HUTAN JIWA-JIWA YANG MEMBUSUK (2)
(Translater : Hikari; Editor : Orion)
Sore, empat hari setelah memasuki hutan.
Sambil bersiap-siap untuk berkemah, aku menatap ke arah langit. Ditutupi oleh kabut
seperti racun, matahari terbenam tidak dapat terlihat tapi sedikit cahayanya
menembusnya.lust
Aku mengharapkan kami dapat keluar dari
kabut ini besok, tapi ada kemungkinan besar zombie atau hantu akan muncul. Aku
penasaran apa ini hanya imajinasiku saja kalau makhluk-makhluk itu muncul hanya
demi menghambat perjalanan kami.
Ada banyak ketidakpastian seperti
kesehatan Feirona dan kerangka raksasa yang belum terlihat. Aku mungkin sedikit
tidak sabaran untuk keluar dari tempat ini secepat mungkin tapi akan jadi
tindakan bunuh diri untuk berpergian dengan berkuda di malam hari. Bahkan
dengan seorang elf yang memandu kami, kami tetap akan disergap.
Dan sekalipun aku tidak buru-buru, kami
pasti akan keluar dari kabut ini esok hari. Aku masih bisa bertahan beberapa
hari lagi. Yah, biasanya di saat-saat semacam itu, sesuatu yang tidak terduga
biasanya terjadi. Berdasarkan pengalamanku di dunia ini, besok pasti akan jadi
hari yang berat bagi kami.
Sambil berpikir demikian, aku sekali
lagi menghela napas karena fakta bahwa medali di dalam sakuku masih terdiam.
[… … …]
"Apa kau masih marah?"
[Aku tidak marah. Aku hanya sedang
memikirkan sesuatu.]
"Oh?"
Terhadap kebohongan putih itu, untuk sesaat
aku merasa ragu bagaimana menjawabnya, tapi kemudian aku memutuskan untuk
membiarkannya saja.
Meskipun dia tidak menerimanya, dia
sudah jelas marah karena aku tidak menggunakannya sebagai senjata. Dia
terkadang bisa bertingkah imut. Saat aku tersenyum tipis, Ermenhilde menghela
napas kecewa.
Memutuskan untuk mengabaikan hal itu,
aku memfokuskan diri untuk mengumpulkan dahan-dahan kering untuk api unggun.
"Mururu, sudah berapa banyak yang
kau kumpulkan?"
"Hanya sedikit."
Saat aku melihat ke arahnya yang sedang
melakukan hal yang sama denganku, dia hanya mengumpulkan dahan-dahan yang cukup
banyak untuk dipegang dengan satu tangan.
Mungkin karena kabutnya yang tebal, mau
tidak mau kebanyakan dahan-dahan kering di sini lembap. Kami masih sedikit
kekurangan dahan. Bahkan setelah ditambahkan dahan yang telah kukumpulkan, kami
masih perlu sedikit lagi. Dia sepertinya paham hal itu juga jadi dia kembali
untuk mencari dahan-dahan kering setelah menjawabku. Dia mungkin tidak
menjawabnya terang-terangan, tapi dia pasti juga merasa kelelahan. Di hutan
yang membusuk seperti ini, bahkan indera beast woman sepertinya akan kebingungan,
dan pastinya membuat dia merasa kesal. Meskipun begitu, manusia sepertiku tidak
akan memahaminya.
"Aku akan mengumpulkan sisanya,
jadi kau bisa pergi beristirahat kalau kau mau."
"Tidak apa-apa. Ini adalah
tugasku."
"Aku mengerti."
Satu hal yang kumengerti selama perjalanan
ini adalah gadis ini memiliki rasa tanggung jawab dan disiplin yang kuat. Hal itu
sudah jelas dari fakta bahwa dia menerima permintaan dewa-dewa roh sendirian
dan datang ke kota ini seorang diri.
Tapi karena sifat linglungnya atau lebih
tepatnya sikapnya yang cukup gegabah, aku jadi mendapatkan kesan bahwa dia
adalah seorang gadis yang agak bodoh.
Dia adalah tipe orang yang akan
menyelesaikan apa yang telah dia mulai. Bahkan sekarang, dia bekerja keras
meskipun dia lelah. Hal itu sangatlah mengagumkan untuk seorang anak-anak, aku
benar-benar berpikiran begitu. Yah, walau demikian itu cukup normal untuk
seorang petualang.
Tapi tepat karena itulah dia
memperlakukan 'kualitas normal'nya sebagai hal yang biasa saja, itulah hal yang
bernilai.
"Aku penasaran apa yang Nona
Francesca buat untuk makan malam?" {Renji)
"… …Selama aku bisa memakannya,
apapun boleh."
"Haha——, itu benar."
Meskipun kedengarannya tidak sopan, aku akhirnya
setuju dengannya.
Selama perjalan kami sebelumnya, akulah
yang bertugas untuk melakukannya. Itu karena kupikir Nona Francesca, sebagai
seorang bangsawan, tidak tahu bagaimana caranya memasak.
Itu mungkin penilaianku secara sepihak
tapi itu benar. Makanan kemarin disiapkan olehnya bersama Aya, tapi… …. Yah,
kau bisa menebak hasilnya.
Itu adalah sebuah hidangan yang
memerlukan keberanian yang sejati untuk memakannya.
Aya sepertinya telah banyak berlatih
selama setahun ini. Membuat makanan biasa, dia datang padaku dengan tatapan keberhasilan,
membuatku tidak bisa memutuskan bagaimana mencegahnya. Hal itu berbeda sekali
dari setahun yang lalu. Meskipun aku dimarahi saat aku memujinya untuk beberapa
alasan. Seperti yang kuduga, mungkin karena aku menceritakan pada yang lain
betapa buruknya dia dalam hal memasak dulu.
"Yah, itu menyenangkan dalam artian
lain." (Renji)
"Kejahatan terhadap bahan-bahan
makanan adalah hal yang tidak termaafkan."
[… … Kau sampai sejauh itu, eh?]
Serius, aku tersenyum simpul dalam
pikiranku.
Kelihatannya gadis ini tidak hanya
tukang makan, dia benar-benar memiliki perasaan mendalam terhadap makanan.
Itu tidak terlalu buruk—— tapi juga
bukan hal yang dapat dipuji. Melihat alasan untuk komentar semacam itu muncul
dari rekan kami sendiri, aku tidak bisa memutuskan bagaimana cara
menanggapinya.
Aku kalah tidak peduli pihak mana yang
kupilih. Yah, kurasa aku hanya bisa berharap kemampuan masak Nona Francesca
cepat berkembang seiring berjalannya waktu. Karena dia suka belajar, kurasa dia
akan segera membaik dalam hal memasak.
Lagipula, kebanyakan makanan kami selama
perjalanan ini hanya melibatkan daging kering dan biskuit. Aku ragu akan mudah
untuk memasak hal yang berbeda dengan bahan-bahan itu. Meskipun begitu aku,
Feirona atau Mururu bisa mendapatkan daging dengan menangkap hewan liar.
Rasanya enak hanya dengan memanggangnya. Akan sangat bagus kalau kami bisa
memasak semur menggunakan daging itu dan rumput liar.
Aku mulai merasa semakin lapar hanya
dengan membayangkannya saja. Saat aku mengelus perutku, suara gemuruh kecil pun
muncul.
"Renji, bisakah kau…"
"Hmm?"
Tidak lama setelah mengumpulkan
dahan-dahan dalam keheningan, Mururu secara tidak terduga berbicara.
Saat aku melihat ke arahnya untuk
menjawab, dia telah mengumpulkan banyak dahan di kedua tangannya. Entah itu dia
ataupun Feirona, aku sama sekali bukan tandingan mereka dalam mempersiapkan
kemah.
"Ada apa?" (Renji)
"Kau bisa masak?"
Aku menatapinya dengan wajah datar
karena pertanyaan mendadak itu. Yah, kurasa ini tidak mendadak mengingat kami
sedang membicarakan makanan.
"Aku cukup normal, kurasa. Aku bisa
membuat yang layak dimakan setidaknya."
Yah, kurasa aku tidak parah dalam hal
itu… …. Aku telah membuat banyak makanan dan tidak pernah mendapatkan keluhan
dari Souichi atau yang lainnya.
"Benarkah?"
"Para pria biasanya selevel itu.
Meskipun Feirona… … Sepertinya dia hebat dalam hal itu."
[Itu benar. Elf itu memang kelihatan
hebat.]
Berdasarkan auranya, dia memberikan
kesan bahwa dia benar-benar bisa melakukan apapun. Apa hanya karena dia tampan?
Bagaimanapun, adegan di mana pria itu
memasak rasanya dapat menjadi sebuah lukisan atau sesuatu. Kalau begitu,
bukankan Nona Francesca si cantik yang tak ada harapan?
… … Mungkin ini kedengarannya aneh
mengingat akulah yang memikirkan semua ini, tapi itu benar-benar penilaian yang
keras. Aku sudah jelas tidak bisa mengatakan hal itu di depan Nona Francesca.
Sejak awal, dia adalah seorang gadis bangsawan yang tidak pernah memasak seumur
hidupnya sebelumnya. Kurasa adalah hal yang luar biasa bahwa dia masih bisa
menghasilkan sesuatu yang ternyata dapat dimakan. Masa depannya adalah sesuatu
yang patut untuk dinantikan, yup.
"Bagaimana denganmu? Apa kau pernah
memasak sebelumnya?" (Renji)
"Apakah memanggang daging masuk
hitungan?"
Apa-apaan itu. Ini pertama kalinya aku
mendengar seseorang berkata begitu… …yah, tidak juga.
Di masa lalu, Aya dan Utano-san juga
sama, aku mengingatnya. Benar-benar sebuah kesalahpahaman bahwa semua perempuan
bisa memasak. Itu adalah fantasi terbesar di sini. Yah, masuk akal memang. Kau
tidak bisa mengharapkan seseorang yang tidak pernah memasak sebelumnya untuk
tiba-tiba membuat sesuatu yang enak.
"Kali berikutnya, mungkin sebaiknya
kau belajar sesuatu dari Aya atau Feirona?"
"Aku lebih suka makan saja."
Balasan langsung. Tidak dapat membalas
balik, aku hanya bisa mengalihkan pandanganku dan terus mengumpulkan
dahan-dahan.
Benar-benar ciri khas Mururu untuk
mengatakan sesuatu seperti itu. Aku sangat cemas dengan masa depan gadis ini.
"Ngomong-ngomong, Mururu."
"Apa?"
"Apa yang kau rencanakan begitu
menyelesaikan permintaanmu di ibu kota?"
"Kembali ke hutanku… …kurasa."
"Aku mengerti."
"Aku tidak yakin. Aku ingin mencoba
makanan lain——"
Begitu dia berkata sejauh itu, dia
melemparkan semua dahan-dahan di tangannya ke tanah dan segera merapat padaku.
Jubah putihnya menjadi kotor tapi dia
tidak terlihat peduli akan hal itu dan menatap tajam ke arah tempat dia berdiri
sebelumnya. Terhadap keberadaan yang aneh itu, aku juga melemparkan
dahan-dahanku dan mengeluarkan pisau besiku.
"Ada apa?"
"Ada sesuatu di situ‼"
Berikutnya dalam sekejap, Mururu menebas
ke udara kosong dengan cakarnya. Dengan suara berdenting yang berat,
bunga-bunga api bertebaran ke segala arah.
[Musuh!?!]
"Aku tidak tahu‼"
Berdasarkan dari suara samar dari
sayatan angin, aku juga melompat ke belakang. Saat aku melakukannya, tempatku
berdiri sebelumnya meledak.
"Sihir!?"
Kepulan awan debu naik, senjata
penyerang yang tak kasat mata itu menjadi sedikit terlihat. Dia bisa
menyembunyikan dirinya dengan sihir tapi tidak dengan keberadaan dan suaranya.
Sambil bersikap waspada terhadap suara sayatan angin lainnya, aku memperhatikan
tempat di mana kabut beracun sedikit bergetar. Mungkin di situlah tubuh sebenarnya
dari musuh berada. Jelas sangat jauh. Dia bisa saja menggunakan sesuatu seperti
tentakel untuk menyerang. Ini adalah sebuah serangan yang di luar jangkauan
kami. Dia cerdas… … Aku bisa menyimpulkan bahwa dia tidak berada di level yang
sama dengan hantu atau zombie. Dan kalau dia bisa menggunakan sihir, dia sudah
pasti monster yang sangat merepotkan. Tapi apa benar ada monser sehebat ini di
hutan ini? Sebelum aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri, sekali lagi suara
sayatan angin datang. Keringat dingn mengalir membasahi punggungku.
Lokasi musuh tidaklah jelas, begitu pula
dengan sasarannya. Merasa panik terhadap sesuatu yang tidak bisa kulihat, aku
jadi sedikit terlambat menentukan apakah aku sebaiknya menahan atau menghindar.
"Ugh!?"
[Renji, mundur sekarang!]
Aku berhasil menerima serangan itu
dengan pisau besiku tapi tangan kananku menjadi mati rasa dan aku
menjatuhkannya.
Aku entah bagaimana dapat menahan diriku
sendiri untuk tidak berteriak yang mana hampir kulakukan karena serangan yang
luar biasa berat itu. Tidak dapat menolak saran Ermenhilde, aku melakukan
seperti yang dia katakan dan mengambil jarak dan berlindung di balik sebatang
pohon besar. Di sisi lain, Mururu menebas serangan musuh tak terlihat itu tanpa
memberikan kesempatan sedikit pun.
Pasti karena insting liarnya, atau
mungkin dia mendeteksi serangan dari guncangan racun yang tidak disukainya.
Bagaimanapun, kemampuannya luar biasa.
"Aya! Feirona!"
Tanpa rasa malu sedikit pun, aku
memanggil kawan-kawanku dengan suara lantang.
Aku menggigit bibirku. Mungkinkah
monster ini menunggu kami terpisah? Untuk monster dengan kecerdasan tinggi itu
sampai bergerak, dia pasti percaya diri bahwa dia bisa setidaknya menghadapiku
dan Mururu.
Insting semacam itu mendatangi monster
atau beast men dengan lebih mudah daripada manusia seperti kami. Hal itu cukup
mengesalkan. Aku hampir memanggil Mururu namun ragu-ragu. Sampai yang lain
datang, aku tidak punya pilihan lain selain membiarkan dia menghadapi monster
ini dengan seluruh kekuatannya. Aku tidak ingin memecahkan konsentrasinya jika
tidak diperlukan.
"Ermenhilde."
[Aku tahu]
Dengan kata-kata itu, sebilah pedang
panjang perak muncul di tanganku.
Di antara tujuh permata hijau zamrud
yang tertanam di gagangnya, dua permata bersinar. Aku tidak tahu dua syarat
mana yang telah terpenuhi tapi dua saja tidak akan menciptakan senjata yang
kuat. Aku mendecakkan lidah dengan kesal tapi itu tidak akan mengubah keadaan.
Senjata untuk melindungiku berubah dari pisau besi menjadi pedang panjang, itu
saja. Aku sekali lagi memastikan kabut yang bergoyang. Dari apa yang terlihat sebagai
asal dari goyangan itu, sesuatu mirip tentakel, menyabetkan sesuatu untuk
menyerang Mururu. Pergerakkannya luar biasa cepat. Mustahil bagiku untuk
mengikutinya hanya dengan dua perjanjian yang terlepas. Aku hanya bisa
memastikan bahwa kabutnya bergoyang.
Kalau seperti ini, dia akan berada dalam
bahaya. Tidak peduli seberapa kuat dirinya, aku tidak tahu berapa lama lagi dia
bisa bertarung melawan musuh tak kasat mata itu. Dia lebih cocok untuk serangan
cepat. Berdiri diam di satu tempat dan menghadapi musuh bukanlah cara dia
bertarung. Dia mungkin tidak bergerak karena dia bisa kehilangan pergerakan
musuh. Kalau kau tidak bisa melihat musuh, lebih baik berdiri di tempat dan
fokus pada pertahanan, dia pasti berpikir demikian.
Haruskah aku menunggu yang lainnya
datang atau haruskah aku bertindak? Membuka tutup tangan kiriku, aku mencoba
menghilangkan rasa nyerinya.
"Kita akan menyerbunya."
[Baik.]
Berkata demikian, aku melompat keluar
dari balik perlindungan pohon besar itu dan bergegas menuju apa yang kupikir
sebagai asal-muasal ayunan tersebut dalam jarak terpendek. Karena pergerakkanku
yang datang tepat saat serangannya ditangkis Mururu, pergerakkan musuh berhenti
untuk sekejap. Dia pasti merasa ragu menentukan mana yang harus diserang lebih
dulu dari antara kami berdua.
Tapi keraguan itu hanya bertahan untuk
sesaat. Sasarannya adalah aku. Memastikan goyangan kabut, aku memprediksi tempat
dan waktu dari mana serangan itu akan datang. Pedang perak di tanganku berderak
karena dampak serangan, dan tubuhku merasa nyeri sepenuhnya untuk sesaat.
Sebenarnya seberapa kuat monster ini. Aku menjerit dalam benakku.
Tapi sekejap kemudian, kali ini Mururu
menyerbu ke arahnya. Tidak sepertiku, dia mendekat dengan kecepatan tinggi dan
menebas dengan cakar tajamnya yang indah. Suara dari sesuatu yang keras sedang
pecah bergema ke seluruh hutan. Tapi——tidak ada darah.
Memastikan hal tersebut, kami berdua
menjauhkan diri dari monster itu. Area itu bergoyang dan memuntir dan garis
tubuh monster itu menjadi semakin dan semakin terlihat. Dia seakan terlihat
karena serangan Mururu.
Hal pertama yang kulihat adalah warna
putihnya. Bukan warna putih semurni dan seindah Mururu, lebih terlihat kusam
dan kotor—— itu adalah tulang belulang. Ukurannya sama besar dengan gajah
dewasa. Di dalam keempat kakinya, mirip dengan laba-laba tapi dengan tubuh
panjang dan ramping mirip kalajengking. Kepalanya seperti Orc dengan satu
tanduk. Dan di atas semuanya itu, hal yang paling kentara adalah kecepatan saat
makhluk itu bergerak; begitu cepat sampai meninggalkan kelebatan bayangan——
"Mu——"
Tubuhku bergerak lebih cepat
dibandingkan peringatanku.
Aku menahan serangan tersebut, yang
bahkan hamper tidak bisa kuikuti, murni karena insting. Pedang yang kupegang
terlontar menjauh dan tubuhku terpental tidak dapat menahan serangan.
Detik berikutnya, tubuhku menghantam
tanah dan aku terguling dan kemudian menubruk batang pohon sebagai dampak
serangan terakhir. Semua udara tersentak keluar dari tubuhku dan penglihatanku
menjadi kabur karena kekurangan oksigen. Tubuhku lunglai ke tanah tak bertenaga
tapi itu hanya berlangsung untuk sekejap. Memaksakan tubuhku untuk bergerak
lagi, aku berdiri sambil bertumpu pada pohon yang kuhantam barusan. Mungkin
lebih mudah kalau tertidur saja saat ini, tapi aku tahu kalau aku melakukannya,
aku tidak akan pernah terbangun lagi.
[Renji! Renji!]
"Aku bisa mendengarmu. Jangan
berteriak di telingaku… …"
Saat berikutnya, sebuah perasaan yang
akrab memasuki tanganku. Menggenggamnya dengan kedua tangan, aku mengambil
kuda-kuda Seigan yang sering terlihat dalam kendo.
Tubuhku menjadi kaku saat mendengar
suara kakinya bergerak. Kali berikutnya, aku akan memotong ekor sialan itu
dengan serangan balasan. Meski demikian, itu adalah hal yang sulit tapi aku tetap
memegang pedang dengan penuh percaya diri.
Tapi, tidak ada serangan yang
mendatangiku lagi. Hanya suara napasku yang terengah - engah bergema di
telinga.
Berapa lama lagi aku bisa berdiri
seperti ini. Akhirnya, sesuatu menyentuh ujung pedangku. Sesaat kemudian, aku
mengayunkan pedangku ke atas kepala dan——
"Sudah tidak apa-apa
sekarang."
Mendengar suara itu, keteganganku
mengendur. Itu adalah suara yang sudah biasa kudengar.
"——Mururu?"
"Un."
"Haaaah… …"
Suara tenang itu sudah jelas miliknya,
dan itu membuktikan bahwa pertempuran telah usai. Menyadari apa yang telah
menyentuh ujung pedang barusan adalah ujung jarinya, semua ketegangan
meninggalkan tubuhku.
Dan begitu saja, aku terjatuh ke tanah
dan menarik napas dalam-dalam.
"Apa yang terjadi dengan monster
itu?"
"Dia melarikan diri."
"… …Benarkah?"
"Un."
Padahal tadi kesempatan besar untuk
menghabisiku. Mungkin dia berencana untuk membunuhku dengan mudahnya setelah
aku melemah?
Pasti begitu. Aku mulai merasa sedikit
tertekan. Mempertimbangkan bahwa dia tahu dengan tepat kapan harus mundur, dia
pasti benar-benar terbiasa berburu. Atau kebalikan dari penampilannya, dia
sebenarnya adalah pengecut. Yang mana pun yang terjadi, itu tidak mengubah
fakta bahwa dia sangatlah sulit untuk dihadapi. Hampir tak terlihat, dan luar
biasa kuat juga. Ini benar-benar curang! Aku mengutuknya dalam hati.
Tiba-tiba aku merasakan nyeri dari
tangan kananku. Begitu dilihat, aku mendapat luka besar dan dalam dari bahu ke
siku. Berdasarkan serangan semacam itu, aku sebenarnya beruntung bahwa hanya
sejauh ini yang harus kutanggung. Dalam kasus terburuk, seluruh lenganku bisa
saja tercabik lepas.
Aku merasa lelah sekali hanya untuk
selamat melewati ini, tapi aku benar-benar harus menghentikannya sebelum
pendarahannya semakin parah.
"Kau tidak apa-apa?" (Mururu)
Sambil melihat lenganku, dia bertanya
dengan khawatir.
Merasa sedikit senang karenanya, pipiku
mengendur begitu saja. Meskipun aku terluka, syukurlah kami berdua selamat
melewati kesulitan ini. Aku merasa sedikit lebih baik berpikir begitu.
"Ya, aku akan baik-baik saja."
Tapi kami tidak bisa terus berada di
sini. Melihat bahwa yang lain tidak datang kemari setelah sekian lama, itu
berarti sesuatu pasti telah terjadi juga di sisi lain.
Saat aku berdiri dengan bantuan pohon lagi,
aku mulai berjalan ke arah yang kurasa menuju ke perkemahan berada… …dan tidak
lama kemudian berhenti lagi.
"Ke arah mana perkemahan?"
(Mururu)
"… …Maaf."
Karena pertempuran ini, aku sama sekali
kehilangan arah. Bahkan pohon yang telah kutandai sebagai penunjuk pun telah
hancur karena pertarungan. Aku bahkan tidak dapat mengetahui yang mana barat
dan yang mana timur.
Mururu sama denganku jadi dia hanya
beridiri di sebelahku.
"Oi, Feirona‼"
Aku berteriak lantang tapi tidak ada
jawaban.
Aku yakin sekarang bahwa sesuatu terjadi
di sana juga. Kami tidak pergi terlalu jauh untuk mengumpulkan dahan
bagaimanapun juga. Mereka seharusnya menyadari kalau ada pertempuran besar
terjadi.
Satu-satunya kesimpulan yang bisa
kudapatkan adalah mereka pasti telah diserang juga. Tapi aku ragu akan ada
lebih dari satu monster sekelas itu begitu dekat satu sama lain… …atau
tepatnya, aku tidak ingin berpikiran seperti itu. Ayo coba tidak membayangkan
skenario terburuk secara langsung. Kalau aku tidak melakukannya, kami akan berakhir
dengan berdiri di sini sepanjang hari.
Seiring berlalunya waktu, aku memikirkan
apa yang harus kulakukan. Akan terlalu berbahaya juga jika mulai nekat
berlarian tanpa arah untuk mencari perkemahan kami. Kami pasti akan tersesat.
Tapi, hari akan segera menjadi gelap. Maka itulah waktu bagi para hantu untuk muncul.
Sebelum itu, aku benar-benar ingin bertemu kembali dengan yang lainnya.
"Mururu, bisakah kau mencium bau
monster atau Aya berada?"
Aku bertanya begitu tapi dia
menggelengkan kepalanya. Aku merasa telinga serigalanya juga merunduk sedikit.
"Apa ada masalah?" (Renji)
"Hm?"
"Kau terlihat kurang bersemangat
dibanding biasanya."
Pada saat yang sama, aku memastikan
lukaku juga. Sayatannya cukup dalam tapi tidak sampai ke tulang. Pembuluh
darahnya juga kelihatan baik-baik saja jadi pendarahannya tidak separah yang
kukira. Sepotong kecil keberuntungan di balik kesialah, eh? Rasanya sakit
sekali sampai aku bisa menangis tapi aku tidak akan mati setidaknya.
Aku menerima bantuan dari Mururu untuk
merobek lengan baju kiriku dan menggunakannya untuk mengikat lengan kananku
erat-erat ke samping untuk menghentikan pendarahannya. Seharusnya ini bisa
menahannya sedikit. Saat rasa sakitnya berkurang, pikiranku juga menjadi lebih jelas.
"Bersemangatlah, Mururu. Kita akan
segera bertemu Nona Francesca dan yang lainnya."
"Un. Tapi, apakah mereka akan
baik-baik saja?"
"Ya, mereka akan baik-baik saja.
Mereka tidak akan membuat kesalahan sepertiku bagaimanapun juga."
Dengan kedua orang itu di situ, mereka
seharusnya dapat menghadapinya sambil melindungi Nona Francesca juga.
Aku sedikit khawatir tapi Aya ada di
situ juga. Ayo percaya bahwa mereka akan baik-baik saja. Saat ini situasi kami
adalah masalah yang lebih besar. Kami tersesat dan tidak punya item juga. Dan ada yang terluka juga.
Tidak sekedar menjadi beban, dengan luka seperti ini, normalnya kau
meninggalkanku saja. Yah, walau begitu aku ragu Mururu ternyata adalah orang
yang tega melakukan hal itu.
"Dengan tempat ini sebagai
pusatnya, ayo berkeliling sedikit. Kita seharusnya tidak terlalu jauh dari
perkemahan."
"Un. Kita harus merawat lukamu
juga."
"Itu juga termasuk, tapi aku lebih
mengkhawatirkan orang-orang itu."
Kami sama-sama petarung garis depan.
Mereka bertiga adalah petarung garis belakang. Ini bukan hanya sekedar sesuatu
yang disebut keseimbangan yang buruk. Kami benar-benar harus secepatnya bertemu
karena aku pasti akan menjadi target berikutnya. Aku telah melemah dan sama
sekali tidak ada persyaratan untuk melepaskan perjanjianku, jadi aku pun tidak bisa
bertarung dengan baik.
Sambil berpikir begitu, aku menyadari
bahwa Ermenhilde tidak mengatakan apapun untuk beberapa lama hingga kini.
"Oi, ada apa?"
[… …Maafkan aku.]
Entah kenapa, aku dimintai maaf dengan
suara yang terdengar berat,
Aku jadi memiringkan kepalaku karena
bingung. Apakah sesuatu yang aneh terjadi? pikirku, tapi tidak bisa memikirkan
kemungkinan alasan apapun. Apakah dia hanya khawatir dengan serangan dari
monster itu? Tapi itu tidak ada hubungannya dengan Ermenhilde, 'kan?
"Hm?"
[Meskipun aku terus berkata bahwa aku
ingin berguna untukmu, hasilnya malah seperti ini.]
"Tidak, ini sama sekali bukan
salahmu, kau tahu?"
Akulah yang lemah.
Kenyataannya, adalah sebuah keajaiban
bahwa kami selamat setelah menghadapi sesuatu semacam itu. Mururu maupun
Ermenhilde sama sekali tidak melakukan apapun yang bisa disalahkan.
"Jangan khawatir soal itu, partner.
Kita akan menang kali berikutnya."
[… …Ya.]
Dia masih murung. Sekarang, bagaimana
seharusnya aku menyemangati partnerku ini yang sedang murung karena hal aneh?
Sementara aku berpikir begitu, aku merasa mantelku ditarik-tarik sedikit.
Saat menoleh, Mururu sedang mendongak ke
arahku dengan mata sayu. Sial, dia benar-benar imut.
"Ada apa?" (Renji)
"Kau sedang bicara dengan
siapa?"
Ah.
"Kalau kupikir-pikir, aku belum
membuatmu mendengarkannya. Ayo, Ermenhilde. Sapalah dia."
[Apa-apaan itu——tidak, yah, terserahlah,
kurasa tidak masalah.]
Biasanya dia akan mengomeliku tapi
kurasa dia mendapat lebih banyak luka mental daripada yang kukira.
Menurut pendapatku, padahal tidak
masalah selama aku hidup. Seperti biasanya, dia itu keras kepala.
Saat melihat ke tanah, pisau besi yang
kugunakan sebelumnya muncul dalam pandanganku. Benda itu rusak sama sekali. Aku
memungut gagangnya tapi senjata itu sama sekali tidak bisa dipakai sekarang.
Aku hanya menaruh gagang itu kembali ke sarungya. Kurasa aku akan harus
bergantung pada Ermenhilde sepenuhnya mulai sekarang.
[Hm Hm, bisakah kau mendengarku,
Beastwoman?]
"!?!"
Bahu kecilnya melonjak terkejut.
Sepertinya dia bisa mendengar Ermenhilde.
[Namaku Ermenhilde. Pedang dari sang
Pahlawan dan senjata Pembantai Dewa yang dianugerahkan pada Yamada Renji oleh
Dewo Astrarea.]
"Perkenalan macam apa itu? Aku
tidak cocok sebagai seorang pahlawan."
Berapa kali harus kukatakan jangan
memberikan perkenalan seperti itu, dasar bodoh.
Aku pun menghela napas.
"Un, senang berkenalan
denganmu." (Mururu)
Tapi, reaksi Mururu biasa saja daripada
yang diduga. Dia pasti telah mendengar tentangku dari Aya atau Nona Francesca
kurasa. Dia pasti telah dijelaskan soal itu saat seorang pahlawan besar seperti
Aya mengambil misi ini.
[Mu…]
Tapi kelihatannya, kurasa Ermenhilde
lebih suka kalau Mururu sedikit lebih terkejut karena dia sepertinya tidak
menerima reaksi seperti itu.
Dia terkejut saat kau berbicara untuk
pertama kalinya, jadi tidak masalah 'kan? Puaslah dengan hal itu.
"Dengan selesainya perkenalan diri
ini, ayo bergabung kembali dengan Aya dan yang lainnya secepat mungkin."
Kalau terus seperti ini, jika kita
diserang lagi, Mururu mungkin baik-baik saja tapi aku akan mati.
Berkata demikian, aku mulai berjalan
sambil mencari pohon yang dapat digunakan sebagai penanda. Kurasa ini adalah
semacam berkah kecil bahwa area ini menjadi lebih mudah dikenali karena
pertarungan. Kuputuskan untuk mengelilingi daerah sekitar sini dengan tempat
ini sebagai pusatnya.
Kuharap kami bisa bergabung dengan yang
lainnya sebelum matahari tenggelam.
Tepat saat aku merasa optimis, berpikir
bahwa kami dapat meninggalkan hutan ini esok hari, hal ini pun terjadi. Ini
benar-benar mematahkan semangat tapi aku sama sekali tidak boleh menyerah.
Ada seseorang di sini yang lebih muda
sepuluh tahun dariku. Aku tidak bisa menjadi orang yang menyerah sebelum dia.
Ayo berjuang dan terus berjalan. Aku akan membawa gadis ini ke ibu kota dengan
aman. Pasti.
0 Comments
Posting Komentar