BENTUK IMPIAN YANG MEREKA LUKISKAN BERSAMA
(Part 2)
(Translator : Blade; Editor : Gian Toro)

Tidak berjalan sesuai rencana. Setelah 2 hari, Iori tetap tidak keluar dari kamarnya. Memanggilnya didepan kamarnya juga tidak dibalas sementara otak Sorata dipenuhi oleh hal-hal tentan pengerjaan game.
Tapi, makanan yang disiapkan Kanna di depan pintu kamarnya dihabiskan. Setidaknya ini membuat Sorata sedikit tenang.
Di kamar mandi ataupun ruang makan juga tidak terlihat jejaknya.
Sepertinya ia masih mempertahankan hidupnya.
Dengan begitu, 1 mingu, dan 2 minggu pun berlalu.
Bulan September tanggal 16, hari Jumat.
Kali ini sebelum berangkat sekolah, Sorata juga mengatakan sesuatu pada Iori di depan pintu kamar no.103.
“Iori, sarapan paginya sudah kubuat, jadi makanlah.”
Tetap tidak dibalas.
Lalu Sorata pun berangkat ke sekolah bersama Mashiro.
Saat jam pelajaran Sorata tidak begitu peduli dengan penjelasan guru dan fokus ke desain level gamenya.
Setelah itu belum ada pertengkaran.
Tapi di antara Sorata dan Ryuunosuke, tetap ada sebuah dinding yang tidak terlihat di antara mereka. Suasana seperti itu terus betambah parah seiring berjalannya waktu.
Saat konsentrasinya pudar, ia melihat ke arah papan tulis.
Wali kelasnya, Koharu-sensei sedang menjelaskan sejarah Jepang. Ruang kelas setelah siang rasanya ada suasana tenang yang tidak bisa dijelaskan. Ada banyak murid lain yang menganggap penjelasan Koharu sebagai lagu dan tertidur.
Di saat Sorata sedang menguap, ponselnya yang berada di kantong celananya berbunyi.
Sorata kemudian mengeluarkan ponselnya dan mengeceknya di bawah meja, yang mengejutkan adalah, itu sebuah pesan dari Kanna.
Setelah membaca pesan singkatnya Sorata paham.
—Jangan-jangan karena itu dia tidak akan datang ke sekolah.
Walaupun nama pengirim tidak ada tapi Sorata yakin itu adalah Kanna.
Lalu Sorata menerima sebuah pesan singkat lagi.
—Tolong beritahu aku kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan.
Kata-kata yang ada di dalam pesan singkat itu menunjukkan rasa bersalah Kanna. Awalnya, Kanna suda berpikir kalau tangan Iori keseleo itu salahnya, jadi sekarang ia pasti berpikir kalau ini juga merupakan salahnya.
Sorata berpikir,
—Kalau kau begitu peduli, Iori pasti sangat senang.
Sorata membalasnya.
Tidak segera dibalas, setelah sekitar 5 menit ponsel Sorata berbunyi sekali lagi.
—Terima kasih. Senpai juga jangan menyerah soal membuat game bersama-sama.
Kata-kata yang Kanna pikirkan dengan susah payah ini membuat Sorata sedikit tenang.
Setelah semua pelajaran telah selesai, di saat Ryuunosuke merapikan laptopnya dan bersiap pulang.
“Akasaka.”
“Ada apa?”
“Nanti malam kita diskusi setelan Bossnya.”
“Aku paham.”
Ryuunosuke pun berjalan keluar kelas.
Siapapun bisa tahu kalau terjadi sesuatu di antara mereka. Teman sekelasnya semua melihat ke arah Sorata dengan tatapan penasaran.
“Apa kau bertengkar dengan Akasaka-kun?”
Nanami yang tempat duduknya berada di samping Sorata itu bertanya.
“Tidak, bukan bertengkar.”
Kalau bisa, Sorata sebisa mungkin tidak ingin Nanami khawatir, tapi Sorata sadar kalau dirinya sudah telat.
“Hanya pendapat kami sedikit berbeda tentang pengerjaan game.”
“Begitukah?”
Nanami tidak bertanya lagi.
“Aku ingin melaporkan sesuatu pada Kanda-kun.”
“Lapor?”
“Hn……….bulan depan, mulai bulan November, aku akan pergi ke kelas pelatihan yang baru.”
“Eh? Serius !?”
Dengan tidak sadar, Sorata berteriak.
“Berlebihan sekali.”
Nanami sedikit malu, mungkin karena Sorata telah menarik perhatian yang lain.
“Maaf, salahku. Aku hanya terlalu senang.”
“Terima kasih. Selain itu, juga ada kelas pelatihan yang dimulai saat musim gugur nanti, lalu saat musim panas aku akan mengikuti audisi yang baru lagi.”
“Ah, ya. Omong-omong, katanya anime Misaki-senpai akan ditayangkan di bioskop.”
Setelah mengatakan itu, ekspresi Nanami terlihat panik.
“Jangan katakan lagi, tidak baik untuk jantung. Setelah menontonnya tolong jangan membandingkannya dengan yang lain.”
Setelah mengatakan itu, Nanami pun kabur dengan alasan ‘nanti ada kerja’ dan keluar dari kelas.
Setelah beberapa saat Sorata pun keluar dari kelas, dan dengan pelan berjalan ke kelas jurusan seni untuk menjemput Mashiro, tapi tidak ada orang. Mungkin karena jam prakteknya diperpanjang.
Sorata kemudian berjalan ke kelas jurusan seni yang lain.
Melewati koridor.
Lapangan tenis yang ada di luar jendela, lapangan tenis perempuan, sepertinya para anggotanya semuanya sedang memasang net. Anggotanya sedikit, mungkin karena banyak siswa kelas 3 yang keluar dari grup musim panas ini, jadi mereka tampak malas karena tidak ada senior mereka.
Di dalam ruang kelas seni tersisa beberapa orang, ada Mashiro dan Rita. Kedua orang itu dengan mesra menggabungkan kanvas mereka dan menggerakkan kuasnya dengan bersama, padahal yang lain sudah mulai membereskan.
Setelah masuk lewat pintu belakang, Fukaya Shiho yang dulu selesai membereskan itu menyadari Sorata, lalu ia berjalan ke arah Sorata.
“Ah, Kanda-kun, apa kabar?”
Shiho jelas-jelas tidak semangat. Tingkah lakunya seperti mayat hidup yang ada di game.
“Ada apa?”
Sepertinya dirinya ingin ditanyai begitu, lalu Sorata pun bertanya.
“Di dunia ini pasti banyak orang yang lebih hebat melukis dari pada aku, pasti. Sebenarnya Kanda-kun juga bisa melukis, kan!”
Shiho mengatakannya seolah sedang memendam dendam, rasanya merepotkan.
Tapi, Sorata menyadari tatapan Shiho yang melihat ke arah Rita, jadi Sorata segera menyadari apa yang terjadi.
“Rita memang hebat sekali?”
“Sudah bukan hebat lagi.”
Cara berbicaranya jadi aneh.
“Secara kemampuan, mungkin ia lebih hebat dari Shiina-san.”
“Eh? Begitukah?”
Seperti yang diduga dari Rita yang sudah bejalar bersama dengan Mashiro sejak kecil. Bahkan Mashiro pernah mengatakan kalau ‘Rita pandai melukis’ dan Sorata hanya mengenal 1 Rita.
“Aku terima, aku menerima kenyataan ini, tapi selain itu apalagi dia ternyata seorang gadis yang cantik lagi~”
“ Yah…ya.”
“Benar-benar seorang gadis cantik.”
“Hn.”
“Apalagi berambut pirang.”
“Ya.”
“Dan matanya juga berwarna biru.”
Ada apa ini? Kalau Sorata tidak salah, harusnya mereka sedang membicarakan kemampuannya melukis……
“Bahasa Jepangnya juga lancar.”
“Ya, dia memang hebat.”
Itu karena untuk berbicara dengan Mashiro jadi mengingatnya.
“Apalagi bahasa Inggrisnya juga begitu hebat.”
“Eh? Itu karena bahasa sehari-hari Rita.”
Sekalian beritahu saja, bahasa Jepang Shiho juga lancar, terkadang cara dia berbicara rasanya lucu juga.
“Juga, postur itu, kau lihat! Lihatlah dengan jelas!”
Shiho dengan tidak peduli dan menunjuk ke arah Rita, dan tangannya terus naik turun menunjukkannya.
“Dia punya semua yang kuinginkan. Pastinya dia akan berpacaran dengan lelaki tampan yang biasa ada di film, 'kan! Betul, 'kan!”
Entah kenapa malah Sorata yang ditanya.
“Tidak, tidak ada pacar seperti itu.”
“Eh!? Jangan-jangan dia berpikir, 'Aku tidak akan pernah mengejar laki-laki, soal laki-laki, akan kupilih sesuai moodku’ begitu ?”
“Tidak, tidak juga begitu, benar-benar tidak ada.”
Rita sedang mengalami kesulitan untuk meraih cintanya. Bagaimanapun yang dia kejar adalah Ryuunosuke yang seperti itu.
“Eh~begitukah? Apa maksudnya~”
Tadi masih iri dan Shiho yang masih marah tadi, sekarang malah jadi seperti bosan, tidak mengerti sama sekali.
“Ah, ya. Kanda-kun.”
“Ada apa?’
“Apa sedang membuat game?”
Kali ini Shiho menunjukkan ekspresi yang serius, ia membuka matanya lebar-lebar.
Mungkin ia mendengar ini dari Mashiro atau Rita.
“Ah, hn, lagi kubuat.”
“Kalau begitu apa kali ini aku boleh bertanya hal-hal seperti itu?”
“Shiho-san, apa kau orang yang punya hobi seperti itu?”
“Sebenarnya punya.”
Sorata lumayan terkejut.
“Tapi kau sedang melukis, 'kan?”
Tangan Shiho penuh dengan tinta.
“Yang benar? Apa Kanda-kun berpikir kalau semua murid jurusan seni ingin menjadi pelukis?”
“Seharusnya.”
Kalau jujur, Sorata tidak begitu memikirkannya.
“Ini, apanya yang 'seharusnya'! Jadi selama ini kami dianggap seperti itu!?”
“Bukan begitu?”
“Tentu, orang yang memutuskan segalanya dengan ‘lukis’ ada. Pikiran seperti itu, juga bukannya aku tidak ada.”
“Kalau memang seperti itu, bukannya wajar aja?”
“Ck, ck, Kanda-kun, kau terlalu polos. Selain gambar yang dianggap sebagai lukisan, banyak sekali hal yang dianggap sebagai lukisan juga.”
Shiho mengatakannya denga nada bicara yanag menarik dan menggunakan jarinya menunjuk ke hidung Sorata. Walaupun Sorata khawatir kalau hidungnya akan terkena bekas tintanya, tapi sepertinya tidak.
“Apa kau mendengarkan aku dengan serius?”
“Ya.”
“Aku, berhasil lolos tes masuk Universitas Seni Suimei.”
“Selamat.”
“Hn, terima kasih! Saat kuliah nanti aku berencana belajar lukis dengan menggunakan komputer. Sekitar setahun yang lalu, aku sudah mulai belajar sendiri.”
“Heh? Ada yang seperti itu?”
Rasanya sedikit terkejut.
“Katanya setiap tahun selalu ada beberapa orang yang masuk ke situ.”
“Hoh, aku tidak tahu sama sekali.”
“Dan perwakilan tahun lalu itu adalah Kamiigusa-senpai!”
“Kalau itu sih, seharusnya tidak perlu dibicarakan……..”
“Ahaha, benar, tapi berkat Kamiigusa-senpai, pilihanku bertambah lagi~”
“Kehadirannya memang luar biasa.”
“Juga Nyaboron.”
“Heh? Fukaya-san tahun lalu menontonnya, ya.”
“Yang seperti itu memang bagus.”
Rasanya senang sekali bisa mendengar ini.
“Shiho, saatnya bersih-bersih~”
Temannya yang di koridor memanggilnya.
“Ah, sekarang aku ke sana. Kalau begitu Kanda-kun, ngobrolnya lain kali saja. Janji ya~”
Shiho pun pergi dan berjalan ke arah temannya yang memanggilnya.
“Tak disangka Sorata lumayan populer di kalangan perempuan ya.”
Yang bersuara itu adalah Rita. Ia melepaskan apron yang dia pakai untuk melukis. Sesaat, rambutnya yang berwarna pirang itu bersinar berkilauan.
“Mananya yang populer di kalangan perempuan?”
“Walaupun aku tahu yang ada di dalam otakmu hanyalah hal-hal tentang pengerjaan game, tapi Mashiro juga harus dipikirkan, loh.”
Rita tidak peduli dengan pertanyaan Sorata dan mengatakan ini.
Mashiro yang menghentikan tangannya yang sedang memegang kaus di depan kanvas itu, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Apa kau tidak merasa Mashiro akhir-akhir ini sedikit aneh?”
“….Apa Rita juga berpikir begitu?”
“Ya.”
Mulai semester ke 2, tingkah laku Mashiro yang aneh itu terus berlanjut. Beberapa hari yang lalu saat mereka kencan dan belanja bersama juga begitu. Setelah berhasil memilihkan gaun untuk Mashiro, di perjalanan pulang Mashiro seperti ingin mengatakan sesuatu.
Tapi, seperti biasanya
“Mashiro?”
Biarpun ditanya begitu.
“Tidak apa-apa.”
Hanya dijawab begitu.
Kondisi masih terus berjalan, tentu, tapi hubungan Sorata dan Mashiro juga tidak maju sedikit pun.
Bahkan mereka belum melakukan ciuman kedua mereka.
Beberapa hari ini saat sebelum tidur,
—inikah perasaaan saat sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan?
Sorata terus berpikir setiap malam.
Tidak tahu apakah jawabannya. Cinta tidak punya buku pelajarannya. Walau mungkin saja pengalaman seseorang bisa dijadikan sebagai referensi, tapi kalau itu adalah Mashiro, rasanya tidak mungkin.
Karena itulah, semakin dipikir semakin Sorata tidak paham.
“Sorata, apa kau melakukan sesuatu yang akan membuat Mashiro membencimu?”
Rita melihat ke arah Sorata dengan tatapan yang penuh curiga.
“A-aku tidak melakukan apapun!”
“Benar?”
“Kami selalu menjalin hubungan kami dengan suci!”
Sorata mati-matian membela dirinya.
Rita melihat ke Sorata beberapa saat, lalu seperti terpikir sesuatu dan membuka matanya lebar-lebar, tapi dengan segera dengan ‘Ah’ ia menghela napas.
“Reaksi yang tidak sopan sekali.”
Wajah Rita sekarang terlihat konyol.
“Setelah mendengarmu berkata begitu, sepertinya aku tahu alasannya.”
“Apa maksudmu kau menegtahui alasan kenapa Mashiro bertingkah aneh seperti sekarang?”
Rita mengangguk kepalanya.
“Mashiro bertingkah aneh karena Sorata sampai sekarang belum melakukan apapun.”
“Huh?”
Sorata dengan tidak sadar mengeluarkan suara yang terdengar bodoh.
“Aku dari dulu berpikir, padahal kalian sudah berpacaran tapi rasanya seperti tidak ada yang berubah.”
“……..Apa terlihat begitu?”
“Seperti majikan dan peliharaannya.”
“Aku tidak pernah pikir kalau hubungan kami pernah seperti itu!”
Tapi yang Rita katakan rasanya seperti tidak ada yang berubah ini, Sorata sendiri juga berpikir begitu. Walaupun sempat berubah sedikit sejak mereka berpacaran. Misalnya saat kencan hari Minggu, pulang dari sekolah dengan saling bergandengan tangan, lalu walaupun tidak setiap hari, tapi terkadang saat istirahat mereka juga makan bersama.
Tapi yang Rita maksud itu bukan perubahan tampilan luar, maksudnya adalah jarak di antara mereka.
Sebenarnya setelah Sorata pacaran dengan Mashiro, apa Sorata menjadi semakin paham dengan Mashiro? Atau apa dirinya semakin dipahami oleh Mashiro? Yang manapun Sorata tidak punya kepercayaan diri untuk memastikannya. Sorata hanya bisa menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Tentu Sorata sadar akan ini.
Jadi akhir-akhir ini saat kencan, Sorata terus terpikirkan yang sering Jin katakan
— kalian bersama saja.
Mungkin sejak saat itu, saat mereka mulai saling bergantung, jadinya timbul semacam hubungan yang tidak bisa dijelaskan. Awalnya memang tidak ada perasaan apapun, tapi sekarang akhirnya paham. Karena suka, maka saling menjalin hubungan, tapi karena suka jugalah mereka tidak berlanjut ke hubungan yang lebih dalam lagi. Kira kira begitulah kalau dijelaskan dengan kata-kata.
Kencan yang mereka lakukan setiap minggu mungkin terlihat akan membantu hubungan mereka, tapi itu juga mungkin saja mereka hanya berhenti di tempat yang sama. Tapi kalau begitu pun, apa yang harus dilakukan? Sorata mengalami kesulitan.
“Kalau begitu, kuserahkan Mashiro pada Sorata.”
“Ah, hn.”
Walaupun Sorata menjawab Rita, tapi Sorata tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Lalu Rita seperti ada urusan, jadi ia berpisah dengan Sorata di ruang kelas seni. Sorata kemudian kembali ke Sakurasou bersama Mashiro yang selesai praktek itu, mungkin ini memang disengajakan Rita.
Kedua orang itu dengan pelan berjalan ke arah Sakurasou. Dengan sesaat Rita menjadi terkenal, Mashiro menceritakan pada Sorata kalau sejak Rita datang, ia lebih sering mengobrol dengan teman sekelasnya.
“Begitukah? Syukurlah.”
“Hn, syukurlah.”
“Aku pulang~”
Sorata melepaskan sepatunya dan masuk ke dalam.
“Ya, kau pulang.”
Yang menjawab itu adalah Ayano Iida yang merupakan editor Mashiro.
“Aku masuk sendiri.”
Ayano kemudian datang ke arah Sorata dengan tersenyum.
“Ini, ini adalah edisi bulan ini.”
Entah kenapa, majalah komik itu sampai ke tangan Sorata.
“Lalu, ini adalah surat dari fans. Semakin banyak, loh.”
Ayano lalu memberi  surat yang menumpuk itu pada Mashiro. Mashiro lalu dengan hati-hati membawanya ke lantai 2. Awalnya Sorata mengira Ayano juga akan ikut dengan Mashiro, tapi entah kenapa Ayano melihat ke arah Sorata dengan senyuman yang puas.
“A-ada apa?”
“Komik Shiina-san menjadi semakin populer sejak musim semi.”
“Huh……?”
“Jadi benar, karena pacaran, ya.”
“………Tidak ada yang bisa kulaporkan.”
Tapi, aku penasaran mengenai beberapa hal.”
“Apa itu?”
“Rasanya akhir-akhir ini Shiina-san tidak semangat.”
“Hal ini lagikah…?”
Padahal baru dibicarakan bersama Rita tadi.
“Lagi?”
“Tidak, tidak ada kaitannya.”
“Oh, begitukah.”
Setelah Ayano mengamati wajah Sorata beberapa saat, ia seperti memahami sesuatu, dan Sorata hanya bisa berdiri diam.
“Sepertinya nanti bakal semakin seru.”
Kali ini, Ayano dengan senang  naik ke lantai 2.
“Shiina-san~, edisi bulan November nanti, kau mendapatkan kesempatan menggambar cover majalah lagi. Ayo kita diskusi sebentar.”
Sepertinya serialisasi Mashiro benar-benar lancar, Sorata sedikit tenang, tidak, sangat senang. Kalau kaerna pacaran Mashiro menjadi bosan dengan komiknya, akan menjadi gawat.
“Aku juga perlu berusaha lebih keras lagi.”
Beberapa minggu ini karena masalah perbedaan pendapat dengan Ryuunosuke dan Iori, Sorata tidak bisa memfokuskan diirnya di pengerjaan game.
“Baik, semangatlah!”
Sorata kemudian membuang jauh-jauh pikiran negatif yang ada di otaknya.
Tapi yang terbalik dengan pikiran Sorata itu, batas tanggal yang diberikan Ryuunosuke yaitu tanggal 18 bulan September, yaitu lusa, semakin dekat.