MUSIM SEMI DATANG SAAT AKHIR MUSIM SEMI
(Part 4)
(Translater : Blade; Editor : Alien Mars)
Bagian 4
Besok adalah hari minggu, Sorata bangun agak telat pada jam  sembilan.
Berjalan ke ruang makan, dan terlihat pasangan suami-istri Mitaka yang sedang menikmati makan pagi mereka.
“Kencan, ya. Wah, rasanya membuat iri saja, Sorata.”
“Aku ingin menguntit kalian, lalu mengambil foto kalian saat kencan, loh, Kouhai-kun!”
Mereka memulai percakapan mereka sendiri, baru mulai sudah mengerjai Sorata.
“Temanya ‘Kencan Pertama! Bagian Mesra!’“
Di tangan Misaki ternyata sudah memegang handycam, Sorata yakin Misaki bukan sedang bercanda.
“E-eh, aku juga ingin kencan! Sorata-senpai, aku ingin ikut!”
Sudah kena dengan Jin, Iori yang bahkan sedang makan pagi bersama mereka terus memeluk Sorata. Setelah Sorata berhasil kabur dari Iori, terlihat tatapan Kanna yang sangat tidak menyenangkan.
“…”
Lalu dia terus melirik ke Sorata.
“Ada apa, Kanna?”
“Tidak ada.”
Terasa suasana hatinya semakin memburuk, jangan-jangan Sorata terlalu banyak berpikir.
Setelah Sorata membangunkan Mashiro, dan selesai makan bagi dengan bersama.
“Hari ini tidak perlu pulang, loh~~!”
Setelah diantar Misaki yang begitu bersemangat, Sorata dan Mashiro berangkat untuk memulai kencan mereka untuk pertama kalinya.
Untuk memastikan, saat menuju ke stasiun, Sorata sempat beberapa kali membalikkan kepalanya untuk mengecek. Bagaimanapun Misaki dan Jin masih ada pekerjaan untuk memastikan pemberian suara pada anime mereka, jadi seharusnya mereka tidak akan ikut kemari. Tapi, kalau Kanna dan Iori itu tidak bisa dibilang tidak mungkin sama sekali.
Mereka berdua sudah pernah melakukan sesuatu seperti itu, pada hari ke dua retret perpisahan, saat jam bebas di Otaru, sepertinya mereka sempat mengikuti Sorata dan Mashiro.
“Sorata.”
“Kenapa?”
Sorata menjawab dengan melihat ke arah belakang.
“Uh...”
Mashiro mengeluarkan suara yang imut. Dan dengan kuat menarik lengan Sorata.
“Uwoo!”
Sorata dipaksa menghadap ke depan. Mashiro yang berada di samping menunjukkan ekspresi tidak senang,
“A-ada apa?”
“Tak peduli lagi.”
Mashiro dengan marah kesampingkan wajahnya, dan mulai berjalan ke depan dengan sendirian, setiap ia melangkahkan satu langkah, gaunnya menunjukkan pesonanya, bagaikan daun aprikot yang berubah menjadi merah dan menari di atas udara.
Setelah Sorata melihat itu, sepertinya dirinya tahu alasan kenapa Mashiro tidak senang. Dia mengejar dengan buru-buru, dan berjalan di samping Mashiro.
“Bajumu sangat imut, ya.”
“Benar?”
Suaranya menjadi sedikit lebih ceria.
“Hnn!”
Sorata menganggukkan kepalanya dengan jelas, dan Mashiro pun mulai menunjukkan senyumnya.
“Juga, Mashiro, ada sebuah hal yang harus kuberitahukan padamu.”
“Apa?”
“Stasiunnya berada di sebelah sana.
Sorata menarik tangan Mashiro yang baru mau melangkah ke arah yang salah itu ke arah yang benar.
“Aku tahu.”
“Jangan berbohong seolah tidak terjadi apa-apa!”
Setelah berjalan sekitar 5 menit, Sorata dan Mashiro sampai di stasiun, dan naik kereta cepat. Warna biru tua yang ada pada tempat duduk panjang itu adalah ciri-cirinya yang paling tampak. Sepasang kekasih ini duduk ditepi dengan mesra, setiap keretanya bergetar, pundak mereka akan saling bergesekan, suhu tubuhnya membuat Sorata merasa Mashiro berada di sampingnya.
Mungkin ini yang namanya ‘kebahagiaan’.
Sorata dengan tidak sadar melihat ke wajah Mashiro, setelah sadar, ia menyadari bahwa dirinya sedang melihat ke bibirnya yang lembut.
Sorata yang merasa malu dengan dirinya sendiri itu memindahkan pandangannya ke luar jendela.
Cuaca hari ini lumayan bagus, walaupun sedikit berawan, tapi bisa dibiang cuaca yang cerah kalau dilihat dari musim sekarang yang sedang banyak hujannya, cuaca sekarang terbilang segar. Walaupun ramalan cuaca hari ini berkata nanti malam akan hujan, tapi kalau diliaht dari sekarang, sepertinya cuaca baiknya akan bertahan sampai malam.
“Sorata.”
Sorata mendengar panggilannya, dan memindahkan pandangannya kembali ke Mashiro.
“Ada apa?”
“Mau pergi ke mana ?”
“Sea World.”
Ini adalah jawaban yang dipikirkan Sorata dengan susah payah kemarin. Dia juga sempat bertanya kepada Jin, “Bagaimana dengan Sea World?”, dan lalu mendapat pujian, “Hn, pilihan yang tepat!”.  Dan akhirnya Sorata sedikit lega, namun…
“Sea World?”
Mashiro memiringkan kepalanya dan mengeluarkan suara yang terdengar konyol.
“Hoi, tunggu sebentar.”
“Aku tidak bisa menunggu.”
“Tidak, sebentar, berikan aku waktu sebentar. Kau tidak tahu Sea World?”
Sorata bertanya dengan wajah yang serius.
“Aku tahu.”
Mashiro menatap lurus ke mata Sorata.
Namun tidak boleh membiarkannya berbohong, kadang dia sangat keras kepala. Bagaimanapun Sorata sudah menjaganya selama setahun lebih, walaupun tidak mudah untuk bisa menebak pikirannya, tapi sekarang Sorata semakin bisa mengendalikannya.
Ini adalah sikap Mashiro ketika ia berbohong,
“Kalau begitu, Mashiro-san, tolong beritahu aku apa itu Sea World.”
“Ternyata Sorata tidak tahu, ya.”
“Aku tahu, kali!”
“Kalau begitu coba kau jelaskan.”
“Itu sebuah tempat yang ada banyak ikan.”
“Di distrik perbelanjaan juga begitu.”
Tidak, di distrik perbelanjaan tidak ada begitu banyak.
“Yang kau pikirkan itu toko yang menjual ikan, tahu! Sea World itu tempat yang ikannya lebih banyak dari itu.”
“Paman yang menggunakan topi itu akan naik sesuatu yang aneh untuk bergerak, ‘kan?”
“Yang kau bilang itu pasar ikan Tsukiji! Sekalian saja nama barang itu adalah Turret Truck, atau sederhananya itu mobil pengangkut!”
“Juga bisa dibilang begitu.”
“Begitulah. Omong-omong, kau masih tidak mau mengakui kalau kau tidak tahu?”
Berbeda dengan penampilan luarnya, sifat Mashiro itu sangat keras kepala, dan di saat seperti inilah rasanya merepotkan.
“Sea World itu tempat untuk mengamati ikan yang berenang dengan hidup.”
“Ah, Sea World yang itu, ya!”
“Sea World tidak ada yang ini juga itu!”
“Kalau begitu Sea World yang mana?”
“Sebenarnya kau sudah paham sampai mana? Tidak ada pertanyaan, ‘kan? Rasanya aku semakin khawatir.”
“Tidak masalah, aku tahu. Pokoknya Sea World, ‘kan? Aku hanya tidak mengingat namanya saja.”
“Tidak, ini sudah menjadi sebuah masalah besar.”
Walaupun sudah tinggal bersama di Sakurasou setahun lebih, tetap saja tidak mengerti pandangan Mashiro terhadap dunia luar. Mungkin karena inilah dirinya menjadi pelukis jenius yang diketahui oleh seluruh dunia? Atau bisa dibilang dia sedikit berbeda dengan orang lain.
Di saat Sorata berpikri begitu, Mashiro menyandarkan diri ke pundaknya.
Berat yang sempurna itu, juga suhu yang menimpa pundak bagian kanan, tanpa sengaja membuat detak hati Sorata bertambah cepat.
“Ma-Mashiro?”
“…”
Tidak ada balasan.
“Huhhhhh…, huhhhh…”
Sebaliknya, terdengar suara napas yang tertidur.
“Hoi!”
Di saat Sorata berpikir tidak mungkin, ia melihat ke wajahnya yang sedikit merendah.
“Huhhhh…, huhhhh…”
Mashiro tertidur dengan lelap.
“Bangun!”
Sorata menusuk kepalanya dengan pelan.
“Ada apa?”
Mashiro menjawab dengan masih setengah tertidur. Mungkin karena saat tidur diganggu, ia terlihat sedikit kesal.
“Jangan tiba-tiba tertidur.”
“Selanjutnya aku ingin tidur.”
“Maksudku bukan untuk memberitahu kalau ingin tidur!”
“…”
Tatapan Mashiro yang mengantuk itu bertanya pada Sorata, maskudnya itu ingin Sorata menjelaskan alasannya kenapa.
“Dengar baik-baik, sekarang aku sedang kencan denganmu, juga, ini kencan pertama kita, loh.”
“Hn, aku tahu, selamat malam.”
“Tidak, maksudku——! Tak kusangka sudah tertidur!”
“Huhhhh…, huhhhhhh…”
“Tidak boleh ‘huh~~!’”

“Kuhhhh~~”
“Juga tidak boleh ‘kuh~~!’ Huft…”
Sorata tidak tahan dan menghela napas.
“Ini kencan pertama kita, loh. Apa orang pada umumnya akan tertidur sebelum sampai di tujuan?”
“Huhhh…, huhhhhhh…”
“Nah, Mashiro, apa kemarin malam kau juga menggambar naskah komikmu sampai tengah malam?”
“Tidak.”
Awalnya mengira tidak akan ada balasan, tapi tidak disangka Mashiro menjawab.
Tapi kedua matanya tetap tertutp, otaknya juga bergoyang ke sana-sini.
“Kalau tidak kenapa kau begitu lelah?”
Kalau karena menggambar naskah mau gimana lagi, tapi kalau tertidur saat kencan karena alasan lain, rasanya menyedihkan sekali.
“Sorata tidak membiarkanku tidur.”
“Huh? Apa kemarin malam aku begitu semangat?”
“Sedang memikirkan Sorata…”
“Oh…”
“Setiap memikirkan akan kencan dengan Sorata, rasanya tidak bisa tidur.”
Ini seperti anak SD yang sangat antusias dengan retretnya dan tidak bisa tidur, mungkin seperti itu.
Kalau begitu, juga bukannya merasa tidak senang, tapi sangat senang. Benar, senang ya senang, tapi entah kenapa ada sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan.
Itu wajib.
“Kalau begitu, sekarang masih bisa tertidur, ini membuatku terkejut, hoi!”
Mashiro tidak peduli dengan amarah Sorata, dan tetap tertidur pulas. Saat Sorata melihat wajah Mashiro yang tertidur lelap itu, dia seperti tidak begitu masalah dan berbisik, “Sudahlah, tidak apa.”
Setelah bergoyang di dalam kereta selama 30 menit, mereka pun tiba di stasiun. Sepasang kekasih ini pun berjalan sekitar 10 menit, dan mereka akhirnya tiba di tujuan mereka, Sea World.
Hari ini hari libur, dan tempat masuknya dipenuhi orang. Pengunjung yang terlihat menikmati sepertinya itu kelompok anak SMP, di dalamnya pasti ada bebrapa pasangan.
Setelah mereka membeli tiket, mereka pun masuk ke dalam.
Jujur saja, Sorata merasa tidak tenang dengan reaksi Mashiro terhadap Sea World, tapi Sorata segera sadar kalau dirinya terlalu banyak khawatir.
Mashiro melihat ke ikan tropis yang berenang dengan beragam macam warna, ia pun berkata memberitahu kesannya, “Indah sekali.”
Dia terus melihat ke ikan-ikannya. Ikan-ikan bebas yang seperti sedang menari di dalam air itu begitu menarik perhatiannya. Harusnya yang di depan mata itu hal yang sama, tapi kadang rasanya curiga kalau yang dilihat Mashiro itu berbeda dengan yang kita lihat. Saat melihat lukisan yang dilukis Mashiro juga, melihat sosoknya yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, rasanya menakjubkan sekali.
“Ikan yang begitu indah.”
Seperti saat mengatakan kesannya setelah melihat ikan langka yang bermacam- macam, sesaat Sorata merasakan Mashiro yang terlihat berbeda itu.
“Apa ini indah?”
Ikan yang mulutnya terlihat berbentuk sosis, warnanya abu-abu, sama sekali tidak indah. Entah karena tiba-tiba mendengar Sorata berbicara, Mashiro seperti terkejut.
“Matanya sangat indah.”
Begitukah, matanya memang terlihat jernih.
Karena takut mengganggu pengunjung yang terus masuk dengan jumlah banyak, mereka berdua pun berpindah ke arah lain.
Ubur-ubur yang bersinar sedang bergerak dengan lemah-lembut. Seperti untuk mengindahkan sinarnya, di sekitarnya sengaja dibuat gelap.
“Tapi yang namanya ‘indah’ itu, mungkin itu?”
“…”
Entah sejak kapan Mashiro sudah mengeluarkan buku sketsanya, dan mulai menggambar sketsa ubur-ubur. Walaupun sempat menghabiskan beberapa menit, tapi kalau sudah beitu, Sorata tidak akan terkejut hanya karena ini. Inilah Mashiro.
Pengunjung-pengunjung yang lewat sempat penasaran dan meliaht ke lukisan Mashiro, lalu mereka terkejut.
Masuk lebih ke dalam lagi, berbagai daerah populer yang ada di dalam Sea World hadir satu per satu, tarian ikan sarden yang menarik, gelombang air yang disebabkan oleh ikan tongkol, hiu yang bergerak dengan gagah itu, mereka juga pantas dilihat.
Kalau ingin protes, ini yang dikatakan Mashiro.
Dia melihat pada ikan sarden dan berkata, “Rasanya terlihat enak.”
Lalu berkata pada ikan tongkol yang berjumlah besar yang ada di depan matanya, “Terlihat sangat lezat.”
Lalu yang terakhir melihat ikan hiu, “Aku mau itu, jadikan sashimi.
Dia pesan pada Sorata.
“Apa selain makan tidak ada yang lain?”
Lalu perut Mashiro mengeluarkan suara yang lucu.
“Jawab dengan mulut, hoi!”
Mashiro memperlihatkan perutnya, dan seperti berkata ‘lihatlah’.
Apa dia ingin Sorata menempelkan telingan ke perutnya? Coba pikirkan gambarannya; Mashiro yang memegang perut, lalu Sorata yang menempelkan telinga pada perutnya. Ini sikap ibu yang mengandung.
Sorata menolak untuk melakukan itu.
“Po-pokoknya, mau makan, ‘kan?”
Mashiro menganggukkan kepalanya.
Sorata mengeluarkan ponselnya untuk mengecek jam, sudah lewat dari jam satu siang.
“Kalau begitu kita pergi dari sini dulu.”
Sorata membawa Mashiro yang sudah mulai menganggap ikan yang ada di Sea World sebagai makanan meninggalkan tempat ini, kembali ke arah menuju ke stasiun, dan mencari toko untuk makan siang.
Karena bukan orang sini, jadi tidak begitu kenal tempat ini, hanya bisa mencari toko pinggir jalan untuk makan siang. Walaupun sudah tahu akan menyesal karena ini, harusnya mencari tahu dulu sebelum pergi, tapi sekarang sudah terlambat untuk itu. Sorata lalu mulai membuat cataan, ‘lain kali kencan harus dipersiapkan dengan matang’.
Di sekitar stasiun terlihat beberapa restoran, dan dijalan juga terlihat banyak pasangan atau keluarga yang sedang mencari restoran untuk makan siang.
“Kau ingin makan apa?”
Sorata memanggil, namun pandangan Mashiro tertuju pada pasangan yang jaraknya sekitar 10 meter dari mereka.
“Mashiro?”
“Apa mereka pacaran?”
Sepertinya itu mahasiswa. Wanitanya menarik prianya untuk berjalan ke depan, sepertinya ada sesuatu yang menyenangkan, antara kedua orang itu dipenuhi suara canda-tawa, lalu mereka menghentikan langkahnya untuk menunggu lampu merah. Kedua orang itu bahkan merasa menarik hanya begitu, suara tertawa mereka bahkan bisa didengar Sorata mereka yang berjalan di belakangnya.
“Dilihat dari manapun mereka itu pasangan.”
Saat ini, Mashiro melihat ke kedua tangannya, dan mulai mengecek.
“Sorata.”
“hn?”
“Apa aku terlihat seperti pacar Sorata?”
“Tidak…, tidak begitu yakin.”
“Apa tidak terlihat begitu?”
Mashiro dengan jujur merendahkan alisnya, dan terlihat kecewa.
“’Tidak begitu yakin’ yang dikatakan tadi itu, masalahnya ada padaku.”
Mashiro sangat cantik, siapapun akan merasa begitu. Karena beitulah, kalau yang berdiri di sampingnya itu Sorata, kalau dilihat oleh umum, akan terlihat bagaimanapun Sorata itu tidak cocok untuk Mashiro.
Bahkan di dalam Sea World tadi, Mashiro sangat menarik perhatian.
Kalau Sorata dan Mashiro tidak terlihat seperti pasangan, alasannya pasti ada pada Sorata.
“Jangan pedulikan ini dulu, kau ingin apa untuk makan siangmu?”
“Aku ingin makan itu?”
Sorata mengulurkan jarinya menunjuk ke tempat makan makanan cepat saji yang dapat dilihat di mana mana, yakni sebuah toko burger dengan papan penarik perhatian berwarna merah. Pasangan yang berjalan di depan dengan mesra itu sudah masuk ke dalam.
“Kalau ingin makan itu, di manapun kita bisa makan.”
“Aku tidak pernah makan itu.”
Sorata sekejap tidak sadar dengan apa yang dikatakan Mashiro. Dan dengan tidak sadar terus mengedipkan matanya seperti telah melihat sesuatu yang aneh.
“Eh, apa kau serius?”
“Sangat serius.”
Tapi kalau dipikirkan lagi, jangan-jangan begitu. Semenjak Mashiro datang ke Jepang, sepertinya ia tidak pernah ke mana pun. Hampir setiap saat makan di Sakurasou, jadi wajar saja tidak makan makanan dari luar.
Kalau di Inggris, Mashiro seperti terus melukis, jadi ia juga tidak akan punya waktu untuk mengobrol dengan temannya di toko makanan cepat saji.
“Kalau begitu, hari ini kita makan itu.”
“Hn, pertama kalinya dengan Sorata.”
“Rasanya terdengar aneh, jangan mengatakan sesuatu yang seperti itu.”
“Apa itu pertama kalinya Sorata?”
“Jangan mengatakan sesuatu yang aneh!”
“Pertama kalinya untuk Sorata?”
“Rasanya seperti aku juga kehilangan sesuatu.”
Mashiro tidak mempedulikan Sorata yang sudah lemah, dan dengan cepat berjalan ke toko makanan cepat saji. Sorata tidak punya cara lain, hanya bisa mengejarnya dari belakang.
Melewati pintu otomatis, masu ke dalam toko makanan cepat saji. Karena ini waktunya makan siang, di dalam tokonya sangat ramai. Semua pelanggannya terlihat sangat muda, anak SMP, SMA, juga seorang ibu yang membawa anak SD.
“Orangnya banyak sekali.”
Melihat ke sekitar, sepertinya semua tempat duduk dipenuhi, yang tersisa hanya tempat duduk yang di dalam.
“Sudahlah, duduk di sana saja.”
“Baik.”
Sorata membawa Mashiro ke tempat duduk untuk dua orang yang ada di dekat jendela, satunya menaruh tas Sorata, dan tempat duduk yang satunya lagi untuk Mashiro duduk.
“Mashiro ingin makan apa?”
“Sama dengan Sorata.”
“Aku tahu.”
Sorata meninggalkan Mashiro yang duduk sendirian, dan mulai antri. Dua orang yang ada di depannya pada memesan paket burger dengan jam tertentu. Sorata juga membeli paket yang sama. Selesai membayar, dan menerima piring yang memuat dua porsi burger, kentang goreng, dan minuman, Sorata pun berjalan ke temapt Mashiro.
“Maaf membuatmu menunggu lama.”
Dia mengatakannya sambil duduk di samping Mashiro, dan segera memasukkkan satu kentang goreng ke dalam mulutnya. Mashiro yang merasa menakjubkan itu memperhatikan gerakan Sorata.
“Ada apa?”
“…”
Mashiro berdiri dengan tidak mengatakan apapun, baru penasaran apa dirinya akan melakukan sesuatu, dia pun sedikit mendekatkan kursinya ke arah Sorata, lalu duduk kembali seperti tidak terjadi apapun.
“Dengan begitu pas.”
Wajahnya lebih dekat dari yang tadi, pundak kedua orang itu hampir bersentuhan.
Kalau dilihat dari jarakanya, sebenarnya masih lebih dekat ketika mereka naik kereta. Namun, Mashiro yang sengaja memperpendek jaraknya membuat hati Sorata berdetak dengan cepat. Kentang gorengnya tidak bisa ditelan, setelah minum malah tersangkut di dalam tenggorokan, dan sempat batuk beberapa kali.
“Sorata?”
“Ti-tidak ada.”
“Wajahmu sangat merah.”
Mashiro sedikit memutar badannya, dan melihat ke wajah Sorata. Napasnya dapat dirasakan di sekitar pipi, dekat sekali. Dengan sedikit memajukan badannya, ia bisa mencium bibirnya yang berkilauan itu.
Sorata menelan ludahnya.
“Se-semua terjadi karena kau melakukan hal yang begitu imut!”
“Hn?”
Mashiro menunjukkan ekspresi tidak paham. Ia sama sekali tidak mengerti dengan situasi sekarang, dan memiringkan kepalanya. Bahkan ekspresi seperti itu, Sorata tidak berani menatapnya tulus.
“Sudahlah, tidak apa.”
Setelah Sorata selesai mengatakannya, ia dengan kasar ingin menyembunyikannya dengan mengambil burgernya. Membuka bungkusannya, dan mulai makan burgernya itu.
Mashiro juga menirunya, dan memasukkan burgernya ke dalam mulutnya, memakan burgernya sedikit demi sedikit.
“Kentang goreng dan minumannya juga punyamu.”
Dan dengan tenang seperti ini sekitar 3 menit. Saat kedua orang itu selesai menyandap burger mereka, timbul masalah yang baru.
Tiba-tiba, kentang gorengnya diantar ke depan Sorata. Yang sedang memegang ketang goreng itu Mashiro.
“Sorata, aaa~!”
Sepertinya itu bermaksud menyuruh Sorata makan.
“Aku tanya sebentar, apa yang sedang kau lakukan?”
“Pasangan.”
Dapat jawaban yang begitu sederhana.
Sorata hampir menyemburkan minum yang baru masuk ke dalam mulutnya itu.
“Apa kau bisa menjawab dengan lebih jelas sedikit?”
Kentang yang Mashiro ingin berikan itu masih berada di samping Sorata.
“Cukup aku memakannya sendiri.”
“Padahal pacaran?”
“Kalau melakukan sesuatu seperti itu dihadapan orang lain, akan dianggap pasangan bodoh dan direndahkan.”
“Kalau begitu, jadi pasangan bodoh saja.”
Melihat ke arah yang sedang Mashiro hadap itu, terlihat pasangan SMA yang padahal hari libur tapi menggunakan seragam. Mereka memang sedang saling menyuapi. Kedua orang itu mungkin mendengar percapakan mereka, dan melihat ke arah Sorata dan Mashiro.
Sorata tertawa kecil.
“Lain kali hati-hati saat kau berbicara!”
Dia mengatakannya ke Mashiro dengan suara yang kecil, dan membuat dia membalikkan kepalanya.
“Itu yang perlu diperhatikan, Sorata.
“Jangan sampai ini juga menyuruhku untuk membantumu memperhatikan.”
“Padahal Sorata itu pacar laki-lakiku.”
“Yang namanya pacar laki-laki itu bukanlah alat yang bisa digunakan seenaknya, loh.”
“Rita bilang pacar laki-laki akan melakukan segalanya untuk kita.”
“Baik, kau tunggu sebentar, aku akan segera mengirim pesan ke Inggirs untuk protes.”
Sorata mengeluarkan ponselnya.
—Jangan beritahu Mashiro hal yang tidak tidak.
Mungkin karena masalah perbedaan waktu, di sana mungkin masih subuh. Sorata awalnya kira tidak akan mendapatkan balasan, tapi tidak disangka dengan cepat dia mendapatkannya.
—Ternyata begitu, Sorata ingin melatih Mashiro menjadi sosok yang dirinya inginkan, ya. Perkataanmu semakin berani, ya.
—Tolong jangan salah paham dengan maksudku!
Kalau berlama-lama akan bahaya. Pasti akan diartikannya menjadi semakin aneh.
—Kalau saja Sorata kencan dengan Mashiro lebih awal, aku tidak akan mengatakan apapun. Bersemangatlah.
Dan sekali lagi tanpa disangka mendapat balasan yang normal.
“…”
Sorata tidak dapat mengatakan apapun.
“Rita bilang apa?”
“Dia menyemangatiku.”
“Sorata, semangat.”
“Aku sudah berusaha semampuku…”
“Kentang goreng, sangat enak.”
Mashiro sudah tidak mendengar Sorata berbicara lagi, dan terdengar suara kentang yang baru selesai digoreng dari arah kasir.
Selesai makan siang, Sorata dan Mashiro keluar dari toko itu, sekarang sudah lewat dari jam dua siang. Untuk membantu pencernaan, kedua orang itu berkeliling ke toko yang ada di sekitar. Setelah puas berkeliling, mereka berdua pun melangkahkan kakinya ke arah stasiun.
“Walaupun masih awal, mau pulang?”
Sorata bertanya pada Mashiro yang berjalan di sampingnya.
“Bagaimana dengan hotelnya?”
Sorata sekejap masih tidak yakin ini balasan Mashiro.
“Eh?”
“Tidak pergi, kah?”
“Tadi kau bilang apa?”
“Tidak pergi?”
“Sebelum itu!”
“Apa yang aku katakan?”
“Sebuah hal yang sangat penting, kau harus memikirkan kembali!”
“… hotel?”
“Benar, itu dia! Tidak, sebaiknya tidak usah dipikirkan kembali!”
“Tidak pergi, kah?”
“Apa ini juga diajari Rita?”
“Jin yang bilang.”
“Orang itu…”
Jin pasti sedang memikirkan sosok Sorata yang panik dan tertawa terbahak bahak. Ampas sekali hobi seperti itu, kalau tidak berkaitan dan tertawa tidak masalah, hanya bagi korbannya ini merupakan sesuatu yang sangat merepotkan.
“Tidak pergi?”
“Mana boleh pergi!”
“Mengapa?”
“Ten-tentu kalau kencan pertama sudah pergi ke hotel, akan ada banyak masalah, ‘kan? Kita masih SMA! Kalau Jin-senpai yang merupakan ‘Raja Malam’, sih jangan dibilang lagi, ini sangat aneh dari berbagai sisi!”
“Tidak masalah.”
“Sama sekali tidak boleh!”
“Aku sudah memakai celana dalam penentuan.”
“Jangan dengan begitu mudahnya melangkah ke arah yang salah! Mentalku tidak akan mampu! Juga, a-apa kau datang kencan dengan motivasi seperti itu!”
“Itu? Apanya itu?”
“Mana bisa kukatakan!”
“Kalau kau tidak bilang, bagaimana aku bisa tahu?”
“Po-pokoknya masih terlalu awal untuk hotel! Mengerti?”
“Aku tahu.”
“Benar?”
“Hnn.”
“Huft, syukurlah.”
Sorata tiba tiba merasa lega.
“Nah, Sorata.”
“Ada apa?”
“Kalau begitu mau sampai kapan baru dihitung tidak terlalu awal?”
“Masih ingin lanjut topik ini, kah?!”
“Kalau kau tidak memberitahuku, aku akan sangat pusing.”
“Apa kau tahu sekarang aku sedang pusing?”
“Aku akan tidak tahu kapan saatnya menggunakan celana dalam penentuan.”
“Aku juga tidak tahu!”
“Huft...”
“’Huft’, apa? Ju-juga, kau…, i-itu…, ergh, sudahlah!”
Suara Sorata semakin mengecil.
“Apanya tidak apa?”
“Ma-maksudnya…, de-dengan aku…, itu…, hal seperti…, pergi ke hotel.”
Rasanya memalukan sekali sampai Sorata ingin segera kabur.
“Masih tidak boleh, loh.”
Mashiro berkata dengan suara yang kecil.
“Padahal masih tidak boleh tapi sudah bertanya denganku?”
“Aku masih belum mempersiapkan diri.”
Rasanya wajah Mashiro benar-benar memerah.
“Lalu yang tadi itu apa? Walaupun rasanya masih terlalu awal, tapi kalau tidak diundang, apa itu hati gadis muda yang sedang pusing?”
Mashiro berhenti sejenak, lalu menjawab, “Ya.”
“Tidak boleh bohong! Tadi kau pasti berpikir, ‘Ah, begitu juga lumayan’, ‘kan?”
“Aku tidak berpikir begitu.”
Mashiro yang tidak terima kalah itu sama sekali tidak ada maksud memberikan kesempatan. Karena begitu, Sorata hanya bisa menyerah.
“Aku tahu. Sudahlah, biarkan saja begitu. Harusnya kau lebih teliti lagi, otaknya laki-laki itu suka memikirkan hal yang tidak-tidak.”
Hari ini juga terus berpikir mau berciuman dengan Mashiro di mana. Dengan hanya pundak yang saling bersentuhan, semua pikirannya langsung berpikir ke arah sana.
“Kalau begitu apa yang dipikirkan Sorata sebagai seorang laki-laki?”
“Pi-pikiran apapun juga tidak masalah, ‘kan? Pokoknya, kau harus lebih menjaga dirimu sendiri.”
“Kalau begitu biarkan Sorata saja yang menjagaku.”
Sorata membuka mulutnya lebar-lebar, dan masuk mode melamun.
“Sorata harus menjagaku.”
“A-aku bilang, ya! Kenapa kau selalu mengatakan sesuatu yang aneh secara tiba tiba?”
“Apa Sorata akan melakukan hal kurang ajar terhadapku?”
“Mana mungkin!”
Sorata langsung mengangkat kepalanya, dan segera menjawab.
“Tolong lembut sedikit.”
“Masih terlalu awal untukmu mengatakan sesuatu seperti itu!”
“Karena aku tidak mengerti, jadi semoga kau bisa mengajariku.”
“Cepat sekali hubungannya berkembang! Stop! Berhenti di sini! Baik, ayo pulang! Pulang, ya! Hari ini sudah cukup. Ayo kita pulang, boleh?”
Walaupun Sorata sempat berpikri harus mengubah suasana di sekitar seperti apa, tapi sekarang dirinya tidak mengingin itu lagi.
“Lanjutkan di Sakurasou?”
“Tidak lanjut, hoi!”
“Padahal senang sekali…”
“Aku bilang kau ya…!”
“Kencannya sangat menyenangkan.”
Mashiro mengatakannya dengan suara yang sangat kecil. Walaupun hampir tidak mendengarnya, tapi syukurlah Sorata masih bisa mendengar itu.
“Selanjutnya mau kencan berapa kalipun boleh.”
Sorata mengatakannya sambil melangkahkan kakinya. Wajahnya memanas, Sorata sadar bahwa dirinya telah mengatakan sesuatu yang memalukan.
Walaupun terlambat sedikit, Mashiro pun mengejar dengan berlari kecil.
“Kalau begitu, minggu depan juga ingin kencan.”
“Tiap minggu kencan juga tidak apa.”
Mashiro menarik tangan Sorata yang bergoyang itu sebagai balasan. Wajahnya terlihat sangat bahagia.
“Ah, kita terbalik dengan arah stasiunnya.”
Sorata sadar mereka salah arah, dan balik lagi. Sepertinya ia mengalami keraguan yang hebat di dalam hatinya.
Di saat ingin turun lewat tangga, bertemu dengan seorang gadis yang ingin baik, lalu terkejut sampai membuka mulut lebar-lebar. Sorata kenal dengan wajah yang serius juga menggunakan kacamata itu.
“Kanna?”
Sepertinya Sorata terlalu lengah sampai kira tak diikuti, dan Sorata sepertinya tidak menyadari hal ini.
“Bu-bukan!”
Kanna mengatakan kebohongan yang jelas itu, dan mengkesampingkan wajahnya. Di saat yang bersamaan ia bersiap mundur selangkah. Namun, Kanna berdiri di atas tangga, jadi di belakangnya tidak ada lantai yang bisa menopangnya.
“ah!”
Kanna berteriak, badannya miring.
“Kanna!”
Sorata merasa buruk dan berteriak, dan mati-matian mengulurkan tangan pada Kanna yang jatuh itu. Namun, sama sekali tidak tercapai. Malahan Kanna yang kehilangan keseimbangannya itu semakin menjauh dari Sorata, kepalanya mulai menghadap ke bawah. Sudah tidak ada cara lain lagi.
Di saat dia jatuh, Sorata menutup kedua matanya.
“Uwooo!”
Lalu saat ini terdengar suara seorang laki-laki.
Orang yang berada dibagian bawah tangga itu menangkap badan Kanna yang jatuh, dan dua orang itu jatuh dengan bersamaan.
Sorata langsung mengejar ke bawah tangga.
Segera sadar yang menangkap Kanna itu Iori. Sepertinya mereka berdua mengikuti Sorata dan Mashiro.
“Kanna, apa tidak apa-apa?”
Sorata mengulurkan tangannya untuk menarik Kanna.
“Y-ya.”
Wajah Kanna masih memucat, dan belum tenang, tangan kanannya memegang dada, seperti ingin menenangkan dirinya.
Dilihat dari fisiknya, sepertinya tidak terluka.
Sorata merasa lega, dan bertanya, “Iori juga tidak apa-apa, ‘kan?”
Tapi sesaat kemudian, badan Sorata menjadi kaku.
Iori dengan derita memasang wajah yang kesakitan.
“——!”
Yang dia lindungi itu tangan kanannya. Dipergelangan tangannya ada sebuah tonjolan yang tidak alami, dan memutar ke arah yang aneh.
Iori menutup kedua matanya, menahan kesakitan.
Sorata terkejut sampai wajahnya memucat.
“Iori!”
Ia menjongkok dan memanggil Iori.
“Uhhhh!”
Namun, balasan yang ia dapatkan hanya suara rasa sakit yang tidak mampu menjadi sebuah kalimat.
Sorata dengan panik mengeluarkan ponselnya dan menelepon ambulan.