SHIBUYA TERBAKAR
Part 2
(Translater
: Natsume)
Sesaat
sebelumnya.
Sekolah.
Atap.
"TIDAAK--!”
Yukimi Shigure
mendengar jeritan Hanayori Sayuri.
Di depan matanya,
orang-orang itu bersiap menyerang Sayuri. Meskipun ia meronta-ronta dengan putus asa, hanya masalah
waktu saja sebelum pakaiannya ditarik.
“……”
Shigure melihat
semua ini dengan tatapan dingin.
Sebelah mata
tertutup.
Pria yang menahan
lengannya bicara.
"Apa-apaan
ekspresi itu, temanmu akan dilecehkan, loh? Takutlah
sedikit.”
Shigure tidak
menjawab.
Tidak ada alasan
untuk takut.
Jika ditanya mengapa,
itu karena ia selalu waspada akan segala kemungkinan dari berbagai situasi.
Di sini, di SMA 1
Shibuya yang sepenuhnya dikendalikan oleh keluarga Hiiragi, sebagai pelayan
keluarga Ichinose yang dibenci, dibunuh atau dilecehkan—tidak, menjadi sasaran
berbagai macam penghinaan, adalah sesuatu yang telah ia persiapkan secara
mental.
Seperti halnya
Sayuri.
Meskipun ia
menunjukan cintanya untuk Tuan Guren dengan terlalu jelas, tapi ketika
menyangkut hal penting, ia akan memenuhi tugasnya dengan benar.
Jeritan barusan,
kemungkinan besar hanya pura-pura.
Begitulah. Jika tak
ada pilihan lain, Sayuri akan bunuh diri tanpa ragu. Walaupun jika ia
dilecehkan, ia tidak akan menjerit atau berteriak.
Tapi sekarang, ia
sedang berjuang mati-matian.
Melawan demi untuk tidak dilecehkan. Saat ia berputar, bahkan seragamnya tak dapat
menyembunyikan dadanya yang menggairahkan, itu ia gunakan untuk menarik
perhatian mereka bahwa ia berjuang.
Ia menarik
perhatian mereka, untuk mempersiapkan cara kabur.
Begitupun
Shigure.
Di mana kesempatan
itu akan muncul, Shigure mencurahkan seluruh perhatiannya.
Lalu pria
berpakaian hitam yang mungkin adalah pemimpin mereka bicara.
“Wow~ Pergerakan
yang begitu luwes.
Mempunyai dua pelayan yang dilatih dengan baik, Guren sangat beruntung.”
Mendengar
seseorang bicara, Sayuri berhenti menjerit.
Shigure juga
melihat pada pria itu.
Bajingan ini tahu
tuan mereka. Dengan
pengetahuan penuh akan tuan mereka, ia menyerang para pelayannya.
Sampah, pikir
mereka. Pasukan
lain gereja Hyakuya tidak akan berani menyentuh mereka.
Mereka hanya, akan
langsung membunuh gadis-gadis.
Tapi disana.
Di atap ini,
untuk beberapa alasan, mereka ingin
'menyerang’ Sayuri.
Pria berstelan hitam tadi berkata “ Gadis itu punya dada yang besar dan
sangat manis, lakukan” dan menyuruh
mereka ‘menyerang’ Sayuri.
Mereka diserang
oleh orang yang mengetahui Guren.
Dengan kata lain,
target bajingan ini adalah.....
“Sayuri!”
Shigure
memanggil.
Sayuri
mengangguk.
Mereka akan bunuh
diri.
Tidak ada jalan
lain.
Dilecehkan atau
dibunuh pun tak mengapa, tapi digunakan untuk mengancam tuan meraka adalah hal
yang tak bisa dimaafkan.
Gadis-gadis itu
berkeputusan untuk menelan racun yang telah diselipkan di mulut mereka selama
ini.
Tetapi, sebelum
itu.
"........ Aku
tidak bisa membiarkan itu.”
Pria berstelan
hitam meraih kedua lengan mereka.
Beberapa rantai melesat, terbang ke
dalam mulut mereka dan mengambil racunnya.
Semua ini terjadi
seketika.
Mereka tidak bisa
bereaksi, apalagi melawan.
Kekuatan pria
ini, benar-benar berbeda dibanding pasukan biasa Gereja Hyakuya.
Pria itu berkata.
“Ah, jika kau
ingin menggigit lidahmu maka lakukanlah. Tapi kupikir kalian harus tahu, sekalipun kalian
menggigit lidah kalian tidaklah semudah itu untuk mati, semakin kalian terluka,
lebih buruk bagi Guren."
Mereka tidak
mengerti apa yang ia katakan.
Akan tetapi, mereka akan digunakan untuk melawan tuannya, ini sesuatu yang
mereka mengerti.
“Siapa sebenarnya
kau?”
Shigure bertanya,
dan pria berstelan hitam pun menjawab.
“Aku tidak punya
nama. tapi
Guren memanggilku Saito.”
“Apa tujuanmu?”
Lalu Saito
tertawa.
"Menyerang kalian berdua. Semuanya, waktu
kita tidak banyak, biarkan juga gadis yang lebih pendek ini bergabung.
Lengannya menjangkau meraih Shigure.
Roknya dirobek.
Dengan suara
gemerincing, senjata tersembunyi di dalam pakaiannya jatuh. Ia tak bisa
melawan balik. Para
prajurit masuk untuk serangan.
Ia tak berdaya untuk menyerang balik. Musuh-musuh mereka lebih
kuat. Kemungkinan
besar, ia akan diperkosa.
“……”
Tetapi, Shigure
tidak menaruh perhatian pada hal ini.
Ia mengikuti
pandangan Saito. Saito
tidak melihat ke arahnya. Pandangannya,
tertuju keluar sekolah.
Ia berkata.
“Oh sayang
sekali, sang iblis sudah datang.
Apakah pasukan dikalahkan secepat ini?”
Shigure juga
melihat ke arah itu.
Di halaman
sekolah yang dipenuhi pertempuran dan darah, sebuah sepeda motor melaju masuk. Lurus ke arah halaman yang
dipenuhi pasukan Gereja Hyakuya.
Tetapi,
pengendara itu tidak terlihat memperhatikan mereka dan langsung melaju masuk.
Seorang anak muda
mengendarai sepeda motor.
Anak muda
berambut hitam, bermata tajam.
Ichinose Guren.
Melihat itu
seketika, bagian hati Shigure yang dingin tiba-tiba terisi dengan kehangatan
yang tak bisa dijelaskan.
Ia sangat
terharu.
Kemungkinan
keadaannya terlihat membuatnya bereaksi dengan lemah,
“Tidak, jangan! Guren-sama, jangan datang kemari!”
Ia berteriak.
Sayuri
keihatannya juga menyadari situasinya.
Ada beberapa
bagian pakaiannya menanggalkan tubuhnya. Dalam keadaannya, ia memanggil dengan putus asa.
“Jika Anda kemari Anda akan
terbunuh! Tolong jangan
datang kesini!”
Mereka sudah
sangat tenang sampai barusan, tapi sekarang terpaksa mengeluarkan
suara ketakutan mereka.
Ia tidak boleh
datang kesini.
Sangat jelas
Saito menyerang mereka untuk memancing Guren.
Tetapi, Saito
berkata.
"Haha, ia
datang...... Baiklah, semuanya!
Cepatlah dan ‘lakukan’!”
Ia memberi
perintah. Tetapi,
disaat yang sama, mengisyaratkan pasukannya untuk mundur karena suatu alasan. Seakan hendak mundur.
Pada saat ini,
Guren mengangkat kepalanya.
Ia bertukar
pandang dengan Shigure.
Ia menarik
pedangnya.
Pedang itu
berwarna hitam.
Hitam pekat.
Ia mengambil
ancang-ancang.
Dua langkah.
Di langkah ketiga
ia tiba-tiba menghilang.
Dan seketika,
“……”
Guren melompat ke
atas atap. Sebelum
ia mendarat, ia bahkan telah membunuh semua pasukan di satu sisi.
Dengan sekali
tebasan, ia membunuh tiga orang.
Prajurit lain
menyadarinya.
“Mu, Musuh......”
Perkataannya
terhenti disini. Mulut
yang hendak berteriak, ditembus oleh Guren. Guren terus
bergerak ke arah
Sayuri. Ke arah para
prajurit yang hendak memperkosa Sayuri.
Sebelumnya ada
lima orang disana.
Tetapi, sekarang
tak ada satupun. Pedang
Guren menyayat setiap dari mereka.
Pergerakan itu,
bukanlah pergerakan dari tuan yang ia kenal.
Tidak, itu
benar-benar bukan pergerakan dari seorang manusia.
Prajurit-prajurit
dibunuh bahkan sebelum mereka menyadarinya. Prajurit yang
diperintah menahan Shigure, juga tidak bisa memahami situasi, dan hanya bisa
menonton, linglung.
Sayuri melihat
Guren, terkejut.
“....... Gu,
Guren-sama......"
Suara kecil
keluar dari mulutnya.
Guren melihatnya,
tapi tak berkata apapun.
Lalu ia berbalik.
Saat ini, Shigure
menemukan apa yang salah.
Mata tuannya
hitam. Bahkan
bagian putihnya pun menjadi hitam pekat.
Ekspresinya
kosong.
Orang yang meraih
Guren bicara.
“Uh, hei, kami punya
sandera.... ”
Lalu Guren
bergerak.
Dengan tebasan
ringan pedangnya, orang itu tersungkur.
“Wuaaahhhhh!”
Meskipun pria
lain mengarahkan pistol pada Guren, ia menyadari bahwa tangannya telah
terpotong, dan berputar di udara.
Bersama kepalanya.
Pria lainnya berusaha
mengambil kesempatan kabur.
Tapi ia segera
tersemat ke atap oleh pedang dipunggungnya.
“Wuuu...... tolong
aku!”
Ia menjerit.
Guren memegang
tangan Shigure dan dengan lembut mengangkatnya. Tangan itu terasa
hangat.
“Ah.......”
Tak ada yang bisa
ia Shigure lakukan selain bersuara seperti itu.
Di saat yang sama,
Guren membelalak pada pria itu.
“......... Jangan
menyentuh gadisku dengan tangan kotormu.”
Dengan itu, ia
membunuhnya.
Merespon
kata-kata itu.
“……”
Gadisku –
merespon kata-kata ini, Shigure tertegun.
Jelas sekali, ada
yang salah. Ada yang
tidak beres diwajah tuannya.
Meski begitu,
“.......
Ga...gadisku.... Itu...."
Kata-kata itu
membuat Shigure merasa seolah ada rusa
bertabrakan di hatinya.
(Note:
I just had to translate this literally. The simile was too funny to lose.)
Apakah itu karena
ia sudah siap untuk mati?
Ataukah karena ia
secara emosional siap diperkosa?
Karena ia
berpikiran ia tidak akan lagi melihat tuannya, ia telah kehilangan sikap dingin
dan acuh tak acuhnya yang biasa sampai tingkat tertentu.
Beruntung Sayuri
tidak mendengar kata-kata yang barusan. Kemungkinan besar, ia akan sangat senang, melupakan
semuanya dan tidak mendengar apapun lagi.
Tapi sekarang
ini, hanya Ia yang mendengarnya.
Meskipun terlihat
ada sesuatu yang tidak beres dengan Tuannya.
“……”
Gadisku, untuk
dipanggil demikian oleh tuannya....
Panggilan seperti
itu,
“...... Ah.”
Wajah Shigure
menjadi merah terang.
Sambil menutupi rasa malunya ia sekarang menyelam kedalam hatinya, dan
berpura-pura tenang dan berkata.
“Gu, Guren-sama. Mengenai situasi
saat ini........."
“Tidak perlu. Diamlah. Aku akan membunuh
semua musuh."
Guren berkata.
Ia menjentikan
darah di pedangnya.
Sayuri berdiri. Ia juga setengah
telanjang, dan dibasahi oleh darah.
“Gu,
Guren-sama!"
Ia memanggil. Melihat Sayuri,
ia menurunkan pandangannya.
".......
Sial, darah juga bisa memicu nafsu..... Tubuh ini.......”
Ia bergumam.
"....... Um,
Guren-sama?”
Mendengarnya
bertanya, Guren menjawab.
“Jangan mendekat. Kau akan diserang
olehku.”
"Eh, i..
tu.....”
“Aku bilang
jangan mendekat!”
Ia berteriak.
Tiba-tiba mereka
tidak dapat bergerak.
Saito bertepuk
tangan.
".......
Luar biasa. Untuk
mencapai tahap ini..... Ini lebih baik dari yang aku bayangkan. Bagaimana
rasanya? Racun
dari Kiju. Menyerah menjadi
manusia, bagaimana rasanya?”
Mendegar ia berkata
begitu, badan Shigure bergidik.
Kiju – adalah penelitian terlarang yang semua orang sepakat
tidak akan berhasil.
Tuannya sendiri,
telah terlibat dengan hal itu?
Tapi, mengapa?
Mengapa tuannya
perlu melakukan hal semacam itu?
Jika itu tentang
mengusulkan orang untuk percobaan, ada banyak pilihan. Sayuri, atau
Shigure sendiri sudah cukup.
Ada banyak orang di ‘Mikado no Tsuki’
yang hidupnya tak seberharga Guren.
Bahkan ada lebih
banyak orang yang berharap bisa berkorban demi Guren.
Jadi mengapa,
mengapa ia harus mengotori dirinya dengan hal semacam itu?
“……”
Saat itu, sebuah
pikiran muncul dibenaknya, pikiran yang tidak ingin diakuinya.
Skenario
terburuk.
Shigure berbicara
pelan pada dirinya sendiri.
"........
Mungkinkah itu, untuk menyelamatkan kami?”
Oh, tidak.
Ini mengerikan.
Tuannya berbalik. Tidak seperti
tadi, bagian putih matanya tidak lagi hitam. Matanya hidup,
hangat, tapi penuh dengan kesedihan yang tak terkira.
"....... Ha,
jangan merasa sok penting, Shigure. Kau hanyalah
pelayan.”
Pembohong. Dalam hal itu,
Guren tidak perlu melindungi Shigure. Tidak, ia benci dirinya yang selalu dilindungi orang
lain. Ia
berekspresi seakan hendak menangis, ia sangat membenci dirinya sendiri.
Itu karena
tekadnya yang kurang, sehingga ia membiarkan tuannya ternodai.
Saito bicara.
"........
Biarkan aku mengambil kesempatan bertanya, di tahap mana kau berada? Seberapa banyak
darimu yang manusia dan yang bukan?”
Guren memandang
Saito.
“....... Kau,
apakah kau orangnya Mahiru?
"Bukan, bukan.
Aku berasal dari Gereja Hyakuya.”
“Jangan
berbohong. Lupakan,
kau akan bicara ketika kau di interogasi nanti.”
Guren menggenggam
pedangya erat.
Tapi Saito hanya
tertawa dan merentangkan kedua tangannya.
“Meskipun kami
tak bisa menyelesaikannya, bagaimana menurutmu hasilnya? Kekuatan
terlarang, terasa lebih baik dari yang
diharapkan, ya? Untuk
menyelamatkan para pelayanmu.
Kau bahkan menyelamatkan mereka yang akan disakiti. Aslinya sih, aku
ingin kau jatuh ke
dalam keputusasaan yang lebih dalam, maka aku bersiap menyakiti mereka
sampai tidak bisa berdiri lagi, dan mengajarimu nikmatnya balas dendam”
Saat itu, Guren
tiba-tiba menyerang.
Seketika, Saito yang sedang tersenyum terbelah menjadi dua.
Tetapi, tubuh
bagian atas Saito tetap melayang di udara sambil tersenyum.
"Kuatnya,
betapa kuatnya~ Pergerakan yang hebat. Kalau
begini, suatu hari kau mungkin berkembang sampai bisa membunuh vampir.”
Seraya bicara,
tubuhnya berubah menjadi debu dan berhamburan.
Itu adalah mantra
ilusi.
Guren mengawasi. Lalu ia tersenyum
gelap. Senyum
yang memancarkan kejahatan.
Di mulutnya yang terbuka, tumbuh gigi yang tajam.
Seperti seorang
vampir.
Seperti Iblis.
Iblis yang
tampan.
Shigure
melihatnya dengan putus asa.
Guren berkata.
“Kau tak akan
bisa kabur. Aku bisa
merasakan keberadaanmu."
Dengan sebuah
kibasan pedangnya, Saito terlihat berdiri ditengan asap yang tersebar.
Tapi
mengejutkannya, Saito masih dapat tersenyum.
"Tidak,
tidak, kau tidak punya waktu untuk hal seperti itu. Kau harus fokus
memenuhi hasratmu.
Lebih turuti hasratmu dan pergilah untuk memenuhinya. Kau harus membuat
semua orang mengakui tekadmu.
Aku kuat.
Menjadi kuat ini
sangatlah bagus.
Lalu, demi
kebahagiaan dirimu sendiri, kau menyerahkan hakmu sebagai manusia. Demi hasratmu kau
menyerah menjadi manusia.
Orang semacan ini bisa menjadi kuat. Sangat, sangat kuat."
“……”
Saito mengilang.
Akan tetapi,
suaranya masih terdengar.
"Menyelamatkan
rekamu atau apapun, bukankah itu hanya alasan? Menyerahkan
kemanusiaanmu karena kau punya sesuatu yang ingin kau lindungi, kau selalu
memberi alasan seperti itu pada dirimu sendiri. Aku tahu. Jika kau tidak
punya alasan semacam itu kau tidak akan berkembang. Tetapi, hal itu
hanya kebohongan.
Dikarenakan ambisimu sangatlah lemah. Tapi sekali kau menyerah, kau harus mengejar kebahagiaan. maka sekaranglah
waktunya. Kau tidak
punya waktu mengobrol denganku."
“……”
“Ah, aku baru
ingat. Setelah
kau menolong Goshi di toilet wanita lantai lima, lalu pergilah
menyelamatkan Mito di ruang audiovisual
– jika kau pergi dengan urutan begitu, kau bisa menyelamatkan semuanya. Setelah itu kau
akan sungguh terperangkap oleh kekuatan misterius ini. Kau tidak akan
bisa lari. Tidak
dari kesenangan ini.
Kau, yang kemarin hanya sampah,
telah menjadi dewa mulai sekarang.
Kau telah menjadi Sang Penyelamat. Lalu emosimu akan menjadi lebih riang – dan kau akan
menjadi iblis yang sesungguhnya”.
Saito mengatakan
hal yang tidak masuk akal ini.
Shigure tidak
terlalu mengerti apa yang dikatakan Saito, tapi yang jelas hal-hal yang ingin
Saito untuk Guren lakukan, benar benar tak bisa diterima.
Guren masuk dalam
obrolan.
“Siapa sebenarnya
kau?”
Sebuah suara
terdengar dari pagar yang agak jauh.
“Sudah kubilang,
aku berasal dari Gereja Hyakuya."
Saito berdiri
disana.
Di sampingnya,
seorang gadis cantik memakai seragam SMA 1 Shibuya juga berdiri disana.
Rambut panjang
abu-abu yang berkilauan.
Berkelip,
sepasang mata yang anggun.
Bibir pucat yang
cantik.
Kekasih baru
Guren – Hiiragi Mahiru.
Ia tersenyum
dengan ekspresi benar-benar bahagia. Seakan sangat gembira. Ia menatap Guren
dengan lembut.
Di pinggangnya
tergantung sebuah pedang Jepang.
Sebuah pedang
hitam pekat.
Shigure
memelototi Mahiru.
Melotot kearah
wanita yang seakan dengan sihir menguasai tuannya.
Mahiru menyadari
pandanganya, tapi terus tersenyum senang. Tidak, ia menghindari tatapannya,
“....... Guren. Tidak banyak
waktu lagi. Jika kau
tidak bergegas, kau akan terlambat. Jujo-san sedang
menunggumu di ruang audiovisual.
Saat ia mendekati kematiannya, ia mengatakan sesuatu tentang keinginan
dipeluk olehmu, semua perasaan yang menyentuh itu telah terungkap. Jadi, seperti
yang kamu lakukan padaku sebelumnya, pergilah peluk dia.”
Ia mengatakannya.
Seperti yang kau
lakukan padaku sebelumnya.
Seperti yang kau
lakukan padaku sebelumnya.
Dengan nada
seakan menangis, Sayuri bertanya.
“Apa, apa yang
sebenarnya yang telah kau lakukan pada Guren-sama!?”
Perkataan yang
kuat. Ekspresinya
berubah.
Shigure merasakan
hal yang sama.
Tetapi, Mahiru
tersenyum dan menjawab.
“Sesuatu yang
selalu ingin kamu lakukan, kami sudah melakukannya loh. Jika kamu
cemburu, kenapa kamu tidak
mencobanya nanti?”
"Jangan
bercanda!”
Sayuri berteriak.
Tapi Mahiru
terlihat tidak peduli.
“Ah, aah, aaah. Aku tahu. Kalian menjalani
setiap hari dengan berpikir tentang hal semacam ini kan?"
Mereka sedang
dipermainkan. Seolah
mengamati semut yang merayap, Mahiru memandang rendah mereka.
Terhadap hal ini,
Shigure merasa sangat terhina.
Ia merasa seakan wajahnya penuh dengan kemarahan. Seakan seseorang
menyentuh bagian dari hatinya yang tak ingin disentuh siapapun, saat ia punya
perasaan ini, Shigure sadar.
Lawannya memakai
mantra ilusi.
Saat ini, di
atap, mereka memakan mantra-mantra yang bisa memanipulasi hati seseorang.
“Sayuri!” Tenanglah!”
Tapi terlambat.
Disaat yang tak
diketahui, Mahiru telah berdiri disamping Sayuri.
Mahiru berbisik
pada Sayuri.
“Tak apa,
Hanayori Sayuri-san. Lagipula, Hawa
nafsu adalah sifat dasar
dari manusia itu sendiri.
Tapi, di dunia yang saat ini apa yang kamu ingin takkan bisa diperoleh. Berdasarkan
kekuatanmu, itu tak bisa tercapai.
Orang yang Guren cintai adalah aku. Kamu tidak akan pernah dicintai Guren.”
"Ap..
Mengapa....."
Sesuatu berkilau
di sudut pandangan Sayuri.
Mantra itu mulai
bekerja.
Mahiru
melanjutkan.
“Jadi, apa yang
akan kamu lakukan?
Tidak dapat memperoleh apa yang kamu inginkan, apa yang akan kamu lakukan? Membunuhku? Membunuhku dan
merampas Guren dariku?
Tapi kekuatanmu tidaklah cukup. Tidak cukup.
Kamu tidak punya cukup kekuatan dari kebencian untuk menghadapi lawan. Sayang sekali. Tetapi, jika kamu
memperolehnya, apa yang kamu lakukan? Di tempat ini, ada kekuatan yang kau inginkan loh.”
Di depan Sayuri,
Mahiru menarik pedang pendek sambil bicara.
Pedangnya
berwarna hitam.
Hitam pekat.
Warna dari
bayangan.
Ia tidak boleh
menyentuhnya.
Akan tetapi,
Sayuri menatapnya penuh hasrat.
Perhatiannya tersedot.
“……”
Mantra yang
begitu rumit, begitu kuat.
Sebelum semua orang sadar, di sudut atap sudah tertempel beberapa kertas
mantra.
Semuanya mantra
yang tak pernah Shigure lihat sebelumnya dan kelihatannya dikendalikan oleh
Mahiru sendiri.
Orang ini
bukanlah seseorang yang bisa digolongkan sebagai ‘lemah’ atau 'kuat’.
Rasa takut.
Ia bisa merasakan
rasa takut yang luar biasa.
Ia tidak boleh
berdiam disekitar gadis ini.
Menyerah pada
Sayuri. Sudah
amat terlambat. Ia pastinya
menginginkan Kiju.
Akan tetapi, apapun
masalahnya, Ia ingin membiarkan tuannya lari.....
“……”
Lalu Guren
menyerang.
“Jangan......”
Tapi suara
Shigure tak dapat mencapainya.
Mahiru tersenyum. Tersenyum
mempesona.
Pedang Guren
terhunus kearah Mahiru.
Mahiru mencabut
pedang di pinggangnya dan menahan serangan Guren. Suara yang dapat
terdengar hanyalah bunyi dua besi berbenturan. Kaki kiri Mahiru
yang jenjang terperosok ke lantai.
Guren berkata.
“Aku akan
membunuhmu.”
“Ahahahahahahahahahaha!”
Mahiru menarik
pedang hitam pendek tadi dan melemparnya kearah Sayuri.
Guren bereaksi
dengan segera.
“Wu......”
Tangan
kirinya berusaha menangkap pedang itu. Pedang itu
mengiris telapak tangannya dan darah pun terciprat di udara. Darahnya berwarna
hitam.
Mahiru tersenyum.
“Ahaha, aku
sangat suka kamu yang rela melindungi para manusia sampai sejauh ini, Guren. Aku mencintai
kamu yang serakah.
Aku mencintaimu yang ingin meraih segalanya tapi pada akhirnya tidak akan
mendapat apapun. Itulah
mengapa, aku akan membuat racun iblis meresap lebih dalam padamu.”
Tangan Guren
menggenggam pedang pendek itu, menghitam seketika.
“Wu, ah,
ahhhhhhhhhhhhhhhhh?”
Ia meraung
kesakitan.
“Guren-sama!?”
Shigure
berteriak.
Seperti ini lagi.
Lagi-lagi, ia
menjadi beban bagi tuannya – karena
dirinya, tuannya jatuh kedalam kesulitan yang mengerikan.
"Mengapa?”
Pikir Shigure.
“Mengapa aku
sangat lemah?”
Shigure berkata
pada dirinya sendiri.
Mahiru
kelihatannya mendengarnya, karena ia menoleh pada Shigure dan berkata.
“Karena kamu
terlalu lambat bereaksi.
Kelinci mencuri waktu untuk tidur siang, sedangkan kura-kura langkah demi langkah maju dengan bersemangat. Tapi sang
kura-kura tidak tahu apakah kelinci itu berlari atau tidak..... Tapi jika kamu
benar-benar ingin melindungi pria yang kamu cintai, mengapa juga kamu tidak
masuk ke dalam kegelapan?
Jika tidak, jika kamu tidak berbuat apapun..... bukankah dunia akan
hancur?”
Shigure ingin
membalasnya tapi ia tidak bisa berkata apapun.
Guren berlutut di
lantai, tangannya menggenggam dadanya kesakitan. Karena dari
kepalanya, sebuah tanduk mulai tumbuh.
Mahiru menunjuk
Sayuri dan berkata.
“Sakit, kan? Maka bunuh wanita
itu. Jadi kamu
bisa mengurangi rasa sakitnya sedikit.”
Guren menatap
Sayuri. Mata itu,
sekali lagi menjadi hitam pekat.
Shigure tidak
tahu harus bagaimana lagi.
Bagaimana harus bertindak, ia tidak tahu lagi.
Akan tetapi, ada
satu hal.
Tuannya tidak
boleh tetap berada disamping wanita bernama Mahiru. Nalurinya menjerit
demikian.
Meskipun nyawa
taruhannya, ia harus menjauhkan wanita itu dari tuannya.
Jadi ia berteiak
keras.
“Guren-sama! Tolong jangan
dengarkan wanita itu !
Jika harus membunuh, pertama bunuhlah saya! Tolong kemari dan
bunuh saya!”
Tuannya menatap
ke arahnya.
Seakan hendak
datang, ia melangkah.
Lalu Sayuri pun
berkata.
"Ah, ah,
tidak! Sebagai
gantinya bunuhlah saya!”
Langkah Guren
terhenti. Ia
mengangkat pedangnya, dan menghunuskannya pada Mahiru.
Mahiru menahannya
dan melompat ke belakang
dengan cepat.
"Ya ampun,
bahkan dengan potensi dari iblis ini, ia masih memperoleh kesadarannya.....
Luar biasa. Kamu
sangat luar biasa...... Tapi itu sangat disayangkan."
Mahiru memasang
ekspresi senang lagi dan tertawa.
Guren bicara
lirih.
“.......
Minggirlah, Ma, hi, ru.
Ini tidak akan...... jadi seperti yang kau rencanakan......"
Tapi Mahiru
menyela.
“Iya. Ini tak seperti
rencanaku. Karena
aku membiarkan segalanya sesuai rencanamu. Setelah itu, kamu
akan mendapat kekuatan yang pantas. Kekuatan untuk bertarung dan bertarung, lalu kamu akan
mendapat kebahagaian yang mana kamu tidak bisa berpaling darinya."
Mahiru melompati
pagar.
Dan dengan
begitu, ia lenyap dari pandangan mereka.
Saito berkata.
“....... Um. Baiklah, jika kau
masih bisa berpikir, selamat tinggal.”
Kata-kata
perpisahan diucapkan dan keduanya menghilang tanpa jejak.
Dengannya
pertempuran tiba-tiba berakhir.
“...... Hu, hu,
hu.........”
Guren
terengah-engah kesakitan. Perlahan, ia
melemparkan tatapannya ke
arah pintu masuk atap sekolah.
Menurut Saito, ia
hendaknya menyelamatkan Jujo Mito dan Goshi Norito. Akan tetapi,
Shigure merasa itu tidak perlu.
Ia takut hal yang lebih buruk terjadi.
Berdasar nada
Saito, saat ini, racun Kiju yang menyerang tubuh tuannya dirancang untuk
meresap lebih dalam setiap tuannya menolong seseorang atau mencapai sesuatu. Jika begitu, ia
tidak bisa membiarkan tubuh tuannya teracuni lebih dari ini.
Shigure berkata.
“Guren-sama, tolong pergilah ke Aichi! Mari berkumpul di sana! Kita tidak bisa
tetap di sini!”
Kelihatannya
Sayuri berpendapat demikian juga.
"Guren-sama, tolong tenanglah dan dengarkan
kami!”
Sayuri
menggenggam lengan Guren.
Shigure juga
berlari kearah mereka.
Hal terpenting
bagi mereka adalah pergi.
Mereka tidak bisa diam disini.
Akan tetapi, ia mendorong
lengan Sayuri. Hanya
dengan ini, tubuh Sayuri terdorong beberapa meter.
“Ah.”
Kesakitan, Sayuri
terguling di lantai.
Tapi Shigure
tidak mempedulikan.
Ia mengambil senjata pembunuhnya yang terjatuh di lantai. Ia juga mengambil
beberapa kertas mantra.
Memutarnya, ia melemparnya, bermaksud untuk mengikat Guren. Dengan situasi
saat ini, ia tidak punya pilihan bahkan jika harus sedikit menyakiti Guren.
Sekarang ini,
disini, yang terpenting adalah mengehentikan tuannya memasuki sekolah—
Tapi mantra
Shigure bahkan tidak menyentuh Guren. Bahkan tak membuatnya menoleh.
Guren berdiri. Dengan hanya
sebuah gerakan kecil tubuhnya, semua serangan Shigure digagalkan dengan mudah.
Lalu,
“........ Shi,
gu, re.”
"Aku mohon
pada anda, Guren-sama! Jangan pergi!”
“Ke,
Kesadaranku..... belum sepenuhnya hilang...... Sa, yuri.....”
“Ah,
ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh DARAH, BERI AKU DARAH............... BUNUH, BUNUH, BUNUH
SEMUA ORANG YANG MENENTANGKU."
Tanduk di
kepalanya tumbuh lagi sedikit.
Guren mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan berlari.
Ini bukannlah
sebuah pergerakan manusia.
Mereka tidak
mungkin mengikutinya.
Shigure memperhatikan
punggungnya.
Memperhatikan
punggung tuannya yang telah turun derajatnya menjadi iblis—
Shigure mengingat
apa yang Mahiru katakan tadi.
"Karena kamu
terlalu lambat.......”
Sebuah frase yang
terngiang-ngiang dikepalanya.
Kembali ke waktu
sekarang.
Berjalan ke depan.
Guren bergegas
keluar dari atap, beberapa detik kemudian—
“……”
Sebuah pedang
menghunus
turun.
Hidupnya akan
berakhir sesaat lagi.
Goshi menatap pedang yang hendak mengakhiri hidupnya, bertanya-tanya apakah
hidupnya akan berakhir.
Aku orang yang
bijaksana dan impulsif hingga
akhir, pikirnya.
Tentu saja ia
tidak mau mati disini.
Lagipula, masih
banyak hal yang ingin ia lakukan.
Seperti berkenalan
dengan gadis-gadis yang lebih manis dan mengambil ujian untuk mendapat SIM. Ia bahkan belum
pernah berlibur ke luar negeri.
Tidak, tidak,
pergi keluar negeri atau mengikuti ujian SIM bukan yang paling penting.
Lalu, apa
sebenarnya alasan mengapa ia tidak ingin mati sekarang?
Mengapa ia tidak
ingin mati seperti ini?
“……”
Keinginan
hidupnya menetes di dalam hatinya.
Sebenarnya, ada beberapa hal.
Contohnya,
bermain Shogi saat itu.
Permainan shogi yang dimainkannya dengan Shinya, Mito dan Guren.
Waktu itu, ia
kalah sesaat setelah ia mulai.
Ia tidak terlalu
nyaman akannya. meski
begitu, ia merasa senang.
Itulah mengapa, ia ingin bermain shogi dengannya. Ia ingin bermain
sekali lagi. Dalam
hatinya, ada keinginan seperti berusaha lebih keras untuk belajar shogi, menang
atas mereka lain waktu dan membuat mereka berkata “Si Bajingan Goshi itu sangat
berbakat."
“……”
Atau,
Diakui oleh
keluarganya, dipanggil dengan panggilan kakak yang istimewa, pikiran itu juga
muncul.
Untuk berpikir ia
akan mati tanpa pernah menang melawan adiknya sekalipun, betapa mengecewakan.
Dalam kerjasama.
Ujian kemampuan
mantra.
Di depan kerabatnya,
ia kalah dari adiknya.
Untuk beberapa
alasan, ia tidak bisa bersaing dengan adiknya dengan serius. Meskipun jika ia
menang, orang tuanya akan lebih berharap padanya dan kerabatnya akan lebih
memujinya, tapi berpikir pada perbuatan memalukan yang akan diperbuatnya ia, ia
tidak bisa mengerahkan seluruh kekuatannya.
“……”
Yah, ini hanyalah
sebuah alasan.
Adiknya memang
benar luar biasa.
Tidak sepertinya, adiknya selalu melakukan yang terbaik. Inilah sesuatu
yang Goshi akui dan bahkan ia pun bangga. Dibandingkan dengannya, ia hanyalah kakak yang tak bisa
berbuat apapun. Sampah
kelas dua. Yang ada
di dalam bayang bayang adiknya yang terkenal. Ia bagaikan angin
lalu.
Ia tahu benar hal
ini.
Meskipun ia tahu
itu – meskipun begitu, ia masih ingin menang melawan adiknya setidaknya sekali.
Di hadapan maut,
inilah pertama kali ia mengakui perasaanya yang sesungguhnya.
Dalam memahami
dirinya, perasaan yang terpenting
adalah:
Ia ingin menang
melawan adiknya.
Ia benar-benar
ingin menang melawan adiknya.
Menang melawan
adik sombongnya. Membuat
adiknya tadi menunduk selagi berkata – “Lagipula aku tidak lebih baik dari dari kakakku.” Atau semacamnya.
Kemudian, terkait
dirinya sendiri yang menyadari hal semacam itu saat menghadapi kematian.
“....... Ha,
haha, betapa memalukannya aku.
Mengerikan.”
Ia bergumam dan tertawa.
Ia sadar bahwa di
lubuk hatinya, ia tidak ingin mati.
Ia mengerti bahwa
ia tidak ingin kalah dari adiknya dan hasrat itu mulai tumbuh dihatinya.
Itu tidak akan
pernah terjadi.
Sudah terlambat.
Jantungnya
berdegup kencang.
Karena kurangnya
oksigen, benafas pun menjadi sulit.
Berpikir tentang
membunuh, munculah sebuah pikiran.
Bunuh adik laki
lakinya.
Goshi menyadari
perasaan luar biasa ini datang.
“……”
Dengan sebelah
mata tertutup, ia mengamati sekitar.
Ia masih
terperangkap di
toilet gadis yang sempit.
Saat itu lima
prajurit Gereja Hyakuya menyerangnya. Para prajurit yang hendak menebasnya. Musuhnya kuat. Tidak ada lawan
yang bisa ia kalahkan sendiri.
Akan tetapi,
serangan lain bercampur dengan serangan mereka. Ia menyadarinya.
Mantra ilusi?
Mantra ilusi
pencuci otak?
Tipis,
Sederhana.
Hanya ada jejak
kecil, tapi walau begitu, Goshi menyadarinya. Lagipula, ia yang
terbaik dalam mantra ilusi.
Ini adalah satu-satunya hal yang bahkan adiknya tak dapat saingi.
Kertas mantra
sedang terbakar.
Tak berbau.
Tak berwarna.
Tapi mantra ini berada
di seluruh
sekolah.
Ini mungkin
sebuah percobaan.
Percobaan besar
yang dipimpin seseorang.
Sudah banyak
orang terbunuh.
Para prajurit
dari Gereja Hyakuya dan para siswa sekolah ini saling membantai, sudah tak
terkira banyaknya.
Apa artinya semua
ini.....
“...... Yah, Aku
akan mati disini, apa hubungannya denganku...."
Ia menyerah untuk
berpikir lebih jauh.
Sebuah pedang
mengunus turun. Kearahnya. Jika tidak
menghindar, ia akan langsung mati.
Itu adalah cara yang paling nyaman. Lagipula, ia tidak bisa kabur, dan menghindar hanya kan
menghindari luka fatal, Mengharuskan ia ditikam beberapa kali sebelum mati. Lebih baik mati
dengan sekali serang.
Oleh karena itu,
Goshi tidak melawan.
Tidak menghindar.
Ia hanya
berbaring disana, menatap linglung pedang yang mengarah ke dadanya.
".......
Sial!”
Hal semacam
itu....tidak bisa ia biarkan.
Tubuhnya
menghindar gesit dan berusaha lari.
Pedang itu
menyayat tubuhnya.
Sedikit menyamping dari jantungnya,
“Uwah.”
Darah menyemprot
dari dadanya.
Pria itu
memanggilnya.
"Jangan
bergerak, kau iblis kecil.”
Rambutnya
dijambak oleh pria itu.
Kelihatannya lehernya hendak beradu dengan sebilah pedang.
Akan tetapi,
menghadapi situasi ini, Goshi.
“Tidak, aku tidak
ingin mati.”
Ia berkata tanpa
rasa malu.
"Aku tidak
ingin mati di tempat seperti ini!”
Hasrat untuk
hidup merekah di hatinya.
Ia melepaskan lengan terikatnya. Mengangkat tangannya. Memajukan
jari-jarinya, ia berencana mencolok mata musuh, tapi bisa dihindari.
Sebilah pedang menyerang
ke arahnya.
Tepat mengarah
lehernya.
Ia menghindar
lagi.
Alhasil pedang
itu tertancap di dinding.
"Rasakan ini
bajingan.”
Dua orang menahan
lengan Goshi.
"Guh.......
Sial!”
Ia tidak bisa
bergerak. Terhadap
ini pun, Goshi tetap berjuang dan melawan seperti sebelumnya.
Tapi ia sama
sekali tidak bisa bergerak.
“Sial!”
Meskipun ia telah
menyiapkan mantra di
otaknya, lalu ingin mengambil kertas mantra di sakunya, kelihatannya ia
tidak bisa tenang.
“Sial!--”
Sebuah pedang
terhunus kembali.
Begitu menakutkan.
Betapa
mengerikannya kematian.
Ia tidak bisa
menghentikan beberapa tetes air matanya—
Tapi di saat yang tepat.
“Yahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!?”
Di belakang prajurit
yang memegang pedang, ada sebuah jeritan terkejut.
Pedang itu
terhenti.
“Wahhhhhhhhhhhh—”
“Mon, monster!?”
"Tolong aku,
tolong! Jangan
bunuh aku!”
Goshi sadar suara
jeritan-jeritan itu, perlahan mendekat.
Para prajurit pun
menoleh ke belakang.
Kedua orang yang
memegang Goshi pun demikian.
Jeritan itu
tiba-tiba terhenti di depan toilet.
Pintu toilet itu
entah kenapa terbelah dua dan koridor pun menjadi terlihat.
Dinding, lantai
dan langit-langit menjadi berwarna merah darah.
Darah menyembur
di udara.
Seperti cat merah
yang ditumpahkan dari ember besar, darah
menyembur dimana-mana.
Di tengah-tengahnya,
berdiri seorang pria.
Orang itu orang
yang Goshi kenal.
“....... Guren
......?”
Goshi bergumam.
Guren
memandangnya.
Berdiri di lautan
darah, seluruh tubuhnya berlumuran darah.
Di tengah hal itu,
Guren tersenyum, menyeringai.
Taring terlihat
di mulutnya.
Prajurit itu
menyerang Goshi.
".......
Apa?”
Hanya hal ini
yang bisa mereka katakan.
Guren masuk ke dalam toilet. Ia mengayunkan
pedangnya. Dengan
kilatan pedangnya, semua prajurit di toilet diubah menjadi gumpalan daging.
Darah menyembur
di udara.
Rambut Guren, kulit
dan seragamnya berlumuran darah, tapi tidak dengan pedangnya. Pedangnya tetap
tajam dan bersinar, tapi sinarnya berwarna hitam yang membuat orang gelisah
gemetar.
Goshi melihat
sinar hitam itu.
Melihat sinar
hitam yang menyelamatkan hidupnya.
“……”
Kelihatannya, ia punya
kesempatan bertahan hidup.
Terlebih, ia sekali lagi diselamatkan oleh pria ini.
Ia telah
diselamatkan oleh Ichinose Guren.
Berbaring lega,
Goshi berkata.
“....... Uwah~
Serius deh? Aku
bahkan selamat dari keadaan semacam ini? Sangat ajaib.”
Barusan itu
terasa seperti saat-saat hidupnya akan berakhir. Ia dengan santai,
merasakan sakit di otot-ototnya.
Ia memandang Guren yang berlumuran darah dan memanggilnya.
“…… Hei, Guren.”
Guren tidak
menjawab.
“Jika kau terus
menyelamatkanku, aku mungkin bisa jatuh cinta padamu tahu?"
Ia melempar
sebuah candaan, tapi Guren tak merespon. Hanya menatapnya. Matanya hitam. Akhirnya, warna putih matanya kembali.
“Huh, huh, huh”
Ia
terengah-engah.
Ekspresinya
bercampur antara sakit dan gembira.
“…… Hei, Guren?”
“……”
“Guren?”
Guren akhirnya
bicara.
“Darah......”
Seakan kesakitan,
seakan gembira, ia berkata.
“Lagi, berikan
aku darah lagi....."
Jelas, ada suatu
yang mencurigakan dengan perilakunya.
“Kau....”
Guren
memandangnya. Matanya melebar,
seperti seorang predator yang menemukan mangsa. Ia tersenyum
lebar dan mengangkat pedangnya.
“Bunuh kau
juga..... Guh, ah..... epat lari, bodoh. I……
Ah~~ HAHAHAHAHAHAHAHA…… Guah, guh, ah……”
Bicaranya tak
masuk akal.
Ia terlihat
menderita.
Tapi ekspresinya
dengan cepat berubah menjadi gembira.
Ekspresinya
berubah dengan cepat.
Bahasa tubuhnya
aneh.
Situasi ini
terlalu aneh.
Sekalipun bagi
Goshi.
"Woi woi
woi, apa yang terjadi?
Kelihatannya ada yang tidak beres denganmu.......”
Tapi saat itu,
Guren memalingkan wajah.
Mencengkram dadanya, dan ia mundur dengan langkah kasar. Keluar dari
toilet.
“Tunggu!”
Goshi ingin
mengejarnya, tapi tubuhnya tak menurutinya. Ia tidak bisa
bergerak. Hal ini
sudah diperhitungkan.
Dadanya baru saja ditebas.
Meski bukan luka fatal.
“…… Aduh.”
Ia menekan
dadanya dan darah keluar dari tenggorokannya. Mungkin pedangnya
itu telah memotong paru-parunya.
Walau begitu, ia
masih bisa merasakan sakit.
Sakitnya masih
ada.
Itu bukti bahwa
ia masih hidup.
Hidupnya diselamatkan
lagi.
Untuk ketiga kalinya.
Dan lagi, pria itu;
penyelamatnya, teman sekelas dan temannya, jelas sedang menderita.
Jika ia hanya
lari.
“Itu membuatku
seperti orang tidak berguna.”
Sambil menahan
nyeri di dadanya, ia berjalan keluar.
Kemudian Guren
menyadari betapa sulit tugas yang telah ia atasi.
Karena koridor
tempat berdirinya menjadi lautan darah.
Hanya ada mayat.
Mayat.
Mayat.
Mayat.
Laki-laki atau
perempuan, mereka semua mati.
Tidak ada musuh.
Ataupun sekutu.
Hanya ada
kematian, orang yang menyebabkannya adalah iblis hitam bertanduk.
Ia mendengar
jeritan di koridor.
“Iblis!?”
“Monster!?”
Orang-orang yang
menjerit semuanya mati tanpa kecuali.
Mereka terbunuh
oleh pedang Guren.
Goshi melihat
sosok Guren yang mundur dan merasakan.
Hal itu adalah
sesuatu yang tak seharusnya ia campuri.
Ia tidak boleh
menghampiri Guren.
Meskipun itu
hanya firasat lemah, baginya yang hanya selalu menjadi figuran dibanding
adiknya yang superior, ia masih bisa merasakannya.
Tidak seharusnya
ia coba-coba di keadaan semacam ini.
Jika ia
melanjutkan kepada kesimpulan tidak akan baik hasilnya.
Ia punya firasat
yang sama sebelumnya.
Jujur, ia pernah punya jalan pikiran untuk lari seorang diri. Jika ia
sebelumnya tidak memakai mantra ilusi untuk memberi kesempatan Mito dan yang
lain lari, ia mungkin dapat menemukan jalan keluar bagi dirinya.
Jika ia menunjukan
keberadaan rekan-rekannya, ia akan bisa lari dari maut.
Ia percaya diri
bahwa ia bisa menjadi seseorang yang tidak akan menjadi perhatian, dan ia telah
menemukan cara hidup yang mana segala peristiwa melewatinya begitu saja.
Setelah itu, ia
merasakan peringatan ini.
Seluruh sel
ditubuhnya berteriak, mengatakan bahwa ia tidak boleh mendekat.
Berkata untuk
tidak mendekat pada iblis itu.
Akan tetapi,
Goshi berjalan membulatkan tekad berjalan melalu koridor yang penuh darah itu.
Jika ditanya
mengapa ia mengambil resiko, itu karena iblis itu adalah rekannya,
Dan jelas
rekannya tadi sedang mencari pertolongan. Jelas sekali ia tidak bisa mengendalikan kekuatannya.
Kemudian,
“Ah~ Sial,
menyusahkan saja.”
Sambil mengomeli
diri sendiri, secara mengejutkan, Goshi mengejar Guren.
0 Comments
Posting Komentar