MAHKOTA GOBLIN
(Translater : Zerard)

Suara cempreng dan mendecit akan terompet berkarat yang sangat menusuk telinga dapat terdengar jelas di keseluruhan benteng. Di karenakan seekor goblin meniup terompetnya sekuat tenaga, sangatlah masuk akal jika suara itu sangatlah lantang dan mengerikan. Atau mungkin para goblin menganggap suara itu terdengar seperti suara yang gagah berani.
Mereka berpakaian dengan kain seadanya, banyak dari mereka yang hanya menggunakan pakaian wanita desa curian yang mereka telah robek. Mereka membawa sebuah drum yang terbuat dari kulit dan tulang, yang membuat suara aneh ketika mereka memukulnya.
Satu persatu, para goblin membanjiri halaman utama benteng ini.
“ORARAG!”
“GORRB!!”
“GROOB!!”
Mereka mengangkat kepal tinju mereka dan berteriak, tetesan air liur terlontar dari bibir mereka.
Adalah hal yang sangat jelas apa arti dari suara bersemangat mereka. Mereka sedang meneriakkan umpatan, atau makian atau menyuarakan suara kebencian mereka, kecemburuan, dan keserakahan. Kumpulan kemurkaan di lampiaskan kepada mereka yang memiliki sesuatu yang tidak di miliki para goblin.
Bagi para goblin, adalah juga seperti mereka menyoraki pahlawan mereka. Yang telah mengemban semua keinginan itu untuk dirinya sendiri, seekor goblin yang telah membantai manusia-manusia bodoh itu.
Goblin sebenarnya memiliki rasa persaudaraan yang cukup kuat, namun pada saat yang sama, mereka membenci mengambil inisiatif untuk melakukan apapun. Sebagai gantinya, mereka menyerahkan segalanya kepada chief atau shaman, atau lord mereka. Itu membuat mereka bebas untuk mengejar apapun yang berkilau—secara harfiah ataupun pribahasa—entah itu makanan, minuman, wanita, atau perlengkapan. Dengan bebas membunuh mereka yang mempunyai sesuatu yang tidak mereka miliki dan mencincang mereka.
Tidak ada goblin yang ingin mati. Jika saudara mereka mati, dia kan marah dan merasa harus membalas dendam.
Dan semua goblin memiliki perasaan seperti ini.
“GORARARARARAUB!!!!”
Pada akhirnya, sebuah suara yang lebih lantang terdengar dengan sendirinya, dan goblin di balik suara itu muncul, langkahnya penuh akan kejahatan.
Dia menggunakan helm baja yang kotor; sebuah metal rakitan menutupi tubuhnya. Sebuah mantel merah—yang telah dia robek dari sebuah gorden di suatu tempat—berfungsi sebagai penutup tambahan. Pada pinggunya dia membawa sebuah pedang silver yang berkilau begitu terangnya hingga bagi para goblin, pedang itu tampak seperti benda suci.
“ORARAG! ORRUG!” Sang goblin paladin. Pada suaranya yang lantang dan muram, para goblin berlutut.
Bersama, mereka menundukkan kepala mereka, dan sebuah jalan terbukan di antara mereka seperti lautan yang terbelah. Sang goblin paladin mulai berjalan di antara mereka, dengan penuh wibawa, mantelnya berkibas.
Ujung dari sarung pedangnya yang menyimpan pedang silvernya terseret pada lantai, namun tampaknya dia tidak mempedulikannya.
Dia bergerak maju menuju sebuah singgasana besar, terbuat dari kumpulan sampah dan mayat. Wajah menjijikkannya tampak menunjukkan ekspresi yang bangga. Dia terlihat cukup lucu, layaknya sebuah karikatur akan manusia—namun yang memiliki sikap kejam dan keji yang tanpa batas.
*****
“Kita salah perhitungan.”
Party mereka sudah meninggalkan gudang senjata. Goblin Slayer sedang mengintip halaman utama dari sebuah lorong, menjentikkan lidahnya dan terdengar tidak senang.
High Elf Archer memberikannya tatapan tanda Tanya. “Kenapa? Bukannya itu boss dari musuh kita? Aku dapat membunuhnya dari sini…”
“Saya harap anda tidak melakukannya,” Lizard Priest berkata lembut. “Itu hanya akan membuat kita di repotkan oleh banyaknya goblin yang liar, dan tidak ada yang dapat mengetahui apa yang akan mereka lakukan.” Sang archer yang gesit sudah memiliki panah bermata kuncup pada busurnya. “Namun saya yakin tidak hanya itu saja, benarkan, tuanku Goblin Slayer?”
“Ya,” dia berkata. Kemudian dengan pelan, dia menambahkan, “Apa kalian nggak melihatnya?”
“….Mereka cuma goblin, kan?”
“Benar.”
Ini membuat telinga High Elf Archer berkedut, bingung. Ini tidak masuk akal baginya, ataupun alasan mengapa mereka telah salah perhitungan. Benar, terdapat beberapa guncangan dalam rencana mereka, namun High Elf Archer merasa rencana mereka berjalan cukup lancar secara keseluruhan…
“Goblin itu pimpinan dari benteng ini.”
“…?”
“Itu adalah sebuah upacara. Mereka akan memberikan hadiah atau sebuah jabatan.”
“Oh!” Bukanlah High Elf Archer, melainkan Priestess, yang berteriak. Dia menutup mulut dengan tangannya sendiri, kemudian mengintip mengarah halaman dari lorong mereka. Syukurnya, suara mereka telah teredam oleh suara band kecil yang di buat makhluk kecil menjijikkan ini.
Priestess meletakkan tangan pada dadanya merasa lega, dan kemudian dengan penuh keseriusan, dia memberikan jawaban.
“Akan selalu ada priest pada upacara seperti ini…!”
Benar. Jika upacara ini mengikuti cara goblin biasanya, sang priest akan di panggil maju.
Walaupun priest tersebut tidak terlibat, masih ada goblin paladin di depan mereka, seekor makhluk yang tampaknya menerima sebuah wahyu dari dewa pengetahuan eksternal.
Namun jika terdapat goblin priest….
“……….Oh.”
Sebuah suara mungil terlepas dari bibir Noble Fencer. Wajah manisnya menjadi sedikit pucat. Dia mengepal tangannya, lengannya masih terbalut dengan perban. Apa yang sudah tangan itu lakukan kepadanya? Apa yang sudah dia lakukan dengan tangannya? Secara reflek? Pada momen itu?
Matanya bergetar, dia melihat dari satu anggota party hingga yang lainnya.
“Yah, dia nggak begitu jauh.” Dwarf Shaman berkata seolah tidak ada sesuatu yang heboh terjadi. “Tapi dia jadi nggak bisa di singkirkan saat ini.” Dia membelai jenggotnya dengan satu tangan, meraih tasnya dengan tangan satunya; ekspresi memiliki keseriusan yang sama. “Aku rasa ini memang sedikit masalah.”
Tidak ada yang dapat menjawab bisikannya.
Mereka semua mengerti situasi apa yang terjadi saat ini.
Bahkan jika di lihat sekilas pada goblin yang berada di halaman menunjukkan bahwa terdapat setidaknya lebih dari lima pulah monster di sana. Dan para petualang berada di sana bersama mereka. Apa yang akan terjadi jika para goblin menemukan keberadaan mereka?
Pembasmian goblin merupakan kegiatan sekuno waktu; kegiatan ini sudah ada sejak dunia telah terbentuk. Dan para goblin selalu berjumlah lebih banyak dari para petualang.
Para pahlawan yang tidak bersiap, yang menantang goblin secara buta, telah terbunuh. Terlebih bagi mereka yang menantang para goblin bertarung pada tengah sarang monster ini.
Goblin Slayer bukanlah pengecualian dalam hal ini.
Bagaimana petualang aneh ini dengan cara janggalnya untuk menutupi besarnya perbedaan jumlah? Mereka telah berpetualang bersama selama hampir setahun. Tidaklah mungkin bagi gadis itu untuk tidak mengetahuinya.
Kemudian itu terjadi.
“….O-ow…! Noble Fencer, tangan masih mengepal, menjadi kaku dan mengerang kesakita.
“Ke-kenapa?” Priestess mendekatinya secara otomatis, memeriksa jika ada sebuah luka, tapi dia tidak menemukan adanya luka. Namun…
“Hrr-rrr-ghh…gah…”
“Di-dia panas banget…!”
Kulit Noble Fencer sangat panas ketika di sentuh, tampak seperti dapat terbakar.
“Apa yang terjadi?” Goblin Slayer bertanya.
“A-aku nggak tahu. Tapi ini…”
Ingat. Pikir lagi. Priestess berusaha untuk mengingat ingatannya.
Tidak terdapat luka di luar tubuhnya, dan tampaknya juga bukan sebuah racun. Panas dalam tubuhnya, tampak seperti sebuah mantra yang di targetkan kepadanya.
Sebuah mantra? Ini bukanlah sihir yang sederhana. Dan tidak ada totem di tempat ini. Seekor paladin. Seorang cleric.
Hukuman ilahi…  Sebuah kutukan. Sebuah kutukan?
“Oh…!”
Priestess melihat ke bawah di tempat di mana Noble Fencer telah memendekkan rambutnya yang menunjukkan tengkuk lehernya.sebuah lambang kejam telah membakar kulitnya di sana, mata akan bulan hijau, bersinar terang, seperti terbakar.
“Itu….!”
“Haah…. Hrrrgh… Arrgh…”
Noble Fencer mengerang, menggigit lengannya sendiri dengan harapan untuk bisa menekan erangan kesakitannya. Priestess memeluk tubuh warrior yang terbakar itu, melihat kepada Lizard Priest. Lizard Priest adalah tingkat Silver, cleric yang paling berpengalaman di sini. Sekarang dia mengeluarkan desisan napasnya.
“Sebuah kutukan dari dewa kejahatan! Saya harus menghilangkannya. Tidak, kita tidak mempunyai waktu…!”
Mereka telah ceroboh. Mereka telah menganggap lambang itu sebagai tidak lebih dari sekedar contoh lain akan kekejaman goblin.
Sekarang mereka telah memahaminya: adalah karena bahkan keajaiban penyembuhan tidak akan dapat menlenyapkan bekas luka itu.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, ulurkanlah tangan penuh kasihmu kepada luka anak ini!”
Walaupun begitu, tidak ada waktu untuk leha-leha. Priestess memohon kepada Ibunda Bumi untuk memberikannya penyembuhan. Dewi maha pengasih membelai leher gadis itu dengan jarinya, menyentuh kutukan yang bersemayam di sana. Namun…
“GORUB?!”
“ORARARAGU?!”
Pada saat yang sama, keributan suara mulai tersebar di antara para goblin yang berada di halaman.
Para petualang melihat bahwa upacara itu sedang berlangsung dengan cepat; sekarang monster itu sedang menunggu priest mereka dan tumbalnya.
Namun priest itu tidak muncul. Dia tidak datang.
Setelah beberapa saat, sang goblin paladin bergumam, “ORG.” dan mengirim bawahannya pergi.
Goblin itu tidak di ragukan lagi sedang menuju penjara bawah tanah. Dia akan menemukan tubuh priest bersama dengan tahanan yang bebas—hanyalah masalah waktu.
“ORARARARARAGA!!” sang goblin berteriak, suara kumpulan goblin semakin menguat.
Sang goblin paladin melompat dan meraung yang tampaknya seperti sebuah doa yang aneh. “IRAGARAU!”
“Hrraaaaaaahhhh!” Noble Fencer mengerang, tidak dapat lagi menahan rasa sakit.
Kemudian semuanya terjadi secara sekaligus.
Melihat mengarah halaman, Goblin Slayer mengambil pedangnya. Sang goblin paladin melihat kepadanya.
Mata mereka bertemu. Satu tertutup oleh hem baja, sedangkan satunya lagi merupakan sepasang mata emas. Dan kemudian—
“ORAGARAGARAGARAGARAGARA!!!!”
“Menunduk!”
Pada perintah goblin paladin, para pemanah berputar dan menembakkan panah secara serentak dengan lincah. Pada saat yang sama, Goblin Slayer melompat ke samping, menangkap para gadis dalam lompatannya.
“Eeh!”
“…?!”
Priestess menjerit; Noble Fencer tidak membuat suara namun tampak jelas bahwa dia terkejut. Goblin Slayer menghiraukan mereka, mengangkat perisainya.
Thop, thop, thop. Suara panah yang menghujani mereka. Goblin bukanlah makhluk yang kuat; ketika mereka menembakkan panah mereka ke atas, hanya semakin menguatkan bukti bahwa mereka tidak kuat.
Goblin Slayer mengambil salah satu panah; dia melihat bahwa mata panah itu tidak di ikat dengan kencang. Akan tetapi, monter kecil ini mencoba untuk membuat panah mereka dapat mencakup jarak yang jauh.
“Tiruan yang jelek.”
Sebuah suara hampa akan metal menemani hujan panah yang berkelanjutan. Goblin Slayer mendengus, melempar panah yang ada di tangannya seolah dia tidak tertarik sama sekali. Kemudian dia melihat ke belakang pada Priestess dan Noble Fencer, menjaga perisainya terangkat untuk melindungi mereka seraya dia berbicara.
“Kalian baik-baik saja?”
“Oh, uh, y-ya. Terima kasih.”
“Nggak masalah.”

“……”
Noble Fencer tidak berkata apapun, mengalihkan pandangannya dari bawah dekapan dada Goblin Slayer, namun dia mengangguk.
“Bagus.”
Itu sudah cukup. Goblin Slayer melihat tempat di mana rekannya berada di kejauhan.
“Bagaimana dengan kalian?”
“Baik-baik saja!” High Elf Archer berkata.
“Tapi hampir tergencet sih.” Dwarf Shaman berkata dengan lambaian.
Lizard Priest telah melebarkan dirinya dan tengah melindungi sang elf dan dwarf.
“Tampaknya, semuanya sudah terlanjur bukan?” dia berkata, menyipitkan matanya riang walaupun dengan panah yang menghujani di sekitarnya.
Bagi para lizardmen, krisis seperti ini merupakan sebuah ujian, dan ujian harus di hadapi dengan riang.
“Kita berpencar jadi dua grup,” Goblin Slayer berkata.
“Ide yang baik sekali,” Lizard Priest berkata dengan cepat. “ TIga dan tiga: warrior, pembaca mantra, dan seorang priestess. Kemudian priest, ranger dan seorang pembaca mantra. Setuju?”
“Nggak masalah.”
“Siapa yang akan jadi umpannya?”
“Aku akan melakukannya,” Goblin Slayer berkata. “Seorang tank paling cocok untuk tugas itu.”
“Dan tenaga fisik saya adalah yang paling cocok untuk membawa mantan tahanan untuk dapat keluar dari bawah tanah. Saya mengerti!”
“Bagus.”
Pecakapan cepat mereka telah berakhir dan strategi telah terbentuk. Tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Goblin Slayer dalam membasmi goblin. Ataupun siapapun yang dapat menandingi kaum lizard dalam seni perang.
“Jika begitu mari kita jalankan rencana kita. Nona ranger, master pembaca mantra—berkenankah kalian ikut dengan saya?”
“Yeah, baik,” High Elf Archer berkata. “Tapi—ya ampun! Lihat cara mereka menembakkan panah-panah itu! Bikin aku kesal saja!”
“Sudahlah,” Dwarf Shaman menasehatinya. Kemudian mereka bertiga mulai menuruni lorong, menggunakan Lizard Priest dan sisik kokohnya sebagai perisai.
Goblin Slayer mengangguk. Sekarang yang perlu dia lakukan adalah membuat dirinya di lihat oleh para monster.
“Baiklah. Ayo.”
“Oh—baik…!”
“…!”
Namun Noble Fencer berdiri diam, tidak bergerak. Atau lebih tepatnya, dia tidak dapat bergerak.
Rasa sakit adalah sebagian alasannya, perasaan akan lehernya yang seperti terbakar. Dia meringkuk dan mengerang tanpa suara.
Namun bukan itu saja. Kuku jari dari tangannya yang dia kepal begitu erat telah merobek perban dan darah kembali mengalir.
“Kamu… Kamu nggak boleh melakukan itu, oke?” Priestess mendekati, dengan lembut melatakkan tangannya di atas tangan Noble Fencer. Kedua tangan kurus saling bersentuhan.
Noble Fencer sedikit bergetar.
“…….Aku…”
Suara yang begitu samar terlepas dari bibirnya.
“…tahu… Aku…tahu itu. Aku ta….hu.”
Dia menggeleng kepalanya, rambut berwarna emasnya berkibas, seolah ingin mengusir sesuatu.
“Tapi……..” Tampaknya dia tidak dapat mengutarakannya lebih dari itu; sisanya tidak dapat keluar. “…..Tapi….!”
Kemudian bendunganpun jebol, kata dan air mata membanjiri dengan deras.
Penyesalan. Penyesalan. Rasa sakit. Kesedihan. Mengapa semua ini terjadi padanya? Semua seharusnya…
Semua seharusnya tidak seperti ini. Mereka semua—impulsif. Mentertawai dirinya.
Mengejeknya. Akan tetapi… dia begitu malang. Tidak dapat melakukan apapun. Menyedihkan.
Semuanya adalah salahnya. Merupakan kesalahannya hingga semua…berakhir seperti ini.
Pedangnya. Yang harus dia dapatkan kembali. Harus. Kembalikan. Kembalikan.
Aku ingin pulang.
Ayah… Ibu…
“Aku tidak… Aku tidak sanggup lagi…!”
“…”
Goblin Slayer dan Priestess terdiam. Aliran kalimat itu sedikit tidak masuk akal bagi mereka.
Noble Fencer terisak menangis seperti anak kecil. Goblin Slayer mendengarkan dengan seksama seraya gadis itu berusaha menyatukan kalimatnya satu persatu. Dari dalam helm bajanya, Goblin Slayer menatap seksama pada gadis yang menangis dan wajah beringus.
Dan kemudian dia berpikir:
Dari semua yang goblin curi, berapa banyak yang bisa di ambil kembali?
“Benarkah?” dia berkata kepada mereka. “Aku mengerti.”
“…Huh?”
Noble Fencer melihat kepadanya, tidak memahaminya. Kemudian dia melihat kepada Priestess yang ada di sampingnya.
“…Astaga,” Priestess berkata. “Kamu ini memang terlalu ya?” Haaahhh. Priestess tidak berdiri dari tempat di mana dia berjongkok di antara Goblin Slayer dan Noble Fencer.
“—tapi aku nggak bisa berkata seperti itu.”
Sekarang baru di lanjutkan lagi ucapannya. Tapi dia memang paham, kan?
“Pak Goblin Slayer, Aku sudah bilang kamu nggak bisa menjawab semuanya dengan ‘Benarkah?’!”
“Benarkah?”
“Tuh kan? Kamu melakukannya lagi.”
“….……Benarkah…?”
Senyum Priestess layaknya bunga yang mekar; pria itu mengalihkan pandangannya.
“Aku akan mendapatkan lagi pedangmu.” Kemudian dia berdiri, perisainya masih terangkat. Badai panah terus memantul dari perisainya. “Dan aku akan bunuh goblin paladin itu. Bersama dengan goblin lainnya.”
Dia menarik pedang dari pinggulnya. Merupakan pedang dengan panjang yang aneh. “Nggak cuma satu atau dua dari mereka. Nggak cuma keseluruhan sarang. Bahkan nggak cuma keseluruhan benteng ini.”
Helm kotor. Armor yang terlihat murahan. Petualang yang mengenakan itu semua.
“Aku akan membasmi semua goblin.”
Karena itu jangan menangis.
Mendengar ucapan dari Goblin Slayer, Noble Fencer menarik ingusnya, dan kemudian mengangguk.

*****
 “O Ibunda Bumi, yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Cahaya agung menyinari para goblin layaknya matahari terbit.
Adalah Holy Light, yang telah di gunakan oleh doa pemakan jiwa Priestess.
Pada jarak ini, cahaya itu tidak akan cukup untuk membutakan sasaran, namun—
“ORARAGA!”
“GROAAB!!”
--lebih dari cukup untuk membuat para goblin berfokus pada salah satu grup petualang, sementara grup lainnya menyelinap masuk ke dalam benteng.
Sang goblin paladin melontarkan perintahnya, bersamaan dengan beberapa tetesan gelap liurnya, dan para goblin mulai bergerak. Panah terus menghujani mereka, sementara sebuah unit goblin mulai bergerak maju keliar dari halaman. Seharusnya, rencana mereka adalah untuk mendesak musuh dengan panah mereka seraya pasukan mereka sendiri bergerak maju. Merupakan hal yang cukup jelas.
“Kita mempunyai tumbal mereka, mereka nggak bisa untuk bertindak terlalu agresif.” Goblin Slayer berkata, mengangkat perisai bundarnya untuk melindungi wanita di belakangnya dari panah yang mendekati.
Panah-panah itu memantul dari perisainya dan tersebar di lantai sekitarnya. Dia menginjaknya dan menghancurkan panah-panah itu.
“Rasanya cukup enak bisa mempunyai sandra seperti ini sekali-sekali.”
Goblin Slayer melirik ke belakang pada Priestess dan Noble Fencer, kemudian berputar untuk membersihkan jalannya.
“Ini dia. Tetap menunduk.”
“Oh—baik pak! Apa aku perlu menggunakan Protection…?”
“Jangan,” Goblin Slayer berkata. “Simpan.”
Priestess hanya mempunyai satu keajaiban lagi. Akan sangat tidak menguntungkan ketika seseorang salah memperhitungkan waktu yang tepat untuk menggunakan mantra atau keajaiban yang terakhir.
Priestess mengangguk menuruti, namun senyumnya entah mengapa tampak nakal. “Baik,” dia berkata, kemudian: “Tapi kalau terlalu berbahaya, aku akan menggunakannya.”
“Aku mempercayai keputusanmu.”
Ucapan itu membuat hatinya berdansa: dia mempercayai keputusanku!
Sangatlah membuatnya bahagia ketika dia mendengar satu kata, percaya, dari Goblin Slayer.
“Baik pak!” dia berkata dengan senang, Goblin Slayer mengangguk kepadanya, kemudian melihat kepada Noble Fencer.
“Kamu bisa lari?”
“……………Mungkin.” Adalah jawaban yang jujur. Gadis itu sedang menggosok ujung matanya yang merah. Semua emosi yang sudah di tahannya telah meledak tercurahkan, dan mungkin dia merasa berbeda sekarang. Ekspresinya masih tampak membeku, namun kilau air matanya memiliki cahaya di dalamnya.
“Baiklah.” Goblin Slayer mengeluarkan sebuah obor dari dalam tasnya, mengambil sebuah korek, dan menyalakannya. Dia menyerahkannya kepada Noble Fencer. Dia mengambilnya dengan genggaman yang kuat, berkedip melihat api yang berkelip.
“Kamu bagian belakang kita. Jaga kita tetap aman.”
“…..Oke.” Dia mengangguk dengan ekspresi yang serius. Sesuatu yang lembut memeluk lengan kirinya. Dia mendengak terkejut, untuk melihat—
“Semua akan baik-baik saja.”
—Priestess, tersenyum layaknya sebuah bunga di depannya.
“Kita sudah sampai sejauh ini. Apa kamu pikir kita akan membiarkan kita di kalahkan begitu saja sekarang?”
“….Mm.”
Noble Fencer meremas tangan Priestess. Kemudian mereka mulai berlari, dan pertarunganpun di mulai.
Entah apakah musuh menyadarinya atau tidak, mata panah dari semua panah yang di tembakkan para goblin sangatlah longgar, dan matanya tidak mengandung racun. Mungkin ini adlah efek dari pertarungan sebelumnya, atau mungkin mereka hanya merasa dendam. Namun menurut Goblin Slayer, mereka hanya berusaha untuk meniru dirinya, dan tidak cukup baik dalam melakukannya.
Mata panah yang longgar menyebabkan panah menjadi bergetar, menurunkan akurasinya. Apa yang tengah di pikirkan oleh goblin, berusaha menembakkan panah seperti itu dari kejauhan? Penembakan jarak jauh merupakan hal yang sulit bagi para goblin, mengingat betapa lemahnya mereka. Sekarang mereka menggunakan sebuah panah yang ujung matanya akan patah ketika berbenturan dengan sesuatu. Seorang petualang amatir yang tidak bersiap mungkin akan dapat menjadi korban dengan taktik ini, namun panah itu tidak akan menimbulkan kerusakan yang cukup bagi siapapun yang menggunakan armor yang cukup bagus.
Tetap saja, ini menguntungkan baginya. Tujuan utama dari grupnya adalah untuk mengulur waktu. Untuk menjadi umpan. Mereka sedang mendukung sekutut mereka. Setiap goblin yang teralihkan perhatiannya menuju grupnya merupakan satu langkah lebih dekat menuju kemenangan.
Tentu saja, itu jika berasumsi bahwa Lizard Priest dan yang lainnya dapat menyelesaikan bagian mereka.
“Ini akan menjadi semakin sulit kalau di lakukan sendiri.”
“Pak Goblin Slayer! Mereka datang! Enam—nggak tujuh!”
Priestess menyuarakan peringatan untuk menjawab gumam yang terlepas dari bibir Goblin Slayer.
Di depan mereka: sebuah grup goblin sedang berjalan di atas dinding benteng menuju mereka, mata emas yang bersinar di kegelapan. Mereka menggenggam pentungan dan tombak dan kapak yang mereka gunakan untuk menghajar para petualang, menginjak mereka, mencabik mereka, menodai mereka.
“Hmph.”
Apa yang di lakukan Goblin Slayer sangat sederhana.
Dia menarik pedangnya seraya dia berlari dan melemparnya.
“GAROAB?!”
Salah satu goblin tiba-tiba mendapati sebuah pedang menancap di lehernya; dia memegang lehernya seolah sedang tenggelam seraya dia berguling jatuh dari dinding benteng, menghilang masuk ke dalam kegelapan.
Goblin yang tersisa, tentu saja tidak merasa terancam oleh ini.
Lihat. Petualang bodoh itu sudah melemparnya senjatanya. Serang! Hancurkan mereka berkeping-keping!
Namun itu adalah kesalahan mereka.
“Pertama, satu. Berikutnya, dua.”
“GARARA?!”
Perisai di tangan kirinya muncul, menghancurkan tengkorak goblin yang ada di depannya. Ujung perisai yang terasah adalah sebuah senjata, dan terbukti sangat ampuh.
Menepis cipratan darah menjijikkan dari musuhnya, Goblin Slayer mengambil kapak batu daru monster itu.
“Tiga!”
Selama goblin menyerangnya, Goblin Slayer tidak akan kehabisan senjata.
Kapak batu melayang menuju kepala goblin ketiga dan keempat, memecahkan mereka layaknya rekan mereka sebelumnya.
“ORAG?!”
Keempat. Kelima. Keenam. Menukarkan senjatanya lagi dan lagi, dia membantai seekor goblin dengan setiap napasnya.
Goblin tidak dapat meenggunakan jumlah mereka pada pertarungan di dinding benteng sempit ini, sesuatu yang belum di pahami monster kecil ini.
Para petualang terus mendesak ke depan, menabrak mereka layaknya sebuah ombak yang mengerikan.
Tentu saja, Goblin Slayer tidak menghadapi mereka sendirian.
“GRARAB!”
Satu makhluk menggunakan ukuran tubuhnya yang kecil untuk menghidari ke samping, dan berlari menuju para wanita.
“Terima ini!
“GARO?!”
Namun Priestess menghalaunya dengan ayunan tongkatnya. Kerusakan yang dia timbulkan padanya sangatlah minimal, namun itu sudah cukup untuk membuat monster itu tidak bergerak.
“Kamuuuu!”
“ORARAG?!”
Dan goblin yang tidak bergerak adalah mangsa mudah untuk Noble Fencer. Dia mengayunkan obornya layaknya sebuah pentungan dan mengirim makhluk itu berguling jatuh dari dinding.
Pundaknya melemas, namun matanya mencari ke dalam kegelapan.
“Mereka datang dari belakang juga!”
“Berapa banyak?”
“…Aku tidak yakin.” Dia menggigit bibirnya. “Tapi banyak!”
“Baiklah.”
Goblin Slayer dengan santai menarik sebuah botol dari dalam tasnya dan melemparkannya ke belakang. Botol itu terbang melewati kepala Priestess dan Noble Fencer dengan suara siulan angina, mendarat tepat di depan goblin yang mendekat.
Terdapat suara pecah ketika botol keramik itu pecah; cairan mencurigakan di dalamnya tersebar di keseluruhan lantai. Noble Fencer kemungkinan belum pernah melihat atau mendengar tentang cairan ini, namun Priestess mengingatnya.
Cairan itu mempunyai banyak nama: Minyak medea, petroleum…dan bensin.
“GARARARARA?!”
“ORAG?!”
Terdapat banyak cara untuk membunuh goblin selain hanya dengan memotong mereka satu persatu. Para goblin terpelesaet pada cairan licin itu, terjatuh dari benteng. Dengan semua makhluk yang saling berdesakkan di atas dinding, ini adalah sesuatu yang sudah seharusnya.
Namun tetap saja, goblin tetaplah goblin. Mereka menginjak rekan mereka yang terjatuh dan melewati bensin itu, terus menerjang para petualang walaupun jumlah mereka telah berkurang.
“GRARAM!”
“…HI-yaah!”
Noble Fencer mengayunkan obornya dengan penuh energy. Onor itu terlihat seperti sebuah kuas merah besar, mencipratkan percikan seraya dia melukis malam dengannya.
Satu goblin terkena serangannya dan terjatu dari dinding. Goblin kedua melompat mengarahnya. Noble Fencer menghalaunya dengan serangan dari obornya. Goblin ketiga sudah berada di dekatnya, mengancam untuk menyelinap dari samping.
“Serahkan dia padaku…!”
Adalah Priestess. Noble Fencer tidak mempunyai waktu untuk menjawab seraya dia menghadapi goblin keempat, yang dia pukul berkali-kali hingga berhenti bergerak.
Ya, namun sekarang goblin kelima, dan keenam sedang—
Mereka banyak sekali…!
Lengannya yang di gunakannya untuk mengenggam obor terasa semakin berat, gerakannya melambat; napasnya menjadi sesak dan pengelihatannya menjadi buram.
Dia dapat mendengar suara tarikan napasnya sendiri, darahnya yang berdenyut. Terdapat suara mendenging di telinganya, membuatnya sulit untuk mendengar.
Noble Fencer melirik dari pundaknya, mencari pertolongan. Namun Priestess sedang mengayunkan tongkatnya secepat yang dia bisa, mencoba untuk mengusir gerombolan makhluk yang mendekat.
“Terkutuk kalian….!” Noble Fencer berkata. “Kalian…banyak sekali….!”
Goblin Slayer berada di seberangnya, dan tidak akan bisa meminta bantuan darinya.
Noble Fencer dapat merasakan napas busuk goblin pada pipinya yang pucat; mereka semakin mendekat.
“Oh…”
Rasa malu dan ketidakberdayaan yang telah dia rasakan pada pegunungan bersalju kembali terngiang di ingatannya. Aroma busuk para goblin. Tangan-tangan yang menjijikkan. Kekejaman dan keserakahan yang tidak berakhir.
Pikiran itu membuat tubunya kaku, tenggorokannya menengang dengan terror. Kekuatan mengalir di tangannya.
Namun pada tangan kirinya terdapat kehangatan yang tidak dapat di pungkiri; pada tangan kanannya terdapat cahaya yang terus membara.
Sebuah kilasan adegan terbayang di pikirannya, akan seorang Goblin Slayer yang bertarung di dalam penjara bawah tanah.
“…Ah…ahhh!”
Terdapat sebuah momen di mana tubuhnya bergerak lebih cepat dari yang dia bayangkan, mengayunkan obor mengarah para goblin.
“GAROARARARARA?!”
Sayangnya—atau mungkin untungnya?—sasarannya adalah salah satu goblin yang telah melewati bensin. Api membara pada kulitnya dalam sekejap, dan monster itu terjatuh dari dinding dengan masih menggeliat penuh derita.
“GROOOB!! GRAAB!!”
Namun, goblin selalu percaya akan jumlah mereka. Goblin lainnya dengan cepat melompat ke depan dan mengisi celah yang kosong.
“Hrraaah…!”
Noble Fencer mengarahkan kepal tangannya. Terdapat sebuah belati aluminium yang dia gunakan untuk menusuk makhluk yang mendekat.
“GAROARAO?!”
“Si-sialan kalian…!”
Belati itu yang menancap pada tulang selangka sangat cukup untuk menghabisi nyawanya; dia menendang mayat itu menjauh, menarik belatinya, dan mendengak kembali.
Tiba-tiba , dia melihat gelombang pertama mereka telah berhenti. Ini adalah jedanya, beberapa detik yang berharga sebelum gelombang berikutnya menerjang. Noble Fencer menarik napas dalam, menenangkan pernapasannya.
Dia yakin bahwa dia tidak dapat melakukan ini beberapa menit yang lalu. Terpicu oleh kemarahan, senjata di tangan, melemparkan dirinya sendiri pada gerombolan goblin tanpa pikir panjang akan masa lalu atau masa depan. Dan…
“Huff…puff…huff…”
Namun di sanalah Priestess. Seraya dia terengah-engah, dia menolak untuk melepaskan tangan Noble Fencer. Jarinya begitu kurus dan lentik, akan tetapi—akan tetapi, begitu hangat.
“…..”
Noble Fencer merasa berterima kasih akan tangan itu. Genggaman tangan Priestess telah mengurungkan keinginannya untuk menerjang langung masuk ke dalam gerombolan goblin. Goblin Slayer, yang telah menyelamatkan Noble Fencer, telah mempercayakan dirinya kepada Priestess.
“Tiga belas… kerja bagus.”
Pria itu berbicara tanpa melirik mengarahnya dan melemparkannya obor yang baru. Noble Fencer berhasil menangkapnya, menggunakan momen damai di antara serangan gencar para goblin untuk menyalakan obor dan menggenggamnya dengan kuat.
Dia melihat sekilas pada wajah Priestess; keringat mengucur dari dahinya dan figurnya kaku di karenakan kegugupan, namun dia tetap memberikan Noble Fencer sebuah senyuman. Noble Fencer merasa mungkin bahwa dirinya terlihat sama dengan Priestess.
Noble Fencer memahami itu, dalam keadaan suka dan lara, seseorang dapat berubah secara drastic pada satu momen itu.
*****
“Bagaimana kelihatannya di atas?”
High Elf Archer dengan santai menembak goblin lainnya, kemudian melirik pada temannya.
Terdapat goblin di dalam benteng. Tidak sebanyak di dinding, namun cukup untuk membuat pertarungan tidak bisa di hindari. Suara pertarungan yang sampai pada telinga sang elf semakin menguat, namun dia merasa cukup senang untuk tidak mendengar adanya jeritan manusia.
“Ah-ha! Kamu khawatir tentang Beardcutter ya Telinga Panjang?”
Dwarf Shaman tertawa kecil, menarik botol anggur dan meminumnya. Dengan bibirnya yang telah basah, dia mengelap beberapa tetes yang terjatuh dan menyeringai pada rekannya.
“Kamu berharap kamu bisa di atas sana kan?”
“Nggak juga. Aku nggak khawatir sama Orcbolg sama sekali.” Dia mengendus seolah subyek ini sama sekali membuatnya bosan, kemudian menarik panah dari tempatnya lagi. “Yang dua lainnya yang aku khwatirkan.”
“Khawatir gadis baru itu akan mengambil dia dari kamu! Seperti anak kecil sekali!”
“Bukan itu yang aku khawatirkan!” Telinganya berdiri dan dia melotot pada sang dwarf. Mungkin dia menyadari suaranya terlalu lantang, di karenakan ucapan berikutnya terdengar seperti orang malu. “….Mereka temanku. Apa salah mengkhawatirkan mereka?”
“Nggak ada yang salah dengan itu.”
“Huh?” High Elf Archer berkedip, merasa terkejut mendengar sang dwarf setuju dengannya.
“Kamu seorang elf. Seorang teman besar yang penting!”
Jadi sang dwarf hanya sedang mengejeknya saja. Namun juga, tampaknya dia sedang memuji sang archer juga. High Elf Archer ingin marah namun tidak dapat melakukannya. Namun juga, dia tidak dapat membiarkan ini terjadi juga. Dia menggeram dan melotot pada arah dwarf namun Dwarf Shaman menghiraukannya dan meneguk sebotol anggur.
“Ha-ha-ha! Jika tuanku Goblin Slayer berada di sini, maka tentunya tidak aka nada perdebatan.” Lizard Priest yang memperhatikan mereka dengan ekspresi riang, lidahnya menjilat hidungnya dengan desisan.
Sang Lizard merupakan seseorang yang paling muda di antara mereka bertiga, namun dia tidak pernah lelah memperhatikan sang elf, yang bertingkah jauh lebih muda darinya.
“Sekarang, tidak akan ada gunannya bagi kita untuk terus bercakap-cakap di sini. Seberapa jauh lagi jaraknya?”
“Ruang yang kita cari sudah nggak terlalu jauh, “Dwarf Shaman berkata, mengelap jenggotnya dengan tangan. Dia memasang tutup botolnya dan mengetuk dinding. “Jujur saja, akan lebih sulit keluar dari penjara ketika urusan kita di sana sudah selesai.”
“Oh,” kata High Elf Archer, mendapatkan sebuah celah. “Aku kira para dwarf itu mempunyai keberanian yang besar seperti perutnya, bukannya begitu?”
“Awas.” Gerakan Dwarf Shaman tangan dan gelengan kepalanya serius. “Aku terlihat seperti ini di karenakan aku pemberani. Nggak seperti kamu. Aku bisa mendengar lututmu yang bergetar dari sini!”
“Kamu…! Dwarf! Gentung!”
“Apa dada papan?”
“Ha! Ha! Ha! Ha!”
Sekarang, tentu saja, mereka bertiga mungkin memang sedang bersenda gurau, namun mereka tidak hanya berdiri menghabis waktu begitu saja. Musuh yang lebih sedikit mengartikan bahwa semakin banyak musuh yang menyerang teman mereka. Mereka tidak mempunyai waktu, dan hanya mempunyai setengah kekuatan tempur. Satu kesalahan dapat menciptakan kepanikan yang akan melumpuhkan semuanya.
Kenyataan bahwa mereka begitu siaga dan tidak membuat kesalahan membuktikan siapa diri mereka. Itulah mengapa mereka tidak mempunyai waktu untuk merasa gugup. Ya, terkadang memang mungkin untuk berhasil walaupun dengan rasa gugup. Namun sangatlah penting untuk terus berbincang, agar dapat tetap tenang dan melakukan pekerjaan dengan biasa.
Bahkan, tidak satupun goblin yang berhasil lolos setelah bertemu dengan mereka. Di antara panah High Elf Archer dan taring, ekor, cakar Lizard Priest, tidak satupun dari musuh mereka yang masih benapas. Terlebih lagi, bimbingan Dwarf Shaman tidak salah; dia menemukan rute terdekat dan tercepat.
“Ini dia.” Mereka telah tiba pada satu pintu besar kaum dwarf lainnya. Dwarf Shaman mengendus udara seolah ingin memeriksa sesuatu, kemudian dia mengangguk dan berputar pada High Elf Archer. “Oke, gantian.”
“Yeah, baiklah. Coba aku lihat.” Sang archer menepuk pundak dwarf dan bertukar tempat, kemudian menyandarkan tubuhnya pada pintu. Dia mengeluarkan sebuah batang seperti jarum dan dengan cepat memeriksa lubang kunci, mencari perangkap, dan mulai membobol kuncinya.
Seraya sang elf melakukannya, Dwarf Shaman dan Lizard Priest menyibukkan diri mereka dengan berjaga mencari musuh. Masing-masing dari mereka menggenggam senjata favoritnya—sebuah pedang taring dan sebuah ketapel—dan memerisak daerah sekitar dengan waspada.
Masih belum ada tanda para goblin. Mereka cukup merasa bersyukur akan hasil dari dadu yang beguiling.
“Hei,” High Elf Archer berkata dengan kepakan telinganya. Dia sedang menggerakkan jarumnya dengan cepat, akhirnya menghasilkan suara klik dari kuncinya. “Apa kalian yakin ini akan berhasil? Bukannya aku meragukan kalian, tapi ini pernah gagal sekali…”
“Aku akui, aku juga mengkhawatirkan hal yang sama. Bagaimana menurutmu Scaly?”
“Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.” Lizard Priest melangkah maju seraya High Elf Archer bergerak mundur dari pintu. Semua orang akan merasa senang jika mempunyai rekan kuat seperti Lizard Priest yang ada bersama mereka, terutama pada saat menyerang benteng penuh dengan goblin.
“Merupakan cara yang selalu di lakukan oleh mereka yang menyerang kastil untuk membanjiri tempat ini. Namun selalu ada kemungkinan lainnya.” Dia menendang pintu dan melihat sekitaran, kemudian membuka rahangnya dan tersenyum layaknya seekor naga. Sebuah drum terdekat terisi penuh dengan sesuatu—sebuah potongan sesuatu yang sepertinya merupakan semut yang di tumbuk.
“Dan itu adalah untuk membuat musuh kelaparan.”
*****
Fwoosh. Adalah pada saat itu sebuah lidah api membara dari salah satu sudut kastil.
“ORARAGA?!”
“GROAB!!”
Bahkan para goblin yang kejam, setia pada keserakahan mereka sendiri, terkejut oleh ini, dan membuat suara kebingungan.
Pertarungan kematian gelombang kedua telah berakhir; mereka sedang dalam gelombang ketiga sekarang. Di sekitar mereka, lima belas atau enam belas goblin diam tidak bergerak seraya mereka melihat persediaan pangan mereka terbakar api.
“Bagus.”
Goblin Slayer bukanlah seseorang yang akan melepaskan kesempatan seperti ini. Dia sudah berlari di dinding kastil, meneriakkan perintah. “Obornya—lempar ke sini! Sekarang!”
Noble Fencer menggenggam obor yang di gunakannya sebagai senjata, melihat ke lantai sesaat. Dan kemudian, dia melempar obor kecil itu.
Walaupun Noble Fencer mengetahui kemana arah dia melempar. Obor itu melambung , dan lidah api mulai tersebar pada jalur lemparannya, menblokir goblin secara keseluruhan.
“GROAA?!”
Salah satu makhluk tidak beruntung tertangkap oleh ledakan yang merubahnya menjadi obor hidup: dia menggeliat di lantai untuk beberapa saat sebelum pada akhirnya mati.
Di hadapkan dengan kematian rekannya yang mengenaskan, semarah apapun mereka, para goblin tidak akan berusaha untuk melompati api, sebuah kisah menceritakan akan keberanian yang tidak kenal takut—namun ini bukanlah sesuatu yang di punyai para goblin.
“Dua puluh Sembilan. Sudah waktunya.” Goblin Slayer membuang pentungan berlumur otaknya dan mengambil pedang dari mayat goblin yang ada di kakunya. Dia menggenggamnya, menggerakkannya beberapa kali, kemudian mengangguk. “Kita mundur. Kita harus bersiap untuk—“
“Pak Goblin Slayer!” Priestess meneriakkan peringatan. Tanpa peringatannya, petualangan Goblin Slayer mungkin akan berakhir di sana. Dia menggerakan pedangnya ke belakang secara insting, dan pedang itu terlempar dari tangannya bersama dengan percikan api. Sebuah garis putih tergambar dadanya, di antara helm dan armornya.
“Sial…!” Goblin slayer melompat ke belakang dengan cepat; terdapat kilauan akan aluminium di depannya.  Bukanlah sebuah pedang yang di perkuat, bukanlah pedang suci. Akan tetapi, tidaklah aneh jika pedang itu berada di tangan seorang pahlawan.
“GRAAORRRN…!”
Seekor goblin berdiri di sana, asap mengepul dari armornya dan api dari matanya. Dia telah melompati dinding api; dia seperti seorang pembawa pesan dari para dewa, di kirimkan untuk mengalahkan musuh. Dengan pedang aluminium di tangan kanannya dan sebuah perisai berbentuk air mata di kirinya, dia terlihat seperti karikatur seorang warrior suci. (TL Note: Bentuk perisainya kurang lebih seperti ini http://www.swordsaxe.com/reviews-steel-teardrop-shield.aspx )
Sang goblin paladin.
“Kamu telat,” Goblin Slayer berkata tenang. Dia mengangkat pedangnya, yang sepanjang sebuah belati. Adalah kuda-kuda biasanya: perisai terangkat, pinggul rendah, pergelangan tangan berputar hingga pedangnya menunjuk pada musuh. “Tapi aku sudah menduga kamu akan datang pada akhirnya.”
“GAROAROB…!” Sang goblin paladin membuat gerakan aneh, membuat sebuah tanda yang tidak di ketahui. Sangatlah mudah untuk berkesimpulan bahwa dia sedang membuat sebuah pujian pada Dewa Luar, yang bersemayam pada bulan hijau. (TL Note: Outer God = Dewa Luar.)
“….Haa…ahh…!” Ketika Noble Fencer menyadari siapa goblin itu, sebuah jeritan sakit terlepas dari bibirnya. Lambang pada lehernya semakin memanas. Lambang akan Dewa Luar mulai berdenyut dan mulai membengkak—seolah akan meledak kapanpun juga…
Dengan bayangan itu di kepalanya, lututnya mulai bergetar. Akan tetapi dia tidak pernah mengalihkan padangannya pada satu benda—pedang silver yang di genggam sang goblin.
Itu punyaku. Punyaku… Pedang itu di curi dariku…
Dan ucapan itu tertuju kepada—Noble Fencer merasa terkejut untuk menggunakan kata ini—rekannya.
“Ahh…Ti-ti-tdak…!”
Sebuah suara langkah kaki semakin mendekat. Para goblin, merasa semangat setelah kemunculan pemimpin mereka, telah mengepung dinding seraya mereka semakin mendekat.
Tidak ada jalan keluar. Apakah mereka telah mensudutkan sang paladin atau mereka di sudutkan oleh sang paladin? Apakah semua akan berakhir di sini?
Apa yang harus ku lakukan? Apa yang haru aku—?
“Cepat.” Sebuah suara tenang, hampir mekanikal membunyarkan kebingungannya. “Aku akan mengulur waktu.”
“Baik pak!” Priestess menjawa dengan segera.
Noble Fencer menggigit bibirnya. Tetesan dari mengalir dari tengkuk lehernya; dia dapat merasakannya mengalir ke bawah lehernya.
Namun dia baik-baik saja. Dia yakin akan itu. Dia akan membuat dirinya baik-baik saja.
“…Baik.”
Tindakan kedua gadis berikutnya sangatlah berlawanan.
Kata akan kekuatan sejati mengalir dari mulut Noble Fencer. “Tonitrus…oriens…! Guruh…Begemuruhlah!”
Sedangkan Priestess, berdoa kepada para dewi, namun tidak melantunkan sebuah keajaiban: “O Ibunda Bumi yang maha pengampun. Berkahilah kami dengan perlindunganmu…”
Ini di lakukan mereka berdua karena Goblin Slayer mempercayakan keputusan mereka.
Satu kepercayaan untuk melindungi Priestess. Dan satu kepercayaan lagi untuk menggunakan Protection pada waktu yang tepat.
“IRARAGARU!!”
“…Hrk!”
Sang goblin paladin mulai beraksi, mengumbar sebuah doa pada dewa anehnya. Serangan dari pedangnya sangatlah cepat dan tajam, dapat dengan mudah menghentakkan perisai Goblin Slayer yang di hantamnya.
Hancurkan manusia!
Goblin secara keseluruhan merupakan makhluk yang kecil. Mereka tidak mempunyai tenaga fisik yang besar, kecuali Hobgoblin. Akan tetapi, pedang aluminium itu telah membantu menutup perbedaan itu. Pada tangang makhluk yang sedang di lihat Goblin Slayer sekarang, pedang itu patut di waspadai. Jika pedang itu telah di perkuat dengan keajaiban dari Dewa Luar, armor biasanya mungkin tidak akan sanggup menahannya.
Armor yang telah di perkuat mungkin akan membuat cerita yang berbeda, namun Goblin Slayer tidak menyukai benda seperti itu. Pada situasi saat ini membuatnya sangat jelas apa yang akan terjadi jika benda seperti itu jatuh pada tangan musuh.
“Hmph.”
Goblin Slayer mengayunkan pedangnya dengan acuh namun terarah. Beradu pedang bukanlah jalan kemenangan di sini; Goblin Slayer mengetahui bahwa itu adalah hal yang percuma. Dia harus menyerang pedang musuhnya dari atas, memaksanya turun, dan kemudian menggunakan pedang pendeknya untuk menusuk celah yang ada.
Bukanlah sebuah teknik tipikal para petualang, lebih seperti duel liar di pinggiran kota kecil. Goblin Slayer tidak mengira bahwa goblin paladin, yang kemungkinan belajar kemampuan berpedangnya dengan melihat para petualang, dapat meresponnya.
Bahkan bagi Goblin Slayer, musuh ini terlalu berbahaya jika dirinya terlalu memaksakan diri. Dia menerima sebuah serangan dengan perisainya, melompat jauh ke belakang, kemudian mengangkat pedangnya, senjata musuh meluncur di depannya, dia mendorong pedang itu ke bawah, melompat ke depan dengan kuat, membiarkan momentum itu membawanya, kemudian menusuknya.
Perbedaan dalam ukuran tubuh, dalam kekuatan fisik dan perlengkapan, strategi, dan pengalaman, menunjukkan hasil akhir yang jelas dalam pertukaran serangan ini.
Namun bukan akhir dari pertarungan. Hasil pertarungan ini akan di putuskan oleh sesuatu yang berbeda: dua wanita muda yang sedang berhadpaan dengan lima belas goblin yang mendekat.
Salah satu senyum monster menunjukkan keserakahannya dengan jelas, khayalan-khayalan dalam otak kecil mereka.
“Heh-heh.”
Akan tetapi, walau dengan semua yang terjadi di sekitarnya, Priestess memiliki senyum pada wajahnya.
Pria yang menjaga punggungnya. Pria yang mempercayakan punggungnya kepada Priestess: Priestess mengenalnya, dan pria itu tidak pernah bertarung secara serius dalam situasi seperti ini. Dan juga pria itu tidak akan menyuruh dirinya untuk menggunakan keajaiban pada momen seperti ini.
Oleh karena itu sekarang belumlah waktunya. Momen untuk menggunakan Protection akan datang, namun bukan saat ini.
Itu artinya yang perlu dia lakukan sekarang adalah membuat rencana untuk melarikan diri secepat yang dia bisa…
Priestess melihat cepat pada perlengkapannya dan mengambil salah satu benda, seperti yang telah mereka diskusikan sebelumnya. Di sampingnya...
“…Iacta! Dan menyambarlah!”
...mantra petir telah selesai.
Petir itu meluncur dari telapak Noble Fencer yang menjulur menuju… Yah, seseorang pastinya sudah menduga goblin paladin, bukan?
“AGARARABA?!”
“GORRRBB?!”
Namun tidak. Serangannya menghantam gerombolan goblin yang mendekat.
“Ee—yaaahhh!”
Dalam momen sekejap itu, medan perang menjadi putih. Terdengar suara menggelegar akan udara yang berhembus liar, suara yang merupakan sebuah lolongan halilintar, dan kemudian petirpun menyambar.
Para goblin yang tercambuk oleh cahaya, mulai membengkak dan meledak, berteriak.
Untuk menggunakan mantra kuat dalam musuh yang bergerombol adalah taktik standar. Asap putih, membawa aroma tajam akan tubuh yang terbakar, mengambang bercampur dengan asap dari api. Sebuah bayangan terlintas pada benak Noble Fencer bahwa ini adalah gambaran sebuah neraka.
“….Rasakan…!”
Senyum pada wajahnya tidaklah jelas, sebuah upaya untuk terlihat kuat, untuk terlihat yakin, namun tidak salah lagi, para gadis telah berhasil melakukannya. Priestess mengelap wajahnya yang berkeringat dan berteriak, “Pak Goblin Slayer! Sudah selesai!”
“…!”
Reaksi Goblin Slayer sangatlah cepat. Dia memutar pedang rusak di sekitar tangannya hingga dia dapat memegangnya secara terbalik, dia melemparnya pada goblin paladin.
“GARARARAI!!”
Mempercayai bahwa ini semua merupakan lebih dari sekedar trik kecil, sang paladin mengangkat perisainya dan menangkis pedang itu. Namun itu juga membuat pengelihatannya terhalangi.
Dalam detik itu. Hanya itulah yang di butuhkan Goblin Slayer.
“Hwah?!”
“…Ah!”
Kedua wanita menjerit: tiba-tiba mereka mendapati tubuh mereka terangkat, di bawah dua lengan Goblin Slayer seraya dia melompat turun dari dinding benteng.
Adalah sebelum fajar menyingsing; sebuah cahaya lembut mulai menyebar di keseluruhan lahan. Mereka melayang di udara.
Udara dingin yang menggigit setajam pisau berhembus pada kulit para gadis.
Kemudian sensasi akan melayang, akan terjun, terasa begitu tiba-tiba seolah mereka telah mengenai tanah.
Namun itu tidak terjadi. Tangan Goblin Slayer menggenggam sesuatu dengan erat.
Peralatan para petualang.
Terdengar sedikit suara tarikan napas yang meninggi dari dalam helm baja. Goblin Slayer, tampaknya, memiliki sebuah senyum yang tidak biasanya pada wajahnya. “’Jangan pernah tinggalkan rumah tanpa alat ini’ mereka bilang…”
Pengait dan tali.
Sesuatu yang Priestess—seorang tingkat Obsidian, satu tingkat lebih tinggi dari peringkat terendah—selalu bawa. Pengait tertanam kencang pada dinding benteng, tali bergantung ke bawah menuju luar benteng; rute pelarian mana yang lebih baik lagi?
“IGARARARAROB!!”
Mereka mendengak untuk melihat goblin paladin mencondongkan tubuhnya keluar dinding, berteriak, wajahnya penuh kemarahan.
Kehidupan utama goblin adalah di bawah tanah. Goblin paladin, dan goblin lainnya, tidak pernah melihat seseorang melarikan diri dengan melompat dari tempat yang tinggi.
Para monster tidak dapat melakukan serangan balasan dengan segera, namun kecerdikan licik mereka sangatlah cukup untuk memulai melepaskan pengaitnya.
Namun bukan berarti Goblin Slayer akan membiarkan mereka tentunya. Dengan Priestess dan Noble Fencer yang di pikulnya, Goblin Slayer menekankan kakinya pada dinding dan mulai menuruni dinding dengan beberapa lompatan besar. Pergerakannya cepat dan pasti, tentunya merupakan hasil dari latihannya.
“A-apa kami berat…?” Priestess bertanya.
“Sedikit.”
Pertanyaan itu terlepas begitu saja dari Priestess, dan dia sedikit mengernyit mendengar jawabannya. Priestess tersipu dan merasa sedikit marah pada Goblin Slayer. Adalah hal yang sangat wajar bagi gadis seumurannya untuk membalas mengatakan: “Kamu seharusnya bilang, ‘Nggak, kamu benar-benar ringan’!”
“Benarkah?”
“Benar!”
“Begitu.”
Goblin Slayer mengangguk, walaupun kemungkinannya kecil bahwa dia benar-benar mengerti mengapa apa yang membuat Priestess marah.
Hampir pada saat yang sama saat Goblin Slayer meletakkan kakinya pada tanah bersalju, tali itu telah di putus, terjatuh mengikuti mereka. Goblin Slayer mengambilnya dan melilitkannya di sekitar pundaknya.
“Aku akan menggantinya nanti.” Merupakan momen yang aneh untuk memikirkan kebaikan social pada saat ini, namun begitu karakteristik hingga bahkan membuat Noble Fencer sedikit tersenyum pada wajahnya. (TL Note =  bagi yang bingung, maksudnya goblin slayer akan ganti rugi tali yang sudah rusak itu, karena tali itu punya Priestess.)
Namu ini belum berakhir.
“IGURARARARARARABORR!!”
Sang goblin paladin, marah dengan kemurkaan, meneriakkan teriakan yang bergema di sekitar gunung, menjatuhkan salju dari benteng. Dengan bunyi decitan dan gemerincing, gerbang utama mulai terbuka.

Mereka harus bergerak dengan cepat, atau mereka akan mendapati diri mereka kembali berhadapan dengan mereka.
“…Di mana yang lain?” Noble Fencer bertanya.
“Mereka akan di sini sebentar lagi.”
Dan tibalah mereka. Terdengar suara retak, seraya tanah yang berlapis salju mulai meninggi, dan kemudian sisa party mereka timbul dari bawah bumi.
“Phew! Ahh! Aku benar-benar muak dan lelah dengan terowongan goblin ketika ini semua sudah selesai!” teriak Dwarf Shaman, merayap keluar lubang layaknya tikus tanah.
“Naiklah,” sang dwarf berkata, mengulurkan tangannya ke bawah lubang dan mengambil tangan seseorang.  Tanpa sungkan, dia menolong High Elf Archer naik ke permukaan.
“Kamu benar.” Sang archer berakta, membersihkan debu dari dirinya dan mengernyit. “Aku nggak bisa percaya kalian para dwarf bisa hidup di bawah tanah. Apa kalian yakin kalian bukan saudaranya goblin?”
“Pakai telinga panjangmu dan dengarkan aku, dasar papan berumur dua ribu tahun. Ada sesuatu yang bisa kamu buat candaan dan ada sesuatu yang nggak bisa kamu candain.”
“Dua ribu tahun apa? Apa kamu mau memulai perang, orang cebol?”
Dan mereka pun mulai berdebat kembali. Merupakan perdebatan biasa mereka, namun perdebatan itu terjadi begitu tiba-tiba hingga membuat Noble Fencer melongo.
“…Er. Ahem…”
“Semua sesuai rencana,” Goblin Slayer berkata.
“Benar sekali!” sebuah kepala bersisik, muncul dari bawah lubang. Dia terlihat cukup besar namun dapat merayap keluar dengan mudah. “Jangan Khawatir. Keadaan mereka mungkin memang menyedihkan, namun mereka tidak terluka.”
Walaupun Lizard Priest tampak mengerikan, namun dia juga terlihat senang. Dua tahanan bergantung di masing-masing lengannya, empat secara keseluruhan. Lizard Priest memiliki tenaga fisik yang cukup untuk membawa mereka semua tanpa susah payah, dan P3K telah di lakukan kepada para wanita merupakan tindakan teladan darinya. Tampaknya, memang benar, tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan mereka.
“Syukurlah…” Priestess menghela napas lega, air mata mengalir dari matanya. “Aku mengkhwatirkan kalian semua. Apa kalian terluka?”
“Nggak sedikitpun!” High Elf Archer berkata, memotong perdebatannya dengan Dwarf Shaman. Dia membusungkan dadanya bangga. “Bagaimana denganmu? Kamu nggak terluka kan? Maksudku, kamu bersama Orcbolg sih…”
“Oh… Ha-ha-ha-ha Nggak. Kami baik-baik saja. Nggak masalah sama sekali.”
“Yah.” High Elf Archer memberikan anggukan puas melihat senyum berani Priestess. Kemudian dia melihat pada Goblin Slayer dan akhirnya Noble Fencer. Pertarungan telah berakhir; gadis itu berlumur dengan darah dan debu, akan tetapi dia menatap balik pada sang ranger dengan mata yang bercahaya.
Sang elf memberikan kepakan pelan dari telinganya, kemudian tersenyum layaknya kucing.
“Kamu berhasil, ya?”
High Elf Archer menepuk pundak Noble Fencer dengan kepal tangannya. Gadis itu memegang kepal sang archer, berkedip. Kemudian dia melihat ke bawah, seolah ingin menyembunyikan air matanya, dan hanya berkata, “Ya.”
“Yah, kamu sekarang kamu bisa lihat kalau ini semua sama sekali bukan masalah bagi kami.” Dwarf Shaman berakta, membelai jenggotnya bangga dan tertawa kecil.
Dan sebenarnya, itu merupakan sebuah kenyataan.
Mantra Tunnel mungkin tampak seperti satu-satunya cara untuk memindahkan tanah dan batu, namun tanpa mantra itu, mereka tidak akan dapat menyelamatkan para tahanan. Ataupun mereka dapat melakukannya tanpa tenaga Lizard Priest untuk membawa para gadis itu keluar, dan jika mereka tidak mempunyai insting tajam High Elf Archer, mereka mungkin akan berhadapan dengan lebih banyak goblin. (TL Note = Tunnel = terowongan.)
Mereka telah mencuri senjata para goblin, menghancurkan persediaan pangan mereka, menyelamatkan para tahanan, dan berhadapan dengan penghuni monster benteng. Goblin Slayer hanya dapat membayangkan betapa banyak waktu dan upaya yang di butuhkan jika dia melakukan semuanya sendiri.
“Ahem, kalau begitu Beardcutter,” Dwarf Shaman berkata, menyipitkan matanya. “Apa yang terjadi sama pedangmu?”
“Aku melemparnya.”
Jawaban datar itu mengundang sebuah senyuman dan sebuah ucapan “Sudah ku duga” dari sang dwarf. “Yah, ambil apapun yang kamu mau, ini semua senjata goblin, tapi  ku rasa ini cocok denganmu.”
“Terima kasih. Tapi aku mungkin akan melemparnya lagi.”
“Ahh, nggak usah khawatirkan itu!”
Ini cuma barang jarahan. Dwarf Shaman memegang beberapa bungkus pedang, senjata yang mereka telah curi dari gudang senjata sebelumnya.
Jadi goblin telah mencuri senjata itu dan menyimpannya untuk beberapa saat—hanya untuk di curi kembali oleh para petualang. Goblin Slayer merasa itu sebuah pemikiran yang cukup aneh. Dia mengambil senjata yang mata pedangnya memiliki kepanjangan yang dia sukai. Dia memasukkannya ke dalam sarung pedang tanpa ragu. Tidak di ragukan lagi dia merasa sedikit janggal tanpa persenjataan.
“Jadi yang tinggal kita lakukan sekarang adalah mendapatkan pedang gadis itu kembali, kan?” Dwarf Shaman berkata.
“Benar.” Goblin Slayer mengeluarkan sebuah botol dari dalam tas peralatannya: sebuah stamina potion.
Dia membuka tutupnya dan meminumnya dengan sekali teguk. Rasa hangat yang menyebar di tubuhnya terasa begitu nikmat.
Dia telah menyimpan benda ini, sesuatu yang telah di berikan oleh Gadis Guild kepadanya sebelum dia pergi, untuk momen yang special.
Goblin Slayer melihat pada rekannya: pada Priestess, gadis yang mempercayainya. Pada High Elf Archer, yang bersamanya dalam masa suka dan duka. Pada Dwarf Shaman, yang dapat di andalkan pada saat yang genting. Pada Lizard Priest, seseorang yang Goblin Slayer percaya untuk menjaga keselamatannya dalam pertarungan. Dan pada Noble Fencer, yang telah mengerahkan segalanya yang dia miliki hingga momen ini.
Masing-masing dari mereka berlumur dengan lumpur, darah, dan debu, namun di sinilah mereka.
Kemudian Goblin Slayer melihat mengarah horizon. Kota perbatasan berada jauh di selatan. Gadis Sapi berada di sana, menunggu dirinya pulang. Gadis Guild berada di sana.
Terdapat semakin banyak hal di dalam kehidupannya yang membuatnya tidak dapat melakukan semuanya sendirian.
Pikiran ini melintas di kepalanya, di ikuti dengan sebuah kesimpulan bahwa ini, bukanlah hal yang buruk baginya.
Dengan itu, hanya terdapat satu hal yang harus di lakukan.
Hal yang sama yang selalu dia lakukan.
“Kita akan membasmi semua goblin.”
*****
Goblin tidak mempunyai sebuah konsep industrial, akan menciptakan sesuatu dengan tangan mereka sendiri. Di tambah dengan, mereka telah banyak kehilangan saudara mereka dalam pertarungan baru-baru ini. Mereka akan menghindari jumlah mereka di kurangi terus menerus, dan menyimpan suplai.
Untuk mengisi kembali pasukan mereka, mereka akan membutuhkan Rahim. Banyak Rahim dan makanan.
Untuk menangkap wanita dan mencuri persediaan pangan, mereka harus menyerang sebuah desa.
Dan untuk menyerang sebuah desa, mereka harus mengumpulkan kekuatan tempur mereka, menjaganya, bergerak, dan menyerang pada waktu yang tepat.
Semua barang mereka telah di curi. Wanita mereka telah di culik, senjata mereka di rampas, makanan mereka di ambil secara paksa.
Kita nggak bisa melakukan apapun—kita tidak berdaya! Ini nggak masuk akal. Kitalah yang seharusnya mencuri; mereka yang seharusnya menjadi korban pencurian.
Ini? Ini membuatku tidak berbeda dengan yang lain.
Para petualang menerobos masuk ke dalam sarangku dan mengambil harta benda milikku—dan itu tidak membuatku lebih dari…lebih dari goblin!
“GOURRR…”
Sang goblin paladin, memiliki kecerdasan yang lebih dari rekan-rekannya, dapat memahami bahwa semuanya telah berakhir. Dengan keadaan yang seperti ini, goblin yang masih selamat akan sulit untuk terus menuruti perintahnya.
Goblin memiliki rasa kebersamaan yang kuat, namun apa yang menyatukan mereka semua adalah keserakahan. Mereka membunuh apa yang mereka benci, memperkosa mereka, mencuri dari mereka, mempermalukan mereka dengan cara yang paling keju. Apa lagi yang dapat di lakukan seekor goblin?
Sekarang sudah tidak ada lagi jalan untuk maju; rencana goblin paladin telah hancur.
Jika begitu, hanya ada satu hal yang harus di lakukan.
Hal sama yang selalu dia lakukan.
Serang para petualang. Bunuh para pria, tangkap para wanita. Kemudian dia akan merantai mereka di dalam dungeonnya, memberi makan mereka daging rekan mereka sendiri, dan memaksa mereka untuk mengandung anak kecil hingga hati mereka hancur dan mereka mati.
Goblin tidaklah mengerti bahwa mereka akan mendapatkan karma suatu hari karena mencuri. Mereka hanya mengerti bahwa merekalah yang telah menjadi korban dan mereka harus membalas dendam.
“IRAGARARARARARA!!”
Dengan itu, yang terdengar berikutnya adalah amukan kemurkaan.
*****
Cahaya fajar menyinari benteng, kemilau silver yang berkelip di balik pegunungan yang di mana merupakan tempat ini semua terjadi.
Kilau matahari dan bayang-bayang puncak mengikuti para petualang seraya mereka berlari. Bahkan terpeleset sedikit saja pada salju akan menjadi fatal. Karena, pada saat ini, mereka sedang di kejar oleh gerombolan goblin yang menggila, ingin membunuh mereka.
“IGARARARARARAU!” Sang goblin paladin mengangkat pedang aluminiumnya, meraungkan sebuah doa.
“GROAAAB!!” Goblin di belakanganya berteriak menjawab, mengangkat senjata mereka dan berlari ke depan. Mata mereka membara, dan liur menjijikan mereka menetes dari mulut mereka.
Sudah tidak ada lagi setitikpun rasionalitas sekarang, itupun kalau mereka memang mempunyainya.
Lunacy: adalah keajaiban pertarungan yang di berikan oleh dewa pengetahuan eksternal. (TL Note: Lunacy = kegilaan.)
Goblin yang mengikuti paladin agung terperangkap dalam gelombang kegilaan. Mereka tidak memikirkan lagi tentang masa lalu atau masa depan; satu-satunya keinginan mereka saat ini hanyalah untuk melumat para petualang, menginjak mereka sampai hancur.
Para goblin, telah berubah menjadi pasukan suci, secara harfiah tidak mengenal takut. Bahkan ketika banyak panah mulai menghujani barisan depan mereka dan membunuh mereka. Para goblin dengan santainya menginjak mayat-mayat itu masuk ke dalam salju, semangat mereka tidak goyah.
“Inilah kenapa aku benci dengan goblin. Satu-satunya yang mereka miliki cuma jumlah!” High Elf Archer menarik panah bermata kuncup dengan gerakan yang anggun, melepaskannya seraya dia menyindir para goblin pada temannya. Walaupun dia tidak membidik sama sekali, panahnya tidak pernah meleset dari sasaran.
Sebuah kemampuan yang begitu tinggi hingga sulit di bedakan dengan sihir.
“Tapi juga, aku suka tempat terbuka yang besar untuk menembak! Nggak kayak ruangan sempit itu!”
“Awas kamu…!” Dwarf Shaman marah.
“Kalau kamu mempunyai napas untuk berbicara, gunakan napasmu untuk berlari lebih cepat!”
“Aku berlari secepat yang aku bisa!”
Kaki pendek sang dwarf membuatnya perlari paling lambat dalam partynya, bahkan ketika di jalan datar. Namun juga, keseluruhan party bergerak sedikit lambar dari biasanya.
“Bagaimana denganmu?” Dwarf Shaman bertanya. “Gimana dengan kakimu?”
“Juju raja, masih sedikit sakit.” Kaki sang archer, langsing seperti rusa, telah terkena dengan panah belum lama ini. High Elf Archer menyipitkan sebelah matanya, kemudian menembakkan panah lainnya.
“Saya percaya jika seperti ini terus, kita akan terkejar oleh mereka,” Lizard Priest berkata. Gerakannya telah di lambatkan oleh hawa dingin, dan tidak perlu di katakana, bahwa dia masih membawa para mantan tahanan. Dia telah memanggil seekor Dragontooth Warrior dan mempercayakan satu atau dua gadis kepadanya, namun makhluk itupun tidak lebih cepat darinya.
“Jumlah musuh telah di kurangi. Saya menyarankan untuk membiarkan saya berhadapan dengan mereka sendiri.”
“Ja-jangan! Kamu nggak boleh!” Priestess, yang biasanya tidak pernah mengotot, menggeleng kepalanya dengan cepat. “Lain ceritanya kalau melakukan sesuatu yang gila dan nggak masuk akal untuk bisa bantuk kamu menang, tapi itu nggak akan berhasil kali ini…!”
Seseorang mungkin akan menyadari bahwa Priestess hanyalah mengulangi ucapan favorit Goblin Slayer.
Sebuah stamina potion cukup membantu, namun itu tidak akan menyembuhkan kekuatan fisikmu secara keseluruhan. Mereka telah meninggalkan desa, berjalan melewati salju, menghabiskan keseluruhan malam menyerang sebuah benteng, dan sekarang mereka sedang bertarung lagi tanpa di berikan kesempatan untuk beristirahat. Rasa lelah menumpulkan pikiran, pikiran yang tumpul memicu kesalahan, dan kesalahan, dalam hal ini, berujung kematian.
“Sungguh… Jika saja di sini sedikit hangat, Saya bisa bergerak dengan lebih efektif.”
“Jangan, kamu nggak boleh—oh.” Priestess mengingat sesuatu yang dia miliki di dalam tasnya. Dia merogohnya dan menarik keluar sebuah cincin. “Ini cincin yang Goblin Slayer berikan padaku, cincin yang mengandung mantra Breathe. Ini nggak akan membantu banyak, tapi—“
“Lebih baik dari tidak ada sama sekali. Saya menerimanya dengan penuh syukur.” Lizard Priest masih berlari, masih membawa para tahanan, namun dia mampu menyelipkan cincin Priestess masuk ke dalam salah satu jari bersisiknya.
Ketika dia melakukannya, dia membuat suara kagum; efek cincin itu begitu cepat dan dapat di rasakan. Akan tetapi, tidak cukup untuk merubah situasi.
Apa yang harus di lakukan sekarang?
Hanya salah satu dari mereka yang mempunyai kekuatan skala besar. Noble Fencer membiarkan kekuatan sihir untuk mulai mengalir di dalam tubuhnya.
“Aku akan gunakan halilintar untuk—“
“Jangan.” Goblin Slayer menolaknya dengan segera. “ Akan ada waktunya untuk menggunakannya, tapi bukan sekarang.”
“….?”
Noble Fencer memberikannya tatapan tanda tanya seraya mereka berlari. Wajah Goblin Slayer, seperti biasa, tersembuyi di balik helmnya, dan Noble Fencer sama sekali tidak mengetahui apa yang di pikirkannya.
Goblin Slayer melepaskan sarung tangannya, memijat jaritnya untuk melemaskannya, kemudian memasang kembali sarung tangannya.
“Aku akan menjaga belakang. Kamu bantu aku.”
“Siap!” Dwarf Shaman berkata, seyakin sebuah palu yang menempa sebuah pedang. Membantu dan mendukung adalah apa yang pembaca mantra sangat ahli dalam melakukannya. “Apalah salju kalau bukan air? Dan apa yang lebih cocok dengan air selain tanah?”
Dwarf Shaman berputar, tidak sedikitpun melirik pada goblin seraya dia menghantamkan tangannya ke bawah pada tanah bersalju. Dalam setiap tangannya adalah sebuah bola lumpur, yang merupakan katalis yang cocok.
“Gnomes! Undines! Buatkanlah aku bantalan terbaik yang pernah ada!”
Dengan sebuah shlorp, tanah menjadi lembek. Salju meleleh tepat di depan mata mereka, berubah menjadi air; air itu bercampur dengan tanah yang lembek dan dengan cepat menjadi lahan lumpur.
Snare: selama di gunakan pada arah yang berlawanan, mantra ini tidak akan berpengaruh pada para petualang. Mantra ini hanya mengenai para goblin. (TL Note: Snare = ikat.)
“GAROBA?!”
“ORAG?!”
Makhluk pertama yang tiba akan terjatuh, mengayunkan lengan mereka, kaki mereka tersangkut di dalam lumpur, mereka kemuadian akan di injak-injak oleh rekan mereka. Ini akan akan sedikit mengurangi dan memperlambat jumlah mereka. Atau seharusnya seperti itu.
“ORAGARARARAU!!”
Akan tetapi, pada saat itu, doa sang goblin paladin terdengar di keseluruhan medan perang. Dan saksikanlah! Para goblin, di kelilingin dengan cahaya pucat, berjalan dengan begitu mudahnya melewati lumpur!
“A-ap…?!”
Dwarf Shaman terbengong melihat semua ini. Hal seperti ini belum pernah terjadi jika musuh mereka hanya goblin biasa. Namun mereka mempunyai seekor goblin paladin yang memimpin mereka.
Pastinya itu merupakan keajaiban Counterspell.
“Gaaah!” Dwarf Shaman berteriak. “Goblin bodoh dan licik!”
“Sepertinya kita harus membiarkan panahku yang berbicara,” High Elf Archer berkata, menembakkan sebuah panah pada pasukan goblin yang mendekat. Panah itu terbang di antara barisan para monster,  tepat menuju sang paladin…
“GAROARARO?!”
“…Oh!” High Elf Archer menjentikan lidahnya. Goblin lainnya telah melompat di depan sang pemimpin, mengorbankan dirinya sendiri. “Ahh, sialan! Padahal dia berdiri tepat di tempat yang aku inginkan!”
“Jumlah musuh sudah di kurangi. Biarkan aku saja,” Goblin Slayer berkata, bergerak cepat ke belakang formasi. Dengan ayunan santai dari lengannya, dia memenggal kepala seekor goblin yang datang mendekatinya.
Dia melempar pedangnya pada makhluk berikutnya yang datang, menendang sebuah tombak di dekat kakinya naik menuju tangannya.
“Delapan, Sembilan.” Dia memeriksa senjatanya, kemudian melirik dari balik pundaknya dan melanjutkan melarikan diri. “Kita nggak bisa pergi ke desa dengan mereka yang masih ada di belakang kita. Seingatku ada sebuah lembah di depan kita.”
“Jika tidak salah, lembah itu juga tidak begitu jauh,” Lizard Priest berkata.
“Kalau begitu, kita pergi ke sana.”
Goblin Slayer melihat ke belakang, melempar tombaknya. Tombak itu menembus armor dada seekor goblin, menancapkannya pada tanah bersalju.
“Apa yang sudah ku bilang kan Beardcutter?”
“Maaf.”
Dwarf Shaman menarik pedang lainnya dari bungkusan yang dia bawa dan melemparnya kepada Goblin Slayer. Bertarung seperti ini, membiarkan mayat musuh—dan perlengkapan mereka—begitu saja, sangatlah sulit karena itu membuat mereka mempunyai persediaan senjata yang lebih sedikit.
Goblin Slayer memotong satu atau dua goblin, kemudian pedangnya menjadi tumpul di karenakan lemak dan darah, dia memutarnya hingga memegangnya secara terbalik.
“Hrk…!” Terdengar teriakan tertahan ketika dia menggunakan hulu pedang untuk menghancurkan tengkorak goblin. Dia menggenggam mata pedangnya dengan tangan yang menggunakan sarung tangan, menggunakannya seperti sebuah palu, membunuh goblin dengan satu serangan. (TL Note : Hulu pedang = Hilt/pelindung pedang yang ada di gagannya https://www.facebook.com/GuUtaraEnterprise/photos/a.848717505222394/848717811889030/?type=3&theater )
“Tiga belas!”
Dia mengelap otak dari senjata improvisasinya dan bergerak untuk menyerang monster berikutnya. Keseluruhan hulu pedang tertanam pada armor dada kulit dari goblin mendekat; makhluk itu jatuh dengan begitu berat sehingga Goblin Slayer melepaskan pedangnya begitu saja.
“Oke, berikutnya!” Dwarf Shaman meneriakkan. “Kamu mau beliung atau sekop?”
“Apa ngaruhnya?” High Elf Archer berteriak. “Ambil aja salah satunya!”  adalah kecepatannya dalam memanah yang telah memberikan waktu bagi mereka untuk menukar senjata; High Elf Archer menarik tiga panah dari tempatnya dan menembakkannya hampir lebih dari cepat dari mata dapat melihat. Tiga goblin tertembak secara bersamaan dan mati begitu cepat hingga tidak sempat menjerit seraya mereka terjatuh di tanah.
Dengan itu menjadi enam belas.
Goblin Slayer tidak bimbang. “Aku perlu sesuatu yang panjang.”
“Kalau begitu sekop!”
Dia menangkap sekop yang di lempar oleh Dwarf Shaman kepadanya, mengayunkannya dan menyerang dengan sekop itu, mayat goblin semakin menumpuk.
Berusaha melakukan yang terbaik dengan waktu berharga yang mereka miliki,  dua orang wanita muda bergerak di belakang Lizard Priest.
“Terus bergerak…!”
“…ngh.”
Priestess berkata. Noble Fencer hanya membuat suara memaksa.
“Terima kasih…!” Lizard Priest berkata. Para gadis sedang mendorong dirinya dari belakang dengan tubuh mereka yang kecil. Sedangkan untuk Dragontooth Warrior, membawa para tahanan tanpa suara, party mereka sangatlah bersyukur dengan keberadaan tulang ini.
Goblin Slayer, menggenggam sekop layaknya sebuah tombak, membasmi goblin lainnya.
“Sembilan belas!”
Enam petualang dan empat tahanan yang di selamatkan melawan gerombolan goblin yang di pimpin oleh seekor paladin: ini merupakan keadaan pertarungan seraya berlari ke bawah pegunungan bersalju saat ini. Semua yang terlibat berusaha melakukan yang terbaik, bersiap untuk bertarung hingga mati. Napas yang mereka menunjukkan uap putih udara dingin, menghalau pandangan mereka. Kaki mereka mulai mati rasa di karenakan salju, akan tetapi tubuh mereka terasa panas.
Sebuah pedang telah membasmi goblin yang kedua puluh, kemudian panah High Elf Archer meningkatkan jumlahnya hingga dua puluh empat; Goblin Slayer mengambil sebuah kapak  untuk korban ke duapuluh lima dan dua puluh enam, kemudian melempar kapaknya untuk dua puluh tujuh, yang di ikuti dengan panah lainnya.
Pertarungan ini, yang telah di mulai ketika matahri terbit, telah mengambil korban sebanyak tiga puluh goblin, dan belum menunjukkan tanda akan berhenti. Abhati mentari pagi menyinari salju yang berwarna merah akan darah goblin,  yang tampak seperti sebuah goresan kuas dari seorang pelukis.
Pertarungan mereka terus berlajut; pertarungan ini tidak akan berhenti hingga salah satu sisi telah mati, para petualang atau para goblin terakhir. Adalah sebuah kenyataan pahit akan pembasmian goblin.
 “Kalian duluan saja,” Goblin Slayer berkata ketika mereka telah tiba pada mulut lembah.
Ucapan itu terdengar seperti dia akan secara sukarela mengorbankan dirinya, memaksa yang lain untuk meninggalkannya dan melarikan diri. Akan tetapi, tidak terdengar adanya keputusasaan dalam suaranya, suaranya terdengar datar dan mekanikal seperti biasanya.
“Aku akan menghalau mereka di sini.” Deklarasinya  mengundang tatapan dari seluruh partynya.
“Apakah—apakah anda mampu?” Lizard Priest bertanya. Sang lizard telah memindahkan posisi dua tahanannya menuju depan tubuhnya. Jika keadaan menjadi tidak terkendali, dia dapat melindungi mereka dengan punggungnya.
“Aku mampu. Aku nggak punya niatan membiarkan mereka mencapai desa.”
Setelah jawaban singkat ini, Goblin Slayer mengangguk pada Dwarf Shaman. Sang dwarf memberikan tawaan lelah. “Maaf Beardcutter, itu tadi senjata terakhirku.”
“Jika begitu, tuanku Goblin Slayer, ambil senjata saya.”
“Terima kasih.”
Sebagai ganti dari persenjataan Dwarf Shaman, Goblin Slayer menerima sebuah pedang taring dengan Sharp Tooth, sebuah mantra mempertajam yang di gunakan pada pedang itu. Adalah keajaiban keempat dan terakhir yang dapat di lakukan oleh Lizard Priest.
High Elf Archer, yang telah menembak secepat dia bisa memuat kembali panahnya, menghela napas. “Aku mau membantumu, tapi… Apa kamu punya panah Orcbolg?”
Kaum elf merupakan sahabat hutan; jika saja ada cabang berdaun di sekitar mereka, High Elf Archer dapat membuat panahnya sendiri. Namun di tengah-tengah dunia putih ini, tidak satupun pohon yang dapat di temukan.
“Pakai ketapelku.” Goblin Slayer berkata, mengeluarkan sebuah tas dari kantung peralatannya seraya dia memberikan ayunan memeriksa pada pedang taringnya.
High Elf Archer menangkap ta situ di udara, mendengar suara batu dari dalam ketika dia menangkapnya.
“Aku nggak begitu suka ketapel…” Wajahnya mengernyit dan telinganya melemas. Akan tetapi, dia mengetahui bahwa dia tidak mempunyai pilihan lain, dan dia memasang batu pada ketapelnya.
“Kamu nggak suka Karena kamu nggak jago pakai ketapel.” Dwarf Shman berkata dengan tawaan. “Kurasa ini sudah saatnya aku pakai mantra yang sudah aku simpan, bagaimana Beardcutter?”
“Aku rasa sudah nggak ada gunanya lagi menyimpan mantramu. Lakukan saja sesukamu!”
Dwarf Shaman melantunkan mantra Snare lainnya. Sang goblin paladin akan menggunakan mantra Couterspell kembali, namun paling tidak sang paladin akan di paksa untuk menggunakan salah satu keajaibannya. Tentunya ini tidak akan cukup untuk memperlambat mereka, namun ini akan dapat mengulur waktu yang berharga bagi para petualang…
Goblin Slayer menarik napas dalam ketika Priestess berlari mendekatinya.
“Pak Goblin Slayer, ini potion…”
“Terima kasih. Simpan keajaibanmu.”
Tentu saja. Kamu mempercayakanku untuk kapan harus menggunakannya.”
Goblin Slayer membuka tutup botol yang di berikan kepadanya dan meminumnya. Seraya dia melakukannya, Priestess menyibukkan dirinya untuk memeriksa ikatan armor Goblin Slayer, membersihkannya dari salju atau tanah yang dapat menghambar pergerakannya. Kemudian dia membuat sebuah gerakan pada tangannya dan mulai berdoa.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berkatilah kami dengan anugrahmu…”
Doa ini bukanlah sebuah keajaiban; hanya sebuah doa, sebuah permohonan. Akan tetapi Goblin Slayer sama sekali tidak pernah menganggap doa itu tidak berguna. Dia tidak akan pernah menolak sesuatu yang di lakukan orang lain untuk dirinya.
Dia melempar botol kecil itu ke dalam salju ketika dia mulai merasakan efek dari potion menyebar di keseluruhan tubuhnya. Dia memiringkan helm bajanya seolah tidak mengetahui harus berkata apa; dia menatap pada gerombolan goblin yang semakin mendekat.
Pada akhirnya, dia hanya berkata, “Ada cara untuk kita bisa menang.”
“Ya, pak,” Priestess menjawab. Priestess tidak mempertanyakan Goblin Slayer: bukan karena cinta, bukan karena ketergantungan ataupun kepatuhan buta. Hanyalah sekedar kepercayaan—kepercayaan pada Goblin Slayer, pria yang berada di depannya.
Goblin Slayer membalas tatapan yang di berikan Priestess. Dan kemudian dia mengangguk. Itu sudah cukup.
“Aku serahkan padamu waktu untuk penggunaan Protection. Dan…” Tatapan beralih perlahan pada Noble Fencer.
“……”
Dadanya yang sedang mengembang di saat dia menarik napas, namun Noble Fencer dapat mengatur kembali napasnya. Mempersiapkan penggunaan sihir, mungkin. Goblin Slayer dapat menebaknya.
Jika begitu, tidak perlu baginya untuk memberikan detil secara terperinci.
“Saat aku berikan sinyal, tembak.”
Noble Fencer mengangguk, membuat ayunan pada rambut emasnya. Goblin Slayer menambahkan satu atau dua hal lagi. Pada awalnya Noble Fencer melihatnya padanya tanpa paham sedikitpun, namun pada akhirnya Noble Fencer berkata, “….Aku mengerti.”
Hanya itulah yang perlu di dengar Goblin Slayer.
Dalam waktu yang singkat, Goblin Slayer telah melakukan apa yang harus di lakukan.
Sekarang, sudah tidak ada lagi yang harus di lakukan.
Goblin Slayer melihat ke langit. Apakah tangan-tangan surgawi masih melempar dadu di atas sana?
“Kalau begitu, ayo mulai.”
Segera setelah dia berbicara, Goblin Slayer mulai berlari melewati salju. Dia sedang menuju pasukan goblin. Party mereka saling mengangguk satu sama lain, kemudian mulai membuat jarak, dengan masih membawa tahanan.
Batu-batu dari ketapel High Elf Archer bersiul melewati. Satu, kemudian dua, High Elf Archer tidak begitu terlatih, namun para goblin tetap menjadi korban akan tembakannya, dan itu sudah cukup.
Kemudian musuh tak terhindarkan Goblin Slayer muncul.
“IGARURURARARA!!”
Sang goblin paladin.
“Hrmph!”
“IGRUAA!!”
Dengan itu pertarungan terjadi lagi kedua kalinya. Terdengan dentingan metal dengan metal ketika pedang mereka saling beradu, percikan menyebar di atas lahan bersalju. Pedang aluminium menekan pedang taring ke bawah.
Fwsh! Di kaki mereka, salju melonjak seperti sebuah kabut. Sang paladin kembali menyerang Goblin Slayer, namun warrior itu menepis serangannya ke samping dan mengambil langkah mundur. Goblin Slayer memberikan tusukan membalas, namun pedangnya kembali di hantam ke bawah oleh pedang aluminium paladin.
“Jadi kamu sudah belajar.”
“IGAROU!”
Goblin Slayer menendang salju tepat pada wajah paladin yang meraung.
Monster itu termundur, terbutakan dan meracau. Goblin Slayer memberikan hantaman dengan perisainya.
Akan tetapi, hanyalah sebuah dentingan metal yang terdengar.
Sang goblin paladin juga memiliki sebuah perisai. Sang paladin tidak begitu menggunakan perisainya secara benar, namun dia telah dapat menangkis serangan Goblin Slayer pada waktu yang tepat.
“…!”
“GROOB!!”
Kedua perisai mereka saling beradu, napas mereka menghembus dan memutih.
Goblin Slayer memiliki keuntungan dalam tenaga fisik, namun ukuran tubuh paladin yang kecil juga memiliki nilai intimidasi tersendiri. Makhluk itu menyerang pergelangan kaki Goblin Slayer dengan pedangnya, namun petualang itu melompat ke belakang, jauh dari jangkauan pedang paladin.
Goblin Slayer terus menatap mata musuhnya, yang napasnya mengepul, bahkan ketika dia berusaha menjaga langkah kakinya di atas salju yang licin dan mengatur genggamannya pada hulu pedang dengan tangannya yang basah.
“GRARAB!!”
“Hrk?!”
Terdengar suara thunk yang teredam, dan sebuah panah memantul dari kepala Goblin Slayer. Adalah panah dari salah satu goblin archer—pasukan mereka semakin mendekat.
Inilah mengapa helm sangatlah penting.
Goblin Slayer menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan gema dari hantaman itu, kemudian menilai keadaan yang ada saat ini.
“Mana harga dirimu?!” High Elf Archer meneriakkan, melepaskan tembakkan batu lainnya. Batu itu terbang melewati di atas kepala sang archer, menyerang goblin yang berada di belakangnya. Sang elf menjentikan lidahnya dan menembakkan batu latinnya, kali ini mengenai pundak sasarannya, mematahkan tulang.
“GRAORURURU…!”
Akan tetapi High Elf Archer sedang tidak dalam kondisi yang membuatnya dapat menahan keseluruhan gerombolan goblin. Pasukan goblin sedang menonton pertarungan sang goblin paladin, namun itu hanya karena bagi mereka merupakan sebuah tontonan yang menarik.
Itu bukan berarti efek Lunacy telah berakhir. Mereka hanya sedang menunggu, ingin mengetahui apakan sang petualang berhasil menang atau terbunuh, apapun hasil yang keluar tidak akan merubah apapun. Goblin tentunya tidak mempunyai sikap yang kita sebut sebagai “Main adil.” Logika mereka hanya berdasarkan dengan keadaan yang berubah di depan mereka. Apakah kemenangan atau kekalahan yang menanti penantang ini, mereka akan menyerang pria itu ketika hasil dari pertarungan telah di tentukan.
Goblin Slayer tidak mempunyai waktu untuk di sia-siakan.
“Kalau begitu,” Goblin Slayer bergumam. Dia memutar pedangnya di tangan, mengambil kuda-kuda rendah, dan mengangkat perisainya. Sang paladin mengenal postur ini; sang paladin menyengir. Tidak di ragukan bahwa dia mengingat pertarungan mereka sebelumnya. Perisai Goblin Slayer menghadap sang paladin.
“ORAGARARARARA!!”
Sang paladin meneriakkan seruan perang dan menerjang Goblin Slayer. Pedang aluminiumnya siap menerkam. Pedang itu akan menembus pertahanan kecil sang petualang dengan mudah.
Saksikanlah! Ya, lihatlah ujung dari pedang itu tertanam pada perisai Goblin Slayer. Lihatlah betapa mudahnya pedang ini menembus lapisan armor kulit, kayu, dan kain!
Pedang itu menembus perisai, mengoyak lengan, menembus pelindung tangan, menusuk daging. Darang mengalir pada ujung mata pedang, menetes di atas salju dan mengubahnya menjadi merah muda.
Serangan pedang aluminium begitu telak,  bahkan hingga mengoyak pundak Goblin Slayer.
Sang goblin paladin mendengar erangan halus akan seseorang yang berusaha menahan rasa sakit. Sang paladin tersenyum, berpikir bahwa dirinya telah menang.
“Kena kamu.”
Namun pada kenyataannya. Ini merupakan akhir bagi sang paladin.
Pedang aluminium itu tidak bisa menembus lebih jauh. Sang paladin mengerahkan tenaganya, namun dia tidak dapat menggerakannya.
Adalah hulu pedang. Hulu pedangnya cukup berat untuk dapat berfungsi sebagai palu perang, dan telah tersangkut pada perisai Goblin Slayer.
“Hr—grr!”
“ORAGA?!”
Dan dalam kontes tenaga fisik sederhana, tidak satupun goblin yang dapat menandingi manusia. Goblin Slayer menarik perisai yang telah tertembus pedang ke belakang, menarik lengan sang goblin bersamanya.
Akan lebih tepat untuk di katakan bahwa pria ini membiarkan perisainya untuk di tembus. Jika tidak—jika tidak, mengapa dia dengan sengaja menunjukkan gerakan membunuh terbaiknya kepada goblin paladin? Mengapa dia terus mencoba menangkis dan menyerang dengan perisainya walaupun setelah pedangnya patah?
“Goblin memang bodoh tapi mereka nggak tolol.”
Untuk pertama kalinya, goblin paladin dapat melihat wajah musuhnya. Jauh di dalam kegelapan helm baja itu, dia melihat sebuah mata yang membara merah.
“Tapi kamu memang tolol.”
“AGARARARARA!!”
Goblin Slayer memutar pedang taringnya, mengoyak paksa tenggorokan paladin.
Terdapat cipratan darah menjijikkan paladin, menodai dunia putih ini. Goblin Slayer, yang memutar tubuhnya untuk melindungi dirinya dari pedang aluminium, penuh berlumuran dengan darah.
“GORA, U…?!”
“GROB! GROB?!”
Dia menatap pada para goblin, yang berdiri tak bergerak dengan rasa takut di dalam lembah ini.
Tidak ada lagi kesempatan yang lebih baik dari ini. Inilah waktu yang telah dia tunggu dan harapkan.
“Tembak!” dia berteriak.
Tonitrus…oriens...,” Noble Fencer merespin. Dan kemudian: “…iacta!
Halilintar menyambar.
Pegunungan bergetar.
Udara menguap seraya listrik melintasinya, namun halilintar itu tidak mengenai para goblin. Semua orang dan monster mengarahkan pandangannya mengikuti kilatan itu yang semakin naik dan naik.
Halilintar itu menyambar puncak pegunungan.
Terdengar suara gemuruh dan gempa hebat.
Yang hanya mengartikan satu hal.
“He-hei, bukannya itu sedikit bahaya?” Dwarf Shaman berkata dengan mengernyit.
“Aku punya firasat jelek tentang ini,” High Elf Archer menambahkan, telinga panjangnya berkedut gelisah.
Mereka tentunya memahami: bahwa ini akan memusnahkan semua goblin.
“Mm,” Lizard Priest mengangguk mengerti, “Tampaknya akan terjadi.”
Suara kasar layaknya sebuah genderang perang, atau suara tapak kaki kuda musuh yang mendekat mendatangi mereka. Dan benar, kematian berselimutkan putih, menuruni pegunungan menuju lembah.
Adalah longsor.
“…!”
Teriakan tak bersuara, dan jeritan, yang berasal dari High Elf Archer atau Noble Fencer. Yang berteriak “Oh, yang benar saja!”  kemungkinan adalah High Elf Archer.
“GARAOROB?!”
“ORARAGURA?!”
Melontarkan lolongan yang tidak dapat di mengerti, para goblin terlelan oleh salju yang meluncur. Tidak ada yang dapat mereka lakukan, tidak ada kesempatan untuk berlari; mereka bahkan tidak meninggalkan jejak kaki.
Di tengah-tengah kekacauan ini, satu orang melompat ke depan, bertindak lebih cepat di banding yang lain: adalah Priestess.
Sekarang. Kata itu terngiang di pikirannya layaknya sebuah wahyu.
Tidak ada kebimbangan, tidak ada keengganan. Priestess menggenggam tongkatnya dan menawarkan doa pengikis jiwa kepada para dewa.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”
Tsunami putih menghantam sebuah dinding tak kasat mata, terbelah rapi di kedua sisi.
Dari dalam perlindungan ajaib yang di berikan oleh Ibunda Bumi, Priestess melihat kepada pria itu.
Pria itu berada begitu jauh di depan. Seorang pria, sendirian, di antara pasukan goblin, di luar jangkauan perlindungan keajaiban Ibunda Bumi.
Priestess ingin meneriakkan suaranya, mengangkat tangannya, walaupun Priestess mengetahui bahwa suaranya tidak akan mencapai pria itu…
“Pak Goblin Slayer!”
Kemudian segalanya di telan oleh putih; menghilang dari pandangan.
*****
“…Apa—apa dia—?!”
Dia adalah yang pertama kali bangun ketika semuanya telah berakhir: Noble Fencer.
Sekarang Protection telah memudar, Noble Fencer membersihkan salju seraya dia bangun.
Segalanya putih. Salju telah melenyapkan semua tanda sisa-sai pertarungan dan pembunuhan yang telah di bawa dia dan yang lain. Tidak sedikitpun goblin yang tersisa; mereka telah mengilang secara keseluruhan, seolah semua itu hanyalah sebuah mimpi.
“…Di mana dia? Di mana Goblin Slayer…?”
Noble Fencer melihat sekililinya, melihat ke belakangnya. Tidak ada tanda kehadiran sosok armor aneh itu. Sebagai gantinya dia melihat Priestess, mengangkat tongkatnya, napasnya terengah-engah. Priestess melihat rekannya.
Priestess menyentuh Jari hingga bibirnya yang beku dan melihat ke depan pada hasil dari salju longsor. “Aku rasa dia pasti terkubur di bawah karena terbawa salju.”
Lengan dan kaki goblin dapat telihat mencuat keluar dari salju layaknya sebuah batang pohon yang mati.
“kemungkinan,” High Elf Archer berkata dengan anggukkan. Telinganya sedikit berkedut, sekali, dua kali. “Saljunya masih longsor di kejauhan. Lebih baik kita jangan berbicara terlalu nyaring.”
“Jika begitu, menurut saya akan lebih baik bagi kita untuk berjalan menemuinya.” Lizard Priest berkata, membersihkan bubuk putih dari tubuhnya dengan menggoyangkan tubuhnya. Dia memeriksa partynya, bersama dengan mantan tahanan dan Dragontooh Warrior yang memegang mereka, tampaknya tidak terluka, kemudian dia membuat gerakan aneh pada telapak tangannya.
Puji syukur kepada leluhurku. Terlebih ketika sang lizrd pernah mendengar bahwa dingin besarlah yang telah membuat mereka punah. (TL Note : Dingin besar = jaman es.)
“Di karenakan longsoran ini tidak begitu besar, saya rasa beliau tidak akan terseret begitu jauh,” Lizard Priest berkata.
“……..Kamu tidak…khawatir tentangnya?” Noble Fencer bertanya.
“Tentu saja kami khawatir,” Dwarf Shaman menjawab dengan mudah. “Dia teman kami.”
Dia membelai jenggotnya, mengeluarkan botol anggur dari tasnya, dan meneguknya. Api dan roh adalah cara untuk menghangatkan tubuh. Kemudian dia mengedipkan matanya.
“Tapi… Yah, kamu harusnya sudah mengerti kan sekarang?”
“Dia itu Goblin Slayer,” Priestess berkata, sebuah senyum pasrah tersirat pada wajahnya.
Bahkan dengan testimony ini, Noble Fencer masih tidak dapat menerimanya.
Langkah demi langkah yang tidak stabil, party mereka menuruni gunung seraya mencari. Keadaan telah sunyi sekarang, berbanding terbalik ketika mereka melakukan pertarungan mundur sebelumnya, namun jalan mereka sekarang cukup untuk membuat seseorang pingsan. Dengan setiap langkah yang dia ambil, Noble Fencer merasakan beban berat di benaknya.
Kalau aku tidak bilang kalau aku mau pedangku kembali…mungkin dia tidak akan perlu melakukan semua itu.
Ini salahku.
Salahku.
Semuanya… Semuanya salahku.
“…ngh…”
Sekarang semuanya telah berakhir—atau lebih tepatnya, sekarang  terlibat keadaan ini dengan begitu tiba-tiba—Noble Fencer mulai menyadari setiap kesalahan yang sudah dia lakukan. Strategi arogannya. Kematian teman-temannya. Penyerangan di desa. Keterlambatan penyelamatan tahanan. Dan Goblin Slayer.
Dia seharusnya dapat melakukan jauh lebih baik dari ini. Walaupun Cuma sedikit. Semuanya tidak akan berakhir gagal seperti ini.
Kembali lagi pada permulaan: jika saja Noble Fencer tidak menjadi petualang sama sekali…
Matanya, menatap salju di bawah, mulai menjadi buram; semakin lama semakin sulit untuk melihat.
Akan tetapi, dia dapat mendengar sesuatu yang bergerak.
“Oh…!” Dia tidak bermaksud untuk membuat suara; dia menutup mulut dengan tangannya.
Sesuatu merangkak di atas salju. Sesuatu itu pastilah menyadari mereka yang mendatanginya, karena sesuatu itu merespon dengan tiba-tiba—dengan membersihkan salju dan berdiri dengan kedua kakinya. Adalah seorang pria.
“Aku membuat kesalahan.” Dia berkata.
Dia menggunakan armor kulit yang kotor. Sebuah helm baja yang terlihat murahan. Dia tidak mempunyai pedang pada pinggulnya, dan perusal pada lengannya telah hancur.
“Aku harusnya lebih mengkhawatirkan soal benturannya di banding sesak napas.”
Kesalah ataupun tidak, Goblin Slayer tampak sangat tenang.
“…G-Goblin….Slayer…?” Tidak ada yang bisa menyalahkan akan suara tidak mempercayai Noble Fencer.
“Ya. Ada apa?”
“Apa itu saja yang kamu mau bilang?” High Elf Archer berkata dengan lelah.
“Hmm… Jadi kamu selamat.”
Aku yang harusnya bilang begitu… Aku akui, aku pikir memang aneh sekali kamu membawa sebuah cincin untuk bernapas.” Sang memijat alisnya seolah sedang bertarung dengan sakit kepala. Namun telinganya mengepak senang.
Tiba-tiba semua menjadi masuk akal bagi Noble Fencer. Dia melihat ke tangannya. Sebuah cincin sihir, muncul di antara celah perbannya. Efeknya telah lama menghilang,
Cincin Breath. (TL Note : Breath = Napas/bernapas.)
Salju hanyalah air, jadi… Jadi…
“…Apa kamu mengetahui semua ini akan terjadi dari awal?”
“Kurang lebih.”
“Pak Goblin Slayer,” Priestess berkata, “Aku sudah terbiasa sikap dan tindakanmu, tapi…” Dia bergumam, “Paling tidak kamu bisa memberitahu kami,” Dan melihat menegur kepadanya. “Aku tahu kamu bilang kamu nggak akan melakukan sesuatu yang gila, tapi aku masih cukup kaget.”
“Jangan bodoh,” Goblin Slayer kembali merangkak, menggali salju seraya dia berbicara. “Musuh kita adalah goblin yang pintar. Bagaimana kalau seseorang tidak sengaja membocorkan rahasia, dan merusak semua rencana?”
“Siapa yang peduli dengan prasangka? Kita semua khawatir soal kamu!”
“Hrk…”
“Apa kamu akan memberi tahu kami apa yang akan kamu lakukan, mulai dari quest berikutnya?”
“Setelah jeda, Goblin Slayer berkata, “Aku mengerti.” Adalah keseluruhan jawabannya. Suara itu menandakan sebuah ekspresi muram dari balik helmnya.
Tiba-tiba, Lizard Priest mengeluarkan desisan senang, sebuah senyum melebar pada rahangnya. “Tuanku Goblin Slayer, tampaknya strategi terkenal anda tidak bekerja pada cleric tersayang kita.”
“Benar sekali Scaly! Bahkan naga kamu nggak semenyeramkan seperti omelan wanita!”
“Ha-ha-ha-ha! Benar sekali! Benar sekali. Anda tidak salah sama sekali master pembaca mantra.”
Sang dwarf dan sang lizard tertawa bersama. Mereka lelah, namun wajah mereka ceria.
High Elf Archer hanya menggeleng kepalanya, mengalihkan pandangannya dari mereka dan menuju kejauhan. Noble Fencer mengikuti pandangannya untuk melihat sebuah langit biru bersih dan matahari yang begitu terang yang membuatnya sulit untuk di lihat.
“Banyak hal yang mau aku katakan padanya,” High Elf Archer berkata, sebuah senyum menyentuh bibirnya. “Tapi seperti inilah petualangan yang seharusnya.”
Petualangan.
Kata itu terngiang pada Noble Fencer.
Pergi berpetualang—menyelinap masuk ke dalam sarang monster—berjalan melewati sebuah labirin…
Teman-temannya yang ikut dalam petualangan pertamanya telah tiada, dan dia baru bertemu dengan teman-temannya yang sedang berada bersamanya sekarang.
Jadi begitu… Jadi ini petualangan…
“Hei.”
“…!?”
 Terkejut, Noble Fencer berputar untuk melihat sumber suara yang tidak di duganya.
“Aku menemukannya.” Goblin Slayer berdiri kembali, memegang sesuatu yang dia keluarkan dari dalam salju.
Sarung pedang itu berkelip dengan terangnya dalam cahaya matahari.
Dengan gerakan yang acuh, dia menarik pedang aluminium itu dari perisainya, tempat di mana pedang itu tertancap. Dia membersihkan darah dari pedang itu—darahnya sendiri—kemudian mengelapnya perlahan dengan sebuah kain.
Akhirnya, dia memasukkannya ke dalam sarung pedang yang telah di temukannya dengan sebuah klik.
“Aku berhasil memegang pedangnya, tapi sarung pedangnya terbawa dengan goblin paladin, yang tergantung pada pinggulnya.”
“…..Oh…oh……”
“Aku rasa salju longsor itu sebuah kesalahan.”
“…Oh…”
Noble Fencer menerima pedang itu dengan kedua tangannya; dia dapat merasakan berat pedang itu. Pandangannya semakin buram; dia berkedip beberapa kali untuk membersihkannya. Kemudian dia menggosok matanya berulang-ulang. Namun tidak peduli berapa kali dia melakukannya, dia tidak dapat menghentikan dirinya sendiri. Dia mengelap hidungnya, namun itu tidak membantu juga.
Tetesan air mulai menjatuhi pedang, memantul.
Goblin Slayer memperhatikan Noble Fencer dengan serius seraya Noble Fencer terisak. Dengan datar, hampir mekanikal, Goblin Slayer berkata. “Kamu sering sekali menangis.”
Noble Fencer mendekap pedangnya dan menangis sekuatnya.