AIKO MENGGILA
(Translater : Elsa; Editor : Hirosuke Nagato)
Tiga hari sudah berlalu sejak Hajime dan
rombongannya meninggalkan UI.
Meskipun tadinya ada beberapa masalah yang
menyusahkan, seperti bagaimana cara menyingkirkan demonic beast, dan cara
memperbaiki tanah yang kasar, para penduduk kota pada akhirnya selamat. Hasil
yang bisa dibilang ‘keajaiban’. Kabar baik ini segera menyebar ke orang-orang
yang berlindung, kota pinggiran, dan bahkan Ibukota Kekaisaran. Penduduk yang
kembali sudah bertemu dengan keluarga dan orang-orang yang mereka kasihi. Beberapa
orang berpelukan dengan teman dekatnya, dan suka cita tentang keselamatan
mereka membungkus UI dalam suara gemuruh layaknya festival.
Dinding pelindung yang ditinggalkan Hajime
mengelilingi kota sebagaimana mestinya, dan orang-orang yang membicarakan
tentang rincian pertarungan itu memberi isyarat betapa hal itu melampaui akal
sehat--mirip dengan bagaimana para pendongeng bercerita tentang mitos sambil
melihat ke tanah kasar di luar dinding pelindung.
Mata orang-orang yang berlindung, terutama
anak-anak, terlihat berbinar-binar saat mendengar cerita itu. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan ini, para pedagang sudah memperhitungkan bagaimana
cara menghasilkan uang dengan membuat dinding pelindung milik Hajime menjadi
keahlian khusus kota yang baru.
Demikianlah, penduduk kota yang tidak tahu
apapun tentang Hajime dan Aiko percaya jika Hajime dan kelompoknya diutus oleh
“Dewi Panen yang Baik”, dan dinding Hajime dinamai “Perisai Sang Dewi” sebagai
bentuk penghormatan. Selain itu, Hajime—anak laki-laki berambut putih yang
memakai penutup mata--- disebut-sebut sebagai “Pedang Sang Dewi” dan “Kesatria
Sang Dewi” dengan hormat. Namun, lain cerita ketika David dan para Kesatria
lain, atau lebih tepatnya Kesatria Pengawal yang sebenarnya, mengingat apa yang
orang-orang katakan tentang Aiko dan Hajime. Mereka akan mengamuk dan
berteriak, ”Sesuai dugaan, aku membencinya!!!” Di masa yang akan datang, Hajime
akan kesakitan setiap mendengar namanya sendiri, tetapi itu kisah di lain hari.
Dia tidak mengira jika semua yang dia lakukan
membuatnya mendapat julukan-julukan memalukan, tetapi sesuai perkiraan Hajime,
reputasi dan popularitas Aiko meningkat dengan pesat. Ketika ia berjalan
melalui kota, semua orang akan mengalihkan pandangan dan memperhatikannya.
Diantara mereka, ada juga beberapa yang mulai memujanya sambil mengatakan
hal-hal seperti, “Berkatilah kami~”. Di kota ini, Aiko, yang sudah menyelamatkan
orang-orang, setidaknya tentu dianggap sebagai seorang “Dewi”. Kabar ini juga
sudah tersebar hingga kota-kota sekitar. Setidaknya, bisa dikatakan jika
kata-kata Aiko lebih bermakna daripada uskup Gereja, di kota UI.
Aiko yang diisukan itu telah… mendukung para
pemimpin kota dalam rekonstruksi kota, tetapi meskipun dia bertingkah ceria di
sekitar orang-orang terdekatnya, pikirannya tidak ada di sana. Alasannya adalah
dampak dari kebenaran mengejutkan yang diungkapkan Hajime sebelum pertarungan
itu. Tetapi di atas semua itu, adalah bagaimana Hajime membunuh Shimizu. Suasana saat itu memenuhi pikiran dan
menggerogoti hatinya.
Bahkan hari ini, sesudah mereka menyelesaikan
tugas harian dan saat makan malam, para pelajar dan Kesatria Pengawal sedang
makan di “Penginapan Water Fairy,” Aiko hanya memasukkan makanan ke mulutnya
dengan tatapan kosong menatap tempat lain tanpa benar-benar mendengarkan
percakapan orang-orang, hanya menjawab dengan jawaban yang sama.
“Ai-chan
sensei… Bagaimanapun juga sihir Ai-chan sensei memang luar biasa! Bahkan tanah
kasar itu pulih dengan cepat… Kelihatannya akan kembali normal dalam seminggu!”
“…Begitu ya… baguslah.”
Sonobe Yuka, yang memperhatikan pikiran Aiko
ada di tempat lain, sengaja mengajaknya bicara dengan ceria. Ia mencoba, entah
bagaimana menghibur Aiko, sebab ia tahu penyebab keadaannya menjadi seperti
ini. Tetapi, bahkan kata-kata Sonobe hanya dijawab dengan acuh tak acuh. Sonobe
mengangkat bahunya sambil mengatakan, “Masih gagal, huh~”.”
“Aiko…
apakah walikota atau uskup mengatakan sesuatu hari ini? Jika kau benar-benar
bermasalah dengan hal itu, aku tidak akan memaafkan
mereka karena menyakiti Aiko, meskipun dia uskup sekalipun. Bagaimanapun juga,
aku ini Kesatrianya Aiko. Tidak peduli kapanpun, hanya aku yang akan menjadi
teman Aiko.
“…Begitu ya… baguslah.”
Tidak ada yang tahu apakah David mengatakan
itu semua untuk menghibur Aiko atau merayunya. Ucapan tentang dia rela melawan uskup
benar-benar berbahaya mengingat posisinya sebagai Kesatria Pengawal, meskipun
hal itu mungkin tidak penting bagi David; sang pejuang cinta. Bagian ‘aku’nya
yang lebih ditekankan. Dalam urusan melawan siapapun... itu juga benar-benar dipertimbangkan
oleh para Kesatria disekitarnya, sementara mereka setuju dengannya sambil
mengarahkan tatapan tajam pada Sang Komandan yang dengan santainya mengatakan
semua itu.
Namun, daya tarik David yang ‘biasa’ itu
dengan mudah dikesampingkan seperti kata-kata suatu program TV yang berjalan
lama pada siang hari. Sangat diragukan apakah Aiko mendengarnya atau tidak.
Ekspresi wajah para pelajar seperti mengatakan “Rasakan itu~” kepada David yang
memerosotkan bahunya. Ekspresi yang sama juga terpancar di wajah para Kesatria
lain.
Tanpa mempedulikan semua itu, Aiko secara acuh
tak acuh meneruskan makannya tanpa menanggapi.
(…Jika, jika saja dulu aku lebih sering
berbicara dengan Shimizu-kun… Jika saja aku menyadari perasaannya lebih cepat…
Jika aku melakukannya, pasti hal seperti itu tidak akan terjadi… Jika, jika dia
mengandalkan teman-teman sekelasnya… Jika, jika saja aku tidak menjadi sandera…Jika
saja… aku mati… maka dia tidak perlu membunuh Shimizu-kun…
Kenapa dia membunuhnya… Meskipun mereka teman
sekelas… Apa itu hanya karena dia musuh?… Bisakah membunuh seseorang menjadi
mudah karena alasan semacam itu? Apakah membunuh orang lain itu hal yang
mudah?... Bagaimana bisa hal itu dilakukan secara wajar?...
Itu aneh… Manusia itu bukan demonic beast.
Bisa membunuh tanpa keraguan sedikitpun… Dia,… apakah dia orang yang bisa
membunuh manusia dengan mudah?... Jika aku meninggalkannya sendirian, akankah
dia menjadi berbahaya bagi anak-anak lain?... Akankah anak-anak lain aman
karena dia pergi?... Selama dia tidak… Kh?!? Apa yang kupikirkan barusan!?...
Hentikan. Tidak baik memikirkan ini lebih jauh!)
Saat ini, penyesalan dan pengutukan diri
terus terulang dalam pikiran Aiko… Hingga jika ia memikirkan hal itu secara
tidak sadar, rasa takut dan dendam kepada Hajime akan muncul, ia akan panik dan
menyangkalnya, dan sekali lagi ia kembali ke pikiran awal, mengulang semua
prosesnya. Ada terlalu banyak hal yang ingin ia pikirkan, dan juga ada banyak
hal yang tidak ingin ia pikirkan. Pikiran Aiko mirip seperti perpustakaan dengan
rak-rak buku yang hancur dan informasi berantakan tersebar kacau di sekitarnya.
Tiba-tiba, suara yang tenang dan hangat
mencapai Aiko. “Aiko-sama. Tentang hidangan hari ini, apakah tidak sesuai
dengan selera Anda? ”
“Eh?”
Itu adalah suara Foss Selo, pemilik
“Penginapan Water Fairy.” Suaranya tidak bisa dibilang keras, bahkan cukup
pelan. Namun, tidak ada seorangpun di penginapan itu yang tidak mendengar
kata-kata Foss. Suaranya yang tenang tidak akan gagal mencapai siapapun. Bahkan
sekarang, Aiko yang pikirannya terperangkap dalam pusaran pikiran dengan mudah
mendengar kata-katanya, dan itu membuat kesadarannya kembali ke dunia nyata.
Ketika sadar ia berteriak dengan suara yang
keras dan aneh, pipi Aiko sedikit memerah sementara berbalik ke arah Foss yang
tersenyum.
“U-Umm apa tadi? Maaf, aku melamun sejenak.”
“Tidak, tidak, jangan khawatir. Saya hanya
mengira hidangannya tidak sesuai selera Anda karena Anda tidak terlihat senang.
Jika begitu, saya berpikir untuk mengantarkan hidangan lain…”
“T-tidak perlu! Makanannya sangat lezat. Aku
hanya sedang memikirkan sesuatu tadi…”
Meskipun Aiko bilang masakannya lezat, ia
sendiri tidak ingat bagaimana rasanya. Ketika ia melihat sekelilingnya,
murid-muridnya dan para Kesatria menatapnya dengan ekspresi yang agak cemas. Ia
menyadari apa yang mereka pikirkan, ia pikir sebaiknya tidak melanjutkan
tingkah lakunya sementara menenangkan diri dan melanjutkan makannya. Namun, ia
tersedak dan panik ketika makanan memasuki paru-parunya.
Karena Aiko batuk dan matanya berair, para
pelajar dan Kesatria panik. Melihat situasi ini, Foss dengan santainya
menyiapkan serbet dan air.
“M-maaf merepotkan-…”
“Sama sekali bukan masalah.”
Meskipun Foss melihat kesalahan Aiko, dia
tetap tersenyum dan itu membuat Aiko berterimakasih dan lega. Melihat keadaan
Aiko, Foss mengecilkan matanya dan terpikirkan sesuatu. Dia berbicara dengan
suara halus dan tenang.
“Umm. Aiko-sama. Mungkin terdengar lancang,
bolehkah saya menanyakan sesuatu?”
“Eh? Ah, ya. Apa?”
”Mengapa Aiko-sama tidak bisa mempercayai apa
yang Anda percayai?”
“Heh?”
Tidak dapat memahami kata-kata Foss, Aiko
memiringkan kepalanya seraya tanda tanya muncul di atas kepalanya. Karena tu,
Foss melanjutkan dengan senyum masam, “Sepertinya kata-kata itu masih kurang.”
“Tampaknya, saat ini pikiran Aiko-sama dalam
kebingungan yang serius. Ada terlalu banyak hal yang ingin Anda pikirkan, ada
juga hal-hal yang tidak ingin Anda pikirkan, dan Anda tidak tahu harus
melakukan apa. Yang terbaik adalah melakukan apa yang ingin Anda lakukan,
meskipun Anda masih tidak yakin apa yang ingin Anda lakukan. Ada banyak hal
yang tidak Anda pahami, yang mana hanya meningkatkan ketidaksabaran, dan
menjadi dorongan menuju lingkaran setan kebingungan. Apakah saya salah?”
“B-bagaimana…”
Karena dia bisa menebak dengan tepat sesuai
apa yang ia pikirkan, Aiko seketika kehabisan kata-kata. Melihat reaksinya,
Foss tersenyum dan menjelaskan dengan tenang, “Bagaimanapun juga, saya sudah
bertemu banyak tamu.”
“Pada saat seperti ini, lebih baik jika
‘mempercayai apa yang ingin Anda percayai’. Tetapi sekali lagi, orang akan
mengabaikan sesuatu jika mereka hanya mempercayai apa yang mereka inginkan,
kata-kata itu juga datang dengan peringatan seperti ini. Kata-kata ini benar.
Karena itu, saya merasa ketika seseorang tidak bisa ‘bangkit dari
keterpurukan,’ ‘mempercayai apa yang ingin dipercayai’ bukan hal yang buruk
juga.”
“…Mempercayai apa yang ingin kupercayai.”
Aiko merenungkan kata-kata Foss. Pikiran Aiko
saat ini dipenuhi penyesalan dan rasa bersalah yang menjadi kuncup keraguan
akan Hajime sementara rasa kebenciannya berputar-putar. Hajime pastinya murid
yang penting bagi Aiko, tetapi Shimizu yang juga penting baginya dibunuh.
Ketika ia mengerti dia adalah seseorang yang akan mencabut siswa lain dari
kehidupan mereka tergantung situasinya. Ia melihat Hajime sebagai ancaman yang
akan merampasnya dari orang-orang yang penting baginya. Meski begitu, Hajime
juga muridnya, ia tidak bisa menyingkirkannya begitu saja. Alasannya sama
mengapa ia tidak bisa begitu saja meningalkan Shimizu, yang telah mencoba
melakukan pembunuhan massal. Karena itu ia bingung karena tidak tahu harus
bagaimana. Meskipun Aiko sendiri berpikir ia mempunyai sifat yang rumit, dia
tidak bisa menahannya. Bagaimanapun Hatayama Aiko adalah seorang ‘guru’.
Foss tidak tahu apa yang sudah terjadi pada
Aiko. Dia tidak tahu jika ia, pada saat tertentu, terlalu percaya pada apa yang
ingin ia percayai. Meski begitu, dia bisa melihat ia telah melakukan kesalahan
besar karena ia tidak bisa ‘bangkit’ setelah apa yang ia yakini telah runtuh.
Selagi dia tenggelam ke dalam pikirannya,
Aiko berhenti memakan makanannya dan mulai terserap dalam pikirannya.
(Mempercayai apa yang ingin aku percayai.
Bagaimana ya… apa yang ingin aku percayai? Salah satunya aku ingin semua siswa kembali
ke Jepang. Namun, itu tidak bisa dipenuhi lagi. Sekarang apa yang ingin aku
percayai adalah agar bisa kembali pulang tanpa kehilangan apa-apa lagi…
Ceritanya. Cerita ketika seorang teman
sekelas mencoba membunuhnya. Aku tidak ingin mempercayainya…dia bahkan berkata
akan membunuh kami jika menghalanginya. Kepada manusia yang membunuh seseorang
tanpa ragu… Kepada musuh yang mengancam para siswa…
Meski begitu, aku tidak ingin mempercayai hal
itu. Walaupun begitu, dia benar-benar membunuhnya… Membunuh Shimizu-kun tanpa
tanda-tanda keraguan. Karena itu dia sudah… tidak, aku harus percaya pada yang
ingin kupercayai.)
Aiko menutup matanya sementara ia mencoba
menahan perasaan gelap yang muncul kembali. Orang-orang sekitar menatapnya
dengan cemas saat ia sedikit bergerak sambil memikirkan sesuatu.
(‘Karena dia musuh’ adalah apa yang dia
katakan, dan ‘aku tidak punya waktu untuk itu’. Dia juga takut Shimizu-kun akan
menyerangnya dan orang-orang yang penting baginya sekali lagi jika dia
membiarkannya hidup. Hal itu bisa terpikirkan oleh siapapun.
Pada kenyataannya, Yue-san dan Shia-san tidak
akan terlalu percaya padanya jika dia adalah orang yang kejam. Dia hanya ingin
memutus sumber kecemasan untuk masa depan anak-anak itu… Karena itulah dia
tidak bisa membiarkannya hidup. Dengan kata lain, dia berpikir aku tidak bisa
melakukan apapun tentang Shimizu-kun…
Dengan membiarkan Shimizu-kun hidup berarti
setidaknya aku harus membuktikan padanya kalau aku bisa merubah Shimizu-kun
menjadi lebih baik, yang mana tidak kulakukan… Pada akhirnya, aku tidak
berdaya…Shimizu-kun… Meski begitu, dibunuh dengan cara seperti itu…artinya
Shimizu-kun sudah semakin lemah---…Kh.)
Ada alasan jelas kenapa Hajime menembak mati
Shimizu. Dia bukan manusia ‘rusak’ yang tidak bisa memikirkan hal lain selain
membunuh. Dia bukan monster yang tidak bisa dimengerti. Dia bukan musuh yang
membabi buta membahayakan siswa. Aiko memutuskan untuk mempercayainya karena
dia adalah ‘siswa’, dan kata-katanya masih bisa tersampaikan padanya. Dengan
proses berpikir seperti itu, ia mengingat kembali adegan mengejutkan dimana
seorang siswa menembak siswa lain hingga mati, dan ia mencoba mencari alasan di
baliknya.
(Benar. Aku sudah melupakannya sampai
sekarang. Pada awalnya, akulah yang memintanya membantu Shimizu-kun yang sedang
sekarat, dan inilah hasilnya. Shimizu-kun akan tetap mati walaupun dia tidak melakukan
apapun. Tidak perlu baginya untuk dengan sengaja menembaknya! Jadi kenapa?!
Kenapa dia melakukannya? Untuk memastikan dia sudah mati? Tidak, dia tidak
perlu melakukan itu. Hidup anak itu hanya tersisa beberapa menit, karena itu
aku meminta bantuannya, tetapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Lagipula
tidak ada yang bisa kulakukan… Shimizu-kun ditembak karena aku--- Kh!?)
Aiko membuka matanya lebar-lebar. Ia terkejut
akan kenyataan yang baru saja ia sadari.
(…Benar. Shimizu-kun menerima luka dari
serangan yang ditujukan padaku. Jika tidak ada yang dilakukan saat itu, aku
pasti sudah mati. Dia mati karena
salahku! Tetapi semua orang yakin Shimizu-kun dibunuh olehnya! Dialah yang
meyakinkan kami tentang hal itu!)
Itu salahnya, ialah yang membunuh muridnya
sendiri. Seperti yang ditakuti Hajime, Aiko akhirnya menyadari kebenaran dan
memucat dalam sekejap. Kehadiran muridnya adalah pilar pendukung Aiko.
Kenyataan bahwa ia adalah penyebab kematian salah satu muridnya menghancurkan
pikiran Aiko. Dampak dari kenyataan itu membuat pikirannya secara tidak sengaja
menghidupkan mekanisme pertahanannya, dan pikiran Aiko menjadi kosong. Dengan
pandangannya terbungkus dalam kegelapan, dia berpikir untuk menyerahkan dirinya
pada kegelapan. Namun, kata-kata Hajime kembali membangkitkan pikirannya.
“Jika bisa, tolong jangan kehilangan
semangat.”
Saat itu, ia tidak bisa memahaminya karena
dampak yang berurutan. Meskipun sulit untuk memikirkan arti dibalik kata-kata
itu, artinya sederhana jika ia berpikir cukup keras.
(Jika, jika dia mengatakan itu karena sudah
memprediksi keadaanku… Tidakkah dia mengkhawatirkanku?... Aku, dia sadar jika
aku akan hancur karena menyadari akulah penyebab kematian Shimizu-kun. Itulah
alasan kenapa dia menembaknya… untuk meyakinkan ku kalau dialah yang
membunuhnya…supaya aku tidak hancur karena rasa bersalah… agar tetap menjadi
guru…)
Aiko memahami penilaian Hajime. Karena itu,
ia tidak mengira semua itu dilakukan hanya untuknya. Meskipun begitu, tidak
bisa dipungkiri bahwa Hajime bertindak terlalu cepat karena memikirkan Aiko.
Penutupan pintu pikiran Aiko segera terhenti tepat sebelum benar-benar
tertutup, dan mulai terbuka perlahan sekali lagi. Pandangannya yang sempit
kembali meluas. Meskipun masih ada rasa dingin selayaknya musim terdingin dalam
pikirannya, tapi di saat yang sama, pastinya ada api kecil yang hadir disana.
(Kelihatannya
dia melindungiku… Tidak, bukan hanya dia, tetapi banyak orang sudah
melindungiku. Bahkan sekarang anak-anak ada disisiku, melindungku. Aku hanya
berpikir untuk melindunginya, tetapi tidak sadar jika aku juga sedang
dilindungi… Aku tidak dewasa. Sekarang bukan saatnya bagiku untuk mencoba
melakukan semuanya sendiri…)
Aiko memasang ekspresi yang tegas. Namun, isi
pikirannya yang melibatkan Shimizu-kun dan kenyataan bahwa ialah alasan kenapa
dia dibunuh tidak akan menghilang dari sisa hidupnya. Meskipun begitu, ia tidak
bisa hanya berdiri diam karena ada siswa yang memuja dan mengandalkannya
sebagai guru mereka; para siswa tidak ingin seperti itu. Aiko memperbarui
sumpahnya untuk melakukan apa yang bisa ia lakukan sebagai seorang ‘guru’,
bahkan meskipun dunia sudah berubah. Selain itu, ia juga mengukir dalam
pikirannya untuk tidak membiarkan impiannya saat ini terguncang. Tanpa
keraguan, sudah ada rasa takut atau dendam terhadap Hajime.
(Dia
orang yang ceroboh… Dia mengerti aku akan menyimpan dendam terhadapnya, atau
bahkan mungkin menjadi musuhnya… Sekarang jika aku memikirkannya, dia menerima
kata-kataku dan kelihatannya dia memikirkan itu baik-baik… Mungkinkah ini
caranya membalas budi?
Ketika kupikirkan kembali, selama ini aku
hanya terus diselamatkan olehnya. Dia mengatakan yang sebenarnya, dan pada
akhirnya hingga menyelamatkan kota. Ditambah lagi, saat pertarungan itu, dia
menepati janjinya dan membawa Shimizu-kun kembali. Jika aku mempertimbangkan
kembali itu semua, rasanya aku keterlaluan. Aku hanya membicarakan impianku…
dan mendesaknya…Aku benar-benar tidak dewasa. Meskipun begitu, dia
menyelamatkan kita semua…meskipun cara berpikirnya terkesan dingin…Kelihatannya
beberapa bagian pada dirinya yang dulu masih tersisa… Tidak, setidaknya, dia
mendapatkannya kembali, kan? Mungkinkah karena gadis-gadis itu?)
Sekali lagi, Aiko tersenyum masam ketika ia
berpikir tentang berhutang budi padanya. Meskipun ketidakdewasaannya itu
terkesan memalukan sebagai seorang guru, ia tersenyum mengingat Hajime yang
mempunyai status lamban pada awalnya, dan berubah menjadi pria yang benar-benar
bisa diandalkan. Jadi, meskipun Hajime sudah berubah, ia senang ketika melihat
sekilas tentang jati dirinya yang sebelumnya.
Namun, pada saat itu ia mengira alasannya
adalah Yue dan Shia, gadis-gadis yang selalu dekat dengan Hajime. Entah kenapa
Aiko merasakan sakit di hatinya. Aiko menyondongkan lehernya, tetapi ia segera
menganggap itu semua hanya imajinasinya saja.
(Kebetulan, aku masih belum berterimakasih
pada Shia-san yang telah melindungiku. Padahal aku berhutang nyawa padanya…
Lain kali, aku harus memastikan telah berterimakasih padanya dengan benar…Dan
lagi, aku juga berhutang nyawa padanya…)
Aiko membayangkan tentang racun dan
pengembangan yang hebat itu. Ia belum berterimakasih pada Shia, dan juga
penyokong hidupnya yang lain, Hajime. Baru sekaranglah saatnya ia mengingat
kembali sesuatu yang tertutup di ujung ingatannya, dan ia tersipu seperti ada
api yang keluar dari wajahnya.
(I-Itu hanya nafas buatan! Hanya untuk
menyelamatkan nyawa orang! Sama sekali tidak lebih dari itu! B-bukan berarti
hal intens seperti itu adalah pertama kalinya bagiku. Aku tidak pernah merasa
nyaman karena itu! Ya, aku sama sekali tidak pernah menganggapnya begitu!)
Ketika ia memikirkan alasan kenapa wajahnya
memerah, tiba-tiba Aiko mulai memukul-mukul meja. Ia terus mengulang alasannya,
tanpa ditujukan pada siapapun.
Dan juga, meskipun Aiko sudah dewasa, ia
tidak berpengalaman dalam hak percintaan. Meski begitu, memang benar dengan
penampilan cantik, ucapan, dan perubahan perilakunya, menjadi seperti seseorang
yang benar-benar jatuh cinta. Lagipula, di Jepang, hanya ada pria baik-baik
yang memperlakukannya dengan serius karena penampilannya yang seperti remaja.
Aiko tahu ada banyak pria yang berpikir bahwa ia cantik, tetapi kebanyakan dari
mereka hanya berakhir sebagai teman karena tidak ada satupun dari mereka ingin merasa
malu karena diberi label sebagai sesuatu yang diawali dengan ‘C’.
Karena di dunia ini tidak aneh untuk menikah
saat di usia awal remaja, tidak ada yang terganggu dengan tubuh pendek dan
wajah kekanak-kanakan Aiko; yang disebut juga penampilan ‘gadis kecil’. Jadi
meskipun David dan Kesatria lain memang serius,…pengalaman kecil dalam cinta
dan perawakan kecilnya membuatnya yakin tidak akan ada pria yang tertarik
padanya, karena ia bahkan tidak menyadari panggilan cinta yang dengan jelas dikirim
oleh orang-orang dari dunia yang berbeda ini.
Demikianlah, penyelamatan nyawa dari mulut ke
mulut yang diberikan Hajime cukup memberi dampak bagi Aiko. Ia menenangkan
pikirannya, dan sekali lagi mengingat hal-hal yang tidak akan keluar dari isi
kepalanya.
(…Lagipula,
dia sudah memiliki pacar bernama Yue dan Shia…Sudah ada dua orang, jadi tidak
masalah kan jika bertambah satu lagi. Apa yang baru saja kukatakan?! Aku
seorang guru! Dia seorang siswa! Tunggu, bukan itu masalahnya! Bukan berarti
dia menganggapku seperti itu! Selain itu, entah bagaimana dia bisa berselingkuh
dengan santainya! Hubungan seksual yang terlarang! Itu tidak tulus! Rasa cinta
seharusnya hanya untuk satu orang!... Memiliki dua sekaligus… Kh, tidak tahu
malu! Aku tidak akan mengizinkan hubungan yang tidak bermoral seperti itu!
Hmph, aku tidak akan mengizinkannya!)
Suaranya memukul-mukul meja menjadi semakin
keras.
(… Tetapi perasaannya kepada Yue-san cukup
istimewa. Meskipun gayanya tidak jauh berbeda dariku… Mungkinkah d-dia suka
wanita yang seperti anak kecil? S-seperti aku, misalnya? Tidak, tidak, tidak,
apa yang kupikirkan! Memangnya kenapa jika aku tahu seleranya! Lagipula, dia
delapan tahun lebih muda…Sekarang jika dipikir-pikir lagi, bukannya orang-orang
dari ras Vampir seperti Yue-san bisa memiliki umur panjang? Dengan kata lain,
dia suka wanita lebih tua yang terlihat seperti anak kecil? Tunggu, memangnya
kenapa jika aku tahu soal itu! Sadarlah, Hatayama Aiko! Kau adalah guru! Dia
siswa! Kau didiskualifikasi sebagai seorang guru jika sedikit ciuman membuatmu gugup!)
Mungkin karena sudah lelah memukul-mukul
meja, ia memegangi wajah dengan kedua tangannya, mulai menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil berkata ‘Tidak, tidak’, sekali lagi, ia memukuli meja,
dilanjutkan lagi dengan kata ‘Tidak, tidak’, dan akhirnya ia berteriak “aku
seorang guru---!!,” sementara memukulkan kepalanya ke meja.
Sesuai dugaan, bahkan para siswa dan Kesatria
Pengawal; gerombolan yang mencintai Aiko, terkejut melihat perilaku anehnya.
Ketika Foss memperhatikan Aiko yang memulai pertunjukan tunggal, dia berkata,
“Astaga, kelihatannya Anda sudah ceria kembali,” dengan senyum tenang yang
tidak berubah. Benar-benar orang yang berhati besar.
Setelah itu, Aiko mampu memahami perasaannya
terhadap Hajime tentang ini dan itu, dan menyimpulkan sendiri bahwa itu semua
hanya keragu-raguan sementara yang disebabkan oleh emosi yang tidak stabil.
Jadi, tidak ada perubahan, Hajime adalah muridnya. Sementara itu, penting untuk
mengirim informasi tentang Hajime ke manajemen puncak di Gereja Orang Suci dan
Kerajaan, ia juga harus siap untuk melindungi Hajime dari mereka dalam keadaan
darurat, karena ia bertekad untuk kembali ke kerajaan.
Aiko tidak menyadarinya. Suatu hal mengenai Hajime
tidak ia selesaikan, ia hanya menahannya. Sementara ia menyebut para siswa
sebagai “anak itu,” hanya Hajime yang ia sebut “dia” dalam pikirannya.
Demikianlah, perasaan itu mulai memunculkan
tunasnya. Ketika pada akhirnya Aiko semakin menyadarinya di masa yang akan
datang…
8 Comments
mantap min lagsung up dua BAB....:)
BalasHapusTerima kasih update nya KimiNovel. Saya harap jadwal upate nya bisa tetap.
BalasHapusnice berat di awal kocak di akhir wkwkkw
BalasHapusMin kok tulisan nya itemsih
BalasHapusyang item tuh latarnya, tulisannya putih kali
HapusMantap Min
BalasHapusMILF loli
BalasHapusNambah lg deh haremnya
BalasHapusPosting Komentar