AKAN SEBUAH SARANG GOBLIN YANG BIASA
(Translater : Zerard)
Bagi goblin ini, segalanya
begitu buruk, begitu buruk, begitu buruk.
Mereka berada di dalam
lubang kecil klaustraphobik
yang bagaimanapun jlustruga tidak bisa di sebut tempat yang nyaman. Dan dia telah di
tugaskan untuk berdiri di depan pintu yang penuh dengan bau busuk.
“Tidak! Ja-jangan,
hentikan—hen-hentikaaagh!”
Dia mengintip melalui celah
yang terdapat pada pintu kayu usang hanya untuk melihat rekannya sedang asik
melalukan bisnisnya. Dia tidak memiliki keinginan untuk melihat punggung kotor
kecil goblin lainnya, namun punggung betina
yang saat ini sedang di tindih, menendang langit—itulah yang dia ingin lihat. (TL Note : Disini saya akan memakai “ seekor betina/jantan”
untuk menggantikan “seorang wanita/pria”. Karena ini merupakan sudut pandang
dari seekor goblin.)
“...? GROB! GBROOB!”
Namun goblin lainnya
menyadari dirinya mengintip dan meneriakinya, yang di mana dia dengan cepat berputar
menghadap ke depan kembali.
Seperti inilah yang selalu
terjadi. Kamu penjaga, jadi berjagalah, mereka
selalu berkata, dan dia harus menunggu hingga mendapat gilirannya. Paling tidak
mereka harus membiarkan dirinya untuk menonton.
Itulah pikiran yang
terlintas di kepalanya seraya dia melihat
tombak yang dia pegang. Ujung tombak itu terbuat dari metal dan batang yang
terbuat dari kayu oak, namun batang itu telah secara kasar di patahkan menjadi
dua.
Adalah goblin itu yang
mematahkannya. Dia merasa tombak itu terlalu panjang dan terlalu berat untuk di
gunakan, dan jika dia mematahkannya, maka dia akan mendapat dua tombak.
Senjata itu masihlah
berkilau ketika dia baru mendapatkannya, namun sekarang mata tombak dan batang
tombak itu telah ternoda dengan noda hitam kemerahan.
Dia sangatlah bahagia di
kala dia menerima pekerjaan sebagai penjaga bersamaan dengan tombak yang telah
di ambil dari betina
ini, tapi...
“GBBOROB...”
Dia sama sekali tidak
mengetahui bagaimana cara untuk menghilangkan noda pada tombak ini. Setelah dia
berpikir dengan seksama, mungkin ikat pinggang yang di terima goblin lainnya merupakan
hadiah yang lebih bagus. Goblin itu memiliki ikat pinggang yang bagus akan
tetapi masih berani untuk mencuri
pandang pada tombak ini.
Dia sangat tidak
menyukainya. Ikat pinggang itu lebih pantas untuk dirinya melebihi goblin
lainnya! Yeah. Tidak ada ikat pinggang yang pantas keparat-keparat itu.
Dia
bagian dari keluargaku, jadi kalau dia mati, aku bisa memilikinya.
Dalam gerombolan, hampir
semua goblin memiliki hubungan darah, walaupun
itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Otak
kecil dungu miliknya mulai berasap memikirkan sesuatu yang dia tidak dapat
miliki.
“E-eeeeyaaaaaaghhh!”
Layaknya betina itu.
Setiap kali dia melihat
goblin lain memuaskan nafsu mereka, melakukan apapun yang mereka mau, hatinya
terbakar dengan rasa iri.
Dia telah di tinggalkan di
dalam sarang mereka dengan dasar
bahwa dia adalah seorang penjaga, dan dia tidak pernah mendapat bagian dari
tangkapan yang mereka dapatkan. Beberapa kali dia pernah tergabung dalam sebuah
grup, namun dia tidak pernah merasakan kenikmatan unik akan melakukannya
sendiri.
Betina
di dalam ruangan itu seperti biasanya: meronta dan melawan dan menolak untuk
menyerah, tidak peduli seberapa lama mereka melakukannya. Tentu saja, para
goblinpun melakukan hal biasa yang sering mereka lakukan ketika mereka menerima
perlawanan itu—sakiti betina
itu, dan patahkan semangatnya.
Terdapat satu yang tampaknya
akan menyerah, meringkuk menjadi bola kecil dan menunggu badai berlalu. Akan
tetapi betina itu mati seraya mereka
mencoba mencari cara agar dapat membuat betina
itu menjerit.
Terdapat betina lainnya yang tidak berhenti
bersujud meminta maaf kepada goblin,
kepala mereka tertahan di tanah dan bokong mereka menungging.
Dan pernah sekali, karena
goblin akan melakukan apapun, mereka memotong lengan dan kaki seseorang satu
persatu, merebusnya, dan memakannya.
Itu
baru enak.
Dia telah mendapat
bagiannya, namun dia tidak dapat sepenuhnya mengingat kapan atau di mana itu
terjadi.
Pada akhirnya, Itu
adalah, hubungan antar goblin dengan ras lainnya. Jika ras lainnya lebih kuat,
maka para goblin tidak mempunyai pilihan lain selain tunduk dan menuruti perintah
mereka. Namun jika seekor makhluk sedang sekarat tepat di depan mereka—entah
itu ogre ataupun demon—mereka akan datang secara massal dan memakan habis
setiap inci tubuh makhluk itu. Seperti itulah para goblin.
“GOBRBOB...”
“GBORB?!”
Rekannya, telah selesai
melakukan bisnisnya, membuka pintu dan keluar. Mungkin bisnis yang di
lakukannya telah memberikannya sedikit keberanian, karena ketika goblin itu
melewati dirinya, goblin itu memberikan senyuman mengejek.
Rekannya ini berpikir “tugas
jaga” hanyalah berjalan di sekitaran sarang, dan goblin ini mentertawai sang
penjaga. Tawanya membuat penjaga sangat marah sehingga dia memberikan goblin
lainnya sebuah pukulan di bokongnya dengan batang tombak.
“GOBORB?!”
Sang penjaga tertawa
terbahak-bahak seraya goblin lainnya melompat di udara. Sang korban
mendatanginya dengan mengangkat kepal tinjunya, oleh karena itu penjaga memutar
tombaknya dan mengancamnya dengan ujung tombak.
“GROB! GBOOROBO!!”
Dengan kata lain, ini adalah
tempatnya berjaga, jika goblin lainnya sudah tidak mempunyai urusan lagi di
sana, maka dia harus segera pergi.
Goblin lainnya tidak dapat
membalas otoritas dari pekerjaan yang telah di berikan pada sang penjaga.
Seraya dia berjalan menjauh dengan menggerutu. Sang penjaga meludah, Baru tahu kamu, dan menyeringai.
Sekarang bagian
menyenangkannya.
Sang penjaga menoleh ke kiri
dan kanan, memastikan tidak ada yang melihatnya, kemudian menyelinap masuk ke
dalam pintu usang.
“GBOB...?”
Sang betina menatap ke atas, hanya
mengeluarkan suara lemah “ahh” atau “ugh” bahkan di saat dia menendangnya. Kamu
bahkan hampir tidak bisa mengetahui apakah betina
ini masih hidup atau tidak. Sang penjaga memberikan tusukan pelan dengan
tombaknya, dan betina
itu dengan segera menjerit, “Gaaaah!” Dia melakukannya lagi beberapa kali, dan betina itu mengeluarkan suara
“yaaargh” yang cukup menarik.
Bah. Tanpa hal seperti ini, akan mustahil untuk dapat meringannkan
sulitnya pekerjaan berjaga. Walaupun sangat menjengkelkan, mereka telah
memperingatinya untuk tidak membiarkan betina
ini mati.
Mereka akan marah kepadanya
jika betina ini mati ketika dia masih
ingin bersenang-senang dengan betina
ini. Namun melampiaskan sedikit kemarahan dengan sesuatu yang seperti ini? Akan sangat sepadan.
“Kembalikan...
Kembalikan...!”
“GRRORB!”
Goblin itu memiringkan
kepalanya mendengar betina
itu, yang mulai terisak dan tersedu.
Hmm,
tombak ini milik betina
ini, kan?”
Tombak ini, layaknya betina ini, tidak akan bertahan
lama. Dia mendapati pikiran seperti itu lucu dan mengeluarkan tawaan kecil.
Dia telah menikmati betina ini hingga betina ini tidak dapat lagi
mengeluarkan suara, kemudian berkelana mengelilingi sarang.
Dia harus memastikan betina ini masih hidup—paling
tidak, masih kejang-kejang—dan bahkan mengurus urusan toiletnya.
Dan tidak lama lagi “pagi”
akan datang. Para petualang hanya datang di saat “malam.”
Nggak
akan ada yang bisa mengangguku.
Goblin selalu mengambil
sesuatu dengan cara terbaik menurut mereka.
“GOROB! GOOBORROB!!”
“GBBROBOG!!”
Dia sedang berjalan di
sekitaran sarang ketika dia mendengar sebuah tawaan bersemangat.
Adalah sang pengintai.
Dua atau tiga dari mereka
duduk bersama, meminum anggur dari mangkuk yang retak.
Mereka adalah yang mengintai
jalanan atau desa mencari mangsa, berkelana sendiri atau berpasangan. Oleh
karena itu sangatlah wajar jika mereka mendapatkan banyak tunjangan.
Bukanlah hal yang tidak
biasa jika mereka kembali lebih awal ke tempat yang goblin percaya aman, untuk
bersantai. Mereka selalu riang gembira
mengantongi barang-barang yang mereka telah curi milik siapapun yang mereka
temui. Tapi pekerjaan mereka sangatlah mudah, bergerombol untuk mengeroyok
mangsa mereka. Sang penjaga bekerja sangat keras setiap waktu, dan mereka ini....!
Bagaimana
dengan tugas jaga?! Dia berpikir, geram karena di hiraukan. Dia
berusaha memamerkan bagian tumpul dari tombaknya, namun mereka hanya melotot
kepadanya.
“GOBOR...?”
“GOROBOR!”
Mereka tidak pernah
melakukan apapun untuk dirinya, dan segala macam ayunan tombak tidak akan
mengubah fakta itu. Dia menghindari
sebuah pukulan dengan menggunakan mangkuk itu dari sang pengintai.
Pfah. Mereka makhluk kasar
menjijikkan. Mereka seharusnya pergi saja dan mati.
Masih di dera dengan rasa pahit, dia telah
tiba pada sebuah jalan sampingan yang menyambung hingga dekat pintu masuk.
Merupakan sebuuah rute sergapan yang telah di gali para goblin, yang tidak
asing dengan pekerjaan bumi dan tanah. Para petualang, atau apapun sebutan mereka sendiri,
sepertinya tidak pernah berpikir kemungkinan bahwa mereka akan di serang dari belakang.
Terdapat, tentu saja, batu
untuk bersembunyi di belakangnya, dan itu merupakan salah satu batu yang
sekarang di tuju sang penjaga.
Segalanya,
semuanya.
Dia membenci, membenci,
membenci segalanya.
Dia membenci pekerjaan
menjaga.
Dia membenci hanya
mendapatkan sebuah tombak.
Dia membenci para pengintai
yang telah mengintimidasinya.
Dia bahkan membenci pemimpin
dungu mereka, yang tidak mempunyai hal lain selain tubuhnya yang besar. Dia
akan menjadi pemimpin yang lebih baik di banding dengan idiot itu!
Dia bisa mendapatkan semua
petualang dan gadis desa yang dia inginkan, semua untuk dirinya sendiri.
Dia dapat membuat para
penjaga dan para pengintai untuk melakukan semua hal yang merepotkan. Dia hanya
akan meneriakkan perintah dari kedalaman gua dan menghanyutkan dirinya sendiri pada makanan dan betina.
Hrm. Pemimpin terdengar
seperti pekerjaan yang bagus.
Dia menjadi benar-benar terlena dengan apa yang menurutnya
sebuah kemungkinan yang akan terjadi, yang pada
kenyataannya hanyalah sebuah fantasy murni.
Bagaimana cara dia untuk
membunuh sang pemimpin yang telah mempersatukan seluruh gerombolan? Bagaimana cara
agar dia yang rendahan dapat mengalahkan
mereka yang tinggi?
Dia meracik sebuah rencana
yang tentunya akam berhasil. Kemudian secara perlahan dia berdiri dari
balik-balik bayangan batu.
Namun...
“GORB...?”
Tiba-tiba pendengarannya
yang tidak begitu tajam mendengar suara akan langkah sigap.
Langkah itu semakin datang
mendekat. Dengan cepat dia kembali bersembunyi di balik batu, kemudian secara
hati-hati mengintip.
Petualang!
Tidak di ragukan lagi. Hanya
seorang petualang yang akan berjalan masuk ke dalam sarang mereka dengan obor
di tangan.
Sendirian. Aroma tubuhnya
sulit untuk di terka. Dia berharap petualang itu seekor betina. Tapi walaupun
petualang itu seekor jantan, mereka masih dapat
memakannya.
Goblin itu menjilat bibirnya, meneteskan air liurnya
dengan begitu menjijikkan, tidak berusaha menyembunyikan keserakahan yang
bergerumuh di dalam hatinya.
Dia akan menyerang, menyeret
petualang itu, merobeknya, melakukan apapun yang dia inginkan. Petualang sialan, petualang sialan!
Namun seraya dia bersembunyi,
bersiap untuk melompat dengan tombak di tangan, penilaian sederhana terlintas
di benaknya.
Mangsanya sendirian, namun
walaupun seperti itu, goblin sangatlah lemah. Para petualang sangatlah bodoh,
namun mereka sangat kuat. Walaupun dia menyergap petualang itu di sini, semua
tidak ada artinya jika dia sendiri terbunuh.
Dia bisa saja memanggil
rekan-rekannya, namun tetap saja dia yang pertama akan mati.
Dia bisa saja menyelinap
secara perlahan untuk memberitahu mereka, namun terdapat para pengintai di sana.
Mereka akan mendapatkan semua penghargaan
untuk diri mereka sendiri.
Apa
yang harus di lakukan?
Goblin itu berdiri di sana,
tombak di tangan, berpikir sekeras yang dia mampu.
Dia tidak ingin mati. Dia
ingin mendapatkan sesuatu dari ini. Apa yang harus di lakukan? Apa yang harus
di lakukan?
Mungkin
aku harus lari?
Dia menggeleng kepalanya
dengan cepat. Tidak, itu tidak akan berhasil. Jika petualang itu menemukan dia
berlari, petualang itu akan membunuhnya. Dan jika rekan-rekannya memenangkan
pertarungan, dia yang lari tidak akan mendapatkan apapun. Tidak ada seks, tidak
ada makanan. Dia hanya akan dapat menonton semua rekannya seraya mereka
bersenang-senang di depan matanya.
Dia tidak bisa menerima itu.
Karena itu dia memutuskan untuk menunggu kesempatannya.
Dia menahan napasnya,
berusaha untuk tidak mengeluarkan suara, seraya petualang berjalan dengan
perlahan, oh begitu perlahan.
Akhirnya, kesempatannya
tiba.
“GOROBOR!!”
“GROB! GROBORB!!”
Petualang itu datang di saat
para pengintai sedang meminum anggur mereka.
Di saat dia melakukannya,
dia melempar obor di tangan kirinya tepat menuju tengah-tengah kumpulan
pengintai.
“GORB?!”
“GRBBBBROG?? GROBOOBR!”
Anggur terciprat, dan api
menyebar. Terpicu alkohol, api obor membara hingga memutih.
Goblin dapat di melihat di
dalam kegelapan, namun pengelihatan mereka terhalang oleh asap.
Satu berteriak, satu panik
dan satu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Masing-masing dari tiga
pengintai memiliki reaksi yang berbeda, namun mereka semua masih berusaha mencari tahu apa yang terjadi,
ketika petualang itu mulai beraksi.
“GROB?!”
Sebuah pukulan di tubuh
dengan perisai kecil.
Sasarannya, yang saat itu
menghadap kebelakang, terjatuh ke depan, wajah-duluan masuk ke dalam api.
“Empat.” Sang petualang bergumam,
menginjak goblin yang menggeliat terbakar.
“GRBBBR...”
“GROBROB!!”
Dua yang tersisa tersadarkan dari kepanikkan mereka.
Dengan cepat mengangkat senjata mereka untuk menyerang penyusup yang mengamuk.
Namun mereka sudah
terlambat.
Tangan kanan petualang
berkilau seraya dia mengayunkan pedangnya, menghancurkan gigi salah satu
pengintai seraya pedang itu menembus mulutnya.
“GOOBR?!”
“Lima.”
Petualang itu bahkan tidak
melihat pada goblin yang berlutut, kejang-kejang dengan otak yang mengalir dari
belakang kepalanya.
Sebagai gantinya, petualang
itu memusatkan beban tubuhnya pada goblin yang ada di kakinya, mematahkan rusuk
dan menerjang ke depan mendatangi pengintai terakhir.
“GBBOOORB?!”
Ujung perisai yang terasah terbenam pada wajah
goblin. Cipratan darah menghias
dinding gua.
Goblin itu membuang
senjatanya ke samping untuk menekan hidungnya yang hancur dan lubang matanya
dengan tangan, namun...
“Enam.”
Petualang itu mengambil
tombak pengintai, yang terjatuh di dekat kakinya, dan menusuk jantung makhluk
itu dengan tombaknya.
Pengintai terakhir kejang-kejang
dan menjadi tidak lebih dari sebuah kantung darah dengan isi tubuh yang terburai
ke tanah.
Petualang itu melempar tombaknya
layaknya sebuah sampah dan menghela.
Kemudian dengan acuh dia
mendekati mayat itu, menginjaknya, dan menarik pedang yang mencuat dari
tenggorokkan salah satu goblin yang di
bunuhnya.
Mereka
memang bodoh.
Jika goblin ini tidak bersembunyi dam menunggu kesempatannya, dia
juga tidak akan mengetahui apa yang terjadi.
Tiga melawan satu. Benar,
para pengintai itu sedang mabuk. Namun dia dapat melihat apa yang telah
terjadi.
Itulah mengapa cara yang dia
lakukan merupakan cara yang jauh
lebih baik.
Pengintai itu bermuntahkan
darah, meneriakan jeritan kematian. Di dalam hatinya, penjaga itu sangat
berbahagia melihat kejadian ini.
Baru
tahu rasa kamu, dasar kumpulan makhluk tolol.
Tidak ada sedikitpun rasa
prihatin di dalam dirinya untuk para pengintai yang telah menjadi avatar kematian.
Itulah yang menjadikan ini
kesempatannya, ketika petualang itu lelah dari pertarungan, dan punggung
menghadap belakang.
Sekarang!
Rekannya akan segera datang,
terpancing dengan keributan. Ketika mereka melihatnya mengalahkan petualang itu
setelah menyerangnya dari belakang, mereka akan memuji dirinya. Dia bahkan
dapat menyombongkan akan kisah pertarungannya di kala rekannya terbunuh.
Dengan hati penuh akan
keegoisan dan keserakahan, dia melompat tinggi. Dia mengarahkan tombaknya
kebawah, memegangnya secara terbalik.
Jika yang bisa dia dapatkan
adalah perut ataupun dada tidak akan masalah, namun jika bisa dia menginginkan
lengan atau kaki. Jika petualang ini ternyata seekor jantan, yang hanya bisa
mereka lakukan kepadanya hanya memakannya.
“—?!”
Itulah di mana kejadian itu
terjadi.
Dia tidak mengetahui apa
penyebabnya. Yang hanya dia ketahui adalah serangannya seharusnya merupakan
sebuah sergapan dari belakang, namun petualang itu menggenggam tombak dengan
kedua tangannya.
Gerakan petualang berarmor
itu terlalu cepat untuk di lihat.
Dan dalam sesaat itu, goblin
itu berusaha untuk memutuskan apakah dia harus melepas tombaknya atau melakukan
hal lainnya, dia mendapati dirinya terhantam, tombak dan tubuhnya terjatuh ke
tanah.
“GROB?!”
Dia tidak memikirkan
kemungkinan ini.
Pikirannya menjadi kosong;
dia benar-benar tidak mengetahui apa yang harus di lakukan.
“GBBOROROROBO?!”
Dia tidak dapat melakukan
tindakan yang benar di tengah-tengah kebingungan ini.
Dia merasakan rasa sakit
yang teramat dari hantaman di punggungnya, daging dan tulangnya berbunyi, dan
terlebih lagi, dia merasa sulit untuk bernapas.
Dia membuka dan menutup
mulutnya, dan tombaknya terlepas dari tangannya.
Tidak ada lagi yang tersisa
dari dirinya. Petualang itu telah menarik sebuah pedang.
Goblin itu berdiri terhuyung
dan mulai berlari mengarah pintu masuk gua secepat dia bisa—
“Tujuh.”
Bersamaan dengan pernyataan
kejam datang sebuah kejutan yang menembus dari punggung hingga dadanya, dan
kesadarannya mulai menghilang.
Kesadarannya tidak pernah
kembali.
*****
“Hrm.”
Setelah menyelesaikan tujuh
goblin, Goblin Slayer akhirnya dapat menarik napasnya.
Kamu dapat menyadari sebuah
sergapan ketika sebuah langkah kaki ekstra mendatangimu dengan berlari.
Dia mencabut pedangnya dan
mengelap darah dengan kain yang di dapatkannya dari goblin, kemudian memeriksa
mata pedangnya dan mengembalikannya ke sarungnya. Pedang ini masih dapat di
gunakan.
Dia menelusuri ujung tombak
yang dia dapatkan dari goblin dengan jarinya dan memeriksa batangnya yang
patah.
Goblin Slayer menjentikkan
lidahnya, kemudian menambahkan tombak itu di ikat pinggangnya.
Kemudian dia menendang
tangan pengintai, mematahkan jari mereka dan melepaskan pedang yang masih
tergenggam pada mayat itu.
Terdapat tiga pengintai. Dia
mengambil salah satu dengan kondisi paling bagus dan menambahkannya ke ikat
pinggangnya. Ini sudah cukup.
Dia merogoh kantung
peralatannya, mengambil air dan melepas tutupnya, kemudian meminum isinya.
Kantung air itu terbuat dari
perut kambing yang di keluarkan isi dalamnya kemudian di keringkan, dan kantung
ini mengandung campuran dari air sumur dan anggur.
Cairan dingin mengalir masuk
melalui celah helm Goblin Slayer, kemudian masuk ke dalam bibirnya, mengalir ke
dalam tenggorokannya hingga ke perut.
Akan sangat tidak baik jika
menjadi mabuk di karenakan anggur, namun sedikit rasa hangat pada tubuh akan
membuat tubuhmu tetap siaga.
“...Nggak ada totem.” Goblin
Slayer bergumam pada dirinya sendiri seraya dia menutup tutup kantung air dan
mengembalikannya ke dalam kantung peralatannya.
Dia menggeleng kepala
perlahan ketika menyadari tidak ada yang menjawabnya.
Priestess dan rekannya yang
lain—dia menggelengkan kepalanya kembali ketika memikirkan mereka—sedang tidak
berada di sana.
Mereka mempunyai rencana
mereka sendiri. Mereka harus memperhatikan kesehatan mereka sendiri. Mereka
tidak dapat selalu bersama.
Goblin Slayer bersandar pada
dinding gua dan menurunkan celah helmnya. Dia menenangkan pernapasannya. Dia
tidak mendengar adanya langkah kaki.
Akan tetapi, dia mendengar
suara daging yang sedang di kunyah. Dia dapat sedikit merasakan getaran pada punggungnya. Sangatlah
jelas apa yang sedang terjadi.
Sumber cahayanya—obor—masih
membara membakar sisa-sisa pesta para goblin pengintai. Bagus.
Dengan cepat Goblin Slayer
mengeluarkan sebuah botol dari kantung perlengkapannya dan melemparnya ke arah
yang kurang lebih benar.
Wadah tanah liat dan dinding
meledak pada saat yang bersamaan.
“GBRRROBORRRBBBG!!”
Goblin.
Bergerombolan, bagai ombak
yang mengamuk.
Namun goblin pertama yang
secara tidak sabar melompat ke depan mendapati dirinya terjatuh.
Mereka pasti terpeleset di
karenakan gemuk yang tersebar di keseluruhan lantai. Jungkir balik mereka hanya menambahkan rasa
malu. (TL Note = gemuk yang di maksud di sini itu grease, bukan gemuk badan.)
“GOROB?!”
“GOB?! GBOROROROBOGOBG?!”
Mereka berteriak, mendapati
diri mereka tertendang dan terinjak oleh rekan seperjuangan mereka, yang datang
satu persatu dari belakang mereka.
Yang lebih buruk lagi,
mereka telah menjadi mangsa obor yang membara dan terlalap oleh api.
“GOROOBOGOROOBO?!?!”
“Delapan,
sembilan....sepuluh.”
Dua terhitung dari makhluk
yang terbakar. Sedangkan satu terhitung dari dia yang telah terinjak hingga
tidak bergerak.
“Tujuh lagi. Satu tombak,
satu pedang, satu kapak, empat pentungan. Bagus.”
Tidak menghiraukan
pengorbanan akan rekan mereka, goblin lainnya menerjang ke depan, kemarahan dan
keserakahan bersinar di mata mereka.
Telah menghitung jumlah musuhnya,
Goblin Slayer menyiapkan pedangnya dan menghadapi mereka secara langsung.
“GBBBRBGGB!!”
Yang pertama mendatanginya
adalah goblin yang memegang tombak—secara harfiah ujung tombak gencaran operasi
mereka.
“Sebelas.”
Dengan santai Goblin Slayer
melempar pedangnya kepada menuju makhluk itu. Pedang itu whooshed melintasi udara busuk gua dan terbenam pada dahi goblin
dengan suara thwack, menembus
otaknya.
“GGBGGO?!”
Seraya goblin terjatuh dan
tergeletak di karenakan benturan itu, Goblin Slayer mengambil senjata yang di
pegang goblin itu.
Sebuah senjata panjang
tidaklah buruk. Kamu tidak akan bisa di kepung. Hal paling utama adalah
mengalahkan siapapun yang memiliki kekuatan yang paling besar.
Jika ada satu yang besar
berada di sini, maka prioritas utama adalah untuk mengurangi jumlah mereka,
namun untuk saat ini Goblin Slayer ingin menghindari keadaan di mana dia di
buat tidak bisa bergerak di karenakan satu pukulan.
Itu artinya langkahnya sudah
jelas.
Goblin Slayer, masih menggenggam
tombak, melesat berlari menuju kedalaman gua.
“GOROOB! GOROOBORG!!”
“GROOB!!”
Para goblin, berjumlah enam,
mengikuti Goblin Slayer dengan langkah kaki mereka yang terdengar menyedihkan.
Goblin Slayer melirik ke belakang untuk membidik, kemudian mengangkat
tombaknya.
“Dua belas.”
Tombak terbang, membentuk
sebuah garis melengkung.
Tombak itu melewati goblin
yang telah di dorong ke depan dan menghantam
goblin yang memegang kapak.
“GOOROBOG?!”
Mungkin tombak itu telah
menembus perutnya; sebuah teriakan tidak
karuan bergema di keseluruhan gua.
Tersisa lima lagi, Goblin
Slayer melempar pedang goblin pengintai dari
ikat pinggangnya. Dia sudah kehabisan waktu, dan sangat beresiko untuk berlari masuk lebih dalam. Sudah saatnya untuk
menyerang musuh.
“GOROBB!!”
“GBOR!”
Goblin dengan pedang secara
sepihak memberikan perintah kepada empat goblin lainnya dengan pentungan.
Tentu saja, ini bukanlah
sebuah aksi sok berani, ataupun di karenakan hasrat membara untuk membalas
dendam.
Mereka tidak menyukai
melihat rekan mereka terbunuh, dan mereka ingin melumat musuh di depan mereka. Namun
yang gemari goblin adalah
menyiksa para petualang dan mencuri perlengkapan mereka melebihi apapun...
“Hmph.”
Goblin Slayer mengambil satu
langkah mundur, kemudian menginjak sebuah pentungan pertama yang di ayunkan kepadanya.
“GBOROB?!”
Seraya monster itu berusaha
membebaskan senjatanya yang tertahan, Goblin Slayer menusukkan pedangnya pada
salah satu dari mereka yang melompat menerjangnya dari sebelah kanan.
Mata pedang itu menyayat
rahang makhluk itu, menembus kepalanya. Namun pedang itu tidak dapat menahan
beban tubuh goblin dan akhirnya patah.
“GOOROBOORO?!”
“Empat lagi.”
Seraya dia mengatur
genggamannya pada gagang pedang, dia menyambut pukulan pentungan dari depan
dengan perisainya. Lengan kirinya menegang. Dengan satu gerakan, dia membuat
gerakan mengayun dengan perisainya, membuat monster itu menabrak goblin yang
ada di kiri.
“GBOR?!”
“GOROBO?!”
“Berikutnya.”
Seraya kedua goblin itu
masih merintih kesakitan karena benturan itu, dia melempar gagang pedang pada makhluk
yang ada di depannya. Goblin yang panik menjatuhkan pentungannya dan berusaha
melarikan diri, namun semua sudah terlambat.
“GOBOOROGOBOGOB?!”
Satu serangan. Gagang dan
pelindung pedang mengenai masuk ke kepala goblin, meretakkan tengkoraknya, dan
monster itu menjerit.
Itu bukanlah luka kritikal,
namun itu tidaklah penting. Dia hanya
perlu menghajar goblin itu hingga mati.
Goblin Slayer memukul
makhluk itu dengan pedangnya yang patah layaknya sebuah palu.
Benturan tumpul dan pukulan
terus berlanjut hingga darah dan otak menciprat dari tengkoraknya.
Goblin Slayer menjentikkan
lidahnya dan melepaskan pedangnya, kemudian menggerakkan kakinya untuk
mengambil pentungan yang di injaknya.
“Dengan ini jadi sepuluh dan
empat. Tiga lagi...!”
Dua goblin lainnya telah
berhasil berdiri dan mendatanginya secara bersamaan.
Goblin Slayer menghadapi
salah satunya dengan perisainya, meretakkan tengkorak makhluk itu yang di mana
pentungan makhluk itu gagal mencapai Goblin Slayer.
“Dua lagi.”
Perbedaan ukuran tubuh sama
artinya dengan perbedaan jangkauan. Dan dalam pertarungan satu lawan satu,
adalah mustahil dia dapat kalah dari seekor goblin.
Tidak lama kemudian,
teriakan kematian makhluk berikutnya menggema di dalam gua.
“GOROOBOROB?!”
“GOROBOGR!!”
Goblin Terakhir dengan
pedang di tangan, tidak membuang waktu lagi dan menjerit keras dan melarikan
diri.
Untungnya bagi goblin itu,
musuhnya sedang berjalan masuk menujua gua yang lebih dalam. Jika dia berlari
keluar, kemungkinan dia tidak akan di ikuti. Cahaya menyilaukan yang di
bencinya terlihat layaknya abhati baginya sekarang. (TL Note : Abhati =
https://www.hipwee.com/list/bahasa-indonesia-itu-kaya-ini-9-kata-keren-yang-bisa-menginspirasimu/ )
Goblin itu tidak merasakan
sedikit pun rasa penyesalan karena meninggalkan temannya. Adalah kesalahan
mereka sendiri yang membuatnya berada dalam situasi berbahaya.
Dia berlari melangkahi
sisa-sisa rekan lainnya, berlari, berlari, berlari...
“Hrmph.”
Dengan santai Goblin Slayer
melepaskan pentungan berlumur otak, mendekati mayat yang tertusuk dengan
tombak.
Kapak masih berada di tangan
goblin itu. Dia mengambilnya dengan sekali gerakan dan melemparnya.
Goblin yang melarikan diri
mati dengan masih mempercayai bahwa dirinya sendiri dapat selamat.
Kapak itu menembus kepalanya
dari belakang, menghancurkan otaknya. Tubuhnya mencondong ke depan dan
terjatuh.
“Tujuh belas.”
Goblin Slayer mengambil obor
baru dari dalam
kantung perlengkapannya, menyalakannya dengan api yang masih membara di antara
sisa-sisa pesta yang berjalan.
Kemudian berputar, lebih
sigap dari sebelumnya, dan menggeledah mayat goblin yang telah dia bunuh dengan
kapak.
Dia mencari sebuah pedang.
Ketika dia menemukan, dia memasukkannya ke dalam sarung pedangnya.
“Tiga di saat penyelidikan,
satu pertemuan tidak di duga,
tiga pengintai, sepuluh sergapan. Total tujuh belas. Nggak ada tahanan. Nggak
ada totem. Nggak ada racun.” Dia bergumam pada dirinya sendiri.
Bagaimana menafsirkan ini? Tentu saja, tidak ada yang
menjawabnya, Goblin Slayer mulai berpikir.
Sarang ini berukuran kecil.
Dan kemungkinan tidak terdapat banyak goblin yang tersisa. Dan dia belum
membunuh pemimpin mereka.
“Mungkin seekor hob menjadi
pemimpin mereka.”
Akan tetapi, dia tidak
merasakan adanya kehadiran seekor hobgoblin yang mendekat.
Tidak lama bagi Goblin Slayer memahami apa
arti semua ini.
Dengan cepat dia memeriksa
semua perlengkapannya. Helm, armor, perisai, senjata. Semua bagus.
Dia memegang obor di tangan
kiri dan berjalan masuk ke dalam gua dengan langkah sigapnya.
Sarang ini cukup besar untuk
bisa menampung sepuluh makhluk atau lebih. Sarang ini memiliki persimpangan,
namun terdapat batasan akan seberapa banyak persimpangan itu.
Namun, melebihi itu semua,
adalah aroma tidak mengenakkan yang menggelitik di hidungnya yang menuntun arah
kemana Goblin Slayer pergi.
Dia berbelok beberapa kali
pada jalan bercabang dan tiba pada sebuah pintu yang membusuk.
“Ah—aduh! Sa—sakit—?!”
“GGGOROOOOBB!!”
Adalah seekor goblin besar
yang keluar dari pintu , menarik wanita itu pada rambutnya. (TL Note : di sini saya kembali pakai “wanita” dan
bukan betina lagi, karena di sini merupakan sudut pandang goblin slayer.)
Wanita itu menjerit kesakitan,
namun jika di lihat pada kondisi tubuhnya, dia sudah tidak akan mampu melawan
balik.
Beberapa helai rambutnya
terlepas, membawa sedikit dari kulit kepalanya, namun yang hanya dia dapat
lakukan hanyalah semakin menjerit.
Seraya makhluk itu menyeret wanita itu, hobgoblin
menyadari adanya seseorang yang menghalangi jalannya, dia melihat seseorang itu.
“GOROBB...”
Hobgoblin menggerutu
sesuatu, mengangkat wanita itu ke atas, dan memaparkannya di depan Goblin
Slayer.
Berbagai macam aroma
mengerikan tercium pada setiap bagian tubuh wanita itu; darah dan kotoran
bercampur menjadi satu dan mengalir di tubuhnya.
Hob itu memaparkan tubuh
wanita itu di depan tubuhnya sendiri seolah ingin membuat perhatian Goblin
Slayer teralihkan oleh mata berkaca-kaca wanita itu—tampaknya makhluk ini mengangap wanita itu sebagai perisai
daging.
“Bodoh.” Goblin Slayer
meludah. “Itu nggak akan merubah apapun.”
Pemikiran hobgoblin
sangatlah jelas.
Sebenarnya, setiap goblin akan berpikiran sama pada situasi seperti ini.
Selama dirinya sendiri
selamat, hanya itulah yang terpenting.
Makhluk itu telah berniat
untuk mengorbankan bawahannya dan melarikan diri dengan wanita itu.
Adalah hal-hal yang akan di pikirkan goblin.
“GROBO! GOBOOROGB!!”
“...”
Goblin Slayer berasumsi
bahwa makhluk ini meminta dirinya untuk menjatuhkan senjatanya, atau
membiarkannya pergi, atau semacam itu.
Hobgoblin menyeringai hina
pada Goblin Slayer, yang mengayunkan
kapak pada tangan kanannya.
Goblin Slayer melihat kepada
wanita yang di gunakan hobgoblin sebagai perisai. Dia menatap mata wanita itu. Kemudian memberikan
satu anggukkan kecil.
“Baiklah.”
Dia menarik pedang pada
pinggulnya dan menjatuhkannya. Mata hobgoblin mengikuti gerakan itu.
Goblin Slayer melompat ke depan dengan sekejap,
menendang selangkangan makhluk itu tanpa ampun.
“GGROOOOROOBOROOB?!?!”
Pada rasa sakit yang di rasakan antara kakinya, membuat monster itu meneriakan
jeritan yang memekikkan telinga. Goblin Slayer merasakan adanya sesuatu yang
pecah di antara sepatunya. (TL Note : ouch....)
Para goblin selalu penuh percaya diri.
Walaupun dia tidak pernah memiliki sedikitpun niatan untuk membiarkan dirinya
sendiri terbunuh.
“Erg—ahh!!”
“GBRGO?! GOROOBOGOROGOB?!?!”
Hobgoblin melempar wanita
itu ke samping dalam rasa sakitnya.
Helm baja itu melihat tanpa ekspresi ke bawah pada makhluk itu.
Kemudian Goblin Slayer
mengambil pedangnya, memegangnya secara terbalik, menahan pundak makhluk itu
dengan kakinya, dan membenamkan pedang pada tujuannya.
“GOOBOR?!”
Hanya terdengar satu
rintihan tidak jelas.
Pedang itu berdiri tegak pada tengkorak makhluk itu. Goblin Slayer memberikan
sebuah koyakkan pada pedangnya.
Pedang itu memotong tulang
belakang, dan hob itu memberikan satu kejang-kejang hebat hingga akhirnya
berhenti bergerak.
“Delapan belas... Kamu masih
hidup?”
Wanita yang terbuang, kejang-kejang.
Bibirnya bergetar, dia mmengucap “eh” dan “ss”.
“Aku mengerti.”
Goblin Slayer merogoh isi
kantung perlengkapannya, mengeluarkan sehelai
selimut. Menutupi tubuh wanita itu dengan selimut itu, dan setelah semua
tubuhnya yang ternodai
tertutup, dia mengangkatnya layaknya sebuah barang.
Wanita itu bergumam sesuatu
dengan sangat pelan, yang dimana Goblin Slayer menjawab, “Aku mengerti,” dan
mengangguk.
“Aku dapat tombaknya,” dia
berkata. “Batangnya sudah patah, tapi matanya masih ada.”
Goblin Slayer berjalan tanpa
suara keluar dari gua.
Tangisan pilu membebani
punggungnya.
1 Comments
hmm bukannya sandranya ada tiga? yg dua masih hidup sedangkan yg satu udh mati? well mungkin nanti si GS bakal balik lagi.
BalasHapusmoga ajj nanti ada sudut pandangnya petualang terkuat di kota, yaitu si petualang tombak.
thnks mimin zerard untuk terjemahan dan updatenya... ditunggu lanjutannya ya~ ( ^o^)
Posting Komentar