
Dia memasang pedang pada pinggulnya dan mengencangkan perisai pada lengannya, memakai pelindung kaki dan menggantung tas peralatan pada ikat pinggang, dan akhirnya memakai helmnya.
Dia telah selesai berpakaian dan bersiap untuk pergi berpetualang, namun Gadis Sapi sudah terbiasa dengan semua ini. “Oke, baik,” hanyalah itu jawabannya.
Goblin Slayer telah membantu melatih beberapa petualang pemula, akan tetapi, hal inilah yang dia lakukan ketika dia pulang. Kenyataan bahwa dia mau pulang—apakah ini adalah caranya dia untuk memberikan perhatiannya?
“Paman bilang dia punya urusan, jadi dia akan telat juga. Kurasa aku akan di sini aja sendirian…”
“Jangan lupa kunci pintu. Tutup pagar dan tutup tirai jendela.”
“Aku tahu. Kamu ini khawatiean banget.” Gadis Sapi tertawa kecil dan Goblin Slayer terdiam. Gadis Sapi menggunakan kesempatan ini untuk membersihkan debu pada armor pria itu.
Goblin Slayer bergumam “Hrm”—apakah dia tidak menyukai hal ini?—dan kemudian dia memutar kepalanya dari samping ke samping, memeriksa pergerakan helmnya.
“Aku ini sudah siap,” Gadis Sapi berkata. “Tapi kamu gimana? Apa kamu bawa dompetmu? Itu benda paling penting loh.”
“Erm…”
Dia merogoh isi tasnya menuruti. Kantung kecil berisi koin itu berada di sana.
“Aku bawa.”
“Baguslah!” Gadis Sapi memegang pundak pria itu dan memutarnya. Dia membenarkan ikatan yang berantakan pada helm pria itu. “Aku bisa datang menjemputmu kalau kamu mabuk banget,” dia berkata, “Tapi jangan sampai membuat masalah pada temanmu ya?”
Kata teman membuat Goblin Slayer sedikit memiringkan kepalanya, namun setelah beberapa saat, dia menjawab. “Oke,” Dan mengangguk. “Aku nggak akan membuat masalah.”
Goblin Slaher tidak membawa sedikitpun cahaya seraya dia berjalan di jalanan dari kebun ke kota, kemudian dari kota menuju rumah makan. Melintasi lahan gelap adalah bagian dari latihannya, dan ketika dia mencapai kota, dia tidak akan membutuhkan cahaya.
Rasa heran yang berbeda melihat keramaian kota di senja hari yang menyambutnya: adalah sesuatu yang asing baginya, dan dia terus melangkah melewatinya.
Orang-orang saling mendorong dan berdesak-desakan. Tidak hanya petualang, namun juga pengelana dan juga pekerja yang membangun fasilitas bangunan latihan, mereka terdapat di segala arah.
Goblin Slayer terus melangkah, melirik ke sini dan ke sana, hingga dia melihat sebuah papan tanda yang mereka minta dia untuk mencarinya.
“…Hmph,” Dia mendengus seraya dia merajut langkahnya di keramaian, akhirnya berhasil terpisah dari keramaian. Pada saat yang sama, dia merogoh tas peralatannya, memastikan bahwa dia tidak menjadi korban pencopetan juga.
Sebuah tulisan KAPAK BERSAHABAT tertulis pada papan tanda itu, dan bentuk papan itu sendiri seperti sebuah golok.
Goblin Slayer membuka pintu berayin dan dalam sekejap di serang dengan ramainya suara yang memekikkan telinga. Ruangan ini di terangi oleh cahaya kemerahan dari banyak lampu, dan banyak dari meja yang ada di sini telah penuh.
Bangunan ini sendiri lebih kecil di banding dengan kantor cabang Guild, tetapi juga, bangunan Guild merupakan tiga bangunan yang menjadi satu. Berdasarkan sudut pandang sistem lama, yang di mana tempat ini memiliki rumah makan pada lantai pertama dan sebuah penginapan pada lantai kedua, kapak bersahabat ini cukuplah besar.
Tempat ini dulunya merupakan penginapan para petualang yang berfungsi juga sebagai tempat mencari kerja—namun sekarang itu semua hanyalah bagian dari sejarah. Sistem Guild sudah di terapkan secara luas, dan para petualang yang sebelumnya tidak lebih dari sekedar preman jalanan, kini telah mendapatkan status publik.
Bahkan hari ini, terdapat beberapa toko yang bekerja sama dengan Guild untuk menawarkan quest, namun walaupun begitum penginapan para petualang terus merosot.
Namun juga, konon katanya rumah makan legendaris The Golden knight tidak pernah sekalipun menawarkan satu quest, tetapi tetap saja…”Hei, Goblin Slayer! Kamu datang!”
Seraya petualang berarmor ini berdiri di depan pintu, sebuah suara kuat memanggilnya. Helmnya berputar, memeriksa bagian dalam rumah makan seolah sedang mengawasi debuuah gua yang baru saja dia masuki. Dia sana—di sanalah sumber suara itu.
Di sebuah sudut rumah makan, di sebuah kursi di mana dia dapat melihat keseluruhan ruangan, duduklah seorang pria tampan dan tangguh, yang saat Ini sedang melambaikan tangannya.
“Di sini, di sini!”
“Kamu telat cok! Kami sudah mulai duluan!”
“Maaf,” Goblin Slayer mendengus.
Gelas yang sudah di tuangkkan hampir setengah kosong, dan beberapa camilan telah di habiskan. Namun petunjuk terbesar adalah wajah kedua petualang itu sudah terlihat mabuk.
Goblin Slayer duduk dengan sedikit canggung pada meja bundar itu.
Kedua pria itu menggunakan pakaian sehari-hari; hanya Goblin Slayer sendiri yang menggunakan armor. Adalah mustahil untuk menganggap ini sedikitpun tidak lucu. Tidak seperti banyak orang-orang muda yang penuh dengan mimpi, petualang tidak selalu pergi berkeliling kota dengan armor lengkap.
Ya, Spearman dan Heavy Warrior sudah cukup berpengalaman, hingga sekarangpun mereka masih membawa pedang pendek di pinggul mereka. Lirikan kecil yang mengarah mereka kemungkinan berasal dari pengelana yang tidak terbiasa dengan adat para petualang.
Ketiga pria ini cukup terkenal dengan : Perbatasan terkuat, Spearman. Perbatasan paling baik, Goblin Slayer, dan pemimpin party perbatasan paling keren, Heavy Warrior. (Alasan mengapa mer3ka tidak dapat fi sebut dengan “Tersohor” adalah karena salah satu dari mereka…)
“Kenapa kita nggak pergi ke rumah makan Guild?” Goblin Slayer bertanya.
“Karena aku nggak mau ada rumor yang tersebar kalau aku mengadakan pesta dengan seseorang yang bahkan nggak mau melepas armornya.” Spearman melotot kepadanya.
“Ngarang aja dia itu,” Heavy warrior berkata dengan segera. “Dia cuma malu kalau ada orang lihat dia minum bareng kamu.”
“Benarkah?”
Terutama nona resepsionis itu, kalau kamu paham maksudku.”
“Ah, banyak bacot!” Spearman menggerutu. Kemudian dia menujuk menu yang ada di dinding dengan jempolnya. “Buruan pesan sesuatu.”
“Ya,” Goblin Slayer berkata, mempelajari menu. Terdapat setidaknya selusin jenis alkohol, dari bir putih, fire wine, hingga anggur.
“…….Hmmmm.” Goblin Slayer bergumam.
“Dengar,” spearman berkata dengan helaan lelah. “Di saat seperti ini kamu itu nggak perlu pikir panjang. Pilih aja bir putih!”
“Kalau begitu, bir putih.”
“Bagus! Hei, nona! Tiga bir putih!”
“kamu yang mimpin, huh?”
Heavy Warrior tidak dapat menahan senyuman dan tawaan kecil.
“Apa?” Spearman melotot, namun Heavy Warrior menjawab dengan tenang, “Nggak apa-apa.”
Seorang pelayan membawakan tiga gelas yang terisi penuh dengan bir putih. “Ini dia, tiga bir putih! Selamat menikmati!”
Sang pelayan adalah seorang centaur yang masih muda. Seseorang harus berhati-hati di kala dirinya mabuk untuk tidak memanggilnya seorang Padfoot. Centaur adalah kaum dengan harga diri tinggi dan tidak memiliki telapak lembut di kaki mereka.
Kemungkinan sama dengan minotaurs, yang beberapa dari mereka menjadi ber-doa. Walaupun kaum minotaur biasaanya tidak mempedulikan hal seperti itu…
Namun mari kembali pada cerita kita.
Sang pelayan meletakkan gelas, dadanya yang besar berayun, kemudian dia melngkah pergi (dengan keempat kakinya), ekornya berayun. Adalah mengagumkan untuk melihatnya bergerak dengan begitu lincahnya di tengah keramaian.
Memperhatikan bagian belakangnya yang berotot dengan seksama, Heavy Warrior menghela. “Aku tahu tetek itu bagus, tapi bokong lebih bagus.”
“Huh, jadi itu alasannya kenapa kamu suka banget sama teman knightmu itu—dia itu kayak kuda!”
“Dia nggak ada hubungannya dengan ini.” Heavy Warrior terdiam beberapa saat dan kemudian berkata, “Aku rasa kita nggak akan bisa membicarakan hal seperti ini di rumah makan Guild ya?”
Kamu tidak akan pernah mengetahui kapan seorang wanita akan memperhatikan—atau mendengarkan. Heavy Warrior menghela dan memegang bir putihnya, membuat birnya bergejolak.
“Bagaimana kalau bersulang?”
“Untuk apa?” Goblin Slayer berkata pelan. Dia juga memegang birnya.
“Er… Ah, entahlah. Terlalu merepotkan untuk di pikirkan. Yang seperti biasanya saja.”
Spearman mengangguk, mengikuti arahan rekannya dan mengangkat gelasnya.
“Untuk kota kita!”
“Untuk dadu para dewa!”
“Untuk pentualang.”
“Bersulang!” mereka berteriak dan meneguk gelasnya.
*****
Seseorang—tidak satupun dari mereka yang mengetahui siapa—menyarankan untuk berjalan keluar untuk menghilangkan sedikit rasa mabuk.
Jalanan penuh dengan khalayak yang menikmati beberapa anggur dan sekarang memenuhi kota. Ketiga petualang melewati keramaian, hingga akhirnya mereka telah tiba di tepi sungai.
Sungai bergemerisik di samping mereka dan bintang yang menyinari dari langit. Dua bulan menerangi mereka.
Angin malam terasa sangat lembut pada tubuh mereka yang hangat karena alkohol. Adalah mustahil untuk bersedih hati dalam malam seperti ini.
Sangatlah wajar untuk bersenandung satu atau dua lagu.

Biarlah bumi porak-poranda dan angin semakin kencang
Dan biarkanlah dunia menjadi gelap selamanya
Tidak ada sedetikpun bagi permata berkilau ini
Dengan empat cahaya terangnya untuk tidak bersinar
Karena aku berjalan pada jalan yang engkau hendaki
Seraya daku bersumpah, bersama dengan temanku ini.

Dari ujung bumi hingga kembali menuju angin berkumpul,
Walaupun semua hanya mimpi, daku tetap pergi
Ke empat cahaya terang permata ini yang tidak pernah redup
Ataupun melemah ataupun sirna
Dan kami, tidak akan pernah melupakannya
Teman kami seraya kami melangkah.

Adalah sebuah lagu keberanian militer yang hampir terlupakan dari jaman dulu sekali. Seorang penyair dengan kecapinya membuat lagu ini terdengar indah dan berani, namun ketiga petualang mabuk ini cukup beruntung jika nada lagu mereka bisa selaras.
“Apa-apaan?” Spearman tampaknya telah lelah setelah menyanyikan beberapa sajak, karena dia berhenti bernyanyi.
Tatapannya mengarah pada Goblin Slayer. Sesuatu mengusiknya.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Apa maksudmu?”
“Kamu tahu maksudku!”
Ahh, dia sudah terlalu mabuk. Heavy Warrior berpikir, menatap bintang-bintang.
Haruskah mereka membawa Witch itu bersama mereka? Bah. Wanita itu haanya akan melamun menatap kejauhan. Mungkin tersenyum ambigu. Tidak, kamu tidak dapat mengandalkan wanita itu di saat seperti ini.
“Maksudku resepsionis itu bego! Di tambah lagi kamu punya elf itu dan gadis kebunmu dan priestess itu! Kamu ini bermandikan wanita!”
“…”
Goblin Slayer tidak berbicara selama beberapa saat. Akhirnya, dia berkata pelan. “Aku rasa nggak akan ada sesuatu yang terjadi sampai semua goblin musnah.” Dia memberikan jeda sesaat. “Aku…”
Kemudian dia terdiam. Spearman melototinya dari samping.
Adalah hal yang dapat di mengerti.
Tidaklah sulit untuk menerka masa lalu apa yang telah di lewati pria bernama Goblin Slayer ini.
Oleh karena itu, Spearman menghela dengan dramatis.
“Itu dia.”
“Goblin?”
“Bukan bego.” Spearman mendengus. Heavy Warrior tertawa terbahak-bahak.
Kemudian petarung berotot itu mengangguk dan berkata, “Yah, bukannya aku nggak ngerti sih.”
“Oh yeah?”
“Yeah. Itu seperti…” Heavy Warrior melebarkan tangannya mengarah langit, seolah mencari sesuatu yang tak kasat mata. “Seperti, seorang pria ingin bebas kan? Raja pada wilayahnya sendiri.”
“Raja, huh!” Spearman menyeringai seraya mereka berjalan. Dia tidak bermaksud untuk mengejeknya; itu adalah seringai memahami. “Kedengarannya bagus. Ada cerita lama tentang tentara bayaran yang menjadi raja.”
“Sayangnya aku nggak terlalu pintar,” Heavy Warrior berkata, memberikan sebuah tepukan pada kepalanya sendiri.
“Kalau kamu belajar, kamu akan bisa.” Goblin Slayer berkata. “Kamu juga punya uang. Itu artinya kamu cukup cerdas.”
“Masalahnya itu, Aku nggak punya waktu.” Heavy Warrior mengangkat bahunya, dan pedang pada pinggulnya, yang di mana selalu dia pakai walau sedang mabuk sekalipun, berderik. “Dan kamu nggak bisa mulai belajar setelah kamu menjadi raja. Itu artinya kamu raja yang bodoh, dan rakyatnya akan bernasib jauh lebih buruk dengan pemimpin yang tidak berotak.”
“Ya.”
“Tapi kalau aku mulai belajar sekarang, aku nggak akan bida berpetualang, dan itu akan membuat keseluruhan partyku kesulitan.”
“Begitu,” Goblin Slayer berkata. Dia melipat lengannya dan bergumam penuh pikiran. Akhirnya, dia mengambil kesimpulan: “Memang sulit.”
“Benar.” Heavy Warrior berkata. Sulit untuk membuatmu menggantungkan senjata dan perlengkapan dan segalanya. Akan tetapi, suaranya, terdengar ringan dan ceria. Ujung bibirnya yang melipat ke atas adalah bukti dari senyumnya.
“Tapi itu bukan berarti keadaan sekarang itu membosankan.”
“Apalagi kamu punya wanita knightmu itu kan?” Spearman menyela.
“Diam!” Heavy Warrior menendangnya.
“Ow!” Spearman berteriak. Otot para warrior yang terlatih sangatlah berkualifikasi sebagai sebuah senjata.
Heavy Warrior menghiraukan teriakan itu, bersandar pada pagar jembatan di mana mereka berada. Goblin Slayer berdiri di sampingnya.
“Aku rasa itu bukanlah hal yang jelek.”
“…”
“Benar.”
“Kurasa mungkin memang benar.” Heavy Warrior berkata, menyambut ucapan Goblin Slayer dengan senyuman.
“…Yeah. Aku rasa aku nggak keberatan dengan keberadaannya.”
“Feh! Kalian pria bebas ini beruntung sekali!” Spearman berkata dengan jentikan lidahnya. Dia menyandarkan punggungnya pada pagsr dan menatap bintang-bintang. Dia menyipitkan matanya untuk melihat cahaya, yang berada jauh di bbalik angkasa.
“Kamu itu terlalu serakah,” Heavy Warrior mengejeknya.
“Bego,” Spearman membalas. “Sebagai pria, kamu terlahir dengan hasrat pada dua hal: wanita cantik dan kekuatan tertinggi. Apa lagi selain itu yang dapat kamu kejar dalam kehidupan?”
“Kamu terdengar seperti salah satu anak kecil itu…”
Apakah Rookie Warrior atau Scout Boy yang dia maksud? Tujuan untuk menjadi terkenal sebagai petualang terkuat adalah impian para pemuda.
“Yeah, yang terkuat.” Spearman berkata, hampir cemberut. “Karena aku percaya di saat aku menjadi yang terkuat, aku akan bisa melakukan apapun.” Dia meludah mengarah angkasa—walaupun itu tidak akan mengubah lemparan dadu para dewa. “Wanita akan mencintaiku, orang-orang akan berterima kasih kepadaku, dan aku akan bisa membuat dunia lebih baik. Nggak ada yang salah dengan itu kan?”
“Mencintaimu? Wanita beneran?” Heavy Warrior mendengus. Mungkin sebuah balasan kecil dari sebelumnya.
“Pastinya!”
“Hmm,” Goblin Slayer bergumam. “Aku nggak bisa membayangkannya.”

“Ah, kamu diam saja!” Spearman melirik mengarah Goblin Slayer seraya kepalanya terus mendongak melihat angkasa. Seperti biasanya, petualang itu menggunakan topeng besinyya. Helm bajanya. Tidaklah mungkin untuk mengetahui ekspresi apa yang tersembunyi di balik helm itu.
Aku yakin gadis resepsionis itu pasti tahu.
Adalah sebuah bukti akan seberaba banyaknya dan seberapa seringnya mereka telah berbicara bersama. Spearman berpikir: jika dirinya memakai sebuah helm, apakah gadis itu akan mengetahui ekspresinya?
Dia menghirup udara dalam dan menghembuskannya. “Terus bagaimana denganmu, Goblin Slayer?” dia bertanya. “Mimpimu sewaktu kecil apa?”
“Aku?”
“Memangnya ada orang lain di sini yang membunuh begitu banyak goblin sampai dapat julukan seperti itu?”
“….Kurasa kamu benar.”
Goblin Slayer menjadi diam, menatap sungai. Bahkan di dalam cahaya dari bulan kembar, sungai itu terlihat hitam dan kelam, layaknya sebuah tinta yang tertumpah. Dari manakah asal sungai ini, dan ke manakah perginya? Dia mengingat bahwa dia dulunya pernah bertanya hal itu kepada kakak perempuannya.
Kakaknya mengatakan bahwa sungai berasal dari gunung dan mengalir menuju laut. Dulunya dia berpikir untuk pergi mengikuti arusnya untuk mencapai sumber sungai ini, agar dapat melihatnya secara langsung. Namun tampaknya dia tidak akan mempunyai kesempatan itu lagi sekarang.
“…Aku ingin menjadi petualang.”
“Huh!” Spearman menyikut Goblin Slayer. “Berarti impian besarmu sudah terwujud kan?!”
“Belum,” Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala. “Masih Sulit.”
“Sulit, huh?”
“Ya,” Goblin Slayer mengangguk. “Nggak mudah untuk di wujudkan.”
Benar Heavy Warrior menambahkan pada dirinya sendiri. Dia menghela napas. “Apa yang kamu ingin lakukan, apa yang kamu harus lakukan, dan apa yang kamu dapat lakukan nggak selalu sejalan kan?”
“Itu cukup untuk membuat orang jadi gila,” Spearman menyetujui.
Ketiga pria kembali terdiam, melihat bulan kembar. Angin berhembus melintasi sungai, penuh akan janji harapan musim panas.
Apa yang kita inginkan.
Untuk menjadi warrior terkenal. Pahlawan besar atau raja; menjadi bagian dalam sejarah dan legenda.
Untuk mencari benda dari Jaman para Dewa, menyelamatkan permaisuri, melawan naga, dan menyelamatkan dunia.
Mereka ingin menjelajahi reruntuhan tersembunyi, menemukan rahasia dunia dan membeberkan semua kepada khalayak.
Mereka ingin di kelilingi oleh wanita-wanita cantik, di cintai, di kagumi.
Mereka ingin memegang senjata yang telah benar-benar mereka kuasai, melakukan aksi kekuatan yang akan di perbincangkan hingga beberapa generasi berikutnya yang akan datang. Seseorang, tidak peduli apapun tugasnya akan berkata, Dia. Dia bisa melakukannya.
Kemungkinan besar, pada titik ini, mereka menyadari, bahwa kisah seperti itu bukanlah milik mereka.
Mereka adalah Silver, peringkat ketiga, tingkat petualang tertinggi yang berkeliaran di luar. Dan ini sungguh berarti bagi mereka. Mereka tidak pernah melupakan pencapaian itu atau merasa bahwa menjadi Silver sangat merepotkan dan akan lebih baik untuk tetap menjadi tingkat Bronze atau bahkan Steel.
Akan tetapi.
Akan tetapi, sungguh…
“Jadi…”
Dia adalah Goblin Slayer.
Dia bukanlah bocah berambut merah.
Dan itu adalah alasan yang cukup.
“…Paling nggak, aku ingin membiarkan gadis itu melakukan apa yang dia mau.”
Ketiga pria mengangguk.