BOCAH WIZARD BERAMBUT MERAH
(Translater : Zerard)

“Saya tidak tahu. Saya rasa itu terlalu berlelbihan untuk satu orang…”
“Oh yeah? Aku tahu ceritanya. Seperti bagaimana pahlawan kedua bertarung dengan Demon Lord seorang diri beberapa tahun yang lalu!”l
“Benar, tapi mereka tingkat Platinum. Saya rasa kamu lebih baik mulai membuat atau mencari party.”
“Nggak ada petualang hidup yang bisa menerima bantuanku.”
“……….Hmmmm ini jadi cukup sulit.”
Gadis Guild duduk di belakang meja resepsionis dari bangunan Guild yang saat ini sedang kosong, dan sedang memutar kepangnya.
Matahari telah lama terbenam, dan tidak ada petualang yang terlihat. Siapapun yang belum pergi berpetualang tentunya sedang tidur ataupun menikmati hari libur. Gadis Guild adalah satu-satunya pegawai yang masih berada di sana.
Dalam keadaan biasa, Gadis Guild dapat—dan mungkin seharusnya—mengusir bocah petualang yang berdiri di sana yang mencari sebuah quest.
“…Saya rasa tidak ada lagi yang bisa di lakukan.” Gadis Guild berkata.
Kenapa aku bertingkah seperti ini?
Gadis Guild berdiri dari kursinya dengan helaan napas.
“Saya akan membuat teh.” Dia memberikan sebuah kedipan dan berputar menuju ruang persediaan di belakang. “Lagipula, aku juga lagi menunggu.”

*****
Malam telah tiba ketika Goblin Slayer dan yang lainnya melewati gerbang kota perbatasan.
Cahaya telah berhenti menyinari jalanan yang sekarang kosong, satu-satunya pencahayaan adalah bilan dan bintang.
“…Oh, uh, ah, ki-kita sampai…?”
“Iya Telinga Panjang, kita sampai.”
Nona Cleric, Tampaknya kita telah sampai.”
“Hmm… Ughh…”
Mereka benar-benar terlihat lelah. Telinga High Elf Archer melemas terjatuh. Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah menahan kelopak matanya agar tidak tertutup.
Sedangkan untuk Priestess, dia sudah tertidur beberapa kali selama perjalanannya di atas punggung Lizard Priest.
Ketiga pria, berlumuran dengan darah, keringat, dan lumpur dari pertarungan, saling bertukar pandang dan mengangguk.
“Mungkinkah saya dapat mempercayakan nona cleric kita kepada anda, tuanku Goblin Slayer?”
“Ya. Bagaimana dengan archer kita?”
“Serahkan padaku. Ayolah Telinga Panjang, tahan sedikit.”
“Mmph… Ngantuk banget… Aku mau…rebahan bentar…”
“Tunggu sampai kamu sampai kamarmu dulu. Tengah jalan bukan tempat untuk tidur.”
Dwarf Shaman mengerahkan tubuhnya yang kecil untuk membantu sang elf berdiri.
Mereka sedang menuju lantai kedua dari Aula Guild yang juga berperang sebagai penginapan. Sungguh langka bagi para petualang untuk mempunyai rumanya sendiri. Kebanyakan dari mereka tinggal di sebuah penginapan atau menyewa ruangan di Guild.
“Jika begitu sampai berjumpa besok.” Lizard Priest berkata dengan gerakan tangannya yang aneh.
“Baik.” Goblin Slayer mengangguk.
Sang kadal raksasa itu berjalan mengikuti rekannya, sang gadis priestess sekarang berada di punggung Lizard Priest.
“…Oh Selamat…selamat…ma…lam,” Dia berkata pelan seperti sebuah bisikan. Goblin Slayer menggelengkan kepalanya.
“Hrm.”
Rekan.
Ucapan itu keluar dengan tiba-tiba dari pikirannya. Dia tidak membenci kata itu.
Dia tidak mengenal orang-orang ini setahun yang lalu. Dia hampir tidak mempercayai bahwa dia sudah mengenal mereka selama satu tahun penuh.
Apa yang akan di lakukan oleh dirinya yang lama di saat seperti ini?
Bagaimana dengan perlengkapannya? Strateginya? Waktunya? Persediaannya? Apa yang akan terjadi dengan itu semua jika mereka tidak ada di sini?
Tanpa mereka, berbagai macam pilihan Goblin Slayer akan sangat terbatasi.
Tak di sangka semua akan sangat berbeda.
Adalah pikiran itu yang mengambang di kepalanya seraya dia membuka pintu Guild.
“Erk…”
Sesuatu tidak terasa benar.
Cahaya.
Para pegawai seharusnya telah pulang sekarang, namun dia tetap kembali ke sini untuk membuat laporan.
Goblin?
Secara reflek, Goblin Slayer menarik sebuah golok yang dia masukkan ke dalam sarung pedangnya. Dia menunduk mengambil postur rendah dan berjalan masuk ke dalam bangunan hampir tanpa suara. Pintu tertutup di belakangnya.
Hampirlah komikal, namun Goblin Slayer tidak menganggapnya seperti itu. Siapa yang tahu jika bisa saja para goblin muncul di kota?
Tatapan Goblin Slayer terpaku pada sebuah bangku yang berada di ruang tunggu, dia tertarik ke sana di karenakan dia mengira telah melihat sebuah gerakan dari sebuah sosok yang meringkuk di bangku.
Tidak—itu bukanlah khayalannya.
Seseuatu menggeliat di sana; hampir tampak seperti manusia yang tertutup selimut.
Goblin Slayer mengambil langkah ke depan, menyebabkan sebuah decitan dari lantai.
“hr… Hrn?”
Kemudian, selimut di tarik, dan sebuat sosok secara perlahan duduk tegak.
Sosok itu menggosok matanya dan menguap kecil. Adalah seorang bocah dengan rambut merah.
Seraya dia duduk tegak, dia menyenggol tongkatnya, yang sedang bersandar di bangku, tongkat itu terjatuh ke lantai.
“…H-hey, mbak…Lima menit lagi—Huh?”
Dia mengedipkan matanya yang mengantuk dan melihat sosok yang berada di depannya. Kini matanya terbuka lebar, dia dapat melihat Goblin Slayer yang berdiri di kegelapan.
Apa yang dia lihat adalah seorang pria yang berlumur dengan lumpur dan darah, sebuah helm yang terlihat murahan dan armor kulit yang kotor dengan golok berkarat di tangannya.
“Ah.” Mulut bocah itu berucap, kemudian berubah menjadi jeritan. “Eeeeeeyaaaaahhh!”
“Hrm…”
Huh. Jadi bukan goblin.
Hanya itulah pikiran yang menggema di kepala Goblin Slayer.
“Eek?!” Pada saat yang sama, Gadis Guild memberikan teriakan kecil, dan terdengar suara kursi yang terjatuh. Goblin Slayer menoleh untuk melihat apa yang membuat Gadis Guild berlari ke dalam ruangan ini.
“Oh, uh, ah! Pa-pak Goblin Slayer?! Saya tidak tertidur, sungguh saya tidak tertidur!”
Dengan terburu-buru di merluruskan rambutnya, merapikan bagian kusut pada pakaiannya, dan tersipu malu sebelum terbatuk kecil. Akan tetapi, senuumnya, bukanlah senyum tempel yang biasa dia gunakan, melainkan senyum murni yang begitu indah.
“Ahem. Kerja bagus hari ini.”
Goblin Slayer melemaskan jarinya satu persatu hingga akhirnya dia melepaskan goloknya.
*****
Tanpa suara, Goblin Slayer mengambil sebuah cangkir teh yang di tawarkan dan meminum isinya dengan sekali teguk.
Dia bahkan mungkin tidak merasakan rasa dari teh itu, jika meminumnya seperti itu—namun Gadis Guild tersenyum.
Gadis Guild menjalani rutinitas kesehariannya: menyiapkan beberapa kertas, mengikis ujung dari pena, membukan tutup tinta, dan siap untuk mencatat.
“Jadi bagaimana? Apakah ada banyak dari mereka kali ini?”
“Ya,” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Ada goblin.”
“Berapa banyak?” Gadis Guild bertanya, penanya berdansa di atas kertas. “Oh, dan tolong jabarkan mereka sesuai dengan questnya ya.”
“Tiga puluh empat untuk quest pertama.”
Tiba-tiba dia terdiam. Gadis Guild berhenti dan mendengak ke atas melihatnya, dan Goblin Slayer menambahkan dengan pelan, “dan sepuluh atau kurang sudah hilang.”
“Hilang?”
“Kami masuk ke dalam, menyelamatkan tahanan, dan membanjiri sarangnya. Aku sudah memastikan adanya tiga puluh mayat. Aku rasa nggak mungkin ada lebih dari sepuluh yang masih tersisa.”
“Ah…”
Gadis Guild tertawa kecil, pipinya melembut menjadi sebuah senyuman. Ini bukanlah karena dia menyerah dengan quest yang di lakukannya—ini hanyalah sesuatu yang tidak dapat di hindari. Malah, Gadis Guild secara diam-diam merasa senang melihat pria ini masih seperti dirinya yang biasa.
“Dan bagaimana dengan quest keduanya?”
“Ada goblin,” dia melaporkan. “Dua puluh tiga dari mereka…”
Dan berlanjutlah, percakapan mekanikal tentang membasmi goblin. Membanjiri mereka, membakar mereka, mengubur mereka, atau hanya sekedar menyerang masuk dan membantai mereka. Senjata di lempar dan di tusukkan, di curi, di tukar, di paksa menggunakan peralatan apapun yang telah mereka siapkan sebelumnya.
“…”
Sang pria muda itu berada di belakang mereka, namun tampaknya dia mendengar setiap percakapan mereka.
Pria itu pastilah kurang lebih lima belas tahun. Dia memiliki rambut yang begitu merah yang seolah seperti terbakar api—namun rambut itu tercukur dengan rapi, dan jubahnya tampak baru juga. Tongkatnya tidak mempunyai sebuah permata yang menandakan sebuah kelulusan, karena itu, kemungkinan dia adalah salah satu mage yang pergi meninggalkan akademinya sebelum menyelesaikan pendidikannya.
Terlihat tertarik, dia merogoh barang miliknya seolah teringat oleh sesuatu. Dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dan pensil arang. Apakah dia akan mulai mencatat? Tampaknya dia murid yang cukup rajin.
Namun Goblin Slayer, tanpa menoleh ke belakang pada sang bocah, berkata, “Jangan.”
“?!”
Sang Wizard Boy hampir melompat dari kursinya. Dia tidak begitu merasa takut; dia memberikan tatapan marah pada Goblin Slayer dan menggerutu. “Aw, kenapa? Aku tahu semua orang berpikir kalau goblin itu monster kelas teri, dan mencatat sesuatu nggak akan melukai siapapun, kan?”
“Bisa saja.”
Goblin Slayer menjawab keluhan sang bocah dengan datar, dingin, dan pelan.
“Bagaimana kalau catatan itu jatuh ke tangan goblin?”
Dahi bocah itu berdenyut, dan lekukan alisnya terlihat cukup jelas walaupun dengan kurangnya pencahayaan.
“Apa kamu mengira aku akan kalah dengan goblin?!”
“Kemungkinan itu selalu ada.”
“Lancang sekali kamu—?!”
Sang bocah melompat dari kursinya tanpa pikir panjang. Goblin Slayer berputar mengarahnya dengan ekspresi lelah yang tampak jelas.
Mungkin ini waktu yang tepat?
Gadis Guild memberikan senyum yang di paksa dan menunjuk pada teh pria muda itu.
“Apa anda perlu teh lagi?”
“Oh, uh, nggak, Aku…” Terjerat oleh amarahnya, sang bocah menggaruk pipinya merasa bersalah. “Aku rasa… Iya aku mau.”
“Ini dia.” Terdengar suara cairan yang mengalir seraya Gadis Guild menuangkan teh yang mengepul masuk ke dalam cangkir sang bocah. Sang wizard muda itu memperhatikannya dengan seksama. Ya, Gadis Guild dapat melihatnya sekarang: bocah ini terlihat seperti lima belas tahun.
Yah, aku rasa dia akan menjadi petualang.
Apakah mimpi atau harapan? Uang atau ketenaran? Beberapa alasan itu sangat layak, sedangkan beberapa adalah keserakahan dan ambisius.
Gadis Guild menuangkan teh lagi ke dalam cangkir Goblin Slayer.
“Terima kasih.”
“Jangan di pikirkan! Tidak perlu berterima kasih.”
Wiard Boy berkedip melihat ekspresi Gadis Guild yang bersemi. Adalah ekspresi yang sama dengan eskpresi sebelumnya ketika dia menyambut petualang berarmor yang aneh ini. Sang wizard tidak dapat terlalu mengutarakannya, tetapi senyum itu jelas berbeda dengan apa yang di berikan Gadis Guild kepadanya ketika pertama kali sang bocah mendaftar.
Dia menelan liurnya kemudian dengan ragu membuka mulutnya.
“Jadi kamu…yang di panggil…Goblin Slayer?”
“Beberapa orang memanggilku seperti itu.” Dia mengangguk. Wizard Boy mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Di balik kacamatanya, mata hijaunya berkelip dan semali melebar, memantulkan sosok Goblin Slayer.
Gugup, tegang, kesenangan, ketidaksabaran, dan kebimbangan semua terlihat di wajah Wizard Boy dan dia berkata, “Kalau begitu ajari aku cara membunuh goblin!”
“Nggak.” Goblin Slayer menjawab datar.
“Kenapa?!”
“Kalau kamu nggak berusaha melakukan apapun sampai kamu di ajari, maka ajaranku nggak akan merubah apapun.”
“Huh?!”
Dengan itu, Goblin Slayer mengangkat cangkir teh baru, menegunya dengan sekali teguk. Gluk.
Dia menaruh cangkir itu dengan Kling dan beroutar mengarah Gadis Guild. Dia bahkan tidak melihat ekspresi bingung pria muda itu seraya Goblin Slayer mengambil kertas yang di berika Gadis Guild. Laporannya telah selesai; Goblin Slayer hanya tinggal membubuhi tanda tanganya.
Dia mengambil pena dan menuliskan namanya. Kemudian dia memberikan tatapan tanda Tanya kepada Gadis Guild. Mengapa Gadis Guild berada di sini hingga begitu larut? Butuh waktu dua sampai tiga detik baginya untuk menemukan jawabannya.
“Maaf. Terima kasih bantuannya.”
“Jangan risaukan itu. Anda selalu bekerja keras demi kami. Oh, hadiah anda…”
“Bagi secara merata. Berikan saja bagianku.”
“Baik!”
Gadis Guild berputar dengan gerakan lincah yang tidak menandakan kelelahan atau rasa kantuk. Dia membuka brangkas, mengambil kantung penuh dengan koin, dan menimbangnya dengan sebuah timbangan. Goblin Slayer memperhatikan kepangnya berayun di punggungnya dan bergumam. “Ah. Ada party yang baru-baru saja mendaftar.” Dia berpikir sejenak kemudian menambahkan, “Party itu mempunyai gadis rhea.”
“Oh, mereka?”  Sebuah tawa kecil terlepas dari bibirnya. Gadis Guild merasa senang Goblin Slayer tidak dapat melihat wajahnya. “Mereka baik-baik saja, yah mereka mendapatkan satu atau dua gigitan tikus raksasa. Tapi mereka punya anti racunnya.”
“Begitu.”
“Apa anda merasa lega?”
“Ya.”
Gadis Guild berputar ke belakang dengan gembira di wajahnya dan meletakkan sebuah nampan dengan kantung kulit penuh koin emas di depan Goblin Slayer. Dia mengambilnya tanpa repot-repot menghitungnya. Kantung itu menimbulkan suara berat dari dentingan emas di dalamnya.
Pembasmian goblin tidak menghasilkan banyak uang, bahkan hasilnya semakin kecil jika di bagi dengan lima orang. Namun bagaimana jika seseorang mengkalikan jumlah itu dengan sepuluh? Adalah sama dengan jumlah dua pembasmian quest goblin. Dua kali lebih banyak dari tabungan penduduk desa perbatasan yang mereka kumpulkan dengan membanting tulang.
Seraya dia memasukkan kantung itu ke dalam tasnya, Goblin Slayer mengangkat dagunya mengindikasikan. “Siapa dia?”
“Dia baru saja mendaftar menjadi petualang.”
“Kenapa dia di sini?”
“Yah, dia…” Gadis Guild melihat sekitarnya dan kemudian memiringkan badannya di atas meja respsionis, mendekati helm baja itu seolah dia ingin membisikkan suatu rahasia. Kain bajunya tertarik, semakin membuat daerah dadanya terlihat. “Dia bilang dia hanya ingin membunuh goblin…”
“Apa dia mempunyai party?”
Kepangnya berayun dari samping ke samping seraya Gadis Guild menggelengkan kepalanya.
“Sepertinya tidak ada.”
“Bodoh.”
Gadis Guild melihat Goblin Slayer seolah tidak mengetahui harus berkata apa. Apa kamu sendiri tidak seperti itu? Adalah yang ingin dia katakan. Gadis Guild memijat dahinya.
“Jadi apa yang akan kita lakukan, pak Goblin Slayer?”
“Hrm…”
Tatapan memohon, suara meminta.
Gadis Guild terdiam, hanya terdengar suara napas yang lembut dan gesekan armor. Sumbu lampu membara redup. Dari lantai dua terdengar lantai yang berdecit. Apakah jeritan bocah itu sebelumnya telah membangunkan seseorang, atau seseorang hanya sedang berjaga malam? Apapun itu, suatu hal yang akan menggangu waktu istirahat para petualang adalah sesuatu yang darurat atau sesuatu yang bodoh.
“Kamu.” Sang pria muda, yang terus manatap lantai, mendengak ketika Goblin Slayer berbicara kepadanya. “Kamu punya kamar?”
“Er, uh…” Dia tidak yakin bagaimana menjawabnya. Dia membuka dan menutup mulutnya, lagi dan lagi, dan membenarkan posisi kacamatanya.
Goblin Slayer menunggu jawaban.
“…Aku nggak ngerti apa hubungan itu dengan semuanya.” Sang bocah akhirnya berkata.
“Begitu.”
Hanya itulah jawabannya kepada ucapan sang bocah, setelah itu Goblin Slayer berputar menuju Gadis Guild. Gadis Guild membentuk sebuah X dengan kedua jari telunjuknya dan menggelengkan kepalanya. Sangatlah jelas apa yang Gadis Guild maksud.
“Nggak ada ruangan yang tersedia?”
“…”
“Sekarang musim semi. Dia tidak akan masuk angin kalau di luar, tapi…”
Goblin Slayer berdiri. Sang bocah mendapati dirinya sendiri menatap sang petualang seraya dia pergi dengan langkah sigapnya. Akan tetapi, Goblin Slayer, tidak sedikitpun melirik pada sang penyihir muda itu seraya dia membuka pintu berayun Guild.
“Ikut denganku.”
Satu perintah pendek. Dengan itu, Goblin Slayer pergi menuju kegelapan kota, meninggalkan pria muda itu dibelakang.
Sang penyihir muda melirik cepat dari pintu menuju Gadis Guild, kemudian bergegas menuju pintu keluar.
“H-hei, tunggu aku! Apa sih yang dia pikirkan, menyuruhku mengikutinya seperti ini…?!”
Tiba-tiba dia berhenti. Dia berputar dan memberikan anggukan kecil kepada Gadis Guild.
“…Terima kasih. Atas tehnya.”
Kemudian dia berlari keluar. Terdengar decitan pintu ketika dia membukanya, membawa udara dingin masuk ke dalam.
“…Phew.” Gadis Guild menhela kembali dan berdiri. Dia mengumoulkan semua berkasnya dan memastikan berkas tersebut aman terkunci. Ya, para pegawai pada bar di lantai satu berada di sini, dan penjaga ruangan berada di lantai atas, namun dia adalah pegawai terakhir yang berada di meja saat ini.
Ini memberikan arti baru dari kata Lembur, namun dia tidak mengeluh. Dia mengambil sebuah jaket (sebuah jaket tipis yang dia bawa, karena sekarang adalah musim semi) dan memasukkan barang pribadinya ke dalam tas.
“Aku rasa sudah saatnya pulang.”
Dia tertawa kecil dan mematikan lampu dengan meniupnya seolah sedang memberikan sebuah ciuman.
*****
Hampir seolah terdapat sebuah lautan di luar pintu. Angina berhembus melewati rerumputan, bintang-bintang dan dua bulan bersinar di langit.
“Hmph.”
Goblin Slayer memberikan lirikan pada bulan hijau kemudian dengan cepat kembali melangkah. Sang bocah bergegas mengikutinya.
“H-hei, apa-apaan sih? Kamu mau bawa aku kemana…?” Suaranya terdengar tegang—mungkin di karenakan gugup atau takut.
“Ikut aku, nanti kamu tahu.” Goblin Slayer berjalan mengikuti jalanan, namun tidak sedikitpun melihat pemandangan di sekitarnya. Tidak mempedulikan cahaya bintang dan jalanan yang tertata rapi, adalah menakjubkan melihat dia yang tidak pernah memperlambat jalannya.
Pria muda itu, tidak terlihat senang, menendang sebuah batu kecil yang kebetulan berada di dekatnya, dan membuat suara kesal.
Akhirnya, mereka dapat melihatnya.
Jika lahan tersebut adalah lautan, maka ini adalah sebuah mercusuar, sebuah titik terang di kejauhan yang secara perlahan semakin mendekat.
Berbagai macam rupa bentuk mulai muncul dari dalam kegelapan. Sebuah gerbang kecil. Sebuah pagar, yang kemungkinan terbuat dari kayu. Beberapa bangunan tampak di balik baying-bayang. Sang pria muda, yang matanya mulai terbiasa dengan kegelapan malam, mengira dia telah mendengar lenguhan samar para sapi.
“Apa ini…kebun?”
“Memangnya apa lagi?”
“Hei, Aku kira… Maksudku, dari cara kamu berbicara, aku kira kita akan pergi ke suatu peginapan atau semacamnya.”
“Kamu salah.” Goblin Slayer membuka pagar seraya dia berbicara.
“Oh! Kamu pulang!” Walaupun gelapnya malam, suara yang menyambutnya hampir tampak seperti matahari yang bersinar.
“Whoa?!” Sang bocah terkejut, menggelengkan kepalanya ke kiri dan kanan mencari asal sumber suara itu.
Adalah seorang wanita muda, tubuhnya yang semok berlapis pakaian kerja. Wanita itu berlari dari suatu tempat.
Gadis Sapi memberikan tepukan bersahabt pada pundak Goblin Slayer, kemudian menghela.
“Selamat datang kembali.” Dia berkata.
“Ya.” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Aku pulang.”
Sebuah kata “Bagus” terucap dari Gadis Sapi yang di ikuti dengan anggukan. “Kamu sudah berpergian cukup lama kali ini,” dia berkata. “Bagaimana? Kamu nggak terluka kan?”
“Ada goblin. Tapi nggak ada masalah lain selain itu.” Kemudian dia menggerakkan helmnya sedikit. “Kamu belum tidur?”
“Heh-heh. Aku bergadang akhir-akhir ini.” Dia berkata dengan sedikit kebanggaan. Dadanya bergotang, dan sang mage muda itu menelan liurnya.
“Whoa, besar banget…”
“Hmm?”
Dia telah ceroboh, membiarkan ucapan itu terlepas dari bibirnya. Gadis Sapi mendengar gumamannya, dan sekarang mencondongkan tubuhnya lebih dekat untuk dapat melihatnya bocah itu lebih seksama.
“Wah, siapa ini?”
“Ee—yipes!” Sang bocah tersandung dan terjatuh ke belakang. Dia merasakan darah mengalir deras di wajahnya. Mulutnya terbuka dan tertutup.
“A-aku seorang petualang!”
Wajah dari wanita yang lebih tua itu begitu dekat dengan wajahnya. Aroma manis dari keringat bercampur dengan aroma rumput yang baru tercium olehnya.
“Dia masih baru.” Goblin Slayer berkata pendek, mewakilkan sang bocah, yang tampaknya tidak dapat mengucapkan namanya sendiri. “Sepertinya dia nggak punya tempat untuk tinggal.”
“Oh, yang benar?” Gadis Sapi berkata. “Begitu, begitu.” Dia mengangguk beberapa kali, seolah senang di karenakan sesuatu. “Yah, Aku nggak keberatan.”
“Terima kasih,” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Itu sangat membantu.”
“Serius, nggak usah di pikirin. Kamu memang begitu.”
“Aku mau berbicara dengan pamanmu juga. Apa dia masih bangun?”
“Mungkin.”
“Begitu.”
Goblin Slayer melewati Gadis Sapid an berjalan masuk ke dalam rumah. Dia benar-benar tampak seperti telah pulang.
Sekarang hanya tinggal pria muda itu yang tersisa. Dia melihat Gadis Sapi dari balik pagar kebun beberapa kali.
“…Dan siapa kamu? Istrinya?”
“Iya dong!”
“Nggak, kamu bukan.” Sebuah suara menyela dari belakang Gadis Sapi.
Gadis Sapi menjulurkan lidahnya seolah kecewa Goblin Slayer sudah mendengar ucapannya. Sang pria muda itu memberikan lirikan curiga.
“Yah, jadi apa sih yang terjadi?”
“Kamu nggak tahu?” Gadis Sapi tertawa. “Dia mau kamu tidur di sini.”
“Aku nggak ngerti sama sekali!”
“Aw, nggak usah khawatir. Ayo, masuk ke dalam.”
“Hentikan. Hei, lepaskan aku!”
“Ayolah, nggak usah keras kepala!”
Seorang mage pemula melawan petani veteran: dalam kontes kekuatan, pemenangnya sudah jelas.
*****
“Nggak.”
Terlebih lagi seorang petani tua yang jauh lebih berpengalaman.
Seorang pria berotot kuat duduk di meja pada ruang makan di rumah utama menolak permintaan Goblin Slayer dengan satu kata.
Di depannya adalah Goblin Slayer, dengan bocah berambut merah di belakangnya dan keponakan sang petani.
Adalah Gadis Sapi, bibirnya manyun, adalah pertama yang mendebat. “Oh, ayolah paman. Cuma satu malam aja. Kenapa nggak biarkan dia tinggal?”
“Sekarang, kamu dengar…” Sosok pria yang coklat terbakar matahari sedikit terkejut melihat wajah keponakannya yang tidak gentar. Bagaimana mungkin dia masih bertingkah seperti anak kecil? Tidak,  dia meralat dirinya sendiri, teman kecilnya sudah di curi dari dia. Paman menghela besar. “Seorang petualang yang baru mendaftar itu nggak berbeda dengan preman lainnya yang berkeliaran.”
“Hei!” Hal ini membuat marah sang bocah. Dia memukul meja dengan tinjunya, menyebabkan perkakas melompat, dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berkata, “Apa maksudmu pria tua?! Apa kamu bilang aku cuma sekedar pengemis?!”
“Diam.”
Hanya satu kata, yang di ucap secara datar dan lembut, akan tetapi ucapan itu memiliki kekuatan yang besar. Ucapan itu bahkan cukup kuat untuk mendiamkan seorang pria yang telah berhasil melewati neraka peperangan.
Dia adalah seorang pria yang memperhatikan bumi setiap harinya, yang hanya memikirkan keluarganya dan bekerja di kebunnya. Ucapannya memiliki weweang akan seorang yang telah melakukan ini bulan demi bulan, tahun demi tahun.
“Er…” Sang bocah menelan liurnya. Sang pemilik kebun memperhatikan sang bocah seolah dia adalah seekor gagak atau rubah.
“Amarah seperti itulah yang membuat aku nggak bisa dan nggak akan mempercayaimu.”
Tujuan dari sistem petualang dan Guild adalah persis di karenakan ini: para petualang adalah kumpulan orang-orang kasar, dan Guild akan memberikan mereka kredibilitas, sementara di waktu yang sama mencegah mereka melakukan kejahatan apapun. Hal ini di maksudkan untuk melindungi ketertiban publik.
Ya, tujuan mereka yang utama adalah pembasmian para monster, namun mengumpulkan para pengelana yang tidak mempunyai rumah dalam satu tempat adalah ide yang bagus. Dan benar, hal ini juga berfungsi untuk membatasi gossip…
Namun jika para petualang dapat mengikuti hukum, mendapakan uang, dan mungkin meraih reputasi, siapa yang dapat mengeluhkan hal itu? Tidak seperti pekerjaan lainnya, seberapapun berbahayanya berpetualang, paling tidak usaha mereka mendapatkan hadiah secara langsung.
Lalu bagaimana dengan pemula, pendatang baru, dan Porcelain, tingkat terbawah dari sistem peringkat? Kita tidak perlu membicarakannya; atau lebih tepatnya mereka jarang menjadi pembicaraan.
Adalah hal yang sudah sewajarnya, karena petualang itu masih belum mendapatkan kepercayaan siapapun. Menjadi petualang, bukanlah karena mereka preman tak berhukum. Namun seseorang harus mempunyai sopan santun untuk membuat semua perbedaan. Bagaimana mungkin seseorang dapat mempercayai pemuda yang sangat berdarah panas ini?
Dan ada sesuatu lainnya yang di pikirkan sang pemilik kebun.
“Aku punya wanita muda yang tinggal di sini bersamaku. Apa yang akan kamu lakukan kalau sampai terjadi sesuatu dengannya?”
“Paman, aku sudah bilang sama kamu, kamu terlalu khwatiran…”
“Kamu diam juga.” Dia memerintahkan, dan Gadis Sapi menutup mulutnya untuk mencegah ucapan lainnya keluar dari mulutnya. Aww, tapi—! Oh, ayolah—! Tidak ada rajukan yang akan menggoyahkan sang pemilik kebun.
“Kalau begitu,” Goblin Slayer memotong. Dengan lembut, dia mengindikasikan sebuah bangunan kecil di luar, yang sekarang telah terselimuti kegelapan. Adalah sebuah bangunan tua tempat di mana sang pemilik kebun menginjinkannya untuk tinggal. “Bagaimana dengan gudang yang aku sewa?”
“Kalau sesuatu terjadi kepadanya,” sang pria berkata, mengindikasikan keponakannya. “Apa kamu mau bertanggung jawab?”
Tidak. Goblin Slayer menjawab dengan gelengan kepala pelan. Kemudian dia berkata dengan tenang. “Itulah mengapa aku akan berjaga sepanjang malam.”
Sang petani menggerutu.
Apa yang harus dia katakan untuk menanggapi ini?
Apa yang sudah pria ini—bocah menyedihkan, yang tidak di kenal—telah lihat dan lakukan? Sang pemilik kebun tidak dapat menghiraukannya begitu saja.
Gadis Sapi dengan lembut meletakkan tangannya pada kepal sang pemilik kebun yang tidak menyadari dirinya sedang mengepal keras tangannya, dan berbisik kepadanya.
“Paman…”
“…Aku mengerti. Baiklah kalau begitu.”
Akhirnya, dia telah menyerah. Adalah hal yang tidak dapat di hindari. Apa yang harus dia lakukan, mengusir bocah itu ke dalam gelapnya malam? Memaksa bocah yang sudah jelas kelelahan untuk pergi tanpa tidur?
Sang petani tidaklah sekejam itu untuk membuat keputusan seperti itu.
Dia melepaskan tangan keponakannya dan menempelkan kedua tangannya pada dahi seolah sedang berdoa.
“Sebagai gantinya, kalian semua tidur yang nyenyak.”
“Maaf.”
“Jangan minta maaf. Kesehatan para petualang itu asset terpenting mereka kan?”
“Ya. Terima kasih banyak.” Goblin Slayer mengangguk tulus. Dia mengerti secara penuh bahwa permintaan maaf ataupun ucapan terima kasihnya tidak akan membuat sang pemilik kebun merasa gembira. Namun dia tidak ingin menjadi seseorang yang tidak berterima kasih atas pemberian seseorang kepada dirinya.
”Ah. Satu hal lagi.” Itulah mengapa Goblin Slayer merogoh isi tasnya, mengeluarkan sebuah kantung koin emas dan meletakkannya di atas meja. Kantung itu menimbulkan suara denting dari koin yang berbenturan di dalamnya. “Ini untuk bulan ini.”
“Uh-huh…”
Uang adalah benda yang sederhana. Uang jauh lebih berguna di banding barang lainnya yang di miliki seseorang. Namun apakah baik untuk menyelesaikan segalanya dengan uang? Merupakan sebuah pertanyaan yang sangat sulit.
Sang petani, masih tidak yakin untuk berkata apa, menghela dan mengambil kantung koin. Goblin Slayer memperhatikannya.
“Baiklah.” Goblin Slayer mengumumkan, berdiri dari kursinya. “Ayo,”
“Huh? Oh, y-yeah.” Sang bocah tidak mempunyai pilihan lain selain turut mengikutinya.
Gadis Sapi juga berdiri, dan menarik lengan Goblin Slayer.
“Hei,” dia berkata, “Apa yang akan kamu lakukan besok?”
“Tergantung dari questnya, tapi kita semua baru saja kembali. Aku rasa semuanya pasti ingin istirahat.”
“Aku nggak bertanya tentang semua orang, aku bertanya tentang kamu.”
Ihhh. Gadis Spai sudah terbiasa saat ini; dia menggaruk pipinya dan tidak berusaha lebih keras untuk mendapatkan jawaban darinya.
“Yah, nggak jadi.” Gadis Sapi bergumam dan tersenyum kecil, melepaskan lengan Goblin Slayer. Dia menggeleng kepalanya perlahan “Aku akan menyiapkan sarapannya untukmu besok. Tidur yang nyenyak ya!”
“Baik.” Goblin Slayer mengangguk. “Selamat malam.”
Kemudian dia membuka pintu, dia dan sang bocah pergi meninggalkan rumah.
Gudang Goblin Slayer berada di belakang kebun.  Gudang itu sudah cukup using, namun dia telah melakukan beberapa perbaikan yang di perlukan.
“Jadi mereka itu kenapa sih?” sang bocah bertanya dengan cemberut.
“Maksudmu?”
Sang pendatang baru melihat sekitaran gudang. Sebuah lampu berdebu menyinari merah menerangi ruangan yang berantakan. Rak penuh dengan benda yang tidak dia ketahui; udaranya penuh akan debu dan aroma samar dari obat-obatan. Sangatlah mirip dengan ruangan dari salah satu instruktur Akademi, pikir bocah itu. Dan dia membencinya.
Dan sebagai penambah rasa tidak sukanya, adalah sebuah tumpukan jerami yang di tawarkan Goblin Slayer sebagai penganti ranjang tidur. Ketika sang bocah bertanya akan bagaimana dia dapat tidur di atas jerami itu, Goblin Slayer berkata. “Pakai jubahmu sebagai alas.”
Sang bocah bergumam kalau itu akan membuat jubahnya penuh dengan jerami, namun dia tetap melakukannya.
“Jadi dia bukan istrimu. Dia bukan bagian dari keluargamu kan?”
“…Benar.”
Sang bocah berbaring di atas jerami dan terkejut mendapati jerami tersebut sangatlah empuk.
Dan yang menambahkan rasa kejutnya, dia melihat Goblin Slayer duduk di depan pintu.
“Tapi aku nggak pernah tahu apa yang di pikirkan dia.” Lanjut Goblin Slayer.
“Masksudmu apa?”
“Mereka adalah kenalanku dulu sekali. Seorang tuan tanah dan keponakannya. Secara obyektif, seperti itulah hubungan kami.”
Kemudian Goblin Slayer terdiam. Sang bocah menatapnya dari atas tumpukan jerami, namun tidaklah mungkin untuk mengetahui ekspresi yang ada di balik helm itu.
Sang bocah berhenti mengira-ngira dan melamun menatap langit-langit, kemudian dia berputar kembali dan melihat rak-rak yang penuh dengan berbagai macam benda. Tengkorak dari makhluk yang tidak di ketahui, botol penuh dengan cairan obat-obatan, dan tiga pisau lempar yang tidak biasa. Apa yang dia lakukan dengan semua ini? Adalah di luar kemampuan bocah untuk di bayangkan.
Setelah beberapa saat, dia berputar kembali dan melihat Goblin Slayer, yang tidak sedikitpun bergerak semenjak dia duduk. Sang bocah menghela napas.
“…Apa kamu nggak mau tidur?”
Jawaban dari pertanyaan itu datang dengan ucapan pelan yang mengerikan.
“Aku bisa tidur dengan satu mata terbuka.”
“Ihhh. Kamu yang menyuruhku untuk tinggal di sini, dan kamu masih mencurigaiku.”
“Nggak.” Helm Goblin Slayer sedikit bergerak. Sang bocah menyadari bahwa pria itu sedang menggelengkan kepalanya. “Ini untuk berjaga-jaga kalau goblin datang.”
“Apa?”
“Aku tidur di luar rumah utama. Akan sangat bermasalah kalau aku nggak bisa segera bertindak.”
“…Apa-apaan?”
“Kalau kamu mau membunuh goblin, paling nggak kamu harus melakukan ini.”
Sang bocah terdiam. Beberapa saat kemudian, dia berputar kembali. Lampu yang bergantung pada langit-langit menyinari sinarnya yang samar, berdecit pelan terhembus angin. Sang bocah menutup matanya, namun sinar merah yang samar menembus kelopak matanya. Walaupun sianr itu tidaklah begitu terang.
Memperhatikan api kecil itu, sang bocah memanyunkan bibirnya. “Kita nggak perlu ini.”
“Begitu,” Goblin Slayer berkata. “Matikan saja.”
“…”
“Tidur. Besok, Aku akan bawa kamu kembali ke Guild.”
Dengan itu, petualang aneh dengan armor anehnya ini terdiam.
Apa sih yang dia pikirkan? Sang bocah melihat curiga pada helm kotor itu, petualang itu begitu tegas hingga membuat sang bocah tidak mempunyai pilihan lain selain mengikutinya hingga saat ini, namun semua terlihat begitu janggal. Siapa yang ingin mengundang petualang pemula yang tidak pernah di kenalnya untuk tinggal di dalam kamarnya? Bahkan sampai berdebat dengan istri atau keluarga atau semacamnya karena ini?
Jika pria itu adalah seorang bangsawan tak berotak yang mempunyai banyak uang—jika dia adalah seorang wanita muda—maka semua akan lebih masuk akal. Namun apa yang akan pria itu dapatkan dengan menawarkan tempat tinggal untuk dirinya?
Atau dia adalah pria ini adalah salah satu dari orang-orang yang pernah dia dengar? Orang yang membujuk seorang petualang baru dan menghajar mereka untuk mendapatkan perlengkapannya?
Tapi dia tingkat Silver…
Tampaknya sangat tidak mungkin bahwa Guild akan mempertaruhkan reputasinya untuk berkonsipirasi dalam bisnis seperti itu. Sang bocah bahkan pernah mendengar di saat Guild belum di dirikan, para petualang terkadang akan lebih senang membunuh para petualang baru ketika mereka datang ke kota.
Tapi coba lihat armor orang ini. Helm itu. Kotor dan mengerikan banget.
Sang bocah membalikkan tubuhnya di atas jerami seolah ingin menjauh dari helm itu yang tampaknya menatap mati di dalam keremangan.
Apa orang yang kelihatannya seperti itu orang yang…baik?
“…Nggak mungkin.” Dunia tidak bekerja seperti itu. Sang bocah mengangguk pada dirinya sendiri, memegang sebuah pisau yang tersembunyi di balik bajunya.
Sial! Jangan pikir aku akan diam dan mati begitu saja…
Sang bocah tidak melonggarkan kewaspadaannya. Apapun yang di rencanakan petualang ini, dia tidak akan membiarkan dirinya terbunuh dalam tidurnya.
Merasa yakin, sang bocah tidak menyadari bahwa dirinya secara perlahan mulai tertidur.
*****
“…Hng… Huh?”
Ketika kesadarannya telah kembali, sang bocah mendengar suara Puound, pound, pound. Suara datar yang tidak biasa.
Hal pertama yang dia rasakan seraya dia duduk adalah suara jerami yang bergemerisik. Ruangan yang mengisi seluruh pengelihatannya yang buram tentunya bukanlah ruangan asrama Akademi.
Mereka nggak punya ranjang jerami di sana.
Dia mencari kacamatanya, yang dia letakkan di samping bantalnya—atau lebih tepatnya, di samping jerami di sebelah kepalanya—dan memakainya.
Matahari tersaring masuk di dalam gudang yang penuh dengan barang yang tidak di ketahui, butir debu berdansa di dalam kilaunya.
“Ahh… Benar…”
Oh yeah.
Dia telah tertidur di tempat “Goblin Slayer” atau siapapun itu.
Petualang aneh yang tidur di depan pintu telah menghilang. Walaupun, jika di lihat dari arah cahaya matahari. Subuh masih belumlah berlalu sepenuhnya.
“Sheeesh. Pria itu nggak ada masuk akalnya sedikitpun. Aw, sial… Sudah ku duga jeraminya bakal banyak yang nyangkut.”
Dia menjentikkan lidahnya. Dia berdiri dan mengambil jubahnya yang telah dia gunakan sebagai selimut.
Dia melirik sekitarannya dan kemudian—tanpa keraguan—mengibas jubahnya untuk membersihkan jerami yang tersangkut. Ketika dia memakainya kembali, dia masih dapat merasakan sensasi menggelitik di sini dan di sana, namun dia menghiraukannya dan pergi meninggalkan gudang.
“…Yikes. Dingin banget di luar.”
Musim semi barulah di mulai, namun angin terakhir dari musim dingin masih dapat terasa di pagi hari. Sang bocah mengangkat kerah jubahnya dan menggigil.
Sebuah kabut putih tipis mengambang di atas tanah, seperti sebuah susu yang tertumpah di keseluruhan kebun. Dia merasan seperti berada di tengah-tengah semua kabut itu.
Karena telah tiba pada malam hari, dia tidak mengetahui geografi kebun ini, namun dia memilih sebuah arah yang paling memungkinkan dan mulai berjalan.
Sesuai dugaannya, tidak lama baginya untuk tiba pada sebuah sumur dengan atap di atasnya. Sebuah batang kayu terpasang di atas mulut sumur, sebuah ember terikat dengan tali di satu sisi dan sebuah pemberat di sisi lain. Sebuah sumur sederhana.
Sang bocah menurunkan ember itu masuk ke dalam sumur, dengan menarik pemberatnya, kemudian dia melepaskan tangannya dari tali, dan membiarkan pemberat itu tenggelam kembali, membawa ember itu naik ke atas.
Dia melepaskan kacamatanya dan mencelupkan wajahnya ke dalam air yang dingin.
“Hrrrrrr… Fwah!”
Dia berbasuh dengan air yang begitu dingin dan kemudian mengangkat kembali wajahnya dan menggelengkan kepalanya, mencipratkan air ke segala arah. Kemudian dia menggunakan sebuah timba untuk mencuci mulutnya, meludah di atas rumput di dekat kakinya dan akhirnya, mengelap wajahnya dengan jubahnya.
Bukanlah sebuah cara yang baik untuk membuat dirinya pantas di pagi hari, namun ini sudah cukup.
“…Hmm?”
Suara itu terdengar kembali dari balik kabut putih. Pound, pound.
Suara tersebut tidak terdengar seperti suara orang yang sedang memasak, ataupun suara pekerjaan konstruksi, atau bahkan suara memotong kayu.
Untuk mengarungi jalan menjadi seorang wizard, rasa penasaran yang tinggi adalah sebuah keharusan. Sang bocah memutuskan untuk mengikuti arah suara itu—namun pada saat itu, dia menyadari bahwa dia tidak membawa apapun.
“Oh, sial!”
Dia kembali ke dalam gudang dan mengambil tongkatnya, yang masih tergeletak di samping ranjangnya.
Suara datar itu terus berlanjut, dan tampaknya tidak terlalu jauh.
Tidak lama setelah itu, dia telah tiba pada sebuah bayangan yang bergerak di dalam kabut. Matahari pagi semakin menguat, dan dia tidak membutuhkan sebuah mantra untuk dapat melihat jelas apa yang ada di depannya.
“Oh…”
Adalah Goblin Slayer.
Dia masih memakai armor kotor dan helm yang terlihat murahannya; berkuda-kuda rendah. Tampaknya dia sedang berhadapan dengan bagian pagar yang mengelilingi kebun. Sebuah sasaran bundar terpasang di pagar dengan posisi yang rendah.
Pisau yang yang menancap pada sasaran itu kemungkinan hasil lemparan dari Goblin Slayer. Sang bocah akhirnya telah mengetahui apa yang menyebabkan suara itu jauh lebih mudah daripada memecahkan teka-teki pada Akademi.
“…Apa yang kamu lakukan?”
“Berlatih.” Goblin Slayer melangkah ke depan dan dengan santai menarik senjatanya.
Bagi sang bocah, pisau itu tidak tampak seperti senjata untuk di lempar: adalah sebuah belati yang benar-benar biasa.
Yah—bukan hanya pisau itu. Sekarang dia melihat dengan lebih seksama pada sasarannya, dia dapat melihat sasaran itu telah tertancap dengan sebuah pedang, tombak, kapak, dan…apa itu golok?
Dengan semua latihan itu, Goblin Slayer dapat dengan mudah melempar batu yang dia temukan di rerumputan.
Melempar.
Kata itu terngiang di kepalanya.
Aku kira warrior itu seharusnya mengayunkan senjata mereka dan bukan melemparnya.
“Bagaimana kamu bisa bertarung kalau kamu melempar semua senjatamu? Bego.”
“Aku tinggal mencurinya saja.” Goblin Slayer menyusuri jarinya pada mata pisau, memeriksanya. “Dari para goblin.” Dia menambahkan.
Sang bocah mendengus mendengarnya. “…Kalau begitu mending kamu mempunyai senjata berkualitas tinggi saja dari awal.”
“Begitu?”
“Kamu seharusnya dapat mengalahkan beberapa goblin itu dengan satu mantra.”
“Begitu?”
“Dengar, aku kira kamu hari ini mengambil hari libur. Bukannya itu yang kamu bilang sama gadis itu?”
“Dulu aku pernah mengambil libur panjang. Dan setelah itu reaksi tubuhku terasa kaku.”
Dengan santai dia melempar senjata itu ke tanah seraya dia berbicara. Kemudian, menenangkan pernapasannya, dia membalikkan punggungnya dari sasaran.
“Kamu nggak akan pernah tahu jika tindakanmu yang berikutnya akan dapat membunuh musuhmu.”
Seusai dia berbicara, dia berputar. Dia mengambil salah satu senjata yang ada di dekat kakinya, tanpa mempunyai waktu untuk membidik, dia melemparnya.
Belati itu terbang melintasi udara, berputar sekali, dan mendarat tepat di tengah sasaran dengan suara thump.
“Hmph.”
Dia mengambil senjatanya satu persatu dan melemparnya.
Diam tanpa berkata-kata, dia melempar semua senjatanya satu persatu, mengambilnya kembali dan melemparnya lagi.
Ini membosankan. Sang bocah duduk di rumput dan menguap. Dia menggosok matanya, mencoba mencari jerami terakhir yang masih tersisa di jubahnya.
“Apa bagusnya buatmu untuk mempelajari cara mengenai sasaran yang nggak bergerak?”
“Aku nggak tahu.”
“Dan sasaranmu rendah banget juga.”
“Itu karena sesuai dengan tinggi goblin.”
Sang bocah terdiam. Dari kejauhan terdengar suara yang memanggil, “Sarapan!”
Sang bocah menyadari bahwa kabut telah menghilang, dia dapat melihat keseluruhan kebun yang di mana Gadis Sapi sedang mencondongkan tubuhnya keluar dari jendela dan mengayunkan tangannya.
Goblin Slayer berhenti dan melihat ke arah Gadis Sapi, dan mengangguk.
“Baiklah,” dia berkata. Kemudian helmnya berputar mengarah sang bocah. “Ayo.”
Ugh. Aku nggak berharap banyak dari makanan ini.
Sang bocah mengangguk tidak menyukai, kemudian berdiri dan mengikuti Goblin Slayer.
Kalau makanannya nggak enak, aku bakal pukul mejanya.
*****
Terdapat rebusan sebagai sarapan.
Sang bocah pada akhirnya tambah tiga piring.
*****
“Erggg…”
“Kamu kebanyakan makan.”
Mereka telah pergi meninggalkan kebun dan sedang menuju Guild, namun sang bocah berjalan terhuyung mengikutinya. Dia menopang dirinya dengan tongkatnya seraya dia berjalan. Seperti inilah rasanya, dia berpikir, setelah petualangan yang melelahkan dan meremukkan hati.
Mungkin seperti inilah yang di rasakan para petualang setelah mencari jejak di lahan yang tak berbatas hanya untuk menemukan sebuah kastil di depannya.
Ketika mereka melewati pintu berayun dan masuk ke dalam ruang tunggu yang berisi, sang bocah jatuh duduk di sebuah kursi.
Sekali lagi terdapat banyak petualang yang mengunjungi Guild. Beberapa ada yang mendaftar hari ini, sementara yang lain berusaha mencari pekerjaan.
“Hrggg…”
“Kok bisanya kamu bersemangat sekali setelah menemukan elevator di reruntuhan tua yang kamu jelajahi dan sekarang malah bermabuk-mabukan? Sebarapa begonya sih kamu?”
“Aku pikir beberapa roh akan menyembuhkan jiwaku…”
Seberapa begonya sih kamu?”
Petualang yang mabuk bukanlah pemandangan yang tidak biasa, bahkan beberapa dari mereka ada yang terbaring di atas bangku saat ini. Orang-orang tidak terlalu memperhatikan bocah muda itu seraya dia masuk; mungkin mereka berpikir bahwa bocah itu adalah salah satu dari pemabuk.
“Kalau begitu, aku pergi.” Goblin Slayer berkata, melihat ke bawah mengarah pada sang bocah muda, yang sedang duduk di sebuah bangku. “Kamu harus mulai dari saluran air. Bunuh tikus—apa itu namanya?—Tikus raksasa.”
Alu…akan…bu-bunuh goblin…!”
“Begitu.”
Dengan itu, Goblin Slayer berpaling dari sang bocah muda. Memangnya siapa diri Goblin Slayer untuk berhak menganggu keinginan sang bocah itu? Goblin Slayer melangkah sigap menjauh, menuju tempat baiasanya: sebuah bangku di sudut ruangan tunggu Guild.
Lima—tidak, enam tahun yang lalu, ketika dia pertama kali menjadi petualang, hanyalah dia seorang yang berada di bangku itu.
Namun sekarang keadaan telah berbeda.
Rekannya juga berada di sana, dan mereka yang memiliki bisnis dengannya juga, dan bahkan beberapa orang yang hanya ingin mengucapkan halo.
Hari ini juga sama. Terdapat Lizard Priest yang mengayunkan ekornya. High Elf Archer dan Dwarf Shaman duduk di antara Priestess. Akan tetapi…
“Paaak Goblin Slayer…”
Entah mengapa semua terasa berbeda dari biasanya.di tengah-tengah semua wajah itu, tangan Priestess meremas lututnya sendiri, dan suaranya sangatlah lemah.
“Kenapa?”
“Sepertinya mereka sedang membahas untuk mempromosikan gadis ini.” High Elf Archer menjawab.
“Ah.” Goblin Slayer mengangguk. “Sudah waktunya.”
Petualang di bedakan menjadi sepuluh tingkat, dari Porcelain hingga Platinum. Walaupun tingkat Platinum tergolong spesial, perbedaan divisi tingkat tersebut berdasarkan apa yang popular di sebut dengan “poin pengalaman.” Dengan kata lain, hadiah yang telah di dapatkan, di gabungkan dengan seberapa banyak seseorang tersebut berbuat kebaikan untuk sekitarnya, bersama dengan tingkah lakunya.
Satu tahun telah berlalu semenjak Priestess telah di promosikan menjadi Obsidian karena telah mengalahkan apapun-nama-monster-itu di reruntuhan bawah tanah. Kemudian mata raksasa yang mereka temui di kota air, dan pemimpin dari pasukan goblin yang menyerang kota mereka.
Dapat bertahan hidup dari peratrungan dengan goblin paladin di Utara, Priestess sudah memiliki hadiah dan kontribusi yang cukup.
Ya, adalah sudah sepantasnya untuk pengajuan kenaikan tingkat.
Namun jika Priestess terlihat begitu lesu, itu artinya…
“Dia nggak lulus?”
“Kurasa begitu.”
“Dan kamu bahkan punya surat rekomendasi huh?” High Elf Archer berbisik kepada Priestess, yang hanya menjawab, “Ya.”
Priestess terlihat begitu menyedihkan layaknya seekor anak anjing yang di biarkan begitu saja di tengah hujan dan terlihat akan menangis kapan saja.
“Aku rasa—mereka pikir—mereka bilang aku masih belum cukup berkontribusi.”
“Saya rasa saya paham.” Lizard Priest berkata. “Itu karena kami semua adalah tingkat Silver.”
Dwarf Shaman mendengus tidak menyukai dan membelai jenggotnya. “Apa, jadi mereka pikir gadis ini numpang dengan kita? Siapa yang akan percaya itu?” Adalah hal yang tidak pantas namun juga hal yang sering di lakukan oleh petualang yang sudah berpengalaman.
“Hrm.” Goblin Slayer mendengus pelan.
Party pertama Priestess telah tiada. Orang-orang yang seharusnya tumbuh dan dewasa bersama dari Porcelain hingga naik tingkatan selanjutnya telah tiada.
Goblin Slayer melirik kepada Gadis Guild, namun dia sedang di sibukkan dengan petualang lain, berlari kesana kemari layaknya tikus ketakutan. Gadis Guild menyadari Goblin Slayer sedang melihat mengarahnya dan membentuk sebuah gerakan dengan kedua tangannya memohon maaf. Itu artinya tidak banyak yang dapat di lakukan Gadis Guild. Lagipula, bukanlah Gadis Guild yang mengatur Guild. Pimpinannya lah yang terlibat, begitu juga berkas, inspektur, dan juga birokrasi pita merah. Seperti itulah jalannya dunia. Usaha pribadi juga di perlukan, namun itu tidak selalu cukup. (TL Note : Birokrasi pita merah = https://id.wikipedia.org/wiki/Pita_merah )
“U-um, tolong ng-nggak usah di pikirkan.” Priestess berkata setegar dia bisa untuk menenangkan Goblin Slayer dan rekan lainnya. “Aku yakin kalau aku kerja lebih keras, pada akhirnya mereka akan mempromosikan aku…”
“Itu baru semangat,” Dwarf Shaman berkata. “Kamu punya banyak kemampuan, dan kamu sudah banyak membantu lebih dari yang seharusnya. Mereka hanya harus mengerti itu.”
“Mm.” Lizard Priest mendesis dari tempat dia bersandar di dinding dengan tangan di lipat dan berpikir. Ekornya berayun. “Di antara warga kami, kami selalu berbicara betapa pentingnya untuk menurunkan teknik pertarungan kepada generasi berikutnya.”
“Itu dia!” High Elf Archer berkata, berusaha untuk menjentikkan jarinya namun hanya dapat menghasilkan suara yang pelan. Kemudian dia memanyunkan bibirnya kembali: Dwarf Shaman berusaha untuk menahan tawanya melihat upaya gagal sang archer. “…Apa?”
“Oh, nggak apa-apa. Aku cuma penasaran apa yang kamu lagi pikirkan.” Dia membalas, sama sekali tidak terusik dengan lototan mata High Elf Archer.
“Aku nggak bakal lupain ini.” Sang elf berkata seraya sang dwarf berdiri tertawa dan membelai jenggotnya. “Sudahlah, tapi kalau peringkat adalah masalahnya, kenapa kita nggak cari beberapa Porcelain atau Obsidian untuk berpetualang bersama?”
“Bisa saja.” Sang dwarf berkata. “Ini kan memang Guild. Perlihatkan mereka kalau kamu dapat membimbing seseorang, kamu paham?”
“Um…” Priestess melihat di sekelilingnya, bingung. Matanya sedikit berair. Dia membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya kemudian mengangkat jari telunjuknya untuk memastikan bahwa dia memahami ucapan mereka. “Itu artinya…pergi berpetualang tanpa kalian semua?”
“Ya.” Goblin Slayer berkata datar.
“Itu bukanlah ide yang buruk.” Tambah Lizard Priest.
“Yah, kalau begitu selesai sudah.” High Elf Archer berkata, telinganya mengayun riang. High Elf Archer dapat di bilang abadi, perbedaan kecil tidak terlalu membuatnya khwatir. “Pilih saja Porcelain secara acak—yah, mungkin acak bukan kata yang tepat, tapi—“
Partynya tampak baru akan menyelesaikan permasalahannya ketika suara yang mengejek terdengar:
“Heh! Aku tahu kamu barisan belakang, tapi nggak mungkin seseorang cengeng sepertimu bisa di promosikan!”
Hal ini membuat High Elf Archer berdiri dan mulai mencari antagonis mereka. Sang pemilik suara itu datang terhuyung dari salah satu bangku.
Adalah bocah berambut merah—berpakaian dengan jubbah, memegang tongkat, memakai kacamata. Wizard Itu.
Priestess membuka mulutnya terkejut, kemudian matanya memandang marah.
“A-aku nggak cengeng!”
“Masa sih. Yang aku dengar cleric itu gampang nangis.” Dia mendengus dan bahkan tidak membuka matanya sama sekali ketika dia berbicara dengan Priestess. Mungkin dia berpikir tindakannya ini akan membuatnya terlihat lebih keren.
Tampaknya dia tidak menyadari bahwa perbuatannya hanya membuatnya terlihat seperti orang jahat.
“Kalau kamu lagi dalam masalah, kamu pasti O Dewa, tolong selamatkan aku! Huu-huu-huu!, ya kan?”
“Hei—!” Priestess sama sekali tidak mengetahui harus berkata apa untuk membalas tindakan mengejek ini, namun wajah pucatnya secara perlahan mulai menjadi merah. Dia terlihat—yah, sudah seharusnya—marah. “Itu sama sekali nggak benar! Aku punya berbagai macam—“

Berbagai macam apa? Apa ada cara lain yang dapat membuatnya menyelesaikan kalimat itu dengan bangga, penuh percaya diri?
Priestess mengikuti instruksi dan menggunakan keajaiban, berdoa untuk keselamatan semua orang. Berdoa kepada dewa. Namun apakah dirinya sendiri dapat melakukan apapun? Jika iya, lalu apa?
Priestess mendapati dirinya tidak dapat berbicara. Dia melihat ke lantai, mengepal kuat tangannya.
Pria muda itu membusungkan dadanya bangga. Namun denagn ragu dia mengambil satu langkah mundur, kemudian langkah kedua, seraya Lizard Priest mendekatinya dengan agresif. “Jika anda mengkritik seseorang, maka anda juga patut untuk di kritik,” sang lizardman berkata. “Anda menghina seorang cleric, maka anda menghina mereka semua.”
Lizard Priest membuat gerakan mengancam dengan kepalanya. Sang bocah melihat sekitarnya dan hanya setelah itu dia baru menyadari: dari petualang terbaru hingga yang paling berpengalaman, setiap petualang di dalam ruangan sedang melihat mengarahnya dan Priestess, yang tersipu begitu malu.
“Saya rasa anda akan merasakan betapa sulitnya untuk dapat bertahan hidup di dunia ini tanpa bantuan dari para dewa.” Lizard priest melanjutkan. Siapa yang dapat menyalahkan dengusan kecil yang terlepas dari bibir sang bocah? Dia telah berteriak di depan semua orang ini tanpa pikir panjang.
“Hei kamu! Coba kamu katakan itu di depan mukaku!”
“Sudahlah bego. Kita punya tikus raksasa untuk di buru. Itu akan jadi latihan yang bagus buat kita.”
“Lepaskan! Lepaskan aku! Aku akan beri orang itu pelajaran! Lepaskan aku!”
Apprentice Cleric mengayunkan tongkatnya, seraya Rookie Warrior menyeret Apprentice Cleric menjauh.
Reaksi sang apprentice cukup terbilang ekstrim, namun seluruh ruangan ini memiliki respon yang sama. Mungkin beberapa dari mereka memihak kepada Priestess di karenakan dia seorang gadis, yang lainnya karena mereka lebih mengenal Priestess di banding wajah baru itu. Namun kebanyakan dari tatapan menusuk yang tertuju pada sang bocah itu termotivasi oleh hal lain yang lebih dari itu.
Beberapa petualang mencemooh para cleric di karenakan mereka tidak berdiri di garis depan, dan hanya berlagak seperti mesin penyembuh. Namun terdapat banyak petualang yang telah terselamatkan oleh cleric-cleric itu. Semua orang pasti akan terluka. Mengerang kesakitan, teracuni, terkutuk, di tinggalkan, tidak satupun seseorang yang mengalami hal ini akan merasa senang.
Jika kamu memiliki cleric dalam partymu, maka kamu berada di dalam party yang bagus, dan tentunya, siapapun yang memberikan zakat, dapat menerima perawatan di kuil. Bagaimana mungkin seseorang dapat meremehkan mereka yang bekerja untuk mereka, berdoa untuk mereka, membuat keajaiban terjadi untuk mereka?
“H-hei, Aku—“ Namun tidak ada petualang yang akan mundur begitu saja. “Aku petualang juga!”
Sang bocah mengumumkan dengan berani, walaupun dia mengetahui bahwa dia sedang dalam kondisi yang tidak menguntungkan di sini. Semangatnya membuat beberapa mata yang memandang terbuka lebar mengagumi.
Bisnis berpetualang pada dasarnya adalah di mana semua orang harus bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Oleh karena itu jika ada seseorang yang mempunyai keberanian untuk berdiri sendiri tanpa adanya bantuan cleric, maka mereka bisa saja mengejek para cleric sesuka mereka.
“Goblin? Hah! Mereka nggak ada apa-apanya!”
Dia menujuk tongkatnya mengarah Goblin Slayer seolah dia akan menggunakan mantra pada petualang itu, sebuah pose klasik dari seorang wizard.
“Jangan mencatat! Aku nggak akan mengajarimu rahasia membasmi goblin! Coba berburu tikus raksasa saja! Semuanya omong kosong!”
Semua emosi yang di tahannya hingga momen itu tumpah keluar.
“Aku pasti akan membunuh goblin!”
Di hadapan teriakan agresif ini, Goblin Slayer hanya sedikit memiringkan helmnya penuh Tanya. Di sampingnya, High Elf Archer berkedut dan melipat tangannya seraya dia melihat Goblin Slayer. “Siapa dia Orcbolg? Adikmu?”
“Bukan,” Goblin Slayer berkata tegas. “Aku cuma punya kakak perempuan.”
“Oh?” Sang archer menghela dan mengangkat bahunya dengan keanggunan yang hanya di miliki oleh kaum elf. “Aku rasa aku sudah terlalu sering mendengar percakapan seperti itu akhir-akhir ini, jadi aku sudah nggak kaget lagi.”
“Begitu?”
“Jadi siapa sebenarnya bocah ini?”
“Pendatang baru.” Goblin Slayer berkata. “Seorang wizard, sepertinya.”
Goblin Slayer tidak melihat tindakan bocah itu yang melampaui batas, melainkan kepada sang Priestess. Dia masih menatap lantai, pundaknya kaku, benar-benar terdiam. Priestess berumur lima belas tahun—tidak, enam belas sekarang. Dia telah menjadi petualang selama setahun penuh, namun dia masihlah muda. Apa yang Goblin Slayer dapat katakana kepadanya, ketika pekerjaannya gadis itu selama satu tahun telah di tolak seolah dia tidak melakukan apapun yang penting?
“Yah, kalau begitu semuanya jadi mudah kan?” sebuah suara riang, dan bersemangat menyela. Semua orang mengalihkan pandangannya pada suara baru itu. “Aku dengar semuanya. Dan sebagai seorang Knight yang sah, Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja!”
Knight Wanita berdiri di sana, mendengus bangga. senyum lebarnya membuat semua tampak jelas bahwa dia ingin ikut terlibat hanya untuk bersenang-senang. Di belakangnya, Heavy Warrior bergumam, “Aku nggak bisa menghentikannya.” Dan mengangkat tangannya meminta maaf.
“Apaan sih? …Siapa kamu? Ini nggak ada sangkut pautnya denganmu.”
“Heh-heh! Suatu hari nanti aku akan jadi paladin yang terkenal, tapi aku nggak menyalahkanmu kalau kamu belum mengenalku sekarang, pria muda. Aku punya ide yang bagus!”
Knight Wanita bukanlah sosok yang paling cerdas di ruangan ini, dia menjentikkan jarinya, dan suaranya dapat terdengar di keseluruhan Aula Guild. Tampaknya dia tidak menyadari ekspresi tidak menyukai yang tersirat di wajah High Elf Archer. Knight Wanita menunjuk pada pria muda itu. “Kalau kamu sebegitu percaya dirinya, pergi sana membasmi beberapa goblin.”
“Me-memang itu yang mau aku lakukan!”
“Kalian semua dengar dia,” Knight Wanita berkata, matanya berkilau berbahaya. “Tetapi!” dia mengarahkan jari telunjuknya layaknya ujung pedang. “Yang akan jadi pemimpinmu adalah gadis cleric itu!”
“Apaaa?!” Priestess melamun melihat jari itu, tersadarkan kembali dengan jeritan. Dia hampir tidak dapat memahami apa yang terjadi, seraya dia melihat Knight Wanita dan bocah wizard itu. “A-a-aku harus memberikan—perintah—sama bocah ini?”
“Apa maksudmu, ‘bocah ini’? Dan hei, nggak adil kalau ada syaratnya!”
“Jangan naïf, pria muda. Lebih baik kamu menyalahkan dirimu sendiri karena sudah memulai semua ini!”
“U-um, aku belum bilang aku menerimanya…”
“Dan kamu nggak perlu menerimanya!”
Usaha Priestess untuk menolak terlihat sangat lucu. Heavy Warrior melihat langit-langit tanpa berkata-kata. Tidak ada petir yang menyambar. Tampaknya sang Supreme God telah mengakui bahwa Knight Wanita adalah bagian dari ketertiban. Mereka membiarkan siapa saja menjadi agen Ketertiban akhir-akhir ini…
“Hrm,” gumam Goblin Slayer, yang menjaga jaraknya dari keramaian. “Bagaimana menurutmu?”
“Saya merasa bocah itu akan gagal di karenakan kurangnya pengalaman.” Lizard Priest merespon dengan anggukkan. Dia memutar matanya sekali. “Saya tidak mengetahui seberapa banyak mantra yang dapat dia miliki, ataupun berapa banyak yang dapat dia gunakan, namun saya menyukai semangatnya.”
“Kita nggak mengetahui tentang mantra miliknya.” Goblin Slayer menyetujui, dan setelah beberapa saat dia menambahkan. “Aku rasa dia bisa menggunakan satu, atau mungkin dua.”
“Bagaimana menurut anda master pembaca mantra?”
“Apapun itu, dia masih hijau.” Dwarf Shaman merespon tanpa adanya kebimbangan, membelai jenggotnya dengan riang.
Tenggelam dalam perdebatannya, sang bocah tidak mengetahui bahwa dia sedang di nilai oleh orang-orang yang ada di sampingnya seperti ini.
“Dia seperti batu,” sang dwarf melanjutkan. “Yang baru saja di gali, dan masih ada tanah yang menempel. Kita nggak tahu apa yang ada di dalamnya sebelum dia di asah sedikit.”
“Apakah kita akan melakukan sedikit pengasahan?”
“Aku mau saja.”
“Kalau begitu sudah di putuskan.”
Sebuah tangan mendarat pada pundak Goblin Slayer. Tangan itu milik seorang raksasa—Heavy Warrior.
“Kamu biasanya bukan tipe yang akan memuji petualang lain, Goblin Slayer.”
“Aku nggak berusaha memujinya…” Adalah mustahil untuk mengetahui Goblin Slayer bertingkah ironis atau memang jujur. Karena Heavy Warrior tidak dapat menerkanya. Goblin Slayer memiringkan kepalanya. “Apa aku memujinya?”
“Iya.”
“Begitu… Dan aku kira nggak biasanya kamu mengkhawatirkan orang lain.”
“Hei, bukan aku yang khawatir. Salahkan wanita itu.” Heavy Warrior mengangkat dagunya menunjuk kepada Knight Wanita yang membawa Priestess dan bocah itu bersamanya.
Secara sekilas, mungkin mereka tampak seperti sedang berdebat. Namun pada akhirnya Goblin Slayer tidak dapat mengatakan apapun pada Priestess.
Mengapa Priestess menjadi bagian partynya sekarang, dan apa yang terjadi pada party pertamanya: adalah hal yang hanya di ketahui oleh mereka berdua.
Adalah Lizard Priestess yang menjadi perantara bagi pria muda itu, dan Knight Wanita mengubah subyek pembicaraannya.
Goblin Slayer tidak dapat melakukan kedua hal itu.
“….Maaf merepotkan. Ini sangat membantu.”
“Nggak usah di pikirkan,” Heavy Warrior menjawab dengan blak-blakan. Dia mengalihkan pandangannya, menggaruk pipinya. “Hutangku sama kamu lebih banyak dari ini. Aku akan bayar sedikit demi sedikit.”
Hal ini membuat Goblin Slayer berpikir. Dia tidak memiliki ingatan akan perihal hutang. Namun tampaknya hal ini sangatlah penting bagi Heavy Warrior.
“…Benarkah?”
“Yeah.”
“Begitu.” Goblin Slayer berkata pendek. Di dalam helmnya, dia menatap Heavy Warrior. “Aku yakin aku juga punya hutang denganmu.”
“Kalau begitu, bayar sedikit demi sedikit juga.”
“Begitu.”
“…Jadi. Apa yang kamu pikirkan?”
“Aku berpikir tentang cara membunuh goblin.”
Heavy Warrior mengernyit dan tersenyum kecil.”Sudah ku duga.” Dia bergumam. Adalah reaksi yang sewajarnya bagi petualang manapun yang akrab dengan pria ini.
Goblin Slayer ini.
Orang-orang menganggap pria ini aneh dan janggal karena terus menerus berbicara tentang goblin, namun mereka memanggilnya seperti itu karena keakraban mereka. Karena mereka sudah sangat mengenal pria ini.
“Tapi.” Goblin Slayer berkata pelan seraya dia melihat sekitaran Guild.
Terdapat Knight Wanita dan bocach baru itu, masih berdebat, sementara High Elf Archer sudah menyerah untuk menjentikkan jarinya dan mengeluh.
Terdapat Lizard Priest dan Dwarf Shaman, memperhatikan ruangan ini dan tertawa seraya mereka membuat rencana.
Terdapat berbagai macam petualang, beberapa dia kenal, beberapa lainnya tidak, berdiri di pinggiran grup dan terkadang memberikan pukulan bermain.
Seorang inspektur di meja resepsionis tertawa kecil, sementara Gadis Guild tidak dapat menahan senyum di wajahnya.
Terdapat Spearman, yang baru saja menerima sebuah pekerjaan, berteriak “Yahuuu!” dan melompat, yang membuatnya mendapatkan ceramah dari sang Witch.
Dan di tengah-tengah semua itu, terlihat begitu kebingungan, adalah Priestess.
Priestess juga berkata, “Aku bisa melakukannya juga.” Dan menjentikan jarinya untuk memperlihatkannya pada High Elf Archer. Sang cleric tampak sedikit panik, sedikit bingung, dan canggung, namun dia tampak seperti sedang menikmati dirinya sendiri—untuk benar-benar menjadi bahagia.
Adalah hal yang selalu terlihat di isni. Orang-orang, wajah-wajah, mungkin akan berubah, namun pemandangan ini akan terus berlanjut.
“Tapi,” Goblin Slayer berkata sekali lagi. “Akan baik sekali kalau semua berjalan lancer.”
“Kamu benar.” Heavy Warrior berkata dengan senyuman, dan menepuk pundak Goblin Slayer dengan kuat.