AKAN HAL BIASA YANG MENJADI BENIH SEBUAH PETUALANGAN
(Translater : Zerard)

Suara tajam metal bergema melewati terowongan hari ini, seperti biasanya.
Turun dan semakin menurun, dalam dan semakin mendalam masuk ke dalam tanah, mencari metal yang mereka inginkan.
Penambang manusia dan dwarf, penggali dari segala macam ras, menghancurkan batu dengan beliung mereka, menerobos masuk semakin dalam di bawah pegunungan.
Harta karun adalah yang mereka cari: emas dan silver dan permata yang tertidur di dalam bumi. Tidaklah mustahil untuk membayangkan mereka menjadi kaya dalam satu malam.
“Rasanya seperti aku menjadi seorang petualang,” seseorang bercanda, semua pria tertawa terbahak-bahak.
“Mudahan nggak ada monster di bawah sini.”
“Bukan monster yang harus kamu khawatirkan di bawah sini. Tapi kamu harus lebih khawatir dengan Dark God atau semacamnya.”
Tawaan lainnya. Mereka tidak dapat melupakam pertempuran lima tahun yang lalu; yang hanya mereka lakukan sekarang hanya tertawa jika memikirkan itu.
Apalah arti sebuah kehidupan jika bukan sebuah akumulasi akan hari-hari yang berlalu? Dan apa kamu benar-benar bisa menyebutnya kehidupan jika kamu tidak menikmati hari-hari itu?
Mungkin kamu tidak menemukannya di hari kemarin, namun selalu ada hari ini. Dan jika hari ini kamu masih tidak menemukannya, maka masih ada hari esok. Dan hari kemudiannya.
Para pria-pria ini sangat memahami bahwa untuk menemukan sebuah lahan emas membutuhkan waktu berhari-hari.
Terlebih lagi, menemukan emas bukanlah akhir dari semuanya. Selanjutnya adalah menggali. Pekerjaan menyenangkan, menggali emas yang sudah menunggumu.
Para penambang tidak mempunyai waktu untuk bersedih, mereka memiliki beban kehidupan masing-masing.
Coba di pikirkan: tanpa mereka, permata berkilau para bangsawan atau koin yang selalu berpindah tangan di pasar tidak akan pernah ada.
Kita adalah yang membantu kerajaan. Sebuah pikiran menyemangati di dalam lingkungan yang mengerikan.
Terdapat mereka yang bekerja agar dapat mengirim uang ke rumahnya, sementara yang lainnya untuk membayar hutang atas kejahatan yang telah mereka lakukan. Yang lainnya menabung uang mereka, mengemban mimpi bodoh untuk menjadi seorang petualang; yang lain untuk membiayai kehidupan mereka sendiri.
Tidak ada yang peduli akan asal muasal orang-orang ini ataupun alasan mereka. Pertanyaan satu-satunya adalah apa mereka dapat bekerja dengan baik, dan mereka semua memahami itu. Apakah kamu seorang kriminal atau anak ketiga dari seorang bangsawan, semua itu tidak ada gunanya, selama kamu bisa menggali.
“Oke, kalian semua, bagaimana kalau kita sudahi hari ini?”
“Akhirnya!”
Mereka telah menggali dari subuh hingga senja, walaupun mereka tidak dapat mengetahui jalannya waktu di bawah tanah. Sebuah lonceng besar berbunyi dari atas, itulah alasan mereka mengetahui akhir dari pekerjaan mereka.
Terdapat banyak percakapan yang di lakukan para pekerja seraya mereka berjalan keluar tambang, dengan peralatan di pundak mereka.
“Hrm?” salah satu penambang bergumam, beliung miliknya tertancap pada sebuah dinding.
“Ada apa?”
“Tunggu dulu. Beliungku tersangkut sesuatu.”
Dia menarik sekuat tenaga. Akan tetapi ketika dia berhasil melepas beliungnya, mata dari beliung itu menghilang.
Sebagai gantinya sebuah lendir hitam kental yang mengerikan bergantung di beliungnya.
Sang penambang melihatnya terdiam. Dan kemudian dengan cepat, lendir hitam itu meledak.
Lendir itu menyelimuti sang penambang dari kepala hingga kaki; sang penambang berusaha melawan, namun tidak bisa mengeluarkan sedikitpun kata-kata seraya lendir itu membekam mulutnya.
“Ngah! Ap-apa-apan--!”
“Ada apa? Apa yang terjadi?!”
Teriakan itu menarik penambang lainnya yang hampir keluar dari tambang.
Mungkin akan lebih baik jika mereka terus berjalan dan tidak berputar kembali. Walaupun siapa yang tahu apakah itu pilihan yang lebih baik atau tidak?
Hal pertama yang mereka sadari di saat mereka kembali ke dalam tambang adalah aroma daging terbakar yang membuat perut mual. Lendir hitam itu memakan sang penambang secara keseluruhan, sembari mengeluarkan uap. Korban yang tidak beruntung itu meleleh tepat di depan mata mereka, hingga pria itu menjadi tidak lebih dari sebuah tulang belulang.
“Ini... Ini mungkin Blob pemakan manusia! Aku pernah mendengar tentang mereka!”
“Lari! Ini berbahaya!”
Beberapa dari pria menggenggam erat beliung mereka, sumber mata pencarian kehidupan mereka, seraya mereka berlari; sementara yang lainnya membuang beliung mereka.
Lendir hitam itu terus menggelembung keluar dari dalam tanah, merayap mengejar mereka.
Berapa banyak korban lagi yang akan makhluk ini renggut sebelum para penambang berhasil mencapai permukaan...?
Dadu akan takdir dan kemungkinan tidak pernah kenal ampun.