FESTIVAL PANEN MEMBAWA MIMPI
(Translater : Zerard)
Pew pew! Langit pagi terisi penuh
dengan asap berwarna-warni yang mengambang perlahan.
Itu
pastilah perbuatan wizard yang di sewa untuk melakukan acara kembang api. Gemilang warna menggambarkan kemampuan
mereka.
Segala
hal akan sangat sibuk walaupun masih sepagi ini. Keramaian itu bahkan terdengar hingga ke kebun, yang
berjarak cukup jauh dari kota, melintasi telinga Gadis Sapi.
Cuacanya
begitu indah, dan ini adalah hari festival—festival panen, festival musim gugur.
Hatinya
begitu ringan, yang
berdansa dalam dadanya. Dia sangat bersemangat, begitu riang gembira hingga
tidak bisa duduk diam.
“Ooohh...
Ummm... Ohhh...” (TL note : insert hentai sound here, hehehe.... *wink~)
Atau
paling tidak, seharusnya itulah yang dia rasakan.
Namun
terdapat alasan mengapa dia berada di kamarnya dengan masih memakai pakaian
dalam, mengeluh.
Lemari
kecilnya
terbuka, baju-baju bergeletakkan di ruangan dari pintu hingga ke kasur. Hampir
tidak ada tempat untuk berjalan.
Dan
di tengah itu semua, di situlah Gadis Sapi berjongkok.
Rambutnya
berantakan. Setelah semua jerih payahnya untuk meluruskannya, sekarang dia
harus menyisir ulang kembali.
Tapi
itu hanyalah permasalahan kecil.
Dia
tidak begitu sering menggunakan rias dandan. Dia mungkin hanya akan meluruskan
rambutnya, gunakan sedikit bedak dan sedikit pemoles pipi, hanya itu saja.
Oleh
karena itu permasalahnya adalah—
“Aku
nggak tahu harus pakai apa!”
Ini
sangatlah penting.
Apakah
gaun akan bagus? Atau mungkin dia harus memakai pakaian yang lebih santai? Atau
haruskah dia memakai yang lebih berani?
“Nggak
bisa pakai baju kerjaku... Atau bisa? Yang sederhana dan santai?
Ah,
namun satu hal, tepat satu hal yang sangat pasti.
“Dia pasti bakal berpakaian yang seperti
biasanya!”
Armor
kulit kotor dan helm murahan, membawa pedang yang tidak panjang dan tidak
pendek, dengan perisai bulat terikat di lengannya.
Pria
itu akan menggunakan pakaian normalnya (?), dan Gadis Sapi dengan pakaiannya,
dan seperti itulah mereka akan pergi menuju festival bersama. Mereka akan pergi
menuju festival bersama!
Sementara
dia menggenggam kepalanya dengan sebelah tangan, baju kerja telah di lempar ke
samping. Dia melemparnya masuk ke dalam keranjang.
Dadah.
Pakaian
lainnya telah di kumpulkan sedikit demi sedikit untuk
hari liburnya.
Namun
tidak satupun dari itu semua yang terlihat pantas. Tidak ada yang bisa dia
kenakan di saat dia sangat membutuhkannya.
Tragisnya,
dia juga tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk hal-hal setiap hari seperti ini. Levelnya masih terlalu
rendah.
Sudah
jelas terlambat untuk menyesal, tapi dia berharap dia mencoba untuk lebih modis
sesekali.
“Mungkin...
Mungkin aku nggak perlu mengkhawatirkan soal pakaian dalam...”
—Bukan! Kamu perlu memutuskan
pakaianmu, nggak usah pedulikan pakaian dalam! Argh, aku jadi bingung!
Dia
mengingat pernah mendengar bahwa jika kamu sedang bingung seperti ini, hal yang
terpenting adalah untuk tidak menunjukkannya.
Mengeluarkan
sedikit jeritan, dia
mengambil sebuah tumpukkan busana satu persatu, merasa tidak cocok, dan
membuangnya ke samping.
Kemudian
dia berpikir jika benda yang baru saja di buangnya mungkinlah yang paling
cocok, mengambilnya lagi, dan mendekatkannya dekat dada, hanya untuk di buang
sekali lagi.
Kencannya
dengan dia adalah di pagi hari. Semua kegelisahan ini membuang waktu yang
berharga.
Dia
begitu teralihkan dengan rasa gelisah ini hingga dia tidak menyadari pamannya
mengetuk pintu.
“...Ahem.
Permisi. Apa ini waktu yang pas?”
“Oh!
Kya! Uh...oh... Ayahh—maksudku, paman?!”
Dia
terjun menuju kasurnya dan melipatkan selimut untuk menutupi dirinya.
Ketika
dia memeriksa, pintunya masih tertutup. Dia meletakkan tanganya di dadanya yang
ranum untuk menenangkan hatinya yang berdegup kencang.
“O-oke.
Masuk.”
“Maafkan
aku. Apa...? Apa-apaan ini semua?”
Hela
nafas paman tidak bisa di salahkan seraya dia memasuki ruangan.
Gadis
sapi tidak berusaha mencari alasan, hanya mengalihkan pandangannya dari tumpukan
berantakan dengan malu.
“Berencana
membuka toko baju...?”
“Ha...Ha-ha-ha.”
Dia
menggaruk pipinya dengan gerakan malu terhadap pamannya yang tampak sedikit
jengkel.
“....Pastikan
kamu bersihkan.” Paman berkata. Dia tidak perlu menambahkan hal lainnya.
“Ngomong-ngomong, Aku...hm. Sekarang waktu yang bagus. Aku punya sesuatu
untukmu.”
“Huh?
Apa itu?”
Menjawab
respon Gadis Sapi yang kebingungan, Paman memberikan sebuah gaun biru berkilau. Warna cerah pakaian itu di
dekorasi dengan sulaman dan renda.
Ekspresi
pamannya sulit untuk di jelaskan, terkecuali untuk pantulan murung pada matanya.
“Adikku...ibumu
menggunakan ini saat seumuran denganmu.”
“Oh...!”
Gadis
Sapi berpikir bahwa gaun ini begitu cantik. Dia mengambilnya dan menggenggamnya untuk
sementara di
depannya, untuk melihat bentuknya.
“Apa
boleh aku pakai? Apa akan kelihatan bagus saat ku pakai...?”
“Pasti
sempurna,” pamanya berkata. “Ibumu mempunyai rambut panjang, tapi selain itu
kalian bagai pinang di belah dua.”
“Be-benar.
Benar! Aku akan coba.”
Mama pakai ini? Apa aku ...mirip
dengannya?
Perasaan
yang sulit di jelaskan bersemi di kala dia memikirkan itu, dan dia memeluk gaun
itu dengan erat.
“Hati-hati,
nanti kusut.”
“Oh,
be-benar... Harus hati-hati. Tapi... Hee-hee-hee!”
Dia
telah membekamnya di dadanya yang besar, dan sekarang dengan cepat dia merapikannya
lagi agar terlihat tetap bagus.
Akan
tetapi, senyum pada wajahnya, tidak bisa di tahannya. Dia mengucapkan kalimat
berikutnya dengan sungguh-sungguh.
“Terima
kasih, Paman!”
Paman
berkedip dan menatap langit-langit selama beberapa detik sebelum menggeleng
kepalanya.
“...Itu
bukanlah apa-apa. Nggak usah di pikirkan.” Dan kemudian wajah masamnya sedikit melembut. “Lagipula, itu
milik ibumu. Sekarang jadi milikmu. Kenakan dengan cinta.”
“Pasti!
Aku akan menjaganya.”
Seraya
paman menutup pintu, pamannya memperingati Gadis Sapi agar tidak terburu-buru
dan tersandung gaunnya, yang di mana Gadis Sapi merespon dari dengan segenap nafasnya,
“Nggak akan!”
Kemudian
dia melempar selimut yang menutupinya dan mencoba gaun ibunya.
Rok
kepuh terasa sedikit asing bagi
gadis yang sering menggunakan pakaian kebun. (TL Note : kepuh =
menggelembung)
Namun
sensasi asing ini juga membawa sebuah fakta bahwa dia telah keluar dari
rutinitasnya, dan itu membuatnya bersemangat.
Dia
mengenakan sebuah topi dengan pita besar untuk menemani gaunnya.
Ini sudah cukup!
Dia
berputar memeriksa dengan cepat penampilannya. Tidak terdapat cermin untuk
melihatnya—tetapi juga, seorang gadis tidak mungkin memiliki segalanya.
Satu-satunya
permasalahan adalah sepatunya, yang kurang bergaya...
Tapi ini cukup untuk membuatku menjadi wanita
yang pantas, kok!
“Baiklah,
ayo!”
Dia
membuka pintu. Namun dia hanya melihat pamannya menunggu di dapur.
Pamannya
telah mengeluarkan susu dan terlihat seperti mengerjakan sesuatu.
“Paman,
ini hari festival. Paman nggak pergi keluar...?”
“Aku
sudah terlalu tua untuk hal semacam ini. Aku akan tinggal di sini membuat apa
namanya—es krim.” Paman telah belajar membuat makanan dingin itu, namun
mengerutkan alisnya seraya bibirnya mengucapkan nama yang asing. “Gimana
denganmu? Bakal pergi keluar seharian?”
“Enggak. Gimana kalau paman perlu
keluar? Kita nggak bisa biarkan kebunnya tanpa orang.”
“Begitukah?”
Paman bergumam seraya Gadis Sapi melambai pergi.
Gadis
sapi terlihat sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi...
“Sampai
nanti!”
“Mm.
Sampai nanti. Hati-hati.”
Gadis
Sapi telah kehabisan waktu. Dengan cepat dia pergi keluar pintu.
Langit
yang
begitu biru, asap
dari kembang api memudar, matahari musim gugur menyinari dari balik bukit, dan angin yang bertiup mesra.
Dan
di sanalah dia, berdiri di terik matahari, memeriksa sekitaran seperti yang
selalu dia lakukan.
Seperti
yang Gadis Sapi duga, dia menggunakan perlengkapan biasanya. Armor kotor, helm
murahan, pedang dengan panjang aneh, dan perisai bundar.
Ah
tapi—
Aku berbeda hari ini!
“Hey!
Maaf membuatmu menunggu.”
“Nggak
kok.”
Gadis
Sapi melambai padanya, mencoba untuk bersikap seperti biasanya.
Goblin
Slayer membalasnya dengan jawaban datar seperti biasanya, kemudian memiringkan
kepalanya berpikir sebelum menambahkan. “Aku belum menunggu lama.”
“Oh
yeah?”
“Ya.”
“Kalau
begitu, ayo!”
“Ya.”
Dia
mengangguk, kemudian bersiap untuk pergi di depannya mendahului dengan langkah
teratur.
Namun
sebelum dia bisa melakukannya, Gadis Sapi berputar dan meraih sarung tangan
kulit Goblin Slayer.
“Erk...”
“Di
sana bakalan ramai. Kamu nggak ingin kita terpisah, kan?”
Bahkan
bagi Gadis Sapi sendiri, suaranya terdengar begitu palsu. Dia berharap agar
suaranya tidak bergetar.
Mungkin
sarung tangan Goblin Slayer yang membuatnya tidak merasakan denyut nadi yang
berdetak kencang pada Gadis Sapi....
Sulit
untuk bisa mengetahui apakah pria ini menyadari perasaan Gadis Sapi. bingung, dia berkata. “Mungkin memang
ramai...di kota.”
“Ya-yah,
nggak ada salahnya bersiap-siap.” Gadis Sapi mengalihkan lirikannya dan
menggaruk pipinya dengan tangannya yang bebas. Dia dapat merasakan rasa hangat
pada ujung jarinya. Wajahnya
pastilah terlihat begitu merah. “Maksudku, kita harus—terbiasa dengan ini.” Dia
menarik topinya ke bawah agar Goblin Slayer tidak dapat melihat pipinyaa yang
memerah. Dengan lembut Gadis Sapi mengatur pegangan pada tangan Goblin Slayer.
“Karena aku—aku belum terbiasa.”
“Aku
mengerti.” Dia mengangguk. “Itu memang penting.”
Gadis
Sapi mengangguk juga, dan berjalan berdampingan dengan bergandeng tangan.
“....H-hei.”
“Kenapa?”
“Uh,
menurutmu—“ Menatap ke depan, Gadis Sapi bertanya sesuatu yang ingin sekali dia
tanyakan. “Bajuku—maksudku...gimana menurutmu?”
“...”
Merupakan
jalan yang sama yang selalu mereka lewati. Pemandangan yang sama yang selalu
mereka lihat.
Pria
yang sama. Gadis yang berbeda. Bergandengan.
Keheningan
yang sama yang selalu terjadi ketika dia berpikir. Kemudian—
“Baju
itu cocok untukmu, paling nggak itu menurutku.”
Ini
sudahlah cukup untuk membuat langkah Gadis Sapi menjadi lebih ringan di banding
udara.
“...Hee-hee-hee!”
Gadis
Sapi merasa dirinya melayang di langit.
*****
Merupakan
kericuhan suara.
Teriakan
terompet, genderang gendang, seruling bernyanyi, langkah kaki dan tawa yang
mengisi jalanan.
Penjaga
toko menarik pelanggan, atraksi jalanan berteriak, dan suara khalayak yang
berlalu lalang layaknya sebuah gelombang.
Hawanya terasa begitu jelas bahkan sebelum mereka mencapai
gerbang kota, tetapi di dalam kota merupakan pemandangan yang sangat berbeda.
“Aku
tahu mereka melakukan ini setiap tahun,” Gadis Sapi berkata, menggenggam sarung
tangan pria itu dengan erat, masih tersipu malu, “tapi ini selalu menakjubkan.”
“Ya.”
Helmnya
bergerak merespon.
Hari
ini, perlengkapan anehnya tidak terlalu menonjol. Karena, di manapun mereka
melihat, orang-orang berdansa di jalanan dan menunjukkan sebuah pertunjukkan.
Dan tidak sedikit petualang yang berkunjung yang tidak melepas perlengkapannya.
Lain
halnya, adalah Gadis Sapi yang menarik semua perhatian.
Seorang
wanita muda elegan bergenggaman tangan dengan petualang dengan helm dan armor
kotor. Mata yang penasaran mengikuti mereka satu persatu.
Kira-kira aku terlihat seperti
apa bagi mereka.
Gadis
Sapi menikmati pikirannya yang terlintas sejenak.
Mungkin
mereka mengira bahwa
dia adalah golongan ningrat
yang membaur dengan masyarakat, dan pria itu adalah penjaganya.
Nggak... Aku rasa itu sedikit
berlebihan.
Dia
merupakan keponakan—gadis yang di adopsi—oleh pemilik kebun lokal, yang
memiliki tanah atas namanya yang cukup luas.
Dan
rekannya cukup di kenal sebagai veteran di daerah sekitar sini, seorang
petualang tingkat Silver.
Tentu
saja mereka semua tahu bahwa gadis itu bukanlah bangsawan muda, akan tetapi...
“Aku
rasa aku tahu.”
“Soal
apa?”
Gadis
Sapi tertawa kecil mendengar helm yang bertanya ini, kemudian Gadis Sapi membuat
gerakan untuk meluruskan topinya.
“Kamu
mau bawa aku kemana dulu?”
“Hm.”
Goblin
Slayer menatap langit tidak bersuara, berpikir. Lautan masyarakat berlalu
melewati mereka seraya Gadis Sapi dan Goblin Slayer berdiri diam seperti batu
di dalam sungai.
Mereka
tidak menghalangi jalan orang lain. Gadis Sapi menunggu jawabannya, tersenyum.
Setelah
beberapa saat, pria itu bergumam seolah baru teringat:
“Aku
belum sarapan pagi.”
“Oh.”
Gadis berkata, meletakkan tangannya di depan mulutnya yang terbuka.
Dia
benar.
Gadis
Sapi begitu mencemaskan akan pakaian dan persiapannya hingga terlupakan sarapan
pagi.
Goblin
Slayer menatap Gadis Sapi seraya gadis itu menutupi matanya.
“Mau
beli sesuatu dari kedai?”
“...Yeah.
kedengarannya bagus.” Gadis setuju.
Gadis
Sapi merasa tidak enak dengan pamannya, namun itu sudah terlambat sekarang.
Dia berada di sana dengan Gadis Sapi. Dia
akan meminta maaf di mulai dari Goblin Slayer.
“...Maaf.
aku jadi...benar-benar lupa.”
“Nggak
apa-apa.” Dia menggeleng kepala perlahan. Kemudian, setelah beberapa saat, dia
menambahkan, “Hal seperti ini pasti terjadi.”
Gadis
Sapi menikmati melihat-lihat ke dalam kedai
dan berpikir tentang apa yang akan mereka makan. Tapi pada akhirnya, dia tidak
dapat menahan rasa laparnya lagi.
Sarapan
pagi yang sudah telat mereka dapatkan dari salah satu vendor sangatlah mahal
dengan apa yang mereka dapat. Babi goreng yang di potong tebal dengan kentang.
Itu saja.
Namun
makanan itu sangatlah lezat.
“Oh!”
dia berkata, tertawa. “Ini daging babi kita!”
“Benarkah?”
dia menjawab, memasukkan makanan melalui celah helmnya. “Begitu.”
Kentang
berminyak dan asin membawa rasa nikmat pada lidah Gadis Sapi.
Gadis
Sapi menyantap sarapan paginya, meniup makanannya agar tidak terbakar dalam
mulutnya.
Goblin
Slayer memakan dengan tenang, tanpa suara, perlahan—seperti yang selalu dia
lakukan.
Kemudian
mereka memecahkan piring tanpa glasir sebelum beranjak pergi. (TL Note : Glasir = https://kbbi.web.id/glasir )
Keriuhan
suara ceria memanggil mereka dari setiap sisi.
“Prem brendi buat pasangan sejoli? Meleleh
di mulutmu!” Teriak penjual minuman. Gadis Sapi berhenti di sana.
“Gimana
menurutmu?” Goblin Slayer bertanya, menunjuk. “Kamu mau minum?” Yah, karena
mereka sedang berada di sini...
Mereka
di suguhkan dua gelas dengan aroma samar
minuman buah manis dalam sebuah wadah terbuat dari tanah.
Gadis
Sapi menyeruput minuman miliknya dengan anggun. Akan tetapi, Goblin Slayer, meminumnya dengan sekali
teguk.
“Apa
kepalamu nggak sakit kalau kamu minum sekaligus?”
“Nggak
masalah,” dia berkata dengan serius. “ Brendi
membuatmu terjaga.”
“...Bukannya
itu sama saja dengan kamu bilang kalau kamu lagi nggak enak badan sekarang?”
“Itu
bukanlah maksudku.”
“Oh,
yang benar?” Gadis Sapi merasakan sedikit nada yang terpojok dari dalam suara
pria itu dan tertawa kecil.
Gadis
Sapi hanyalah menggodanya, hanya bercanda. Jika memang benar dia sedang merasa
sakit, Gadis Sapi tentunya akan menyadarinya. Dan kemudian dia akan menyeret
Goblin Slayer kembali ke kasurnya dan menyuruhnya tidur.
Festivalnya
sangat menyenangkan, ya—yang menguatkan alasannya agar dia tidak merusak
kesenangan itu dengan terlalu memaksa Goblin Slayer.
“Kamu
benar-benar sampai larut tadi malam. Apa yang kamu lakukan?”
“Menyelesaikan
sesuatu yang harus di lakukan.”
Gadis
Sapi sudah sangat
terbiasa dengan penjelasan yang tidak jelas ini sekarang. Namun dia tidak membahasnya
lebih lanjut, hanya berkata, “Huh.”
Kehangatan
tersebar dalam dadanya, dan dia mulai merasa riang. Dia tidak yakin apakah ini karena
pengaruh alkohol.
“Aku
kira kamu sudah tidur,” Goblin Slayer berkata
dengan nada tenang
seperti biasa. Apakah dia menyadari bagaimana perasaan Gadis Sapi sekarang?
“Apa kamu masih bangun saat itu?”
“Oh,
haha... Aku cuma...nggak bisa tidur.”
“Begitu.”
Goblin
Slayer juga tidak membahasnya lebih lanjut. Bersama mereka berbaur kembali
menuju keramaian festival.
Waktu
tidak pernah cukup.
Seorang
elf melempar piring-piring ke udara dan menembaknya hingga menggundang tepuk
tangan. Seorang dwarf mendirikan sebuah kedai menjual pedang yang berukiran
indah yang katanya adalah buatannya sendiri. Seorang rhea pemusik mengayunkan
melodi untuk di dengar semua orang.
Kemanapun
mereka pergi, kota yang tidak asing ini mempunyai sesuatu yang baru untuk di
lihat.
Mereka
telah berjalan keliling selama ini hingga ketika tiba-tiba dia berhenti.
“Huh?
Kenapa?”
Gadis
Sapi mengintip menuju wajahnya, tapi tentu saja, tidak bisa melihat ekspresi
apa yang ada di sana.
Dia
hanya bergumam, “Hm.” Kemudian—
“....Tunggu
sebentar.”
“Yah,
ok, tapi...”
Goblin
Slayer melepaskan genggamannya dari dia.
Tiba-tiba
sendiri, Gadis Sapi melakukan apa yang selalu dia lakukan dan bersandar pada
sebuah dinding seraya menunggu dia.
Dia
mengangkat tangannya yang sekarang kosong ke depan wajahnya dan menghela lembut
di depannya. Dia tidaklah kesepian ataupun marah. Namun seraya dia melihat
keramaian para petualang dan pengelana berlalu lalang, sebuah pikiran terlintas
di benaknya.
Hubungan
akan dia pergi, dan Gadis Sapi menunggu kemungkinan tidak akan berubah.
Seperti
inilah apa yang akan selalu terjadi.
Mereka
telah melihat banyak hal yang berbeda.
Sepuluh
tahun.
Sepuluh
tahun semenjak dia telah pergi dari rumahnya dan desa mereka telah hancur.
Lima
tahun semenjak dia bertemu kembali dengan pria itu, yang menjadi petualang.
Dia
tidak mengetahui akan bagaimana dia menghabiskan waktunya selama lima tahun
setelah mereka berpisah. Dia tidak mengetahui apapun tentang dirinya sebelum
pria ini menjadi Goblin Slayer. Dia bahkan tidak mengetahui apa yang terjadi di
desa mereka. Dia mendengar ceritanya, tentu saja, namun itu cerita dari orang
lain.
Dia
mengingat mengenggam tangan pamannya seraya peti mati kosong di kubur di tanah.
Namun
hanya itu saja.
Dia
tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi, kenapa, atau kemana semua orang
pergi.
Apakah
ada kebakaran? Bagaimana dengan ladangnya? Binatangnya? Temannya? Ayah dan
ibunya.
Bagaimana
dengan sarang burung yang secara sembunyi-sembunyi dia rawat, harta karung yang
dia sembunyikan di bawah sebuah pohon?
Celemek
ibunya, yang di mana telah di janjikan akan di berikan kepadanya setelah dia
dewasa? Sepatu favoritnya? Gelas yang dia terima pada hari ulang tahunnya,
dengan warna hijau yang telah memudar walaupun dia sudah merawatnya dengan
baik.
Satu
persatu, kenangan berharga itu kembali kepadanya, yang sekarang hampir terlihat
seperti sebuah hantu.
Apa
yang tersisa dari dirinya? Satu kotak kecil, dengan benda-benda yang dia
temukan di kota pada hari itu dan berniat ingin membawanya.
Jika—ini
hanyalah imajinasinya saja. Namun jika.
Jika
dia tidak meninggalkan desanya hari itu, apa yang akan terjadi padanya? Apakah
dia akan melihat hal yang sama dengan pria ini dan selamat?
Atau
dia akan mati dan meninggalkan pria ini sendiri? Dan jika memang seperti itu,
apakah pria ini akan membalas dendam demi dirinya?
Atau...
Bagaimana kalau dia mati, dan hanya
Gadis Sapi satu-satunya yang berhasil selamat?
Pikiran yang mengerikan
sekali.
Pada
saat itu dia mendengar, “Maaf membuatmu menunggu.” Armor yang tidak asing
muncul di depannya dari dalam keramaian.
“Nggak
apa-apa”
Dia
menggeleng kepalanya seraya meluruskan topinya. Goblin Slayer mengulurkan
sebuah benda kecil kepadanya.
“Apa
ini?” Gadis Sapi berkata, melihat benda itu.
“Saat
kita kecil...di desa,” dia bergumam, ”kamu suka benda-benda seperti ini.”
Goblin
Slayer memegang sebuah cincin kecil buatan tangan.
Cincin
itu berwarna silver—atau paling todak terlihat seperti itu. Gadis Sapi tahu
bahwa itu adalah silver imitasi, vendor tepi jalan telah menguras uang sangu
sebagian besar anak kecil.
Dengan
kata lain, hanya sebuah mainan.
Gadis
Sapi mendapati dirinya tersenyum. Kemudian tertawa.
“Ha-ha-ha!
...Itu saat aku
masih kecil.”
“Benarkah?”
dia berkata dengan suara terpotong.
Dan kemudian, “Aku rasa iya.”
“Yeah.”
Gadis
mengangguk. Mengangguk, dan mengenakan cincin tersebut.
Itu
mungkin hanyalah buatan tangan, dan sangat murahan. Cincin itu bahkan tidak
mempunyai permata palsu. Hanyalah sebuah lingkaran besi.
Namun
cincin itu menangkap cahaya matahari dan berkelip, cukup terang hingga
membuatnya menyipitkan mata.
“...Tapi,”
dia berbisik. “Aku masih suka.”
“....Benarkah?”
“Yeah.”
“Terima
kasih,” Gadis Sapi berhasil mengucapkannya, dan kemudian dia memasukkan cincin
itu ke dalam kantung gaunnya.
Gadis
Sapi terus memegang cincin itu dengan tangan kirinya agar tidak
hillang—sedangkan tangan kanan, tentu saja, menggenggam pria itu.
“Ayo?”
Gadis
Sapi tersenyum dan melangkah, bergandengan.
Dia
tidaklah dapat melihat wajah di balik helmnya. Tapi...
....pria
ini pastilah tersenyum juga. Dia yakin akan hal itu.
Dia
percaya bahwa pria ini tersenyum.
*****
Hampir
tengah hari seketika sebuah
suara memanggil mereka berdua.
“Yah,
siapa lagi kalau bukan pria tua pembunuh gob!” (TL Note = yang manggil di sini
meneriakinya “Gob Killer”)
Gadis
Sapi memutar lehernya untuk melihat siapa itu seraya dia berpikir apa yang
harus di lakukan terhadap cincinnya.
Gadis
Sapi tidak mengenali suara bernada tinggi, namun sang pemanggilpun terlihat
tidak mengenali dia juga.
Helm
itu berputar dan melihat Bocah Scout, yang menunjuk kepada mereka.
Di
sampingnya adalah Gadis Druid rhea, Rookie Warrior, dan Apprentice Priestess.
Gadis
Sapi menyadari bahwa para petualang mudapun menghabiskan waktu libur mereka
bersama.
“Woah,
bro, apa kamu lagi kencan sama gadis kebun?!”
“Hei,
kamu harus lebih sopan sama yang lebih tua!”
Rookie
Warrior terdengar sangat tertarik, namun Apprentice Priestess menarik lengan
bajunya.
Pembunuh gob? Anak kecil
memang suka kasih julukan yang aneh. Gadis Sapi tersenyum.
Gadis
Sapi menyeringai menuju pada helm itu dengan gerakan yang penuh arti.
“Kencan?
Gimana ya. Bagaimana menurutmu?”
“Tunggu
dulu.” Goblin Slayer berkata datar. “Aku baru dua puluh tahun.”
Senyum
Gadis Sapi melebar. Pria ini tidak menyangkalnya.
“Apaaaaaa?!”
Para
bocah mengeluarkan jeritan aneh, dan akhirnya Gadis Sapi tidak dapat menahan
dirinya lagi.
“Memang
benar. Tapi nggak ada yang tahu karena dia selalu memakai helm itu.”
“...Ini
tindakan yang di perlukan.”
Suara
Goblin Slayer terdengar sedikit kasar
dari biasanya.
Dia
cemberut. Hari Gadis Sapi semakin
lama semakin membaik.
Semua
orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui apa yang di pikirkan pria ini di
karenakan mereka tidak dapat melihat wajahnya. Tapi bagi seseorang yang telah
lama mengenalnya seperti Gadis Sapi, ini sangatlah mudah.
“Um,
apa kamu...bisa bantu kami?” Apprentice Priestess bertanya dengan ragu.
Vwip. Helm baja Goblin Slayer
memutar ke arahnya.
“Apa
goblin?”
“Bukan,
bukan sama sekali. Umm...”
“Oh...bukan
goblin?”
Jawaban
singkatnya membuat Gadis Druid melirik gelisah.
Di
sampingnya, Bocah Scout berkata, “Kamu itu dangkal banget sih bro!” dan tertawa
terbahak-bahak.
“Nggak mungkin ada goblin yang akan muncul di sini!”
“Mereka
akan muncul. “
“Huh?!”
“Goblin
akan datang.”
“Beneran?”
Ya. Apa? Nggak mungkin! Percakapan mereka berlangsung.
Gadis Sapi memperhatikan mereka dengan sebuah rasa terhibur tidak berdaya.
“Biarkan
aja
mereka, namanya juga laki-laki.
Apa kalian berdua membutuhkan sesuatu?”
Gadis
Sapi menunduk hingga matanya sejajar dengan Gadis Druid dan Apprentice
Priestess.
Mereka
saling menatap satu sama lain, kemudian pada dada Gadis Sapi, yang tertekan dengan lengannya yang
menopang di bawahnya.
Kemudian
mereka melihat pada dada mereka sendiri dan kemudian menghela. Sangat mudah
untuk di mengerti.
“Jangan
khawatir. Kalian akan tumbuh terus.”
“....Itu
nggak terlalu meyakinkan.”
“Yeah,
tapi tetap saja...”
Wajah
mereka berdua menjadi merah dan resah,
menatap lantai.
Gadis
Sapi tersenyum dalam hatinya seraya mengelus kepala mereka berdua.
“Apa
yang sedang kalian pikirkan?”
Para
gadis mengangguk, kemudian melirik ke belakang dan menunjuk pada pintu masuk
sebuah kedai di
belakang mereka.
Terdapat
keramaian besar yang berkumpul di sana, dan di tengah lingkaran keramaian itu
terdapat sebuah meja kecil. Di atas meja tersebut terdapat sebuah patung katak
dengan mulut yang terbuka.
Seseorang
yang mabuk sedang berdiri di atas sebuah garis putih yang tergambar di jalanan,
menggengam beberapa
bola silver.
“Hraah!
Yaah! Haaah!”
Dia
melempar bola tersebut satu persatu, tapi tidak satupun berhasil. Setiap
lemparan terpantul pada meja dan terjatuh ke lantai.
Sang
pemilik toko berdiri di samping patung tersebut mengumpulkan bola dengan
gerakan terlatih dan berkata dengan suara lantang.
“Silahkan
di coba, sepuluh bola untuk satu keping koin perunggu! Kena satu, maka anda akan mendapatkan segelas bir putih! Atau sirup lemon untuk bocah
dan gadis!”
“Bolanya
nggak mau masuk,” Bocah Scout berkata dengan jengkel.
Dia
telah menjalani latihan dengan party Heavy Warrior, namun dia masihlah tetap
anak kecil. Lima belas tahun adalah umur minimum untuk menjadi petualang, dan itu
sudahlah beberapa tahun di
depan untuk bocah ini, namun dia masihlah belum dua puluh tahun.
Gadis
Sapi merasa bahwa bocah ini sudah berbohong akan umurnya, namun dia tidak
mempunyai keinginan untuk membahasnya.
“Yeah.
Aku rasa bola silver itu sudah di akali.”
“Sudah,
sudah. Itu nggak lucu.”
Sang
Rookie
Warrior ini berbicara
separuh bercanda
seraya dia memberikan sebuah koin perunggu, dan pemilik toko merespon dengan
senyuman dan sebuah tanda bahwa dia sudah pernah mengalami percakapan seperti
ini sebelumnya.
Kemudian kedua bocah melempar bola
satu persatu, namun bola itu tidak mengenai satupun dari sasaran.
Sebuah
helaan hebat...datang dari para gadis.
“...Mereka
terlalu mudah termakan hal-hal seperti ini.”
“Laki-laki
memang payah, huh?”
Para
gadis pun tidaklah dewasa, namun mereka mencoba berpura-pura dewasa.
Gadis
Sapi mendengar keluhan para gadis dengan sebuah “Uh-huh, uh-huh.”
Laki-laki. Mereka berusaha
terlihat keren...
“...dan
perempuan mengharapkan mereka seperti itu.” Dia berkata, melirik pada teman
lamanya.
Ekspresi
di balik helm baja adalah, seperti biasa, mustahil untuk di lihat akan tetapi
mudah untuk di tebak.
“Kenapa?”
“Kasih
kami demonstrasi?”
“Hrm.”
Goblin
Slayer menatap keempat anak kecil itu dan Gadis Sapi.
Kemudian
dengan anggukan kecil, dia mengeluarkan sebuah koin perunggu dari kantungnya
dan pergi menuju pemilik toko.
“Penjaga
toko.”
“Ya
pak!”
“Tolong
satu.”
Apa
yang terjadi berikutnya terlalu cepat untuk di ikuti sebuah mata.
Dia
menggulung bola di atas telapak tangannya,
kemudian melemparnya masuk ke dalam mulut katak.
Tidak
ada yang aneh dalam tekhniknya.
Dia
hanya membidik. Namun sangat tepat, dan cepat.
Satu
masuk. Dua. Tiga, empat. Kemudian lima dan enam.
Selama
beberapa detik bola menggelinding masuk ke dalam patung katak yang menciptakan
suara seperti ribbit.
“Wow!”
“Whoa...”
Rasa
kagum yang tergambar pada wajah anak-anak sangatlah mudah di lihat.
Dan
tidak hanya anak kecil.
Para
penonton pun ooohhh kagum dan mulai
bertepuk tangan.
Heh! Gadis Sapi membusungkan dada besarnya
seolah seperti dialah yang telah mempertunjukkan aksi yang memukau.
Orang-orang
mengira pria ini hanyalah memiliki kemampuan untuk membasmi goblin saja.
Namun
itu tidaklah benar. Terdapat banyak hal yang lebih dari sekedar itu.
“Aduhhh,
tuan, kamu nggak bisa menahan diri sedikit? Untuk diriku?”
“Nggak.”
Seraya
dia menjawab dengan serius keluhan dari penjaga toko, Gadis Sapi memberikan
tepukkan menyelemati pada pundak Goblin Slayer.
“Kamu
selalu jago dalam permainan seperti ini, bahkan waktu kita masih kecil.”
“Ya.”
Terdapat
sebuah toko juga di desa mereka, walaupun patungnya tidak berbentuk katak,
melainkan seorang wanita dengan kendi air. Pada setiap festival, Goblin Slayer
selalu memenangkan tiga gelas sirup lemon untuk Gadis Sapi, dirinya sendiri,
dan kakak perempuannya.
Kalau di pikir-pikir lagi, aku
ingat dia selalu berlatih melempar batu di sungai sebelum festival.
Gadis
Sapi menyadarimya dengan rasa akrab
bahwa pria ini adalah orang dengan tipe yang selalu melakukan perisapan secara
menyeluruh.
“Wow,
mantap banget bro!” seorang pelayan berkata. “Enam sirup lemon? Segera datang!”
“Ya.”
Dia
mengangguk sekali, seperti yang selalu dia lakukan.
Kemudian
berputar menghadap para bocah dan menjelaskan dengan nada tenang.
“Dan
itu yang harus kamu lakukan.”
“....Ba-baik.”
“Sekarang
kamu coba.”
Goblin
Slayer memberikan empat bola silver yang tersisa kepada para bocah muda.
Bocah
Scout mengambilnya,
dengan panik dan
kaku.
“Ap-apa
kamu nggak punya petunjuk lain?”
“Latihan.”
Hanya
itu yang dia ucapkan.
“Bleh,”
para bocah mengeluh. Goblin Slayer mengangguk pada mereka dan berdiri dengan
serius.
“Be-berikan
lemparanmu yang terbaik!”
“Hei,
kamu harus melempar lebih baik dari itu!”
“Ha-ha-ha!
Aww, jangan terlalu keras padanya.”
Dengan
itu para gadis menonton tiga bocah itu—
“Oh...”
Gadis
Sapi menyadari bahwa tidaklah salah bila memikirkan
dia dengan kata-kata itu.
Apakah
aneh?
Tidak,
tidak juga. Tidak terlalu juga.
Tentu
saja, sudah sepuluh tahun semenjak itu. Waktu yang sangat banyak untuk
membangun pengalaman. Gadis Sapi juga telah mempelajari banyak hal layaknya apa
yang pria itu telah pelajari.
Namun
itu semua hanyalah akumulasi.
Akarnya tetaplah sama.
Prinsip
yang dia percayai... Tidak—itu adalah sesuatu yang dia harapkan benar.
“Minum?”
“Iya,
terima kasih.”
Gadis
Sapi mengambil gelas dingin dari tangan pria itu. Itu merupakan sebuah air
sumur dengan lemon dan madu di dalamnya.
Rasa
dingin segar itu, dia berpikir, tidaklah ada yang berubah
dalam sepuluh tahun terakhir.
“Oh
yeah,” dia berkata, berpura-pura sesuatu terlintas di benaknya seraya
memperhatikan anak-anak kecil melempar bola di ujung matanya. “Berhubung kamu
membelikannya untukku, gimana kalau kamu memasangkannya untukku? Cincinnya.”
“Di
mana?”
Goblin
Slayer menatap serius pada jari Gadis Sapi dari jempol hingga kelingkingnya.
“Uhm...jari
manisku.” Dia berkata, mulai menyesali apa yang dia katakan. “...Gimana?”
“Tangan
sebelah mana?”
“Apa
maksudmu sebelah mana? Yang—“
Yang tangan kiri.
Dia
menggeleng kepala, tidak dapat mengeluarkan kalimat itu.
“Ta—“
Dia
mengambil nafas dan mencari di dalam kantungnya, mengeluarkan sebuah cincin
dengan tangan kirinya.
“Tangan
kanan...tolong.”
“Baiklah.”
Dan
kemudian Goblin Slayer memasangkan cincin pada jari Gadis Sapi tanpa sedikit
pun ada formalitas.
Gadis
Sapi mengangkat tangannya di bawah sinar matahari dan cincin itu berkilau
dengan terang.
Yah, aku rasa aku harus melepasnya saat aku kerja.
Tapi
paling tidak untuk festival ini, dia dapat mengenakannya.
Dengan
rasa manis asam sirup lemon dalam mulutnya, Gadis Sapi membulatkan tekadnya
untuk bersenang-senang sebanyak dia bisa.
*****
Sekarang,
mari kita tinggalkan patung katak di luar pintu dan mengikuti penjaga toko
seraya dia masuk ke dalam tokonya untuk mengambil sirup lemon kembali.
“Saja tida’ ingin terlaloe ikoet mentjampoeri, namoen...” Lizard Priest mengunyah
dengan lahap sebuah sosis di lapisi keju dengan jumlah yang sangat banyak.
Dalam adat para lizard, berbicara seraya menikmati makanan bukanlah tindakan
yang tidak sopan. “Apa’ah
se’iranja a’an beryalan dengan bai’... Tentoe saya, saja berharap semoea beryalan dengan bai’.”
“Ahh,
banyak hal di dunia ini yang ternyata hasilnya delapan atau sembilan dari
sepuluh.” Kata Dwarf Shaman, menepuk perutnya seperti sebuah drum seraya
meneguk minumannya dan berteriak, “Pasti baik-baik saja!” Dia melirik ke
samping dengan senyum mengejek seraya dia berkata, “Yang aku sebenernya
khawatirkan itu....”
Orang
terakhir yang berada di meja, High Elf Archer, melotot seolah dia sedang
berburu mangsa.
“Grr...”
“Kenapa
kamu menggeram, Telinga Panjang?”
“Karena!”
Dia menghantam meja, menunjuk keluar toko seraya telinganya melonjak. “Aku
barusan mencoba itu tadi, dan aku nggak bisa masukkan satu bolapun!”
“Itu
artinya menembak dan melempar adalah hal yang berbeda.”
“Ini
nggak adil! Aku ini seorang high elf! Kami keturunan para dewa!”
Kemudian
dia meneguk cepat sirup lemonnya.
Dia
telah menghabiskan banyak koin perunggu dan masih harus membeli minumannya
sendiri. Adalah sirup lemon paling asam yang pernah dia minum.
“Hm,
seperti itoelah yalan a’an doenia. Nona Ranger dan toeankoe Goblin Slajer mempoenyai talenta jang berbeda.”
Nada
Lizard Priest menandakan bahwa dia sedang berbicara dengan anak kecil, dan
Dwarf Shaman adalah yang satu-satunya terlalu senang menambahkan pendapatnya.
“Yakin
itu bukan karena kamu sakit hati karena kalah dengan Beardcutter?”
“Sniiiff... Ak-aku nggak sakit hati.” (TL Note = *sniiiff* di
sini ibarat si archer lagi narik napas buat narik ingus, tapi karena saya nggak
nemu kalimat yang bagus buat gantikan kata itu jadi saya pakai itu saja.)
Lizard
Priest mendesis terhibur seraya High Elf Archer memaksa kalimat itu dari mulutnya.
“....Oh,
tunggu dulu.”
Telinga
sang elf meloncat terkejut, mengangkat kepalanya dan menoleh pada jendela.
“Ada
apa, nona Ranger?”
“Lihat,
mereka pergi.”
High
Elf Archer benar. Mereka berdua pergi meninggalkan permainan bola itu.
Gadis
Sapi melangkah
menyesal, sementara Goblin Slayer melangkah sigap seperti biasanya.
“Um,
mereka bilang... ‘Sampaikan salam ya buat Gadis Guild’ dan ‘Ya’”
Apa dia nggak bisa memikirkan
sesuatu yang lebih baik untuk di katakan?
High
Elf Archer menggembungkan pipinya jengkel, memainkan gelas sirup lemon, yang
kini sudah mengental.
Dwarf
Shaman membelai jenggotnya, terlihat terhibur oleh ini.
“Aku
nggak tahu lagi kegunaan telinga elf yang lebih konyol dari ini.”
“Oh?
Kamu nggak tahu apapun tentang adat manusia, dwarf?” High Elf Archer memberikan
sebuah senyum percaya diri yang tidak biasa, telinganya berdiri lurus ke atas.
“Kalau kamu mempunyai waktu untuk bertingkah konyol, itu artinya kamu mempunyai
banyak duit untuk berfoya-foya.”
“Bagiku
kedengarannya seperti alasan seseorang yang begitu terpaku dengan apa yang dia
lakukan hingga dia melupakan dompetnya di suatu tempat.”
“Itu
nggak ada hubungannya dengan ini.”
“Inilah
kenapa aku benci para elf! Selalu berusaha menyembunyikan masalah mereka.”
“Ucapan
yang berani dari kaum dwarf yang cuma mikirin
duit!”
Dan
dua teman ini berlanjut dengan perdebatan biasa mereka.
Lizard
Priest memperhatikan mereka dengan terhibur, menepuk lantai dengan ekornya. Dia
melambai pada pelayan terdekat.
“Permisi,
nona pelajan!”
“Ya,
pak!”
Respon
itu datang dari seorang padfoot—seorang gadis hewan. Tangan, kaki, dan
telinganya berasal dari para binatang. Gadis itu berlari kecil mendatangi.
“Oh.”
Tentu saja, mata Lizard Priest melebar sedikit seraya dia mengenal gadis yang
berdiri di sana, tertawa kecil.
“Maaf’an saja, namoen boe’an’ah anda salah satoe dari
Gadis guild?”
“Oh,
benar. Saya mempunyai dua pekerjaan.” Gadis Padfoot menyembunyikan senyumnya
dengan nampan, namun tidak bisa menyembunyikan tawanya. “Lihatlah di sekitaran.
Semua orang sangat sibuk hari ini, mereka membutuhkan semua bantuan yang ada.”
“Saja mengerti, saja mengerti. Saja senang bahwa omba’ jang
sedang pasang ini terlihat mengang’at
perahoe anda joega.” (TL Note= bagi yang
bingung, maksud lizard priest di sini bahwa keramaian festival ini juga
sepertinya meningkatkan pendapatan toko.)
Lizard
Priest mengangguk, menggunakan salah satu cakarnya untuk menunjuk menu pada
sebuah dinding. “Saja
memesan doea ataoe tiga sosis goreng anda. Dan ji’a bisa tolong pasti’an keyoenja sangat banja’...”
“Baik,
baik. Ngomong-ngomong, jika anda mau, kami mempunyai sosis dengan herba di
dalamnya juga.”
“Ah,
anda bilang herba?”
“Dan
yang lainnya dengan tulang sumsum...”
“Benar!”
“Dan beberapa dengan keju di dalamnya!”
“Oh,
wow!”
Tidak
perlu di katakan, bahwa matanya tidak pernah berkilau dengan begitu terangnya
seperti ini.
1 Comments
terima kasih
BalasHapusPosting Komentar