(Translater : Zerard)
Malam
festival
Hari
Goblin Slayer di mulai lebih awal.
Dia
bangun sebelum hari terbit, mengenakan perlengkapannya, dan patroli di sekitar kebun.
Jam
sebelum subuh akan sangat bagus untuk menjadi latihan melihat dalam kegelapan.
Khususnya
setelah musim panas berakhir dan musim gugur tiba, pagi hari menjadi gelap dan
dingin. Sebuah waktu yang sangat cocok untuknya—dan untuk seekor goblin.
Dalam
menit yang dingin itu sebelum garis horison mulai terlihat di kejauhan, dia mendedikasikan dirinya sendiri untuk
berlatih dan waspada.
Mata
menatap ke depan, senjata di tangan, mengambil langkah hati-hati sedikit demi
sedikit.
Jika
seekor goblin muncul pada saat ini, dia akan menghadapinya dengan tenang dan
tak bersuara.
Seperti
itulah bagaimana telitinya dia—se-telitinya dia ingin.
“Pagi!
Sedikit dingin ya hari ini?”
Ketika
matahari mulai terbit, teman lamanya bangun mendengar kokok ayam jantan.
Dia
mengeluh akan suhu, sebagian besar di karenakan dia tidak mengenakan apapun
selain pakaian dalamnya dan sehelai seprai kasur.
Dia
bersandar keluar pada jendela, dengan senang menunjukkan dada montoknya yang
terpapar. Tentu saja dia merasa dingin.
“Kamu
bisa demam.” Goblin Slayer hampir tidak menatapnya, dengan tenang menyarungkan pedang telanjangnya.
“Aw,
Aku sudah terbiasa. Nggak apa-apa kok.
Sarapan akan siap sebentar lagi, oke?”
“Nggak perlu...” Goblin Slayer memiringkan
kepalanya seolah sedang mendengarkan akan sesuatu, dan berpikir pada dirinya
sendiri. Akhirnya, secara perlahan dia menggelengkan kepalanya. “Ada sesuatu
yang perlu aku lakukan terlebih dulu.”
“Oh,
yang benar?”
“Duluan
saja makan. Dan...” Dia berpikir untuk beberapa saat, namun ketika dia
berbicara, merupakan nada yang sama seperti biasanya. “Aku mungkin akan telat
malam ini.”
“...Oke.”
Gadis Sapi memanyunkan bibirnya dengan sedikit rasa kecewa, tapi tidak lama
tersenyum kembali. “Jangan lupa rapikan piringmu
ketika kamu selesai makan.”
“Baik.”
Dengan
lambaian, Gadis Sapi menghilang dari jendela. Goblin Slayer memutar tubuhnya,
tatapannya menatap pada sebuah gudang.
Yah,
hanya sebuah gudang yang dia sewa begitu saja.
Dia
membuka pintu dengan suara decitan dan masuk.
Lantainya
berantakan dengan perlengkapan dan barang
yang tidak bisa di identifikasi. Dia menggeser benda-benda itu ke samping untuk
membuat sebuah ruang.
Dia
duduk di ruang terbuka itu yang telah dia buat sembarangan, melepas pedang dari pinggulnya, dan
mengambil sebuah batu asah.
Dalam
cahaya redup,
Goblin Slayer dapat melihat bahwa pedang itu mulai bengkok, terkikis dan
berkarat.
Konon
sering di katakan bahwa sebuah pedang tidak dapat memotong lebih dari lima
orang sebelum menjadi tumpul dengan darah dan lemak. Itu adalah benar.
Namun
ada
berapa kali koki kelas dunia, berdiri di
dapur sepanjang haris mengasah pisaunya?
Untuk
seorang swordsman yang luar biasa, membunuh seratus orang pada dasarnya
adalah hal yang
sama. Untuk sebuah pedang, tapi sebuah pisau untuk memotong daging?
Dalam
panasnya pertarungan, itu merupakan cerita yang berbeda. Terutama untuk pedang berkarat
yang di curi dari seekor goblin.
Baginya,
senjata dan armor adalah barang sekali pakai. Mereka dapat di ambil dari musuh
jika di perlukan.
“...”
Tapi
itu bukanlah alasan untuk mengabaikan perawatan perlengkapan seseorang.
Goblin
Slayer mulai mengasah pedangnya.
Dia
menggosok bersih karat, memukul
pedangnya menjadi lurus kembali, dan kemudian menggunakan batu asah untuk
meratakan bagian yang terkikis.
Umumnya,
orang-orang percaya bahwa pedang yang dapat bengkok tanpa patah adalah pedang
yang bagus.
Namun
satu-satunya hal yang bagus dari pedang ini adalah kemampuan dari fabrikan Guild yang membuatnya. Ini jelas
merupakan pedang yang di buat dengan jumlah yang banyak, bukanlah sebuah
pedang terkenal. Karena itu, dia dapat melemparnya tanpa ragu. (TL Note =
saya ragu, saya rasa walaupun dia punya pedang terkenal, dia tetap bakal lempar
pedang itu tanpa ragu. :D)
“Berikutnya.”
Dia
memasukkan pedang pada sarungnya dan berlanjut pada perlengkapan berikutnya.
Untuk
lebih baik ataupun lebih buruk, dia telah mengganti perisai, armor, dan helmnya
sejak peristiwa dalam kota air. Dia tidak bermaksud untuk menggunakan mereka
selamanya, namun dia merasa berterima kasih pada peralatannya, tanpa
terkecuali.
Sebagai
hasilnya, yang hanya mereka butuhkan hanyalah gosokan halus dan inspeksi cepat.
Akan tetapi sepatu botnya membutuhkan perhatian lebih.
Sepatu
botnya juga, bukanlah sesuatu yang spesial, sebuah benda yahg dapat di temukan
di manapun. Walaupun seperti ini, mereka sangatlah penting untuk berjalan dan
berlari melewati gua dan dataran, menendang dan menghancurkan musuh. Dia tidak ingin tersandung pada dataran biasa, apalagi terkena sebuah
jebakan.
Dia
memeriksa tapak bot,
membersihkan sisa-sisa tanah yang tersangkut dan mengelap mereka.
Dia
memeriksa talinya, dan jika talinya berjumbai,
dia akan menggantinya dengan yang baru.
Dengan
ini saja dapat mengurangi resiko tersandung—dan itu merupakan alasan yang cukup
untuk melakukannya.
Berikutnya
kaus kakinya. Pentingnya mereka tidak bisa di remehkan. Mereka sangat penting
untuk mencegah kaki melepuh
dan masalah pada kaki dalam perjalanan jauh melewati tempat yang sulit ataupun
melalui rawa.
Masternya
tidak menggunakan alas kaki, tapi itu karena masternya adalah seorang rhea.
Bangsa bertubuh kecil ini selalu bertelanjang kaki, yang bisa di katakan juga
bahwa, telapak kaki mereka adalah “sepatu” terbaik.
Jika
kamu bisa pergi kemanapun tanpa suara, tanpa terpeleset, tidak ada yang perlu
kamu takuti. Goblin Slayer selalu berpikir bahwa ini adalah kemampuan yang layak untuk di pelajari.
“Sekarang.”
Setelah
memperhatikan sekilas perlengkapannya, dia berdiri perlahan.
Sebuah
helm dengan noda merah kehitaman sepertinya telah terjatuh dari rak.
Itu
merupakan sebuah perlengkapan lama. Goblin Slayer mengambilnya dan
meletakkannya kembali pada tempatnya.
Sekarang
semua perlengkapannya telah tertata dengan rapi. Sudah waktunya untuk
mendapatkan perlengkapan kebun juga.
Membiarkan
batu asah tergeletak di tempat sebelumnya, dia baru saja akan meninggalkan gudang ketika dia melihat sebuah
sosok di pintu.
“...Kamu
pekerja keras.”
“...Ya,
pak.”
Dia
sedikit mencium bau asap tembakau di segarnya udara pagi.
Sang
pemilik kebun bersandar pada dinding, meniup pipanya.
Dia
mengenakan sebuah ekspresi suram,
dan Goblin Slayer
sedikit menundukkan kepalanya.
“Selamat
pagi, pak.”
“Pagi.”
Sang pemilik berkata dengan begitu datar. “Aku dengar kamu berjanji akan pergi ke festival dengan
gadisku.”
“Ya,
pak.”
“...Sebagai
ayah angkatnya, aku nggak yakin apakah aku harus marah soal ini.”
Dia
berbicara dengan wajah masam. Mata mereka bertemu. Tapi kemudian dia tersenyum.
Goblin
Slayer menyadari bahwa dia benar-benar telah lupa bagaimana rupa senyum sang
pemilik.
Sang
pemilik kebun mengerutkan
wajahnya, meundukkan kepala dan menggaruk rambut tipisnya.
“Aku
nggak bermaksud mencampuri urusanmu, tapi...” Dia bergumam. “Aku tahu kamu nggak bermaksud
memberikannya harapan. Tapi, yah..jangan berikan dia harapan palsu.”
“Baik,
pak.”
“Aku
dengar kamu memiliki cukup banyak wanita di sekelilingmu... Aku tahu, aku tahu. Kamu bukanlah tipe yang
terlalu terpengaruh dengan itu.”
“Ya,
pak.”
“Gadis
itu kemungkinan juga mengetahuinya... Tapi sekali-sekali tolonglah pikirkan
perasaan dia.”
“...Ya,
pak.”
Sang
pemilik mengamati anggukan Goblin Slayer,
dan ekspresi yang tidak bisa di baca kembali terhias di wajahnya.
“Selama
kamu mengerti. Atau...” Dia memotong kalimatnya sendiri dan menatap curiga pada
helm itu. “Apa kamu mengerti?”
“Aku
rasa aku mengerti.” Jawab Goblin Slayer. “Walaupun aku tidak begitu yakin.”
Dengan
itu, sang pemilik mengusap batang hidung dengan jarinya.
“...Apa
rencanamu setelah ini?”
“Setelah
aku selesai melakukan perawaran pada perlengkapan kebun, aku berpikir untuk
pergi ke kota dan berbelanja.”
“Benarkah...?”
Sang
pemilik mengemut sembarangan
pada ujung pipanya dan menutup matanya. Dia terlihat tidak yakin ingin
mengatakan apa.
Ketika
dia akhirnya berbicara, nadanya terdengar seperti tertahan.
“...Paling
nggak tunggu sampai selesai sarapan.”
“...”
“Gadis
itu membuatkannya untukmu.”
“Baik,
pak.”
“Kamu
dapat hari libur sesekali. Santai saja.”
“Baik,
pak. Tapi...” Dia terdiam beberapa saat. “Hari libur adalah sesuatu yang aku
nggak begitu memahaminya.”
Goblin
Slayer tidak lupa untuk membersihkan sisa makanannya setelah sarapan.
*****
Adalah
pakaian dalam.
Atau
lebih tepatnya, adalah armor yang sangat mirip dengan pakaian dalam.
Setelan itu termasuk dengan sebuah
pelapis dada, sarung tangan, dan sedikit bagian untuk menutupi tubuh bagian
bawah. Jika di kategorikan, maka ini dapat di sebut dengan light armor. (TL
Note : armor/zirah
ringan.)
Dalam
segi gerakan, kemampuan armor ini melampaui jauh dari satu set penuh plate mail.
Armor
itu sendiri terukir dengan sangat indah, rumit,
dan kokoh.
Permasalahannya
adalah bahwa armor ini tidak mempunyai cukup area untuk di tutupi.
Ini
hanyalah armor dada—benar-benar, armor
buah dada—dan celana dalam.
Benar,
terdapat pelindung pundak. Tapi itu bukanlah permasalahannya. Satu serangan
tepat pada perut dan isi perut sang petualang akan terburai. Armor ini tidak
mencakup perlindungan akan tusukan dari belakang juga, sebuah luka yang sangat
kritikal.
Yah,
walaupun begitu, paling tidak armor ini memiliki akses yang sangat mudah untuk
melakukan P3K. Atau mungkin armor ini di tujukan agar para pengguna berfokus
untuk tidak terkena serangan. (TL Note : P3K = pertolongan pertama pada
kecelakaan.)
Tapi
pada akhirnya, apakah ada orang yang ingin menggunakan ini pada kulit
telanjangnya?
Tentunya
ini membutuhkan sebuah tambahan—sebuah baju besi, semacam armor dalaman? Paling
tidak yang dapat menghentikan sebuah pukulan.
“Nggak,
nggak, nggak, itu nggak bakalan berhasil.”
“Kenapa
nggak?”
“Menutupi
dirimu akan menyembunyikan pesona seoorang wani—“
Knight Wanita terdiam dan melirik ke samping pada warrior kotor yang
berdiri di sampingnya.
“Ugh,
Goblin Slayer?!”
“Ya.”
Dia mengangguk.
Mereka
sedang berada di toko perlengkapan
pada Guild Petualang.
Terdapat
banyak barang di sekeliling mereka. Di dalam bengkel di belakang, master dan muridnya
memukul-mukul palu mereka.
Goblin
Slayer sering datang untuk memesan barang baru, tapi ini adalah pertama kalinya
dia melihat Knight Wanita
di sini. Sebagian, karena perlengkapan knight—dari plate armor kesayangannya
hingga pedang dan perisainya—tidak sering di ganti.
Bagaimana
mungkin seseorang seperti dia, yang sangat membutuhkan perlindungan maksimum
untuk dapat bertahan hidup sebagai perannya di garis depan, berpikir untuk
memakai armor seperti ini?
“Apa
kamu berencana untuk berpindah ke light armor?”
“Huh?
Aku? Oh, nggak, Aku cuma...” Sikapnya yang biasa hilang seraya dia mengalihkan
pandanganya dan melirik Goblin Slayer dari ujung matanya. “Jujur aja, melihatmu
membuatku ingin mengurungkan niatku menggunakan armor kulit.”
“Benarkah?”
Goblin
Slayer memiringkan kepalanya. Dia adalah gambaran akan berantakan.
Baju
besi dan armor kulit kotor,
bersama dengan sebuah helm murahan yang menyembunyikan wajahnya.
Tentu
saja, kekuatan akan kulit
armor tidak bisa di remehkan. Memang benar armor kulit itu lebih ringan dari armor
metal, tapi jika terbuat dengan sangat baik, armor itu dapat membuat sang
pengguna tetap lincah. Helm tidak di sukai oleh petualang muda-mudi yang baru
mendaftar, namun mereka tetap masih melindungi kepala mereka akan serangan
kejutan. Dengan kombinasi baju besi dalaman, sangatlah sempurna untuk bertarung
dengan goblin di dalam ruang gelap dan sempit.
“Nggak
bisakah kamu, kamu taulah—“ Knight Wanita mengamatinya dari atas hingga
ke bawah, mencoba mencari kata yang tepat. “—bersihkan sedikit?”
Mungkin cukup hilangkan noda
merah kehitaman itu.
“Ini
memang
sengaja.” Goblin
Slayer berbicara dengan nada biasanya, akan tetapi terdapat sedikit rasa
kepuasan akan pengetahuannya sendiri. “Ini mencegah goblin mencium bau
tubuhku.”
“...Paling
nggak jaga tubuhmu tetap bersih.”
“Ya.”
Goblin Slayer mengangguk serius. “Atau orang-orang akan marah padaku.”
Knight Wanita menduga
bahwa pria itu serius. Dia menatap pada langit-langit seolah sedang berdoa
kepada dewa.
Dia
tidak sedang mencari sebuah wahyu atau petunjuk,
tentunya. Ini hanyalah sesuatu yang dia lakukan secara kebetulan.
Aku rasa aku akan berhenti
bertanya.
“...Jadi.
apa yang akan kamu beli?”
“Pasak, dan dua utas tali. Aku juga
perlu kawat dan kayu. Aku juga harus mengganti sekopku.”
“Petualangan
macam apa yang kamu lakukan untuk memerlukan itu semua?”
“Ini
bukan untuk petualangan.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya. “Ini untuk
membasmi goblin.”
Knight Wanita menghela nafas. Tentu saja.
Namun
Goblin Slayer tidak menyadari reaksinya, akan tetapi mempelajari armor itu
dengan seksama.
Armor
itu terlihat seperti dua pasang pakaian dalam baginya, sesuatu yang dia ragukan
untuk di sebut sebagai armor.
“Apa
ini? Armor ketengan?” (TL Note
: ketengan = https://www.artikata.com/arti-368404-ketengan.html )
“Bisa
di bilang begitu, aku rasa.”Knight Wanita
berkata, tapi Goblin slayer sama sekali tidak mengerti apa yang dia maksud.
Secara keseluruhan, armor ini lebih dari sekedar “armor ketengan.” Tapi kurang dari sebuah “armor.”
Tidak ada satupun orang yang memiliki akal sehat yang akan mau menggunakan
armor seperti ini di petualangan manapun di mana mereka akan bertemu dengan
monster.
Yah,
mungkin hanya segelintir petarung tertentu yang dapat melakukannya. Atau
mungkin seseorang yang berada di garis belakang—seorang wizard atau thief, atau
bahkan monk.
Telah
berkesimpulan seperti ini, Goblin Slayer
menggeleng kepalanya perlahan.
“Ini
nggak akan berhasil.”
“...Ini...
Petualang wanita, kamu tau...” Knight Wanita
terlihat seperti ingin menjawab Goblin Slayer yang tidak menyetujuinya. Namun
wajahnya merah, dan dia tidak dapat mengarahkan matanya memandang Goblin
Slayer. Dia bahkan hampir tidak bisa mengeluarkan suaranya, tidak seperti
dirinya yang biasa. “Maksudku, nggak banyak...pria yang menarik di luar sana.”
“Benarkah?”
Goblin
Slayer memiringkan kepalanya.
Knight Wanita, paling tidak, menurut Goblin Slayer cukup cantik.
Rambut
emas gemulainya. Mata almondnya.
Dia juga memiliki raut wajah yang indah juga, dan kulitnya terlihat sangat
halus. Jika dia mengenakan sebuah gaun, dia bisa di sangka sebagai putri
bangsawan.
Namun
dia hanya menjawab, “Yeah, benar.” Dan begitulah.
“Coba
di pikir. Petualang pria selalu berakhir dengan menikahi seorang permaisuri,
atau seorang gadis desa yang mereka selamatkan.”
“Yang
ku dengar seperti itu. Aku nggak bisa berbicara dari pengalaman.” Goblin Slayer
memiringkan helmnya sedikit.
Dia
mengingat cerita seperti itu dari buku ketika dia masih bocah kecil.
Sang
Ksatria membunuh naga dan menyelamatkan permasuri. Dia membawanya kembali ke
istana, di mana ksatria itu menolak tahta dan pergi jauh berkelana.
Dan
di sebuah lahan yang jauh dan aneh, dia menikah dengan permaisuri dan membentuk
negara baru.
“Yah,
pikirkan saja ucapanku.”
Goblin
Slayer memiliki nada serius yang sama yang dia gunakan pada saat memecahkan
teka-teki. “Jadi, memangnya kenapa?”
“Yah,
menurutmu apa yang terjadi pada para wanita petualang yang tersisa?” Ekspresi Knight Wanita putus asa
dan muram.
“Hm,”
Goblin Slayer bergumam, melipat tangannya. “Mungkin mereka bisa menikahi salah
satu rekannya.”
“Aku
tahu banyak cerita akan party yang
terpecah belah saat cinta tumbuh di antara mereka dan situasinya menjadi nggak
dapat di bendung.”
“Cerita
buruk.”
Benar.
Goblin Slayer membicarakan topik itu dengan keseriusan yang sangat.
Goblin
Slayer telah melihat beberapa party dengan banyak wanita di dalamnya, namun
mengatur mereka bersama sangatlah merepotkan.
Walaupun,
dia juga pernah mendengar bahwa party yang hanya terdiri dari wanita saja
cenderung cukup akur. Dia mengingat mendengar cerita seperti itu dari salah seorang
suku Amazon suatu hari.
Dia
tidak berpikir bahwa kala itu ada sangkut pautnya dengan goblin, tapi jika di pikir kembali
dia berharap bisa bertanya dengan lebih terperinci dengan suku
itu. Karena,
sekarang dia telah memiliki dua wanita dalam partynya. Jadi kisah itu tidaklah tidak
ada sangkut pautnya dengan dia lagi, seraya dia berpikir.
“Kalau
begitu cari seorang suami yang bukan petualang.”
Saat
ini dia harus berbicara dengan orang yang sedang mengajaknya bicara. Goblin
Slayer menawarkan apa yang menurutnya sebuah saran yang praktis.
Namun
Knight
Wanita
memberikannya senyuman putus asa layaknya sebuah akhir dunia.
“Kamu
pikir ada pria di sana yang mau menunggu
seorang gadis yang dapat membunuh troll atau naga dengan satu tebasan
pedangnya?”
“Apa
nggak ada?”
“...Yah,
apa pendapatmu tentang wanita seperti
itu?”
“Dia
pasti wanita yang dapat di andalkan.”
“...Sudahlah.”
Knight
Wanita berkata,
memberikan Goblin Slayer tatapan ragu
dan hela nafas panjang. “Secara pribadi, aku nggak terlalu tertarik dengan pria
yang bukan petualang, tapi...” knight yang biasanya keras kepala ini berdiri dengan gelisah,
tidak yakin kemana harus menatap. “...Akan lebih baik kalau dia sedikit lebih…tangguh.”
“Ya.”
Pada saat ini, Goblin Slayer akhirnya dapat menyatukan setiap keping petunjuk
menjadi satu.
Petarung
dengan armor tebal dalam partynya—Heavy Warrior.
Goblin
Slayer membayangkan pria berwajah tangguh
yang selalu menjaga anggota paling muda mereka dalam grup.
“Apa
dia?”
“...Yeah.”
Knight Wanita menjawab dengan anggukkan kecil, sebuah gambaran gadis
kecil tak berdosa.
Tunggu...
Goblin
Slayer menghela setengah nafasnya.
Dia
selalu mengira bahwa wanita ini lebih tua dari yang terlihat, di karenakan sikapnya, tapi mungkin wanita ini
lebih muda dari yang Goblin Slayer kira.
Dan,
dengan itu berlanjut.
“Aku
kira cinta di antara anggota party membuat situasi menjadi nggak mengenakkan.”
“Selalu
ada pengecualian di setiap aturan!”
“Begitu.”
“...Hey,
uh Goblin Slayer... aku sebenarnya nggak mau tanya ini sama kamu, tapi...” Knight Wanita menelan liurnya, dan
sepertinya ini membuatnya sangat malu hingga membuatnya tersipu merah. “Kalau
aku... Kalau aku pakai sesuatu yang seperti itu, apa menurutmu aku bisa menarik
perhatiannya...?”
“Jujur
aku harus mempertanyakan tingkat kewarasan seseorang yang menanyaiku pertanyaan
itu.”
“Urg...”
Berdiri
di depan armor bikini, Knight Wanita mendapati dirinya sendiri kebingungan.
Sebagai
sebuah dinding kokoh dalam pertempuran, dia tidak terbiasa menerima serangan
kritikal.
“Kalau
kamu mau melancarkan serangan kejutan, kamu harus berubah.”
“...Huh?”
Akan
sangat tidak pantas baginya yang berperan sebagai seorang tank jika pernyataan seperti itu
dapat membuatnya terhenyak. Dia menggerakkan tubuhnya dengan ragu.
“Mencoba
hal yang sama berulang kali akan meempunyai efek yang kecil. Paling tidak,
dalam pembasmian goblin.”
“...Aku
nggak bertanya soal pembasmian goblin.”
Knight Wanita melototinya dengan kesal.
Goblin
Slayer melipat tangannya. Dia berpikir, kemudian melanjutkan.
Dia
benar-benar tidak memiliki apapun yang bisa di utarakan selain dari
pengalamannya.
“Kamu
berbicara soal pakaian. Kamu biasanya selalu menggunakan armor. Jadi menjauhlah
dari itu. Coba gunakan pakaian sehari-hari.”
“Er...
Pa-pakaian sehari-hari...? ...O-oke. Akan ku pikirkan.”
“Aku
mengerti.”
“Yeah.
Um...maaf soal pertanyaan yang aneh.”
“Aku
nggak masalah.” Goblin Slayer menggeleng kepala. “Kita kolega.”
Itu
membuat Knight Wanita
berkedip.
Sepertinya
dia tidak siap mendengar itu. Dia menatap pada helm kotor itu, kemudian
parasnya menjadi santai.
“...Kamu
orang aneh yang keras kepala.”
“Begitu.”
“Tapi
ternyata, kamu bukan orang yang jelek.”
Itulah
serangan kejutannya. Knight Wanita
tersenyum.
“Sampai
jumpa.” Dia berkata ceria, dan meninggalkan Goblin Slayer yang berdiri terdiam
di sana.
*****
“Keh-heh-heh!
Bagaimana? Aku rasa dia menyukaimu.”
Goblin
Slayer menemukan sumber tawa itu, master dari workshop ini.
Sudah
berapa lama dia berdiri dan mendengarkan? Pria tua, cukup pendek yang dapat
membuatnya di sangka sebagai seorang dwarf, keluar menuju toko.
Goblin
Slayer mengesampingkan percakapan barusannya di dalam pikirannya, melangkah
sigap.
“Aku
mau memesan. Pasak dan—“
“Kamu
pikir aku nggak mendengarmu? Aku sudah siapkan semuanya di sini. Kamu, bocah,
keluarkan barangnya!”
“Baik
pak!”
Sang
murid mematuhi masternya dengan cepat. Dia membawa pasak, kawat, dan semuanya
menuju meja kasir.
“Terima
kasih.” Goblin Slayer berkata, dan mulai memeriksa barang itu.
Beberapa
barang harus di pesan di workshop ini, tapi untuk yang lainnya harus di cari di
tempat lain.
Sekarang
dengan semua yang dia butuhkan, dia mengapit barang-barang di bawah lengannya.
Dia memikul sekop di pundaknya, kemudian
menggantung sisanya dengan di ikat.
Para
petualang dapat dengan cepat belajar bagaimana mengepak segalanya dalam ruang
yang kecil.
“Kamu
sudah melakukan pekerjaan yang bagus dalam membuat namamu populer di sini dalam
lima tahun terakhir ya?”
Goblin
slayer mengeluarkan kantungnya dari tasnya,
membiarkan beberapa koin terjatuh di atas meja.
Sang
master menghitungnya dengan jarinya yang kekar, menyeretnya di atas meja
datarnya. Matanya menyipit di atas pipi keriputnya.
“Benarkah?”
“Benar.”
“Begitu.”
“Yep.”
Pria
tua itu menyeringai, seolah mengingat sedikit sejarah memalukan akan
saudaranya.
“Waktu
kamu datang ke sini, bocah kecil berumur lima belas tahun yang menginginkan
perlengkapan yang murah, aku kira aku nggak akan pernah melihatmu lagi.”
“Dalam
sisi penghematan biaya, itu adalah pilihan yang sudah seharusnya pada saat
itu.”
“Benar,
dan aku mengira kamu akan meningkatkan perlengkapanmu suatu hari. Tapi kamu
selalu menggunakan barang itu semua dan selalu meminta
barang yang sama.”
“Apa salahnya membeli pedang
yang cukup bagus sesekali?”
Goblin
Slayer tidak menjawab.
Dia
mengetahui bahwa semua ini adalah peralatan yang di butuhkan untuk membasmi
goblin.
Walaupun
ada pedang yang di perkuat mantra khusus untuk membasmi goblin, petualang ini
kemungkinan tetap tidak akan memakainya.
“Ah,
sudahlah.” Sang master bersandar pada meja seperti lelah akan kebodohannya
sendiri. “Mau beli seseuatu yang lain hari ini? Aku punya sesuatu yang nggak
biasa.”
“Apa?”
“Pisau
lempar ala selatan.”
“Oh-ho.”
Sang
master tidak melewatkan reaksi Goblin Slayer.
“Aku
mendapat perhatianmu, ya?” sang pria tua berkata dengan senyum berani. Dia
tidak menunggu sebuah jawaban dan langsung berputar ke belakang.
Dia
mengambil pisau berbentuk aneh dari sebuah rak dan meletakkannya di atas meja
dengan suara keras.
Adalah
belati dengan bentuk yang tidak lazim.
Mata
pisau terbagi menjadi tiga bagian,
setiap bagian
bengkok seperti sebuah cabang. Benda ini seperti tidak di maksudkan untuk
pertarungan antar tangan. Satu-satunya cara untuk menggunakannya adalah dengan
melemparnya.
Namun
ini jelas adalah sebuah pisau—dengan kata lain, bukanlah senjata yang dahsyat.
“Ciptaan
kecil dari ku. Bagaimana menurutmu?”
“Goblin
Slayer mengambil senjata itu ke tangannya. Dia mengambil kuda-kuda, membuat
beberapa tebasan, dan akhirnya mengangguk.
“Goblin
akan sulit untuk menirunya.”
“Semua
orang akan sulit menirunya!”
“....Apa
keunggulannya?”
Master
mengerutkan dahinya. Namun walaupun seperti itu. Dia tetap ceria, mungkin
meninkmati sebuah kesempatan untuk membahas senjatanya.
“Aku
tahu itu terlihat seperti apa, tapi itu sebenarnya sebuah pedang.”
Jarinya,
kasar di karenakan bertahun-tahun menempa, menunjuk pada tiga mata pisau.
“Benda
itu berputar saat kamu melemparnya—untuk stabilitas, dan membuatnya terbang
lebih jauh. Ini lebih untuk memotong dari pada menusuk.”
“Begitu
juga pisau lempar ala timur.”
“Itu
adalah senjata menusuk. Senjata menusuk kualitas
rendah”
“Aku
mengerti.”
Goblin
Slayer menggerakkan jarinya menelusuri mata pisau yang seperti kincir angin.
Ini
terlihat pantas, apapun itu. Tidak ada saalahnya.
“Kalau
begitu, aku ambil satu.”
“Senang
berbisnis dengamu. Lima...nggak, empat koin emas.”
Sedikit
mahal untuk sebuah senjata lempar, namun Goblin slayer tetap menghitung dengan
sigap.
Dia
menderetkan koin baru di atas meja, dan pria tua itu mengambilnya tanpa
memeriksanya kualitas uangnya.
Pria
muda ini, pemburu goblin berpikiran sempit ini, lebih memilih senjata seperti
ini di bandingkan dengan senjata legendaris.
Dia
telah menjadi pelanggan tetap di sini selama lima tahun, dan setiap penjaga
toko yang tidak mengetahui kesukaan pelanggannya setelah selama itu, akan
dengan cepat gulung tikar.
Dia
dia sangat meragukan bahwa pemuda ini adalah tipe orang yang akan membayar
dengan uang palsu.
“Dan
scroll. Jika kamu mempunyainya, simpan untukku.” Goblin Slayer menggantung
pisau bermata seperti kincir di belakangnya, dari ikat pinggangnya. Dia
berusaha mengeluarkannya beberapa kali, menggerakkannya sampai tidak lagi
bertabrakkan dengan barangnya yang lain.
Penjaga
toko memperhatikannya dengan ekspresi puas dan menjawab ringan, “Ya, ya,
seperti biasanya. Tapi aku jarang melihat benda itu. Ada yang yang lain?”
“Hmmm.”
Akhirnya
merasa puas dengan penempatan senjata lemparnya, tiba-tiba Goblin Slayer
teringat sesuatu.
“...Aku
ingin beberapa ikan kering.”
“Aku
jual senjata dan armor di sini. Aku bukan nelayan.”
“Aku
mengerti.”
Helm
tak berekspresi itu menunduk. Penjaga toko menghela.
Semua permintaan aneh ini. Apa
dia benar-benar mengerti...?
“...Kalau
kamu nggak keberatan dengan yang sudah di awetkan...Aku punya beberapa.”
“Kalau
begitu, tolong kirimkan dua atau tiga drum ke kebun.”
“Drum?
Aku sudah bilang, ini bukan toko serba ada.”
Namun
kalimat itu hanya terucap sebagai gumamannya. Pria tua itu mengeluarkan buku
pesanannya, menjilat pena, dan menulis.
*****
Telah
selesai berbelanja, Goblin slayer keluar dari bengkel dengan langkah tidak pedulinya.
Dia
melangkah sigap menuju papan buletin, mempelajari setiap quest baru.
Semua
petualang lain telah memilih quest mereka. Terlihat tempat yang kosong di mana
kertas quest tersebut telah di ambil.
Permasalahan
dengan naga. Reruntuhan yang belum di jelajahi. Ogre (apa itu?). Mengumpulkan persediaan dalam hutan. Perburuan harta
karun. Vampir dalam kastil tua (dia pernah mendengar makhluk seperti itu).
Membasmi tikus di saluran air. Menumpas bandit.
Secara
sekilas dia melihat kata seperti Sekte
jahat, Dark Gods, pembasmian demon, dan investigasi.
Dia
mencari dari ujung kanan atas hingga ujung kiri atas, baris demi baris, hingga mencapai ujung kiri bawah.
Dia
mengulangi dua sampai tiga kali, dan akhirnya menarik kesimpulan.
“...Hari
ini nggak ada.”
Ini
tidaklah seperti biasanya. Goblin selalu muncul di manapun, kapanpun.
Dia
melirik pada meja resepsionis, namun tidak melihat tanda adanya Gadis Guild.
“..Hrm.”
Dengan
sedikit dengusan, dia tetap melangkah menuju meja resepsionis.
Helm
metalnya berayun ke kiri dan kanan, hingga dia melihat seorang petugas Guild
yang sepertinya sedang bersantai.
“Hei.”
“Ap—?
Uh, ah!”
Petugas
yang terkejut menjatuhkan bukunya yang secara sembunyi-sembunyi di bacanya dari
bawah mejanya.
Sang
petugas—Inspektur—mengambil bukunya seolah tidak ada terjadi apa-apa dan dengan
cepat mengenakan senyumnya.
“Ah,
tidak lain dan tidak bukan Goblin Slayer.”
Petualang
yang eksentrik ini cukup terkenal
di sekeliling Guild.
“Apa
ini tentang quest yang kemarin? Kami sudah menyiapkan hadiahnya untuk di
berikan...”
“Baiklah.
Kalau begitu, tolong di bagi menjadi dua kantung. Secara merata.”
“Baik,
pak.”
“Aku
juga ingin membuat laporan lengkapku.”
“Ah...
Anda bisa melaporkannya kepada saya. Jika anda tidak keberatan...” Inspektur
melirik dengan ragu pada ruangan kantor di belakangnya. “Walaupun saya berharap
dia tidak marah dengan saya...”
Goblin
slayer tidak dapat memahami apa yang sedang di ucapkan Inspektur.
“Anda
tidak di tugaskan dengan saya, jadi saya mungkin tidak dapat memahami semuanya.
Apa hari lain tidak masalah?”
“Aku
nggak keberatan.” Goblin slayer berkata dengan anggukan kecil. “Tapi—apa dia
baik-baik saja?”
“Oh,
dia baik-baik saja.” Inspektur mengecilkan suaranya hingga menjadi bisikan,
memperhatikan sekelilingnya, dan tersenyum. “Ada banyak hal yang harus di
selesaikan sebelum
anda mengambil hari libur anda. Dia harus berada di banyak tempat sekaligus
hari ini.”
“Aku
mengerti.”
“Dapatkah
saya memberitahunya bahwa Goblin slayer mengkhawatirkannya?”
“Aku
nggak khawatir.” Namun dia tidak juga menolak, menambahkan “Aku nggak
keberatan” dengan anggukkan.
Senyum
Inspektur melebar. Goblin Slayer memutar helmnya mengindikasikan. papan buletin
“Goblin.
Hari ini nggak ada?”
“Pembasmian
goblin? Mohon tunggu sebentar.” Inspektur menghilang menuju ruang belakang dan
kembali dengan sebuah kantung kulit dari sebuah brangkas.
Dia
menimbang koin emas di dalamnya dengan sebuah timbangan, kemudian
memindahkannya menuju dua kantung baru.
“Ini
dia.”
“Terima
kasih.”
“Sekarang,
untuk pembasmian goblin....”
Goblin
Slayer dengan acuh
mengambil hadiah dan memasukkan dua kantung itu pada
tas nya. Seraya dia melakukannya, Inspektur mengeluarkan sebuah daftar dan
membalikkan halaman demi halaman.
“Coba
saya lihat... Anda benar. Sepertinya tidak ada quest yang melibatkan goblin
hari ini.”
“Apa
ada yang lain yang sedang mengerjakannya?”
“Tidak
pak. Sepertinya tidak ada hari ini.”
“Aku
mengerti.” Goblin slayer berkata dengan gerutu kecil.
“Anda
terlihat kecewa.”
“Ya.”
Inspektur berbicara dengan santai, namun Goblin Slayer mengangguk serius.
“Sangat kecewa.”
“Maaf
saya tidak bisa membantu.” Inspektur berkata, kebingungan melihat respon Goblin
Slayer. Goblin Slayer berputar dan berjalan menjauh.
Goblin
merupakan makhluk pencuri dan licik.
Walaupun mereka membuat senjata dan alat seadanya, tidak pernah terlintas di
pikiran mereka untuk membuat makanan mereka sendiri atau bahkan tempat tinggal
mereka. Mereka bertahan hidup dengan mencuri apa yang mereka butuhkan...
“...”
...Dengan
kata lain, mereka sedang mencari waktu yang tepat.
Goblin
Slayer mendengus dan menggeleng kepalanya. Dia melirik sekeliling lobby seraya
dia berpikir.
“Arrgh!
Kepalaku rasanya mau meledak! Dan Gadis Guild nggak ada di sini pula!”
“Bodoh.
Itu, karena, kamu, minum, terlalu, banyak.”
Di
sana lah Spearman, mengacak-acak rambutnya, dan Witch, seperti biasanya.
“Oh,
hei, kamu kembali. Astaga, seberapa lama sih waktu untuk cuma beli satu barang?”
Heavy Warrior berkata, menopang dagunya dengan tangan. Female Knight tersipu
marah.
“O-oh,
hus. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan...”
Half
Elf Fighter melompat riang. “Yah, bahkan knight kesayangan kita ingin tampil
kece untuk festival!”
“Wow,
yang benar?! Aw, itu bagus banget. Apa aku harus pakai gaun atau sesuatu juga
ya.” Gadis Druid berkata, menopang pipinya dengan tangan. Namun Bocah Scout menyindir padanya dingin.
“Kamu
mau tampil kece, huh, kak? ...Yah, paling nggak kamu cantik dari dalam.”
“Ap-apa
kamu bilang?!”
“Hei,
jangan ribut!”
Party
Heavy Warrior cukup bersemangat membahas festival. Di samping mereka, Rookie
Warrior dan Apprentice Priestess menunjukkan rasa tertariknya.
“Apa
kami tetap bakal pakai jubah? Aku agak berharap untuk bisa melihatmu pakai pakaian
ritual...”
“Jaga
mulutmu, atau ku hajar kamu.”
“Yeah,
tapi maksudku, ini festival...”
“....Ya-yah,
aku rasa mungkin aku bisa...berdandan
sedikit...”
“Yang
benar?! Woo!”
“Hei,
jangan terlalu di ributkan, kamu bikin malu aku!”
Petualang
yang lain juga sama. Semuanya cerah menantikan pada festival yang akan datang. Tidak satu orang pun
yang tidak menantikannya.
“...Hampir
nggak seorangpun.” Goblin Slayer bergumam dalam helmnya seraya pandangannya
bertemu dengan petualang yang duduk di suatu pojok. Pria muda ini menggunakan jaket
panjang hitam, yang terlihat menantang,
dan memperhatikan petualang dengan tatapan berkilau.
Ini
bukanlah hal aneh. Ambisi sangatlah di perlukan untuk dapat sukses dalam
jenjang karir ini.
Goblin
Slayer mulai berjalan perlahan, memperhatikan semua orang dengan pandangan dari
dalam helm.
Selalu
terlalu banyak hal untuk di pikirkan. Dan selalu terlalu sedikit petunjuk.
Dan terlalu banyak yang harus
di lakukan, dia
berpikir.
“Mph.”
“Oh!”
Priestess
datang dari luar dan berlari padanya. Dia menegakkan tubuhnya dan menggenggam
topinya.
“Oh,
uh, ah, pa-pak Goblin Slayer!” Pipi Priestess tersipu, walaupun dia tidak
mengetahui apa yang membuat Priestess malu. Goblin Slayer hampir mengira sebuah
uap keluar dari telinga Priestess seraya Goblin Slayer memirringkan kepalanya.
“Apa
kamu bisa tidur tadi malam?”
“Y-ya.
Aku baik-baik saja.”
Mungkin
dia hanya paranoid. Mata Priestess berkelana dari satu tempat menuju tempat
lain dengan gelisah.
“Mm.”
Goblin Slayer mendengus pelan. “Aku mau memberikan ke kamu sebelum aku lupa.”
“Whoa!”
Goblin
slayer memberikannya kantung koin, dan Priestess menerimanya dengan kedua
tangan untuk mencegahnya agar tidak terjatuh. Kantung itu bergoyang pelan
seraya dia memeluknya di dada kecilnya.
“Dari
yang kemarin.”
“Te-terima
kasih...”
Dia
meletakkan uang hadiahnya dengan hati-hati,
namun pikirannya sepertinya sedang berada di tempat lain. Tatapannya terus
menatap pada bengkel.
Goblin
Slayer terdiam beberapa saat sebelum bertanya datar, “Perlu perlengkapan baru?”
“Oh!
Uh...”
Dia
sepertinya telah menebak dengan benar.
Sekarang
keseluruhan kepala Priestess berputar, menoleh bolak balik antara bengkel dan Goblin Slayer. Goblin
Slayer tidak mengetahui apa yang membuat Priestess begitu gelisah.
“Kamu
butuh saran?”
“Ngg—“
Suara Priestess terbata-bata. “Ngg-nggak, Aku...nggak, Aku...bisa...terima
kasih!”
“Aku
mengerti.”
Dia
menyudahi, dan berjalan
melewatinya.
Bagi
Goblin slayer, paling tidak, semua ini sangatlah wajar. Tawaan
terbahak-bahak
dari pria tua di belakangnya sama sekali tidak membuatnya melirik. Mungkin
senior itu tertarik dengan gadis itu.
Itu
bukanlah—seharusnya bukan—hal yang buruk.
*****
Mereka
berkata bahwa waktu sebelum festival adalah festival itu sendiri.
Ketika
dia pergi ke kota, dia mendengar suara palu memukul kayu, bendera yang
berkibar, angin yang bertiup.
Petualang
bukanlah satu-satunya yang tinggal di kota perbatasan ini. Wanita muda sedang
melihat-lihat barang dagangan toko-toko, yang di dekorasi untuk perayaan, berpikir
tentang pakaian apa yang harus mereka kenakan. Anak kecil berlari di sekitar
jalanan, tidak di ragukan lagi mereka berpikir akan bagaimana menghabiskan uang
sangu. Akan sangat mudah bagi rencana mereka terkacaukan seketika melihat mainan di dalam toko
yang di pajang...
Sayuran
yang di potong dengan aneh sedang di keringkan di pinggir jalan, menunggu waktu
hingga mereka dapat di
tenun menjadi lentera. Kereta kuda dan gerobak terlihat lebih banyak dari
biasanya.
Berbagai
macam makanan dan pakaian di jual, dan para pengunjung juga tidak akan
kekurangan barang yang akan di beli. Sudah sewajarnya, dengan datangnya sebuah
festival.
Daerah
ini masih merupakan perbatasan, yang selalu di serang monster, terancam oleh
Demon Gods, dan masih dalam tahap pembangunan. Oleh karena itu, sangatlah di
mengerti jika pada saat festival tiba, paling tidak, semuanya ingin menikmati
diri mereka sebaik-baiknya.
“Hmm.”
Goblin
Slayer melirik semua ini, kemudian berjalan tanpa suara menuju belakang
bangunan Guild.
Sinar
matahari terasa lebih lemah di bandingkan musim panas. Matahari melayang tinggi
di langit, namun angin sejuk membuat terasa seperti musim semi.
Aroma
akan sesuatu yang mendidih terbang dari
dalam galeri Guild.
Gumpalan
asap api dapur banyak mengambang dari berbagai macam rumah di kota. Ini
waktunya makan siang.
Jadi itu kenapa anak-anak
kecil tadi berlari.
Tempat
latihan sekarang kosong. Setiap petualang yang sedang dalam quest sudah
beranjak pergi, dan sisanya sepertinya selalu mengutamakan makan siang di
banding latihan.
Sempurna.
He
menundukkan kepalanya sekali dan pergi
menuju ujung sebuah lahan, di mana dia duduk di bawah teduhnya pohon.
Kemudian
dia meletakkan sekopnya dan melepas ikatan yang terikat di situ.
Pasak,
kayu, kawat, dan lain-lain. Berbagai variasi barang, kebanyakan dari mereka
tidak ada hubungannya dengan petualangan.
Setelah
mencabut pedang pendeknya, dengan segera dia memulai pekerjaannya.
Dia
mengiris pasak hingga ujungnya
menjadi runcing.
Menusukkannya pada kayu, dan memiringkannya. Kemudian dia melingkarkan tali di sekelilingnya
semua
di lakukan dengan gerakan yg tidak biasa
Gerakannya
kaku, akan tetapi tepat, namun apapun yang sedang di buatnya terlihat terlalu
berbahaya untuk di gunakan sehari-hari.
Jika
High Elf Archer berada di sana, tidak di ragukan lagi telinganya akan berayun
penasaran. Priestess akan dengan ragu bertanya apa yang sedang di lakukannya.
Namun
bukanlah mereka berdua yang memanggil Goblin Slayer seraya dia duduk di sana
terfokus akan pekerjaannya.
“Oh!”
“Ho
ho!”
Dua
suara yang tertarik.
Goblin Slayer mendengakkan helmnya sesaat.
Satu
pria yang berbentuk seperti drum, dan yang satu lagi tinggi dan kurus. Dwarf
Shaman dan Lizard Priest—dua dari rekannya.
Bayangan
mereka—satu tinggi, satu rendah—menyatu dengan Goblin Slayer di bawah pohon.
“Ah,
toean’oe Goblin Slajer. Satoe lagi hari jang begitoe indah.” Lizard Priest
menggabungkan tangannya dengan gerakan aneh, tidak terlihat seperti meminta
maaf karena menatap pada Goblin slayer. “Kami berharap tjoeatja
oentoe’ festival eso’ hari akan tjerah seperti ini.”
“Ya.”
Goblin Slayer mengangguk tanpa menghentikkan pekerjaannya. “Aku harap akan
cerah.”
“Setoedjoe, setoedjoe.” Lizard Priest menepuk tanah
dengan ekornya. Di sampingnya, Dwarf Shaman membelai jenggotnya.
“Sibuk
sekali. Apa yang kamu lakukan?”
“Aku
sedang mempersiapkan sesuatu.”
Goblin
Slayer hanya menyiapkan beberapa kata untuk sang dwarf, yang mempelajari apa yang
sedang di kerjakan
dengan tangan masih di jenggotnya.
Itu
adalah sesuatu yang
melibatkan beberapa pasak, sekop, beberapa kawat, dan beberapa kayu.
Mata
Lizard Priest berputar
di kepalanya dan bersemangat akan kemungkinan adanya pertarungan.
“Apa’ah anda berentjana oentoe’ memboenoeh vampir?”
“...?”
Goblin Slayer memiringkan helmnya. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Saja pertjaja bahwa oentoek mengalah’an seorang vampir dengan pasa’ ‘ayoe poetih meroepa’an pengetahoean jang soedah oemoem.”
“Benarkah?”
“Aku
rasa kita harus merasa kagum kalau kamu sampai tahu apa itu vampir.” Dwarf
Shaman berkata, setengah lelah
dan setengah terhibur.
Vampir
sejajar dengan naga dalam tingkat kepopuleran dunia monster.
Tentu
saja, pengetahuan yang lebih dalam akan undead merupakan sebuah rahasia, yang
hanya di ketahui oleh para wizard dan para cleric. Namun bagi seorang pria yang
bahkan tidak mengetahui apa itu ogre, dapat mengetahui apa itu vampir patut mendapatkan
perhatian khusus.
“Aku
nggak terlalu tertarik dengan mereka.”
Setelah
jawaban singkatnya yang sangat mudah di terka, Goblin Slayer kembali
mempertajam pasaknya.
Tapi
kemudian dia bergumam, “Hm.” Dan tiba-tiba berhenti bekerja, memiringkan
kepalanya. “Vampir... Mereka meningkatkan jumlah mereka dengan menggigit orang,
benarkan?”
“Tampa’nja seperti itoe.”
“...Kalau
seekor goblin menjadi vampir, persiapan apa yang harus aku lakukan.”
Dwarf
Shaman menghela, namun Goblin Slayer benar-benar serius.
“Hmm,”
Lizard Priest berkata, menyentuh ujung hidung dengan lidahnya. “Seekor goblin jang mati meroepa’an mayat goblin. Bilamana
mayat itoe bergera’, boe’an’ah itoe bisa di anggap sebagai
zombie?”
“Walaupun
seperti itu,” Dwarf Shaman membalas, hampir tidak dapat menahan tawanya. “Aku
nggak bisa membayangkan seseorang mau meminum darah goblin.”
“Begitu.”
Goblin Slayer menganggukkan kepala
sigap. Tidak jelas apakah dia merespon tanggapan Lizard Priest atau Dwarf
Shaman.
Kemudian
melanjutkan pekerjaannya, dan tumpukkan pasak semakin bertambah seraya mereka
memperhatikan.
Dwarf
Shaman membersihkan sisa serpihan kayu dengan jari tebalnya, bertanya di mulai dari apa yang sudah
di genggamnya.
“Ini
untuk membasmi goblin?”
“Ya.”
“Dah
ku duga.”
Inilah
di mana biasanya telinga High Elf Archer melemas di tambah dengan perubahan
sikapnya.
Namun
setelah setengah tahun bersama, Dwarf Shaman sudah terbiasa dengan ini. Dia membiarkannya
begitu saja.
“Ku
rasa, aku nggak perlu tanya lebih detil lagi kalau begitu.”
“Mustahil
untuk bisa mengetahui dari mana goblin akan muncul.”
“Benar
se’ali.” Lizard Priest berkata,
ekornya berayun perlahan. “Setiap orang haroes tetap siaga sepandjang waktoe”
“Ya.”
Goblin Slayer mengangguk. “Mereka bodoh, tapi mereka nggak tolol.”
Goblin
tidak memiliki keinginan untuk belajar—namun mereka bisa belajar, mereka dapat menggunakan
alat dan strategi. Bahkan Dwarf Shaman dan temannya kesulitan berhadapan dengan
goblin yang telah belajar menyerang dengan kapal dalam petualangan sebelumnya.
Jika sebuah strategi tersebar di antara para goblin, itu berarti sebuah masalah—namun
pria satu ini sangatlah teliti.
Dwarf
Shaman dan Lizard Priest sangatlah profesional dalam ras mereka. Para dwarf
sangat ahli dalam menempa dan bekerja, sementara lizardman menyukai pertempuran
dan kekuatan.
Bagi
mereka, obsesi dan kekeras-kepalaan mempunyai nilai keindahan tersendiri.
“Dji’a begitoe, boleh’ah ‘ami singgah di samping anda?”
Lizard Priest bertanya dengan santun.
“Aku
nggak keberatan.” Goblin Slayer berkata datar.
“Ini bukan tempatku.”
“Aw,
walaupun begitu, nggak ada salahnya bertanya.” Dwarf berkata. Seraya dia
bicara, dia meletakkan sebuah kain dan duduk.
Lizard
Priest membuka ikatan kantung yang dia bawa, menebarkan isinya diatas sebuah
kain.
Sekilas
terlihat seperti bahan-bahan yang di gunakan untuk membuat sesuatu, namun tidak
sepenuhnya juga. Dia memiliki beberapa batang bambu, kertas tipis beraneka
warna, bersama dengan kertas minyak.
“Mm.”
Gumam Goblin Slayer, tidak menunjukkan sedikitpun rasa terkejut. “Lentera
kertas...nggak, lentera langit.” (TL note : atau lentera terbang, bingung saya
mau pakai yg mana.)
“Ho,
jeli juga kamu Beardcutter.” Dwarf Shaman
berkata memuji seraya dia mulai menyusun bahan-bahan itu dengan gerakan cekatan.
Batang
dari pohon bambu sangat ringan dan kuat, dan lentera langit merupakan
pemandangan klasik dari sebuah festival.
Benda
ini sangat mudah untuk di buat: kertas membungkus rangka bambu. Kemudian kertas minyak di masukkan
ke dalam rangka,
dan lentera akan menyala.
“Dan
‘emoedian, saja di ‘isah’an, benda ini a’an melajang menoedjoe langit.” Lizard Priest
menggeleng kepalanya seolah sulit mempercayainya. “Ini sangat wajib saja lihat dengan mata ‘epala saja sendiri. Saja benar-benar menanti’annja.”
“Mereka
sering membuat ini di tempatku. Aku membuat ini untuk Scaly.”
“Mm.”
Goblin slayer mengangguk, memeriksa pasaknya dengan cahaya. “Nggak sempurna...
tapi nggak jelek.”
“Dji’a seperti itoe e’spetasi saja sema’in meninggi.” Lizard Priest
berkata, mengayunkan ekornya dengan gerakan penuh arti. “’arena saja sangat mempertjajai apa jang anda oeocap’an, toean’oe Goblin slajer.”
“...Begitukah?”
adalah keseluruhan jawaban Goblin Slayer. Dia melanjutkan mengerjakan pasak
berikutnya.
Sang
dwarf mengerti arti dari sebuah keheningan ketika seorang perakit sedang
bekerja.
“Ayo,
kalau begitu, kita harus juga mulai.” Dia mengambil bahan-bahan dengan senyum
lembut. “Festivalnya besok. Kita harus siap.”
“Benar.
Saja menoenggoe instroe’si anda.”
Lizard
Priest melingkarkan ekornya dan duduk dengan lembut di samping Dwarf Shaman.
Namun
jari sang dwarf bergerak dengan begitu cepat. Siapa yang bisa menyangka jarinya
yang gemuk dapat bergerak begitu lincah? Dia menenun rangka satu persatu, kecepatannya
dalam merakit bagaikan sebuah sihir.
Tidak
ada yang dapat menandingi para dwarf dalam karya tangan. Bahkan para elf pun jauh
tertinggal.
Tugas
Lizard Priest adalah melapisi rangka yang telah selesai dengan kertas. Dia
berusaha keras untuk mencegah cakarnya merobek kertas itu, namun ini sangatlah
sulit baginya.
Akan
tetapi pada waktu yang sama, pekerjaannya begitu rapi dan bersih. Benar-benar
menggambarkan kepribadiannya.
“’ira-‘ira adat dari mana ‘ah benda ini berasal.” Lizard
Priest berkata. Menghela dan mengelap alisnya, seolah membersihkan keringat
yang seharusnya tidak pernah ada di sana.
Dwarf
Shaman mengambil sebuah botol anggur dengan satu tangan dan membasahi bibirnya,
kemudian berkata, “Pertanyaan bagus. Aku nggak berasal dari sini juga. Aku tahu
cara membuat lentera langit, tapi nggak tahu kenapa mereka menggunakannya untuk
festival...”
“...Kamu
bisa melihat benda ini di banyak tempat.” Goblin Slayer berkata singkat. Mereka
berdua melihat kepadanya dengan terkejut.
Goblin
Slayer terus meruncingkan
pasak, seperti tidak menyadari mereka.
“Benda
ini mengundang roh baik, atau mengusir roh jahat. Benda ini membimbing mereka
yang sudah mati jalan untuk pulang. Benda ini mirip dengan lentera tanaman.”
“Tahu
banyak juga ya kamu, eh?”
“Kampungku,”
Goblin slayer berkata, “Dulu dekat dengan festival ini. Gimana mungkin aku
nggak mengetahuinya?”
“Mmm.
Saja haroes menga’oei bahwa ini sedi’it tida’ masoe’ a’al bagi saja.” Lizard Priest menggaruk
hidung dengan cakarnya.
Rakyat
Lizard Priest percaya bahwa sesuatu yang mati akan kembali ke bumi, atau masuk
ke dalam apapun yang memakan mereka, dalam lingkaran kehidupan. Para “undead” bukanlah
mereka yang kembali dari kematian, melainkan mayat-mayat yang telah di rasuki
roh jahat.
“Namoen...” Mata Lizard Priest
berputar di kepalanya. “Ber’aboeng oentoe’ jang telah wafat, ‘ami mengerti. Moeng’in sangatlah bai’ yi’a mere’a a’an ‘embali poelang.”
“...Aku
setuju.” Goblin Slayer mengangguk. “Itu sudah seharusnya.”
Kemudian
dia tidak mengatakan apapun lagi. Tangannya terus bekerja, ekspresinya benar-benar
tersembunyi dengan helm.
Setiap
kali serbuk kayunya bertambah di pisaunya. Dia membersihkannya, mengasahnya
kembali di setiap pisaunya menjadi tumpul oleh kayu.
Lizard
Priest yang telah memperhatikan dengan seksama, menghela nafas lembut.
“Apapoen itoe, ini adalah Festival. ‘ita haroes meni’matinya, sebai’ jang
‘ita mampoe.”
“Bagus
untukmu, Scaly, kobarkan semangat.”
“Tapi
tentoe saya. ‘epertjayaan saja adalah leloehoer saja, para naga, jang di mana darah mere’a mengalir dalam nadi saja. Mere’a adalah roh nene’ mojang saja.”
Kepribadiannya
tidak akan membuat malu para leluhurnya. Sang dwarf mengangguk menghargai. Ini
adalah sesuatu yang dia pahami.
“Aku
juga nggak mau kalah. Aku akan tunjukkan lentera terbaik dari yang pernah di
buat para dwarf sebelumnya!”
Tiga
pria ini yang bercakap di sebuah ujung lahan tempat latihan ini, yang cepat atau lambat akan menarik
perhatian. Seraya makan siang berakhir, orang-orang mulai kembali berlatih.
Yang lain bersantai di Guild setelah menyelesaikan petualangan mereka. Tidaklah
mengejutkan jika beberapa dari mereka menyadari tiga pria yang ada di sana.
“Ooooh!
Cebol dan Orcbolg sedang bikin sesuatu bersama!”
Dan
jika seseorang yang biasa dapat menyadari mereka, seorang high elf akan dua
kali lebih cepat menyadari mereka.
Suara
bening, hampir kekanak-kanakan adalah tentu saja High Elf Archer.
Dia
datang berlari layaknya angin dan berdiri dengan tangan di pinggul.
Dwarf
Shaman melotot padanya,
membelai jenggotnya dan mengejek, “Apa-apaan sih, kamu anak kecil kah?”
“Nggak
sopan banget, umurku ini dua ribu tahun, tahu nggak?”
High
Elf Archer mendengus, tapi sedikit membusungkan dada ratanya seolah bangga akan
angka ini.
Ejekan
itu tidak menghentikannya dari melihat dengan penasaran tentang apa yang mereka
kerjakan.
“Lagi
buat apa sih?”
“Telinga
panjang, temanku. Dua ribu tahun dan kamu nggak tahu apa ini? Ini lentera
langit. Ini—“
“Ini
pasak kayu.”
“Bukan
itu maksudku.”
Setelah
komentarnya, sang
elf menyelipkan dirinya pada kain di samping Dwarf Shaman. Lizard Priest
berdiri dan bergeser untuk memberikan tempat untuknya.
Telinga
High Elf Archer berayun, dan matanya berkilau penuh rasa penasaran. Dia terus
menembakkan pertanyaan satu persatu. “Apa ini? Apa itu? Alat apa ini? Apa
gunanya? Kenapa kamu bikin pasak?”
“Ini
untuk membasmi goblin.”
“begitukah.”
Pertanyaannya
layaknya sebuah tornado. Konon orang berkata bahwa wanita berpergian dalam grup sangatlah
ribut, namun sang
elf begitu
ribut untuk bisa mengalahkan keributan grup wanita itu sendiri.
“Kamu
ini hampir seperti rhea,” Dwarf Shaman berkata dengan sedikit menegur.
Keributan
riang ini tentu saja menarik perhatian orang lain.
“Hei,
bukannya itu Goblin Slayer dan regunya?”
“Oh
yeah. Apa mereka sedang bersiap untuk festival?”
Itu
adalah Bocah Scout dan Gadis Druid, bersama dengan Rookie Warrior dan
Apprentice Priestess, yang kembali dari makan siang. Mereka masihlah seorang bocah dan gadis. Persiapan
festival mengisi mereka dengan rasa penasaran and antisipasi.
Bahkan
untuk Bocah Scout, yang telah bersama dengan party Heavy Warrior selama
beberapa tahun, festival tahunan ini membuatnya begitu bersemangat.
“Hei.”
Bocah Scout berkata, “Apa itu?!”
“Kamu
nggak tahu?! Itu—“
“Lentera langit! Aku pernah lihat
sebelumnya.” Bocah Scout membusungkan dadanya, dengan semangat menyombongkannya. High Elf
Archer yang telah kehilangan kesempatannya untuk menjelaskan, menggembungkan
pipinya.
“Mau
ikut bergabung?”
“Aku
nggak terbiasa dengan semua ini. Kita bisa belajar bersama.”
Sang
dwarf dan lizardman tidak ragu-ragu untuk mengundang para anak kecil agar
bergabung dengan mereka.
High
Elf terlihat seperti tidak memiliki rasa penyesalan tentang mereka semua bersama—hingga hampir dapat membuat
statusnya sebagai seorang high elf menjadi sebuah pertanyaan.
“......”
Goblin
Slayer memutar helmnya, perbincangan ceria, keriangan sekitarnya. Senyum pada
wajah-wajah itu, tawaan setiap orang, telah melingkarinya—semua petualang ini.
Dan
yang menjadi pusat perhatiannya adalah mereka berdua yang membuat lentera.
Kemungkinan
besar, mereka tetap akan berkumpul seperti ini bahkan jika dia tidak ada di
sana, akan tetapi...
“Hmmm.”
Goblin
Slayer dengan tenang kembali mengerjakan pisaunya.
*****
“Apa?!
Orcbolg, kamu belum makan?!”
“Belum.”
Malam
datang dengan cepat pada musim gugur.
Senja telah datang dan pergi,
langit hitam tinta di bubuhi hanya oleh bulan dan bintang.
Goblin
Slayer tetap tinggal seraya teman-temannya terbawa suasana sedikit demi
sedikit.
“Itu
nggak baik... Tunggu, apa karena kamu nggak punya uang...?”
“Bukan.”
“Aku
traktir kamu!”
“Nggak
perlu.”
“Gimana
kalau goblin menyerang? Apa kamu bisa bertarung dengan perut kosong?”
“...Hrm.”
“Oke,
kalau begitu sudah di putuskan!”
High
Elf Archer menggenggam tangan Goblin Slayer tanpa menunggu jawabannya dan
menariknya menuju rumah makan.
Banyak
dari orang di dalam kota perbatasan ini selain petualang yang menghabiskan
waktunya di sini.
Tempat ini sangatlah bagus untuk makan maupun minum. Dan karena kebanyakan rumah makan memiliki ruang tamu, tempat
ini selalu ramai akan petualang.
Rumah makan yang di pilih High elf Archer secara acak kebetulan merupakan
tempat yang sangat akrab bagi Goblin Slayer.
Mereka
membukan pintu dengan suara decitan pintu dan di sambut dengan keramaian dan
panas tubuh. Bersama dengan percakapan yang ramai akan peminum yang duduk di
kursi di mana aroma anggur dan daging tercium.
“Mmm!”
High Elf Archer menyipitkan matanya menikmati suasana, telinganya berayun.
“Aku
kira kamu nggak suka anggur.”
“Benar
juga.” High Elf Archer berkata dengan kedipan mata. “Tapi aku suka suasana ramai.”
“Benarkah?”
“Benar....
Oh, tolong dua!” Dia dengan riang mengacungkan dua jari kepada pelayan yang
datang menyambut mereka. Untungnya terdapat kursi yang masih tersedia.
Sang
pelayan, yang berpakaian sangat provokatif dan berjalan dengan langkah menggoda,
membimbing mereka pada sebuah meja bundar yang sedikit jauh dari tengah
ruangan.
Goblin
Slayer meletakkan tasnya dan duduk, kursi tua itu mendecit perlahan.
Di
sisi lain, High Elf Archer, duduk dengan keringanan yang merupakan ciri khas rasnya
dan tidak menimbulkan suara dari kursinya.
“...Hei,
Aku kepikiran terus,” dia berkata, jari putihnya menunjuk Goblin Slayer. “Nggak
bisa kah sesekali kamu lepas benda itu selagi makan?”
“Aku
nggak bisa.” Helmnya bergerak perlahan dari kiri ke kanan. “Bagaimana kalau
goblin menyerang?”
“Di
kota ini?”
“Goblin
bisa saja muncul di kota.”
Sang
elf menyudahi, tersenyum tak berdaya.
Tidaklah
sulit untuk bisa memahaminya dari sudut pandang High Elf Archer. Karena,
penampilan aneh Goblin Slayer sangatlah mencolok bahkan dalam kalangan
petualang, dengan armor kulit kotor, helm murahan, pedang dengan panjang yang
aneh, dan perisai bundar kecil terikat di lengannya. Untungnya, merupakan hal
yang biasa melihat pemandangan para petualang yang terus memakai armor mereka,
bahkan di keseharian mereka. Akan tetapi...
“Apa
itu...? Seorang petualang?”
“Aku
kira dia undead atau semacam itu....”
“Hiii.., dia melihatku!”
“Jadi
ini bukanlah khayalanku...”
...Restoran
ini tidak hanya di kunjungi oleh para petualang. Dan berbagai macam pengelana
yang ada di sana tentu saja melihat dirinya.
Hanya
ada satu atau dua pelanggan lainnya yang merupakan petualang, duduk di sebuah
pojok dalam ruang makan
di mana mereka tidak akan terlalu mencurigakan. Yang satu tinggi sementara satunya lagi adalah rhea yang kecil.
Pria
itu mungkin saja seorang wizard, jika di lihat dari jubah yang menutupi setiap
inci tubuhnya. Penampilannya tidaklah terlalu aneh di antara para petualang.
Kemungkinan
sedang mendiskusikan sebuah quest, mereka tampak sedang berdebat panas, walaupun suara mereka tidak
terdengar.
High
Elf Archer mengayunkan telinganya curiga, namun pada akhirnya rasa tertariknya
menjadi hilang.
“Jadi,”
dia berkata, memutar pandangannya dari dua petualang di pojok, kembali pada
helm itu.
“Apa
yang akan kamu lakukan?”
“Tentang
apa?”
“Tentang
festival besok. Aku
dengar tahu.” Sebuah senyum nakal tersirat di wajahnya, dan dia menunjuk pada
Goblin Slayer. “Kamu bakal menghabiskan pagi bermain-main dengan gadis dari
kebun itu dan siangnya dengan Gadis Guild, kan?”
“Aku
nggak bermain-main.” Jawabnya singkat. Dia memperhatikan sang elf dari dalam
helmnya. Dia mungkin saja melototinya, namun helmnya membuatnya sulit untuk di
ketahui. “Pendengaranmu bagus.”
“Yah,
aku kan elf.”
Dia
menujuk pada telinga runcing yang berayun yang dia banggakan dan tersenyum
lebar.
“Sepertinya
Gadis Guild sudah membuat rencana untuk kencan kalian siang nanti, jadi itu
sudah terurus.”
“Hrm.”
“Aku
cuma berpikir mungkin kamu
punya sesuatu yang mau kamu lakukan di paginya, karena kamu akhirnya bakal
pergi berkencan.”
“Begitukah?”
“Ya
begitu.”
“...Belum,”
Goblin Slayer mendengus, menggelengkan kepala. “Aku belum memikirkannya.”
“Masa
sih?” High Elf Archer melebarkan matanya dan memijat alisnya seolah ingin
meringankan sakit kepalanya. “Tapi paling nggak kamu tetaplah kamu, Orcbolg.”
Ekspresinya
dengan cepat berubah menjadi penuh rasa ketertarikan, telinganya mengepak naik
dan turun. “Jadi, gimana kalau kamu bawa dia ke tempat yang dia suka?”
“Tempat
yang dia suka...?”
“Yeah,
atau lakukan sesuatu yang dia senangi... kamu kenal dia sudah lama, kan?”
Kali
ini adalah giliran Goblin Slayer yang tampak bingung. High Elf archer
mengangguk puas.
“Dan
juga, kamu jangan cuma mengatakan aku
mengerti, benarkah?, begitukah?, ya, dan nggak.”
“Hrk...”
High
Elf Archer menghiraukan
Goblin Slayer yang menelan liurnya, memutar perhatiannya pada menu di dinding.
“Pesan
apa ya, pesan apa ya?” dia berkata, dengan nada yang menunjukkan keceriaannya
yang terlihat
begitu jelas bahkan tanpa bantuan telinganya yang berayun naik dan turun.
Dompetnya
pastinya telah menjadi gemuk dari hadiah yang di terimanya pada awal hari
sebelumnya. Jika dia di biarkan, kemungkinan dia akan menghabiskan semuanya
dengan seketika.
“Ada
yang mau kamu makan, Orcbolg?”
“Apa
saja nggak masalah,” Goblin Slayer menjawab pelan. “Kamu yang bayar. Pesan saja
apa yang kamu suka.”
“Ihhh.
Aku nggak tahu apa kamu itu sedang bersikap baik hati atau apa.”
“Ini
sudah sikapku.”
“Yeah,
aku tahu.”
High
Elf Archer menghela, namun kejengkelannya hanya berlangsung sesaat.
“Permisi!”
dia mengayun tanganya pada pelayan, kemudian berlanjut memesan sebagian besar dari menu. Dia
memulai dengan semacam salad hijau, dan ketika dia mengetahui terdapat sebuah anggur
berkualitas tinggi, dia tidak ragu-ragu untuk memesannya. Dan saat ini, Goblin
Slayer tidak dapat menahan dirinya untuk menyela.
“Aku
nggak akan bisa membawamu pulang kalau kamu mabuk.”
“Erk.”
Elf berkata, telinganya tersentak seakan ini hal yang tak di sangkanya. “Aku
nggak percaya kamu bisa berpikir kalau aku nggak bakal sanggup berjalan karena
terlalu mabuk.”
“Bukannya
begitu?”
“Itu
cuma terjadi di saat-saat tertentu!”
Dia
mengendus, namun Goblin Slayer melanjutkan dengan nada datar, “Masih ada hal
yang aku harus lakukan setelah ini.”
“Haaaa....”
Dia
memalingkan kepalanya seakan tidak tertarik.
Para
pelayan merajut langkah mereka di antara keramaian restoran seperti petualang
yang menghindari perangkap. Mata elf mengikuti uap yang mengepul dari piring
yang mereka bawa, hingga tatapannya kembali lagi menuju Goblin Slayer.
“....Kamu
butuh bantuan?”
“Nggak.”
Goblin Slayer menggeleng kepalanya, kemudian setelah berpikir sejenak,
berbicara kembali. “Untuk sementara masih baik-baik saja.”
“Hm.”
Kemudian
mereka terdiam, tidak berusaha melanjutkan percakapan mereka hingga makanan
telah tiba.
Bagi
para petualang lain, petualang yang diam hanyalah salah satu bagian dari
pemandangan yang aneh.
Makanan
akhirnya tiba yang terdiri dari sup, roti, dan keju. Dan anggur.
Sup
yang penuh uap adalah gandum
yang di rebus dalam krim manis. Roti hitam yang keras dapat di celupkan ke
dalam sup untuk melembutkannya. Keju yang lembab terasa asin dan gurih yang
merupakan paduan sempurna untuk sup.
“Aku
yakin aku tahu
seseorang yang bakal suka tempat ini.” High Elf Archer tertawa, mengundang
balasan “Benar” dari Goblin slayer.
“Tapi
bukan dwarf itu. Aku yakin dia akan mengeluh soal rasa anggur yang seperti air
atau apalah. Pasti.”
“Maksudmu
fire wine?” Goblin slayer meneguk beberapa dari anggurnya melewati celah helm.
“Itu minuman yang bagus, dan persediaan yang baik. Dan juga berguna sebagai obat
disinfeksi.”
“Aku
berasumsi kamu sedang nggak bercanda. Tapi minuman itu nggak layak untuk di
minum.”
Elf
tertawa kecil, tawanya sangatlah bening layaknya sebuah lonceng.
“Orcbolg...
Aku jadi ingat.” Dia mendorong piringnya ke samping, mencondongkan tubuhnya di
atas meja agar wajahnya menjadi dekat dengan Goblin Slayer. Elf terlihat ceria,
namun suaranya terdengar berbisik.
“Apa?”
“Hari
ini... Apa kamu tahu gadis itu berbelanja sesuatu di workshop?”
“Ya.”
“Gadis
itu” kemungkinan adalah Priestess.
Goblin
Slayer mengangguk.
“Yah,
menurutmu perlengkapan apa yang dia beli?”
“Hm?”
Kali ini, Goblin Slayer menggeleng kepalanya. Melawan rasa sedikit mabuk di
karenakan anggur, dia membayangkan Priestess pada saat siang itu. Dia
menuangkan air dari botol ke gelasnya dan meneguk isinya. “Aku nggak tanya.”
“Oh,
yang benar?”
High
Elf Archer berkedip, bergumam, “Nggak biasanya”
terkejut seraya dia memainkan gelasnya.
“Hmmm.
Yah, mungkin aku harus merahasiakannya, Hm... Kamu mau tahu?”
“Kalau
kamu mau beritahu aku, aku akan dengar.”
“Kalau
soal apakah aku mau kasih tahu kamu, aku memang mau. Tapi apa benar dia nggak
bilang apapun sama kamu?”
“Nggak.”
“Kalau
gitu aku bakal rahasiakan saja.” High Elf Archer berkata dengan kedipan. Ini
bukanlah gerakan biasa kaum elf. High Elf Archer mempelajari gerakan ini
setelah hidup di dalam kota. Dia tersenyum, terhibur karena sudah meminjam
bahasa tubuh manusia. “Aku rasa akan lebih menarik kalau seperti ini.”
“Benarkah?”
“Benar.”
“Begitu...”
Goblin Slayer mengangguk kembali, kemudian mencari barangnya di dalam tas.
Dia
mengeluarkan sebuah kantung kulit yang berisikan hadiahnya, hampir tersenyum
seraya dia merogohnya.
“Aku
akan bayar selama kamu masih ingat.”
Klak klak klak. Dia menjejerkan tiga koin emas
di atas meja.
Dengan
cepat, ekspresi elf berubah dari santai menjadi marah.
“Aku
bilang aku traktir kamu.”
“Terkadang—“
Goblin
Slayer, yang tidak seperti biasanya, memotong ucapannya. Dia terdengar seperti
tidak mempercayai apa yang akan dia ucapkan.
“...Terkadang,
aku mungkin...akan meminta bantuanmu.”
“Bayar
di muka , huh?”
“Ya.”
“Hmm.”
Kita pasti lagi mabuk.
Yah, aku rasa...huh. nggak
masalah.
“Nggak
perlu.”
“...Begitu.”
Goblin
Slayer mengangguk tenang.
High
Elf archer mengacungkan jari putihnya, menggambar lingkaran di udara dengan
lemas.
“Kamu
bisa bayar aku dengan pergi berpetualang bersamaku.”
“Erk.”
“Bukannya
aku sudah bilang?” sang petualang high elf bertanya seraya menyeruput anggur.
“Oh, yang nggak berhubungan dengan goblin,
pastinya.”
“...”
Goblin
Slayer terdiam. Dia mungkin tidak mengetahui harus mengatakan apa. High Elf
Archer menahan dirinya, menunggu untuk mendengar apa yang akan keluar dari
mulut pria itu. Para elf sudah terbiasa menunggu. Sepuluh detik, sepuluh
tahun—tidak ada beda sama sekali.
“Baiklah...
Terima kasih atas bantuanmu.”
“Asik!”
Sekarang
karena dia telah mendapatkan janjinya, High Elf Archer mengembungkan pipinya.
Menyipitkan matanya layaknya seekor kucing dan mengeluarkan tawa dari
tenggorokkannya yang terdengar begitu bening layaknya lonceng.
“Sekarang
ayo makan. Nanti dingin.”
“Ya.”
Seraya
Goblin Slayer bersiap makan, dia melirik pada ujung dari warung. Namun dua
petualang itu telah pergi.
“Hmph.”
Dia mendengus tidak menyukai, kemudian membelah bagian roti.
“Ngomong-ngomng.”
Dia memulai.
“Kenapa?”
“Kamu
tahu apa arti zaitun,
dalam bahasa bunga?”
Makan
malam itu hanya terdiri dari makanan favorit High Elf Archer, namun Goblin
Slayer tidak mengeluh.
Dan
ketika dia harus menggendong sang elf naik ke lantai dua rumah makan dan membayar kamarnya,
meminta agar tagihan makanan di tujukan kepada sang elf, dia meninggalkan
bangunan.
*****
Dia
selalu mengetahui tentang apa yang dia harus lakukan.
Dia
harus terus berpikir, melihat ke depan, tetap waspada, merencanakan serangan
balasan dan melaksanakannya.
Apa
yang Goblin Slayer lakukan kali ini adalah menggali lubang.
Malam
hari—bulan kembar sudah berada di antara bintang bersinar yang mengisi surga.
Sendirian,
tanpa suara dia membenamkan sekop pada tanah, menggali dan menggali.
Rasa
hangat dari anggur membantu menghalau dinginnya angin malam.
Dia
berada di luar gerbang kota, pada jalan setapak dari jalan utama. Jalan itu
melintasi sebuah lahan, namun tidaklah lebar, lahan datar rerumputan. Terdapat
bukit, bangkai pohon mati, alang-alang. Jauh dari jalan,
lahan ini sangat liar.
Sebagian
besar tempat ini terbengkalai, yang karena itu kenapa dia memilih tempat ini untuk menggali lubang.
Lubang
itu sedalam tinggi seseorang. Bukanlah dwarf atau rhea, tapi manusia.
Dia
menjejerkan dasar lubang dengan pasak kayu tipis runcing yang telah dia pangkas dan menutup lubang kembali
dengan tanah yang baru di gali. Secara sekilas, seseorang tidak akan pernah
menyangka ada sesuatu di sana.
Dia
melakukan ini beberapa kali, kemudian menyebarkan batu kecil terang di
sekitarnya.
“Sekarang...”
Permasalahannya
adalah semua tanah yang masih tersisa.
Goblin
Dapat menggunakan itu untuk memperkuat dinding gua mereka, dan karena itu dia
tidak akan membiarkannya begitu saja.
Melakukan
lansekap dengan tangan cukuplah
merepotkan untuk seorang petualang.
Goblin
Slayer memasukkan tanah menuju sebuah karung yang telah dia siapkan sebelumnya.
Sekarang
mereka menjadi karung tanah.
Dia
mengikat mulut karung, kemudian
membawa mereka dua sekaligus, satu di setiap pundak.
Dia
menyembunyikannya di sebuah semak-semak tidak jauh dari lubang, membentuk setengah
lingkaran.
Tidak
dapat di pastikan apakah ini akan membantu mereka nanti. Namun tidak adalah
salahnya untuk mempersiapkan segalanya.
Goblin
Slayer tidak pernah mengeluh untuk melakukan pekerjaan yang di perlukan.
Dia
menumpuk karung tanah secara hati-hati, tidak memberikan sebuah celah, kemudian
menepuknya beberapa kali dengan sekop untuk membuatnya padat.
“...Mm.”
Akhirnya
dia mengangguk, terpuaskan.
Ini
akan cukup untuk sebuah lubang. Tempat lainnnya sudah di siapkan. Ini merupakan
tempat terakhir.
Yang
tersisa adalah perangkap yang dia rakit dengan menggunakan pasak, tali, dan
kayu yang masih tersisa, namun tidak cukup untuk memasangnya di semua tempat.
Goblin
Slayer memeriksa langit, berusaha menerka seberapa lama waktu telah berjalan
dari sisi kemiringan bulan. Dalam musim gugur dan musim dingin, malam hari
sangatlah panjang, dan pagi hari datang lebih telat. Walaupun seperti itu, dia ragu
akan waktu yang tidak mencukupi.
Dengan
cepat dia menarik sebuah papan kayu dari tasnya.
Dia
berjalan menuju semak-semak dan pepohonan, melakukan pekerjaan secara
hati-hati sebelum
dia berdiri.
“Harus
cepat-cepat.”
Dia
menopang perlengkapannya di pundak kemudian
berlari di bawah bulan layaknya sebuah bayangan.
Dia
melewati alang-alang
dan melewati pepohonan sebelum itu terjadi.
“Hei,
sedang apa kamu di sana?!”
Sebuah
suara terlintas di udara layaknya serangan kejutan. Goblin Slayer berhenti
mendadak.
Terdengar
suara tanaman yang terinjak di bawah sepatunya, dan ujungnya bergesekkan dengan
armornya.
“Hm.”
Goblin Slayer bergumam, namun tangannya tidak bergerak menuju pedangnya.
Tidak
ada goblin yang dapat berbicara bahasa umum dengan begitu lancar.
“Siapa
di sana?” dia bertanya pendek. Suara gemerisik menjawab.
Seseorang
yang tinggi terselimuti oleh jubah panjang muncul.
Sepatu
orang tersebut dapat terlihat dari bawah jubahnya, terlihat sering di pakai,
dan ujung sepatunya telah di perkuat. Terlihat jelas bahwa dia seorang
petualang.
Tapi
suara kasar yang membalas tidak menawarkan jawaban.
“Aku yang bertanya di sini.”
Suara itu
membuat Goblin Slayer bergumam, “Wanita...?”
“...Sekali
lagi. Siapa atau apa kamu?”
Hampir
dengan segera, sebuah
cahaya putih, menyilaukan mata yang terbiasa melihat dalam kegelapan, di
tembakkan ke udara.
“Aku
Goblin Slayer.”
Dengan
satu jari dia dengan santai mendorong pedang yang ada di tenggorokkannya.
Dia
terdengar lemas, hampir seperti sedang bertarung dengan rasa ingin menguap.
Sebuah
pedang panjang—bermata satu—dan petarung pedang berkemampuan tinggi.
Benar,
ini terjadi terlalu cepat untuk di tanggapi—tapi Goblin Slayer juga memilih untuk tidak menanggapi.
Akan
sangat bodoh untuk bertanya siapa musuhnya dan di tebas di saat yang sama.
Bahkan
bagi mereka yang tergilakan akan nafsu membunuh dapat mengerti.
Tertutup
oleh jubahnya, wanita itu menyipitkan matanya ragu.
“Kamu...membasmi
goblin...?”
“Ya.”
“...Kedengarannya
gila.”
“Begitu.”
Mata
pedang yang dia dorong kembali di rapatkan, mencari lehernya.
Pedang
itu menarik sebuah rantai dengan plat silver yang bergantung di sana.
“Plat silver... Petualang tingkat
silver?”
“Seperti
itulah,” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan, “guild telah menilaiku seperti
itu.”
“...Aku
mengerti.”
Pedang
itu kembali ke sarung layaknya angin berhembus dengan suara klik.
Kelihaian
gerakan itu menandakan bahwa dia seorang petualang tingkat tinggi. Tentunya
paling tidak Copper, Goblin Slayer menebak.
“Sepertinya
aku terlalu cepat ambil kesimpulan. Maafkan aku.”
“Nggak
masalah.”
“Aku
kira kamu undead atau sesuatu...”
Wanita
itu terdengar canggung seraya meminta maaf, tapi nadanya sudah melembut.
Goblin
Slayer menggeleng kepala perlahan. Hal ini tidaklah penting baginya.
Masalahnya
adalah—
“Hei,
bukannya aku sering bilang sama kamu untuk nggak lakukan itu?”
Pada
saat itu sebuah suara, cerah layaknya matahari, yang terdapat di belakangnya.
“Dia
selalu berkesimpulan buruk tentang semua orang. Nggak usah khawatir, aku
menghentikannya.”
“Kenyataannya
dia memang mencurigakan.”
Suara
berikutnya terdengar begitu dingin sedingin es. Dua orang baru.
Dengan
gemerisik, alang-alang terbuka,
memunculkan seorang petualang pendek dengan jubah panjang juga.
Sangatlah
mudah untuk bisa menyangka bahwa orang ini adalah seorang rhea, namun mereka
membawa pedang berukuran panjang di pinggul mereka.
Mereka
pastilah manusia. Seorang rhea tidak memiliki otot untuk mengayunkan senjata
itu.
Orang
lainnya membawa sebuah tongkat besar dan berpakaian lebih cerdas di bandingkan
dengan dua orang lainnya. Terlihat jelas bahwa dia seorang pengguna sihir.
Dan
mereka semua, adalah wanita, jika di dengar dari suaranya. Party yang hanya
terdiri dari wanita sangatlah langka.
“Jadi
sedang apa kamu? Aku penasaran juga.” Swordswoman kecil bertanya.
Sebelum
Goblin Slayer dapat mengatakan apapun, wanita itu mengambil beberapa langkah
lincah ke depan.
Dengan
langkah seringan pertanyaannya, dia mendekatkan jarak antara mereka seolah
mereka sedang berjalan-jalan.
“Hrm.”
Goblin Slayer bergumam, dan setelah berpikir sejenak, memberikan jawaban.
“Aku
mengambil langkah persiapan.”
“Persiapan?
Hmm...” Dia melirik sekitar Goblin Slayer, kemudian berkata “Kamu punya
perlengkapan aneh...”
“Benarkah?”
“Ah,
maaf. Aku nggak bermaksud mengejekmu, aku mengira ini sedikit lucu.”
Suaranya
begitu ceria hingga Goblin Slayer dapat mengetahui bahwa wanita itu tersenyum
di balik tudungnya.
Meskipun demikian, pernyataannya memancing reaksi
Goblin Slayer. Dia sama sekali tidak mengetahui apa yang lucu tentang armor
kulit dan helm murahan, atau pedang dan perisainya.
Namun
para wanita memperhatikan dirinya,
dia mengamati
mereka sebagai balasan.
Mereka
bukanlah dari
petualang lokal. Dan mereka bukanlah goblin—untuk hal itu, paling tidak, dia
yakin.
“...Aku
rasa dia nggak telibat. Kemungkinan.”
Setelah
beberapa saat, petualang dengan tongkat berbicara dengan nada kaku.
“Jujur
aja, aku sulit mempercayai ada orang yang seaneh ini.”
“Aku...rasa
begitu. Benar sih
dia menyembunyikan wajah dan kulitnya, tapi aku setuju ini sedikit berlebihan.”
Tanggapan
itu berasal dari wanita pertama. Pedangnya masih dalam sarungnya, dia
melanjutkan dengan nada menyombongkan diri yang aneh, “Aku melihat perbedaan
kemampuan kami. Dia bukanlah masalah.”
“Menurutmu?
Kalau kamu bilang begitu, aku rasa itu benar.”
Gadis
itu, yang memiringkan kepalanya sementara rekannya berdiskusi, menepuk
tangannya.
“Yah,
bapak, maaf sudah mengganggumu!”
“Nggak
apa-apa.” Goblin Slayer menggeleng kepala perlahan, kemudian meletakkan barang
bawaannya ke tanah. “Kalian datang untuk melihat festival?”
“Huh?
Oh, uh, yah... aku rasa begitu. Festivalnya ada di dekat sini, kan?”
“Ya.”
Goblin Slayer mengangguk. “Ini kota yang akan menyelenggarakan festival panen.”
Kemudian, setelah beberapa saat, dia menambahkan, “Kalau kamu butuh penginapan,
kamu harus cepat mencarinya.”
“Oh,
wow. Oke. Aku mengerti. Ini sudah larut sekarang. Kami
harus segera pergi. Maaf!” dia menambahkan sekali lagi, dan berlari kecil
menjauh.
Dua
orang lainnya dengan cepat tersadarkan, seraya gadis itu semakin menjauh.
“Argh,
dia selalu saja—! Kami permisi dulu kalau begitu. Mohon maaf atas
kesalahpahamannya.
“Maaf.”
Dua orang lainnya mengikuti gadis yang telah beranjak pergi, menghilang
layaknya bayangan.
Goblin
Slayer, kini sendiri, hanya bergumam, “Hm.”
Dia
meletakkan batu kecil di tempat di mana swordswoman pendek itu baru saja
berdiri.
Seraya
dia mengingat, bahwa itu merupakan tempat di mana di menggali dan
menyembunyikan sebuah lubang.
Apakah
latihan seni bela diri, cara dia berjalan, sihir, atau hanya keberuntungan?
Goblin Slayer tidak mengetahuinya.
Dan
mengenai hal yang tidak di ketahuinya, dia juga tidak dapat menentukan alasan
kenapa wanita itu menggunakan jalan setapak ini dan bukan jalan utama.
“.....”
Akan
tetapi memikirkan ini semua tidak memberikannya jawaban, oleh karena itu dia
mengabaikan pertanyaannya.
Mereka
tentunya seorang petualang yang datang dari tempat lain untuk melihat festival.
Dan
mereka bukanlah goblin. Itu sudah cukup.
Tapi
tetap saja, dia merasa yakin bahwa orang-orang tidak akan melewati daerah
ini...
“....Aku
harus memilih tempatku lebih hati-hati lagi.”
Terlalu
banyak hal yang harus di lakukan.
Dan
dia selalu mengetahui apa yang harus di lakukan.
3 Comments
terima kasih udah ngalnjutin series ini
BalasHapussama2 mas :)
HapusGua udh bisa, lancar baca kalo si lizardman bicara
BalasHapusPosting Komentar