PERGI DAN KEMBALI LAGI
(Translater : Zerard)
Senja semakin mendekat
serata kegreta kuda berhenti. Matahari yang terbenam memberikan cahaya merah terakhirnya,
dan duniapun terhias akan warna unggu bersama dengan goresan hitam. Bayangan
memanjang kendaraan bersatu bersama bayang-bayang besar perkotaan, menciptakan
sebuah bentuk aneh dan kartunis.
Di saat dia mendengar suara
anak-anak kecil berlari pulang di kejauhan, Goblin Slayer menjadi santai. Dia
tidak mengetahui mengapa ototnta menjadi tegang di dalam kereta kuda, walaupun
yang dia lakukan hanya sekedar duduk mengikuti. Kesadarannya baik-baik saja,
namun tubuhnya terasa berat, kelalanya pusing, dan langkah kakinya tidak
menentu dan sangat ringan.
Aku
rasa ini sudah saatnya, dia memutuskan, menutup
matanya selama beberapa detik untuk mendorong jauh rasa sakit yang ada di dalam
dirinya. Dia mengingat pernah mendengar di suatu tempat, bahwa manusia hanya
bisa bertarung secara terus menerus paling banyak selama dua puluh hari. Tanpa
istirahat, lebih dari itu maka kemampuanya akan menjadi menurun.
Goblin Slayer tidaklah
optimis dia mampu bertahan selama itu.
Dia melanjutkan langkahnya,
melewati bangungan tinggi tepat di samping gerbang utama—Guild Petualang. Dia
akan membuat laporannya, mengambil hadiahnya, memeriksa perlengkapannya,
beristirahat, dan kemudian pergi kembali membunuh goblin.
Merupakan keseharian yang
sama yang selalu dia jalani. Kesehariannya tidak pernah berubah. Tidak akan
pernah.
Namun seraya dia membuka
pintu Guild...
“Whoa!”
“Oh...wah.”
Pintu itu terbuka dari sisi
lainnya, dan dia mendapati dirinya sendiri hampir menabrak seorang pria dan
wanita yang hendak keluar. Pria itu melompat ke belakang beberapa langkah
ketika berhadapan dengan helm baja berlapis noda hitam kemerahan. Rekan
wanitanya yang seksi hanya berdiri dengan tongkatnya dan bibirnya yang
tersenyum elegan.
“Astaga, bro,” Spearman
berkata dengan ekspresi lelah. “Kamu ini perlu berhenti berjalan dengan memakai
helm itu.”
“Apa aku membuatmu kaget?”
“Menurutmu!”
“Kamu...tahu,
kamu...terlihat, seperti, armor...hidup.”
Witch tertawa kecil, melihat
Spearman yang semakin kesal.
Goblin Slayer memutar
helmnya dari satu sisi menuju sisi lain, memperhatikan mereka. Spearman memakai
armor miliknya dan tombak kesayangannya, sebuah tas menggantung pada ujung
tombaknya. Sementara Witch, dia mengenakan pakaian dan tongkat biasanya. Dia
juga membawa sebuah wadah silinder dengan sebuah gulungan di dalamnya.
Sangatlah jelas akan kemana mereka hendak pergi.
“Pergi berpetualang?”
“Ya.” Mata Witch denggan alisnya yang lentik,
menyipitkan matanya. “Bisa, di, billang...sebuuah, kencan.”
“Dan biar ku tebak, kamu
habis berburu goblin?”
“Ya,” Goblin Slayer
mengangguk. “Aku baru selesai.”
“Feh. Terserah.” Spearman
bergumam, kemudian membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu yang lain.
Namun sebuah ekspresi yang sulit di jelaskan tergambar pada wajahnya; Spearman
melihat helm itu kemudian menuju meja guild dan kembali lagi menuju helm itu,
kemudian menutup mulutnya tanpa mengatakan apapun.
Goblin Slayer mendorong
pintunya terbuka, memberikan jalan kepada mereka. Setelah beberapa saat, berpikir
bahwa dia harus mengatakan sesuatu, dia berkata singkat, “Hati-hati.”
“Aku nggak mau mendengar itu
dari kamu.”
Spearman menepukkan kepalnya
pada pundak Goblin Slayer seraya dia melewatinya. Dia sudah berjalan jauh di
saat Goblin Slayer menyentuh pundaknya dengan sedikit rasa terheran. Ketika
Goblin Slayer mendengakkan kepalanya lagi, dia melihat Witch memberikannya
sebuah senyuman sebelem keluar melewatinya denggan pinggul yang bergoyang.
“...Hmm.”
Goblin Slayer memiringkan
kepalanya, melepaskan pintu setengah terbuka. Pintu itu berdecit tertutup
rapat, dan kemudian terbuka kembali, kali ini dia yang membukanya.
Teriakan-teriakan keramaian
bangunan menyelimutinya. Satu party sedang berkumpul di depan meja resepsionis,
berusaha memberikan laporan petualangan mereka. Yang lain sedang memperhatikan
papan buletin, mencari sebuah queat yang dapat mereka kerjakan. Beberapa orang
lainnya sedang berkumpul di dalam bar, menikmati hari libur, sementara yang
lain dengan semangat bersiap melakukan petualangan baru. Sangatlah nyaring,
sangatlah lantang, dan keseluruhan tempat di isi penuh oleh suara senjata dan
perlengkapan dan percakapan.
Goblin Slayer memperhatikan
semua secara sekilas dari pintu masuk, kemudiam berjalam menuju ruang tunggu.
Dia dapat melihat Gadis Guild yang saat ini sedang sibuk membantu petualang
lainnya. Kepalanya mengangguk membalas salam dari Gadis Guild, dan dia-pun
duduk di sebuah bangku.
“Oh!”
“Ah!”
Gerakannya mengundang sebuah
teriakan di dekatnya. Dia berputar untuk melihat dan menemukan seorang pria
muda dan wanita muda yang tampak sangat kelelahan.
Adalah Rookie Warrior dan
Apprentice Priesteas. Mungkin mereka telah bertarung di dalam air, karena
rambut mereka sangat lembab, dan keseluruhan tubuh mereka basah. Walaupun
begitu, terdapat sebuah tanda akan kebahagiaan pada wajah mereka, tampakknya
itu merupakan kebahagiaan akan pekerjaan yang terselesaikan.
“Jadi kamu memakainya.”
“...Oh, uh, yeah.” Rookie
Warrior bergerak tidak nyaman, kemudian memberikan sebuah tepukkan pada
pentungannya. “Pentungannya cukup bagus.”
“Begitukah?” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan.
Rookie Warrior menggaruk
pipinya dengan sebuah gerakan yang menandakan keraguan, kemudian berkata, “Aku
rasa...”
“...”
“Mungkin aku akan
menamaninya Masher.”
“Begitu.”
“Hei,” Apprentice Priestess
berkata, memberikan sebuah pukulan pada warrior muda ini dengan sikunya.
“Namanya malu-maluin.”
Rookie Warrior menggerutu,
namun tidak akan mengalah. “Yeah, tapi...”
Goblin Slayer memperhatikan mereka
seraya mereka berdua berdebat, kemudian berdiri.
Party yang berada di depan
Gadis Guild telah menghilamg.
Goblin Slayer terdiam
beberapa saat, namun sebelum dia mulai bergerak, “Namanya nggak jelek.”
Perdebatan mereka terhenti
seketika. Bocah dan gadis itu melongo kepada helm baja seolah mereka tidak
mempercayai apa yang baru saja mereka dengar. Helm itu sedikit menunduk untuk
melihat mereka.
“Senjata itu nggak akan
bagus untuk di lempar, tapi benang itu merupakan cara yang pintar,” suara pelan
itu melanjutkan. “Mungkin aku akan mencobanya.”
Kedua petualang muda itu
mendapati dirinya melihat satu sama lain seraya Goblin Slayer memutar tubuhnya
dan melangkah pergi.
Pada meja resepsionis Gadis
Guild, telah selesai berurusan dengan petualang lain, sedang meluruskan sebuah
tumpukkan kertas. Ketika dia melihat helm baja kotor itu, dia tersenyum dengan
begitu indahnya.
“Selamat datang kembali, Pak
Goblin Slayer.”
“Terima kasih.” Kursinitu
berdecit di karenakan beban tubuhnya seraya dia mendudukinya, dan dengan cepat,
Goblin Slayer menyadari beberapa benda asing di atas meja resepsionis. Adalah beberapa
boneka yang cukup kecil yang dapat muat di atas telapak tanganmu—tidak, adalah
lima atau enam buah bidak berbentuk seperti para petualang.
“Oh, ini?” Gadis Guild tidak
dapat menahan tawa kecilnya seraya dia menunjuk salah satu bidak dengan
jarinya. Tampaknya adalah sebuah warrior dengan menggunakan light armor.
Bidaknitu berdiri dengan sebuah perisai kecil dan pedang, dan dia meletakkannya
di atas tangannya dengan lembut. “Saya menemukannya di hari kemarin... ini
hanya sebuah bidak permainan, tapi saya merasa sangat menyanyangkan jika
bidak-bidak ini hanya di simpan begitu saja.”
“Begitukah?” Gadis Guild
mengangguk kepadanya, dan meletakkan figur itu kembali pada tempatnya. Sebuah
scout berarmor ringan, sebuah knight berhelm baja, dan sebuah elf sorceress,
sebuah dwarf warrior, dan sebuah tetua monk.
“Apa ini...sebuah party?”
“Ya. Para petualang yang
pergi untuk menutup gerbang makam yang menuju neraka. Walaupun mereka tidak
pernah berhasil...” Dia menggaruk pipinya.
“Partynya cukup seimbang,”
dia berkata.
“Ya. Ini merupakan party
yang sangat bagus.” Dia berbicara tentang petualangan para bidaknya seolah
petualangan itu benar-benar terjadi. Akan bagaimana mereka menemukan pintu
masuk makam, bertarung dengan monster hijau penjaga, dan labirin mengerikan...
Goblin Slayer mendengarkan
dengan seksama, hingga Gadis Guild kembali tersadarkan.
“Ma-maafkan saya! Saya berbicara
terus dari tadi...”
“Nggak masalah,” Goblin
Slayer berkata dengan gelengan kepala. “Cukup menarik.”
“Benarkah?” Gadis Guild
memiringkan kepalanya dengan sedikit ayunan dari kepangnya. Kemudian dia mengeluarkan
sedikit batuk. Dia menawarkan Goblin Slayer secangkir teh yang telah dia
siapkan dan letakkan di samping kursinya.
“Jadih, uh... Bagaimana
questnya?”
Goblin Slayer mengambil
cangkir itu dan mengjabiskannya, kemudian berkata:
“Ada goblin.”
Benar,
benar. Gadis Guild tersenyum seolah ini membuatnya
bahagia, penanya berdansa di atas kertas. Seberapa banyak jumlah mereka? Di
mana mereka bertempat tinggal? Bagaimana cara dia membunuh mereka? Apakah dia
menyelamatkan seseorang? Apakah questnya telah berhasil di selesaikan?
Dia memberikan semua
informasi itu dengan datar. Seperti biasanya. Pekerjaan membasmi goblin lainnya
oleh Goblin Slayer. Ketika Gadia Guild telah selesai menulis laporannya, dia
membaca ulang kembali, memeriksa ulang semuanya.
Semua sudah benar. Gadis
Guild memberikan ucapan selamat kepadanya atas pekerjaannya yang telah di
selesaikan, kemudian memberikan stempel pada laporannya. Sekarang questnya
telah benar-benar selesai. Yang tersisa hanyalah mengambil hadiahnya dari dalam
brangkas.
“Sekarang, untuk hadiah
anda.... Oh benar juga.” Dia menepuk tangannya. Terdapat sesuatu yang tidak
boleh dia lupakan. “Apa anda mengingat sebuah desa di hari sebelumnya?”
“Desa yang mana?”
“Desa yang anda datangi
sendirian...”
“Ah,” dia mengangguk. Gua
itu. Desa itu. Bocah itu. Tahanan itu. “Aku ingat.”
“Yah, desa itu,” Gadis Guipd
berkata dengan tawaan kecilmpenuh arti, “mengirimkanmu sebuah hadiah ucapan
terima kasih.”
Dia memberi tahukannya untuk
menunggu sebentar dan bergegas pergi layaknya seekor anak anjing yang
kegirangan. Dia mengeluarkan sebuah kantung kulit dari dalam brangkas dan menimbangnya
di atas sebuah timbangan, memastikan berat emas itu sudah sesuai dengan
seharusnya. Tidak ada masalah.
Dia meletakkan kantung itu
di atas sebuah nampan, kemudian dengan hup!
Dan meletakkaan sebuah keranjang di sampingnya. Sebagai hasilnya, pada meja
resepsionis, terdapat sebuah tumpukkan jagung yang tampaknya masih segar
sehabis di petik.
“Mereka bilang ini untuk
anda makan!”
“Oh-ho.”
Goblin Slayer mengambil
salah satu jagungnya; Jagung itu terasa berat di tangannya. Dia menarik
daun-daunnya yang kemudian menunjukkan banyak biji emas indah.
“Ini masak sekali.”
“Benarkan?” Gadis Guild
membusungkan dadanya bangga, seolah dia sendiri lah yang telah menanamnya. “Dan
apa anda tahu? Orang yang membawa ini adalah orang yang baru-baru saja anda
selamatkan.”
“...Benarkah?”
“Uh-huh!” Mata Gadis Guild menatap
jagung itu dengan ekspresi yang menandakan sebuah kelegaan. Sangatlah langka
bagi seorang petualang atau tentara bayaran mendapatkan kesempatan kedua jika
mereka telah gagal sekali. “Bagus, ya?”
“Yeah.” Goblin Slayer
mengangguk ke atas dan ke bawah. “Sempurna.”
Dan kemudian, dengan semua
dokumen dan prosedur yang telah di selesaikan, Goblin Slayer mengambil
keranjang jagung dan berdiri. Terkecuali Gadis Guild, tidak ada seorangpun yang
berkumpul di dalam Guild yang memperhatikannya secara khusus. Mungkin hanya
sedikit lirikan dan berkata, “Oh, dia lagi.” Begitu pula Bocah Magang seraya
dia mengintip keluar dari bengkel dan memberikan salam kecil.
Goblin Slayer berhenti. “Ada
apa?” Bocah itu mengelap tangannya pada celemknya sebelum berbicara.
“Aw, nggak apa-apa. Aku Cuma
mengira kamu mungkin, uh, butuh pedang atau sesuatu, dan aku ingin mengerjakan
pesananmu.”
“Begitu,” Goblin Slayer
mengangguk. “Kalau begitu, tolong satu.”
“Oke. Apa nggak mau memesan
beberapa pesanan sekaligus?”
“Nggak.” Goblin Slayer
menepuk sarung pedang yang ada di pinggulnya. “Aku cuma bisa membawa satu
saja.”
“Itu baru Goblin Slayer
kami,” Bocah Magang berkata dengan senyuman masam dan mengangguk. “Kalau
begitu, aku akan siapkan satu untukmu,
dan—whoa! Jagungnya banyak sekali!” dia menyadari keberadaan sebuah
keranjang dan berkedip. “Beruntungnya kamu,” dia berkata. “Aku nggak sadar
kalau ini sudah musim jagung.”
“Benar.”
“Di pedesaan, sebelum aku
datang kesini, kami sering merebus jagung setiap hari di musim panas.”
“Benarkah?” Goblin Slayer
menggapai dengan santai ke dalam keranjang dan menarik dua atau tiga jagung.
Dia mendorongkannya ke arah Bocah Magang. “Kamu mau?”
Bocah Magang mengeluarkan
suara terkejut. “Apa boleh?”
“Aku cukup banyak berhutang
budi padamu dan mastermu.”
“Ya-yah, oke kalau begitu!
Terima kasih banyak!” menundukkan kepalanya, Bocah Magang berlari dengan jagung
di kedua tangannya. “Hei, boss!” Suaranya bergema di dalam bengkel. Goblin
Slayer berputar dan melangkah pergi.
Hari telah berakhir dan
petualangan telah usai, karena itu Guild sedang di penuhi oleh para petualang.
Goblin Slayer berjalan melewati keramaian, menundukkan kepala memberi salam
kepada setiap orang yang menyalaminya.
“Astaga. Harusnya kamu
beritahu kami. Kami bisa memasaknya di dapur.”
Ketika dia hampir mencapai
pintu, dia merasakan ada yang menarik sikunya.
“Apa?” Dia menoleh dan
melihat Pelayan Padfoot, memegang lengannya dan melotot mengarah bengkel.
“Seharusnya kamu memberikan
beberapa jagung itu pada kami terlebih dahulu.”
“Menurutmu?”
“Yeah. Kami bisa
menyiapkannya, dan semua orang dapat menikmatinya! Kamu nggak peka sekali...”
Goblin Slayer hanya
mengangguk dan berkata, “Benarkah?”
Dengan keranjang jagungnya,
petualang berhelm baja itu terlihat lebih aneh dari biasanya.
“Yo, Goblin Slayer!” Sebuah
suara riang memanggilnya dari rumah makan.
Dia memutar helmnya untuk
melihat. Heavy Warrior melambaikan tangannya, wajah merahnya menandakan
seberapa banyak gelas yang telah di minumnya.
“Kamu seperti orang yang
lagi butuh minum. Sini dan minum bersama!”
“Jangan bilang kalau kamu
mau dia untuk bergabung dengan kita?”
Knight Wanita, wajah indahnya yang terhias kemerahan, menggembungkan pipinya di
samping warrior itu.
“Aw, apa salahnya?
Sesekali.”
“Beberapa dari kita ingin
lebih dari sekedar cerita goblin di saat kita minum-minum.” Kursinya berbunyi
seraya dia berdiri dengan gumam lelah akan “Oh, sudahlah.” Dan bertukar tempat
duduk. “Minggir bocah. Sang paladin mau duduk di sini.”
“Aku nggak yakin apa kamu
pantas menyebut dirimu sendiri paladin dengan mulut seperti itu...?” Kata Bocah
Scout.”
“Hati-hati kamu. Nggak lama
lagi aku Holy Smite kamu...”
“Ya, ya. Kamu cuma
menggunakan Shield Bash akhir-akhir ini,” Gadis Druid berkata.
“Dan apa salahnya dengan
seorang knight yang menggunakan perisainya? Salahkan para dewa yang nggak
memberikanku keajaiban!”
“Argh tidak bisakah kalian
diam? Dia jadi tidak bisa tenang berpikir!” Bocah Scout dan Gadis Druid yang
telah memulai berdebat layaknya anak kecil ketika Knight Wanita mendorong
mereka dari kursi mereka. Heavy Warrior menyela dan melototkan matanya pada
mereka semua.
Dia saat Goblin Slayer
berusaha untuk menentukan apa yang harus di lakukan, sebuah bayangan muncul di
sampingnya. Adalah seorang half elf dari party Heavy Warrior. Dia memberi salam
elegan dengan kepalanya dan berkedip.
“Saya akan mendiskusikannya
dengan pemimpin kami. Tolong, hiraukan saja mereka.”
“Jelaslah!” Pelayan Padfoot
berkata dengan tawa kecil. “Mereka sudah terlaluuuu mabuk. Sudah sewajarnya.” Dia
melambaikan tangannya yang tampak seperti tapak kucing seolah seperti mengusir
sesuatu. “Baiklah, pak, silahkan. Nggak baik membuat seseorang menunggu, kan?”
“...” Goblin Slayer memutar
helmnya kepada mereka berdua, kemudian kepada Heavy Warrior di bar. Dia
mengangguk. “Terima kasih.”
“Nggak masalah!” Dia
membalas ucapan terima kasih Goblin Slayer dengan senyuman, dan melangkah
keluar dari bangunan.
Di kelilingi oleh banyak
petualang di sekitarnya, dia membuka pintu dan pergi keluar. Terdapat angin
malam sejuk, dan di dalam helmnya, Goblin Slayer menutup matanya. Kemudian melangkah
maju. Dia melewati jalanan dengan langkah sigapnya, menuju gerbang utama.
Namun, gerbang itu tepat berada di samping Guild, karena itu jaraknya tidak
begitu jauh. Tetapi tetap saja...
Di antara kerumunan
petualang dan pengelana yang melewati gerbang, satu sosok besar terlihat begitu
mencolok di antara mereka semua. Goblin Slayer berhenti ketika dia mengenal sosok
yang tidak asing tersebut, dan sosok itu-pun melihat Goblin Slayer juga.
“Oh-ho, toeankoe Goblin
Slajer!” Wajah Lizardman menjadi ceria, dan dia membuat gerakan mengayun dengan
lengannya untuk mendapatkan perhatian sang warrior. Ketika Goblin Slayer sudah
berada cukup dekat, dia dapat melihat tiga orang lainnya di samping sang
lizard—semua rekannya ada di sana.
Mereka berempat tampak
kelelahan, pakaian mereka kotor, namun sebuah tanda akan pencapaian tampak
jelas pada wajah mereka. Hidung Dwarf Shaman berkedut mencium aroma samar akan
darah, dan dia membuka tutup botol anggur untuk menghilangkannya.
“Ada apa? Jangan bilang kamu
mau pergi keluar lagi di jam segini, Beardcutter?”
“Nggak,” Goblin Slayer
berkata dengan gelengan kepala. “Aku sedang dalam perjalanan pulang. Bagaimana
dengan kalian?”
“Baru menyelesaikan
petualangan kecil.”
“Memang susah sekali kalau
cuma ada satu orang di garis depan!” High Elf Archer mengeluarkan suara tidak
senang dengan gerakan lebay, menggelengkan kepalanya. Kemudian dia menggapai
dan menarik Priestess menuju pelukannya.
“E-eek!”
“Aku yakin kamu pasti
capek.”
“Ng-nggaj, aku—“ Kontak
fisik secara tiba-tiba itu tampaknya membuat Priestess terhenyak; Mungkin
itulah mengapa kepalanya menunduk malu. “Aku baik-baik saja. Semua berkat
kalian semua yang sudah bekerja keras melindungiku...”
“Aw, dan rendah hati lagi!”
High Elf Archer menggengam lengan kurus gadis itu dan menepuk kepalanya dan
bergurau, “Manis banget.” Dan kemudian di waktu yang sama dia melihat kepada
Goblin Slayer, tidak berniat untuk membiarkannya pergi begitu saja. “Sekarang,”
dia berkafa, ”Aku memang bukan dwarf, tapi aku rasa kita harus makan-makan
sedikit.”
“Begitu.”
“Ooh, apa itu jagung?” Mata
tajam sang elf, mendarat pada keranjang yang di bawa Goblin Slayer. Jagung kuning
masak, masih berbungkus daun. “Ooh! Ooh! Aku boleh minta? Ku mohon?” Dengan
cepat High Elf Archer melepas Priestess.
“Kamu ini elf atau rhea
sih?” Dwarf Shaman bertanya, di antara rasa lelah dan terhibur.
“Nggak masalah,” goblin
Slayer berkata, menyebabkan sang elf membusungkan dada kecilnya bangga.
Priestess sedang gelisah
dengan situasi yang terjadi, dan Lizard Priest mengeluarkan desisan tajam.
“Oh-ho. Djagoeng meroepa’an tjiri chas ‘ampoeng saja.”
“Huh? Apa itu artinya kamu makan
sesuatu yang lain selain daging?” Priestess bertanya terkejut. Dia merasa sebuah argumen akan datang walaupun
dengan rasa lelah yang mereka rasakan, dan Priestess lebih ingin menghindari
argumen itu jika memungkinkan.
“’ami sering memboeat boeboer
dari djagoeng ataoe meminoemnja setelah di tjampoer dengan madoe ataoe agave.”
(TL Note : agave = https://id.m.wikipedia.org/wiki/Agave
)
“Wow! Aku sulit
ngebayanginnya.” High Elf Archer mendekat, perhatiannya telah berhasil di
alihkan, dan Priestess menghela napas lega.
“Dji’a begitoe, saja a’an
memboeat’anja. Ah, Iya, toean’oe Goblin Slajer.”
“Apa?”
“Dji’a tida’ merepot’an
anda, saja mengingin’an sebong’ah...”
“Keju?”
“...Mm.”
Kepala Lizard Priest
mengangguk tiada henti, dan menepuk ekornya ke lantai.
“Aku akan menyuruh seseorang
mengantarkannya ke depan ruanganmu.”
“Ahh! Soenggoeh rasa terima
‘asih saja pada anda tiada terbatas! Ini benar-benar memboeat saja tjandoe...”
Dia bersorak riang, bersama dengan teriakan akan “Oh, madoe manis!” dan
semacamnya.
“Orcbolg,” High Elf Archer
berkata, memperhatikan sang lizard dari ujung matanya, “kenapa kamu nggak
mengantarkannya sendiri?”
“Itu bagian pekerjaan
kebun.”
“Hmmm.”
Apakah itu terhitung sebagai
intergritas? High Elf Archer mengepakkan telinganya dan tertawa kecil. “Kalau
begitu pas...Aku baru saja berpikir untuk memintamu melakukan suatu pekerjaan.”
“Goblin?”
“Nggak bakalan,” High Elf
Archer berkata dengan ayunan telinganya. “Aku mau kamu mengantarkan gadis ini
ke kuil.”
“Hwah?!” Priestess tidak
menyangka menjadi bahan pembicaraan. Dia merasakan dironya di dorong dari
belakang hingga dia berdiri tepat di depan Goblin Slayer. Dia celingak-celinguk
dari Goblin Slayer dan High Elf Archer. “Oh! Uh! A-aku nggak
apa-apa...sendirian. jaraknya nggak begitu jauh...”
“Jalanan di malam hari itu
berbahaya.” Dwarf Shaman membelai jenggotnya, mengumbar senyum di wajahnya.
“Goblin bisa muncul kapan saja, iya kan Beardcutter?”
“Ya,” Goblin Slayer berkata
dengan penuh keseriusan. “Tapi bukannya kamu tinggal di penginapan Guild?”
“Yeah, tapi sepertinya dia
mempunyai sesuatu yang harus di lakukan perihal festival musim gugur, hmm?”
Ketika High Elf Archer
melihat Priestess untuk memastikan, Priestess tampaknya tidak dapat meracik
sebuah jawaban. Apa yang di katakan sang elf memang benar, namun mengakui hal
itu sama saja dengan secara tidak langsung meminta Goblin Slayer untuk mengantarkannya
ke kuil.
Lizard Priest semakin
memojokkan Priestess, menambahkan suaranya pada irama percakapan: “A’an sangat bai’
bagi anda dji’a anda membiar’an toeankoe Goblin Slajer menemani anda.”
“Ini bukan waktunya untuk
malu-malu, gadis kecil.”
“...”
Mereka semua terdengzr
begitu serius. Mereka tidak mungkin salah, benar kan? Priestess melihat
masing-masing dari wajah mereka, berharap menemukan sebuah petunjuk pada wajah
mereka, ketika Goblin Slayer mulai bergerak.
“Ayo.” Dan dia melangkah
dengan satu kata ajakannya.
“Oh, um, uh, i-iya, pak!”
Priestess mendapati dirinya bergegas mengejsr Goblin Slayer, cemas takut di
tinggalkan.
Dia menoleh dari balik
pundaknya dan melihat mereka bertiga memperhatikan Priestess pergi, senyum
mereka tampak menggambarkan kesenangan akan pemandangan yang mereka saksikan.
Entah mengapa dia merasa sangat malu dan merasakan pipinya mulai memanas, namun
dia tetap menunduk memberi salam kepada mereka.
“Aku, uh, sampai jumpa
besok!”
Goblin slayer berhenti dan
berpikir sejenak, memiringkan helmnya sedikit, kemudian mulai berjalan kembali.
Priestess dengan terburu-buru mengejar dia yang semakin lama semakin menjauh. Priestess
baru dapat mendekatinya setelah Goblin Slayer memperlambat langkahnya.
“A-apa kamu sedang sibuk
akhir-akhir ini?” Priestess menatapnya, berusaha mengatur napasnya. Goblin
Slayer menggunakan helm baja yang selalu di gunakannya. Kegelapan helm
menyembunyikan ekspresinya.
“Ya,” Goblin Slayer berkata
dengan anggukkan. “Aku butuh uang.”
“Uang...?”
“Sekarang sudah cukup.”
Hm.
Priestess menempelkan jari pucatnya ke bibir,
memperhatikan lantai serayz berpikir. Dia merasa sedikit kecewam dan sedikit
khawatir. Dia tidak merasa cemburu. Adalah kesedihan, hampir sebuah kemarahan,
di karenakan dia tidak mengajak Priestess. Seharusnya dia memberi tahu
Priestess.
Seraya Priestess berdiri
berpikir, Goblin Slayer terus berjalan, dan Priestess kembali mengejarnya.
Tidak lama bagi mereka untuk mencapai Kuil Ibunda Bumi.
“Kita sampai.” Ketika Goblin
Slayer berkata, Priestess mendongak dan mendapati dirinya berada depan pintu
masuk kuil. Senja keunguan memantulkan sinarnya pada dinding porcelain; di
dalamnya, sebuah api yang di nyalakan penjaga malam, berkelip.
“Terima kasih banyak,”
Priestess berkata, berjalan di tangga menuju pintu masuk.
Apa
aku...nggak masalah dengan ini?
Tidak. Itulah mengapa dia
mengumpulkan keberaniannya dan berkata. Dia sangat yakin akan wajahnya yang
memerah, namun, mungkin pria itu tidak dapat mengetahuinya di balik lindungan
senja dan kegelapan.
“U-um! Lain kali kalau kamu
pergi berpetualang, pas-pastikan untuk memberi tahu aku!” dia berkata dengan
sekencang yang dia mampu.
“...”
Pada awalnya Goblin Slayer
tidak berkata apa-apa dan hanya menatap Priestess. Namun setelah beberapa saat,
dia berkata, “Baiklah,” dan mengangguk. “Aku akan memberi tahumu.”
Hanya itu yang perlu
Priestess dengar. Wajahnya menjadi begitu cerah, terlihat jelas bahkan di dalam
keadaan yang semakin gelap. “Oke!” dia berteriak. “Kalau begitu, sampai jumpa
besok!”
“Sampai jumpa besok,” dia
bergumam, memperhatikan Priestess seraya Priestess berputar dan menghilang
masuk ke dalam kuil.
Selama beberapa saat dia
hanya berdiri di sana di depan bangunan.
Aku
bertemu cukup banyak orang hari ini. Dia pernah memiliki
pikiran sepertinitu sebelumnya.
Namun, dia mengkoreksi, itu
tidak sepenuhnya benar. Orang-orang itu selalu berada di sana. Segala hal,
kurang lebih, telah berubah. Namun ada pula yang tidak berubah. Dia hanya tidak
pernah menyadarinya.
Dia merasakan bahwa banyak
hal yang telah terlepas dari perhatiannya. Dia mengambil napas dalam dan
mengeluarkannya secara perlahan.
Dia berjalan melewati
Guild—masih penuh sesak—kemudian keluar melewati gerbang dan menuju jalanan.
Bulan kembar dan bintang-bintang di antaranya berkonspirasi untuk mengheningkan
kegelapan malam. Angin berhembus melewati semak-semak, menawarkan kesejukan
yang nikmat.
Dia berjalan tanpa suara
melewati jalan yang dia sering lewati dengan langkah biasanya.
Dan kemudian, di kejauhan,
dia melihat satu titik cahaya. Pada waktu yang sama, pada tempat yang sama
seperti biasanya. Dia telah tiba pada tempat di mana dia dapat melihat cahaya
perkebunan.
Goblin Slayer sedikit
mempercepat langkahnya. Dia melewati dinding batu yang telah di bangun bersama oleh
dia dan pemilik kebun dan meli tasi pagar yang telah dia perbaiki, hingga
mencapai pintu.
Setelah beberapa saat,
Goblin Slayer tiba di depan pintu kayu, namun tidak segera membukanya. Pertama,
dia merogoh kantung peralatan di pinggulnya, mengeluarkan sebuah kantung yang
penuh berisi akan koin emas. Kantung itu terasa cukup berat di tangannya. Dia
membuka ikatannya dan memeriksa isinya. Semuanya tampak baik-baik saja. Dia
mengembalikan kantungnya. Helm bajanya berputar ke kiri dan ke kanan. Dan
akhirnya, dia mendongak melinhat angkasa.
“Bagus,” dia berbisik samar,
kemudian memegang gagang pintu dengan tangannya. Dia memutar dan mendorong
pintu terbuka.
Bersamaan dengan decitan
pintu, datanglah sebuah rasa hangat dan manis yang begitu nyaman. Seraya dia
menyadari bahwa itu adalah aroma sesuatu yang di rebus dengan susu, seoraang
gadis yang berdiri di dapur berputar.
“Phew! Kamu pulang telat
hari ini.” Gadis itu berkedip terkejut, mengelap kedua tangannya pada celemek
miliknya dan bergegas di sekitaran dapur.
Goblin Slayer menutup pintu
di belakangnya, memasuki rumah dengan langkah teratur. Gadis Sapi
memperhatikannya dan melihat sebuah keranjang di sisi pria itu.
“Wah, jagung? Kelihatannya
enak!”
“Hadiah.” Dia berkata,
meletakkan keranjang di atas meja.
“Oh yeah?” dia berkata, seraya
mengaduk sebuah panci besar. Tanpa melihat pria itu, dia menambahkan, “Jangan
di taruh di atas meja.”
“Hrk,”
“Setidaknya taruh di kursi.”
“Di mana pamanmu?”
“Dia bilang ada rapat hari
ini. Jadi dia akan pulang telat.”
“Baiklah kalau begitu.”
Goblin Slayer menarik sebuah kursi dan meletakkan keranjang di atasnya.
Timbunan jagung itu duduk di sana dengan bangga seolah menjadi tamu kehormatan.
Goblin Slayer mendengus dan mengangguk.
Sementara itu, Gadis Sapi
sedang mondar-mandir di sekitaran dapur. “Tunggu sebentar ya? Nggak lama lagi
siap.”
“Baiklah,” dia berkata. Dia
melangkah menuju kursinya, meletakkan tangan pada punggung kursi.
“Hm?” Gadis Sapi melihat
dari balik pundaknya ketika pria itu tidak menunjukkan sebuah tanda akan duduk
seperti yang biasanya dia lakukan. Dia melihat pria itu berdiri di samping
kursi, terdiam.
Hmm...
mengeringkan tangan pada celemeknya, Gadis Sapi
meninggalkan kompor dan berjalan mendekatinya. Sebaiknya aku membujuknya untuk mengatakannya di saat dia sedang
seperti ini.
“Kenapa?” Gadis Sapi
mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah ingin melihat wajah pria itu di balik
helmnya.
Helm yang tidak asing itu
telah menyembunyikan ekspresinya, akan tetapi, Gadis Sapi sangat mengenal baik
apa yang ada di balik helm itu.
“Mm.” Dia terdiam sesaat
sebelum akhirnya berkata, “Nggak apa-apa.” Setelah beberapa saat lagi, dia
berkata, “Sebelum kita makan—“
“Ya?”
“—ada sesuatu yang ingin ku
berikan padamu.”
Sedikit demi sedikit kata
terucap dari mulutnya, dan kemudian dia merogoh isi kantung peralatannya. Dia
mengeluarkan sebuah kantung koin emas yang dia periksa sebelumnya. Kantung itu
berdenting seraya dia meletakkannya di atas meja.
Gadis Sapi berkedip,
terkejut. “Apa ini? Bukannya kamu sudah bayar sewa bulan ini.”
“Ini bukan untuk uang sewa.”
Dia berbicara lebih blak-blakkan dari biasanya. “Selamat ulang tahun.”
“Oh!” Gadis Sapi menepuk
tangannya. Pria itu benar. Gadis Sapi benar-benar sangat sibuk hingga
membuatnya melupakan hari ulang tahunnya.
Besok
ulang tahunku yang ke sembilan belas.
“Aku nggak tahu harus
membelikan apa untukmu, jadi aku pikir ini akan lebih baik.” Dia berkata,
mendorong kantung itu mengarah Gadis Sapi. Tentunya menyiapkan semua uang itu
jauh lebih merepotkan dari sekedar membungkusnya di dalam kantung. Dan juga,
kantung itu sangatlah biasa, sebuah kantung kulit yang tidak di hias apapun. Namun
kantung itu penuh akan uang. Sebagai
sebuah kado ulang tahun, kado ini tidak terlalu istimewa.
“Kamu ini...” Beberapa
ekspresi terlintas pada wajah Gadis Sapi, semua ekspresinya tampak tidak jelas.
Apakah dia harus marah? Atau mengambek? Atau jengkel? Atau sedih? Akhirnya dia
memutuskan pada senyum pasrah. “...terlalu banget.”
Gadis Sapi memeluk kantung
koin itu di dadanya seperti seorang anak kecil yang memeluk bonekanya.
“Kamu selalu bertingkah
seperti nggak tahu apa-apa, dan di saat ketika aku berpikir kalau kamu ini mungkin
mengetahui beberapa hal...ternyata kamu memang benar-benar nggak tahu apa-apa.”
“Erk...”
“Kalau kamu nggak yakin mau
belikan apa, ajak aku. Kita bisa pilih sesuatu bersama.”
Itu
yang sebenarnya aku inginkan.
Goblin Slayer mendengus
halus mendengarnya, kemudian menganggukkan helmnya ke atas dan ke bawah
perlahan. “...Aku mengerti.”
“Jawabanmu itu nggak
meyakinkan. Aku akan berterima kasih padamu...kalau kita sudah memilih
hadiahku.” Gadis Sapi tertawa kecil, menyadari bahwa dirinya sedang menceramahi
pria ini, dan menepuk punggung pria itu. “Aku berharap besar di saat festival
panen, oke?” Gadis Sapi tersenyum. Dia terdengar seperti tidak mengharapkannya
sama sekali.
Oleh karena itu Gadis Sapi
tidak menganggap serius pria itu di saat pria itu mengatakan, “Aku akan
memikirkannya.”
“Ya, ya. Sudahlah, duduk.
Makan malam sudah siap—ayo makan!”
Kemudian Gadis Sapi
meletakkan tangan pada pundak pria itu, dan membimbing dia ke kursi. Gadis Sapi
kembali ke dapur, tetapi berputar seolah sebuah pikiran terlintas di benaknya.
“Oh yeah, aku lupa
sesuatunyang penting.” Gadis Sapi memastikan untuk memberikan pria itu sebuah
senyum terindah yang mampu dia umbar. “Selamat datang!”
“Terima kasih,” dia
mengangguk, dengan tenang duduk di kursinya. “Aku pulang.”
1 Comments
Goblin slayer nikah ga nanti ya, apakah gadis guild atau gadis sapi, priss g bisa nikahkan?
BalasHapusPosting Komentar