MALAM FESTIVAL
(Translater : Zerard)

Malam festival
Hari Goblin Slayer di mulai lebih awal.
Dia bangun sebelum hari terbit, mengenakan perlengkapannya, dan patroli di sekitar kebun.
Jam sebelum subuh akan sangat bagus untuk menjadi latihan melihat dalam kegelapan.
Khususnya setelah musim panas berakhir dan musim gugur tiba, pagi hari menjadi gelap dan dingin. Sebuah waktu yang sangat cocok untuknya—dan untuk seekor goblin.
Dalam menit yang dingin itu sebelum garis horison mulai terlihat di kejauhan, dia mendedikasikan dirinya sendiri untuk berlatih dan waspada.
Mata menatap ke depan, senjata di tangan, mengambil langkah hati-hati sedikit demi sedikit.
Jika seekor goblin muncul pada saat ini, dia akan menghadapinya dengan tenang dan tak bersuara.
Seperti itulah bagaimana telitinya dia—se-telitinya dia ingin.
“Pagi! Sedikit dingin ya hari ini?”
Ketika matahari mulai terbit, teman lamanya bangun mendengar kokok ayam jantan.
Dia mengeluh akan suhu, sebagian besar di karenakan dia tidak mengenakan apapun selain pakaian dalamnya dan sehelai seprai kasur.
Dia bersandar keluar pada jendela, dengan senang menunjukkan dada montoknya yang terpapar. Tentu saja dia merasa dingin.
“Kamu bisa demam.” Goblin Slayer hampir tidak menatapnya, dengan tenang menyarungkan pedang telanjangnya.
“Aw, Aku sudah terbiasa. Nggak apa-apa kok. Sarapan akan siap sebentar lagi, oke?”
“Nggak perlu...” Goblin Slayer memiringkan kepalanya seolah sedang mendengarkan akan sesuatu, dan berpikir pada dirinya sendiri. Akhirnya, secara perlahan dia menggelengkan kepalanya. “Ada sesuatu yang perlu aku lakukan terlebih dulu.”
“Oh, yang benar?”
“Duluan saja makan. Dan...” Dia berpikir untuk beberapa saat, namun ketika dia berbicara, merupakan nada yang sama seperti biasanya. “Aku mungkin akan telat malam ini.”
“...Oke.” Gadis Sapi memanyunkan bibirnya dengan sedikit rasa kecewa, tapi tidak lama tersenyum kembali. “Jangan lupa rapikan piringmu ketika kamu selesai makan.”
“Baik.”
Dengan lambaian, Gadis Sapi menghilang dari jendela. Goblin Slayer memutar tubuhnya, tatapannya menatap pada sebuah gudang.
Yah, hanya sebuah gudang yang dia sewa begitu saja.
Dia membuka pintu dengan suara decitan dan masuk.
Lantainya berantakan dengan perlengkapan dan barang yang tidak bisa di identifikasi. Dia menggeser benda-benda itu ke samping untuk membuat sebuah ruang.
Dia duduk di ruang terbuka itu yang telah dia buat sembarangan, melepas pedang dari pinggulnya, dan mengambil sebuah batu asah.
Dalam cahaya redup, Goblin Slayer dapat melihat bahwa pedang itu mulai bengkok, terkikis dan berkarat.
Konon sering di katakan bahwa sebuah pedang tidak dapat memotong lebih dari lima orang sebelum menjadi tumpul dengan darah dan lemak. Itu adalah benar.
Namun ada berapa kali koki kelas dunia, berdiri di dapur sepanjang haris mengasah pisaunya?
Untuk seorang swordsman yang luar biasa, membunuh seratus orang pada dasarnya adalah hal yang sama. Untuk sebuah pedang, tapi sebuah pisau untuk memotong daging?
Dalam panasnya pertarungan, itu merupakan cerita yang berbeda. Terutama untuk pedang berkarat yang di curi dari seekor goblin.
Baginya, senjata dan armor adalah barang sekali pakai. Mereka dapat di ambil dari musuh jika di perlukan.
“...”
Tapi itu bukanlah alasan untuk mengabaikan perawatan perlengkapan seseorang.
Goblin Slayer mulai mengasah pedangnya.
Dia menggosok bersih karat, memukul pedangnya menjadi lurus kembali, dan kemudian menggunakan batu asah untuk meratakan bagian yang terkikis.
Umumnya, orang-orang percaya bahwa pedang yang dapat bengkok tanpa patah adalah pedang yang bagus.
Namun satu-satunya hal yang bagus dari pedang ini adalah kemampuan dari fabrikan Guild yang membuatnya. Ini jelas merupakan pedang yang di buat dengan jumlah yang banyak, bukanlah sebuah pedang terkenal. Karena itu, dia dapat melemparnya tanpa ragu. (TL Note = saya ragu, saya rasa walaupun dia punya pedang terkenal, dia tetap bakal lempar pedang itu tanpa ragu. :D)
“Berikutnya.”
Dia memasukkan pedang pada sarungnya dan berlanjut pada perlengkapan berikutnya.
Untuk lebih baik ataupun lebih buruk, dia telah mengganti perisai, armor, dan helmnya sejak peristiwa dalam kota air. Dia tidak bermaksud untuk menggunakan mereka selamanya, namun dia merasa berterima kasih pada peralatannya, tanpa terkecuali.
Sebagai hasilnya, yang hanya mereka butuhkan hanyalah gosokan halus dan inspeksi cepat. Akan tetapi sepatu botnya membutuhkan perhatian lebih.
Sepatu botnya juga, bukanlah sesuatu yang spesial, sebuah benda yahg dapat di temukan di manapun. Walaupun seperti ini, mereka sangatlah penting untuk berjalan dan berlari melewati gua dan dataran, menendang dan menghancurkan musuh. Dia tidak ingin tersandung pada dataran biasa, apalagi terkena sebuah jebakan.
Dia memeriksa tapak bot, membersihkan sisa-sisa tanah yang tersangkut dan mengelap mereka.
Dia memeriksa talinya, dan jika talinya berjumbai, dia akan menggantinya dengan yang baru.
Dengan ini saja dapat mengurangi resiko tersandung—dan itu merupakan alasan yang cukup untuk melakukannya.
Berikutnya kaus kakinya. Pentingnya mereka tidak bisa di remehkan. Mereka sangat penting untuk mencegah kaki melepuh dan masalah pada kaki dalam perjalanan jauh melewati tempat yang sulit ataupun melalui rawa.
Masternya tidak menggunakan alas kaki, tapi itu karena masternya adalah seorang rhea. Bangsa bertubuh kecil ini selalu bertelanjang kaki, yang bisa di katakan juga bahwa, telapak kaki mereka adalah “sepatu” terbaik.
Jika kamu bisa pergi kemanapun tanpa suara, tanpa terpeleset, tidak ada yang perlu kamu takuti. Goblin Slayer selalu berpikir bahwa ini adalah kemampuan yang layak untuk di pelajari.
“Sekarang.”
Setelah memperhatikan sekilas perlengkapannya, dia berdiri perlahan.
Sebuah helm dengan noda merah kehitaman sepertinya telah terjatuh dari rak.
Itu merupakan sebuah perlengkapan lama. Goblin Slayer mengambilnya dan meletakkannya kembali pada tempatnya.
Sekarang semua perlengkapannya telah tertata dengan rapi. Sudah waktunya untuk mendapatkan perlengkapan kebun juga.
Membiarkan batu asah tergeletak di tempat sebelumnya, dia baru saja akan meninggalkan gudang ketika dia melihat sebuah sosok di pintu.
“...Kamu pekerja keras.”
“...Ya, pak.”
Dia sedikit mencium bau asap tembakau di segarnya udara pagi.
Sang pemilik kebun bersandar pada dinding, meniup pipanya.
Dia mengenakan sebuah ekspresi suram, dan Goblin Slayer sedikit menundukkan kepalanya.
“Selamat pagi, pak.”
“Pagi.” Sang pemilik berkata dengan begitu datar. “Aku dengar kamu berjanji akan pergi ke festival dengan gadisku.”
“Ya, pak.”
“...Sebagai ayah angkatnya, aku nggak yakin apakah aku harus marah soal ini.”
Dia berbicara dengan wajah masam. Mata mereka bertemu. Tapi kemudian dia tersenyum.
Goblin Slayer menyadari bahwa dia benar-benar telah lupa bagaimana rupa senyum sang pemilik.
Sang pemilik kebun mengerutkan wajahnya, meundukkan kepala dan menggaruk rambut tipisnya.
“Aku nggak bermaksud mencampuri urusanmu, tapi...” Dia bergumam. “Aku tahu kamu nggak bermaksud memberikannya harapan. Tapi, yah..jangan berikan dia harapan palsu.”
“Baik, pak.”
“Aku dengar kamu memiliki cukup banyak wanita di sekelilingmu... Aku tahu, aku tahu. Kamu bukanlah tipe yang terlalu terpengaruh dengan itu.”
“Ya, pak.”
“Gadis itu kemungkinan juga mengetahuinya... Tapi sekali-sekali tolonglah pikirkan perasaan dia.”
“...Ya, pak.”
Sang pemilik  mengamati anggukan Goblin Slayer, dan ekspresi yang tidak bisa di baca kembali terhias di wajahnya.
“Selama kamu mengerti. Atau...” Dia memotong kalimatnya sendiri dan menatap curiga pada helm itu. “Apa kamu mengerti?”
“Aku rasa aku mengerti.” Jawab Goblin Slayer. “Walaupun aku tidak begitu yakin.”
Dengan itu, sang pemilik mengusap batang hidung dengan jarinya.
“...Apa rencanamu setelah ini?”
“Setelah aku selesai melakukan perawaran pada perlengkapan kebun, aku berpikir untuk pergi ke kota dan berbelanja.”
“Benarkah...?”
Sang pemilik mengemut sembarangan pada ujung pipanya dan menutup matanya. Dia terlihat tidak yakin ingin mengatakan apa.
Ketika dia akhirnya berbicara, nadanya terdengar seperti tertahan.
“...Paling nggak tunggu sampai selesai sarapan.”
“...”
“Gadis itu membuatkannya untukmu.”
“Baik, pak.”
“Kamu dapat hari libur sesekali. Santai saja.”
“Baik, pak. Tapi...” Dia terdiam beberapa saat. “Hari libur adalah sesuatu yang aku nggak begitu memahaminya.”
Goblin Slayer tidak lupa untuk membersihkan sisa makanannya setelah sarapan.
*****
Adalah pakaian dalam.
Atau lebih tepatnya, adalah armor yang sangat mirip dengan pakaian dalam.
Setelan itu termasuk dengan sebuah pelapis dada, sarung tangan, dan sedikit bagian untuk menutupi tubuh bagian bawah. Jika di kategorikan, maka ini dapat di sebut dengan light armor. (TL Note : armor/zirah ringan.)
Dalam segi gerakan, kemampuan armor ini melampaui jauh dari satu set penuh plate mail.
Armor itu sendiri terukir dengan sangat indah, rumit, dan kokoh.
Permasalahannya adalah bahwa armor ini tidak mempunyai cukup area untuk di tutupi.
Ini hanyalah armor dada—benar-benar, armor buah dada—dan celana dalam.
Benar, terdapat pelindung pundak. Tapi itu bukanlah permasalahannya. Satu serangan tepat pada perut dan isi perut sang petualang akan terburai. Armor ini tidak mencakup perlindungan akan tusukan dari belakang juga, sebuah luka yang sangat kritikal.
Yah, walaupun begitu, paling tidak armor ini memiliki akses yang sangat mudah untuk melakukan P3K. Atau mungkin armor ini di tujukan agar para pengguna berfokus untuk tidak terkena serangan. (TL Note : P3K = pertolongan pertama pada kecelakaan.)
Tapi pada akhirnya, apakah ada orang yang ingin menggunakan ini pada kulit telanjangnya?
Tentunya ini membutuhkan sebuah tambahan—sebuah baju besi, semacam armor dalaman? Paling tidak yang dapat menghentikan sebuah pukulan.
“Nggak, nggak, nggak, itu nggak bakalan berhasil.”
“Kenapa nggak?”
“Menutupi dirimu akan menyembunyikan pesona seoorang wani—“
Knight Wanita terdiam dan melirik ke samping pada warrior kotor yang berdiri di sampingnya.
“Ugh, Goblin Slayer?!”
“Ya.” Dia mengangguk.
Mereka sedang berada di toko perlengkapan pada Guild Petualang.
Terdapat banyak barang di sekeliling mereka. Di dalam bengkel di belakang, master dan muridnya memukul-mukul palu mereka.
Goblin Slayer sering datang untuk memesan barang baru, tapi ini adalah pertama kalinya dia melihat Knight Wanita di sini. Sebagian, karena perlengkapan knight—dari plate armor kesayangannya hingga pedang dan perisainya—tidak sering di ganti.
Bagaimana mungkin seseorang seperti dia, yang sangat membutuhkan perlindungan maksimum untuk dapat bertahan hidup sebagai perannya di garis depan, berpikir untuk memakai armor seperti ini?
“Apa kamu berencana untuk berpindah ke light armor?”
“Huh? Aku? Oh, nggak, Aku cuma...” Sikapnya yang biasa hilang seraya dia mengalihkan pandanganya dan melirik Goblin Slayer dari ujung matanya. “Jujur aja, melihatmu membuatku ingin mengurungkan niatku menggunakan armor kulit.”
“Benarkah?”
Goblin Slayer memiringkan kepalanya. Dia adalah gambaran akan berantakan.
Baju besi dan armor kulit kotor, bersama dengan sebuah helm murahan yang menyembunyikan wajahnya.
Tentu saja, kekuatan akan kulit armor tidak bisa di remehkan. Memang benar armor kulit itu lebih ringan dari armor metal, tapi jika terbuat dengan sangat baik, armor itu dapat membuat sang pengguna tetap lincah. Helm tidak di sukai oleh petualang muda-mudi yang baru mendaftar, namun mereka tetap masih melindungi kepala mereka akan serangan kejutan. Dengan kombinasi baju besi dalaman, sangatlah sempurna untuk bertarung dengan goblin di dalam ruang gelap dan sempit.
“Nggak bisakah kamu, kamu taulah—“ Knight Wanita mengamatinya dari atas hingga ke bawah, mencoba mencari kata yang tepat. “—bersihkan sedikit?”
Mungkin cukup hilangkan noda merah kehitaman itu.
“Ini memang sengaja.” Goblin Slayer berbicara dengan nada biasanya, akan tetapi terdapat sedikit rasa kepuasan akan pengetahuannya sendiri. “Ini mencegah goblin mencium bau tubuhku.”
“...Paling nggak jaga tubuhmu tetap bersih.”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk serius. “Atau orang-orang akan marah padaku.”
Knight Wanita menduga bahwa pria itu serius. Dia menatap pada langit-langit seolah sedang berdoa kepada dewa.
Dia tidak sedang mencari sebuah wahyu atau petunjuk, tentunya. Ini hanyalah sesuatu yang dia lakukan secara kebetulan.
Aku rasa aku akan berhenti bertanya.
“...Jadi. apa yang akan kamu beli?”
Pasak, dan dua utas tali. Aku juga perlu kawat dan kayu. Aku juga harus mengganti sekopku.”
“Petualangan macam apa yang kamu lakukan untuk memerlukan itu semua?”
“Ini bukan untuk petualangan.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya. “Ini untuk membasmi goblin.”
Knight Wanita menghela nafas. Tentu saja.
Namun Goblin Slayer tidak menyadari reaksinya, akan tetapi mempelajari armor itu dengan seksama.
Armor itu terlihat seperti dua pasang pakaian dalam baginya, sesuatu yang dia ragukan untuk di sebut sebagai armor.
“Apa ini? Armor ketengan?” (TL Note :  ketengan = https://www.artikata.com/arti-368404-ketengan.html )
“Bisa di bilang begitu, aku rasa.”Knight Wanita berkata, tapi Goblin slayer sama sekali tidak mengerti apa yang dia maksud. Secara keseluruhan, armor ini lebih dari sekedar “armor ketengan.” Tapi kurang dari sebuah “armor.” Tidak ada satupun orang yang memiliki akal sehat yang akan mau menggunakan armor seperti ini di petualangan manapun di mana mereka akan bertemu dengan monster.
Yah, mungkin hanya segelintir petarung tertentu yang dapat melakukannya. Atau mungkin seseorang yang berada di garis belakang—seorang wizard atau thief, atau bahkan monk.
Telah berkesimpulan seperti ini, Goblin Slayer menggeleng kepalanya perlahan.
“Ini nggak akan berhasil.”
“...Ini... Petualang wanita, kamu tau...” Knight Wanita terlihat seperti ingin menjawab Goblin Slayer yang tidak menyetujuinya. Namun wajahnya merah, dan dia tidak dapat mengarahkan matanya memandang Goblin Slayer. Dia bahkan hampir tidak bisa mengeluarkan suaranya, tidak seperti dirinya yang biasa. “Maksudku, nggak banyak...pria yang menarik di luar sana.”
“Benarkah?”
Goblin Slayer memiringkan kepalanya.
Knight Wanita, paling tidak, menurut Goblin Slayer cukup cantik.
Rambut emas gemulainya. Mata almondnya. Dia juga memiliki raut wajah yang indah juga, dan kulitnya terlihat sangat halus. Jika dia mengenakan sebuah gaun, dia bisa di sangka sebagai putri bangsawan.
Namun dia hanya menjawab, “Yeah, benar.” Dan begitulah.
“Coba di pikir. Petualang pria selalu berakhir dengan menikahi seorang permaisuri, atau seorang gadis desa yang mereka selamatkan.”
“Yang ku dengar seperti itu. Aku nggak bisa berbicara dari pengalaman.” Goblin Slayer memiringkan helmnya sedikit.
Dia mengingat cerita seperti itu dari buku ketika dia masih bocah kecil.
Sang Ksatria membunuh naga dan menyelamatkan permasuri. Dia membawanya kembali ke istana, di mana ksatria itu menolak tahta dan pergi jauh berkelana.
Dan di sebuah lahan yang jauh dan aneh, dia menikah dengan permaisuri dan membentuk negara baru.
“Yah, pikirkan saja ucapanku.”
Goblin Slayer memiliki nada serius yang sama yang dia gunakan pada saat memecahkan teka-teki. “Jadi, memangnya kenapa?”
“Yah, menurutmu apa yang terjadi pada para wanita petualang yang tersisa?” Ekspresi Knight Wanita putus asa dan muram.
“Hm,” Goblin Slayer bergumam, melipat tangannya. “Mungkin mereka bisa menikahi salah satu rekannya.”
“Aku tahu banyak cerita akan party yang terpecah belah saat cinta tumbuh di antara mereka dan situasinya menjadi nggak dapat di bendung.”
“Cerita buruk.”
Benar. Goblin Slayer membicarakan topik itu dengan keseriusan yang sangat.
Goblin Slayer telah melihat beberapa party dengan banyak wanita di dalamnya, namun mengatur mereka bersama sangatlah merepotkan.
Walaupun, dia juga pernah mendengar bahwa party yang hanya terdiri dari wanita saja cenderung cukup akur. Dia mengingat mendengar cerita seperti itu dari salah seorang suku Amazon suatu hari.
Dia tidak berpikir bahwa kala itu ada sangkut pautnya dengan goblin, tapi jika di pikir kembali dia berharap bisa bertanya dengan lebih terperinci dengan suku itu. Karena, sekarang dia telah memiliki dua wanita dalam partynya. Jadi kisah itu tidaklah tidak ada sangkut pautnya dengan dia lagi, seraya dia berpikir.
“Kalau begitu cari seorang suami yang bukan petualang.”
Saat ini dia harus berbicara dengan orang yang sedang mengajaknya bicara. Goblin Slayer menawarkan apa yang menurutnya sebuah saran yang praktis.
Namun Knight Wanita memberikannya senyuman putus asa layaknya sebuah akhir dunia.
“Kamu pikir ada pria di sana yang mau menunggu seorang gadis yang dapat membunuh troll atau naga dengan satu tebasan pedangnya?”
“Apa nggak ada?”
“...Yah, apa pendapatmu tentang wanita seperti itu?”
“Dia pasti wanita yang dapat di andalkan.”
“...Sudahlah.” Knight Wanita berkata, memberikan Goblin Slayer tatapan ragu dan hela nafas panjang. “Secara pribadi, aku nggak terlalu tertarik dengan pria yang bukan petualang, tapi...” knight yang biasanya keras kepala ini berdiri dengan gelisah, tidak yakin kemana harus menatap. “...Akan lebih baik kalau dia sedikit lebih…tangguh.”
“Ya.” Pada saat ini, Goblin Slayer akhirnya dapat menyatukan setiap keping petunjuk menjadi satu.
Petarung dengan armor tebal dalam partynya—Heavy Warrior.
Goblin Slayer membayangkan pria berwajah tangguh yang selalu menjaga anggota paling muda mereka dalam grup.
“Apa dia?”
“...Yeah.”
Knight Wanita menjawab dengan anggukkan kecil, sebuah gambaran gadis kecil tak berdosa.
Tunggu...
Goblin Slayer menghela setengah nafasnya.
Dia selalu mengira bahwa wanita ini lebih tua dari yang terlihat, di karenakan sikapnya, tapi mungkin wanita ini lebih muda dari yang Goblin Slayer kira.
Dan, dengan itu berlanjut.
“Aku kira cinta di antara anggota party membuat situasi menjadi nggak mengenakkan.”
“Selalu ada pengecualian di setiap aturan!”
Begitu.”
“...Hey, uh Goblin Slayer... aku sebenarnya nggak mau tanya ini sama kamu, tapi...” Knight Wanita menelan liurnya, dan sepertinya ini membuatnya sangat malu hingga membuatnya tersipu merah. “Kalau aku... Kalau aku pakai sesuatu yang seperti itu, apa menurutmu aku bisa menarik perhatiannya...?”
“Jujur aku harus mempertanyakan tingkat kewarasan seseorang yang menanyaiku pertanyaan itu.”
“Urg...”
Berdiri di depan armor bikini, Knight Wanita mendapati dirinya sendiri kebingungan.
Sebagai sebuah dinding kokoh dalam pertempuran, dia tidak terbiasa menerima serangan kritikal.
“Kalau kamu mau melancarkan serangan kejutan, kamu harus berubah.”
“...Huh?”
Akan sangat tidak pantas baginya yang berperan sebagai seorang tank jika pernyataan seperti itu dapat membuatnya terhenyak. Dia menggerakkan tubuhnya dengan ragu.
“Mencoba hal yang sama berulang kali akan meempunyai efek yang kecil. Paling tidak, dalam pembasmian goblin.”
“...Aku nggak bertanya soal pembasmian goblin.”
Knight Wanita melototinya dengan kesal.
Goblin Slayer melipat tangannya. Dia berpikir, kemudian melanjutkan.

Dia benar-benar tidak memiliki apapun yang bisa di utarakan selain dari pengalamannya.
“Kamu berbicara soal pakaian. Kamu biasanya selalu menggunakan armor. Jadi menjauhlah dari itu. Coba gunakan pakaian sehari-hari.”
“Er... Pa-pakaian sehari-hari...? ...O-oke. Akan ku pikirkan.”
“Aku mengerti.”
“Yeah. Um...maaf soal pertanyaan yang aneh.”
“Aku nggak masalah.” Goblin Slayer menggeleng kepala. “Kita kolega.”
Itu membuat Knight Wanita berkedip.
Sepertinya dia tidak siap mendengar itu. Dia menatap pada helm kotor itu, kemudian parasnya menjadi santai.
“...Kamu orang aneh yang keras kepala.”
“Begitu.”
“Tapi ternyata, kamu bukan orang yang jelek.”
Itulah serangan kejutannya. Knight Wanita  tersenyum.
“Sampai jumpa.” Dia berkata ceria, dan meninggalkan Goblin Slayer yang berdiri terdiam di sana.
*****
“Keh-heh-heh! Bagaimana? Aku rasa dia menyukaimu.”
Goblin Slayer menemukan sumber tawa itu, master dari workshop ini.
Sudah berapa lama dia berdiri dan mendengarkan? Pria tua, cukup pendek yang dapat membuatnya di sangka sebagai seorang dwarf, keluar menuju toko.
Goblin Slayer mengesampingkan percakapan barusannya di dalam pikirannya, melangkah sigap.
“Aku mau memesan. Pasak dan—“
“Kamu pikir aku nggak mendengarmu? Aku sudah siapkan semuanya di sini. Kamu, bocah, keluarkan barangnya!”
“Baik pak!”
Sang murid mematuhi masternya dengan cepat. Dia membawa pasak, kawat, dan semuanya menuju meja kasir.
“Terima kasih.” Goblin Slayer berkata, dan mulai memeriksa barang itu.
Beberapa barang harus di pesan di workshop ini, tapi untuk yang lainnya harus di cari di tempat lain.
Sekarang dengan semua yang dia butuhkan, dia mengapit barang-barang di bawah lengannya. Dia memikul sekop di pundaknya, kemudian menggantung sisanya dengan di ikat.
Para petualang dapat dengan cepat belajar bagaimana mengepak segalanya dalam ruang yang kecil.
“Kamu sudah melakukan pekerjaan yang bagus dalam membuat namamu populer di sini dalam lima tahun terakhir ya?”
Goblin slayer mengeluarkan kantungnya dari tasnya, membiarkan beberapa koin terjatuh di atas meja.
Sang master menghitungnya dengan jarinya yang kekar, menyeretnya di atas meja datarnya. Matanya menyipit di atas pipi keriputnya.
“Benarkah?”
“Benar.”
Begitu.”
“Yep.”
Pria tua itu menyeringai, seolah mengingat sedikit sejarah memalukan akan saudaranya.
“Waktu kamu datang ke sini, bocah kecil berumur lima belas tahun yang menginginkan perlengkapan yang murah, aku kira aku nggak akan pernah melihatmu lagi.”
“Dalam sisi penghematan biaya, itu adalah pilihan yang sudah seharusnya pada saat itu.”
“Benar, dan aku mengira kamu akan meningkatkan perlengkapanmu suatu hari. Tapi kamu selalu menggunakan barang itu semua dan selalu meminta barang yang sama.”
“Apa salahnya membeli pedang yang cukup bagus sesekali?”
Goblin Slayer tidak menjawab.
Dia mengetahui bahwa semua ini adalah peralatan yang di butuhkan untuk membasmi goblin.
Walaupun ada pedang yang di perkuat mantra khusus untuk membasmi goblin, petualang ini kemungkinan tetap tidak akan memakainya.
“Ah, sudahlah.” Sang master bersandar pada meja seperti lelah akan kebodohannya sendiri. “Mau beli seseuatu yang lain hari ini? Aku punya sesuatu yang nggak biasa.”
“Apa?”
“Pisau lempar ala selatan.”
“Oh-ho.”
Sang master tidak melewatkan reaksi Goblin Slayer.
“Aku mendapat perhatianmu, ya?” sang pria tua berkata dengan senyum berani. Dia tidak menunggu sebuah jawaban dan langsung berputar ke belakang.
Dia mengambil pisau berbentuk aneh dari sebuah rak dan meletakkannya di atas meja dengan suara keras.
Adalah belati dengan bentuk yang tidak lazim.
Mata pisau terbagi menjadi tiga bagian, setiap bagian bengkok seperti sebuah cabang. Benda ini seperti tidak di maksudkan untuk pertarungan antar tangan. Satu-satunya cara untuk menggunakannya adalah dengan melemparnya.
Namun ini jelas adalah sebuah pisau—dengan kata lain, bukanlah senjata yang dahsyat.
“Ciptaan kecil dari ku. Bagaimana menurutmu?”
“Goblin Slayer mengambil senjata itu ke tangannya. Dia mengambil kuda-kuda, membuat beberapa tebasan, dan akhirnya mengangguk.
“Goblin akan sulit untuk menirunya.”
“Semua orang akan sulit menirunya!”
“....Apa keunggulannya?”
Master mengerutkan dahinya. Namun walaupun seperti itu. Dia tetap ceria, mungkin meninkmati sebuah kesempatan untuk membahas senjatanya.
“Aku tahu itu terlihat seperti apa, tapi itu sebenarnya sebuah pedang.”
Jarinya, kasar di karenakan bertahun-tahun menempa, menunjuk pada tiga mata pisau.
“Benda itu berputar saat kamu melemparnya—untuk stabilitas, dan membuatnya terbang lebih jauh. Ini lebih untuk memotong dari pada menusuk.”
“Begitu juga pisau lempar ala timur.”
“Itu adalah senjata menusuk. Senjata menusuk kualitas rendah
“Aku mengerti.”
Goblin Slayer menggerakkan jarinya menelusuri mata pisau yang seperti kincir angin.
Ini terlihat pantas, apapun itu. Tidak ada saalahnya.
“Kalau begitu, aku ambil satu.”
“Senang berbisnis dengamu. Lima...nggak, empat koin emas.”
Sedikit mahal untuk sebuah senjata lempar, namun Goblin slayer tetap menghitung dengan sigap.
Dia menderetkan koin baru di atas meja, dan pria tua itu mengambilnya tanpa memeriksanya kualitas uangnya.
Pria muda ini, pemburu goblin berpikiran sempit ini, lebih memilih senjata seperti ini di bandingkan dengan senjata legendaris.
Dia telah menjadi pelanggan tetap di sini selama lima tahun, dan setiap penjaga toko yang tidak mengetahui kesukaan pelanggannya setelah selama itu, akan dengan cepat gulung tikar.
Dia dia sangat meragukan bahwa pemuda ini adalah tipe orang yang akan membayar dengan uang palsu.
“Dan scroll. Jika kamu mempunyainya, simpan untukku.” Goblin Slayer menggantung pisau bermata seperti kincir di belakangnya, dari ikat pinggangnya. Dia berusaha mengeluarkannya beberapa kali, menggerakkannya sampai tidak lagi bertabrakkan dengan barangnya yang lain.
Penjaga toko memperhatikannya dengan ekspresi puas dan menjawab ringan, “Ya, ya, seperti biasanya. Tapi aku jarang melihat benda itu. Ada yang yang lain?”
“Hmmm.”
Akhirnya merasa puas dengan penempatan senjata lemparnya, tiba-tiba Goblin Slayer teringat sesuatu.
“...Aku ingin beberapa ikan kering.”
“Aku jual senjata dan armor di sini. Aku bukan nelayan.”
“Aku mengerti.”
Helm tak berekspresi itu menunduk. Penjaga toko menghela.
Semua permintaan aneh ini. Apa dia benar-benar mengerti...?
“...Kalau kamu nggak keberatan dengan yang sudah di awetkan...Aku punya beberapa.”
“Kalau begitu, tolong kirimkan dua atau tiga drum ke kebun.”
“Drum? Aku sudah bilang, ini bukan toko serba ada.”
Namun kalimat itu hanya terucap sebagai gumamannya. Pria tua itu mengeluarkan buku pesanannya, menjilat pena, dan menulis.
*****
Telah selesai berbelanja, Goblin slayer keluar dari bengkel dengan langkah tidak pedulinya.
Dia melangkah sigap menuju papan buletin, mempelajari setiap quest baru.
Semua petualang lain telah memilih quest mereka. Terlihat tempat yang kosong di mana kertas quest tersebut telah di ambil.
Permasalahan dengan naga. Reruntuhan yang belum di jelajahi. Ogre (apa itu?). Mengumpulkan persediaan dalam hutan. Perburuan harta karun. Vampir dalam kastil tua (dia pernah mendengar makhluk seperti itu). Membasmi tikus di saluran air. Menumpas bandit.
Secara sekilas dia melihat kata seperti Sekte jahat, Dark Gods, pembasmian demon, dan investigasi.
Dia mencari dari ujung kanan atas hingga ujung kiri atas, baris demi baris, hingga mencapai ujung kiri bawah.
Dia mengulangi dua sampai tiga kali, dan akhirnya menarik kesimpulan.
“...Hari ini nggak ada.”
Ini tidaklah seperti biasanya. Goblin selalu muncul di manapun, kapanpun.
Dia melirik pada meja resepsionis, namun tidak melihat tanda adanya Gadis Guild.
“..Hrm.”
Dengan sedikit dengusan, dia tetap melangkah menuju meja resepsionis.
Helm metalnya berayun ke kiri dan kanan, hingga dia melihat seorang petugas Guild yang sepertinya sedang bersantai.
“Hei.”
“Ap—? Uh, ah!”
Petugas yang terkejut menjatuhkan bukunya yang secara sembunyi-sembunyi di bacanya dari bawah mejanya.
Sang petugas—Inspektur—mengambil bukunya seolah tidak ada terjadi apa-apa dan dengan cepat mengenakan senyumnya.
“Ah, tidak lain dan tidak bukan Goblin Slayer.”
Petualang yang eksentrik ini cukup terkenal di sekeliling Guild.
“Apa ini tentang quest yang kemarin? Kami sudah menyiapkan hadiahnya untuk di berikan...”
“Baiklah. Kalau begitu, tolong di bagi menjadi dua kantung. Secara merata.”
“Baik, pak.”
“Aku juga ingin membuat laporan lengkapku.”
“Ah... Anda bisa melaporkannya kepada saya. Jika anda tidak keberatan...” Inspektur melirik dengan ragu pada ruangan kantor di belakangnya. “Walaupun saya berharap dia tidak marah dengan saya...”
Goblin slayer tidak dapat memahami apa yang sedang di ucapkan Inspektur.
“Anda tidak di tugaskan dengan saya, jadi saya mungkin tidak dapat memahami semuanya. Apa hari lain tidak masalah?”
“Aku nggak keberatan.” Goblin slayer berkata dengan anggukan kecil. “Tapi—apa dia baik-baik saja?”
“Oh, dia baik-baik saja.” Inspektur mengecilkan suaranya hingga menjadi bisikan, memperhatikan sekelilingnya, dan tersenyum. “Ada banyak hal yang harus di selesaikan sebelum anda mengambil hari libur anda. Dia harus berada di banyak tempat sekaligus hari ini.”
“Aku mengerti.”
“Dapatkah saya memberitahunya bahwa Goblin slayer mengkhawatirkannya?”
“Aku nggak khawatir.” Namun dia tidak juga menolak, menambahkan “Aku nggak keberatan” dengan anggukkan.
Senyum Inspektur melebar. Goblin Slayer memutar helmnya mengindikasikan. papan buletin
“Goblin. Hari ini nggak ada?”
“Pembasmian goblin? Mohon tunggu sebentar.” Inspektur menghilang menuju ruang belakang dan kembali dengan sebuah kantung kulit dari sebuah brangkas.
Dia menimbang koin emas di dalamnya dengan sebuah timbangan, kemudian memindahkannya menuju dua kantung baru.
“Ini dia.”
“Terima kasih.”
“Sekarang, untuk pembasmian goblin....”
Goblin Slayer dengan acuh mengambil hadiah dan memasukkan dua kantung itu pada tas nya. Seraya dia melakukannya, Inspektur mengeluarkan sebuah daftar dan membalikkan halaman demi halaman.
“Coba saya lihat... Anda benar. Sepertinya tidak ada quest yang melibatkan goblin hari ini.”
“Apa ada yang lain yang sedang mengerjakannya?”
“Tidak pak. Sepertinya tidak ada hari ini.”
“Aku mengerti.” Goblin slayer berkata dengan gerutu kecil.
“Anda terlihat kecewa.”
“Ya.” Inspektur berbicara dengan santai, namun Goblin Slayer mengangguk serius. “Sangat kecewa.”
“Maaf saya tidak bisa membantu.” Inspektur berkata, kebingungan melihat respon Goblin Slayer. Goblin Slayer berputar dan berjalan menjauh.
Goblin merupakan makhluk pencuri dan licik. Walaupun mereka membuat senjata dan alat seadanya, tidak pernah terlintas di pikiran mereka untuk membuat makanan mereka sendiri atau bahkan tempat tinggal mereka. Mereka bertahan hidup dengan mencuri apa yang mereka butuhkan...
“...”
...Dengan kata lain, mereka sedang mencari waktu yang tepat.
Goblin Slayer mendengus dan menggeleng kepalanya. Dia melirik sekeliling lobby seraya dia berpikir.
“Arrgh! Kepalaku rasanya mau meledak! Dan Gadis Guild nggak ada di sini pula!”
“Bodoh. Itu, karena, kamu, minum, terlalu, banyak.”
Di sana lah Spearman, mengacak-acak rambutnya, dan Witch, seperti biasanya.
“Oh, hei, kamu kembali. Astaga, seberapa lama sih waktu untuk cuma beli satu barang?” Heavy Warrior berkata, menopang dagunya dengan tangan. Female Knight tersipu marah.
“O-oh, hus. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan...”
Half Elf Fighter melompat riang. “Yah, bahkan knight kesayangan kita ingin tampil kece untuk festival!”
“Wow, yang benar?! Aw, itu bagus banget. Apa aku harus pakai gaun atau sesuatu juga ya.” Gadis Druid berkata, menopang pipinya dengan tangan. Namun Bocah Scout menyindir padanya dingin.
“Kamu mau tampil kece, huh, kak? ...Yah, paling nggak kamu cantik dari dalam.”
“Ap-apa kamu bilang?!”
“Hei, jangan ribut!”
Party Heavy Warrior cukup bersemangat membahas festival. Di samping mereka, Rookie Warrior dan Apprentice Priestess menunjukkan rasa tertariknya.
“Apa kami tetap bakal pakai jubah? Aku agak berharap untuk bisa melihatmu pakai pakaian ritual...”
“Jaga mulutmu, atau ku hajar kamu.”
“Yeah, tapi maksudku, ini festival...”
“....Ya-yah, aku rasa mungkin aku bisa...berdandan sedikit...”
“Yang benar?! Woo!”
“Hei, jangan terlalu di ributkan, kamu bikin malu aku!”
Petualang yang lain juga sama. Semuanya cerah menantikan pada festival yang akan datang. Tidak satu orang pun yang tidak menantikannya.
“...Hampir nggak seorangpun.” Goblin Slayer bergumam dalam helmnya seraya pandangannya bertemu dengan petualang yang duduk di suatu pojok. Pria muda ini menggunakan jaket panjang hitam, yang terlihat menantang, dan memperhatikan petualang dengan tatapan berkilau.
Ini bukanlah hal aneh. Ambisi sangatlah di perlukan untuk dapat sukses dalam jenjang karir ini.
Goblin Slayer mulai berjalan perlahan, memperhatikan semua orang dengan pandangan dari dalam helm.
Selalu terlalu banyak hal untuk di pikirkan. Dan selalu terlalu sedikit petunjuk.
Dan terlalu banyak yang harus di lakukan, dia berpikir.
“Mph.”
“Oh!”
Priestess datang dari luar dan berlari padanya. Dia menegakkan tubuhnya dan menggenggam topinya.
“Oh, uh, ah, pa-pak Goblin Slayer!” Pipi Priestess tersipu, walaupun dia tidak mengetahui apa yang membuat Priestess malu. Goblin Slayer hampir mengira sebuah uap keluar dari telinga Priestess seraya Goblin Slayer memirringkan kepalanya.
“Apa kamu bisa tidur tadi malam?”
“Y-ya. Aku baik-baik saja.”
Mungkin dia hanya paranoid. Mata Priestess berkelana dari satu tempat menuju tempat lain dengan gelisah.
“Mm.” Goblin Slayer mendengus pelan. “Aku mau memberikan ke kamu sebelum aku lupa.”
“Whoa!”
Goblin slayer memberikannya kantung koin, dan Priestess menerimanya dengan kedua tangan untuk mencegahnya agar tidak terjatuh. Kantung itu bergoyang pelan seraya dia memeluknya di dada kecilnya.
“Dari yang kemarin.”
“Te-terima kasih...”
Dia meletakkan uang hadiahnya dengan hati-hati, namun pikirannya sepertinya sedang berada di tempat lain. Tatapannya terus menatap pada bengkel.
Goblin Slayer terdiam beberapa saat sebelum bertanya datar, “Perlu perlengkapan baru?”
“Oh! Uh...”
Dia sepertinya telah menebak dengan benar.
Sekarang keseluruhan kepala Priestess berputar, menoleh bolak balik antara bengkel dan Goblin Slayer. Goblin Slayer tidak mengetahui apa yang membuat Priestess begitu gelisah.
“Kamu butuh saran?”
“Ngg—“ Suara Priestess terbata-bata. “Ngg-nggak, Aku...nggak, Aku...bisa...terima kasih!”
“Aku mengerti.”
Dia menyudahi, dan berjalan melewatinya.
Bagi Goblin slayer, paling tidak, semua ini sangatlah wajar. Tawaan terbahak-bahak dari pria tua di belakangnya sama sekali tidak membuatnya melirik. Mungkin senior itu tertarik dengan gadis itu.
Itu bukanlah—seharusnya bukan—hal yang buruk.
*****
Mereka berkata bahwa waktu sebelum festival adalah festival itu sendiri.
Ketika dia pergi ke kota, dia mendengar suara palu memukul kayu, bendera yang berkibar, angin yang bertiup.
Petualang bukanlah satu-satunya yang tinggal di kota perbatasan ini. Wanita muda sedang melihat-lihat barang dagangan toko-toko, yang di dekorasi untuk perayaan, berpikir tentang pakaian apa yang harus mereka kenakan. Anak kecil berlari di sekitar jalanan, tidak di ragukan lagi mereka berpikir akan bagaimana menghabiskan uang sangu. Akan sangat mudah bagi rencana mereka terkacaukan seketika melihat mainan di dalam toko yang di pajang...
Sayuran yang di potong dengan aneh sedang di keringkan di pinggir jalan, menunggu waktu hingga mereka dapat di tenun menjadi lentera. Kereta kuda dan gerobak terlihat lebih banyak dari biasanya.
Berbagai macam makanan dan pakaian di jual, dan para pengunjung juga tidak akan kekurangan barang yang akan di beli. Sudah sewajarnya, dengan datangnya sebuah festival.
Daerah ini masih merupakan perbatasan, yang selalu di serang monster, terancam oleh Demon Gods, dan masih dalam tahap pembangunan. Oleh karena itu, sangatlah di mengerti jika pada saat festival tiba, paling tidak, semuanya ingin menikmati diri mereka sebaik-baiknya.
“Hmm.”
Goblin Slayer melirik semua ini, kemudian berjalan tanpa suara menuju belakang bangunan Guild.
Sinar matahari terasa lebih lemah di bandingkan musim panas. Matahari melayang tinggi di langit, namun angin sejuk membuat terasa seperti musim semi.
Aroma akan sesuatu yang mendidih terbang  dari dalam galeri Guild.
Gumpalan asap api dapur banyak mengambang dari berbagai macam rumah di kota. Ini waktunya makan siang.
Jadi itu kenapa anak-anak kecil tadi berlari.
Tempat latihan sekarang kosong. Setiap petualang yang sedang dalam quest sudah beranjak pergi, dan sisanya sepertinya selalu mengutamakan makan siang di banding latihan.
Sempurna.
He menundukkan kepalanya sekali dan pergi menuju ujung sebuah lahan, di mana dia duduk di bawah teduhnya pohon.
Kemudian dia meletakkan sekopnya dan melepas ikatan yang terikat di situ.
Pasak, kayu, kawat, dan lain-lain. Berbagai variasi barang, kebanyakan dari mereka tidak ada hubungannya dengan petualangan.
Setelah mencabut pedang pendeknya, dengan segera dia memulai pekerjaannya.
Dia mengiris pasak hingga ujungnya menjadi runcing. Menusukkannya pada kayu, dan memiringkannya. Kemudian dia melingkarkan tali di sekelilingnya semua di lakukan dengan gerakan yg tidak biasa
Gerakannya kaku, akan tetapi tepat, namun apapun yang sedang di buatnya terlihat terlalu berbahaya untuk di gunakan sehari-hari.
Jika High Elf Archer berada di sana, tidak di ragukan lagi telinganya akan berayun penasaran. Priestess akan dengan ragu bertanya apa yang sedang di lakukannya.
Namun bukanlah mereka berdua yang memanggil Goblin Slayer seraya dia duduk di sana terfokus akan pekerjaannya.
“Oh!”
“Ho ho!”
Dua suara yang tertarik. Goblin Slayer mendengakkan helmnya sesaat.
Satu pria yang berbentuk seperti drum, dan yang satu lagi tinggi dan kurus. Dwarf Shaman dan Lizard Priest—dua dari rekannya.
Bayangan mereka—satu tinggi, satu rendah—menyatu dengan Goblin Slayer di bawah pohon.
“Ah, toean’oe Goblin Slajer. Satoe lagi hari jang begitoe indah.” Lizard Priest menggabungkan tangannya dengan gerakan aneh, tidak terlihat seperti meminta maaf karena menatap pada Goblin slayer. “Kami berharap tjoeatja oentoe’ festival eso hari akan tjerah seperti ini.”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk tanpa menghentikkan pekerjaannya. “Aku harap akan cerah.”
“Setoedjoe, setoedjoe.” Lizard Priest menepuk tanah dengan ekornya. Di sampingnya, Dwarf Shaman membelai jenggotnya.
“Sibuk sekali. Apa yang kamu lakukan?”
“Aku sedang mempersiapkan sesuatu.”
Goblin Slayer hanya menyiapkan beberapa kata untuk sang dwarf, yang mempelajari apa yang sedang di kerjakan dengan tangan masih di jenggotnya.
Itu adalah sesuatu yang melibatkan beberapa pasak, sekop, beberapa kawat, dan beberapa kayu.
Mata Lizard Priest berputar di kepalanya dan bersemangat akan kemungkinan adanya pertarungan.
“Apaah anda berentjana oentoe’ memboenoeh vampir?”
“...?” Goblin Slayer memiringkan helmnya. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Saja pertjaja bahwa oentoek mengalahan seorang vampir dengan pasa ayoe poetih meroepaan pengetahoean jang soedah oemoem.”
“Benarkah?”
“Aku rasa kita harus merasa kagum kalau kamu sampai tahu apa itu vampir.” Dwarf Shaman berkata, setengah lelah dan setengah terhibur.
Vampir sejajar dengan naga dalam tingkat kepopuleran dunia monster.
Tentu saja, pengetahuan yang lebih dalam akan undead merupakan sebuah rahasia, yang hanya di ketahui oleh para wizard dan para cleric. Namun bagi seorang pria yang bahkan tidak mengetahui apa itu ogre, dapat mengetahui apa itu vampir patut mendapatkan perhatian khusus.
“Aku nggak terlalu tertarik dengan mereka.”
Setelah jawaban singkatnya yang sangat mudah di terka, Goblin Slayer kembali mempertajam pasaknya.
Tapi kemudian dia bergumam, “Hm.” Dan tiba-tiba berhenti bekerja, memiringkan kepalanya. “Vampir... Mereka meningkatkan jumlah mereka dengan menggigit orang, benarkan?”
“Tampanja seperti itoe.”
“...Kalau seekor goblin menjadi vampir, persiapan apa yang harus aku lakukan.”
Dwarf Shaman menghela, namun Goblin Slayer benar-benar serius.
“Hmm,” Lizard Priest berkata, menyentuh ujung hidung dengan lidahnya. “Seekor goblin jang mati meroepaan mayat goblin. Bilamana mayat itoe bergera, boe’anah itoe bisa di anggap sebagai zombie?”
“Walaupun seperti itu,” Dwarf Shaman membalas, hampir tidak dapat menahan tawanya. “Aku nggak bisa membayangkan seseorang mau meminum darah goblin.”
“Begitu.”  Goblin Slayer menganggukkan kepala sigap. Tidak jelas apakah dia merespon tanggapan Lizard Priest atau Dwarf Shaman.
Kemudian melanjutkan pekerjaannya, dan tumpukkan pasak semakin bertambah seraya mereka memperhatikan.
Dwarf Shaman membersihkan sisa serpihan kayu dengan jari tebalnya, bertanya di mulai dari apa yang sudah di genggamnya.
“Ini untuk membasmi goblin?”
“Ya.”
“Dah ku duga.”
Inilah di mana biasanya telinga High Elf Archer melemas di tambah dengan perubahan sikapnya.
Namun setelah setengah tahun bersama, Dwarf Shaman sudah terbiasa dengan ini. Dia membiarkannya begitu saja.
“Ku rasa, aku nggak perlu tanya lebih detil lagi kalau begitu.”
“Mustahil untuk bisa mengetahui dari mana goblin akan muncul.”
“Benar seali.” Lizard Priest berkata, ekornya berayun perlahan. “Setiap orang haroes tetap siaga sepandjang waktoe
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk. “Mereka bodoh, tapi mereka nggak tolol.”
Goblin tidak memiliki keinginan untuk belajar—namun mereka bisa belajar, mereka dapat menggunakan alat dan strategi. Bahkan Dwarf Shaman dan temannya kesulitan berhadapan dengan goblin yang telah belajar menyerang dengan kapal dalam petualangan sebelumnya. Jika sebuah strategi tersebar di antara para goblin, itu berarti sebuah masalah—namun pria satu ini sangatlah teliti.
Dwarf Shaman dan Lizard Priest sangatlah profesional dalam ras mereka. Para dwarf sangat ahli dalam menempa dan bekerja, sementara lizardman menyukai pertempuran dan kekuatan.
Bagi mereka, obsesi dan kekeras-kepalaan mempunyai nilai keindahan tersendiri.
Djia begitoe, bolehah ami singgah di samping anda?” Lizard Priest bertanya dengan santun.
“Aku nggak keberatan.” Goblin Slayer berkata datar. “Ini bukan tempatku.”
“Aw, walaupun begitu, nggak ada salahnya bertanya.” Dwarf berkata. Seraya dia bicara, dia meletakkan sebuah kain dan duduk.
Lizard Priest membuka ikatan kantung yang dia bawa, menebarkan isinya diatas sebuah kain.
Sekilas terlihat seperti bahan-bahan yang di gunakan untuk membuat sesuatu, namun tidak sepenuhnya juga. Dia memiliki beberapa batang bambu, kertas tipis beraneka warna, bersama dengan kertas minyak.
“Mm.” Gumam Goblin Slayer, tidak menunjukkan sedikitpun rasa terkejut. “Lentera kertas...nggak, lentera langit.” (TL note : atau lentera terbang, bingung saya mau pakai yg mana.)
“Ho, jeli juga kamu Beardcutter.” Dwarf Shaman berkata memuji seraya dia mulai menyusun bahan-bahan itu dengan gerakan cekatan.
Batang dari pohon bambu sangat ringan dan kuat, dan lentera langit merupakan pemandangan klasik dari sebuah festival.
Benda ini sangat mudah untuk di buat: kertas membungkus rangka bambu. Kemudian kertas minyak di masukkan ke dalam rangka, dan lentera akan menyala.
“Dan emoedian, saja di isahan, benda ini aan melajang menoedjoe langit.” Lizard Priest menggeleng kepalanya seolah sulit mempercayainya. “Ini sangat wajib saja lihat dengan mata epala saja sendiri. Saja benar-benar menantiannja.”
“Mereka sering membuat ini di tempatku. Aku membuat ini untuk Scaly.”
“Mm.” Goblin slayer mengangguk, memeriksa pasaknya dengan cahaya. “Nggak sempurna... tapi nggak jelek.”
Djia seperti itoe espetasi saja semain meninggi.” Lizard Priest berkata, mengayunkan ekornya dengan gerakan penuh arti. “arena saja sangat mempertjajai apa jang anda oeocapan, toean’oe Goblin slajer.”
“...Begitukah?” adalah keseluruhan jawaban Goblin Slayer. Dia melanjutkan mengerjakan pasak berikutnya.
Sang dwarf mengerti arti dari sebuah keheningan ketika seorang perakit sedang bekerja.
“Ayo, kalau begitu, kita harus juga mulai.” Dia mengambil bahan-bahan dengan senyum lembut. “Festivalnya besok. Kita harus siap.”
“Benar. Saja menoenggoe instroe’si anda.”
Lizard Priest melingkarkan ekornya dan duduk dengan lembut di samping Dwarf Shaman.
Namun jari sang dwarf bergerak dengan begitu cepat. Siapa yang bisa menyangka jarinya yang gemuk dapat bergerak begitu lincah? Dia menenun rangka satu persatu, kecepatannya dalam merakit bagaikan sebuah sihir.
Tidak ada yang dapat menandingi para dwarf dalam karya tangan. Bahkan para elf pun jauh tertinggal.
Tugas Lizard Priest adalah melapisi rangka yang telah selesai dengan kertas. Dia berusaha keras untuk mencegah cakarnya merobek kertas itu, namun ini sangatlah sulit baginya.
Akan tetapi pada waktu yang sama, pekerjaannya begitu rapi dan bersih. Benar-benar menggambarkan kepribadiannya.
ira-ira adat dari mana ah benda ini berasal.” Lizard Priest berkata. Menghela dan mengelap alisnya, seolah membersihkan keringat yang seharusnya tidak pernah ada di sana.
Dwarf Shaman mengambil sebuah botol anggur dengan satu tangan dan membasahi bibirnya, kemudian berkata, “Pertanyaan bagus. Aku nggak berasal dari sini juga. Aku tahu cara membuat lentera langit, tapi nggak tahu kenapa mereka menggunakannya untuk festival...”
“...Kamu bisa melihat benda ini di banyak tempat.” Goblin Slayer berkata singkat. Mereka berdua melihat kepadanya dengan terkejut.
Goblin Slayer terus meruncingkan pasak, seperti tidak menyadari mereka.
“Benda ini mengundang roh baik, atau mengusir roh jahat. Benda ini membimbing mereka yang sudah mati jalan untuk pulang. Benda ini mirip dengan lentera tanaman.”
“Tahu banyak juga ya kamu, eh?”
“Kampungku,” Goblin slayer berkata, “Dulu dekat dengan festival ini. Gimana mungkin aku nggak mengetahuinya?”
“Mmm. Saja haroes menga’oei bahwa ini sediit tida masoe’ aal bagi saja.” Lizard Priest menggaruk hidung dengan cakarnya.
Rakyat Lizard Priest percaya bahwa sesuatu yang mati akan kembali ke bumi, atau masuk ke dalam apapun yang memakan mereka, dalam lingkaran kehidupan. Para “undead” bukanlah mereka yang kembali dari kematian, melainkan mayat-mayat yang telah di rasuki roh jahat.
“Namoen...” Mata Lizard Priest berputar di kepalanya. “Beraboeng oentoe’ jang telah wafat, ami mengerti. Moengin sangatlah bai yia merea aan embali poelang.”
“...Aku setuju.” Goblin Slayer mengangguk. “Itu sudah seharusnya.”
Kemudian dia tidak mengatakan apapun lagi. Tangannya terus bekerja, ekspresinya benar-benar tersembunyi dengan helm.
Setiap kali serbuk kayunya bertambah di pisaunya. Dia membersihkannya, mengasahnya kembali di setiap pisaunya menjadi tumpul oleh kayu.
Lizard Priest yang telah memperhatikan dengan seksama, menghela nafas lembut.
“Apapoen itoe, ini adalah Festival. ita haroes menimatinya, sebai jang ita mampoe.”
“Bagus untukmu, Scaly, kobarkan semangat.”
“Tapi tentoe saya. epertjayaan saja adalah leloehoer saja, para naga, jang di mana darah merea mengalir dalam nadi saja. Merea adalah roh nene’ mojang saja.”
Kepribadiannya tidak akan membuat malu para leluhurnya. Sang dwarf mengangguk menghargai. Ini adalah sesuatu yang dia pahami.
“Aku juga nggak mau kalah. Aku akan tunjukkan lentera terbaik dari yang pernah di buat para dwarf sebelumnya!”
Tiga pria ini yang bercakap di sebuah ujung lahan tempat latihan ini, yang cepat atau lambat akan menarik perhatian. Seraya makan siang berakhir, orang-orang mulai kembali berlatih. Yang lain bersantai di Guild setelah menyelesaikan petualangan mereka. Tidaklah mengejutkan jika beberapa dari mereka menyadari tiga pria yang ada di sana.
“Ooooh! Cebol dan Orcbolg sedang bikin sesuatu bersama!”
Dan jika seseorang yang biasa dapat menyadari mereka, seorang high elf akan dua kali lebih cepat menyadari mereka.
Suara bening, hampir kekanak-kanakan adalah tentu saja High Elf Archer.
Dia datang berlari layaknya angin dan berdiri dengan tangan di pinggul.
Dwarf Shaman melotot padanya, membelai jenggotnya dan mengejek, “Apa-apaan sih, kamu anak kecil kah?”
“Nggak sopan banget, umurku ini dua ribu tahun, tahu nggak?”
High Elf Archer mendengus, tapi sedikit membusungkan dada ratanya seolah bangga akan angka ini.
Ejekan itu tidak menghentikannya dari melihat dengan penasaran tentang apa yang mereka kerjakan.
“Lagi buat apa sih?”
“Telinga panjang, temanku. Dua ribu tahun dan kamu nggak tahu apa ini? Ini lentera langit. Ini—“
“Ini pasak kayu.”
“Bukan itu maksudku.”
Setelah komentarnya, sang elf menyelipkan dirinya pada kain di samping Dwarf Shaman. Lizard Priest berdiri dan bergeser untuk memberikan tempat untuknya.
Telinga High Elf Archer berayun, dan matanya berkilau penuh rasa penasaran. Dia terus menembakkan pertanyaan satu persatu. “Apa ini? Apa itu? Alat apa ini? Apa gunanya? Kenapa kamu bikin pasak?”
“Ini untuk membasmi goblin.”
begitukah.”
Pertanyaannya layaknya sebuah tornado. Konon orang berkata bahwa wanita berpergian dalam grup sangatlah ribut, namun sang elf begitu ribut untuk bisa mengalahkan keributan grup wanita itu sendiri.
“Kamu ini hampir seperti rhea,” Dwarf Shaman berkata dengan sedikit menegur.
Keributan riang ini tentu saja menarik perhatian orang lain.
“Hei, bukannya itu Goblin Slayer dan regunya?”
“Oh yeah. Apa mereka sedang bersiap untuk festival?”
Itu adalah Bocah Scout dan Gadis Druid, bersama dengan Rookie Warrior dan Apprentice Priestess, yang kembali dari makan siang. Mereka masihlah seorang bocah dan gadis. Persiapan festival mengisi mereka dengan rasa penasaran and antisipasi.
Bahkan untuk Bocah Scout, yang telah bersama dengan party Heavy Warrior selama beberapa tahun, festival tahunan ini membuatnya begitu bersemangat.
“Hei.” Bocah Scout berkata, “Apa itu?!”
“Kamu nggak tahu?! Itu—“
“Lentera langit! Aku pernah lihat sebelumnya.” Bocah Scout membusungkan dadanya, dengan semangat menyombongkannya. High Elf Archer yang telah kehilangan kesempatannya untuk menjelaskan, menggembungkan pipinya.
“Mau ikut bergabung?”
“Aku nggak terbiasa dengan semua ini. Kita bisa belajar bersama.”
Sang dwarf dan lizardman tidak ragu-ragu untuk mengundang para anak kecil agar bergabung dengan mereka.
High Elf terlihat seperti tidak memiliki rasa penyesalan tentang mereka semua bersama—hingga hampir dapat membuat statusnya sebagai seorang high elf menjadi sebuah pertanyaan.
“......”
Goblin Slayer memutar helmnya, perbincangan ceria, keriangan sekitarnya. Senyum pada wajah-wajah itu, tawaan setiap orang, telah melingkarinya—semua petualang ini.
Dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah mereka berdua yang membuat lentera.
Kemungkinan besar, mereka tetap akan berkumpul seperti ini bahkan jika dia tidak ada di sana, akan tetapi...
“Hmmm.”
Goblin Slayer dengan tenang kembali mengerjakan pisaunya.
*****
“Apa?! Orcbolg, kamu belum makan?!”
“Belum.”
Malam datang dengan cepat pada musim gugur. Senja telah datang dan pergi, langit hitam tinta di bubuhi hanya oleh bulan dan bintang.
Goblin Slayer tetap tinggal seraya teman-temannya terbawa suasana sedikit demi sedikit.
“Itu nggak baik... Tunggu, apa karena kamu nggak punya uang...?”
“Bukan.”
“Aku traktir kamu!”
“Nggak perlu.”
“Gimana kalau goblin menyerang? Apa kamu bisa bertarung dengan perut kosong?”
“...Hrm.”
“Oke, kalau begitu sudah di putuskan!”
High Elf Archer menggenggam tangan Goblin Slayer tanpa menunggu jawabannya dan menariknya menuju rumah makan.
Banyak dari orang di dalam kota perbatasan ini selain petualang yang menghabiskan waktunya di sini. Tempat ini sangatlah bagus untuk makan maupun minum. Dan karena kebanyakan rumah makan memiliki ruang tamu, tempat ini selalu ramai akan petualang.
Rumah makan yang di pilih High elf Archer secara acak kebetulan merupakan tempat yang sangat akrab bagi Goblin Slayer.
Mereka membukan pintu dengan suara decitan pintu dan di sambut dengan keramaian dan panas tubuh. Bersama dengan percakapan yang ramai akan peminum yang duduk di kursi di mana aroma anggur dan daging tercium.
“Mmm!” High Elf Archer menyipitkan matanya menikmati suasana, telinganya berayun.
“Aku kira kamu nggak suka anggur.”
“Benar juga.” High Elf Archer berkata dengan kedipan mata. “Tapi aku suka suasana ramai.”
“Benarkah?”
“Benar.... Oh, tolong dua!” Dia dengan riang mengacungkan dua jari kepada pelayan yang datang menyambut mereka. Untungnya terdapat kursi yang masih tersedia.
Sang pelayan, yang berpakaian sangat provokatif dan berjalan dengan langkah menggoda, membimbing mereka pada sebuah meja bundar yang sedikit jauh dari tengah ruangan.
Goblin Slayer meletakkan tasnya dan duduk, kursi tua itu mendecit perlahan.
Di sisi lain, High Elf Archer, duduk dengan keringanan yang merupakan ciri khas rasnya dan tidak menimbulkan suara dari kursinya.
“...Hei, Aku kepikiran terus,” dia berkata, jari putihnya menunjuk Goblin Slayer. “Nggak bisa kah sesekali kamu lepas benda itu selagi makan?”
“Aku nggak bisa.” Helmnya bergerak perlahan dari kiri ke kanan. “Bagaimana kalau goblin menyerang?”
“Di kota ini?”
“Goblin bisa saja muncul di kota.”
Sang elf menyudahi, tersenyum tak berdaya.
Tidaklah sulit untuk bisa memahaminya dari sudut pandang High Elf Archer. Karena, penampilan aneh Goblin Slayer sangatlah mencolok bahkan dalam kalangan petualang, dengan armor kulit kotor, helm murahan, pedang dengan panjang yang aneh, dan perisai bundar kecil terikat di lengannya. Untungnya, merupakan hal yang biasa melihat pemandangan para petualang yang terus memakai armor mereka, bahkan di keseharian mereka. Akan tetapi...
“Apa itu...? Seorang petualang?”
“Aku kira dia undead atau semacam itu....”
Hiii.., dia melihatku!”
“Jadi ini bukanlah khayalanku...”
...Restoran ini tidak hanya di kunjungi oleh para petualang. Dan berbagai macam pengelana yang ada di sana tentu saja melihat dirinya.
Hanya ada satu atau dua pelanggan lainnya yang merupakan petualang, duduk di sebuah pojok dalam ruang makan di mana mereka tidak akan terlalu mencurigakan. Yang satu tinggi sementara satunya lagi adalah rhea yang kecil.
Pria itu mungkin saja seorang wizard, jika di lihat dari jubah yang menutupi setiap inci tubuhnya. Penampilannya tidaklah terlalu aneh di antara para petualang.
Kemungkinan sedang mendiskusikan sebuah quest, mereka tampak sedang berdebat panas, walaupun suara mereka tidak terdengar.
High Elf Archer mengayunkan telinganya curiga, namun pada akhirnya rasa tertariknya menjadi hilang.
“Jadi,” dia berkata, memutar pandangannya dari dua petualang di pojok, kembali pada helm itu.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Tentang apa?”
“Tentang festival besok. Aku dengar tahu.” Sebuah senyum nakal tersirat di wajahnya, dan dia menunjuk pada Goblin Slayer. “Kamu bakal menghabiskan pagi bermain-main dengan gadis dari kebun itu dan siangnya dengan Gadis Guild, kan?”
“Aku nggak bermain-main.” Jawabnya singkat. Dia memperhatikan sang elf dari dalam helmnya. Dia mungkin saja melototinya, namun helmnya membuatnya sulit untuk di ketahui. “Pendengaranmu bagus.”
“Yah, aku kan elf.”
Dia menujuk pada telinga runcing yang berayun yang dia banggakan dan tersenyum lebar.
“Sepertinya Gadis Guild sudah membuat rencana untuk kencan kalian siang nanti, jadi itu sudah terurus.”
“Hrm.”
“Aku cuma berpikir mungkin kamu punya sesuatu yang mau kamu lakukan di paginya, karena kamu akhirnya bakal pergi berkencan.”
“Begitukah?”
“Ya begitu.”
“...Belum,” Goblin Slayer mendengus, menggelengkan kepala. “Aku belum memikirkannya.”
“Masa sih?” High Elf Archer melebarkan matanya dan memijat alisnya seolah ingin meringankan sakit kepalanya. “Tapi paling nggak kamu tetaplah kamu, Orcbolg.”
Ekspresinya dengan cepat berubah menjadi penuh rasa ketertarikan, telinganya mengepak naik dan turun. “Jadi, gimana kalau kamu bawa dia ke tempat yang dia suka?”
“Tempat yang dia suka...?”
“Yeah, atau lakukan sesuatu yang dia senangi... kamu kenal dia sudah lama, kan?”
Kali ini adalah giliran Goblin Slayer yang tampak bingung. High Elf archer mengangguk puas.
“Dan juga, kamu jangan cuma mengatakan aku mengerti, benarkah?, begitukah?, ya, dan nggak.
“Hrk...”
High Elf Archer menghiraukan Goblin Slayer yang menelan liurnya, memutar perhatiannya pada menu di dinding.
“Pesan apa ya, pesan apa ya?” dia berkata, dengan nada yang menunjukkan keceriaannya yang terlihat begitu jelas bahkan tanpa bantuan telinganya yang berayun naik dan turun.
Dompetnya pastinya telah menjadi gemuk dari hadiah yang di terimanya pada awal hari sebelumnya. Jika dia di biarkan, kemungkinan dia akan menghabiskan semuanya dengan seketika.
“Ada yang mau kamu makan, Orcbolg?”
“Apa saja nggak masalah,” Goblin Slayer menjawab pelan. “Kamu yang bayar. Pesan saja apa yang kamu suka.”
“Ihhh. Aku nggak tahu apa kamu itu sedang bersikap baik hati atau apa.”
“Ini sudah sikapku.”
“Yeah, aku tahu.”
High Elf Archer menghela, namun kejengkelannya hanya berlangsung sesaat.
“Permisi!” dia mengayun tanganya pada pelayan, kemudian berlanjut memesan sebagian besar dari menu. Dia memulai dengan semacam salad hijau, dan ketika dia mengetahui terdapat sebuah anggur berkualitas tinggi, dia tidak ragu-ragu untuk memesannya. Dan saat ini, Goblin Slayer tidak dapat menahan dirinya untuk menyela.
“Aku nggak akan bisa membawamu pulang kalau kamu mabuk.”
“Erk.” Elf berkata, telinganya tersentak seakan ini hal yang tak di sangkanya. “Aku nggak percaya kamu bisa berpikir kalau aku nggak bakal sanggup berjalan karena terlalu mabuk.”
“Bukannya begitu?”
“Itu cuma terjadi di saat-saat tertentu!”
Dia mengendus, namun Goblin Slayer melanjutkan dengan nada datar, “Masih ada hal yang aku harus lakukan setelah ini.”
“Haaaa....”
Dia memalingkan kepalanya seakan tidak tertarik.
Para pelayan merajut langkah mereka di antara keramaian restoran seperti petualang yang menghindari perangkap. Mata elf mengikuti uap yang mengepul dari piring yang mereka bawa, hingga tatapannya kembali lagi menuju Goblin Slayer.
“....Kamu butuh bantuan?”
“Nggak.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya, kemudian setelah berpikir sejenak, berbicara kembali. “Untuk sementara masih baik-baik saja.”
“Hm.”
Kemudian mereka terdiam, tidak berusaha melanjutkan percakapan mereka hingga makanan telah tiba.
Bagi para petualang lain, petualang yang diam hanyalah salah satu bagian dari pemandangan yang aneh.
Makanan akhirnya tiba yang terdiri dari sup, roti, dan keju. Dan anggur.
Sup yang penuh uap adalah gandum yang di rebus dalam krim manis. Roti hitam yang keras dapat di celupkan ke dalam sup untuk melembutkannya. Keju yang lembab terasa asin dan gurih yang merupakan paduan sempurna untuk sup.
“Aku yakin aku tahu seseorang yang bakal suka tempat ini.” High Elf Archer tertawa, mengundang balasan “Benar” dari Goblin slayer.
“Tapi bukan dwarf itu. Aku yakin dia akan mengeluh soal rasa anggur yang seperti air atau apalah. Pasti.”
“Maksudmu fire wine?” Goblin slayer meneguk beberapa dari anggurnya melewati celah helm. “Itu minuman yang bagus, dan persediaan yang baik. Dan juga berguna sebagai obat disinfeksi.”
“Aku berasumsi kamu sedang nggak bercanda. Tapi minuman itu nggak layak untuk di minum.”
Elf tertawa kecil, tawanya sangatlah bening layaknya sebuah lonceng.
“Orcbolg... Aku jadi ingat.” Dia mendorong piringnya ke samping, mencondongkan tubuhnya di atas meja agar wajahnya menjadi dekat dengan Goblin Slayer. Elf terlihat ceria, namun suaranya terdengar berbisik.
“Apa?”
“Hari ini... Apa kamu tahu gadis itu berbelanja sesuatu di workshop?”
“Ya.”
“Gadis itu” kemungkinan adalah Priestess.
Goblin Slayer mengangguk.
“Yah, menurutmu perlengkapan apa yang dia beli?”
“Hm?” Kali ini, Goblin Slayer menggeleng kepalanya. Melawan rasa sedikit mabuk di karenakan anggur, dia membayangkan Priestess pada saat siang itu. Dia menuangkan air dari botol ke gelasnya dan meneguk isinya. “Aku nggak tanya.”
“Oh, yang benar?”
High Elf Archer berkedip, bergumam, “Nggak biasanya”  terkejut seraya dia memainkan gelasnya.
“Hmmm. Yah, mungkin aku harus merahasiakannya, Hm... Kamu mau tahu?”
“Kalau kamu mau beritahu aku, aku akan dengar.”
“Kalau soal apakah aku mau kasih tahu kamu, aku memang mau. Tapi apa benar dia nggak bilang apapun sama kamu?”
“Nggak.”
“Kalau gitu aku bakal rahasiakan saja.” High Elf Archer berkata dengan kedipan. Ini bukanlah gerakan biasa kaum elf. High Elf Archer mempelajari gerakan ini setelah hidup di dalam kota. Dia tersenyum, terhibur karena sudah meminjam bahasa tubuh manusia. “Aku rasa akan lebih menarik kalau seperti ini.”
“Benarkah?”
“Benar.”
“Begitu...” Goblin Slayer mengangguk kembali, kemudian mencari barangnya di dalam tas.
Dia mengeluarkan sebuah kantung kulit yang berisikan hadiahnya, hampir tersenyum seraya dia merogohnya.
“Aku akan bayar selama kamu masih ingat.”
Klak klak klak. Dia menjejerkan tiga koin emas di atas meja.
Dengan cepat, ekspresi elf berubah dari santai menjadi marah.
“Aku bilang aku traktir kamu.”
“Terkadang—“
Goblin Slayer, yang tidak seperti biasanya, memotong ucapannya. Dia terdengar seperti tidak mempercayai apa yang akan dia ucapkan.
“...Terkadang, aku mungkin...akan meminta bantuanmu.”
“Bayar di muka , huh?”
“Ya.”
“Hmm.”
Kita pasti lagi mabuk.
Yah, aku rasa...huh. nggak masalah.
“Nggak perlu.”
“...Begitu.”
Goblin Slayer mengangguk tenang.
High Elf archer mengacungkan jari putihnya, menggambar lingkaran di udara dengan lemas.
“Kamu bisa bayar aku dengan pergi berpetualang bersamaku.”
“Erk.”
“Bukannya aku sudah bilang?” sang petualang high elf bertanya seraya menyeruput anggur. “Oh, yang nggak berhubungan dengan goblin, pastinya.”
“...”
Goblin Slayer terdiam. Dia mungkin tidak mengetahui harus mengatakan apa. High Elf Archer menahan dirinya, menunggu untuk mendengar apa yang akan keluar dari mulut pria itu. Para elf sudah terbiasa menunggu. Sepuluh detik, sepuluh tahun—tidak ada beda sama sekali.
“Baiklah... Terima kasih atas bantuanmu.”
“Asik!”
Sekarang karena dia telah mendapatkan janjinya, High Elf Archer mengembungkan pipinya. Menyipitkan matanya layaknya seekor kucing dan mengeluarkan tawa dari tenggorokkannya yang terdengar begitu bening layaknya lonceng.
“Sekarang ayo makan. Nanti dingin.”
“Ya.”
Seraya Goblin Slayer bersiap makan, dia melirik pada ujung dari warung. Namun dua petualang itu telah pergi.
“Hmph.” Dia mendengus tidak menyukai, kemudian membelah bagian roti.
“Ngomong-ngomng.” Dia memulai.
“Kenapa?”
“Kamu tahu apa arti zaitun, dalam bahasa bunga?”
Makan malam itu hanya terdiri dari makanan favorit High Elf Archer, namun Goblin Slayer tidak mengeluh.
Dan ketika dia harus menggendong sang elf naik ke lantai dua rumah makan dan membayar kamarnya, meminta agar tagihan makanan di tujukan kepada sang elf, dia meninggalkan bangunan.
*****
Dia selalu mengetahui tentang apa yang dia harus lakukan.
Dia harus terus berpikir, melihat ke depan, tetap waspada, merencanakan serangan balasan dan melaksanakannya.
Apa yang Goblin Slayer lakukan kali ini adalah menggali lubang.
Malam hari—bulan kembar sudah berada di antara bintang bersinar yang mengisi surga.
Sendirian, tanpa suara dia membenamkan sekop pada tanah, menggali dan menggali.
Rasa hangat dari anggur membantu menghalau dinginnya angin malam.
Dia berada di luar gerbang kota, pada jalan setapak dari jalan utama. Jalan itu melintasi sebuah lahan, namun tidaklah lebar, lahan datar rerumputan. Terdapat bukit, bangkai pohon mati, alang-alang. Jauh dari jalan, lahan ini sangat liar.
Sebagian besar tempat ini terbengkalai, yang karena itu kenapa dia memilih tempat ini untuk menggali lubang.
Lubang itu sedalam tinggi seseorang. Bukanlah dwarf atau rhea, tapi manusia.
Dia menjejerkan dasar lubang dengan pasak kayu tipis runcing yang telah dia pangkas dan menutup lubang kembali dengan tanah yang baru di gali. Secara sekilas, seseorang tidak akan pernah menyangka ada sesuatu di sana.
Dia melakukan ini beberapa kali, kemudian menyebarkan batu kecil terang di sekitarnya.
“Sekarang...”
Permasalahannya adalah semua tanah yang masih tersisa.
Goblin Dapat menggunakan itu untuk memperkuat dinding gua mereka, dan karena itu dia tidak akan membiarkannya begitu saja.
Melakukan lansekap dengan tangan cukuplah merepotkan untuk seorang petualang.
Goblin Slayer memasukkan tanah menuju sebuah karung yang telah dia siapkan sebelumnya.
Sekarang mereka menjadi karung tanah.
Dia mengikat mulut karung, kemudian membawa mereka dua sekaligus, satu di setiap pundak.
Dia menyembunyikannya di sebuah semak-semak tidak jauh dari lubang, membentuk setengah lingkaran.
Tidak dapat di pastikan apakah ini akan membantu mereka nanti. Namun tidak adalah salahnya untuk mempersiapkan segalanya.
Goblin Slayer tidak pernah mengeluh untuk melakukan pekerjaan yang di perlukan.
Dia menumpuk karung tanah secara hati-hati, tidak memberikan sebuah celah, kemudian menepuknya beberapa kali dengan sekop untuk membuatnya padat.
“...Mm.”
Akhirnya dia mengangguk, terpuaskan.
Ini akan cukup untuk sebuah lubang. Tempat lainnnya sudah di siapkan. Ini merupakan tempat terakhir.
Yang tersisa adalah perangkap yang dia rakit dengan menggunakan pasak, tali, dan kayu yang masih tersisa, namun tidak cukup untuk memasangnya di semua tempat.
Goblin Slayer memeriksa langit, berusaha menerka seberapa lama waktu telah berjalan dari sisi kemiringan bulan. Dalam musim gugur dan musim dingin, malam hari sangatlah panjang, dan pagi hari datang lebih telat. Walaupun seperti itu, dia ragu akan waktu yang tidak mencukupi.
Dengan cepat dia menarik sebuah papan kayu dari tasnya.
Dia berjalan menuju semak-semak dan pepohonan, melakukan pekerjaan secara hati-hati sebelum dia berdiri.
“Harus cepat-cepat.”
Dia menopang perlengkapannya di pundak kemudian berlari di bawah bulan layaknya sebuah bayangan.
Dia melewati alang-alang dan melewati pepohonan sebelum itu terjadi.
“Hei, sedang apa kamu di sana?!”
Sebuah suara terlintas di udara layaknya serangan kejutan. Goblin Slayer berhenti mendadak.
Terdengar suara tanaman yang terinjak di bawah sepatunya, dan ujungnya bergesekkan dengan armornya.
“Hm.” Goblin Slayer bergumam, namun tangannya tidak bergerak menuju pedangnya.
Tidak ada goblin yang dapat berbicara bahasa umum dengan begitu lancar.
“Siapa di sana?” dia bertanya pendek. Suara gemerisik menjawab.
Seseorang yang tinggi terselimuti oleh jubah panjang muncul.
Sepatu orang tersebut dapat terlihat dari bawah jubahnya, terlihat sering di pakai, dan ujung sepatunya telah di perkuat. Terlihat jelas bahwa dia seorang petualang.
Tapi suara kasar yang membalas tidak menawarkan jawaban.
Aku yang bertanya di sini.”
Suara itu membuat Goblin Slayer bergumam, “Wanita...?”
“...Sekali lagi. Siapa atau apa kamu?”
Hampir dengan segera, sebuah cahaya putih, menyilaukan mata yang terbiasa melihat dalam kegelapan, di tembakkan ke udara.
“Aku Goblin Slayer.”
Dengan satu jari dia dengan santai mendorong pedang yang ada di tenggorokkannya.
Dia terdengar lemas, hampir seperti sedang bertarung dengan rasa ingin menguap.

Sebuah pedang panjang—bermata satu—dan petarung pedang berkemampuan tinggi.
Benar, ini terjadi terlalu cepat untuk di tanggapi—tapi Goblin Slayer juga memilih untuk tidak menanggapi.
Akan sangat bodoh untuk bertanya siapa musuhnya dan di tebas di saat yang sama.
Bahkan bagi mereka yang tergilakan akan nafsu membunuh dapat mengerti.
Tertutup oleh jubahnya, wanita itu menyipitkan matanya ragu.
“Kamu...membasmi goblin...?”
“Ya.”
“...Kedengarannya gila.”
“Begitu.”
Mata pedang yang dia dorong kembali di rapatkan, mencari lehernya.
Pedang itu menarik sebuah rantai dengan plat silver yang bergantung di sana.
“Plat silver... Petualang tingkat silver?”
“Seperti itulah,” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan, “guild telah menilaiku seperti itu.”
“...Aku mengerti.”
Pedang itu kembali ke sarung layaknya angin berhembus dengan suara klik.
Kelihaian gerakan itu menandakan bahwa dia seorang petualang tingkat tinggi. Tentunya paling tidak Copper, Goblin Slayer menebak.
“Sepertinya aku terlalu cepat ambil kesimpulan. Maafkan aku.”
“Nggak masalah.”
“Aku kira kamu undead atau sesuatu...”
Wanita itu terdengar canggung seraya meminta maaf, tapi nadanya sudah melembut.
Goblin Slayer menggeleng kepala perlahan. Hal ini tidaklah penting baginya.
Masalahnya adalah—
“Hei, bukannya aku sering bilang sama kamu untuk nggak lakukan itu?”
Pada saat itu sebuah suara, cerah layaknya matahari, yang terdapat di belakangnya.
“Dia selalu berkesimpulan buruk tentang semua orang. Nggak usah khawatir, aku menghentikannya.”
“Kenyataannya dia memang mencurigakan.”
Suara berikutnya terdengar begitu dingin sedingin es. Dua orang baru.
Dengan gemerisik, alang-alang terbuka, memunculkan seorang petualang pendek dengan jubah panjang juga.
Sangatlah mudah untuk bisa menyangka bahwa orang ini adalah seorang rhea, namun mereka membawa pedang berukuran panjang di pinggul mereka.
Mereka pastilah manusia. Seorang rhea tidak memiliki otot untuk mengayunkan senjata itu.
Orang lainnya membawa sebuah tongkat besar dan berpakaian lebih cerdas di bandingkan dengan dua orang lainnya. Terlihat jelas bahwa dia seorang pengguna sihir.
Dan mereka semua, adalah wanita, jika di dengar dari suaranya. Party yang hanya terdiri dari wanita sangatlah langka.
“Jadi sedang apa kamu? Aku penasaran juga.” Swordswoman kecil bertanya.
Sebelum Goblin Slayer dapat mengatakan apapun, wanita itu mengambil beberapa langkah lincah ke depan.
Dengan langkah seringan pertanyaannya, dia mendekatkan jarak antara mereka seolah mereka sedang berjalan-jalan.
“Hrm.” Goblin Slayer bergumam, dan setelah berpikir sejenak, memberikan jawaban.
“Aku mengambil langkah persiapan.”
“Persiapan? Hmm...” Dia melirik sekitar Goblin Slayer, kemudian berkata “Kamu punya perlengkapan aneh...”
“Benarkah?”
“Ah, maaf. Aku nggak bermaksud mengejekmu, aku mengira ini sedikit lucu.”
Suaranya begitu ceria hingga Goblin Slayer dapat mengetahui bahwa wanita itu tersenyum di balik tudungnya.
Meskipun demikian, pernyataannya memancing reaksi Goblin Slayer. Dia sama sekali tidak mengetahui apa yang lucu tentang armor kulit dan helm murahan, atau pedang dan perisainya.
Namun para wanita memperhatikan dirinya, dia mengamati mereka sebagai balasan.
Mereka bukanlah dari petualang lokal. Dan mereka bukanlah goblin—untuk hal itu, paling tidak, dia yakin.
“...Aku rasa dia nggak telibat. Kemungkinan.”
Setelah beberapa saat, petualang dengan tongkat berbicara dengan nada kaku.
“Jujur aja, aku sulit mempercayai ada orang yang seaneh ini.”
“Aku...rasa begitu. Benar sih dia menyembunyikan wajah dan kulitnya, tapi aku setuju ini sedikit berlebihan.”
Tanggapan itu berasal dari wanita pertama. Pedangnya masih dalam sarungnya, dia melanjutkan dengan nada menyombongkan diri yang aneh, “Aku melihat perbedaan kemampuan kami. Dia bukanlah masalah.”
“Menurutmu? Kalau kamu bilang begitu, aku rasa itu benar.”
Gadis itu, yang memiringkan kepalanya sementara rekannya berdiskusi, menepuk tangannya.
“Yah, bapak, maaf sudah mengganggumu!”
“Nggak apa-apa.” Goblin Slayer menggeleng kepala perlahan, kemudian meletakkan barang bawaannya ke tanah. “Kalian datang untuk melihat festival?”
“Huh? Oh, uh, yah... aku rasa begitu. Festivalnya ada di dekat sini, kan?”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk. “Ini kota yang akan menyelenggarakan festival panen.” Kemudian, setelah beberapa saat, dia menambahkan, “Kalau kamu butuh penginapan, kamu harus cepat mencarinya.”
“Oh, wow. Oke. Aku mengerti. Ini sudah larut sekarang. Kami harus segera pergi. Maaf!” dia menambahkan sekali lagi, dan berlari kecil menjauh.
Dua orang lainnya dengan cepat tersadarkan, seraya gadis itu semakin menjauh.
“Argh, dia selalu saja—! Kami permisi dulu kalau begitu. Mohon maaf atas kesalahpahamannya.
“Maaf.” Dua orang lainnya mengikuti gadis yang telah beranjak pergi, menghilang layaknya bayangan.
Goblin Slayer, kini sendiri, hanya bergumam, “Hm.”
Dia meletakkan batu kecil di tempat di mana swordswoman pendek itu baru saja berdiri.
Seraya dia mengingat, bahwa itu merupakan tempat di mana di menggali dan menyembunyikan sebuah lubang.
Apakah latihan seni bela diri, cara dia berjalan, sihir, atau hanya keberuntungan? Goblin Slayer tidak mengetahuinya.
Dan mengenai hal yang tidak di ketahuinya, dia juga tidak dapat menentukan alasan kenapa wanita itu menggunakan jalan setapak ini dan bukan jalan utama.
“.....”
Akan tetapi memikirkan ini semua tidak memberikannya jawaban, oleh karena itu dia mengabaikan pertanyaannya.
Mereka tentunya seorang petualang yang datang dari tempat lain untuk melihat festival.
Dan mereka bukanlah goblin. Itu sudah cukup.
Tapi tetap saja, dia merasa yakin bahwa orang-orang tidak akan melewati daerah ini...
“....Aku harus memilih tempatku lebih hati-hati lagi.”
Terlalu banyak hal yang harus di lakukan.
Dan dia selalu mengetahui apa yang harus di lakukan.