HARI MUSIM SEMI YANG SEPERTI BIASANYA
(Translater : Zerard)

Musim semi telah tiba ketika angin yang begitu nyaman berhembus dari timur.
Udara dingin telah tersingkirkan, meninggalkan hanya udara segar di udara, dan matahari yang bersinar hangat dan lembut.
Lahan akan aster sekitar setengah hari perjalanan dari kota perbatasan juga terlihat begitu elok di pandang.
Adalah lahan yang bergoyang, kaya akan rerumputan berdampingan dengan semak-semak—bukan yang lain. Jalanan memanjang melewatinya, dan jika di hitung jarak dari desa ke desa, kota ke kota, sangatlah melegakan untuk mengetahui adanya tempat berkemah bagus yang tersedia.
Hanya ada satu hal—atau lebih tepatnya satu orang—yang bergerak melewati lahan itu.
Adalah seorang petualang yang aneh. Dia mengenakan armor kulit yang kotor dan sebuah helm yang tampak murahan, pada pinggulnya sebuah pedang dengan kepanjangan yang aneh, dan sebuah perisai kecil bundar yang terikat di lengan kirinya. Bahkan seorang pemula akan mempunyai perlengkapan yang lebih baik dari yang pria itu bawa.
Dia berjalan di jalanan dengan diam: ketika dia telah tiba pada lahan, langkah sigap dan tidak pedulinya membawanya melewati sema-semak. Langkahnya begitu yakin, begitu percaya diri seolah sedang mengikuti sebuah tanda. Kanan, kiri, melewati rerumputan—tidak sampai lima menit bagi pria itu untuk melewatinya.
Kemudian dia berhenti.
Tampaknya masih tidak terdapat apapun di sana.
Namun di semak-semak, dia mendengar suara gemirisik di bawah sol sepatu botnya.
Dia berlutut dan mengambil sumber suara itu. Sebuah abu akan sesuatu yang terlahap api. Dia meremasnya di antara jarinya hingga abu itu menjadi tidak lebih dari sebuah bekas goresan di sarung tangannya.
Sesuatu telah terbakar di sini. Apakah sebuah pohon? Tulang manusia? Hal ini masih belum jelas.
Mustahil
Dia menggelengkan kepalanya seolah ingin menolak sebuah kemungkinan.
Sudah sepuluh tahun berlalu.
Tidak ada tulang manusia, tidak ada abu yang akan masih dapat di ketahui setelah tergeletak terpapar oleh elemen alam. Dan andaipun ada sesuatu yang bertahan selama ini—milik siapakah sisa abu ini?
“…”
Angin berhembus melewati lahan. Merupakan sebuah angin hangat dan lembut yang menandakan perubahan musim, kedatangan musim semi.
Rumput bergemirisik, riak kecil bergelombang melewati bukit. Dia mendengar suara samar akan air yang mengalir. Ketika dia memutar kepalanya, dia dapat melihat sebuah danau, tepat di mana dia mengingatnya.
Di bawa oleh insting, dia mendengak. Langit sangatlah biru dan bersih; yang tampaknya tersebar di keseluruhan dunia. Sebuah awan yang terlihat begitu tipis, hingga tampak pudar.
“…Dan memangnya kenapa?”
Dia menepuk tangannya bersama, membersihkan sisa jelaga abu.
Dia mengetahui bahwa ini bukanlah sisa-sisa dari kakak perempuannya.
Dia mengetahui apa yang terjadi kepada kakaknya dan apa yang terjadi pada darah, dagin, dan tulangnya.
Dia mengetahui, bahwa dulunya terdapat sebuah desa di sini.
Dan akhirnya dia mengetahui, bahwa terdapat sebuah rencana untuk membangun sebuah bangunan pelatihan untuk para petualang di tempat ini.
“…Kurasa aku akan kembali.”
Hanya terdapat tiga orang lainnya yang mengetahui bahwa pria ini tinggal di sebuah desa yang berada di tempat ini dulunya.
Tidak pernah terlintas di pikiran Goblin Slayer untuk bertanya tentang perasaan yang di rasakan pada dua orang lainnya di kebun tentang semua ini.
*****
“Hee-hee-hee!”
Priestess tersenyum bersemangat. Guild Petualangan sangatlah sibuk setiap harinya, namun kesibukan itu bertambah di masa musim semi. Monster terbangun dari hibernasinya dan mulai mengancam desa-desa, sementara para petualang yang melewati musim dingin dengan bermodalkan tabungannya, mulai bekerja kembali. Dan dengan cuaca indah ini yang mengundang para petualang untuk berkelana mencari keberuntungan mereka, Guild tidak akan kekurangan tenaga pria dan wanita mudanya.
“Berikutnya! Pelanggan nomer lima belas, di mohon datang ke meja resepsionis nomer tiga!”
“Quest! Aku punya quest di sini! Cess-eater di saluran air! Siapa yang berkenan untuk datang dan membantu?”
“Punya senjata dan perlengkapan? Potion? Sudah mengingat semua mantramu? Ada tongkat 1,5 meter? Bagus, ayo!”
“Permisi, tapi seekor beruang sudah terlepas dan berkeliaran di desa kami. Yeah seekor grizzly”
Para pegawai berlari kesana kemari, para petualang saling berteriak satu sama lain, dan pemberi quest menjelaskan apa yang mereka butuhkan. Bukanlah sebuah atmosfir bergembira, namun tidak ada yang dapat menyangkal keriuhan yang terasa di udara.
Di kelilingi oleh lautan aktifitas, Priestess merasa sangat gembira, senyumnya layaknya sebuah bunga yang sedang mekar. Dia duduk di sebuah bangku panjang yang telah menjadi sebuah ruang tunggu bagi mereka, memegang tongkatnya dan tidak berusaha menyembunyikan kegembiraan yang dia rasakan.
Di sampingnya, High Elf Archer sedang mengistirahatkan dagu di tangannya dan menunggu kerumunan untuk pergi. Dia memutar pandangannya pada Priestess.
“Sepertinya seseorang lagi senang.”
“Itu karena aku memulai tahun kedua berpetualangku sekarang. Aku rasa nggak akan aneh bagi beberapa orang untuk memanggilku senior mereka!”
“Ahh. Sudah selama itu ya?”
“Iya! Di tambah lagi, aku rasa aku akan di promosikan dari peringkat Sembilan ke delapan dalam waktu dekat ini.” Priestess membusungkan dada kecilnya dengan bangga. Priestess adalah anggota termuda dalam party mereka. High Elf Archer mengetahui perasaan yang di rasakan Priestess, menjadi yang termuda, oleh karena itu telinganya mengepak bersimpati.
Aku rasa aku bisa sedikit bersikap seperti kakak perempuan di sini.
“Mungkin, tapi jangan biarakan itu membuatmu kendor. Barisan belakang mempunyai peranan penting oke?” High Elf Archer mengayun jari telunjuknya dengan anggun seraya dia menasehati Priestess.
“Ya bu. Aku tahu.” Priestess mengangguk menuruti.
Tangan High Elf Archer membelai rambut emas Priestess, melepaskan rambut yang kusut. Priestess tertawa kecil, dan matanya bersinar bahagia. Dia benar-benar seperti adik perempuan yang manis—walaupun High Elf Archer merasa jika dia mengatakan hal itu secara terang-terangan, Dwarf Shaman tidak akan tinggal diam. Sebagai gantinya, High Elf Archer membiarkan matanya berkelana memandang keriuhan Aula Guild.
“Benar-benar ramai banget ya?”
Tempat ini penuh akan orang-orang yang berusaha mati-matian menjadi petualang. Walaupun…
Mungkin mati-matian bukan kata yang tepat.
Kata itu tidak terdengar baik bagi High Elf Archer. Bagaimana jika orang-orang berharap untuk menjadi petualang? Ya, itu lebih baik. Harapan adalah kata yang bagus.
Mereka yang berharap menjadi petualang berbaris panjang di meja resepsionis. Terdapat wizard, warrior, monk dan scout, berbagai macam orang dari berbagai macam ras, jenis kelamin, dan umur. Dua hal yang sama-sama mereka miliki adalah bara api semangat yang terpancar dari mata mereka—dan perlengkapan yang mereka gunakan.
Dari sebuah pelengkapan yang begitu baru dan tanpa goresan seolah label harga benda itu masih tergantung, dan armor-armor tua yang berkarat, kualitasnya mungkin telah menurun, namun setiap bagian armor itu telah di poles hingga berkilau kembali.
“Hmm.” High Elf Archer bergumam, mengepak telinga panjangnya. “Aku rasa mereka bisa belajar satu atau dua hal dari Orcbolg.”
“Pak Goblin Slayer bukan penggemar sesuatu yang berkilau kan?”
Dia kadang-kadang bisa menjadi ribet sekali.
Dengan gumaman itu, pipi Priestess tiba-tiba berubah merah, dan dia menggerakkan tubuhnya tidak nyaman.
“Kenapa?” High Elf Archer bertanya, namun Priestess hanya menjawab, “Nggak.” Dan memalingkan pandangannya.
Sang elf memiringkan kepalanya penuh tanda Tanya, namun tidak lama baginya untuk menyatukan setiap bagian misteri itu. Mungkin, sudah sewajarnya.
Seorang petualang tingkat tinggi, di temani oleh dua wanita yang sangat cantik. Dan salah satu wanita itu adalah seorang high elf.
Barisan antrian para calon petualang terpana oleh kecantikannya.
“Whoa… buset mereka cantik banget…”
“Ketika aku menjadi petualang, aku pasti akan dapat bertemu beberapa gadis seperti mereka juga.”
“Seorang elf! Aduh, andai aku kenal seorang elf…”
High Elf Archer memberikan dengusan kecil. Apa mereka pikir mereka dapat melakukan sebuah percakapan yang tidak dapat di dengar oleh seorang elf? High Elf Archer berharap mereka tidak terlalu memperhatikan wanita itu yang berasal dari ras nya dan sedikit menunjukkan rasa kagum mereka, mengetahui bahwa wanita itu adalah petualang tingkat Silver.
“Tahun kemarin, aku ada di antrian itu…”
Tidak seperti High Elf Archer, yang membusungkan dada datarnya dengan harapan untuk menunjukkan kalung peringkat yang bergantung di sekitar lehernya, Priestess menempelkan tangan pada dadanya. Dia juga memiliki kalung peringkat itu—yang menunjukkan bahwa dia telah naik dari Porcelain ke Obsidian, dari peringkat sepuluh ke sembilan.
“Waktu itu orangnya nggak sebanyak ini.”
Priestess seperti mereka dulunya, mendengarkan dengan takjub percakapan yang ada di sekelilingnya.
Sebuah tempat berlatih yang sejak lama di bangun akhirnya telah selesai. Bangunan ini pada awalnya adalah sebagai bentuk respon antisipasi setelah penyerangan yang di lakukan oleh goblin lord, namun perencanaan berjalan lambat, dan sekarang pertarungan itu sudah satu tahun yang lalu.
Kedua gadis berdiri di sana mengetahui bahwa banyak hal yang secara tiba-tiba mulai bergerak dengan cepat kembali.
“Apa kamu baca suratnya?” Priestess bertanya.
“Iya dong!” High Elf Archer menarik sebuah lipatan kertas dari dalam kantongnya. Lipatan itu sudah begitu lecek, dia pasti sudah membacanya berkali-kali.
“Kamu membawanya?”
“Iya dong? Ini kan surat dari seorang teman.”
“Punyaku ada di kamar. Aku mempercayakannya kepada Ibunda Bumi.”
Terutama di karenakan itu dari seorang teman. Priestess menambahkan secara internal, tersenyum malu.
Seorang teman. Bernama Noble Fencer, seorang petualang wanita yang telah menyerang benteng goblin di utara beberapa bulan sebelumnya bersama mereka. Ingatan itu masih segar di pikiran Priestess: Noble Fencer telah kehilangan temannya dan dirinya di siksa oleh para goblin, akan tetapi dia menolak untuk menyerah. Dan dalam masa berhadapan dengan kematian, sesuatu telah berubah dari dirinya. Setelah petualangan mereka, Noble Fencer kembali pulang menuju rumah yang dia tinggalkan dan memberi tahu orang tuanya tentang semuanya.
Sejak saat itu, mereka telah bertukar surat beberapa kali.
“Dia bilang dia memulai penggolongan dana untuk membantu petualang yang baru,” kata High Elf Archer. “ Gadis itu nggak main-main.”
“Iya benar.” Priestess menjawab.
Surat Noble Fencer memberitahukan mereka bahwa dirinya akan menjadi bagian dari sebuah pertarungan tidak sebagai petualang melainkan sebagai pendukung.
Tulisan yang rapi pada surat yang mereka terima begitu menggambarkan gadis itu. Adalah mustahil untuk tidak menghargainya. Noble Fencer menulis bahwa dia sudah dapat berbaikan kembali dengan keluarganya dan dia ingin bertemu dengan Priestess, High Elf Archer, dan yang lainnya suatu saat.
“Masih keras kepala seperti biasanya ya?”
“Ha-ha…”
Walaupun dengan ejekan High Elf Archer, perasaan yang di rasakannya dapat di lihat dari betapa hati-hatinya dia melipat surat  yang dia terima. Dia tidak perlu mengatkannya, karena Priestess merasakan hal yang sama.
Priestess dan Noble Fencer telah sama-sama merasakan kekejaman para goblin secara langsung. Karena masing-masing dari mereka, telah berhasil menghindari lemparan sebuah dadu yang berada di antara keselamatan dan kehancuran. Oleh karena itu ketegaran Noble Fencer adalah sebuah penyemangat terbesar bagi Priestess.
Itu artinya dia Noble Fencer masih belum menyerah. Begitu juga dengan mereka.
“…Beberapa pelajaran sebelum kamu memulai petualangan dapat membuat perbedaan yang besar.” Priestess bergumam.
“Aku nggak tahu juga, menurutku semua itu nggak akan terlalu membuat banyak perbedaan.”
Priestess mengernyit mendenagrnya, dan High Elf Archer membuat sebuah gerakan mengayun kecil sebelum menambahkan. “Maksudku, beberapa orang akan tetap melakukan hal bodoh, nggak peduli sebanyak apapun pelajaran yang kamu berikan kepada mereka, kan?”
“Tapi tanpa instruksi, bagaimana mereka bisa tahu kalau yang mereka lakukan itu salah?”
Sebagai contoh…banyak sekali contoh akan pemula yang dapat salah dalam bertindak.
Mereka dapat terlalu terbawa dengan percakapan hingga membuat mereka lupa untuk terus menjaga jarak antara barisan depan dan belakang.
Atau mereka  berasumsi bahwa mereka tidak perlu menjaga belakang mereka hanya karena mereka berada di dalam sebuah terowongan.
Dan terutama, mereka terlalu meremehkan goblin.
Mengingat itu, Priestess dapat melihat seberapa banyak pelajaran yang telah dia dapatkan pada petualangan pertamanya.
“Iya, aku nggak akan mendebat itu.” High Elf Archer berkata. “Cuma…” Dia melambaikan tangannya kembali, mungkin tidak yakin bagaimana untuk menanggapi ekspresi murah Priestess. “Beberapa orang benar-benar nggak mau mendengarkan sama sekali. Seperti…para dwarf contohnya.”
“Oh, aku dengar loh, Telinga Panjang.” Suara menggerutu terdengar dari belakang bangku.
High Elf Archer memberkan sebuah senyuman dan dengusan bangga. “Aku berharap kamu memang mendengarnya. Nggak akan seru kalau kamu nggak dengar.” Dia menoleh dari balik pundaknya kepada Dwarf Shaman yang memegang bagian belakang bangku dan melotot kepadanya. Pipinya yang sedikit merah menandakan bahwa dia sudah memulai meminum anggurnya walaupun masih di pagi hari ini—walaupun itu merupakan hal yang normal bagi para dwarf.
Mencium aroma napasnya. High Elf Archer terbatuk lemah.
“Lagipula, kalian juga sama saja.” Dwarf Shaman berkata. “Nggak ada orang lain di dunia ini yang lebih cuek nggak mau mendengar selain para elf.”
“Apa? Siapa di antara kita yang mempunyai telinga lebih besar?”
“Heh! Sarkasmemu nggak akan bisa mengubah fakta kalau dadamu kayak papan.”
“Siapa yang kayak papan…?”
“Pegang dadamu sendiri dan itu akan menjawab pertanyaanmu.”
“Kamu—!”
Adalah keributan biasa mereka. Priestess biasanya menjadi panik melihat ini, namun sekarang dia sudah terbiasa, bahkan terasa begitu menyenangkan baginya melihat ini. Priestess tidaklah yakin apakah berdebat dapat membuat orang-orang menjadi lebih dekat, namun dia mengetahui bahwa dia berada di dalam party yang bagus.
Terlebih lagi, banyak wajah di dalam Guild Petualang yang menjadi akrab baginya. Setiap kali dia melihat salah satu orang yang dia kenal di tahun sebelumnya, dia menundukkan kepala memberikan salam kecil.
“Heh-heh-heh. Ramai, sekali, ya?”
“Jangan kelihatan terlalu tertarik. Kita harus terlihat bagus bagi para pemula itu.”
Adalah Witch dengan senyumnya yang menggoda, di temani oleh Spearman yang berbicara kepadanya seraya dia memamerkan wajahnya. Heavy Warrior sedang berjalan di aula, dan sedang berdebat dengan seorang Knight Wanita….
“Sudah aku kasih tahu kan? Sedikit percakapan akan membuat kita menjadi lebih dekat…”
“Itu cuma alasan untuk orang mabuk sepertimu. Kamu seharusnya itu taat pada peraturan!”
…Sementara Bocah Scout dan Gadis Druid, dan Half Elf Light Warrior mengikuti mereka dari belakang, berusaha untuk tidak terlibat.
“Hullo!”
“Selamat pagi semuanya.”
“Semoga beruntung pada questmu hari ini!”
Kemudian datanglah sebuah salam yang santai dari Rookie Warrior, yang di ikuti dengan Apprentice Cleric.
“Hei, itu kumpulannya anggota Gobber!” (TL Note = Gobber = slang-nya goblin.)
“Oh, ya ampun! Kamu harusnya bisa lebih sopan dari itu! Bagaimana aku bisa menunjukkan mukaku kalau kamu berbicara seperti itu?”
Merupakan hal yang sama seperti biasanya.
“Ah, bagus. Bersahabat seperti biasanya.” Sebuah sosok besar membayangi mereka. Adalah Lizard Priest. Tubuhnya penuh dengan sisik dan dia mengenakan pakaian yang tidak biasa. Dia memutar matanya melihat perdebatan sang elf dan dwarf. Tampaknya dia merasa senang, tidak akan melerai mereka dan membiarkan mereka untuk tetap berdebat.
Lizard Priest berputar mengarah pada Priestess dan menggabungkan kedua tangannya seperti biasa memberikan sebuah salam.
“Cuaca yang hangat tampaknya telah mengembalikan energi semua orang. Sesuatu yang sangat saya pahami.”
“Musim dingin sepertinya sulit untukmu ya?” Priestess tertawa kecil, bahkan seraya Lizard Priest mengangguk merespon.
“Benar. Bahkan naga yang menakutkan tidak berhasil melampaui jaman es. Alam di dunia, dapat menjadi hal yang mengerikan.”
Seperti apa yang terlihat dari penampilan sang lizard. Lizard Priest sangat rentan terhadap dingin. Ini kemungkinan di karenakan dia berasal dari hutan di selatan atau mungkin karena dia memiliki darah reptil yang begitu kental yang mengalir di nadinya. Apapun itu, petualang mereka sebelumnya di pegunungan bersalju merupakan sebuah cobaan berat baginya.
“Tapi aku dengar ada naga es yang mempunyai napas es,” Priestess bertanya. “Bagaimana dengan mereka?”
“Mereka bukanlah saudara saya.” Lizard Priest menjawab. Apakah dia bercanda atau serius? Terdengar nada yang ringan samar di dalam suaranya yang serius.
Kemudian Lizard Priest memutar lehernya, melihat sekliling Aula Guild yang penuh dengan petualang pemula.
“Bagaimana dengan tuanku Goblin Slayer? Di manakah dia?”
“Oh, um, dia bilang dia akan sedikit terlambat hari ini. Sepertinya dia sedang pergi ke suatu tempat kemarin.”
“Oh-ho. Itu benar-benar tidak biasa.”
“iya.”
Priestess menambahkan dengan pelan bahwa dia berpikir jika pria itu akan kembali sebentar lagi.
Goblin Slayer.
Adalah mustahil untuk membayangkan petualang aneh ini sedang pergi berlibur. Gadis yang merawat kebun tempat tinggal pria itu mengatakan bahwa bahkan di hari liburnya, pria itu selalu di sibukkan dengan perawatan senjata dan perlengkapannya. Akhir-akhir ini, Gadis Guild dan Gadis Sapi pernah mengundang pria itu untuk pergi ke festival, akan tetapi pria itu berhasil menghabiskan waktunya untuk berpatroli di kota. Jika dia di biarkan sendiri, dia akan menghilang untuk membunuh goblin. Mereka tidak dapat melepaskan pandangan mereka dari pria itu.
Puji tuhan. Sebuah helaan terlepas dari bibir Priestess. “Dia memang terlalu ya?”
Pada saat itu, sebuah gumamam mulai mengisi keseluruhan aula. Seorang petualang telah mendorong membuka pintu berayun.
Dia berjalan dengan langkah sigap, tidak peduli. Dia menggunakan ahelm baja yang terlihat murahan dan armor kulit yang kotor. Sebuah pedang dengan panjang yang aneh menggantung di pinggulnya, dan sebuah perisai bundar kecil terikat pada lengannya. Bahkan para pemula memiliki perlengkapan yang lebih baik dari pria itu.
Namun sebuah kalung peringkat kecil menggantung pada lehenya adalah silver. Peringkat ketiga.
“Pak Goblin Slayer!” Priestess memanggil, mengundang sebuah kumpulan tawa kecil di antara para pendatang baru. Seseorang yang membasmi goblin? Monster paling lemah?
Tentunya, terdapat beberapa dari mereka yang tidak tertawa. Selama masa lima tahun, Goblin Slayer telah menjadi sebuah keselamatan untuk banyak desa-desa. Dan beberapa dari mereka yang pergi untuk menjadi petualang sekarang merupakan penduduk desa itu. Mereka sangat mengetahui tentang petualang yang membasmi semua goblin sendirian. Beberapa lainnya mungkin telah mendengar pria ini dari sebuah lagu. Penyair cenderung memutar balikan fakta, namun reputasi pria ini masihlah nyata.
Walaupun begitu, tawaan mereka tidak dapat di maafkan. Kebanyakan dari petualang yang ada di Aula Guild pernah memiliki pengalaman membasmi goblin; mereka yang telah memiliki pengalaman mengusir satu atau dua goblin yang berkeliaran di desa mereka. Mungkin beberapa dari mereka bahkan pernah memasuki sebuah gua di suatu tempat, namun satu hal yang tidak pernah berubah: adalah fakta bahwa goblin merupakan monster terlemah.
Goblin Slayer menghiraukan mereka semua, dengan tenang menjawab “Ya.” Menjawab mengangguk pada sang Priestess, helmnya bergerak perlahan melihat High Elf Archer, Dwarf Shaman, Lizard Priest, dan kemudian kembali kepada Priestess, satu persatu.
“Kalian semua sudah di sini.”
“Kamu telat, Orcbolg!” High Elf Archer berkata dengan suara jernih dan bermartabat. Dia telah berhenti berdebat dengan Dwarf Shaman, menunjuk dengan jarinya yang elegan kepada pendatang baru. Alis matanya mengernyit, dan telinga panjangnya menegang ke belakang; telinganya mengepak. Segalanya yang terlihat pada sang elf menunjukkan akan betapa lamanya dirinya menunggu.
High Elf Archer memberikan sedikit dengusan dan melipat tangannya. “Jadi apa yang akan kita lakukan hari ini?”
“Membasmi goblin.”
“Yah! Sudah nggak heran lagi.” Dwarf Shaman berkata, tertawa dan membelai jenggot putihnya. “Kalau kamu menyerahkannya pada Beardcutter, kamu pasti tahu petualangan macam apa yang akan kamu dapatkan.”
“Hrm…”
“Kalau kamu punya saran, aku akan mendengarkan.”
Priestess menjadi sedikit merah mendengar ucapan Goblin Slayer. Bagi Priestess pria itu memiliki kesan bahwa pria itu menjadi semakin terasah dalam tahun terakhir. Dan bagaimana dengan diri Priestess sendiri? Apakah dia berubah? Apakah dia tumbuh? Bukanlah hal yang mudah untuk menilainya.
“Secara pribadi, apapun yang dapat memberikan kontribusi baik kepada semua orang, dapat kita lakukan.” Lizard Priest berkata, ekornya mengayun di lantai. “Saya rasa pembasmian goblin sangat memenuhi kriteria tersebut. Tentunya akan banyak dari iblis kecil itu yang muncul dengan bergantinya musim.”
High Elf Archer memberikan gerutu panjang dan pelan kemudian mengangkat tangannya menyerah. “Iya, iya. Aku mengerti. Baguslah goblin saja kalau begitu. Aku ikut, demi dirimu!”
“Terima kasih,” Goblin Slayer bergumam, dan kemudian memutar kakinya melangkah meja resepsionis di mana semua petualang menunggu. Kumpulan para petualang yang terhenyak melihat dirinya, sepertinya tidak membuat Goblin Slayer terganggu sama sekali.
Para petualang yang mengenal dia memiliki reaksi yang berbeda, memanggilnya dengan riang. “Yo, Goblin Slayer! Mau membasmi goblin lagi?”
“Ya.” Dia berkata dengan anggukkan.”
“Kamu nggak pernah bosan melakukannya ya?”
“Kami akan melakukan sedikit perjalanan, memeriksa beberapa reruntuhan tua.”
“Benarkah?”
“Kamu hati-hati ya?”
“Baik.”
Ini akan sangat sulit di pahami bagi para pendatang baru, yang belum mengerti dinamika permainan mereka. Para pemula saling bertukar pandang seraya berbisik pelan.
High Elf Archer, menunggu di sebuah bangku Goblin Slayer, mengernyit. Priestess mencondongkan tubuhnya untuk berbicara mengarah telinga panjang sang elf.
“Apa yang mereka bicarakan?” dia berbisik.
“Kamu nggak mau tahu.”
Cukup adil. Priestess  tidak perlu mendengar mereka untuk mengetahui percakapan apa yang mereka bicarakan. Priestess menggembungkan pipinya kesal dan memanyunkan bibirnya, namun itu semua tidak membuat perbedaan. Kenyataan bahwa Lizard Priest dan Dwarf Shaman tampak tidak merasa terusik dengan ini semakin membuatnya kesal.
*****
“Berikutnya!”
Seraya rekan Goblin Slayer menunggu, petualang yang antri di layani satu persatu. Akhirnya Gadis Guild mendengak dengan penuh wibawa memanggil orang berikutnya untuk melihat sebuah helm baja yang kotor.
Senyum tempel yang terus di pakai sebelumnya, kini berubah menjadi wajah bahagia yang murni.
“Goblin Slayer!”
“Quest Goblin. Kamu punya?”
“Tentu saja! Saya menyimpannya untuk anda…er, karena terlalu banyak untuk di pajang di papan.” Gadis Guild menyembunyikan mulutnya di balik lapisan kertas seraya dia menjulurkan lidahnya menggoda, kemudian Gadis Guild mengeluarkan sebuah lembaran kertas quest dari rak. Gerakannya yang terlatih dan dokumen yang tersusun rapi, membuktikan seberapa banyak pengalaman Gadis Guild sebagai pegawai. Dia mengeluarkan beberapa helai kertas dengan jari kurus, ter-manikur dengan rapid dan meletakkannya di depan Goblin Slayer.
Lima halaman secara keseluruhan.
“Tidak satupun dari insiden ini yang cukup besar, tapi—“
“Tapi mereka berjumlah banyak.”
“Tepat sekali. Saya rasa begitulah musim semi. Para goblin menjadi sama aktifnya seperti orang lain.”
“Setiap tahun selalu terjadi.”
“Kami mempunyai semua quest ini, dan ini merupakan sisa dari quest goblin yang belum di ambil oleh pemula sebelumnya.”
“Apa mereka sanggup?”
Gadis Guild menjawab pertanyaan Goblin Slayer dengan lengkungan salah satu alisnya dan keheningan. Mungkin itu artinya dia tidak mengetahui jawabannya.
Bagi kebanyakan party, kembali pulang hidup-hidup bergantung kepada lemparan dadu. Dadu yang di lempar oleh para dewa di surge menentukan takdir dan kemungkinan, dan terkadang bahkan para dewa kecewa dengan hasilnya.
Gadis Guild melirik pada pundak Goblin Slayer dan melihat barisan petualang baru di belakangnya. Apakah dia harus mempercayakan beberapa quest ini kepada mereka?
Gadis Guild berpikir sejenak kemudian mendengak ke atas mencari Goblin Slayer.
“Bisakah saya meminta anda melakukan sesuatu untuk saya?”
“Aku nggak keberatan.” Goblin Slayer menjawab dengan segera. “Tunjukan padaku quest yang di ambil party lainnya.”
“Terima kasih banyak. Saya minta maaf karena selalu merepotkan anda dengan hal ini.”
Petualangan memerlukan kandidat untuk bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan Guild Petualang bukanlah asosiasi amal seperti kebanyakan organisasi lainnya. Guild tidak memiliki sistem pengawasan, dan juga tidak memiliki kuasa untuk memaksa para petualang untuk melakukan apapun. Guild hanya memverifikasi identitas para petualang yang bergabung, membantu menghubungkan mereka dengan pekerjaan. Dan akan menghukum mereka jika mereka terlalu banyak melakukan masalah.
Bekerja dalam organisasi ini tidaklah mudah.
Sebagai contoh, sangatlah tidak mungkin untuk mengawasi masing-masing dari setiap pendatang baru yang melewati pintu Guild. Apa yang dapat mereka lakukan terhadap quest membasmi goblin yang semakin menumpuk? Ekspresi stress yang tersirat pada wajah Gadis Guild sangatlah dapat di pahami.
“Di kala fasilitas pelatihan telah selesai, mungkin anda tidak akan sering melakukan ini.”
Goblin Slayer tidak berkata apapun selain membalik kertas questnya.
Konten dari quest itu begitu normal baginya. Terdapat sebuah sarang goblin di dekat desa kami. Tolong musnahkan.
Di beberapa tempat, ternak dan tanaman tengah di hancurkan. Sedangkan di tempat lainnya tidak di hancurkan. Di beberapa tempat lainnya orang-orang telah di culik.
Goblin Slayer memindahkan quest yang berisi tentang wanita yang di culik ke atas tumpukan kertas. Kertas yang sudah di ambil para petualang lainnya di letakkan di bawah. Kasus dengan kerusakan minimum di letakkan di tengah.
Sekitar sepuluh quest secara keseluruhan. Namun Goblin Slayer berkata dengan tenang. “Aku akan mengerjakannya dengan urutan ini.”
“Baik, saya mengerti. Berhati-hatilah! Oh—ingin potion, atau…?”
“Ya, tolong.” Goblin Slayer melirik ke belakang pada rekannya sejenak. Dia akan membutuhkan luma—tidak enam, untuk amannnya.
“Potion penyembuh, antirancun, dan stamina potion. Masing-masing enam.”
“Baik!”
Goblin Slayer mengeluarkan delapan belas koin emas dari kantung peralatannya dan meletakkannya di atas meja seraya Gadis Guild mengeluarkannya barang-barangnya.
Delapan belas potion untuk pembasmian goblin kecil! Berita itu dengan cepat tersebar pada keseluruhan pemula yang melihat, bisikan mereka bergelombang layaknya ombak. Apakah ini kewaspadaan, atau pengecut? Apapun itu, hal ini dengan cepat menjadi bahan ejekan. Beberapa orang tertawa dengan jelas—namun beberapa terlihat iri. Itu di karenakan, di saat mereka telah membeli perlengkapan yang di butuhkan, banyak dari mereka yang tidak mampu membeli benda-benda mahal seperti potion. Mungkin jika keseluruhan party mereka mengumpulkan uang mereka bersama, mereka mungkin dapat membeli satu botol potion.
Dan di sini, pria ini membeli delapan belas potion! Masing-masing satu untuk anggota partynya, dan bonus satu hanya untuk lebih amannya! Pria itu terlihat begitu tenang dengan semua ini. Apakah dia berusaha untuk pamer? Sangatlah cukup untuk membuat para penonton ribut.
“Ahh, ini. Keseluruhan ada delapan belas. Mohon di hitung untuk memastikan.”
“Baik.”
“Hati-hati ya!”
Goblin Slayer, menghiraukan percakapan dan tatapan para petualang lainnya.
*****
Hal pertama yang di lakukan Goblin Slayer ketika dia pergi meninggalkan Gadis Guild yang tersenyum menuju partynya adalah untuk mengeluarkan beberapa tali. Dia duduk di atas bangku dan kemudian menjejerkan kedelapan belas potion, masing-masing enam dari tiga warna yang berbeda. Pertama, dia mengikat beberapa tali pada potion penyembuh.
Berikutnya antiracun. Di sini, dia menambahkan beberapa ikatan pada talinya. Untuk stamina potion, dia menambahkan dua ikatan, tiga secara keseluruhan.
Sekarang sangatlah mudah untuk membedakan tipe potion berdasakan jumlah ikatan talinya.
Aku nggak pernah melihat seseorang melakukan itu sebelumnya, High Elf Archer berpikir, dia mencondongkan tubuhnya untuk melihat dengan telinganya yang naik dan turun dan matanya yang berkilau.
“Uh, Orcbolg? Apa yang kamu lakukan?”
“Akhir-akhir ini kita perlu untuk memakai potion kita dengan cepat.” Dia berkata. Tangannya terus bergerak secara mekanikal; gerakan itu sealami belaian angina di dalam hutan. “Aku memastikan supaya kita dapat membedakan potion jenis apa berdasarkan sentuhkan.”
“Oh, biar aku bantu!” Priestess berkata.
”Tolong.” Goblin Slayer berkata.
Priestess duduk di atas bokong kecilnya dan mulai mengikat tali dengan rapi. Ketika ketiga botol telah siap, High Elf Archer menggenggam botol itu dengan “Oke.”
“Dengar Telinga Panjang,” Dwarf Shaman berkata menggerutu. “Kamu harusnya bisa sabaran sedikit.”
“Oh, menurutmu?” Dia mengepak telinganya, wajahnya polos tak berdosa. “Ucapan yang keluar dari seorang dwarf—perwujudan dari keserakahan.”
Dengan satu gerakan, High Elf Archer meraih kantung uangnya dan melempar tiga koin emas, meletakkannya di atas bangku dan mengetuk koin itu dengan jarinya.
“Hrm,” Sang dwarf berkata, ikut mengeluarkan tiga koin miliknya sendiri dan meletakkannya.
“Aku nggak butuh itu.” Goblin Slayer berkata tanpa mengangkat kepalanya (atau lebih tepatnya, helmnya) dari apa yang sedang dia lakukan.
“Nggak bisa begitu,” Dwarf Shaman berkata dengan gelengan kepala. “Jangan biarkan uang atau perlengkapan datang memecahkan persahabatan.”
“Begitu.”
“Selain itu, kamu punya ide yag menarik ya?” Dwarf Shaman berkata.
“Ini sederhana tapi efektif.”
“Ah—aku akan bayar kalau aku sudah selesai.” Priestess menambahkan.
“…Oke.”
“Mari kita lihat…” Lizard Priest berkata, mengeluarkan beberapa uang. Namun pada saat yang sama dia meletakkannya di atas bangku, sesuatu yang cukup aneh terjadi.
“Uh… Permisi,” sebuah suara yang bimbang memanggil party mereka.
Lizard Priest menoleh untuk melihat seorang warrior—terlihat jelas seorang pemula, jika di nilai dari peralatan baru gadis itu. Gadis itu merupakan wanita muda dengan postur tubuh yang kecil. Jika di lihat dari telinganya yang cukup runcing membuktikan bahwa gadis ini merupakan salah satu dari masyarakat rumput, seorang rhea.
Perlengkapannya terlihat begitu baru. Dia menggunakan sebuah legging untuk menutupi kaki kurusnya, namun dari pergelangan kaki ke bawah, dia tidak menggunakan apapun, yang merupakan ciri khas kaumnya.

Sang gadis rhea tersebut terlihat cukup gugup; di belakang gadis itu berdiri partynya, yang sama gugupnya. Dia mendekat party Goblin Slayer dan kemudian, untuk beberapa alasan, tampaknya dia memutuskan bahwa Lizard Priest adalah yang tampak paling mudah di ajak berbicara.
“Um, apa…? Apa yang kamu lakukan?”
“Hmm.” Lizard Priest menyipitkan matanya dengan maksud sebagai tanda persahabatan. Gadis rhea itu bergetar sedikit lebih luat. “Kami sedang menyiapkan potion.” Lizard Priest berkata. Mengangkat salah satu botol dengan tangan bersisiknya. Cairan bergelombang di dalam botolnya. Sebuah potion penyembuh. “Botol ini sedang di berikan tanda agar kami tidak salah dalam mengambilnya jika kami memerlukannya dengan cepat.”
“Di tandai…”
“Tidak ada jaminan bahwa akan terdapat waktu untuk melihat potion mana yang kami butuhkan.”
Ide itu tampaknya terserap oleh sang gadis; dia menganggu mengagumi.
“Aku peringatkan kamu,” Goblin Slayer berkata, tanpa melihat para petualang muda itu, “Kalau kamu berusaha memberi tanda pada seluruh barang yang ada di dalam tasmu, kamu nggak akan pernah ingat semua tanda itu.”
“Oh—uh, te-tentu saja. Aku nggak akan pernah melakukan itu… Ha-ha.” Wajah gadis itu membeku. Kemungkinan itulah apa yang dia pikir untuk lakukan. High Elf Archer tertawa, sebening sebuah lonceng, menyebabkan gadis itu tersipu dan menatap ke lantai.
“Hanya tandai barang yang mungkin kamu butuhkan dengan cepat. Dan—“
Goblin Slayer menyelesaikan ikatan terakhir potionnya. Dia memasukkannya dengan hati-hati ke dalam tasnya, memastikan botol itu benar-benar terlindungi.
“—berhati-hatilah terhadap goblin. Mulai dari membasmi tikus atau semacamnya.”
“Oh, uh, baik! Tentu saja!”
Sang gadis rhea menundukkan kepalanya beberapa kali dan kembali ke dalam grupnya dengan cepat. Dengan segera mereka membentuk sebuah lingkaran dan mulai berbisik; tampaknya mereka mulai menjadi akrab, mereka bahkan cukup terkoordinasi untuk membentuk dua grup, satu untuk mengikat barang-barang mereka dan grup lainnya mencari sebuah quest.
“Domba agung yang berjalan di atas jalan berkapur, bimbinglah mereka menjadi bagian kecil dari pertarunganmu yang akan melegenda.” Lizard Priest membuat gerakan misterius, berdoa untuk kesuksesan, keberanian, dan kematian terhormat para petualang.
Benar, beberapa petualang lebih memilih untuk bergosip dan mengejek, namun yang lainnya berusaha untuk menyerap pengetahuan yang akan mereka butuhkan untuk dapat bertahan hidup. Bukan berarti satu lebih baik dari yang lainnya; satu lebih benar dari yang lainnya. Mengikuti sebuah saran bukanlah sebuah jaminan akan kesuksesan, ataupun menolak sebuah saran akan menjerumuskan kepada kegagalan.
Akan tetapi, walaupun seperti itu.
“Saya berharap mereka dapat selamat.”
“…Siapa yang tahu?” Ucapan itu terdengar seperti terpaksa dari Goblin Slayer.
Kematian seseorang akan tiba pada saatnya, walaupun jika mereka sedang berhadapan dengan tikus raksasa. Dan jika mereka selamat, quest akan semakin bertambah mengerikan seraya mereka naik tingkatan berikutnya dan berikutnya.
Jika petualangan adalah pekerjaan yang aman, maka tidak ada gunanya menyebutnya sebagai petualangan.
Goblin Slayer telah selesai meletakkan potion yang telah dia siapkan, kemudian secara perlahan berdiri.
“Oh, pak Goblin Slayer, uangmu.” Priestess berdiri mengikutinya, dengan buru-buru merogoh kantungnya mencari koin.
“…Baik.” Goblin Slayer menukar pemberian Priestess dengan sehelai kertas di tangannya, dan berkata. “Aku menerima pekerjaan ini.”
“Wow…” dari ketebalan ikatan itu, Priestess mengira bahwa pria ini pasti telah mengambil semua quest goblin yang tersisa. Priestess menahan senyum yang tersirat di wajahnya, memaksa dirinya untuk focus pada kalimat pada kertas itu.
‘Mulai dari membasmi tikus atau semacamnya,’ hehe!
Tidak aka nada quest membasmi goblin yang tersisa, walaupun anak-anak itu ingin mengambilnya. Priestess tidak mengetahui apakah ini di sengaja oleh pria itu atau tidak. Ya ampun!
“Bagaimana?”
Dalam konteks ini, itu berarti, Aku akan pergi, bagaimana dengan kalian?
Priestess telah menerima ini semua sebagai bagian dari kebiasaan Goblin Slayer yang tampaknya tidak akan pernah berubah. Priestess menghela dan menggeleng kepalanya. “Kamu sendiri bagaimana. Kamu tahu aku akan pergi—itulah kenapa aku di sini.”
“Hrk…”
“Kamu bakal pergi sendiri kalau kami biarkan,” Priestess menambahkan. “Dan kami nggak akan membiarkannya.”
“Seseorang bisa saja bersikap cuek tentang apa yang di pikirkan orang lain, Orcbolg,” High Elf Archer berkata, mengendus kesal. “Tapi apa kamu nggak merasa kesal, orang lain membicarakan kamu seperti itu?”
“Nggak.” Goblin Slayer berkata pendek. Dia menggelengkan kepala berhelmnya. “Aku nggak begitu mengerti apa yang mereka harapkan dari aku.”
“Itu baru temanku, Beardcutter. Goblin kalau begitu!”
“Tidak di ragukan lagi.” Lizard Priest berkata, memberikan Goblin Slayer tepukan riang dengan ekor besarnya. Dwarf Shaman tertawa terbahak-bahak.
Sekarang telah jelas bagaimana bertepuk sebelah tangannya opini High Elf Archer. “Ya sudah, siapa yang peduli?” dia berkata, berputar dan mulai mengambek.
“Sudah, sudah,” Priestess berkata menenangkan, dan kemudian dia memutar perhatiannya untuk memeriksa cepat perlengkapannya.
Peralatan, cek, barang, cek, persediaan pangan, cek. Nggak lupa perkakas petualang. Dan baju ganti.
“Baiklah. Aku rasa aku siap untuk pergi.”
“Kalau begitu ayo pergi.”
Seorang warrior manusia, seorang elf ranger, dwarf pembaca mantra, cleric manusia, dan seorang monk lizardman.
Kelima petualang, berbeda ras, kelas, dan kelamin, meninggalkan Guild di belakang mereka.
Sebuah party petualang yang juga rekan perjalanan.
Seraya ucapan itu terlintas di benak Priestess, dia sedikit memperlambat langkahnya. Bahkan walaupun dia berjalan dengan pelan, dia dapat merasakan kedekatan yang aneh bersama orang-orang ini.
“Hei! Minggir kalau kamu nggak mau terluka!”
“Eek?!”
Seorang bocah berlari melewati mereka, mendorong Priestess ke samping, jubahnya terbuka, menunjukkan sebuah tongkat besar di tangannya—bocah itu pastilah seorang wizard.
Priestess, terjatuh setelah terdorong, merasakan tangan Goblin Slayer yang menangkapnya.
“Te-terima kasih. Maaf.”
“Nggak masalah.”
Priestess meluruskan topinya. Goblin Slayer mulai berjalan menjauh seolah kejadian itu tidak menarik perhatiannya sama sekali. Akan tetapi, Dwarf Shaman tidak sesabar itu, mengepal tangannya dan berteriak kepada bocah itu, “Hei, hati-hati kalau jalan!”
“Persetan! Itu salah dia sendiri karena berdiri melamun di tengah jalan! Lain kali biar Fireball-ku yang berbicara!” Bocah itu tidak berhenti berlari menuju Guild seraya dia berteriak membalas.
“Grr…Anak kecil jaman sekarang.” Dwarf Shaman menggerutu.
“Udh merasa tua kek?” High Elf Archer bertanya.
“Bukannya kamu lebih tua dari aku!” sang shaman menyipitkan matanya dan melotot pada sang archer. Lebih tepatnya dia melotot pada dada kecilnya yang di lapisi pakaian berburu. “Apa seharusnya kamu memakai sesuatu yang cocok dengan usiamu, papan?”
“A-apa—kamu—gentung!” Wajah High Elf Archer menjadi merah dan telinganya menengang.
Perdebatan yang biasa telah membawa senyum kembali ke wajah Priestess. Namun…
Priestess melirik kembali mengarah Guild Petualang. Bangunan besar itu masih terlihat jelas walaupun dengan ramainya kerumunan orang di luar.
“Dengan banyaknya pendatang baru, tentu saja akan ada beberapa dari mereka yang mempunyai sikap kasar.” Lizard Priest menoleh kepada Priestess. “Apa ada yang salah?”
“Oh, uh, nggak.” Priestess berkata, mengayunkan tangannya untuk menepis pertanyaannya. “Nggak apa-apa.” Kemudian dia menatap ke depan kembali.
Terus berjalan. Ikuti rekanmu. Tetap bersama partymu.
Dia bergegas mengikuti yang lain, namun dia tidak dapat membuyarkan wajah pembaca mantra berambut merah itu dari pikirannya.
Mungkin aku cuma berimajinasi saja, tapi…dia kelihatannya nggak asing.
*****
“ORAGARARA?!”
“Tujuh goblin di depan kita! —Enam sekarang!” Sebuah suara menggema di dalam gua, di ikuti dengan jeritan seekor goblin. High Elf Archer melepaskan panah seraya mereka berlari di dalam lorong gelap dan sempit.
Masing-masing dari party mereka melompati sebuah mayat goblin, yang tewas tertembus panah di matanya, dan mereka terus berlari.
“Bagus.” Goblin Slayer bergumam. Seraya dia memimpin mereka, dia membalik genggaman pedang di tangannya hingga terbalik kemudian melemparkannya dengan satu gerakan.
“GRAB?!”
“GRROB! GRARB!!”
Pedang itu menancap pada tenggorokan goblin, menyebabkan makhluk itu tersedak dengan darahnya sendiri. Di sampingnya, salah satu rekannya yang menggenggam sebuah pedang berkarat tertawa; Dasar petualang bodoh. Melempar senjata mereka sendiri!
Pedang goblin berkelip sinar obor Goblin Slayer. Monster itu memberikan sebuah teriakan dan melompat ke depan.
“GRAAARBROOR!!”
“Hmph.”
Goblin Slayer memblokir pedang goblin dengan perisainya. Dengan cepat dia mengantarkan obor pada tangan kanannya menuju kepala sang monster.
“GRAB?!”
Sebuah jeritan terdengar. Rasa sakit dari hidung yang patah masuk menusuk otak, rasa sakit dari wajah yang terbakar denagn api. Kematian goblin itu jauh lebih ringan di banding dengan kematian orang lain yang telah goblin itu bunuh sepanjang hidupnya.
“Dua, tiga.”
Menendang mayat baru itu ke samping, mengambil pedangnya, dan terus berjalan.
Empat lagi, atau lebih tepatnya—
“KREEEEEEYYAAHHHH!!”
Dari samping Goblin Slayer datanglah teriakan Lizard Priest dan doanya. Bahkan seraya dia berteriak, dia mengayunkan pedang taringnya dengan kekuatan yang luar biasa, menghancurkan goblin di depannya. Tidak ada goblin yang dapat bertahan hidup setelah mendapatkan tebasan pada batang tenggorokannya.
“GROAROROB?!”
“Empat. Tiga lagi.”
Goblin Slayer membiarkan Lizard Priest menyelesaikan goblin itu; dia telah menemukan musuh lainnya. Jauh di dalam kegelapan pada ujung terowongan, sesuatu  yang samar memantulkan cahaya obornya. Tanpa keraguan, Goblin Slayer mengangkat perisainya ke depan wajahnya.
Beberapa bunyi twang datar terdengar, dan beberapa objet terbang melintasi kegelapan. Dengan cepat Goblin Slayer merasakan sebuah benturan pada lengan kirinya seolah terhantam sesuatu. Dia menjentikan lidahnya.
“GRORB!”
“GRAROROBR!”
Goblin Slayer tidak perlu melihat untuk mengetahui apa yang membenturnya: adalah sebuah panah yang tertancap pada perisainya. Dua tertantap pada perisainya, sedangkan satu panah terbang melewati kepala Goblin Slayer dan menuju partynya, walaupun Lizard Priest telah berhasil menangkis panah ketiga. Sangatlah jelas bahwa terdapat goblin archer yang bersembunyi dalam kegelapan.
Musuh bersenjatakan dengan busur silang patut di takuti, namun untungnya, makhluk-makhluk ini hanya membawa busur biasa. (TL Note : Busur silang = Crossbow https://id.wikipedia.org/wiki/Busur_silang )
“Tsk…” Goblin Slayer menjentikan lidahnya terlambat menyadari ini. Kemudian dengan santai dia menggenggam panah itu dan menariknya. Tampaknya dia tidak mempedulikan kerusakan yang terjadi pada perlengkapannya sendiri jika mencabut panah itu. Dan dia hanya berfokus kepada kegelapan, sebuah cairan tidak di ketahui menetes dari mata panahnya.
“Racun!” Dia berteriak kemudian membuang panahnya.
Sebuah jawaban terdengar dari belakangnya. “Serahkan padaku!” High Elf Archer sudah menarik busurnya. Suara akan benang yang di tarik hampir terdengar seperti musik seraya dia melepaskan tembakannya, menembus tenggorokan seekor goblin archer. Menantang seorang elf dalam kontes memanah merupakan tindakan yang sangat bodoh. Dengan begitu mayat goblin menjadi lima.
“Enam!” Goblin Slayer telah berlari menerjang terowongan, membuat kontak dengan musuh. Dengan mudah dia berhasil menancapkan sebuah pedang pada leher goblin yang meraung. Dia menendang mayat itu menjauh, membebaskan pedangnya, kemudian mengangkat perisainya untuk bertahan seraya dia mengambil langkah mundur dari musuh lainnya yang mendekat.
“Hrrrooooooh!! Lizard Priest melompat denagn pedangnya, menebas makhluk-makhluk itu hingga tujuh goblin tergeletak di tanah.
Untuk beberapa saat, satu-satunya suara yang terdengar di dalam terowongan yang gelap dan bau adalah suara napas yang meninggi dari kelimat anggota party.
“A-apa sudah—semuanya?” Priestess bertanya, mencoba mengatur napasnya.
“Kemungkinan.” Goblin Slayer berakta, membuang obornya. Obor itu telah terbakar habis hingga ke panggkalnya, mungkin sebagian di karenakan betapa kasarnya obor itu di gunakan.
Tiga dari anggota party mereka dapat melihat di dalam kegelapan, namun itu bukan berarti mereka harus pergi tanpa adanya sumber cahaya.
“Oh, pak Goblin Slayer, ini…” Ketika priestess melihatnya mengeluarkan obor baru dari dalam tasnya, Priestess dengan cepat menyediakan batu api.
“Terima kasih.”
“Nggak masalah.” Priestess menjawab dengan sedikit senyuman. Dia membuat beberapa percikan dengan abut api, menghela napas seraya percikan itu menyalakan obor.
Dia mengambil kesempatan ini untuk melihat sekelilingnya. Gua batu ini sangat sempit, dan aroma akan darah dan jeroan bergabung dengan aroma busuk yang merupakan ciri khas dari sarang goblin.
“Ugh…”
Benar, Priestess sudah terbiasa dengan semua ini, namun itu bukan berarti dia menyukainya. High Elf Archer menutup hidungnya dan terlihat muram. Walaupun begitu, dia terus memegang busur pada satu tangannya, dan telinga panjangnya mendengarkan segalannya yang ada di sekitar mereka.
“Aku tahu kita sudah berjalan cukup dalam, tapi apa kita masih belum sampai ke permukaan?”
“Apa yang akan kita lakukan? Jumlah mereka terus bertambah…”
Suara mereka terdengar lelah. Priestess menawarkan sebuah air kepada High Elf Archer, yang menerimanya dengan syukur dan meneguknya.
Mereka telah memasuki gua ini dari sebuah sungai yang berada di dekat desa. Mereka sedang berusaha mencari jalan keluarnya, akan tetapi mereka merasa tidak ada kemajuan sama sekali.
Jawaban dari pertanyaan High Elf Archer sudah semakin mendekat.
“GROOORORB!”
“GRAAARB! GROB! GRORRB!!”
Suara hina menggema di dalam gua. Gua ini bagaikan sebuah sarang semut; adalah neraka, labirin, penuh lika-liku. Goblin yang tidak ada habisnya sangatlah cukup untuk mematahkan semangat petualang pemula manapun.
Party mereka telah berjalan tanpa istirahat selama kurang lebih beberapa jam. Enam atau tujuh goblin yang baru saja mereka hitung adalah grup goblin yang baru-baru saja mereka temui. Berapa banyak goblin yang telah mereka musnahkan secara keseluruhan? Lusin. Berlusin-lusin.
“….Masih ada yang datang.” Kulit pucat alami Priestess menjadi semakin pucat seraya darah terkuras dari wajahnya; dia menggigit bibirnya. Tangannya, menggenggam tongkatnya dengan begitu erat.
“Apa kamu bisa bertarung?” Goblin Slayer bertanya dengan tenang.
“I…iya.” Priestess menjawab, mengangguk. Walaupun Priestess menjawab Aku nggak bisa, tidak akan ada yang berubah…namun tetap saja, sangatlah menenangkan bagi Priestess mengetahui bahwa setidaknya pria itu berkenan bertanya kepadanya.
Dia menarik napas dan menghembuskannya kembali. Jarinya terasa seperti bukan mliknya seraya dia melonggarkannya dan mengatur kembali genggamannya.
“Sungguh beruntung adalah kita yang menerima quest ini.” Lizard Priest berkata, memperhatikan Priestess seraya dia mengelap darah dari pedang taringnya.
Langkah tidak teratur dari para goblin semakin mendekat. Suara itu menggema dari dalam kegelapan, sempit terowongan ini, seolah ingin menelan para petualang.
“Dan ada berapakah musuh yang akan kita hadapi kali ini?”
“Nggak lebih dari tiga puluh menurutku,” High Elf Archer berkata, mengepakkan telinganya. “Tapi nggak kurang dari sepuluh.”
“Jika begitu mari kita anggap dua puluh,” Lizard Priest berkata “Pembasmian goblin biasanya di anggap sebagai pekerjaan untuk pemula, namun dengan jumlah para goblin ini, tentunya para pemula tidak akan sanggup.”
Walaupun begitu, jumlah party mereka hanyalah berjumlah lima orang. Lizard Priest membuat suara menggerutu yang rendah dari tenggorokannya, menjulurkan lehernya untuk melihat ke bawah terowongan. Dia menepuk ekornya pada lantai. Berpikir apakah tepat untuk memanggil Dragontooth warrior atau tidak? Untuk memakai mantra atau tidak? Adalah sebuah pertimbangan yang patut di pikirkan.
“Hrm. Yah, ini bakal merepotkan.” Dwarf Shaman menggerutu, meletakkan sebuah beban pada punggungnya. Adalah seorang wanita muda, yang kotor, penuh dengan luka, dan tidak sadarkan diri. Dwarf Shaman menyandarkan gadis itu pada sebuah dinding seraya dia berkata, “Kita harus memastikan dia tetap aman juga.”
Ini adalah, bagaimana semuanya biasanya berjalan. Namun semua hal biasa ini adalah yang dapat membinasakan kehidupan banyak orang.
Pada dasarnya, ini adalah yang terjadih: Beberapa goblin telah membuat sarang di dekat sebuah desa. Para pemuda telah bersiap siaga, namun para wanita muda—sedang mengumpulkan tanaman herba atau mengembala domba—telah di culik. Dan desa mereka sangat ingin goblin ini di basmi.
Pergilah ke empat pelosok dunia, dan kamu akan mendengarkan cerita yang sama. Goblin adalah sebuah masalah yang berada di manapun dan kapanpun.
Dalam kasus ini, kejadian ini terjadi di sebuah desa di pinggir sungai yang di tuju Goblin Slayer, korban mereka adalah anak perempuan seorang nelayan. Sangatlah sulit untuk mengatakan apakah gadis itu beruntung atau tidak: menggunakan tongkat panjang untuk mengarahkan perahu maju dan mundur di sungai setiap hari, gadis itu telah menjadi lebih kuat di banding dengan kebanyakan pria lainnya. Oleh karena itu, gadis itu memiliki kekuatan untuk menahan kebrutalan dan siksaan yang di berikan oleh para goblin. Gadis itu masih dapat menjaga kewarasannya. Bagaimana dia dapat menjalani kehidupannya setelah ini?
“Kalau mereka berkembang biak lebih banyak lagi, mereka dapat melakukan penyerbuan ke permukaan dengan sangat mudah.” Penilaian Goblin Slayer sangatlah tegas: “Kita akan membunuh semua goblin.”
Respon apa lagi selain ini?
Ya, ini semua adalah hal yang sangat biasa.
Paling tidak, bagi Goblin Slayer.
“Bagaimana menurutmu tentang keadaan ini?”
“Jika kita berhadapan dengan mereka di terowongan yang sempit, jumlah mereka akan menjadi tidak berarti,” Lizard Priest berkata. “Tetapi…” dia menggaruk cakarnya pada dinding terowongan. “Jika iblis kecil itu dapat menembus dinding yang ada di sekitar kita, maka kita tentu akan sangat kesulitan. Saya percaya jika berpindah tempat adalah pilihan yang bijak.”
“Oke.” Goblin Slayer berkata, memeriksa senjatanya. “Kita masih mempunyai mantra yang tersisa kan?”
“Oh, Iya.” Priestess adalah yang pertama menjawab. “Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang panjang, jadi aku menyimpan ketiga keajaibanku.”
“Sedangkan saya, saya hanya baru menggunakan sebuah Pedang Taring.” Itu artinya masih tersisa tiga lagi. Goblin Slayer mengangguk. Itu sudah cukup.
“Aku sendiri, masih punya empat.” Dwarf Shaman berkata, menghitung dengan jarinya. Dia membuka tas dan melihat ke dalamnya, dan mengernyit. “Tapi seingatku, kamu bilang tadi ada sekitar sepuluh tempat rawan kan?”
“Gila juga ya?”
Menghiraukan celotehan kecil High Elf Archer, Goblin Slayer menggelengkan kepalanya. “Kita bisa beristirahat.”
“Bukan itu masalahnya.”
Cleric atau mage, keajaiban atau mantra, mengubah tatanan logika dunia adalah hal yang sangat menguras tenaga. Setiap orang hanya dapat melakukannya beberapa kali dalam sehari. Jika kamu bukan seorang pengguna sihir tingkat Platinum, mungkin itulah hal terbaik yang dapat kamu harapkan. Oleh karena itu, adalah sebuah prinsip sederhana dari petualangan untuk memberikan pengguna sihir dalam partymu istirahat yang banyak. Mereka yang menghiraukan aturan ini dapat menyebabkan diri mereka sendiri dalam keadaan berbahaya (walaupun setiap orang tetap waktu pada waktunya, tidak peduli sebanyak sehatnya seorang pembaca mantra.)
Lizard Priest, berdiri di samping Goblin Slayer, memahami apa yang di maksud oleh Dwarf Shaman. “Permasalahannya ada pada katalisnya bukan?”
“Betul. Aku akan mencoba sebisaku, tapi benda sihir itu cukup—kamu tahulah.”
“Baiklah.” Goblin Slayer mengambiil sebuah pedang berlumur dengan darah dan membersihkannya dengan cepat memakai kain goblin. Jika dia dapat menggunakannya untuk membunuh satu atau dua musuh dengan ini, itu akan cukup. Lagipula Musuh Goblin Slayer akan membawa senjata mereka kepadanya. Tidak ada yang perlu di khawatirkan.
“Kalau begitu gunakan mantra Tunnel. Yang nggak memerlukan sebuah katalis.”
“Benar juga. Tapi kenapa memakai—ahh, apa itu yang kamu pikirkan?” Dwarf Shaman membelai jenggotnya, dia tidak perlu repot-repot berpikir untuk mengetahui apa yang di inginkan Goblin Slayer. Wajahnya tersenyum.
“Bagaimanapun juga hasilnya, Beardcutter, sepertinya kamu melimpahkannya semua ke aku, Hei Scaly, pinjamkan tanganmu—er, pundak.” (TL Note : Disini Dwarf Shaman mengatakan “gimme a hand—er a shoulder” yang arti sederhananya “Bantu aku” tapi karena pada akhir kalimatnya ada “shoulder” maka saya pakai “Pinjamkan tanganmu” supaya lebih nyambung.)
“Ha-ha. Baik, masuk akal. Ini. Apakah punggung saya akan cukup?”
Dwarf Shaman menghela kemudian memanjat punggung kekar Lizard Priest. Dia mengeluarkan sebuah botol hitam dan sebuah kuas dari tasnya dan mulai menggambar sebuah pila pada langit-langit dengan gerakan tangannya yang lincah.
High Elf Archer masih belum memahami semuanya. Dia mengepakkan telinganya curiga dan menggerutu seraya Dwarf Shaman menggambar.
Gambar itu tidak bisa di terka. “Apa ini masuk akal bagimu?” Sang elf bertanya kepada Priestess, namun gadis lainnya hanya menjawab, “Nggak juga.” Dan terlihat malu.
“Hei Orcbolg, apa yang di lakukannya?” dia bertanya. “Beritahu kami apa yang terjadi!”
Di depan wajah yang memohon penjelasan, Goblin Slayer menjawab dengan datar seperti biasanya. “Aku peringatkan kamu.” Dia berkata.
“Tentang apa?”
“Ini rute pelarian darurat.”
“Apanya?”
“Kita menyelamatkan tahanannya. Sudah tidak ada lagi masalah.”
Hanya itulah yang dia katakana, kemudian dia melempar sesuatu kepada High Elf Archer. Bahkan di dalam kegeelapan, sang elf dapat melihat benda apa itu; dia menangkapnya di udara.
“Aku akan menunjukkan padamu cara untuk menggunakan…yah.”
High Elf Archer terus tampak terlihat bingung, namun Priestess berkata. “Oh,” seolah sedikit kecewa. “Jadi begitu.” Dia menambahkan.
Di tangan sang archer adalah cincin untuk bernapas di bawah air.
*****
Adalah hal yang sangat biasa bagi para goblin juga: para petualang. Makhluk tengik yang selalu berusaha masuk ke dalam rumah para goblin tepat ketika mereka sedang berusaha untuk bersantai.
Kali ini mereka berjumlah lima. Dan betapa beruntungnya: dua dari mereka adalah wanita. Mereka berdua muda, dan salah satunya adalah seorang elf.
Entah mengapa, bau tubuh mereka tidak seperti biasanya, namun itu sudah cukup untuk membakar birahi para goblin.
“GRAORB!”
“ORGA!”
Di dalam lubang gelap mereka, para goblin tertawa hina dan mengobarkan harsat kegelapan mereka.
Betapa beruntungnya kami! Dua wanita. Kami bisa bersenang-senang sesuka kami dan juga memperbesar keluarga kami.
Di dalam peperangan antara mereka yang dapat berbahasa, pria adalah tahanan dan Sandra yang paling berharga. Itu, tentu saja di karenakan mereka adalah pekerja yang terbaik. Dengan cara yang tepat, para tahanan dapat di berikan sebuah pekerjaan.
Akan tetapi, bagi para goblin, hal tersebut sangatlah berbeda. Pria sangatlah berbahaya; mereka mudah menjadi marah dan kasar, membuat para goblin takut dengan mereka. Mereka dapat saja memotong kaki dan tangan pria itu dan melemparkannya ke dalam penjara, namun setelah itu, hanyalah pilihan antara memakannya atau menyiksanya yang tersisa. Begitu banyak pekerjaan dengan sedikitnya hadiah.
Dalam hal itu, wanita—perempuan—menawarkan hal yang cukup berbeda. Menghamili mereka akan sangat cukup untuk mencegah mereka melarikan diri. Kamu dapat melakukan apapun yang kamu mau dengan mereka; seorang wanita tanpa tangan dan kaki masihlah berguna.
Dan terlebih lagi, wanita itu menyenangkan. Mereka sangat berharga. Dan mereka juga dapat membuat goblin lebih banyak lagi. Semua nilai ini dalam satu kemasan wanita.
Jika kamu sudah bosan dengan mereka, atau mereka mati, maka kamu dapat memakan mereka. Jauh lebih berguna di banding dengan pria.
“GROB! GROAB!”
“GROOORB!”
Para goblin berteriak bersama seraya mereka berjalan melewati tanah yang lembek dengan keinginan jahat tertinggi.
Berikan gadis kecil itu satu atau dua pukulan, tentunya dia akan mulai menjadi penurut. Sang elf itu terlihat sedikit lebih tangguh. Mungkin, akan lebih baik jika di mulai dengan mematahkan kakinya.
Tidak, tidak. Menghancurkan jarinya agar dia tidak dapat menggunakan busurnya lagi. Itu adalah yang terbaik.
Sedangkan yang gemuk, sang dwarf. Sepertinya dia dapat menjadi bahan makanan selama berhari-hari. Daging perut yang gemuk dan lezat.
Cabut sisik dari lizardman itu. Jahit menjadi satu dengan benang dan sisik itu akan menjadi armor yang bagus. Tulang, cakar, dan taringnya akan sempurna untuk menjadi sebuah tombak juga.
Dan kemudian manusia berarmor itu. Semua yang dia bawa, pedang, perisai, dan semua perlengkapannya, tampak terlihat seperti buatan para goblin.
Betapa bodohnya petualang-petualang ini!
Tidak sekalipun terlintas di pikiran mereka bahwa mereka akan terkalahkan.
Goblin tidak memiliki kekuatan, kecuali jumlah mereka. Mereka memahami itu secara insting; itu yang membuat para goblin, goblin. Jika mereka di berikan sedikit saja kecerdasan, tidak di ragukan mereka akan punah sejak dahulu kala.
Pada akhirnya, mereka merasakan dinding tanah yang mulai berubah. Mereka mendengarkan dengan seksama; mereka dapat mendengar suara yang samar.
Inilah tempatnya.
Para goblin melihat satu sama lain dan mengangguk. Senyum buruk rupa tersirat di wajah mereka.
Mereka semua memiliki senjata pada tangan mereka—benda yang sama yang mereka gunakan untuk menggali tanah. Kebanyakan dari senjata mereka terbuat dari tulang atau batu atau cabang, walaupun sebagian dari benda terdapat sebuah sekop yang berhasil mereka curi.
Strategi tidak memainkan peranan kali ini. Sementara rekan mereka terbunuh, mereka akan membuat serangan kejutan dan membantai musuh mereka.
Para petualang tolol ini tampaknya sedang merencanakan sesuatu, namun para goblin tidak akan membiarkan mereka begitu saja. Makhluk-makhluk ini benar-benar sudah melupakan apa yang telah mereka lakukan kepada anak perempuan kapten nelayan itu.  Yang ada di pikiran mereka saat ini hanyalah kemurkaan yang mereka rasakan atas dua puluh rekan mereka yang terbunuh.
Mereka akan membayar semua ini karena sudah memporak-porandakan ruma kami!
Bunuh! Perkosa! Curi!
“GOROROB!!”
“GRAB! ORGRAAROB!!”
Dengan seruan bersama, para gerombolan goblin menerobos melewati dinding dan melompat. Gelombang goblin menerjang para petualang.
“Bodoh.”
Tepat pada saat itu, sebuah scroll di lepaskan, dan gelombang yang sesungguhnya datang menghajar goblin dan menelan mereka hidup=hidup.
*****
Sebuah getaran dahsyat terdengar di bawah tanah, dan sebuah pilar putih menyembur di lahan.
Tidak—adalah aroma akan garam yang datang bersama dengan aroma musim semi yang membuatnya jelas bahwa ini adalah air laut, yang di panggil dari dalam dasar lautan.
Semburan air itu semakin naik di dalam terowongan hingga ke permukaan—dan, tentu saja, membawa para petualang bersamanya.
“Ahhhh?! Aku benci ini! Aku benci, aku benci, aku benci!!”
“Ha! Ha! Ha! Ha! Ha! Puji Tuhan, ini benar-benar sesuatu!”
Jeritan High Elf Archer dapat terdengar bersamaan dengan tawa riang dari Lizard Priest. Telinganya menegang ke belakang, dan matanya tertutup rapat; dia sudah benar-benar melupakan kehormatannya sebagai seorang High Elf. Bahkan tidak berlebihan jika kehormatannya telah terbuang dari dirinya….
“Saya rasa ini dapat di pahami.”
“Bagaimana bisa kamu begitu tenang?!”
“Masyarakat kami mengajarkan bahwa kami adalah saudara jauh dari para burung.” Lizard Priest menjawab.
Walaupun begitu—bernapas adalah satu hal, namun jatuh ke bawah setelah terlempar di udara? Sebuah luka tentunya akan terjadi. Jika Ibunda Bumi memang maha pengasih, luka ini mungkin saja tidak berbahaya.
“Ki—kita jatuh! Aku jatuh! Cepat…!” Priestess memohon dari dalam lubuk hatinya, bahkan seraya dia mencoba menahan roknya agar tidak tertiup oleh angin.
Kalau saja kita mempunyai keajaiban untuk membuat tanah menjadi lembek dan lembut—nggak adil!
Ini adalah pikiran yang tidak semestinya melintas di kepala Priestess, dan angin membawa terbang air matanya.
“Baiklah! Serahkan padaku!”
Untungnya aku tahu ini akan terjadi.
Dwarf Shaman, tampak tenang dan dengan gadis tahanan pada punggungnya, mulai membaca sebuah mantra rumit seraya mereka melambung di udara.
“Keluarlah kalian, gnome, Dan lepaskan! Ini dia, lihat di bawahmu! Putar balikkan semua ember itu—kosongkan semua yang ada di tanah!”
Dan parah petualang, yang hampir saja terlihat akan menghantam pada tanah, mengambang secara perlahan menuju permukaan seperti sehelai bulu. Priestess menghela, merasa lega karena telah berhasil terhindar menjadi gumpalan daging di tanah.

“Se—sekarang sudah nggak apa-apa kan?” Priestess berkata bimbang.
“Tentu saja ini apa-apa!” High Elf Archer berteriak. “Ini benar-benar nggak oke sama sekali! Aku nggak tahu apa aku bisa membuka mataku lagi!” Telinganya bergetar dengan hebat, di iringi dengan kepalanya yang juga bergetar.
“Memang benar, Falling Control bagus untuk pergi ke atas atau ke bawah,” Dwarf Shaman berakta. (Walaupun mantra ini sebenarnya di tujukan untuk meraih tempat yang tinggi, atau ketika terjebak di dalam sebuah lubang.) “Tapi Beardcutter, bagaimana kamu bisa selamat kalau kamu belum bertemu dengan kami?”
“Aku mengikat tubuhku, dan ketika aku sudah di bawah air, aku jalan.”
“Apaan itu!” sang dwarf mengejek.
“Untuk kali ini, sudah nggak ada waktu.”
Lirikan curiga Dwarf Shaman tidak mengusik Goblin Slayer sama sekali. Gravitasi secara perlahan membawa party mereka kembali menyentuh tanah.
Ledakan akan air laut itu telah mengubah daerah sekitar mereka menjadi lumpur, dan aroma garam di udara terasa begitu aneh. Akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum garam itu telah benar-benar terserap oleh tanah dan lahan ini akan menjadi bagus untuk menjadi lahan pertanaman.
“Oh, yang…. Seharusnya aku membawa baju ganti,” Priestess menghela, secara hati-hati menjaga kakinya untuk tidak tersangkut di dalam lumpur. Dia mengangkat kain roknya , yang sekarang telah menjadi basah dan memerasnya. Hal itu menyebabkan kakinya yang pucat terpapar hingga pahanya, namun terdapat banyak hal yang jauh lebih penting di bandingkan rasa malu.
“Oh, tapi…jangan melihat ke sini oke?”
“Baik.”
Goblin Slayer, tentu saja, tidak sedikitpun melirik mengarah Priestess, dan akan bohong jika mengatakan itu tidak  membuat Priestess sedikit kesal.
“Tentu saja kamu nggak akan melirik,” Priestess bergumam, dan kemudian dengan dengusan, dia menarik lapisan atas pakaiannya. Tidak hal lain yang dapat di lakukan—jika tidak di lakukan, air laut akan membuat baju besinya berkarat.
“Oh, ah, g-grr…nggak! Nggak! Ini di larang. Nggak boleh. Aku nggak akan pernah membiarkannya melakukan ini lagi…” High Elf Archer telah kembali menjadi dirinya sendiri. Priestess melirik pada sang elf. Seingat Priestess, High Elf Archer sama sekali tidak memiliki perlengkapan yang mengandung metal.
Jadi seharusnya dia baik-baik saja kan?
Lagipula Priestess belum mendapatkan anugrah keajaiban Calming, tidak baik untuk terlalu berlebihan dalam penggunaan bantuan supernatural. Dengan waktu yang cukup, High Elf Archer akan tenang dengan sendirinya. Dan itu adalah hasil yang terbaik.
Dengan itu, Priestess memutuskan untuk membiarkan High Elf Archer tenang dengan sendirinya. Mentari musim semi telah terbit; tentunya ini akan dapat menenangkannya.
“Baiklah, kalau begitu…” Ketika Priestess meluhat ke belakang pada Goblin Slayer, pria itu sedang kembali melakukan pekerjaannya. Membunuh goblin.
Seraya efek dari Tunnel telah memudar, lubang kembali terisi kembali dengan tanah. Air laut secara perlahan akan masuk ke dalam mulut gua, dan para goblin akan kebanjiran.
Tepat seperti yang di inginkan para petualang.
Goblin Slayer mengencangkan genggamannya pada pedangnya, yang tidak pernah dia lepaskan walaupun di tengah-tengah semburan kuat itu. Dia melangkah di antara lumpur, bergerak maju dengan pasti.
Beberapa goblin, yang telah terlempar dari gua bersama dengan mereka kini terbaring di tanah.
“Hmph.”
“ORGAR?!”
Satu. Tanpa ragu, Goblin Slayer menancapkan pedangnya menembus otaknya. Makhluk itu menjerit dan kejang-kejang. Goblin Slayer mengoyak pedangnya, dan ketika dia telah yakin goblin tersebut tidak bergerak, dia menarik kembali pedangnya.
“Oh-ho. Masih hidup ya?” Lizard Priest berkata.
“Keberuntungan dari dadu,” Goblin Slayer menjawab.
Terkadang memang terjadi, Dia menambahkan pada dirinya sendiri, dan melanjutkan kembali pekerjaannya tanpa berkata-kata.
Ketika dia menemukan seekor goblin, dia menusuknya dengan pedangnya. Dia memeriksanya untuk memastikan bahwa makhluk itu benar telah mati, dan jika belum, dia akan menunggunya hingga mati.
Tidak lama bagi pedangnya untuk menjadi tumpul, karena itu dia membuangnya. Lagipula, terdapat banyak sekali senjata di sini. Dia mengambil sebuah pentungan dari seekor goblin, dan sebagai rasa terima kasihnya, dia menghancurkan tengkorak goblin itu.
Kebanyakan dari para goblin telah mati. Namun satu atau dua masih dapat di temukan hidup. Hanyalah sebuah kemungkinan. Akan tetapi, Goblin Slayer tidak mempunyai niatan untuk mengacuhkannya.
“Kalau amarahnya sudah meredam, bersihkan perlengkapan dia dan kita akan bergerak kembali ke rencana berikutnya.”
“Oke.” Dwarf Shaman membuka tutup botol fire winenya. “Puji Tuhan. Ini pasti hari terburuk seumur hidup para goblin ini.”
Ini , Telinga Panjang. Dwarf Shaman memaksakan sedikit alkohol untuk masuk ke dalam tenggorokan High Elf Archer,untuk meredamkan amarahnya, yang di mana sang elf membalas dengan jeritan. Telinganya menegang ke belakang, wajahnya memerah, dan dengan cepat dia mulai memberikan bacotan pada sang dwarf.
Goblin Slayer benar-benar menghiraukan keributan rekannya, namun dia bergumam, “Itu nggak sepenuhnya benar.”