TENTARA SALIB YANG KEHILANGAN TUHAN
(Part 3)
(Translater
: Hikari)
Ingatan
Crowley selama beberapa hari ke depan begitu samar-samar.
Dia
hanya teringat bahwa mereka terus berjalan siang dan malam — agar tidak dibunuh
oleh musuh, agar mereka bisa menjauh sebisa mungkin.
Selama
masa itu, mereka diserang beberapa kali, dan setiap waktu itu mereka kehilangan
rekan mereka. Meski demikian, mereka tidak mungkin menyerah.
Mereka
akan bertahan hidup dan pulang ke rumah.
Menjaga
mereka tetap hidup dan kembali ke rumah. Ini adalah perintah terakhir Komandan
mereka, karena itulah menyerah bukanlah pilihan.
"Ahh~
Crowley, akhir-ahir ini, aku terus melihat wanita di dalam mimpiku. Apa yang
harus kulakukan?" keluh Victor sambil berjalan.
Crowley
membalas, "Jangan bicara. Kau membuang-buang tenagamu."
Tapi
Victor tidak mendengarkan. "Kita sudah lelah bagaimanapun juga, sekalipun
kita berjalan dengan wajah muram."
Crowley
tertawa. "Kita memang sudah lelah setengah mati."
"Dan
karena itulah kita harus mengobrol tentang wanita."
"Aku
lebih memilih mendapatkan air daripada wanita untuk saat ini."
"Yah,
aku juga~ Tapi kalau kita membicarakan tentang air, kita hanya akan semakin
merasa haus," kata Victor.
Dia
terlihat begitu letih. Mereka kehabisan air dan makanan. Mereka semua melemah,
hampir mustahil untuk mengerahkan tenaga lagi. Mereka mungkin akan tersapu
habis pada serangan musuh yang berikutnya.
Tapi,
meski demikian.
"Seharusnya
ada air saat kita mencapai Damietta," kata Crowley.
Damietta
adalah salah satu benteng pertahanan musuh dan merupakan keuntungan militer
paling menonjol yang didapat sejak awal Perang Salib ini. Mereka mengepung dan
membuatnya menyerah.
Menaklukkan
kota itu seharusnya sudah lebih dari cukup. Lawan mengajukan perjanjian damai.
Para raja dari berbagai negara yang berpatisipasi dalam perang ini ingin
menerima permohonan damai tersebut. Hal itu saja sudah merupakan kesuksesan
besar, kata mereka.
Namun
begitu, kekacauan macam apa yang mereka alami saat ini?
"…"
Tapi
memikirkan itu saat ini tidak akan membantu apapun. Sekarang mereka hanya perlu
mencapai Damietta; di sana mereka akan menemukan banyak kawan, tidak diragukan
lagi. Dan akhirnya akan mendapatkan air. Dan…
Dari
belakangnya, Gustavo berbicara, "Hei, Crowley."
"Ya?"
"Jangan
ganggu Victor."
"Hah?
Apa yang sedang kau bicarakan?"
"Obrolannya
tentang wanita. Aku ingin mendengarnya, jadi jangan ganggu. Aku sangat lapar
sampai kaki-kakiku bisa saja berhenti bergerak," ujar Gustavo.
Victor
memperlihatkan wajah kemenangan pada Crowley. Ksatria tingkat tinggi lainnya
juga mengangguk, mendukung pendapat Gustavo.
"Bukankah
kalian pernah mendengar sumpah kesucian?" Crowley menoleh untuk melihat
mereka dari balik bahunya dengan tatapan kebingungan.
Yang
menjawab mereka adalah, sesuai dugaan, Gustavo.
"Akan
kupikirkan itu setelah aku meniduri satu atau dua gadis."
"Ya
ampun."
"Baiklah,
Victor. Mulailah berbicara."
Victor
mengangguk dan mulai bicara.
"Yah~,
biar kuceritakan pada kalian tentang sesuatu yang terjadi di malam musim panas
tahun lalu. Aku sedang bersama seorang gadis bernama Claudia, dan dia adalah
jenis gadis yang tidak bisa menutup mulutnya untuk menyelamatkan hidupnya.
Jadi, gadis itu berkata bahwa mengencani seorang ksatria sebelumnya."
Gustavo
menyelanya, "Oh. Ksatria itu, jangan bilang kalau dia adalah salah satu
dari Ksatria Templar?"
"Uh-huh."
"Kau yakin?" tanyaku padanya, dan dia menegaskan, "Ya,
benar!" Untuk memperkuat, pria itu luar biasa mesum, yang suka berbicara
seperti anak kecil di depan wanita dan dipukul bokongnya oleh mereka."
"Hei,
yang serius?! Apa kau tahu siapa namanya dari dia?"
"Yup,
dan, dengar ini, itu adalah Crowley Sesuatu-Atau-Semacamnya," Victor
membeberkan sesuatu sekonyol itu.
Dia
mengarang cerita itu sambil berjalan, tidak diragukan lagi. Tapi para ksatria
menertawakannya. Suaranya cukup tenang — mereka tidak punya kekuatan yang
tersisa untuk tertawa keras.
Gustavo
menanyai Crowley, "Hei, apa itu benar, Crowley?"
Crowley
menyunggingkan senyuman miris. "Aah, Claudia yang itu, ya. Dia banyak
membicarakan soal Victor denganku. Bahwa dia tidak bisa melakukan 'itu' dengan
wanita."
"Hei!"
Victor meninjunya di bahu.
Hal
itu menyebabkan ledakan tawa. Kali ini, suara tawanya terdengar lebih nyata.
Mungkin karena Damietta sudah dekat.
Saat
mereka memutuskan untuk mundur, ada 70 orang dari mereka, tapi sekarang hanya
tinggal 45 orang yang tersisa.
Tetap
saja, itu berarti 45 orang bisa kembali dengan selamat. Apakah Komandan akan
memujinya karena ini?
"Aku
bisa melihatnya!" salah satu dari para prajurit berteriak. Crowley
mengangkat kepalanya.
Benar,
dia pada akhirnya dapat melihat benteng itu dari kejauhan. Di sekitar kota
Damietta terdapat dinding-dinding. Dia mengingat betapa sulit saat menembusnya,
tapi saat ini dinding-dinding itu terlihat menenteramkan.
Dan
kelihatannya musuh tidak mengejar mereka lagi. Di dalam dinding-dinding
Damietta, seharusnya masih ada banyak tentara salib yang masih tinggal.
"Dinding
kastil!" "Damietta terlihat!" para prajurit berteriak.
Sedikit
lagi. Tinggal sedikit lagi.
Tapi
tepat saat Crowley memikirkan ini, telinganya menangkap sebuah suara yang
datang dari belakang. Suara itu sangat mirip dengan suara bumi yang bergemuruh,
disertai dengan bahasa asing dan suara para pengejar.
"Sial!"
Crowley berbalik. Mereka masih belum cukup dekat, tapi kelompok pengejar itu
adalah yang terbesar yang pernah dihadapi Crowley dan rekan-rekannya sejauh
ini. Dan mereka adalah para penunggang. Jadi mereka akan terkejar tidak lama
lagi.
Gustavo
melolong, "Ini pasti bercanda! Ini tidak mungkin terjadi, tidak saat kita
begitu dekat!"
Crowley
segera memerintahkan rekan-rekannya, "Lari! Lari selamatkan nyawamu!"
Tapi
dia sendiri tidak bergerak. Berbalik ke arah para pengejarnya, dia mengeluarkan
pedangnya dari sarungnya.
Di
sebelahnya, Victor bertanya, "Hei, Crowley, apa yang sedang kau
rencanakan?"
"Kita
tidak akan bisa menjauh dari mereka begitu saja. Jadi aku akan menahan bagian
belakang kita."
"Kau
akan mati."
"Aku
berjanji pada Komandan untuk melindungi rekan-rekan kita."
"Komandan
berkata padamu supaya jangan mati bagaimanapun caranya! Jadi kau pergilah ke
barisan depan. Aku akan mengurusi bagian belakang!" Sambil berkata begitu,
Victor juga menarik pedangnya.
Saat
dia melakukannya, seakan menanggapi perkataanya, Gustavo dan ksatria tingkat
tinggi lainnya juga menghunuskan pedangnya. Totalnya sepuluh orang. Bahkan
dengan tempat untuk melarikan diri yang ada di depan mata, masih ada sepuluh
orang di antara mereka yang memilih untuk mempertaruhkan nyawanya demi
melindungi rekan-rekannya.
Gilbert
berdiri di depan Crowley pada akhirnya.
"Kalau
begitu, saya juga akan…" katanya, mulai mengeluarkan pedangnya juga, tapi
tangan Crowley datang dan mendarat di gagang pedang Gilbert, menghentikannya.
Crowley
memerintahkan, "Tidak, tidak denganmu, Gilbert. Rekan kita yang tersisa
membutuhkan seseorang untuk memimpin mereka."
"Apa?
Tolong jangan bercanda seperti itu! Di sinilah saya akan mati."
"Bukan.
Lindungi rekan-rekan kita dan pergilah ke Damietta."
"Tidak.
Ini tugas saya, Pak. Saya akan tetap di sini dan—"
Tapi
saat itu juga, Crowley meninjunya di wajah.
"Ghah!"
"Dengar,
Gilbert. Ksatria berkemampuan tinggi dibutuhkan untuk memimpin rekan-rekan kita
yang tersisa. Dan ksatria itu adalah kau."
"Tidak,
Crowley-sam, itulah adalah peran Anda."
"Kau
akan melakukannya. Ini adalah perintah. Atau kau ingin mengatakan bahwa kau
tidak akan mendengarkan perintah seniormu?"
"…Ugh."
Gilbert
terdiam.
Mencengkeram
bahunya, Crowley menenangkannya, "Selain itu, aku juga tidak berniat untuk
mati di sini. Komandan memerintahkanku untuk selamat bagaimapun caranya. Jadi
aku — kita — akan selamat."
Gilbert
yang mulai berkaca-kaca, menatapnya. "…Benarkah?"
"Benar.
Kami akan bertindak sebagai pengalih perhatian. Jadi kalian harus sampai di
dinding itu sementara kami melakukannya. Begitu sampai, bawalah pasukan bantuan
dari Tentara Salib di Damietta."
Untuk
sejenak, Gilbert terlihat termenung, tapi segera mengangguk.
"Baik,
Pak. Tapi setelah itu, kami akan segera bergabung dengan Anda, pasti."
"Tentu."
"Pasti!"
"Aku
percaya padamu. Baiklah, ayo mulai. Kalian semua pergilah."
Menanggapi,
Gilbert mengangkat tangannya. "Pasukan, ikuti aku! Kita akan memanggil
bantuan dari Damietta!" Dengan seruan itu, dia segera berlari.
Setelah
Crowley memastikan hal tersebut, dia mengalihkan perhatiannya pada musuh di
belakang mereka sekali lagi. Mereka mendekat dengan cepat. Sepertinya ada
sekitar seratus orang.
Tidak
mungkin sepuluh ksatria yang sudah jelas kelelahan bisa memenangkan ini. Tapi
mereka tetap harus memainkan bagian mereka dengan meyakinkannya untuk
mengalihkan perhatian musuh dari Gilbert dan kelompoknya.
Karena
itulah Crowley berkata pada yang lainnya, "Kita akan menyerang
mereka."
Di
sebelahnya, Gustavo berkomentar, "Kalau begitu, kita benar-benar akan mati
di sini, ya? Ahh, payah sekali. Mungkin aku seharusnya pergi saja dengan
Gilbert."
Kecuali
Crowley yang tahu maksud sebenarnya, meskipun perkataannya pedas, Gustavo
adalah orang pertama yang menghunuskan pedangnya. Dia memang orang yang seperti
itu. Seorang pria yang tidak akan pernah meninggalkan rekannya.
Dan
di sebelahnya, berdiri dengan sekujur tubuh yang gemetar karena takut, Rosso si
pengawal.
Dia
juga tetap tinggal di sini.
Yang
lainnya juga adalah ksatria yang berteman dengan Crowley. Mereka adalah
rekan-rekannya saat berlatih, berbagi makan dan tempat tinggal.
Victor
berteriak lantang, membuat sebuah permintaan mendadak, "Hei, kalian semua!
Katakan pada kita semua, apa hal pertama yang akan kau lakukan saat kita
pulang!"
Satu
persatu ksatria yang lain mulai membalas.
"Daging!
Aku akan makan banyak daging!"
"Aku
akan mencari wanita, tentu saja!"
"Minuman
keras untukku! Tidak, air! Yang pertama adalah air!"
Victor
berkata sambil tertawa, "Oh kalian ini, kalian semua benar-benar ternoda
oleh nafsu duniawi! Tuhan kita tidak akan menyelamatkan kalian kalau kalian seperti
itu!
Hal
itu membuat mereka semua meledak tertawa. Dan entah bagaimana, itu membuat
mereka merasa bahwa mereka ingin selamat dan pulang.
Victor
menatap Crowley. "Oke kalau begitu, tugasku selesai," katanya. Dia
mungkin masih mengikuti perintah yang diberikan Komandan, tentang menyemangati
rekan-rekannya dengan optimismenya. "Kuserahkan sisanya padamu,
Crowley," lanjutnya.
"Baiklah
kalau begitu. Ayo semuanya, kita kembali hidup-hidup! Dan untuk itu, kita akan
menarik perhatian penganut pagan itu kemudian lari. Buatlah pedangmu bernyanyi!
Raungkanlah sorak peperangan! Lakukan apapun yang kau bisa untuk terlihat
mencolok. Tapi jangan lupa, ini hanyalah misi pengalih perhatian! Tujuannya
sudah ada di depan mata. Jadi, tetaplah selamat dengan semua sikap keras kepala
yang bisa kalian kerahkan dan tunjukkan
pada lawan kekuatan kita, para Ksatria Templar! Semuanya, majuuuuuu!"
"
Yeaaaaaaaaah!!!”
Mengeluarkan
pekikan yang memekakkan telinga, para ksatria membenturkan pedang mereka pada
baju zirah atau perisai mereka, membuat keributan sebisa mungkin, lalu segera
berlari. Ke arah musuh. Ke arah para penganut pagan.
Menyerang
mereka secara langsung hanya akan berakhir dengan para tentara salib yang
disapu bersih dalam sekejap. Karena itulah mereka akan berhenti tepat di depan
musuh dan membuat para penganut pagan itu mengejar mereka.
Kemudian
bunuh mereka, dimulai dengan yang akan menyusul mereka.
Bunuh.
Bunuh.
"Bantai
merekaaaaaaa‼!" raung Crowley.
Dia
memenggal musuh di depannya. Memangkas jatuh satu lengan ke lengan lainnya.
Kemudian dengan pedangnya menusuk kepala seorang pria yang hampir menyerang
Victor yang ada di sebelahnya. Tengkorak pria itu hancur, membuat pedangnya
terbena, teralu dalam dan tersangkut.
"Ugh."
Memanfaatkan
kesempatan itu, lima musuh menyerangnya dari samping. Gustavo dan Rosso
menyambar salah satu dari mereka.
"Crowley!"
"Crowley-sama!"
Gustavo
dengan cepat memenggal kepala dua orang yang lainnya. Seniorya ini benar-benar
kuat.
Tapi
Rosso kalah dalam adu kekuatan. Dia menahan pedang musuh dengan pedangnya
sendiri tapi tidak dapat menahan momentumnya dengan baik, membuat bilah pedang
tersebut terbenam ke lehernya. Menimbulkan suara mengerikan saat itu terjadi.
Darah menyembur keluar dari leher Rosso.
"Rosso!"
Crowley menyambar pedang Rosso yang terjatuh dan menghujamkannya tepat ke
jantung pria yang menebas si pengawal itu.
"Kh-Crowley-sam…Anda
tidak apa-apa, Pak?" Berlumur darahnya sendiri, Rosso masih
mengkhawatirkannya.
"Ya.
Ya, aku tidak apa-apa. Berkat dirimu. Kau menyelamatkanku."
Mendengarnya,
si pengawal, si bocah laki-laki yang hampir berusia 16 tahun, memaksa diri
berkata senang, "Syu-Syukurla…"
Dan
dengan demikian, dia menghembuskan napasnya yang terakhir.
Satu
lagi pemuda polos yang memiliki masa depan, mati demi menyelamatkannya. Crowley
mengernyit, namun dia tidak bisa berhenti di sini.
Meninggalkan
jasad Rosso, dia memberi perintah, "Mundur! Semuanya, mundur!"
Mereka
bergegas lari. Tidak perlu dikatakan lagi, musuh mengejar mereka. Para ksatria
berlari sekuat tenaga, menebas musuh saat mereka berpapasan.
Di
belakangnya, Crowley dapat mendengar suara jerit singkat dan tersedak
rekan-rekannya yang terlalu akrab dengannya.
Rekan-rekannya
dibunuhi satu persatu. Tapi dia tidak punya waktu untuk melihat ke belakang
pada titik ini. Melarikan diri dengan mati-matian adalah satu-satunya hal yang
bisa dia lakukan. Kalau dia tidak melakukannya, mereka semua akan terbunuh.
"Bajingan
kaliaaaaaaaannn‼!" Teriakan Gustavo muncul dari belakangya.
Saat
Crowley mendengarnya, dia melihat ke belakang sebelum dia sempat menghentikan
dirinya sendiri. Dan menemukan seorang prajurit musuh tepat di belakangnya.
Pedang pria itu diangkat ke atas kepalanya, siap untuk menumbangkan Crowley,
tapi kelihatannya tidak mengira Crowley melihat ke belakang dan berhenti sesaat
dengan tatapan terkejut di wajahnya saat Crowley melakukannya. Pedang Crowley
menebas wajah itu dengan mulus. Dia benar-benar terselamatkan oleh seruan
Gustavo barusan.
Tapi
Gustavo yang itu tertinggal di belakang tepat di tengah-tengah musuh. Tangan
kirinya memegangi perutnya, dengan ususnya yang menggelantung keluar, dia
berteriak, "Kalian, semuanya, larilah! Aku akan menahan penganut pagan itu
di sini!"
Mustahil.
Tidak mungkin dia bisa.
Gustavo
akan mati. Di sini.
Meski
begitu, Gustavo sendiri tidak takut mati.
"Hei,
Crowley!" dia memanggil nama Crowley sebagai gantinya. "Pastikan
kalian semua lolos hidup-hidup!" Gustavo berteriak padanya.
Musuh
tidak terburu-buru berkumpul di sekitarnya, mengelilinginya, dan mengangkat
pedang mereka.
"Gustavo-senpai!"
jerit Crowley, dan saat itu juga, Gustavo mengangkat pedangnya sendiri dan
menyerbu masuk ke dalam kerumunan para penganut pagan. Mereka mengerumuni
Gustavo, tapi dia masih berhasil membunuh beberapa dari mereka.
“Uwooaaaaaaaah!”
Gustavo berteriak.
Tapi
hanya sejauh itu pertahanannya berlangsung. Sejumlah pedang menusuk leher,
torso, abdomen Gustavo. Tapi dia tetap mengayunkan pedangnya. Gustavo
mati-matian mengayunkan pedangnya ke tempat yang kosong, tapi segera tidak lama
kemudian lengannya melemah, tidak dapat bergerak lagi.
Crowley
hanya dapat menyaksikan. :"..Sial," isaknya. "…Sial, sial,
benar-benar sialan!:"
Apa-apaan
ini. Apa-apaan ini sebenarnya?!
Kemarahan
meluap dalam dirinya, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Tapi dia tidak tahu
lagi kepada siapa amarah ini dilampiaskan. Pada para penganut pagan? Pada para
pembesar yang memaksakan perang tak berarti ini? Atau pada Tuhan yang tidak
melindungi mereka meskipun mereka begitu mempercayai-Nya?
Victor
menyambar tangannya. "Jangan melamun! Kita masih hidup! Jadi ayo
lari!"
"…"
"Ayo,
cepatlah!"
Dengan
sebuah teriakan, Crowley kembali berlari. Dia berlari mati-matian, menebas
musuh-musuh yang ada di jalurnya dan memimpin kawan-kawannya.
Tidak
ada waktu untuk memeriksa berapa banyak dari mereka yang masih hidup. Tapi dia
harus selamat. Dia harus selamat tidak peduli bagaimana pun caranya.
Komandan
telah memerintahkan dia. Dia harus selamat dan pulang ke rumah. Crowley
diperintahkan untuk membawa kawan-kawannya pulang.
Karena
itulah Crowley berlari dengan segenap kemampuannya.
Lari.
Dan lari.
"…"
Bahkan
sebelum mereka menyadarinya, mereka berhasil membuka jalan. Tidak lagi terlihat
musuh yang mengejar mereka.
Crowley
tidak tahu seberapa jauh mereka berlari.
"…Huff, huff, huff," dia hanya bisa
bernapas tersengal-sengal, dengan bahu yang berat. Dia mencoba untuk
mengendalikan pernapasannya, tapi napasnya tidak kunjung tenang. Dia menekankan
sebelah tangan ke dadanya sendiri. Jantungnya berdebar dengan kecepatan yang
luar biasa. Tapi tetap saja, meski demikian, mereka…
"…Kita…selamat?"
Crowley berbisik dan menoleh ke belakang.
Rekan-rekannya,
yang dapat mengikuti, berada di belakangnya. Totalnya ada 7 orang.
Sekitar
sepuluh orang menghadapi seratus musuh, dan 7 orang selamat. Setengahnya kalau
begitu. Setengah yang lain tewas, tapi tetap saja, sebanyak itu dari mereka
yang selamat tidak lain adalah sebuah keajaiban pendek.
Semua
orang menatapnya. Dan mereka semua tersenyum. Tidak ada yang bisa bicara—
mereka tidak punya kekuatan yang tersisa. Tapi mereka tetap tersenyum. Atas
keselamatan mereka yang ajaib. Atas keberuntungan mereka yang tidak dapat
dipercayai itu.
Seseorang
berkata, "Oh Tuhan…"
Dan
beberapa yang lainnya, satu demi satu, menatap ke langit dan mulai berdoa.
Crowley
memandangi pemandangan itu. Pada rekan-rekannya, yang sedang berdoa kepada
Tuhan.
Dari
samping, Victor mencengkeram bahunya. Mengalihkan matanya ke samping, Crowley
menemukan dia masih hidup dan juga tersenyum. Saat dia memandangi wajah
tersenyum Victor, barulah kesadaran bahwa dia juga tidak mati mulai tertanam
dalam benak Cowley pada akhirnya.
"Hahaha,"
dia secara tidak sengaja akhirnya tertawa.
Damietta
seharusnya sudah berada dalam jangkauan pasukan. Belum lagi Gilbert dengan
pasukan bantuan akan muncul kapan saja.
Sepertinya
mereka benar-benar selamat. Mereka berhasil keluar dari situasi tanpa harapan
itu hidup-hidup.
"Hei,
kita berhasil," Victor berkata. "Crowley, kau menyelamatkan semua
orang."
Tapi
Crowley menggelengkan kepalanya. "…Tidak, ini berkat usaha dan pengorbanan
semua orang: Komandan, Rosso, Gustavo-senpai…"
Dan
tidak hanya mereka. Banyak rekan mereka yang tewas yang telah memenuhi misi
mereka. Mereka mungkin kalah dalam perang, tapi semua orang mati dengan
terhormat. Dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri: bagaimana mereka
mengorbankan diri mereka untuk melindungi kawan-kawan mereka, untuk
mempertahankan kehormatan mereka.
Karena
pengorbanan itulah dia dan rekan-rekannya hidup — sekitar sepuluh orang yang
dipimpin Gilbert dan ketujuh orang di sisi Crowley saat ini.
Dan
di antara mereka, bahkan sahabatnya pun masih ada.
Mengangkat
kepalanya, Crowley menatap dia. Pada Victor. Dan meskipun terlambat, membalas
pertanyaan Victor sebelumnya, "…Aku akan berdoa saat kita kembali."
Victor
memperlihatkan wajah kebingungan padanya, dan Crowley menjelaskan," Kau
menanyakan apa yang akan kita lakukan pertama kali saat kita kembali,
'kan."
"Ah,
ya. Benar."
"Dan
inilah jawabanku. Aku akan berdoa saat kita kembali. Aku akan ke gereja dan
berdoa. Dan aku akan mengatakan pada Tuhan bahwa aku merasa bersyukur pada-Nya,
sekalipun Ia baru tersenyum pada kita pada saat terakhir."
Merogoh
rosario Komandan dari dalam kantungnya, Crowley menggenggamnya erat-erat dan
menatap langit seperti yang lainnya.
"Oh
Tuhan…" katanya.
Melihat
itu, Victor tersenyum. "Ayo pulang. Ke rumah kita."
"Ya,"
Crowley mengangguk.
Dia
baru saja akan memerintahkan rekan-rekannya untuk mengerahkan kekuatan terakhir
mereka dan berbaris menuju Damietta, tapi saat itulah dia menyadari sesuatu
yang aneh dari arah di mana Damietta berada.
"…"
Dari
sana, seorang pria berpakaian serba hitam perlahan mendekat tepat melintasi
tanah gersang. Pria itu berkulit gelap, jadi dia mungkin adalah seorang
penganut pagan. Tapi dia tidak bersenjata. Tangan kosong, dia menatap
lekat-lekat ke arah mereka.
"Apa
itu?"
Ksatria
yang lain pasti menyadari dia juga.
"Seorang
musuh? Apakah dia mengikuti kita?"
"Sekalipun
begitu, tidak ada orang di sekitar. Apa yang bisa dia lakukan sendirian
saja?"
"Mungkin
dia terpisah dari kawan-kawannya?"
"Kalau
begitu, kenapa dia tidak melarikan diri? Dia datang langsung ke arah
sini."
Crowley menyela, "Kalian semua, tenanglah
sedikit."
Semuanya
terdiam. Crowley, dalam kewaspadaan tinggi, menaruh tangannya pada gagang
pedang dan bertanya dengan suara lantang. "Hei, kau! Siapa kau?"
"…"
Pria
itu tidak menjawab. Terus datang mendekat, tepat ke arah mereka.
"Hei!"
"…"
"Hei!
Apa kau mengerti bahasa kami?"
"…"
"Jangan
mendekat. Kalau kau melakukannya, aku akan membunuhmu!" Crowley
menghunuskan pedangnya.
Rekan-rekannya
melakukan hal yang sama dengan serempak.
Pria
itu mengangkat kepalanya.
Dia
adalah seorang pria yang anehnya begitu tampan. Dan matanya berwarna merah.
Merah bagaikan darah. Memperlihatkan gigi-giginya, pria itu tersenyum. Di mulutnya,
ada dua taring tajam, seperti seekor hewan buas.
"Apa-apaan
itu."
Begitu
kata-kata tersebut meluncur dari mulut Victor, pria berpakaian hitam itu
menghilang.
"Eh…?"
"Uwah?!"
Saat
berikutnya, teriakan itu terdengar dari belakang Crowley. Ketika Crowley
berbalik, kedua rekannya telah tewas.
Dengan
tangan kirinya, pria itu mematahkan leher salah satu dari mereka dan dengan
tangan kanannya menusuk dada yang lainnya.
Kematian
mereka terjadi dalam sekejap. Mereka merosot jatuh, tidak bergerak.
"Apa-apaan
itu, siapa dia?!" para ksatria berteriak.
Crowley
sama bingungnya. Gerakan pria itu sama sekali bukanlah sesuatu yang mampu
dilakukan seorang manusia. Sulit untuk dipercaya bahwa siapapun dapat bergerak
begitu cepat sampai menghilang dalam sekejap. Ada yang sangat salah dengan pria
ini.
"B-brengsek
kauuuuu‼!"
Ksatria
yang lain mengangkat pedangnya, akan menyerang pria itu, dan Crowley berteriak,
"Jangan‼!"
Pria
ini sama sekali bukanlah lawan yang dapat mereka hadapi dan harapkan untuk
menang.
Tapi
terlambat. Pedang itu hampir mencapai leher pria tersebut, saat dia
menghentikannya hanya dengan dua jari.
"Apa?!"
Segera
sesudah seruan keheranan ksatria tersebut, pria tersebut memuntir jarinya. Dan
hanya dengan begitu saja, pedang tersebut patah dengan mudahnya, mematahkannya
seakan itu hanyalah sebatang tongkat tipis.
"Hei,
itu pasti bercanda," Victor, berdiri di samping Crowley, berkata dalam
nada ngeri.
Tapi
itu bukanlah candaan. Apa yang mereka saksikan bukanlah sebuah mimpi.
Sesosok
monster.
Sesuatu
yang bukan manusia, makhluk yang sama sekali beda sedang menyerang mereka. Dan
mereka tidak diajarkan bagaimana caranya menghadapi monster yang bisa bergerak
seperti itu.
Pria
itu mengayunkan tangan kirinya dengan ringan. Saat dia melakukannya, kepala
ksatria yang pedangnya barusan dipatahkan oleh pria itu, terpisah dari
tubuhnya, terbang melintasi angkasa.
Kemudian
pria itu bicara, "…Lemah sekali. Aku tidak suka darah orang yang lemah.
Apakah tidak ada yang lebih kuat?"
Crowley
beteriak, "Semuanya berkumpul! Jangan menghadapinya sendirian! Kita akan
menghadapi monster ini bersa—"
Akan
tetapi, tepat saat itu, pria itu berbalik ke arahnya, berujar, "Ahh,
pastinya kaulah yang terkuat di antara mereka?"
Dia
menghilang lagi dan detik berikutnya sudah berdiri tepat di hadapan Crowley.
"Khugh…"
Saat
tangan pria itu hampir mencapai leher Crowley, "Uooooogh!" dia
mengangkat pedang dan mengayunkannya, mengincar kepala monster itu. Sebuah
serangan dari tangan monster itu mematahkan pedang tersebut menjadi dua tanpa
susah payah.
Tapi
Crowley sudah mengira sampai sejauh itu. Dia sudah siap, dan dia mengayunkan
pedangnya dengan pikiran itu.
Dia
menyorongkan sisa bilah dari pedang patah itu ke depan, mencoba untuk
mendorongnya ke dalam leher monsteritu. Mata monster itu terbelalak sedikit,
tapi dia menghindari serangan tersebut.
"Oops,
kau sama sekali tidak buruk. Tapi pedang seperti milikmu itu melawanku
itu—"
Crowley,
akan tetapi, telah membuang pedang tersebut dan, menjegal monster itu, dengan
tubuhnya menekan dia ke tanah, berteriak pada saat yang sama, "Victor,
bunuh diaaaaaa‼!"
Pada
saat itu juga, Victor dan ksatria yang lainnya menikam monster tersebut dengan
pedang mereka dengan serempak. Empat pedang menusuk tubuh monster itu.
Mereka
membunuhnya. Mereka dapat membunuhnya.
Atau
begitulah yang Crowley kira.
Tapi
pria itu menyeringai, "Dan?" Meskipun 4 pedang bersarang di tubuhnya,
dia terlihat tenang seperti sebelumnya.
Dia
sama sekali bukan manusia. Makhluk ini bukan manusia.
Yang
berarti, mereka tidak lagi punya kesempatan untuk menang.
Kalau
monster ini tidak mati karena ditikam pedang, maka Crowley tidak tahu bagaimana
caraya membunuh dia.
Tamat
sudah. Mereka hanya bisa mencoba untuk melarikan diri. Karena itu…
"Hei,
Victor!"
Bawa
semua orang dan lari, Crowley baru saja akan memerintahkan itu.
Tapi
sebelum dia bisa melakukannya, monster itu tertawa, "Kurasa tidak. Aku
tidak akan membiarkan kalian pergi. Saksi mata harus dibantai. Aku akan
meninggalkanmu sebagai hidangan utama, jadi tunggulah sebentar di sini."
Memutar,Crowley
ingin berteriak, "Lari!" pada yang lainnya, tapi saat dia berbalik,
monster yang dia tahan beberapa saat yang lalu, sudah muncul tempat di sebelah
kawannya. Mencengkeram salah satu di kepalanya, dia mematahkan lehernya.
Menghujamkan sebelah tangan ke dada yang lainnya, dia mencongkel keluar
jantungnya.
"Hentikan,"
Crowley memaksa keluar suaranya, menyaksikan rekan-rekannya dibunuh.
"Kumohon hentikan‼" jeritnya.
Kenapa
ini terjadi. Tepat di saat mereka berpikir mereka telah selamat. Tepat di saat
mereka sampai sejauh ini, membayar harga yang begitu besar demi ini. Tepat di
saat kotanya, Damietta, sudah terlihat.
Mereka
seharusnya berhasil kembali. Mereka seharusnya pulang ke rumah hidup-hidup.
Akan
tetapi, apa yang sedang dia saksikan di sini.
Satu
demi satu rekannya terbunuh. kawan yang seharusnya pulang ke rumah hidup-hidup
terbunuh.
Dan
sekarang monster itu menatap Victor.
Victor
mengangkat pedangnya.
"Jangan!
Victor!" jerit Crowley. Tapi jeritan itu sia-sia.
Pria
itu melambaikan tangannya. Dan itu saja sudah cukup untuk melepaskan lengan
Victor dan melesatkannya terbang di udara.
"Ah…"
hanya itu yang diucapkan Victor. Kemudian dia menatap Crowley. Dengan wajah
yang bertanya apa yang harus dia lakukan sekarang, memohon pertolongan. Dan
Crowley berniat untuk bergegas ke arahnya.
"Menjauh!"
Victor menghentikan dia.
Di
saat yang sama kata tersebut keluar dari mulutnya, pria itu mengunci ke leher
Victor. Taring panjang dan tajam itu menusuk jauh ke dalam daging, dan pria itu
mulai mengisap sesuatu keluar dengan suara basah. Kemudian tenggorokannya
bergerak untuk menelannya dengan satu tegukan. Dia terlihat seakan sedang
meminum darah.
Dia
adalah seorang monster penghisap darah.
"Ah,
ah, ah…" Victor mendengus, dan kemudian tubuhnya jatuh ke tanah, begitu
saja. Dan kemudian dia mati.
Dengan
begitu mudahnya juga.
Itu
yang terjadi pada Victor.
Teman
yang selalu bersama Crowley sejak dia bergabung dengan Ksatria Templar mati.
Dan
Crowley menyaksikannya dengan tatapan hampa.
Melihat
Tuhan tidak pernah sekalipun tersenyum pada mereka hingga akhir. Dengan tatapan
hampa, dia menyaksikan Tuhan yang kejam, atas segala hal yang telah mereka
lalui, bahkan monster penghisap darah terhadap mereka.
Monster
yang dibicarakan itu mencengkeram Crowley di leher dan memaksanya berdiri. Tapi
tidak ada lagi kekuatan yang tersisa di tubuh Crowley untuk apapun. Itu seakan
energi untuk bangkit dan keinginan apapun untuk hidup mungkin telah dihisap
hingga kering.
Pria
itu berkatan "Aku membuatmu menunggu. Tapi sekarang, aku akan menghisap
darahmu."
Dengan
mata kosong, Crowley memandangi pria itu. Dia tidak merasakan takut lagi. Bila
dunia ini sama sekali tanpa kasih Tuhan, maka dia tidak melihat alasan untuk
hidup lebih lama lagi.
Karena
itulah dia berkata, "…Bunuh aku."
Pada
saat itu, pria itu membuat raut wajah sedikit bosan. "Aku tidak menikmati
menghisap darah dari manusia yang tidak melawan. Darah manusia terasa paling
lezat saat dipenuhi amarah."
Crowley
berpikir dia tidak peduli lagi. Dia tidak tahu makhluk apakah ini, tapi dia
tidak peduli lagi, akan segalanya.
Pria
itu membuka mulutnya. Di dalamnya, sebagai taring terlihat menonjol.
Taring-taring itu melesak ke dalam lehernya. Dia merasa seakan nyawanya sedang
dihisap dengan berisik dari dalam dirinya. Untuk beberapa alasan, ada sesuatu
seperti rasa nikmat yang luar biasa saat nyawanya dihisap keluar dari dirinya,
perasaan saat ajal mendekat.
"Ah,
ah…" suaranya keluar begitu saja. Pupil matanya melebar.
Langit
dan matahari terlihat begitu menyilaukan—dari tempat ini bersimbahkan darah.
Dan seakan itu tidak cukup, langit di atas tempat ini di mana kawan-kawannya
terbunuh tepat ketika dia berpikir mereka berhasil bertahan hidup terlihat
begitu biru dan indah…
"…Aah,
aku tahu. Ini adalah mimpi."
Terlalu
konyol untuk tidak demikian, renung Crowley. Jadi ini pastilah sebuah mimpi.
Sesosok monster seperti ini tidak mungkin ada, bagaimanapun juga.
Kenyataannya,
mereka kalah dan terbunuh di medan perang. Dan ini adalah mimpi yang akhirnya
dia lihat di ambang kematian.
Tidak,
mungkinkah ini sebuah mimpi yang dia dapatkan karena dia terlalu takut untuk
pergi ke perang itu? Sebuah mimpi buruk yang dia lihat setelah berpesta dengan
semua orang dan minum terlalu banyak di aula makan itu. Kalau memang begitu,
maka dia ingin segera bangun secepatnya.
Dan
begitu dia melakukannya, Victor akan mengatakan sesuatu yang konyol lagi
padanya. Dan Gustavo akan menjadi orang bermuka masam seperti biasanya, dan
Rosso, Komandan Alfred, dan rekan-rekannya yang lain akan tertawa seperti
biasa.
Ahh,
betapa bagusnya kalau memang benar begitu. Betapa dia menginginkan itu menjadi
kenyataan.
Kesadaran
Crowley memudar, semakin jauh setiap detiknya.
Dan
dari suatu tempat di tempat yang sangat jauh, dia mendengar suara-suara. Dalam
mimpi yang jauh, samar-samar, dia dapat mendengar seseorang berbicara.
Apakah
itu suara para malaikat? Atau para iblis dari neraka?
♦ ♦
"…Nah,
tunggu, jangan bunuh dia, Raux…"
"…Huh?
Apa yang sedang kau lakukan di sini, Brengsek?"
"Ahaah~ Nah, nah, kesampingkan itu, dia
adalah Michaela. Dan karena itulah…"
"…"
"Karena
itulah…aku tidak akan membiarkan kau membunuhnya."
0 Comments
Posting Komentar