RERUNTUHAN KOTA DAN JEBAKAN SIHIR
(Translater : Zerard)

Jika kematian memiliki langkah kaki, ini pastilah suaranya.
Genderang perang bergema dari kedalaman neraka. Senjata dan armor bergesek pada monster yang maju, dan nafas bau mereka mencemari udara di reruntuhan.; liur mereka melicinkan lantai bebatuan.
Mereka penuh akan ucapan-ucapan dan geraman yang tak beraturan. Setiap suara kaya akan keserahkahan dan kemurkaan. Mereka berdebat akan bagaimana cara terbaik untuk merobek setiap bagian petualang kurang ajar ini, bagaimana cara berdansa di atas tubuh mereka yang terkoyak. cara untuk menodai mereka.
Whumph. Pada kepala akan grup mereka datang sebuah langkah akan goblin gajah itu, sang champion.
Pertama, mereka akan mengambil setiap mata—dari mereka semua. Di situlah semuanya akan di mulai, sebelum adanya pembunuhan, pembantaian, penghinaan...
“Ohh...”
Telinga sensitif High Elf Archer mendengar semua suara ini dengan mudah. Suaranya keluar dari mulutnya seraya dia bergetar, dan darah berhenti mengalir ke wajahnya.
Dia mengencangkan benang laba-laba pada busurnya dengan sebuah twang, memeriksa persediaan panahnya, dan menarik nafas dalam.
“Bisa kamu lakukan?”
“...Tentu saja!”
Pada pertanyaan Goblin Slayer, yang mekanikal seperti biasanya, dia menjawab yakin.
Dia akan mencoba memalsukan semangatnya sebisa yang dia mampu. Semakin banyak hal buruk yang terjadi, semakin banyak dia berbicara. Jika dia tidak bisa bercanda, tentunya dia akan mati.
“Kalau bisa jangan buat kita hampir terkena ledakan kali ini.”
“Itu memang tujuanku.”
Dia menyipitkan matanya, namun Goblin Slayer mengangguk, diam seperti biasanya.
Goblin Slayer telah menyalakan empat obor dan meletakkannya di setiap sudut kompas; sekarang dia memeriksa the tempat suci ini melalui cahaya obor. Mencari dari mana mereka akan masuk ke ruangan, beberapa koridor lain yang entah menuju ke arah mana.
“Kamu tau dari mana mereka datang?”
“Semua arah,” High Elf Archer menjawab mengangkat bahu. “Jangan tanya berapa banyak.”
“Tuanku Goblin slayer, saya telah menyiapkan sebuah barrier.”
Petualang lainnya, tentu saja, tidak hanya diam.
Lizard Priest telah menumpuk puing-puing dari ledakan di sekitar altar. An entrenchment, yang walaupun sederhana, dapat membuat perbedaan antara kemenangan dan kekelahan dalam pertempuran bertahan. Para musuh akan sangat rentan selama mereka berusaha untuk melewatinya, dan akan memlambatkan pergerakan mereka.
Dwarf Shaman, yang telah membantu mengerjakannya, mengelap debu dari tangannya dan berkata, “Ini yang terbaik yang bisa kita buat dengan buru-buru, jangan terlalu berharap banyak dari ini.”
“Ini sudah cukup. Bagaimana denganmu?”
“Ya, pak, Aku siap!” Priestess menjawab berani.
Dia telah berdiri di atas altar dengan figurnya yang mungil. Adalah pekerjaannya untuk mengumpulkan batu ketapel, panah, dan pedang pendek yang masih dapat di gunakan di lantai. Sangatlah penting sebuah senjata baru selalu di berikan ketika mereka membutuhkannya.
“Baiklah.” Goblin slayer mengangguk.
Dia, juga, kini dapat mendengar pasukan goblin dengan jelas.
Sudah tidak lagi waktu untuk menunggu, tidak ada waktu untuk penjelasan panjang lebar. Goblin Slayer tidak tersentak.
“Berapa banyak mantra lagi yang kamu punya?”
“Aku punya, um...” Priestess menempelkan jarinya ke bibir dan berpikir.
Seberapa banyak lagi jiwanya dapat menahan penyatuan jiwa dengan para Dewa di atas?
Pengalaman telah menjawabnya...
“Aku gagal sekali dan berhasil dua kali, jadi...satu kali lagi.”
“Simpan,” Goblin Slayer berkata pendek. “Kita akan butuh buat nanti.”
“Baik, pak!”
Itulah instruksinya, dan Priestess mengangguk tanpa ragu. Dia menggenggam tongkatnya erat dengan kedua tangannya, dan dari atas altar, mengintip ke dalam kegelapan. Jika dia tidak akan menggunakan keajaibannya, maka dia akan bertanggung jawab untuk mengawasi pergerakan akan pertempuran.
Merupakan tanggung jawab yang besar di emban seorang diri—namun dia tidaklah sendiri. Mereka semua bersama.
“Aku akan berusaha sebaik mungkin...!”
“Ha-ha-ha-ha-ha! Perawan kuil kita yang rendah hati telah tumbuh menjadi cukup berani.”
Di samping altar, Lizard Priest mengayunkan ekornya dan menyentuh hidungnya riang dengan lidahnya.
“Si-siapa, aku?”
Lizard Priest menoleh kepada Priestess, yang terlihat sedikit malu, menggenggam katalisnya, sebuah cakar.
“Dua bersama saya. Namun jika saya memanggil seekor Dragontooth Warrior sekarang, maka akan menjadi tiga. Saya rasa saya tidak perlu menunggu lagi?” Lizard Priest memberikan sebuah senyum yang mengerikan, menunjukkan taringnya.
“Lakukan.” Goblin Slayer merespon dengan segera. “Suruh dia memakai perisai.” Dia mengangkat dagunya mengarah Priestess. “Aku mau makhluk itu melindunginya.”
“Baiklah, baiklah. Dan apakah saya mengurus cermin?”
“Ya.”
Lizard Priest merespon dengan gelengan kepala perlahan dari samping ke samping dan menggabungkan tangannya dengan gerakan yang aneh. Dia menaiki altar , dan dengan cepat melempar cakarnya ke lantai dan memfokuskan konsentrasinya.
Konon tidak ada suku lain di dunia yang memiliki pencapaian yang melebihi para lizardmen. Berhati-hati seperti biasanya, sang priest tampaknya sudah mengetahui apa yang di pikirkan Goblin Slayer.
O tanduk dan cakar leluhur kami, Iguanodon, jadikan empat bagian tubuh, menjadi dua kaki untuk berjalan di bumi.”
Dwarf Shaman melirik pada Lizard Priest yang berdoa dan kepada warrior yang dia ciptakan, membelai jengot dengan jarinya.
“Aku sudah pakai Spirit Wall dan Stupor... Aku rasa dua lagi,”
“Simpan mereka. Itu akan jadi kartu andalan kita.”
“Oh-ho! Peranku ternyata cukup penting. Jadi, sampai kita membutuhkannya, apa aku perlu membantumu Bearcutter?”
Dwarf Shaman memberikan sebuah tepukan pada perutnya, sudah bersemangat seperti biasanya. Tanpanya, party ini mungkin akan sedikit mengalami kesulitan untuk mengubah mood mereka. Tawaan kecil High Elf Archer seperti sebuah bell.
“Kita benar-benar beruntung ya? Punya dua orang pembaca mantra.”
“Apa-apaan ini? Aku nggak pernah nyangka kamu tau cara untuk jadi sopan, telinga panjang.”
“Oh, yang benar aja! Aku selalu sopan.”
Seseorang tertawa. Kemudian mereka semua. Mereka saling mengangguk satu sama lain. Itu sudahlah cukup.
Mereka telah dapat melihat mata berkelip goblin pada saat ini dan lolongan suara akan sang champion.
High elf Archer menutup sebelah matanya, telinganya berayun seraya dia mengukur jarak pada para musuh.
“...Jadi? Apa yang kamu mau aku lakukan?”
“Alihkan mereka, kemudian bunuh mereka. Kurangi jumlah mereka, pancing sebanyak yang kamu bisa.”
“Kenapa aku punya firasat kalau ini benar-benar gila?”
“Benarkah?”
Goblin Slayer mengambil sebuah ketapel dengan tangan kanannya yang bebas dan menaruh batu ke dalamnya. Pada saat yang sama, dia melempar ketapel lain dari  tasnya kepada Dwarf Shaman, dengan maksud untuk menyiapkan serangan berikutnya.
High Elf Archer memberikan sebuah “hmph” memasang panah pada talinya dan menariknya ke belakang.
“Siap? Ayo mulai.”
Dia mengeluarkan suara tawa kaku namun imut. Tapi di saat yang sama—
“GOROORORRRRB!!”
Sebuah teriakan perang sang goblin Champion.
Monster bermata satu mengayunkan tongkatnya dan meraung, mencoba menggusarkan goblin bawahannya.
Pasukannya membawa tombak dan pentungan dan kapak dan belati berkarat.
Bahkan seraya gerombolan berlari maju, salah satu makhluk yang berdiri di depan—
“Satu.”
“Grob?!”
—menjadi korban akan batu tak kenal ampun dari ketapel Goblin Slayer.
Sepanjang sejarah akan dunia ini, manusia adalah makhluk yang paling cocok untuk melempar benda. Bahkan para naga tidak bisa melembar benda lebih jauh dari manusia.
Goblin tidak memiliki kekuatan, para elf terlalu mencintai busur mereka, dan dwarf dan rhea mendapati melempar hanyalah sebuah permainan sederhana. Hanya manusia yang dapat melemparkan sebuah batu lebih cepat dari kuda yang berlari lurus menuju tujuannya.
“GOROB?!”
“GROOOORBB?!”
Dan selama ada batu di lantai, sebuah ketapel tidak akan pernah kehabisan amunisinya.
“Ho! Kamu nggak perlu repot-repot membidik di sini! Aku suka ini!”
Jari gemuk Dwarf Shaman bergerak cepat layaknya sihir, memuat batu satu persatu ke dalam ketapelnya dan melemparnya kepada para goblin.
“Tembak terus Beardcutter! Tembakanmu nggak akan meleset di sini!”
“Itu memang rencanaku... Tiga.”
Sebuah batu bersiul melewati udara, memecahkan tengkorak goblin lainnya. Dua, tiga kali berturut-turut. Ini sama saja dengan Goblin Slayer menembak goblin dalam barel. (TL Note : “It’s like shooting fish/duck in a barrel” ini merupakan idiom bhs inggris yang bisa di artikan sebagai “melakukan sesuatu dengan sangat mudah” https://writingexplained.org/idiom-dictionary/shooting-fish-in-a-barrel )
Makhluk-makhluk kecil itu tersandung pada mayat akan rekan mereka yang mati, saudara mereka yang di ter-mahkota batu.
“GROB! GOOOOOROBB!!”
Para goblin tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa mereka sedang menyerang para petualang.
Adalah mereka yang telah di serang. Goblin selalu menganggap diri mereka adalah korban dalam segala hal, dan adalah salah mereka semua jika goblin melawan kembali. Kematian rekan mereka hanya semakin memicu kemarahan kesumat goblin. Apalah artinya sebuah dinding kecil puing ini?
Mata jahanam mereka menatap mati para petualang yang bertahan, seorang gadis di atas altar...
“Ada yang datang, sebelah kanan!”
“Baik!”
Suara gadis itu memperingati satu sama lain, dan dalam sekejap, goblin yang mendekat mendapati dirinya penuh akan panah.
Priestess melihat sekeliling, keringat bercucur di dahinya, dan di manapun dia menunjuk, High Elf Archer akan melepaskan tembakan pada arah itu.
Ayun, ayun. Setiap jentikkan telinganya di ikuti oleh cabang mematikan yang mengendarai angin bawah tanah.
Tidak ada goblin yang bisa lolos darinya.
“Ahh, mereka banyak sekali...!”
“Tiga di kiri, empat di depan!”
“Yeah, serahkan padaku.”
High Elf Archer berdansa dari satu sisi altar menuju sisi lainnya, menembakkan panahnya secepat dia bisa memuatnya.
Bukanlah rasa lelah yang membuatnya berkeringat; melainkan rasa khawatir dan ketegangan. Sudah lama sejak dia lelah akan menembak panahnya satu persatu; sekarang dia mengambil apapun yang berada di dekatnya, tiga peluru secara bersamaan. Tentu saja, tempat panahnya sudah kosong ; dia menyuplai dirinya sendiri dengan apapun yang dapat dia temukan di lantai.
Dan selama suplainya terus terjaga, tidak akan ada goblin yang dapat mendekatinya, tapi hanya akan menambahkan tumpukan mayat goblin.
“GOROROROB! GROB! GOORB!!”
Oleh karena itu ini bukanlah waktu yang tepat untuk menggerutu akan situasi.
Goblin champion memberikan sebuah perintah dan membuka sebuah tutup botol yang dengan hati-hati di gendong di salah satu lengan bawahannya.
Para goblin dengan pikiran picik mereka telah menciptakan sebuah cairan beracun yang lengket.
Para archer dalam pasukan goblin membawa busur kasar mereka dan mencelupkan ujung mata batu panah mereka ke dalam racun sebelum mereka menembak.
“GOORB?!”
Akan tetapi mereka, sayangnya, memiliki kebiasaan akan menembak dari pinggul, yang menghasilkan beberapa goblin terluka oleh panah beracun yang tertusuk di punggungnya.
Walaupun luka itu tidaklah kritikal, korbannya akan meronta-ronta dan akhirnya mati.
Permasalahnnya adalah, bahwa beberapa dari panah itu mencapai pada elf yang berada di garis belakang yang menembaki mereka dan gadis manusia yang memberikan arahan.
Jika saja mereka dapat mengenai dua sasaran itu, racunlah yang akan menyelesaikannya. Walau hanya akan melumpuhkan mereka, itu sudah cukup. Atau mereka mungkin mati. Para goblin tetap akan menyukai hasil manapun yang di hasilkan.
“______”
Namun jangan lupakan keberadaan Dragontooth Warrior yang setia. Makhluk bertulang mengangkat perisai yang telah di berikannya, menangkis setiap panah yang terbang menuju kedua gadis muda. Sekarang dan kemudian, sebuah panah menusuknya, namun tanpa daging dan darah, racun bukanlah sebuah ancaman.
“Huh.” High Elf Archer mengelap keringat dari dahinya dan mengambil panah yang ada di kakinya, dan memberikan sang warrior sebuah tepukan di pundak. “Makhluk ini imut juga,”
“Be-benarkah?” Priestess mengkerutkan dahinya dan menunduk untuk menghindari panah. menahan topinya dengan panik, mencoba mengatur nafasnya. Dia mengelap beberapa keringat sebelum memasuki matanya, kemudian melirik menuju kegelapan.
Di sampingnya, Lizard Priest memposisikan dirinya yang kekar gagah berani di depan cermin.
“Ha! Ha! Ha! Betapa bahagianya saya menerima pujian anda...”
Cermin suci telah tertanam di dinding batu dengan teknik kuno. Lizard Priest menggores salah satu cakar tajamnya di sekeliling kerangka yang melingkari permukaan yang bergelombang.
“....Saya akui bahwa saya sangat terpana akan bagaimana cermin ini dapat terpasang di tempat ini!”
Dia mendesiskan nafasnya, dan sisik pada lengannya membengkak seraya ototnya tertarik.
“ O Brontosaurus asing dan bangga, berikan hambamu akan sepuluh ribu kekuatan!”
Murapakan keajaiban akan Partial Dragon, yang di mana memohon karunia akan leluhur agung, sang naga menakutkan.
Ototnya yang besar kini telah di perkuat oleh lizard mengerikan yang pernah berjalan di bumi dahulu sekali. Cakarnya menembus meretakkan dinding, retakan melebar tanpa merusak cermin.
Namun ini semua membutuhkan lebih dari sekedar sebuah goresan. Sudah tidak ada waktu lagi.
“GOROOOOBB!! GOOROOROB!!”
Barrier di depan telah di tembus dengan satu serangan, puing-puing telah kembali menjadi debu. Dengan langkah maju menghancurkan, goblin chamoion bermata satu mengangkat tinggi pentungannya dan memulai penyerangannya.
“GORRB!”
“GORB! GOORB!!”
Jeritan para goblin menggambarkan secara jelas akan kegirangan mereka.
Mereka memiliki seorang pahlawan, seekor champion, dan itu telah memberikan mereka kepercayaan bahwa mereka akan menang. Dengan kata lain, mereka tidak berbeda dari orang-orang.
Priestess bergetar seraya suara hina mereka terdengar di telinganya. Dia menggigit bibirnya, menggenggam tongkatnya, dan berteriak sekeras yang dia mampu:
“Yang besar, dia datang...!”
“Aku akan tangani dia.” Goblin Slayer tidak ragu. Dengan sekejap, dia mengambil sebuah belati yang ada di lantai dan meletakkan sebelah tangannya, melompati barrier.
“Tetap di altar!”
“Ya, benar sekali!” Dwarf Shaman berkata, menangkap ketapel yang di lempar Goblin Slayer kepadanya dan melempar sebuah batu.
Dengan bantuan Dwarf Shaman, Goblin Slayer menerjang layaknya sebuah panah kepada—dan kemudian melewati—musuh-musuhnya.
Tiga goblin berdiri menghalangi, senjata di tangan mereka. Namun memangnya kenapa?
“Delapan belas, sembilan belas...dua puluh!”
“GROOB?!”
Dengan pedang di tangan kanannya, dia mendaratkan serangan kritikal, menyayat tenggorokkan pada goblin yang menghalangi di depannya.
Sang makhluk bermuntahkan darah; Goblin slayer menendangnya menjauh, membebaskan pedangnya, yang dia gunakan untuk meretakkan tengkorak makhluk yang mendatanginya dari sisi kanannya.
Monster yang berada di sisi kirinya tidak dapat menghadapinya sendiri, oleh karena itu dia menggunakan perisainya untuk mengendap di belakang Goblin Slayer. Tidak lama setelah dia melakukannya, salah satu dari batu Dwarf shaman terbang.
“GOR?!”

Goblin itu terhuyung di saat batu telah mengenai tepat di dadanya, dan Goblin Slayer menusuknya hingga mati tanpa pikir panjang. Dia menangkap leher monster; sang goblin terjatuh ke lantai tanpa sedikitpun kejang-kejang. Goblin Slayer melepaskan pedangnya dan membiarkanya terjatuh bersama korbannya.
“GOROOB!!”
“Dua puluh satu...!”
Dia melempar belati yang ada di pinggulnya untuk melindungi belakangnya. Menancap tepat di tenggorokan goblin yang berusaha menyerangnya. Seraya makhluk itu mencakar udara, Goblin Slayer melompatinya dan mengambil senjata makhluk itu.
Sebuah pentungan. Kemungkinan merupakan senjata yang pertama kali pernah di gunakan manusia. Tidak buruk.
“Dua puluh dua...tiga.”
Sebuah pukulan dari instrumen tumpul menghancurkan tengkorak goblin lainnya, kemudian Goblin slayer memakukan perhatiannya pada pemanah yang berada di belakang dan menerbangkan pentungan mengarahnya.
“GORARARA?!”
Masih tidak cukup untuk sebuah serangan kritikal, tentu saja. Adalah tembakan dari High elf Archer yang menghabisi pemanah goblin.
“Dapat!” High Elf Archer berteriak. Goblin Slayer tidak perlu melihat kepadanya untuk dapat mengetahui telinga panjangnya yang berayun naik dan turun. “Orcbolg, panah!”
“Hmmm...!”
Walaupun party mereka bukanlah cenayang, mereka tidak pernah kehabisan langkah.
Goblin Slayer menendang goblin dari jalannya seraya dia berlari melintasi medan perang untuk mengambil tempat panah pemanah musuh. Kemudian dia berputar, mempercayakan kepada gaya sentrifugal untuk membawa muatan itu menuju High Elf Archer.
Namun muatan itu berat dan hanya berputar sementara, dan tidak dapat menjangkau High Elf Archer.
“Aku saja!”
Dwarf Shaman melompat untuk mengambil tempat panah, melemparnya kebelakang.
“Selesai!” Dia berteriak.
“....Eep!”
Priestess menangkap tempat panah di lengannya dan memberikannya kepada High Elf archer, mengembalikan diri elf kepada elemennya.
Sebuah hujan panah berlanjut kembali. Kekuatan tempur seorang elf dengan busur yang baik dan panah setara dengan seorang pembaca mantra. Seperti yang di sering katakan, sebuah teknologi yang berkembang (di tambahkan dengan skill) tidak berbeda dengan sihir.
Terdapat seseorang bodoh yang—seperti yang Dwarf Shaman utarakan—merasa bahwa ”Pembaca mantra hanya melempar kilatan petir.”
“GROORB!!”
Beberapa goblin menginginkan untuk menjadikan Dwarf Shaman sebagai karung tinju, yang sekarang telah keluar dari belakang barrier.
“Gimana  Scaly? Belum selesai juga?”
Mereka terlalu dekat untuk menggunakan serangan jarak jauh. Dwarf Shaman melempar ketapelnya dan menarik kapaknya.
 Tubuh bangsa dwarve sangatlah kokoh sekuat batu. Mengayunkan lengan gemuk dan kakinya secara liar, Dwarf Shaman masuk ke dalam formasi musuh, menebas dan menendang kesini dan kesana.
“Tinggal....sedikit...lag...i!”
Altar yang di mana Lizard Priest menahan dirinya mulai retak akan cakar kakinya, beberapa puing terlempar.
Lizardmen tidak berkeringat, namun jika seorang manusia berada di posisinya maka manusia itu akan banjir dengan keringat.
Cermin secara perlahan mulai tertarik menjauh dari dinding dengan suara yang cukup terdengar, namun tampak jelas bahwa Lizard Priest masih membutuhkan waktu.
“...! Aku bantu...!”
“Terima...kasih!”
Priestess memantau sekelilingnya dengan cepat, kemudian mendekatinya dan berlutut di dekat Lizard Priest.
Mereka benar-benar kalah jumlah.
Jumlah adalah kekuatan terbesar goblin dan kelemahan terbesar petualang.
Para monster sedikit demi sedikit mendekati altar, ukuran akan gerombolan mereka hanya semakin meningkat. Priestess memutuskan bahwa waktu lebih penting dari pada pemantauan akan peperangan. Namun apakah ada yang dapat di lakukan lengannya yang kurus gemulai? Pasti ada.
Dengan satu gerakan cepat dia menghujam tongkatnya di antara cermin dan dinding dan mulai menggunakannya sebagai tuas.
“Hr...aahh...”
“...Mereka masih butuh waktu ya?” Goblin Slayer berucap mengambil pedang dari salah satu goblin. Itu merupakan sebuah mata batu yang di ikatkan di sebuah stik, hampir tidak dapat di sebut pedang.
Namun Goblin slayer tidak pernah pilah-pilih akan senjatanya.
“GORARARAB...!”
“Hmph.”
Kemudian, sebuah sosok besar membayangi di depannya—goblin champion bermata satu.
Satu soket mata kosong yang menjijikkan. Satu mata terlarang yang membara bagai cetusan api. Senyum hinanya. Kemurkaannya.
“GORARARARARARABOOBOBORIIN!!”
Pada momen berikutnya, Goblin Slayer melompat ke belakang hampir seperti dia terjatuh.
“GORAB?!”
Dia menghiraukan teriakan goblin yang terbawa bersamanya, membenarkan posisinya dan berguling kebelakang hingga berlutut sebelah kaki.
Dari sana, dia memperhatikan goblin yang menggelepar terkena pukulan mematikan dari pentungan goblin champion.
Raungan goblin champion terfokus penuh pada Goblin Slayer. Pentungannya menghancurkan lantai batu, meniupkan kabut debu dengan suara yang cetar membahana.(TL Note: Syahrini reference, Teheee..! :D)
“Terlalu kuat.” Goblin Slayer meludah, dan dengan cepat pukulan berikutnya mengikuti.
Kekuatan champion tidaklah berbeda jauh dengan ogre (walapun Goblin Slayer tidak mengingat makhluk apa itu) yang mereka hadapi sebelumnya.
Goblin Slayer ingin menghindari serangan kritikal. Dia mengangkat perisainya, berlari menembus kerumunan goblin.
“GORAB?!”
Teriakan dan jeritan bercampur dengan suara daging terkoyak dan tulang patah, cipratan darah yang memualkan menyembur ke segala arah.
Semua di sebabkan oleh champion dan pentungannya.
Dia mengayunkan senjatanya kesini dan kesana, berniat melumat Goblin slayer, tapi hanya mengenai sekutunya. Para monster yang tidak beruntung menjadi perisai Goblin slayer, dan memberikan nyawa mereka.
“Tolol.”
“GORAB?!”
Goblin Slayer membenamkan pedangnya di tempurung kepala akan monster yang ketakutan. Melepaskan gagangnya untuk di tukar dengan apa yang di milikinya.
Adalah sebuah pedang berkarat yang kemungkinan telah di curi dari seorang petualang, sekarang, setelah berhari-hari berlalu, telah kembali kepada seorang petualang.
Goblin Slayer menyayat salah satu goblin terdekat, seperti ingin mencoba pedangnya, memprovokasi timbulnya cipratan darah. Sang makhluk tersedak bagaikan tenggelam, dengan korbannya yang masih tertusuk dengan pedangnya, Goblin slayer berputar dan memberikan tendangan.
“GOORORORORB!!”
Goblin champion menghabisi riwayat bawahnnya dengan pukulan dashyat. Yang mungkin merupakan kematian yang lebih baik dari pada tersedak oleh darah sendiri.
“Goblin harusnya merasa beruntung bisa mati seperti itu.”
“GORARAARARAB!! GORARARARA!!”
Serang—seekor goblin tumbang. Debu menghujani dari langit-langit.
Serang—seekor goblin terhempas ke udara. Debu dari langit-langit.
Serang. Serang. Serang. Setiap serangan, Goblin slayer berhasil menghindari.
Refleksi diri tidak pernah ada dalam kamus goblin.
Benar, champion membunuh pasukannya sendiri secara terus menerus, namun itu merupakan kesalahan mereka sendiri, atau paling tidak bahwa manusia menggunakan mereka sebagai perisai.
Manusia biadab! Tidak akan cukup jika hanya mencongkel matanya, ataupun menghancurkan tubuhnya, ataupun membunuh temannya seraya dia menyaksikan!
Kemurkaan champion telah membuatnya melupakan fakta bahwa dia sendiri telah menggunakan sekutunya sebagai perisai untuk melindunginya. Rasa frustasi di karenakan sang petualang tidak ingin berdiri dan bertarung, mengabaikan fakta bahwa goblin sendiri telah menggunakan gas beracun untuk menyerang.
Goblin memang bodoh, Goblin Slayer mengingatkan dirinya, tapi mereka tidak idiot.
Dengan kata lain, mereka tidak idiot, tapi mereka tidaklah cermat. Dan seseorang yang mengayunkan pedangnya dengan tidak cermat sangat mudah kelabui.
Bagaimanapun juga, mereka gagal untuk menggunakan senjata terkuat mereka.
Oleh karena itu Goblin Slayer berlari melintasi medan perang, champion mengikuti di belakangnya.
“Orcbolg mengulur dia menjauh...!”
High Elf Archer tidak hanya sekedar berdiri dan menonton.
Dia memanjat altar, melewati beberapa goblin dengan kaki panjang nan indahnya. Dia menjentikkan lidahnya.
Akan betapa dia membenci menggunakan panah goblin.
“Sial, aku nggak percaya ini!” Dia berkata, setengah marah. Telinganya berayun seraya dia membaca alur angin dan menerbangkan panahnya.
Dia tentu saja, tidak membidik champion, melainkan kerumunan goblin.
“GROB?! GOORB?!”
Bahkan panah kasar dapat menembus tubuh, memgambil sebuah nyawa. Goblin terjatuh bagai hujan dalam badai, namun jumlah mereka sangatlah banyak.
Dwarf Shaman membenamkan kapaknya pada kepala goblin lainnya, jenggot kesayangannya terlumasi oleh cipratan darah.
“Ho, telinga panjang! Kamu nggak bisa nembak lebih dari itu?”
“Diam, dwarf! Kamu mau hasil, carikan aku panah yang lebih bagus!”
“Apa kamu tertarik dengan beberapa batu cantik?”
“Lupakan saja!”
Dan mereka berdebat. Apakah ini perdebatan mereka yang biasanya, ataukah mereka melakukan ini dengan sengaja? Ketika mereka tidak dapat lagi menerima celotehan satu dengan yang lain, maka itu akan benar-benar menjadi sebuah akhir. Begitu pula dengan kebanyakan petualang lain.
Bahkan Priestess, dengan wajah merah padam seraya dia menahan tongkatnya.
“Hnn... Hnnnn...!”
Lengannya bergetar dan menggigit bibirnya seraya mempusatkan seluruh berat badannya dalam pertarungannya dengan cermin. Hanya ini yang dapat di lakukan gadis manusia kecil dengan tubuhnya yang lemah.
Lizardman yang tak kenal lelah, mengerahkan seluruh tenaganya dalam aksi gagah beraninya.
“Ay....o...satu tarikan...lagi...!”
Masih di karuniai berkah dari leluhurnya, sang naga menakutkan. Nafas mendesis dari antara taringnya yang terpapar, setiap inci dari cakar hingga ekornya adalah kekuatan.
Sreeeeeeeyyyeeeeecchhh!
Dengan suara tinggi, cermin suci akhirnya takluk akan kekuatan kasar.
Benda menakjubkan itu ada pada tangan Lizard Priest dengan sedikit puing dari dinding.
“Pak...Goblin...Slayer!”
Priestess memanggilnya. Nafasnya tidak karuan; suaranya lemah dan kelelahan.
Goblin Slayer melihat ke belakang, memberikan tendangan kepada champion yang mendatanginya, dan berlari.
“Angkat cerminnya ke atas! Dan berdiri di bawahnya!”
“Saya mengerti!”
Dengan hembusan, Lizard Priest mengangkat cermin ke atas kepalanya di atas altar seperti sebuah atap. Dia mengetahui bahwa semua bergantung pada momen ini.
Dia berlutut sebelah kaki dan menahan cermin dengan pundaknya, tanpa sedikitpun kesulitan.
“Dia datang!”
Membantu menahan di sisi cermin sebelahnya adalah Dragontooth Warrior yang  setia.
“ORARARAG!!”
Goblin champion melancarkan satu pukulan dashyat.
Walaupun goblin tidak begitu memahami apa yang sedang terjadi, namun jelas bahwa sesuatu sedang terjadi.
Pentungan champion mengenai beberapa goblin, dan tidak mempunyai sedikitpun kesempatan menghindar, menyebarkan daging-daging otak mereka.
Melompat ke belakang, Goblin Slayer berlari dengan tombak yang dia dapatkan dari musuhnya. Mata tombak itu membuat beberapa jari dari champion berputar terbang di udara, mengundang raungan menggema.
“GARAOR?!”
“Stone Blast! Yang besar, ke atas!”
“Ke atas?!—Baik!”
Terdapat rasa kaget sekejap dari Dwarf Shaman, namun dia tahu bahwa ini bukanlah saatnya untuk ragu.
Dia mengambil segenggam tanah dari tasnya. Meniupkan nafasnya seraya menggulungnya, dia meneriakan.
“Keluarlah kalian gnome, ini waktunya bekerja, jangan kau berani melalaikan pekerjaanmu—sedikit debu tidak akan membuatmu berarti, namun beribu debu akan membuatmu menjadi batu yang indah!”
Dia melempar bola tanah ke udara sekuat yang dia bisa, dan berubah menjadi batu raksasa tepat di depan mata mereka...
“Cahaya!”
“Siap!”
Tidak sedikitpun teralihkan akan apa yang sedang terjadi, Priestess menjawab dengan segera—kepada ucapannya, kepada kepercayaannya.
Priestess mengetahui bahwa ini adalah alasan mengapa dia di sini, dan itu membuatnya begitu bangga yang membuatnya berpikir dada kecilnya akan meledak.
Dia mengerahkan segalanya ke dalam doanya yang menghubungkan jiwanya dengan para dewa di surga.
“O Ibunda Bumi yang penuh ampunan, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan...!”
Sebuah doa tulus, yang dia bayar dengan energi jiwanya yang rapuh.
Bagaimana mungkin Ibunda yang maha pengasih dapat menolak mengkaruniainya Holy Light?
“GORORB?!”
Sebuah ledakan matahari!
Dari tongkat Priestess (yang baru saja menjadi sebuah tuas) sebuah cahaya mengisi di segala penjuru. Kemungkinan ini merupakan cahaya yang lebih menyilaukan jika di bandingkan dengan seluruh cahaya yang ada di reruntuhan ini sejak dahulu kala tempat ini ada.
Sang goblin menjerit seolah-olah terbakar, memegang wajahnya dan terhuyung ke belakang. Retina matanya telah terbakar. Dan Goblin Slayer, walaupun dia telah melindungi wajahnya, menderita hal yang sama.
“...Hr...”
“Orcbolg, lewat sini!”
Walaupun begitu, dia masih dapat mendengar suara yang jelas di dalam kegelapan putih ini.
High Elf Archer—dia yang memiliki kemampuan yang melebihi ranger manapun—menggapai tangan  Goblin Slayer.
“Maaf.”
“Nggak usah di pikirin! Aku sendiri nggak tau apa yang kamu pikirkan!”
Dengan bimbingannya, Goblin slayer mengambil satu, dua, tiga langkah terakhir.
High Elf Archer melompat dengan anggun, dan Goblin slayer merayap naik ke altar.
Ekor Lizard Priest membantunya, menarik Goblin Slayer dengan aman di bawah cermin.
Goblin slayer berteriak, “Falling Control—jatuhkan!”
“Hrrf, pastinya! Keluarlah kalian gnome, dan lepaskan! Ini dia, lihat di bawahmu! Putar balikkan semua ember itu—kosongkan semua yang ada tanah!”
“...Dengan ini jadi...” Goblin Slayer bergumam, dia berputar, di bantu oleh ekor Lizard Priest.
Dengan tangan kanan, dia menyentuh menahan Priestess, tangan Priestess bergetar lembut.
High Elf Archer masih menggenggam tangan kiri Goblin Slayer, dengan cukup kuat hingga rasa sakit menembus sarung tangannya.
Dwarf Shaman menepuk semangat punggung Goblin Slayer. Bahkan sekarang, dengan semua jiwanya yang terkuras, Dwarf Shaman masihlah riang seperti biasanya.
Goblin Slayer melihat para Goblin melalui matanya yang sedikit terbakar. Mereka berteriak kebingungan, ketakutan, kesakitan, keserakahan, dan kebencian; mereka di rundung tak berdaya.
“GO?! GROB?!”
“GRAROORORORORORB?!”
Tidak lama setelah Dwarf Shaman telah menyelesaikan doa rumitnya, batu itu menghujam langit-langit.
Langit-langit yang bergemuruh oleh ledakan, terkena serang monster mata, dan bergetar di bawah raungan champion.
Langit-langit batu telah di topang oleh akar pepohonan yang entah sudah berapa lama.
Namun tidak ada yang dapat mengalahkan waktu.
Dan di sini, waktu telah mendapat sedikit bantuan dari berat dan beban dan kekuatan dari para roh.
Gnome, penguasa akan bumi, memusatkan seluruh kekuatan mereka tepat mengarah ke bawah.
Pertama, sedikit retakan mengalir di langit-langit. Kemudian, pecah, dan sedikit demi sedikit, terlalu berat untuk di topang akar, pada akhirnya terjatuh.
Dan kemudian...
“...Lima puluh...tiga...”
Dengan sekejap, teriakan goblin champion terkubur di bawah longsoran tanah dan menghilang.
*****
Tidak memakan waktu yang lama hingga semua telah selesai, seperti segalanya telah mati.
Tempat ini yang di mana sebuah debu coklat tebal mengambang di udara—apakah benar tempat ini sebuah gereja sebelumnya?
Sekarang, sisa-sisa apa yang menggambarkan tempat ini dulunya telah terselimuti oleh tanah dan puing dan batu dan runtuhan. Di tempat di mana langit-langit seharusnya, sekarang hanya terdapat akar pepohonan yang saling membelit. Cahaya matahari pudar—atau sekarang, cahaya akan bulan dan bintang—tersaring dari akar pepohonan.
Malam hari, awal musim panas. Bintang yang bersinar di atas konon merupakan mata para dewa memantau dari surga. Mereka menjaga tempat ini, namun sekarang tidak ada lagi yang dapat memberikan kesaksian akan penghuni sebelumnya.
Kecuali mungkin—hanya mungkin—mayat busuk goblin yang dapat terlihat di antara sela puing-puing.
....Tidak.
Terdapat sebuah cermin.
Di tengah-tengah gereja yang hancur di antara tumpukan puing-puing yang menggunung di mana altar sebelumnya berada. Pada puncak altar terdapat sebuah cermin raksasa, memantulkan cahaya bintang kembali ke angkasa.
Kemudian, terdengar sesuatu.
“Pfah!”
Sebuah suara yang manis, dan tumpukkan puing sedikit bergetar.
Sebuah batu di dorongkan ke samping, dan membuat sebuah terowongan sempit melewati tanah keluarlah...seorang gadis elf.
Dia adalah High Elf Archer, wajahnya penuh akan debu.
“Ma-masya Allah, Orc—Orcbolg! Apa sih yang kamu pikirkan?!”
Dia menggeliat layaknya kucing yang jatuh ke dalam air, telinganya terkulai lemas. Hanyalah sebuah lapisan debu tipis yang di deritanya. PrIestess, yang merayap setelahnya, menghela nafas lembut. Dia batuk beberapa kali, meludahkan tanah yang masuk dalam mulutnya.
“It-itu tadi mengagetkan sekali...”
“kamu bilang itu Mengagetkan?”
“Aku rasa aku sudah...cukup terbiasa sekarang.”
“Oh, demi—!”
High Elf Archer membantu Priestess berdiri, masih marah.
Mata Lizard Priest berputar di kepalanya melihat apa yang terjadi seraya dia merayap keluar; kemudian, dia duduk. “Puji Tuhan... Betapa beruntungnya bagi kita dapat memiliki cermin Gate pada saat yang tepat.”
Seraya dia menghela nafasnya, Dragontooth Warrior yang berada di sampingnya menggelengkan kepalanya.
Altar masih berdiri. Oleh sebab itu mereka semua masih dapat hidup... Namun terdapat satu hal yang aneh.
Tanah dan debu menumpuk di sekitar mereka, namun altar yang berada di tengah akan semua itu masihlah bersih.
Alasanya adalah cermin, yang sekarang sedang di pegang oleh Dragontooth Warrior seekor diri. Di tahan oleh sang Dragontooth dan Lizard Priest, cermin itu telah mengirim reruntuhan yang terjatuh melalui Gate. Karena jika tidak, para petualang akan mati sama seperti goblin yang ada di sekitar mereka.
“Cermin ini menyerap semua runtuhan itu. Sungguh sangat di sayangkan cermin ini begitu berat.” Lizard Priest berkata.
“Yah, kamu memang yang paling banyak berkontribusi, Scaly.” Dwarf Shaman merayap berikutnya dan duduk menghempas di samping Lizard Priest dengan tawa kecil. “Rasanya ini sedikit terlalu besar untuk jadi perisai ya!”
Dia akhirnya dapat minum tanpa gangguan. Tidak membuang waktu lagi untuk membuka tutup anggurnya dan meneguknya. Pipinya pucat akibat menguras mantranya yang telah membebani jiwanya, namun beberapa roh alkohol dengan cepat memulihkannya.
“Walaupun begitu, aku merasa sedikit nggak enak pada mereka yang ada di sisi lain.”
Hanya mereka yang purba yang mengetahui secara pasti bagaimana menggunakan artifak kuno ini dengan benar. Adalah mustahil untuk mengetahui siapa yang telah membawanya ke tempat ini. Namun tentunya ini merupakan penggunaan Gate yang salah.
Cermin ini menghubungkan sarang goblin dengan bawah tanah kota air—mengapa cermin ini menghubungkan ke reruntuhan itu?”
“Mungkin ini cara orang-orang berjalan waktu dulu. Eh, Beardcutter?”
“Nggak tertarik.”
Di sanalah Goblin Slayer.
Yang terakhir keluar dari tumpukan puing, dia tidak menunjukkan adanya rasa lelah, berbicara dengan tenang dan mekanikal. Dia terselimuti dengan debu dan cipratan darah, namun helm baja dan armor kulit kotornya tetaplah sama seperti biasanya.
Priestess yang akhirnya dapat berdiri dengan bantuan dari tongkatnya, memanyunkan bibirnya melihat dirinya.
“Beruntung banget kita nggak berada di bawa kota.”
“Kalau kita berada di bawah kota, aku akan pikiran cara yang lain.”
Priestess menggembungkan pipinya dengan menggerutu. Goblin Slayer, tentunya, tidak peduli.
Helm Goblin Slayer menoleh ke sini dan ke sana, memeriksa tempat ini.
Dia melihat wajah Priestess yang kelelahan, Lizard Priest dan Dwarf Shaman yang terlihat riang, yang semakin memerah seraya mereka minum.
Dan akhirnya, pada High Elf Archer, yang menatap tajam layaknya belati—atau mungkin panah—pada Goblin Slayer.
“Hei.” Goblin Slayer berkata.
“....Apa?”
“Nggak pakai api, nggak pakai air, nggak pakai racun, nggak pakai ledakan.”
Dia terdengar bangga akan dirinya sendiri.
Dalam cahaya bulan, sebuah senyum menghias wajah High Elf Archer. Sebuah senyum yang begitu bening dan indah seakan-akan terbuat dari kaca.
“Orcbolg?”
“Apa?”
“Dasar bego.” Dan dia memberikan tendangan yang membuat Goblin Slayer terjatuh kembali dalam puing-puing.