BULAN PANEN
(Translater : Zerard)

Sebuah asap mengambang menuju langit pucat.
Sangat mudah bagi seseorang untuk menemukan sumber asap itu, sebuah kebun di atas bukit.
Atau lebih tepatnya, sebuah bangunan batu kecil di pinggiran sebuah kebun.
Asap mengepul dari cerobong ke udara layaknya sebuah goresan kuas.
Seorang gadis muda berdiri depan kompor dalam bangunan kecil ini, meniup sekuat tenaga seraya mengelap keringat dari dahinya.
Kulitnya memancarkan warna sehat seseorang yang di besarkan di bawah matahari. Keseluruhan tubuhnya montok seperti seorang gadis yang seharusnya—Namun tubuhnya tidaklah lembut.
“Hmmm... Seperti ini?”
Gadis Sapi mengelap jelaga dari pipi dengan sebuah kain yang menggantung di pundaknya yang mengenakan celemek kerja dan menyipitkan mata puas.
Mata cerahnya terpaku pada beberapa babi yang tergantung rapi di kandang, yang dapat terlihat melalui jendela.
Asap menyelimutinya, secara perlahan mengeluarkan lemak bersamaan dengan aroma yang menggiurkan.
Sepek asap. (TL Note sepek = bacon)
Setiap tahun mereka mengambil babi yang telah tumbuh gemuk karena memakan biji-bijian aster dan mengasapinya seperti ini. (TL Note : aster =  https://en.wikipedia.org/wiki/Aster_(genus) )
Terdapat banyak babi dalam bangunan kecil ini, dan mereka mengasapinya sepanjang hari. Mereka akan terus melanjutkan proses ini hingga beberapa hari—Sepek merupakan produk yang memerlukan usaha intensif.
Oleh karena itu biasanya, dia akan menawarkan bantuan pada saat seperti ini, walaupun dia melakukannya tanpa memberi tahu.
“Yah, aku rasa saat kamu harus kerja, kamu memang harus kerja.” Gadis Sapi berkata pada dirinya sendiri, kemudian tertawa seakan-akan dia tidak mempermasalahkan ini  sama sekali.
Lagipula, Gadis Sapi sangat mengenal temannya. Dia akan pulang dengan aman, tidak perlu di ragukan lagi, dan kemudian dia akan membantu seperti yang biasa dia lakukan.
Kepercayaan ini datang dengan begitu saja pada Gadis Sapi. Dia bahkan hampir tidak perlu memikirkannya.
“Hup!”
Terasa begitu nyaman seraya dia meregangkan tubuhnya di kala dia berdiri, setelah begitu lama berjongkok memperhatikan api.
Dia berdiri, lengan menjulur, dada ranum bergoyang, meretakkan persendian dan menghela nafas besar.
Seraya dia mengangkat kepalanya, sebuah korona cahaya berdansa melewati hutan gelap pada khatulistiwa.
Subuh. Sang matahari. Sebuah awal pada hari baru—walaupun pada kenyataannya, hari Gadis Sapi sudah berjalan lebih awal.
Di balik bukit, ladang gandum yang menyisir di samping jalan menangkap cahaya matahari dan berkilau. Angin membelai tanaman lembut, menciptakan riak dalam lautan emas. Gemerisik akan tangkai-tangkai tanaman terdengar seperti  samudra.
Atau paling tidak itu yang di bayangkan Gadis Sapi. Dia tidak pernah pergi ke pesisir pantai.
Tidak lama kemudian ayam jantan menyadari pagi hari sudah mendekat dan mulai berkokok.
Kokok mereka membujuk  orang-orang kota bangun dari tidurnya, sebuah aliran asap tipis tampak di khatulistiwa. Terlihat cukup banyak walau masih sedini ini.
Cahaya pagi menunjukkam betapa bersemangat dan riuhnya kota.
Bendera berkibar di atas bangunan, pita-pita dalam sosok naga atau dewa mencambuk dalam tiupan angin.
Angin yang sama telah berhasil sampai pada Gadis Sapi. Membelai pipinya seraya berlalu.
“Wow...” Dia sedikit merinding akan udara yang dingin.
Angin tersebut terasa begitu enak pada kulit berkeringatnya, namun tidaklah sejuk melainkan dingin yang tidak nyaman.
Sang matahari terbit melewati horison menyinarkan cahaya lembut.
Ini adalah musim gugur.
Musim panen telah tiba. Musim panas telah berakhir, dan ini adalah saatnya bersiap menghadapi musim dingin.
Kebun dan kota sama sibuknya.
Riuh dan makmur, merupakan salah satu dari musim paling indah sedunia.
Walaupun bagi Gadis Sapi, dunia selalulah indah.
Dia tahu bahwa semua orang sedang bekerja keras—termasuk temannya.
Akan tetapi dia juga tahu bahwa temannya akan datang dan membantunya. Dan ketika dia melakukannya—yes!
“Aku akan membuatkannya rebusan dengan sepek segar kami!”
Pertama, dia harus memastikan agar temannya beristirahat penuh.
Seraya pikiran itu menghangati hatinya, dia pun berjalan kembali ke rumahnya.
Karena, musim gugur juga merupakan waktunya untuk festival.
*****
Goblin kelima telah mati di sekitar tengah hari.
Sebuah batu bersiul di udara dan mengenainya tepat pada lubang mata, menghancurkan tengkorak dan akhirnya menembus otak.
Goblin terjatuh di tempat dia berdiri.
Matahari menyinari pintu masuk terowongan mewarnai pembantaian.
“.........Hmph.”
Seorang warrior dengan waspada memperhatikan bayangan dari sebuah batu di dekatnya.
Dia menggunakan armor kulit kotor dan sebuah helm baja. Pada pinggulnya bergantung pedang dengan panjang yang aneh, dan sebuah perisai kecil di lengannya.
Warrior berpenampilan lusuh ini adalah Goblin Slayer.
Yang telah dia lakukan sejauh ini adalah menaklukkan penjaga, dan telah mencapai lima goblin.
Namun itu bukan berarti, bahwa dia telah menghabiskan musuhnya.
Dua minggu lebih telah berlalu sejak goblin mengambil alih tambang ini, yang merupakan satu-satu pusat penghasilan desa ini.
Siapa yang tahu ada berapa banyak lagi yang mungkin bersembunyi di dalam rahang pintu masuk terowongan ini?
Beberapa wanita lokal telah di culik. Belum cukup lama untuk sebuah potensi keturunan goblin sebagai bala bantuan. Namun sandra membuatnya memiliki pilihan yang lebih sedikit. Dan karena penduduk desa membutuhkan tambang ini untuk di masa depan, rencana untuk menggunakan gas beracun atau membanjirinya juga tak dapat di pakai.
Kemungkinan , jumlah yang tersisa kurang dari sepuluh. Seraya dia mempertimbangkan, tangannya dengan lihai meletakkan batu pada ketapelnya.
Dia berdiri di atas tumpukkan tanah galian, yang di mana tidak perlu merasa takut akan kehabisan amunisi.
Dengan perhatian akan medan tempur, sangatlah mungkin untuk menggunakan ketapel dalam keseluruhan pertarungan.
“Ba-bagaimana menurutmu, pak Goblin Slayer?”
Di sampingnya berdiri seorang perawan muda, menggenggam tongkat dengan kedua tangannya.
Kurus dan ramping, berpakaian dengan jubah putih bersih biasa. Dia adalah Priestess.
Goblin Slayer menjawabnya tanpa melihat dia.
“Maksudmu ’bagaimana’ apa...?”
“Maksudku, um, bagaimana kelihatannya bagimu? Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku belum tahu.”
Seraya dia berbicara, dia kembali melempar proyektil lainnya menembus udara.
“GOORB?!”
Batu itu memecah tengkorak goblin, goblin yang pergi untuk menyelidiki mayat penjaga.
“Enam.”
Goblin terjatuh dan berguling ke dalam terowongan. Goblin Slayer menghitung secara perlahan.
Sederhana, memancing rasa saling tertarik mereka.
Bukan berarti goblin “tertarik” satu sama lain dalam arti berbeda. Kemungkinan besar bahwa dia adalah goblin yang di paksa pergi melihat keadaan di karenakan kalah undian.
Namun prinsipnya tetaplah sama: gunakan musuh yang teluka atau mati sebagai umpan untuk menarik musuh lainnya, kemudian membunuh mereka.
Dengan seperti itu dia telah mencapai enam korban sejauh ini. Dia mengisi ulang ketapelnya dengan gerakan yang terlihat begitu lihai.
“Tapi, ini masalah.”
“Maksudnya....?”
“Mereka punya perlengkapan.”
“.....Oh.”
Karena dia telah menyinggungnya, Priestess pun menyadari.
Walau jelek, goblin yang mati semua menggunakam armor dan membawa senjata.
Pedang, beliung, pentungan, tombak, belati. Beberapa buatan sederhana goblin, beberapa lainnya hanya curian.
“Bukannya mereka ada tiga wanita muda yang di culik?” Priestess bertanya, rasa cemas tersirat jelas di wajahnya. “Kita harus cepat....” Walaupun begitu dia tidak membuat gerakan terburu-buru.
Sudah lebih dari enam bulan sejak Prieatess menjadi petualang.
Lebih dari enam bulan sejak dia berhasil menghindar dari kematian pada quest pertamanya. Bulan-bulan di mana dia menghadapi kematian dalam banyak pertarungan.
Dia masihlah Obsidian, peringkat ke sembilan, tapi dengan kata lain dia bukanlah amatir lagi. Ketika dia mendengar bahwa goblin telah menculik gadis desa, dia tidak lagi panik.
Atau mungkin dia menjadi mati rasa...?
Kegelisahan, terlahir dari pengalamannya yang terus berkembang, menyebar di keseluruhan dada kecilnya.
Yang semakin menguatkan alasanya untuk menutup matanya dan memeluk tongkatnya, berdoa kepada Ibunda Bumi yang maha pengasih. Dia berdoa agar kiranya goblin yang mati dapat mendapatkan kebahagiaan di dunia selanjutnya, dan wanita yang tertangkap dapat di selamatkan dengan aman.
“Terlalu makan waktu lama sampai questnya jatuh di tangan kita... Hey.” Goblin Slayer menunggu dengan diam sampai Priestess menyelesaikan doanya, dan berbicara. “Bisa kamu geledah mayatnya?”
“Huh?” Dia mengangkat kepalanya terkejut, namun matanya hanyalah bertemu dengan helm tak berekspresinya.
“Aku mau mengumpulkan perlengkapan mereka.”
“Oh, um....” Priestess tidak dapat menjawab dengan segera, melirik ke kiri dan kanan antara mayat dan helmnya.
Tentu saja, ini bukanlah di karenakan dia takut, ataupun karena mayat itu tidak suci.
Goblin ataupun bukan, mayat tetaplah mayat.
Dia tidak akan menghukum apapun yang akan di lakukan Goblin Slayer—namun dia, seorang anggota kependetaan, membedah tubuh itu?
“Kalau kamu nggak bisa, maka bantu aku.”
“Oh, baik pak.” Priestess mengangguk. “Kalau memungkinkan, aku lebih ingin...”
Goblin Slayer tidak mempedulikannya, dan kemudian dengan segera berlari.
Masih di tempat yang sama, Priestess menghela. Dia selalu berpikir bahwa dia telah terbiasa dengan semua ini, namun kenyataannya tidak sama sekali.
Keringat mengucur di dahinya walaupun dengan udara dingin yang semakin meningkat. Dia dalam siaga penuh. Dia berharap rekan biasa mereka juga berada di sini bersamanya—terutama sang elf.
Walaupun secara teknis mereka adalah party, mereka tidaklah selalu berpetualang bersama. Seperti itulah apa yang terjadi hari ini. Walaupun begitu...
“Haaa...”
Priestess mendapati dirinya menghela kembali.
Terlalu banyak hal yang dia pikirkan, terlalu banyak hal yang harus di lakukan.
Tapi Goblin Slayer selalu terpaku pada goblin...
Membahas hal-hal lain tidaklah selalu membuahkan hasil, tentu saja, jika bersama Goblin Slayer sulit untuk bisa dapat sejauh itu.
“U-ups, harus konsentrasi...!”
Dia kembali tersadar tiba-tiba, memberikan gelengan kepala cepat.
Ini bukanlah saatnya untuk teralihkan.
Dia menjepit tongkatnya di bawah lengannya, menyiapkan ketapelnya. Mengambil nafas dalam.
“Apa... Apa kamu nggak apa-apa?”
“Ya.”
Jawaban samar namun sigap membalasnya.
Goblin Slayer mendekati mayat dengan langkah lincah namun tak kenal takut biasanya.
“Hmmm... Sesuai dugaanku.” Dia bergumam. “Tapi nggak ada waktu untuk memeriksa di sekitar sini.”
Dia tidak memerlukan armor dan helm mereka. Dia mengambil sebuah pedang, sarung pedang, dan semuanya, dari salah satu pinggul goblin, mengambil belati lain, dan mengambil beliung dari mayat ketiga.
Penuh dengan perlengkapan di tangan, dia berjalan kembali ke tempat awal mula dia masuk.
“GORB! GRROOOORB!!”
“Pak Goblin Slayer! Mereka di sini...!”
Goblin Slayer melaju seraya Priestess melempar batu dari ketapelnya dengan gerakan kaku.
Dengan cepat berada di belakang Goblin Slayer, seekor goblin dengan nafas baunya berhambur keluar dari pintu masuk tambang.
Para petualang bukanlah satu-satunya yang dapat menggunakan goblin sebagai umpan. Monster yang masih selamat kemungkinan berpikir bahwa mereka dapat menggunakan mayat rekannya untuk memancing manusia keluar.
Namun batu Priestess mengenai goblin pada pundaknya, dan goblin menjerit lantang.
“Bagus.”
Adalah mustahil bagi Goblin Slayer untuk melepaskan kesempatan ini begitu saja.
Dengan kecepatan yang sulit di percaya di karenakan full armornya, dia melempar sesuatu dengan tangan kanannya.
Itu adalah pedang dari pinggulnya.
“GBBR?!”
Menembus tenggorokan goblin dengan suara thock tumpul. Goblin Slayer bahkan tidak perlu berputar untuk melemparnya. Pedang yang di curinya sudah berada di tangannya kembali pada saat punggung makhluk itu menyentuh lantai gua.
“Tujuh. Ada yang lain?”
Goblin Slayer menunduk di antara bayang-bayang bebatuan, melempar korban pedangnya ke lantai.
“Sejauh aku bisa liat,” Priestess berkata, mensurvei pintu masuk terowongan, “Nggak ada.”
“Baiklah.”
Dengan cepat dia menyusun senjata curiannya.
Dia memasang sarung pedang kosong pada ikat pinggangnya, menggunakannya untuk memasukkan pedang yang dia genggam. Belati pun juga masuk ke pinggulnya.
Memperlakukan goblin sebagai persediaan senjata merupakan strategi klasik miliknya.
“Kita akan bergerak.”
“Apa? Bergerak?”
Sekarang telah di perlengkapi ulang, Goblin Slayer berdiri.
Priestess masih berjongkok, berkedip bingung padanya.
“Aku kira tambang ini cuma punya satu pintu masuk.”
“Memang. Sampai dua minggu lalu.” Goblin Slayer mengambil beliung dan mendorongkan kepada Priestess.
“Eek!”
Gerakan biasa itu sangat mudah di sangka sebagai sebuah serangan.
Priestess melotot menegur pada helm itu.
“Pak Goblin Slayer! Ha-hati-hati sedikit!”
“Lihat.”
“Apa yang di lihat...?”
Bingung, dia memiringkan tubuhnya mendekati beliung, memperhatikan dengan seksama.
Beliung itu sudah sering di gunakan, usang dan kotor, kemungkinan di tinggalkan di dalam tambang begitu saja. Ujungnya telah menjadi tumpul di karenakan pemakaian berulang-ulang. Terlapis dengan noda hitam kemerahan...dan partikel akan bumi.
“....?”
Priestess menyentuh noda partikel itu dengan ujung jari putihnya. Partikel itu masih lembab—masih baru.
“Pak Goblin slayer, apa ini artinya...?”
“Ya.”
Goblin aslayer mengangguk dan memikul beliung di pundaknya.
Dia sangat mengetahui bahwa goblin tidaklah memiliki pengetahuan tentang metalurgi. (TL Note : Metalurgi = https://id.wikipedia.org/wiki/Metalurgi )
Mereka tidak menggali lubang untuk menemukan sumber daya alam—paling tidak, masih belum.
Yang berarti hanya satu jawaban.
“Aku akan menggali terowongan sampingan dan merencakan serangan kejutan.”
*****
Goblin Slayer ternyata benar.
Goblin Slayer berjalan pada sisi gunung yang sebelumnya tidak pernah terusik.
Namun sekarang, mereka menemukan terowongan baru di sana—bersama dengan goblin, merayap keluar dari lubang layaknya cacing.
Mereka semua sangatlah jorok dengan lumpur, lelah, dan letih... Dengan kata lain, sebuah kesempatan sempurna.
“GUAAUA?!”
“Delapan.”
Goblin Slayer dengan santainya mengayun beliung, merampas nyawa berikutnya. Benda itu mungkin memang tumpul, namun masih cukup tajam untuk menghancurkan tulang dada makhluk itu dan menembus jantungnya.
Melihat rekannya yang mati, goblin lainnya mulai membuat keributan mengerikan.
Dan siapa yang bisa menyalahkan mereka? Ini adalah sudah semestinya.
Makhluk-makhluk ini telah pergi melakukan penyerbuan dengan apa yang bagi mereka adalah malam hari, dan mereka telah di paksa untuk menggali terowongan penyergapan ini.
Mereka tidak bisa tidur, berteriak dengan lelah, namun goblin atasan mereka memberikan cambuk dari belakang mereka. Mereka telah di beritahu bahwa hadiah mereka adalah seorang gadis muda priestess—namun mereka menyadari pada saat giliran mereka telah tiba, mereka mendapati bahwa gadis itu tidaklah terlalu berbeda dengan tahanan lainnya. Tentu saja, semua ini menguras semua semangat mereka.
Goblin Slayer lebih memilih “senja” namun “tengah malam” juga tidak ada masalah.
Jika tidak, apalah gunanya taktik ini?
Dengan cepat dia menganalisa para goblin, yang sedang dalam kondisi kebingungan dari penyergapannya.
“Satu tombak, satu beliung, dua pentungan, nggak ada busur, nggak ada pembaca mantra.”
Dan hanya dua petualang.
“Ayo.” Dia berkata.
“B-baik pak!”
Mengangguk, Priestess mengikutinya sebaik dia bisa.
Goblin Slayer tidak pernah dan tidak akan pernah menyia-nyiakan inisiatif yang telah di dapatnya dari penyergapan.
Goblin slayer melesat bagaikan panah mengarah musuh sementara tongkat Priestess di angkat tinggi.
“O Ibunda Bumi yang penuh ampunan, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”
Sebuah medan tak kasat mata memberikannya perlindungan tambahan di depan perisainya, menangkis semua senjata goblin.
Ini adalah keajaiban Protection.
“GRRORG?!”
“Sembilan... Sepuluh.”
Goblin Slayer tidak pernah berhenti bergerak.
Pedangnya menebas seraya dia menghabisi goblin bersenjata tombak, kemudian menyayat tenggorokan goblin pemilik beliung.
Priestess berkoordinasi dengan Goblin Slayer tanpa sepatah katapun di antara mereka.
Ini adalah hasil dari setengah tahun bersama. Menggenggam tongkat dengan satu tangan, dia menyiapkan ketapel dengan tangan lainnya.
“GOOORB?!”
Tombak itu terbelah menjadi dua berhadapan dengan medan pelindung, dan para goblin, sekarang tak besenjata, yang tidak lama kemudian mendapati beliung tertancap di kepalanya.
Goblin Slayer tak melirik sedikitpun pada saat jatuhnya makhluk itu, otak makhluk itu menodai mata beliungnya, namun dengan tendangan dia memutar beliung kembali ke tangannya.
Dia tidak menyukai senjata yang menggunakan kedua tangan, tapi paling tidak perisainya terikat di lengannya. Dia tidak akan kesulitan untuk mengayunkannya.
“Berikutnya.”
Goblin adalah monster rendahan, yang terlemah dari yang lemah—tidak ada yang perlu di takuti.
Mereka unggul akan jumlah dan kepicikkan akal mereka yang seperti anak kecil, kemungkinan mereka adalah monster yang paling banyak di dunia.
Ya...benar.
Bertarung dengan beberapa dari mereka di luar gua, Goblin Slayer dapat memahami mengapa seseorang akan mempercayai reputasi itu. Bukan hal yang aneh bahwa banyak penduduk desa sok kuat mencoba menjadi petualang setelah berhasil mengusir makhluk kecil ini dari desa mereka.
Seekor goblin mendatanginya dengan ayunan canggung pentungannya, dan Goblin Slayer menangkapnya dengan kedua tangannya, kemudian menembus jantungnya, dengan beliungnya.
Darah kental mendesir dari luka.
“GOORORORORGB?!”
“Sebelas.”
Dia bahkan tidak repot-repot mencabut beliung itu kembali. Hanya membiarkannya terjatuh dengan mayat itu.
Seraya dia berputar mengarah goblin terakhir, sebuah batu bersiul melewati.
“Hi...yah!”
“GBBOR?!”
Goblin menjerit seraya batu itu berbenturan dengan pipinya.
Makhluk itu terhuyung terjatuh. Goblin Slayer melompat padanya tanpa rasa ragu dan membenamkan belati pada jantungnya.
“Dua belas.”
Dia memutar belatinya dengan kasar untuk memastikan, kemudian menahan goblin sampai goblin itu berhenti kejang-kejang.
Akhirnya, dia menghela.
Apapun keuntungan yang di miliki seseorang, tidak ada waktu untuk bersantai ketika mereka kalah jumlah.
Namun pada akhirnya, terdengar gumamam.
“Um, pak Goblin Slayer?” Priestess berlari kecil mendatangi, merogoh isi tasnya mencari kantung air. “Mau minum?”
“Ya.”
“Ini.”
Dengan santai Goblin Slayer meraih kantung kulit itu, yang terbuat dari perut seekor binatang. Dia membuka tutupnya dan meneguk melewati celah helm.
Perkenalan mereka yang telah lama membuat Priestess mengisi kantung kulit itu dengan anggur yang di campur dengan air.
“Kamu nggak boleh sampai kurang minum.”
“Benar.”
Sejauh Priestess mengetahui, Goblin Slayer selalu menjaga baik kondisi tubuhnya—dengan caranya sendiri. Walaupun, itu sangatlah minim.
Aku rasa akan aneh kalau di bilang aku berusaha merawatnya...
Walau dia mempercayai bahwa Goblin Slayer adalah orang yang pantas untuk di rawat.
Glug, glug. Seraya dia minum, Priestess berpikir.
“Tadi tembakan yang bagus.” Goblin Slayer bergumam.
Priestess tidak dapat secara langsung memahami komentar darinya, dan memberikan tatapan bingung pada Goblin Slayer. Namun tidak lama kemudian dia menyadari bahwa Goblin Slayer membicarakan soal ketapelnya.
“Oh... Aku sudah latihan.”
Dia mengepal tangan di dekat dada kecilnya dan mengangguk bangga.
Bukan bangga karena dia sudah mempelajari teknik mematikan. Namun dengan kata lain, dia melakukannya untuk menolong orang—jadi mungkin ini bisa di anggap sebagai salah satu ujiannya.
Jika dia benar-benar tidak berdaya di depan bahaya, dia hanya akan menjadi beban bagi rekannya. Dia telah memulai belajar menggunakan ketapel dengan niat untuk melindungi dirinya, namun senjata ini telah membuktikkan keserbagunaannya.
Goblin Slayer menyelesaikan minumnya dan menutup kembali kantung air.
“Kerja bagus.”
....Oh!
Dia melontarkan kalimat itu dengan santai, namun itu membuat dada Priestess mengembang.
Pipinya, keseluruhan wajahnya, menjadi panas secara tiba-tiba.
Dia...baru memujiku, kan?
Dia bisa saja memintanya mengulangi ucapannya, walaupun akan terdengar aneh.
Namun Goblin slayer terus berbicara seakan-akan tidak hal yang aneh terjadi.
“Kita sudah benar-benar mengurangi jumlah mereka. Mungkin cuma tersisa dua atau tiga lagi, termasuk hob.”
“Se-seekor ho-hob..?”
Suara Priestess melemas, tidak menyukai skenario ini.
“Kita belum ada melihat satu totempun.” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan ringan, dengan tenang memberikan kantung air kepada Priestess. “Minum.”
“Huh? Oh....”
Priestess menerimanya dengan sedikit keraguan. Menyentuhkan bibirnya penuh pikiran dengan jari telunjuk kurus dan pucatnya.
“Ba-baik...”
Goblin Slayer menghiraukan keseganan Priestess untuk menyentuhkan bibirnya pada kantung air. Dia menggunakan kain kumal yang berada di dekat goblin untuk mengelap lemak dari belatinya, kemudian mengembalikannya kembali ke dalam pinggulnya. Berikutnya pedangnya, masih tertanam pada korbannya.
Dia menahan mayat itu dan menarik pedangnya, memeriksa mata pedangnya dan membersihkan sisa-sisa kotoran yang masih menempel sebelum memasukkannya kembali.
Dia memastikan kembali isi dalam tasnya, kondisi perlengkapannya, dan akhirnya mengangguk.
“Kamu siap?”
“Oh—baik pak.”
“Kalau begitu kita masuk.”
Seekor hobgoblin. Dua pengawal. Lima belas monster secara keseluruhan.
Apa yang terjadi pada mereka tidaklah sulit di bayangkan.
Hebatnya, terdapat sebuah cahaya kecil yang di temukan di antara semua kegelapan—semua wanita dalam kondisi selamat.
Namun bagaimana cara bagi mereka untuk menemukan kebahagiaan lagi setelah di perkosa oleh goblin?
Priestess tidak dapat membayangkannya.
*****
“Dia sama sekali nggak banyak bicara!” High Elf Archer membenturkan meja dengan gelasnya. “Aku mengerti. Benarkah? Begitukah? Benar. Goblin, goblin, goblin—itu aja!”
Telinganya berayun naik dan turun, meumpahkan isi gelas anggur.
Wajahnya, biasanya sangatlah putih, sekarang menjadi merah seraya matanya berputar.
Merupakan kondisi yang sangat tidak pantas untuk seorang high elf—atau bisa di bilang, dia mabuk.
Malam telah tiba. Walaupun terletak di kota perbatasan, rumah makan pada guild petualang sangatlah ramai.
Kebanyakan dari pelanggan baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka atau melakukan perisapan untuk pergi bekerja, dan teriakan percakapan mengenang mereka yang telah gugur untuk meringankan luka mereka di dalam keriuhan ini.
Dengan semua ini, High elf Archer dan uap marah yang mengepul dari telinganya tidak begitu mendapat sorotan. Tapi apakah suasana bar dan rasa mabuknya selaras, merupakan pertanyaan lainnya.
Spearman—yang sudah tidak asing—meneguk bir putih dari gelas besarnya dan berkata. “Kamu baru marah soal ini sekarang? Sudah berapa lama kamu kenal dia?”
“Saat aku tanya apa dia punya rencana, aku nggak peduli jika dia bilang ‘Goblin.’” Dia tidak mempedulikannya. High Elf Archer mengangguk kepada seseorang—walaupun tidak ada orang di sana. “Dia Orcbolg, kan? Aku nggak terlalu mempermasalahkannya. Tapi!” dia membenturkan gelasnya kembali, mencipratkan anggur dan meninggalkan noda merah pada dadanya. “Tapi itu bukan jawaban yang aku harapkan ketika aku minta sedikit pertolongan!”
“Dengan kata lain.” Spearman berkata, menarik mangkuk kacang menjauh dari High Elf Archer. “Dia mencampakkanmu.”
Enggak!”
Dia membanting gelasnya, dan kali ini dia mengerahkan seluruh tubuhnya dan menciptakan sebuah ombak dari gelasnya. Spearman menunduk menghindari buih yang terbang.
High Elf Archer mengerucutkan bibirnya dan membuat suara tidak senang, mungkin menyesali tindakannya menghamburkan anggur.
“Itulah masalahnya dengan kalian manusia. Kalian ahli sekali dalam berpikir sempit!”
“Tapi dia memang sempat menolak ajakan petualangan kecilmu kan bocah?”
“Diam, dwarf!”
Dia mengayunkan gelasnya kepadanya. Namun berkat tingginya yang pendek, High Elf Archer hanya mengenai udara.

Mungkin karena bidikannya buruk, walaupun dia seorang elf dan seorang archer—atau mungkin di karenakan dia sedang mabuk berat.
Dwarf Shaman berwajah merah seperti biasanya. Membelai jenggot putihnya, dia berkata dengan keseriusan sungguh-sungguh. “Kalau kamu tanya aku, aku bilang kamu yang harusnya menawarkan diri untuk membantu dia.”
“Kalau aku yang selalu melakukan itu, dia akan mulai berpikir kalau aku mau membantu dia.”
“Dan bukannya memang begitu?”
Enggak!”
Dia duduk dengan cemberut dan bergumam pada dirinya sendiri.
“Goblin ini, goblin itu. Kotorin bajumu! Jangan liat barangku! Setiap saat...”
Dwarf Shaman hanya menggelengkan kepalanya mendengar amukannya.
“Nggak pernah aku liat seseorang mabuk dari satu gelas anggur. Paling nggak dia nggak berat di dompet.”
“Boe’anah a’an lebih bai Jia bersantai dari watu e watu?”
Kalimat terakhir datang dari Lizard Priest, yang dengan riangnya menggigit penuh keju bulat secara keseluruhan. Pemandangan ini sangatlah berbanding terbalik dengan sikap yang biasanya di emban oleh pendeta bangsa lizard.
“Madoe! Madoe manis! Jia doenia memilii ranjang dan maanan senimat ini, maka tida aan ada lagi peperangan.”
“Itu dan anggur, dan kemudian kita akan bertengkar tentang harus di makan dengan apa.”
“Tida ada jang pernah moedah dalam doenia fana.”
Lizard Priesd tampak mempertimbangkan akan perkataannya, matanya menjelajah warung ini.
“Seseali, toean’oe Goeblin Slayer berpergian dengan priestess manis ita, moengkin beberapa orang merasa terancam dengan ini.”
“Terdapat, banyak, saingan, ya?” kata seorang wanita seksi yang dengan anggun menikmati anggurnya—Witch memasang sebuah senyum tipis.
Dia mencuri sedikit makanan dari piring spearman, sementara matanya melirik penuh arti pada tetangganya.
“Aku yakin aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.” Kata Gadis Guild dengan tawaan kecil.
Dia masih menggunakan seragamnya, walaupun jam kerjanya telah usai. Mungkin dia hanya sekedar mampir sebentar ke warung sebelum pulang. Pipinya merah di karenakan minuman.
“Wah, betapa...santai.”
“Tidak, tidak juga.” Gadis Guild memainkan cangkirnya di tangan, berharap mengalihkan perhatian mereka sedikit. Seraya dia memutarnya perlahan, ombak kecil terbentuk pada anggur itu. “Aku hanya...menunggu kesempatanku.”
“Menunggu...selama, lima, tahun, bukan?”
Tidak ada yang dapat di ucapkan Gadis Guild. Dia hanya meminum dari cangkirnya dengan ekspresi yang tak bisa di baca.
Pada saat Gadis Guild di tugaskan di cabang guild dalam kota ini, dia adalah salah satu petualang yang menjadi tanggung jawab Gadis Guild.
Bagaimana mungkin Gadis Guild tidak menyadari seraya dia secara tenang melakukan apa yang harus di lakukan?
Gadis Guild melihatnya pergi, kemudian menunggu hingga dia kembali. Tidak ada sedikitpun hal dramatis dalam itu, tentunya, tapi—
Perasaan seseorang dan rasa sayang tumbuh dalam hal sehari-hati seperti ini juga.
Walaupun seperti itu, aku dapat mengerti pendekatan pria ini juga.
Gadis Guild melirik kepada Spearman, yang di mana Witch selalu menghalau setiap kali dia berusaha mengatakan sesuatu. Bahkan Gadis Guild sangat paham bahwa dia berusaha untuk melakukan pendekatan dengan dirinya.
Dia cukup tampan, mudah bergaul, dan baik hati pada wanita. Satu-satunya kekurangan dalam permata ini adalah kebiasaannya untuk merayu.
Dia pintar, kuat, baik hati, dan riang. Dia menghasilkan cukup banyak uang, dan walaupun dia terkadang sedikit kasar, tapi tidak di luar batas keterlaluan. Sederhananya, dia terlihat seperti pria yang baik. Gadis Guild tidak membencinya, terkecuali saat dia mengejek Goblin Slayer.
Tapi, yah, dia tidaklah jatuh cinta pada setiap pria baik hati yang dia temui. Ataupun dia berkewajiban untuk merespon balik hanya karena orang lain telah menjadi menyukai dirinya.
“Hmmm.”
Namun mungkin, dia berpikir, ini membuat dirinya seorang saingan dalam cinta.
Banyak yang berkata bahwa persahabatan sesama wanita tidak menentu, tapi Gadis Guild tidaklah yakin.
Party member Spearman, Witch duduk tanpa topi khasnya dan dengan senyum ambigu.
Memang, sulit, sekali.”
“Untuk kita berdua.”
Kedua wanita bertukar senyum, kemudian saling mengangguk satu dengan yang lain. Para pria tidak terlihat menyadari ini.
“Sepertinya banyak sekali quest yang berhubungan dengan demon akhir-akhir ini, walaupun Demon God ini sudah di kalahkan.” Spearman meneguk bir putihnya, mungkin akhirnya menyadari Witch. “Ada apa?”
Mungkin dia dapat berbicara kepada Spearman soal ini. Gadis Guild merasa sedikit tidak enak padanya, dan petualangan adalah topik yang aman.
“Atasanku sepertinya berpikir mungkin pahlawan kita melewatkan beberapa orang jahat.”
“Aku rasa hanya membasmi atasan musuh bukan berarti semua orang akan kembali pulang.” Spearman mengambil sebuah kacang dan memecahkannya masuk ke dalam mulut, mengunyah dengan berisik. “Demon memang berita buruk.”
“Merea dapat menjamaran diri merea sebagai manoesia, dengan tipoe moeslihat merea. Merea boe’anlah peerjaan moedah.” Lizard Priest mengangguk pada Spearman, menepukkan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh. “Saja sangat berterima asih atas bantoean anda ali ini.”
“Nggak usah di pikirkan! Ada sebuah quest dan aku hanya mengambilnya.” Dia menolak rasa terima kasih Lizard Priest. “Dan ketika petualanganmu juga bersamaan dengan sebuah kencan, itu nggak buruk juga.”
Seperti yang telah di ucapkan Lizard Priest, kali ini mereka berlima telah selesai menangani seorang demon dengan wujud manusia.
Dalam kota kecil itu masih berdiri sebuah kuil Supreme God—namun sepertinya kuil tersebut sudah kehilangan benda sucinya. Quest tersebut bertujuan untuk mengembalikannya seperti semula. Jika sebuah pertanyaan apakah goblin terlibat dalam ini, maka jawabannya adalah tidak.
Ini bukanlah quest pembasmian goblin.
“kalau begitu, aku akan pergi membasmi goblin.” Kata Goblin Slayer, dan Priestess mengikutinya dengan sebuah “Maaf” dan menundukkan kepalanya.
“Ya sudah kami akan mengatasinya sendiri!” High Elf Archer berteriak, tapi bahkan dia pun sadar bahwa persiapan tempur mereka kurang tanpa adanya Goblin slayer.
Tepat pada saat mereka sedang memikirkan jalan keluar masalah ini, Spearman mmendatangi mereka.
Ini sempurna. Mereka berlima membentuk party sementara dan pergi melakukan investigasi mereka....
Tentu saja, mereka menemukan banyak barang bukti akan penculikkan, kegiatan obat terlarang, pencurian, dan premanisme.
Pada saat mereka menemukan barang-barang curian, sebuah permata biru yang di potong menjadi bentuk sebuah mata, mereka sangat paham akan apa yang sedang terjadi.
Mencari markas pusat kultus, di mana mereka mempraktekkan ritual aneh, dan menangkap pimpinan mereka hanyalah masalah waktu saja.
“UUUUUUUU.....! AKAATERAAAAAAAAAABBBBBBBB!!!”
Dengan cahaya permata, wakil pimpinan kultus menunjukkan jati dirinya sebagai pelaku utama yang sebenarnya—seorang demon. Tentu saja.
Dan akhirnya, demon tersebut membuang penyamarannya dan bertarung dengan para petualang dalam pertarungan yang epik.
“Seingatku, panahku lah yang telah berhasil membunuhnya.”
“Ya, kami tahu. Semua tertulis jelas dalam laporan.” Gadis Guild mencatat testimoni High elf Archer dalam berkasnya.
Sekarang penembak jitu ini sedang mendramatisir ilustrasi pertarungannya dengan gerakan lengan yang liar.
Gadis Guild tidak pernah lelah memperhatikannya. Elf tersebut jelas sudah lebih berumur dari 2000 tahun di bandingkan dengan dirinya, akan tetapi elf tersebut terasa seperti adik kecilnya.
“Mungkin kamu sudah minum terlalu banyak...”
“Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik saja! Cuma segelas anggur. Cemen!”
High Elf Archer benar-benar mabuk berat dan jelas tidak “baik-baik saja.”
Yah, semua orang perlu merasakan rasa mabuk yang baik sesekali dalam hidup mereka. Gadis Guild mengenakan senyum tipis dan berniat membantu sang elf naik ke lantai dua ketika efek alkoholnya telah memudar, kemudian Gadis Guild meneguk segelas anggurnya. Dia memiringkan punggungnya dengan gemulai, menikmati sensasi anggur pada lidahnya. Dia memikirkan kembali kalimat Witch pada menit sebelumnya.
Banyak, saingan.
Di bandingkan dengan priestess, yang dapat pergi bersama Goblin Slayer berpetualang, memang benar bahwa Gadis Guild berada di posisi yang tidak menguntungkan karena yang hanya dapat dia lakukan adalah menunggu.
Posisi yang tidak menguntungkan apa? Jangan bodoh.
Di sekitar sini, bahkan seorang resepsionis pun dapat mengambil inisiatif menyerang.
Akan tetapi entah mengapa, dia sedikit takut untuk mengambil langkah itu....
Gadis Guild merasa terkejut akan betapa dia menikmati hubungan mereka sebagai petugas Guild dan seorang petualang. Tapi jika berhenti sampai di sini saja...?
Di sudut pandangan matanya, dia melihat Witch menghalau Spearman seraya pria itu berusaha berkata. “Apa kamu sedang galau, mbak?”
Gadis Guild mendapati dirinya menghela kecil. Dan tepat pada saat itu...
“—?”
Pintu berayun bangunan ini berdecit terbuka.
Kemudian terdengar suara langkah santai, dan tidak peduli.
Telinga High Elf Archer berdiri, seperti seorang pemburu mendengar suara kelinci.
Kemudian mereka melihat dia: seorang petualang dengan perlengkapan kelas teri. Perlengkapan yang begitu menyedihkan bahkan sampai membuat heboh tingkat Porcelain—pemula dari semua pemula. Seorang petualang yang di kenal oleh semua orang di Guild dengan pakaian uniknya.
Goblin slayer.
“Aku akan mengurus laporannya. Kamu istirahat.”
Instruksi blak-blakannya di arahkan pada Priestess yang mengikuti di belakangnya.
Priestess tampak sulit menahan rasa lelahnya. Kepalanya mengayun naik dan turun, kelopak mata setengah tertutup.
Mantra seorang priest di sebut dengan keajaiban karena, tepat seperti sebutannya, sang pembaca mantra membuat permohonan secara langsung dengan dewa di surga. Hal ini sama sulitnya dengan warrior yang berada di garis depan, dan ini telah memberikan beban yang serius pada jiwa gadis muda yang kurus langsing ini.
“....Baiikk, pak... Um...”
“Apa?”
“Selamat malam... Pak Goblin Slayer...”
Dia menganggukan kepalanya pada Goblin Slayer dan melangkahkan kakinya naik lantai dua.
Goblin Slayer menunggu Priestess hingga mencapai lantai dua dengan aman dengan langkah kakinya yang terhuyung sebelum pergi.
Namun yang lain tidak dapat hanya melihat dia pergi begitu saja menuju meja resepsionis.
“Hei, Orcbolg, sebelah sini!” High Elf Archer memanggil sekeras tenaganya setelah dia mengenali rekannya berbeda dari yang lain dalam kabut mabuk karena alkohol. High Elf Archer berdiri dan mengayunkan gelasnya marah mengarah Goblin slayer, mencipratkan isi gelas pada makanan Spearman.
Spearman mengunyah kacang yang telah basah dengan anggur dengan terpaksa, mengundang tawa kecil Witch.
Goblin Slayer mendatangi meja dan mengamati pemandangan yang di lihatnya.
“Ada apa?”
Dwarf Shaman dan Lizard Priest bertukar pandang dan mengangkat bahu.
Mereka tidak yakin apakah mereka lega mengetahui bahwa keadaan Goblin Slayer selalu sama setelah berpetualang ataupun di waktu yang lainnya.
“Kamu pasti tau sekali apa!” Akan tetapi, High Elf Archer, tampak tidak senang. Dia membenturkan meja beberapa kali dan melotot pada helm baja itu. “Ketika kamu balik dari petualangan, kamu paling nggak harus bilang halo!”
“Benarkah?”
“Iya benar!”
High Elf Archer mendengus. Gadis Guild tersenyum melihatnya, kemudian menggeserkan tubuhnya. Mengisyratkan Goblin Slayer untuk duduk, yang di mana Goblin Slayer menurutinya. Gadis Guild mengarahkan senyumnya pada Goblin Slayer dan berkata, “Selamat datang kembali pak Goblin Slayer. Bagaimana petualangannya?”
“Aku akan membuat laporanku.” Dia berkata, kemudian memiringkan kepalanya. “Apa jam kerjamu belum selesai?”
Oh, ayolah.” Gadis Guild berkata, memanyunkan bibirnya dengan sedikit rasa jengkel. “Aku selalu yang pertama mendengar tentang petualanganmu. Kenapa tidak ceritakan padaku?”
“Hm.” Goblin Slayer melipat lengannya dan berpikir. Kemudian dia berkata, “Ada goblin.”
“Wow, siapa yang bisa menyangka?” Spearman menggerutu. Dia mengangkat bahunya dan menggeleng kepala seperti ingin berkata, orang ini sama sekali nggak mengerti. Maksud pertanyaan Gadis Guild adalah, apa yang kamu lakukan setara dengan yang kami lakukan?”
Goblin Slayer kembali berpikir.
“Kami membantai lima belas dari mereka.”
Spearman paham bahwa percuma mengharapkan anekdot detil tentang petualangan Goblin slayer, namun bahkan dia pun menundukkan kepalanya kecewa.
“Ayolah, Goblin Slayer. Kasih cerita yang lain!”
Witch menyipitkan matanya melamun dan menempelkan gelas pada bibirnya.
“Mungkin, tidak, ada, cerita, yang, bisa, di ceritakan...”
“Kalau Bearcutter, aku rasa nggak bakal ada.”
Ji’a membitjaraan tentang toeankoe Goeblin Slayjer. Beliaoe memang  oeni’.”
“Mereka memiliki perlengkapan.”
Dwarf Shaman dan Lizard Priest saling mengangguk, tapi Goblin slayer menggelengkan kepalanya.
“Wanita yang di culik semuanya selamat.”
“Benarkah?” Gadis Guild berkedip. “Itu bagus sekali, tapi...tidak biasanya.”
Gadis Guild telah bekerja di sini selama lima tahun, dan dia jarang mendengar hal seperti ini.
Walaupun dia tidak memiliki pengalaman dalam berpetualang yang sesungguhnya, dia lebih banyak mendengarnya dari siapapun. Tentu saja banyak yang berkaitan dengan goblin. Terkadang informasinya datang sebelum para wanita di culik, terkadang setelah di culik. Terkadang dua minggu setelahnya...
“Apa mereka di simpan untuk di makan...? Atau seseorang yang memimpin menginginkan mereka sebagai tawanan?”
“nggak.” Goblin Slayer menggeleng kepala. “Mereka terluka, dan ketakutam.”
“Ini terjadi di dalam tambang, kan?”
“Menargetkan sebuah tambah itu sudah cukup aneh.”
“Artinya tujuan mereka bukan makanan. Hmm...”
Gadis Guild mendemostrasikan akan bagaimana dia adalah salah satu yang dapat memahami percakapan Goblin Slayer. Dia menyentuhkan jarinya pada bibir seraya dia mencerna setiap informasi yang di bagi oleh Goblin Slayer.
Gadis Guild hampir tidak menyadari teriakan Spearman. “Mungkin aku harus mempelajari goblin saja!”
Dalam kasus yang melibatkan goblin, makhluk itu akan menculik wanita muda sebanyak delapan atau sembilan dari sepuluh wanita. Namun mereka kebanyakan di gunakan sebagai budak seks, mainan mereka untuk melampiaskan kemarahan.
Sama halnya kebanyakan orang mendapati goblin sebagai makhluk menjijikan, goblinpun memiliki perasaan jijik yang sama terhadap manusia juga.
Gadis Guild mengetahui beberapa contoh akan kebrutalan mereka, sebagai sesama wanita, membuatnya berharap bahwa dia tidak pernah mendengar atau membaca tentang mereka.
Seseorang mungkin akan menyangka bahwa Gadis Guild merasa senang mendengar berita penyelamatan itu.
“...Hmm. jadi kita belum cukup banyak mengetahui untuk bisa mengatakan sesuatu...”
Sesuatu sepertinya membuat gundah Gadis Guild. Dia memiringkan kepalanya, mencoba mencari tahu asal rasa gundah ini.
Mungkin Goblin Slayer juga merasa sama. Dia berkata dengan datar:
“Itu laporan sementaraku. Aku akan melaporkan lebih terperinci nantinya. Periksalah nanti.”
“Baik. Tentu saja, jam kerjaku sudah selesai hari ini, jadi besok pagi akan langsung aku periksa...”
“Nggak masalah.”
“Nggak bagiku, ini masalah!” High Elf Archer menyela.
Bersandar di atas meja, dia melotot kepada Goblin Slayer, berusaha untuk membuat tatapan matanya agar terlihat mengancam.
“...Siapa yang peduli dengan laporan bodohmu? Kamu harus menyapa teman dan rekanmu terlebih dahulu! ...Aku tau goblin lebih penting bagimu, sih.” Dia bergumam.
Pria berarmor menggelengkan kepala perlahan.
“Kamu tahu aku sudah berada di sini, itu sudah nggak perlu lagi.”
“Itu nggak ngaruh. Kamu tetap harus melakukannya.”
“Begitukah?”
“...Semua orang mencemaskanmu.”
Ini mengundang sebuah gumaman “...Benarkah?” dari Goblin Slayer. “Aku akan berubah.”
“Bagus.” Wajah High Elf Archer luntur menjadi sebuah senyum lembut, akhirnya merasa terpuaskan.
Telinganya berayun seiring dengan suasana hatinya yang menjadi lebih baik.
High Elf Archer bersumpah bahwa pada saat mereka telah mencapai umur 2000 tahun seorang elf akan di anggap dewasa, namun dia tidaklah bertingkah laku seperti itu. Sejujurnya, dia mungkin adalah keturunan leluhurnya yang memalukan.
Paling tidak itu adalah yang dipikirkan oleh Dwarf Shaman ketika Gadis Guild bergerak secara perlahan.
Dia memiringkan tubuhnya santai dan meletakkan tanggannya pada lutut Goblin Slayer.
Gerakan itu sangat terlihat natural, dan dia tampak sangat serius.
“Ngomong-ngomng, pak Goblin Slayer.”
“Apa?”
“Um, anu, festival musim panen itu besok lusa.”
“Ya.”
Gadis Guild menghirup dan menghela nafas lembut. Meletakkan tangan pada dadanya seolah ingin menahan jantungnya yang berdebar.
“Apa kamu... punya rencana?”
Atmosfir berubah dengan segera.
Bahkan para petualang yang sedang bercakap-cakap dan minum di sekitaran berhenti untuk mendengarkan, terlebih lagi orang-orang yang berada dalam satu meja dengan mereka.
Gadis Guild merasakan sarafnya menengang seolah dia memasuki sebuah dungeon.
Witch menggunakan Silence untuk menghalau Spearman yang berteriak, “Aku nggak ada rencana!”
Mata High Elf Archer terbuka, tapi rasa mabuk membuatnya hanya bisa mengutarakan gumam yang tidak jelas.
Dan di tengah-tengah suasana yahg sulit di jelaskan, Goblin Slayer berkata.
“....Goblin.”
“Ah, maksudku...rencana selain goblin?”
“....Hm.”
Dengan satu suara itu, Goblin Slayer menundukkan kepala seolah hanyut dalam pikirannya.
Atau mungkin tidak dapat berucap. Keduanya merupakan pemandangan yang aneh.
Seraya mereka semua yang ada di sekitar menunggunya dengan nafas mereka yang tertahan, hanya Gadis Guild yang masih memiliki senyum di wajahnya.
Setelah beberapa saat, Goblin slayer berkata, “...Nggak, aku rasa nggak ada.”
Gadis Guild sepertinya menunggu semacam respon.
Sekarang atau tidak sama sekali!
Adalah musim festival, dan Gadis Guild telah merencanakan semuanya untuk momen ini. Goblin Slayer barulah menyelesaikan quest pembasmian goblin, dan hadiah akan kerja keras yang tidak pernah berhenti membuatnya dapat mengambil hari libur di saat yang di butuhkan.
Ada pula anggur. Meminjam kekuatan akan alkohol, dia mengira bahwa ini adalah kesempatan terbaiknya.
“Ak... Aku pikir mu-mungkin kamu ingin pergi...melihat festival bersamaku.”
“...”
“Ma-maksudku, festivalnya...kemungkinan tidak benar-benar aman, kan...?”
Salah satu jarinya mengambar bentuk yang tidak ada artinya di telapak tangannya. Gadis Guild memperhatikan helm baja itu.
Benda murahan yang selalu dia gunakan menyembunyikan wajahnya.
Satu-satunya jalan agar dia untuk bisa mnggapainya adalah terus berbicara, walaupun suaranya semakin menegang berkat jantungnya yang berdebar semakin kuat.
Bagi Gadis Guild, setiap detik pria itu diam terasa seperti—satu menit? Tidak, satu jam.
“...Baiklah.”
Goblin Slayer mengangguk.
Suaranya mungkin memang terdengar tidak tertarik, hampir mekanikal, namun tidak di ragukan lagi apa yang dia ucapkan.
“Kamu selalu menolongku.”
“Ah, benar—aku— Terima kasih.” Dia berkata dengan menundukkan kepala, mengayunkan kepangnya di udara.
Upsss. Apa kamu harus mengatakan “terima kasih” dalam situasi seperti ini?
Gadis Guild sedikit khawatir, tapi itu adalah hal yang kecil, terkalahkan oleh rasa senang yang dengan cepat menyebar dalam hati.
“Ah—oh, benar! Pak Goblin Slayer, kamu mau makan sesuatu?”
“Nggak.” Dengan sebuah anggukkan kepala sigap, Goblin Slayer berdiri dari bangku. Seperti biasanya, memeriksa armor, senjata, perisai, dan sarung tangan dengan gerakan mata yang terlatih, kemudian mengangguk.
“Setelah aku membuat laporanku, aku akan pulang.”
“O-oh, aku... Aku mengerti.” Gadis Guild merasakan perasaan yang bercampur aduk, kecewa namun juga senang dengan jawaban yang sangat berkarakteristik.
“Kalau begitu, um...”
“Hari saat festival panen, siang hari, di pusat kota. Bisa?”
“Ya!”
“Baiklah.”
Goblin Slayer mengangguk kemudian mensurvei semua orang yang berada di meja.
“Apa yang akan kalian semua lakukan?”
Gadis Guild berhasil menjauhkan tangannya dari wajahnya, namun terlihat jelas paras wajahnya yang bertolak belakang dengan perasaannya saat ini. Dia harusnya sudah menduga ini.
Lizard Priest dan Dwarf Shaman merasakan hal yang sama. Mereka hanya mengangkat bahu dan memutuskan untuk melakukan apa yang mereka mampu untuk membantu.
“Adalah niat saja oentoe’ menjalani hari dengan menimati seboeah santapan bersama dengan Master Pembatja Mantra.”
“Ah benar! Aku selalu ingin minum dengan scaly dalam satu meja. Ini akan jadi kesempatan yang bagus.”
Dwarf Shaman menepuk perutnya, kemudian menepuk punggung High Elf Archer.
“Ikut dengan kami, Telinga Panjang. Nggak peduli apapun kata mereka, elf dan dwarf harus selalu bersama!”
“Bwah?” Suara akan tidak setuju terlepas dari mulutnya. Merupakan suara seperti anak kecil yang menolak untuk bangun dari tempat tidurnya.
“Ah, ayolah—aku traktir kamu sebuah anggur!”
“...Oke.”
“Aku mengerti.” Goblin slayer menerima jawaban mereka dengan tenang seperti biasa., kemudian akan beranjak pergi.
Spearman membuka mulutnya seolah akan mengatakan sesuatu, namun witch menghalaunya. “Kami, berdua, memiliki, kencan.”
“Kalau begitu, aku pergi.”
Bukanlah sebuah ucapan yang bisa di anggap sebagai ucapan perpisahan. Seperti seharusnya.
Dia pergi menuju meja resepsionis dan memanggil pegawai terdekat untuk membuat laporannya, kemudian pergi keluar.
Langkah sigapnya tidak menunjukkan keraguan sedikitpun, seperti biasa.
Dia adalah petualang yang aneh.
Mereka memperhatikannya pergi, tidak dapat berkata-kata.
Poeji Toehan.” Lizard Priest berkata, menghela nafas kagum. “Seboeah serangan jang loear biasa.”
“Heh... Ah-ha-ha... Aku senang ini berjalan dengan baik.” Gadis guild tersipu malu dan memainkan kepangnya.
“Benar.” Witch tersenyum, memberikan Spearman yang berwajah murung sebuah tepukan kecil. “Kamu, juga, sudah, berusaha, keras.”
Dwarf Shaman menghela nafas lelah. “Si dada kecil ini bisa belajar satu atau dua hal dari kamu.”
“Aw, tutup mulut bacotmu.” High Elf Archer berputar, perlahan dengan susah payah, untuk melotot pada sang dwarf. “Aku Cuma ingin pergi berpetualang bersama. Orang bego itu sama sekali nggak mau pergi denganku!”
“Ya, gadis kecil, kamu gagal dengan cukup menakjubkan.”
“Wa... Waaaah!”
“Ah, ayolah. Ini, minum dulu.”
Dwarf Shaman menuangkan sebuah anggur pada gelas High Elf Archer. Sang elf memberikan sebuah tatapan pada dwarf sebelum meneguk gelasnya dengan sebuah anggukan kecil.
Gadis Guild  memperhatikan semua ini, mengerutkan alisnya meminta maaf.
“Um, Aku... Aku minta maaf...”
“Pfft. Aku nggak peduli. Aku sudah bilang, aku nggak memikirkan dia seperti itu.” High Elf Archer menyeruput minumannya, memperhatikan Gadis Guild. “Hey.” Dia berkata.
“Ya?”
“Itu kalimat yang bagus: ‘Rencana selain goblin?’ Boleh aku pakai?”
*****
Ketika Goblin Slayer telah meninggalkan guild, sebuah aroma manis menyelimuti dirinya.
Aroma apa ini...?
Bahkan di saat dia sedang memikirkannya, sebuah hembusan angin sejuk menerbangkan aroma itu menjauh.
Seraya matahari terbenam, kehangatan hari mulai memudar seolah tidak pernah ada sama sekali.
Malam hari mendekat. Dia menatap pada langit dingin berbintik bintang-bintang.
Bulan kembar, penuh akan sebuah janji akan panen yang kaya, bersinar dengan cahaya yang entah mengapa terlihat metalik, anorganik.
“Hm.”
Musim gugur sedang berlangsung.
Namun ini tidak terlalu berarti baginya.
Setelah musim panen, penyerbuan goblin pada desa-desa kemungkinan akan meningkat.
Ini adalah gaya bertarung yang tepat untuk musim semi—dan juga untuk musim panas, musim dingin, dan ya, bahkan musim gugur.
Dia memantau jalanan yang sunyi.
Bendera dan pita-pita menggantung dalam antisipasi menyambut festival, bersama dengan banyak menara kayu, menciptakan berbagai macam bayangan rumit di tanah. Goblin Slayer melangkah di antara itu.
Terdapat sebuah jalanan yang sangat di kenalnya, namun di setiap dia melewati sebuah bayangan, tangannya mengepal secara reflek.
Kemungkinan tidak ada yang bersembunyi di balik kegelapan itu. Namum goblin dapat muncul kapan saja dan di mana saja.
Tidak semua persiapan dapat berguna, namun tidak ada salahnya untuk selalu bersiap-siap.
Ini adalah prinsip yang di junjung teguh Goblin Slayer.
“Oh, di sana kamu rupanya!”
Oleh karena itu dia dapat menerima suara tak terduga namun akrab, dalam langkahnya.
Salam ceria, bersahabat itu tidaklah begitu selaras dengan kegelapan malam—mungkin dia membutuhkan sebuah cahaya.
“Oh.” Goblin Slayer berkata. “Kamu datang untuk menemuiku?”
Dia adalah, tentu saja, Gadis Sapi.
“Heh-heh!” Dengan sebuah senyum di wajahnya dan sebuah ayunan pada dadanya, dia berlari kecil mendekati Goblin Slayer. “Aku harap seperti itu. Tapi aku cuma kebetulan berada di kota. Pekerjaan. Kamu tahu lah.”
“Benarkah?”
“Ya, benar.” Gadis Sapi mengangguk. Helm kotor itu memeriksa Gadis Sapi dengan seksama.
“Mengantar pesanan?”
“Uh-uh.” Gadis Sapi menggeleng kepalanya. “Berbicara dengan klien. Paman bilang padaku untuk mengurusnya agar aku dapat belajar tentang bisnis.”
“Begitukah?” dia berkata kembali, mengangguk.
Matahari telah tiada dan kota telah menjadi gelap, meninggalkan mereka berdua sendiri dalam kegelapan. Jalanan di luar gerbang kota lebih sepi dan lebih gelap lagi.
“...Ayo pulang?”
“Ya, ayo.”
Mereka pergi, melangkah berdampingan satu sama lain.
Mereka mengikuti bayangan mereka sendiri yang memanjang di atas batu ubin dan dengan tenang berjalan pulang.
Tidak terburu-buru, namun juga tidak terlalu pelan.
Kurangnya percakapan sama sekali tidak mengganggu mereka. Terkadang malah cukup terasa menyenangkan.
“Ah...”
Dengan sebuah whuuush, sebuah angin sejuk berhembus kembali dan membawa sebuah aroma yang sedap dengannya.
Goblin Slayer tidak dapat mengingat aroma akan apa ini.
Sehelai kelopak bunga berdansa di udara, menemani hembusan angin dan aroma.
Goblin Slayer mendongak. Dia melihat sebuah pohon berselimut dengan bunga berwana emas.
“Oh, zaitun ini wangi.” Gadis Sapi mengikuti tatapannya ke atas dan menggunakan tangannya untuk melindungi mata dari terangnya dedaunan. “Sudah mekar. Aku rasa ini memang musimnya.”
Ini pasti adalah aroma bunga itu.
“Sepertinya begitu.” Gumam Goblin slayer, sekarang dia sudah mengetahui dari mana asal aroma itu.
Sangatlah aneh akan bagaimana sesosok bunga kuning pucat dapat membuat bulan yang dingin terlihat menjadi hangat.
Seraya dia berjalan, tiba-tiba dia merasakam sebuah sensasi lembut mengitari tangan kirinya.
Gadis Sapi telah menggenggam tangannya dengan Goblin Slayer.
Dia terlihat begitu tersipu, sedikit mengalihkan matanya menuju tempat lain.
“Maksudku... Bisa berbahaya, untuk berjalan sambil melihat ke atas seperti itu. Kan... Kan gelap.”
“...”
“Maaf. Apa aku...”
Gadis Sapi melirik pada wajahnya, mencoba untuk mengatasi keheningan Goblin Slayer.
Setelah beberapa saat, Goblin Slayer, ekspresinya tersembunyi dari balik helm, perlahan menggeleng kepalanya.
“Nggak.”
“Hee-hee.”
Dan Gadis Sapi melangkah, menarik Goblin Slayer di belakangnya.
Goblin Slayer dapat merasakan kehangatan yang mengalir di dalam armornya. Berpegang teguh pada sensasi itu, dia mengikuti di belakangnya.
Gadis Sapi melirik Goblin Slayer dari ujung matanya.
“Ngomong-ngomong...”
“Apa?”
“Apa kamu tahu zaitun itu melambangkan apa dalam bahasa bunga?”
“Bahasa bunga?” Goblin Slayer mengulangi, seolah dia tidak pernah mendengar kalimat itu sebelumnya. “Aku nggak tau.”
“Yah, aku rasa akan kamu tahu kalau nantinya.”
Gadis Sapi terdengar seperti anak kecil mencoba bertingkah seperti seorang dewasa.
Gadis Sapi tertawa kecil dan tersenyum, sedikit mengayunkan jari telunjuknya.
“Bagiku, aku pikir ini sangat cocok untukmu.”
“...Aku akan mengingatnya.”
Goblin Slayer mengangguk, kemudian Gadis Sapi merespon dengan sebuah “Mm” akan afirmasi.
Apa aku perlu menyinggungnya?
Gadis Sapi dapat memecahkan keheningan.
Walaupun dengan helmnya, dia tidaklah begitu sulit untuk di baca. Akan tetapi, dia bisa jadi cukup keras kepala, jadi Gadis Sapi harus menggunakan kepalanya.
“...Festival akan tiba besok lusa.”
“Ya, benar.” Dia mengangguk tenang. “Aku sendiri juga di undang.”
“Gwah?!” Sebuah jeritan aneh terlepas dari bibirnya.
“Ada apa?”
“Nggak, uh, maksudku— Siapa yang mengajakmu? Dan kamu bilang apa?”
“Resepsionis dari Guild. Aku rasa kamu mengenalnya.”
Gadis Sapi mengangguk.
Gadis Guild. Modis, mampu, dan cerdas. Seorang wanita dewasa.
“Aku nggak punya alasan untuk menolaknya. Aku mengajak semua orang kalau mereka ingin ikut, tapi sepertinya mereka semua sudah punya rencana.”
Gadis Sapi tiba-tiba berhenti berjalan.
“...Ada apa?”
“Ah... Ahh-ha-ha-ha-ha-ha!”
Dengan tangannya yang bebas dia memainkan rambutnya untuk mengalihkan pria itu.
Gah. Aku kalah cepat dengannya...
Entah apakah Goblin Slayer memahami apa yang sedang di pikirkan oleh temannya, Goblin Slayer mengulangi kembali, “Apa?”
“...Awww, nggak apa-apa.” Gadis Sapi menggeleng kepala perlahan.
Ini.. Ini bukanlah masalah yang besar. Iya kan?
Karena dia belum mendapatkan apa yang dia inginkan.
Dia tidak yakin apakah dia harus menyuarakan pendapatnya sekarang, namun ini hanyalah sebuah kalimat, kan?
“Aku hanya... aku berharap bisa melihat festival bersamamu juga. Itu aja.”
“Benarkah?”
“Yeah.”
Gadis Sapi mengangguk kemudian terdiam kembali.
Sebelum mereka menyadarinya, batu ubin telah tergantikan dengan jalan tanah, dan mereka melangkah keluar dari gerbang utama.
Dalam musim semi, bukit ini di penuhi oleh aster. Merupakan tempat di mana para petualang telah melakukan pertempuran dengan banyak goblin. Sekarang, dengan musim dingin yang mendekat, semua yang tersisa hanyalah rerumputan dan suara langkah kaki mereka.
Jika dia mendengarkan dengan seksama, Goblin Slayer dapat mendengar suara samar liii, liii akan suatu serangga, dan suara nafas teman lamanya.
Cuaca semakin mendingin, namun masih belum cukup dingin yang bisa membuat nafas mereka berkabut.
“...Hei.”
“Apa?”
“Jam berapa kencanmu?”
“Siang hari.”
Cahaya berkelip kebun mulai terlihat di kejauhan.
Mata Goblin Slayer—atau lebih tepatnya helmnya—melihat ke depan seraya dia menjawab pelan.
“Oh.” Gadis sapi berbisik, mendekatkan tangannya yang gemetar pada dadanya.
“Kalau begitu... Aku bisa pergi denganmu di pagi hari?”
“Ya.”
“Ap?”
Gadis sapi baru saja ingin menarik kembali ucapannya, namun sekarang dia hanya dapat melongo.
Helm kotor itu menyatu sempurna dengan kegelapan hingga membuat Gadis Sapi hampir tidak bisa membedakan antara ujung helmnya dan gelapnya malam.
Dan seperti bagaimana dia tidak bisa mengetahui apakah pria ini berkata jujur atau tidak.
Pria ini sangatlah mudah untuk di mengerti, tapi—bukankah Gadis Sapi memproyeksikan keinginannya sendiri menjadi kalimat pria itu?
Ya-yang benar?”
“Kenapa aku harus bohong?”
Tidak ada keraguan dalam ucapannya.
Tentu saja dia bukanlah pria yang akan mengutarakan kebohongan seperti itu. Gadis Sapi paham akan itu.
“Tapi... Kamu yakin...?”
“Itu bukanlah pertanyaannya.” Dia dia mengacuhkan rasa gelisah Gadis Sapi dengan mudah. “Kamu memintaku.”
“Oh... Kalau begitu...kamu nggak keberatan?”
“Aku nggak keberatan.”
“Horeee!”
Sulit untuk bisa menyalahkan teriakan gembira Gadis Sapi setelah mendengar respon Goblin Slayer.
Dia melompat ke udara, dada montoknya berayun, dan dia berputar di depan Goblin Slayer.
“Baiklah, ini kencan! Pagi hari saat festival.”
“Ya.” Kebingungan, Goblin Slayer memiringkan kepalanya bingung. “Apa ini membuatmu begitu senang?”
“Pertanyaan macam apa itu!”
Gadis Sapi mengingatkan Goblin Slayer tentang apa yang seharusnya sudah dia ketahui dengan sebuah senyum yang lebar,
“Sudah hampir sepuluh tahun sejak terakhir aku pergi ke festoval bersamamu!”
“Benarkah?”
“Benar.”
“...Begitu.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya dengan sangat serius. “Aku nggak menyadarinya.”
Mereka dapat hampir mencium aroma krim yang mendidih. Gadis Sapi telah pergi meninggalkan masakan kebunnya pada saat dia mengira masakannya hampir siap, pergi untuk menemuinya dengan berpura-pura mengantar pesanan sebagai alasan.
Sekarang rumah mereka telah berada tepat di depan mereka.