PERCAYALAH, AKU BUKAN KAKAK YANG BEJAT!
(Author : Deddy Z)
Aku menatap langit di luar jendela mobil, warnanya mulai menghitam bertabur kilapan-kilapan putih kecil yang indah.
Jam digital di bagian depan mobil menuliskan angka 06.47 PM.
Tadi kami janjian ketemu di pertigaan BDB (Bojong Depok Baru) jam 11.00 AM. Untuk sebuah kencan palsu, menurutku ini makan waktu sangat banyak. Tapi daripada disebut kencan, mungkin kata perbudakkan lebih tepat, karena yang makan waktu paling banyak adalah ketika belanja, dan selama itu aku jadi troli berkaki untuk Cynthia.
Sepanjang jalan cewek dengan rambut cokelat panjang yang halus itu terus duduk melamun, diam seperti patung dewi yang biasa jadi sesembahan orang-orang di peradaban kuno.
Mungkin ia menyesali pilihannya membuang Reza, atau mungkin pilihan itu terlalu berat untuk diterima hatinya.
Sudah menjadi insting alami seorang pria, ketika melihat wanita nampak murung, ia ingin menghibur guna mengusir kesedihan si wanita.
Akan tetapi menghibur bukan bakat yang dimiliki semua orang. Aku adalah salah satu yang nggak terbagi bakat itu, jadi aku memilih diam saja karena nggak tau juga harus ngomong apa.
“Rumah kamu dimana, Alan?” tiba-tiba Roni bersuara.
“Eh? Mau anter sampe rumah?” tanyaku.
“Iya. Kenapa nggak? Tadi Alan dateng naik angkot 31 kan? Angkot 31 jam segini udah jarang.”
“I-iya sih.”
Aku berpikir sejenak.
“Ah, anter sampe pertigaaan BDB aja, Mas Roni. Dari situ saya bisa jalan sendiri ke rumah.”
“Rumah Alan deket dari pertigaan situ?”
“I-iya. Nggak jauh kok.”
Aku berbohong. Sebenarnya aku masih harus jalan lumayan jauh. Tapi kalau Tiara melihat kakaknya yang biasanya jarang bergaul ini tiba-tiba pulang bersama cewek cantik, dan menaiki mobil mewah begini, aku harus jelasin apa sama adikku itu?
Daripada repot, lebih baik aku ambil aman.
“Anter sampe rumahnya aja, Roni,” Cynthia yang sejak tadi diam kini ikut bicara.
“Mak l—Cy-Cynthia? Kamu udah nggak apa-apa?” Tanyaku kaget.
“Apanya yang nggak apa-apa?” Cynthia memasang muka bingung.
“Daritadi kamu diem terus, aku kira kamu lagi meratapi kesedihan.”
“Kenapa kamu jadi sok perhatian gitu sama aku?” mata berwarna hijau zamrud Cynthia memberi tatapan sinis.
“Hah? Emangnya salah kalo aku sedikit merhatiin kamu?”
“Kalo diperhatiin sama cecurut cabul kayak kamu, badanku jadi berasa nggak aman,” sambil menjauhkan badannya Cynthia melingkarkan tangan memeluk dirinya sendiri. Seperti sedang melindungi diri.
“Sialan. Nyesel aku merhatiin kamu, dasar Mak Lampir,” aku berkata begitu sambil memalingkan wajah.
Ups. Aku kelepasan ngejek Cynthia di depan bodyguard-nya. Gawat. Aku bisa dipukuli.
Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti mobil.
Roni nggak komentar apa-apa. Dia nggak marah? Mungkin karena Cynthia juga ngejek aku, jadi dia menganggapnya wajar kalo aku mengejek balik. Kalau tau begitu, buat apa aku menahan diri dari tadi?
“Oi, Cecurut,” Cynthia memanggil.
“Apa? Kamu mau ngejek aku lagi?”
“Lihat sini sebentar.”
“…?”
Aku menoleh kembali ke arah Cynthia. Namun laju kepalaku terhenti karena pipiku menabrak sesuatu yang lembut. Sebuah jari, jari telunjuknya Cynthia.
“Hahahahaha. Ternyata ngerjain orang itu asik ya. Pantesan aja orang-orang suka,” Cynthia tertawa senang.
“Kutu kupret!”
“Hahahahaha.”
Kesal. Aku enggan mengomentari lebih lanjut. Kok dia jadi kesenengan gitu sih? Kemana muka murungnya yang tadi?
“Dari sini kemana, Alan?” Roni bertanya.
Heran. Aku lalu melihat keluar jendela. Tanpa kusadari ternyata kami sudah sampai di pertigaan BDB.
“Ah. Yaudah aku sampe sini aja ya. Bye.”
Hendak membuka pintu, tiba-tiba bajuku ditarik.
“Kamu mau kemana, Cecurut?”
“Pulang lah. Emang kemana lagi?”
“Kamu tadi kesini naik angkot kan? Masa mau pulang jalan kaki?”
“Kenapa kamu jadi sok perhatian gitu sama aku?” Aku membalas kata-kata Cynthia tadi.
“Ikh, jangan kepedean ya! Aku cuma mau menyelesaikan tugas aku nganter kamu, masa mau setengah-setengah.”
“Aku bisa naik angkot.”
“Daripada naik angkot mending aku anter sekalian.”
Aku berpikir. Sebenarnya pilihan ikut dengan Cynthia ini jelas sekali menguntungkan. Soal Tiara… kalau diingat-ingat, adikku itu bukan anak yang pintar, maksudku, secara akademis Tiara lumayan pintar, bahkan nilainya lebih bagus dari kakaknya (mungkin nilaiku saja yang jelek), tapi secara logika berpikir, dia sangat kurang. Kalau kubilang mobil ini adalah terobosan angkot model baru, mungkin dia akan percaya.
Ya. kubilang begitu aja.
Aku pun membatalkan niat turun. Cynthia melepas tangannya dari bajuku.
Kuberitahukan alamat rumah kepada Roni lalu mobil pun kembali melaju.
Sesampainya di rumah, aku melihat suasana rumah yang begitu sepi. Bahkan lampunya nggak menyala. Apa Tiara lagi nggak di rumah?
Turun dari mobil, aku melihat pagar besi yang terpasangi gembok. Nampaknya Tiara memang lagi nggak di rumah.
“Di rumah kamu nggak ada orang, Cecurut?” tanya Cynthia yang ikut turun dari mobil.
“Iya. Kayaknya lagi nggak ada.”
Aku lalu mengambil kunci yang kutaruh di dalam dompet. Tiara dan aku memang selalu membawa kunci masing-masing. Lalu aku bersiap membuka gembok yang tergantung di pagar.
“Orang tua kamu kemana?” Cynthia bertanya lagi.
“Lagi nggak di rumah.”
“A-apa kamu selalu tinggal sendirian?”
Aku mendengar sebuah nada bicara yang sentimentil. Merasa terganggu dengan nada berbelas kasihan itu, aku menoleh pada Cynthia.
“Kamu pulang sana. Ngapain masih disini?”
Cynthia nampak berpikir.
“Aku mau bertamu.”
“B-bertamu!?” Kaget aku mendengarnya.
“Iya, boleh kan?”
“Berapa lama kamu mau bertamu?”
“Sampe orang tua kamu pulang.”
“Kamu mau bertamu selama sebulan?”
“S-sebulan!?” Cynthia memasang muka terkejut.
Ups. Aku jadi kelepasan bicara.
“P-papa kamu kerja apa, Cecurut!? Kok bisa sebulan nggak pulang?”
Tuh kan. Cynthia jadi banyak tanya. Aku nggak mau cewek ini menaruh belas kasihan sama aku. Nanti aku jadi semakin susah buat lepas dari dia.
Ah, lebih baik aku langsung masuk aja.
“Dah dulu ya. Aku capek, mau tidur. Bye!”
Segera aku masuk lalu menutup pintu pagar.
“Oi! Cecurut! Kok kamu gitu sih! Jawab dulu dong pertanyaan aku!”
Aku mengabaikan Cynthia. Tanpa menoleh padanya aku membuka kunci pintu rumah lalu masuk melewatinya. Kemudian aku menutup pintu rapat-rapat.
Ah. Akhirnya ini selesai. Hariku sangat melelahkan. Yang kuinginkan sekarang cuma beristirahat dengan tenang.
Oh, kasur. Kau terlihat begitu indah nan menawan, ingin rasanya aku langsung melemparkan diriku ke atas dirimu. Begitu yang kulakukan ketika sudah masuk ke kamar.
Energi dalam tubuhku terasa habis. Seiring mataku tertutup, pelan-pelan kesadaranku menghilang sampai akhirnya aku tertidur.
Nggak tau berapa lama aku tidur, aku bangun karena mendengar suara berisik dari arah ruang tengah.
Masih setengah sadar aku terduduk di atas kasur. Lalu dengan sendirinya pandanganku beralih menuju jam yang tergantung di dinding. Sudut jarumnya membentuk jam setengah sepuluh.
Di luar jendela kamar, aku melihat langit yang gelap. Aku cuma tidur sebentar ya? Sempat aku mengira jam setengah sepuluhnya itu di pagi hari.
Telingaku menangkap suara perempuan sedang mengobrol di ruang tengah. Seperti obrolan yang amat seru.
Aku bisa mengenali kalo suara itu adalah dari Tiara, tapi, siapa suara yang satunya lagi?
Perasaanku nggak enak. Penasaran, segera aku bergegas bangun untuk memeriksa.
Aku mengintip dari pintu kamar. Disana anak perempuan berusia 14 tahun dengan rambut hitam yang panjangnya sedikit melebihi bahu sedang duduk di atas bangku.
Dari sudut pandangku, aku nggak bisa liat mukanya, tapi aku bisa dengan jelas mengenali kalo itu adikku, Tiara.
Ia lagi ngobrol sama satu cewek yang tadi nggak kuizinkan masuk kesini, yaitu Cynthia.
Kenapa Cynthia tiba-tiba ada di dalam?
Sepertinya banyak hal terjadi selama dua setengah jam yang hilang dari hidupku.
Tapi aku mau dengerin dulu mereka lagi ngomongin apa sih? Kayaknya seru banget.
“Ternyata si Cecurut itu orang yang kayak gitu, ya? Aku bener-bener nggak nyangka.”
“Iya, Kak. Nggak cuma itu, kadang juga pas Tiara lewat kamarnya Kak Alan, dari dalamnya kedengeran suara desahan aneh,” dua cewek itu sepertinya lagi ngmongin aku, “Trus waktu Tiara nguping ke pintunya, samar-samar kayak ada suara ‘ahh, Tiara... kamu emang adik kakak yang paling imuttt,’ gitu, Kak.”
“K-kalo gitu kamu harus hati-hati sama kakak kamu itu, Tiara! Jangan sampe kamu jadi korban kebejatan kakak cabul itu!”
“Ahahaha, nggak ko. Nggak apa-apa. Kalo sama Kak Alan, Tiara udah biasa.”
“Ud-udah biasa!?” Ekspresi Cynthia langsung berubah kaget.
Heh?
Tunggu…
Sebentar...
Apa yang…
Apa-apaan itu!? Apa selama ini adikku selalu bercerita begitu tentang kakaknya kepada orang lain?
Itu semua fitnah! Aku nggak pernah ngelakuin hal bejat kayak gitu! Aku harus berhentiin mereka sebelum topik pembicaraannya semakin ngawur.
Dengan pelan aku melangkah mendekat. Adikku yang menghadap berlawanan arah denganku nggak sadar kalau kakaknya saat ini berdiri tepat di belakangnya.
Sementara itu Cynthia berpura-pura nggak melihat, tapi sikapnya jadi resah. Ia menyelipkan tawa yang dipaksakan ketika mendengar cerita aneh Tiara tentang kakaknya.
“Ya namanya juga cowok, Kak. Di dalam diri mereka itu ada monster yang susah buat dikendalikan. Sebagai adik yang baik, Tiara harus bantuin Kak Alan buat ngejinakin monster itu!” Tiara membanggakan diri. Jujur aku heran apa yang lagi ia banggain.
“Monsternya itu panjang, ya?” Kataku menyela.
Sontak Tiara terkejut seperti ingin melompat. Perlahan ia menolehkan kepalanya ke belakang, menampakkan wajah manis yang ketakutan.
“Eheheheh, ng-nggak cuma panjang, Kak. Tapi juga besar.”
Napas panjang kuhela, setelah itu dengan cepat aku menarik tangan Tiara seraya menyuruhnya ikut. Tapi adikku langsung melepas sambil membuat teriakan kecil berbunyi ‘Kya!’
“K-kalo Kak Alan minta tiba-tiba begitu, Tiara nggak siap, Kak,” Tiara memasang muka malu-malu sambil menutupi mulut dengan lima jari yang tertekuk.
“Udah ayo ikut Kakak!”
Kali yang kutarik adalah daun telinga yang terselip di antara helaian rambut hitam Tiara.
“Adu-du-du-duh! Sakit, Kak Alan! Pe-pelan-pelan dong!”
“O-oi! Cecurut! Kamu mau bawa Tiara kemana!?” Cynthia memarahiku.
“Kamu diem disitu aja, Mak Lampir! Ini masalah pribadi antara adik dan kakak!”
Setelah berkata begitu aku terus membawa Tiara sampai ke dapur. Lalu dengan nada serius aku bertanya.
“Tiara. Kamu pulang jam berapa?”
“Adu-du-duh, sakit tau, Kak Alan. Kuping Tiara jadi merah nih.”
Tiara meringis dengan nada manja. Ia mengelus-elus kuping kirinya dengan tangan yang mungil.
“Emang kamu bisa liat kuping kamu itu warna apa? Udah, jawab aja pertanyaan Kakak!”
“Nggak mau! Kak Alan jahat sama Tiara!” Tiara membuang muka.
Ah. Aku salah mengambil sikap buat menghadapi adikku ini.
Paksaan cuma akan bikin Tiara semakin keras menolak.
Aku harus sabar.
Sabar…
Tenangkan dirimu, Alan…
Kuhela napas sejenak, menciptakan suara ‘hah’ yang mungkin memberi bau tak segar kalau dihirup.
“Iya deh. Kakak minta maaf ya. Tadi Kakak kebablasan. Abisnya kamu ngeselin ngomong begitu ke si Mak Lampir itu.”
“Kenapa Kak Alan manggil dia Mak Lampir? Tadi Kak Cynthia juga manggil Kak Alan Cecurut. Apa itu semacam panggilan sayang?” Dengan polosnya Tiara terlihat penasaran.
“Nggak. Itu cuma panggilan ejekan karena Kakak males nyebut namanya. Dia juga pasti sama.”
“Kenapa Kak Alan males nyebut namanya? Namanya lucu loh, bisa digabungin sama nama Tiara.”
“Digabungin?”
“Iya, Cynthia sama Tiara. Kalo lagi jalan berdua bisa dipanggil Cyn-Thiara!”
Aku merasa topik ini melenceng dari hal yang ingin kubicarakan tadi.
“Yaudah terserah kamu aja. Jawab dong pertanyaan Kakak tadi.”
“Nggak mau! Nggak ada maaf buat kakak yang udah nyakitin adiknya! Kuping Tiara masih sakit tau!”
Lagi-lagi tiara membuang muka. Kini pipinya juga digembungkan.
Tiara benar-benar marah. Kalau sudah begini, cuma ada satu cara untuk menghadapinya.
“Jawab. Nanti Kakak kasih permen.”
Mendengar penawaranku, Tiara memberi lirikan tajam. Mata berwarna cokelat gelap itu benar-benar mirip dengan mataku di kaca. Nampaknya penawaranku belum cukup.
“Permenya dua.”
Kali ini wajah Tiara menghadap kembali padaku. Akan tetapi ia cuma memberi pandangan sinis tanda meminta kenaikan nilai lagi.
Terpaksa aku mengikuti. Ini penawaran terakhir.
“Tiga deh.”
“Tiara pulang jam 8.”
Syukurlah adikku mudah ditawar dengan hanya beberapa permen.
Akan tetapi, permen yang Tiara mau bukan sembarang permen. Adikku cuma mau permen yang di belakang kemasannya ada tulisan unik. Lalu pemberi permen harus kakaknya, yaitu aku sendiri.
Jangan tanya aku karena aku juga nggak ngerti apa yang bikin permen itu spesial. Lalu kenapa harus kakaknya yang memberikan?
Mungkin ia hanya suka melihat kakaknya memohon rendah di hadapannya.
Namun permintaan permen ini pernah bikin aku kesusahan juga.
Dulu Tiara sempat marah kepada ibu karena Ibu nggak mau beliin Tiara sepatu yang ia suka. Sebenarnya bukannya nggak mau, waktu itu ibuku emang lagi nggak ada uang.
Tapi Tiara nggak mau mengerti.
Segala bujukan sudah dicoba tapi nggak ada yang berhasil. Akhirnya ibu minta bantuan ke aku.
Kemudian aku berkeliling ke warung-warung di sekitar rumah mencari permen yang bertuliskan ‘Maaf, ya’ di belakangnya.
Permen ini punya tulisan yang bermacam-macam. Sulit banget kalo mencari satu tulisan khusus.
Butuh waktu tiga jam mengacak-acak tempat permen di tiap warung baru aku berhasil menemukannya. Dengan modal permen itu, aku lalu bicara dengan Tiara dan akhirnya adikku maumaafin ibu.
Hm. Jadi Tiara pulang jam 8?
Berarti Cynthia nungguin lama di luar dong? Sebegitu pengennya dia bertamu? Sebenarnya apa yang ia mau dariku?
Tapi yang harus lebih kukhawatirkan sekarang adalah Cynthia pasti udah ngobrol banyak sama Tiara. Aku harus pastiin dulu dia nanya apa aja ke adikku yang polos dan gampang terpengaruh orang ini.
“Cewek itu nanya aneh-aneh nggak ke kamu, Tiara?”.
“Aneh-aneh? Apa tentang berapa kali Kak Alan onani dalam seminggu? Enggak sih, Kak. Justru Tiara sendiri yang ngasih tau berapa kali jumlahnya.”
“Bisa nggak? Sekali aja kamu jawab serius pertanyaan Kakak!”
Kucubit pipi Tiara karena jujur aku gemes banget. Jika bukan adikku, pasti udah kupukul kepalanya.
“Ahuh. Hakit, Hak. Hakit,” aduh. Sakit, Kak. Sakit. Kurasa itu yang Tiara katakan. Lalu sesaat kemudian aku melepas cubitan, “Kak Cynthia nggak nanya apa-apa soal Kak Alan. Yang Kak Cynthia tanya cuma tentang Tiara aja. Kayak sekolah Tiara atau kesukaannya Tiara.”
“Kalo soal ayah atau ibu gimana?”
“Nggak juga, Kak.”
“Begitu? Syukurlah kalo begitu.”
“Kak Alan kok kayak waspada banget sama Kak Cynthia? Apa Kak Cynthia cewek yang bilang ‘Jadilah pacarku atau kuambil keperjakaanmu,’ gitu ya?”
“Kamu ngaco! Ceritanya panjang, nanti aja bahasnya. Sekarang yang terpenting kita harus suruh cewek itu pulang. Udah malem juga, kan? Dia pasti dicariin sama keluarganya.”
Aku menaruh kepala melewati dinding. Di ruang tamu aku dapat melihat cewek berambut cokelat panjang sedang menatap ke arah TV yang nggak menyala. Menunggu dengan wajah khawatir.
“Tapi tadi Tiara udah nyuruh Kak Cynthia nginep disini, Kak.”
kepala Tiara muncul di bawah kepalaku. Sekarang ini kami berdua jadi mirip penguntit.
“Kenapa kamu bilang gitu tanpa seizin Kakak?”
“Abisnya tadi Kak Alan udah tidur.”
“Iya juga sih. Kalo gitu mau gimana lagi, biar Kakak sendiri yang usir dia. Ayo!”
Aku pun melangkah kembali ke ruang tamu. Di belakangku Tiara mengikuti.
Baru aja aku mau marah, Cynthia sudah lebih dulu memarahiku.
“Kamu abis ngapain Tiara, Cecurut!? Aku nggak akan maafin kamu ya kalo kamu berani macem-macemin Tiara!”
Entah kenapa Cynthia jadi bersikap seolah dirinyalah kakak dari Tiara. Sementara peranku jadi orang bejat yang ingin berbuat hal aneh pada adikku sendiri.
“Tiara, Kakak kan udah sering bilang, kamu jangan suka bercanda jelek gitu ke orang! Liat tuh, si Mak Lampir jadi salah paham.”
“Ma-maaf, Kak. Abisnya tadi Tiara kebawa suasana. Tiara kira Kak Cynthia itu pacarnya Kak Alan,”
“Mana mungkin, kan!”
“Nggak mungkin, kan!”
Aku dan Cynthia mengucapkan dua kata yang sedikit berbeda namun dengan ritme bersamaan.
Sesaat terjadi keheningan, tapi hanya sebentar.
“J-jadi tadi itu semua cuma becanda? Si Cecurut kakakmu ini nggak pernah berbuat aneh-aneh sama kamu, Tiara?”
“Eheheheh, maaf ya, Kak,” Tiara cengengesan sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Oh gitu. Padahal tadinya Kak Cynthia mau bawa kamu ke rumah. Huft.”
Ekspresi muka Cynthia kelihatan amat kecewa. Kayaknya ia sungguh-sungguh mau menculik adikku.
“Ya begitulah. Ngomong-ngomong udah jam segini kamu nggak pulang, Mak Lampir?”
“Aku diminta Tiara buat nginep, jadi aku mau nginep sehari disini.”
Kemudian aku melirik tajam ke arah Tiara. Adikku memberi senyum yang dipaksakan sambil mengangkat dua jadi berbentuk huruf V di tangan kanan.
“Aku nggak ngizinin kamu buat nginep!”
“Aku udah dapet izin dari Tiara,” Cynthia menjawab santai.
“Tiara nggak megang perizinan buat orang nginep di rumah ini. Yang nentuin boleh atau nggaknya tamu nginep disini itu aku. Soalnya aku yang tertua disini!”
“Tertua? Emangnya kemana orang tua kamu?”
“Kamu jangan banyak tanya deh. Nanti kalo papa kamu nyariin sampe sini gimana?”
“Papa aku lagi di Jepang. Nggak akan pulang sampe tiga hari ke depan.”
Uwah. Orang kaya jalan-jalan terus ya. Jauh lagi destinasinya. Jadi iri aku.
“Kenapa kamu nggak ikut papa kamu ke Jepang?”
“Papapku pergi buat urusan kerja. Kamu kira liburan?”
“Oh begitu.”
Gawat. Aku kalah diskusi sama Cynthia. Sekarang jadi semakin sulit buat ngusir dia. Tapi aku belum kehabisan akal.
“Di rumah ini nggak ada kamar buar tamu. Emangnya kamu mau tidur di bangku?”
“Kak Cynthia tidur di kamar Tiara aja, Kak. Tiara nggak apa-apa kok tidur berdua,” tiba-tiba Tiara ikut bicara.
“Tiara…! Kamu kenapa malah belain dia?” Aku berbisik kesal pada adikku.
“Nggak! Maksud Kakak bukan begitu!”
Untung aja ucapan Tiara nggak kedengaran oleh Cynthia.
“Haa,” kayaknya aku udah kehabisan pilihan, “Yaudah deh. Kalian cepat tidur sana! Jangan lupa besok hari senin!” ucapku malas sambil menggaruk-garuk kepala.
“Oki doki, komandan!” Tiara memberi hormat dengan posisi tangan yang salah, ”Kak Cynthia, ayo!”
Mendengar ajakan dari Tiara, Cynthia mengikuti langkah adikku masuk ke kamar. Cewek itu nggak mengatakan apa-apa ketika berjalan melewatiku.
Kini aku sendirian di ruang tamu.
Mataku nggak ngantuk. Mungkin karena tadi aku habis tidur. Mending aku nyalain TV aja. Dalam situasi begini aku nggak yakin bisa tidur.
Sial. Kok malah jadi begini sih? Padahal aku ingin cepat-cepat terbebas dari cewek itu, supaya bisa kembali ke dalam rutinitasku yang damai. Sekarang aku jadi nggak tau apa yang akan terjadi besok.
***
0 Comments
Posting Komentar