MUSIM SEMI DATANG SAAT AKHIR MUSIM SEMI
(Part 3)
(Translater : Blade; Editor : Alien Mars)

Setelah melewati minggu ini, tanggal yang ada di kalender dengan cepat berganti ke bulan Juni. Suasana retret perpisahan yang bahkan masih tersisa saat minggu juga hilang entah ke mana.
Di dalam ruang kelas 3 tempat Sorata berada, di sini mulai terlihat suasana yang aneh.
Siswa yang sudah pasti lulus itu masih mending, di kelasnya ada lebih dari setengah yang masih tidak yakin lulus, atapun yang ragu akan ke sekolah lain. Setiap orang berusaha untuk menghadapkan diri pada kenyataan yang ada di depan.
Suasana yang ada di kelas ini cukup membuat Sorata merasa kalau dirinya adalah siswa kelas 3 yang akan menjalani tahun terakhirnya di sekolah, dengan kata lain, tahun ini adalah tahun terakhir dirinya di Suiko.
Rencana ke depannya juga penting.
Harapan pertama Sorata adalah semoga bisa diterima di Universitas Seni Suimei Jurusan Media Departement, andaikan bisa langsung mendapatkan rekomendasi untuk langsung lulus.
Namun wali kelasnya, Koharu-sensei sempat memberitahu kalau Sorata hampir tidak lulus, jadi Sorata merasa kurang yakin.
Walaupun begitu, yang bisa dirinya lakukan hanyalah berusaha untuk mendapat nilai yang bagus pada ujian yang ada pada bulan Juli nanti.  Bagaimanapun yang mempengaruhi rekomendasi itu adalah nilai rapor dari kelas 1 sampai sekarang, namun sekarang sudah terlambat.
Karena menyadari inilah Sorata berpikir apa adanya saja, dirinya sudah memutuskan kalau memang tidak bisa, dia akan masuk ke Universitas Suimei dengan test seperti umumnya.
Bagaimanapun, sekarang Sorata hanya bisa menyelesaikan hal-hal yang bisa dirinya lakukan sendiri. Karena begitulah, untuk mempersiapkan dirinya menghadapi ujian semester pertama, tiap hari dia selalu konsentrasi belajar, rajin menulis catatan.
Dan hari demi hari, Sorata mulai terbiasa dengan semua itu.
Tapi tetap saja ada kalanya Sorata tidak bisa mengatur suasana hatinya sendiri. Karena setiap hari dia akan bertemu Nanami di kelas, karena sekelas, jadi tentu saja, apalagi tempat duduknya berada di samping Sorata, tentu saat belajar akan terasa kehadirannya.
Namun yang aneh itu, sama sekali tidak ada kejadian seperti pandangan keduanya saling bertemu atau merasa gugup.
Obrolan di kelas saat pagi.
“Pagi.”
“Oh, pagi.”
Hanya saling menyapa seperti itu.
“Apa kucing-kucingnya baik baik saja?”
“Mereka tumbuh dengan cepat.”
Atau mengobrol tentang kucing yang dipelihara Sorata.
Awalnya tidak ada percakapan sepert ini, keduanya hanya diam, jadi ini sudah bisa dibilang kemajuan yang sangat besar. Kalau saja kelak nanti bisa balik ke hari-hari seperti Sakurasou pasti menyenangkan. Sekarang Sorata hanya bisa menunggu, karena dirinya sudah berjanji akan terus menunggu.
Selain itu, tiap hari terasa tidak begitu beda, tapi Sorata menjalani setiap harinya dengan penuh energi.
Saat pagi setelah membangunkan Mashiro, mereka berangkat ke sekolah bersama, setelah pulang sekolah, Sorata menjemput Mashiro dan pulang bersama, selain itu tidak ada yang begitu berbeda. Cuma karena suasananya berbeda, pemandangan dan musim terasa berbeda juga baginya, pokoknya hadapain apapun itu rasanya bisa menghadapinya dengan yakin.
Ini memberi pengaruh yang sangat besar bagi Sorata yang menantang proyek baru ‘Game Camp’.
Tiap hari sepulang sekolah, Sorata akan mengosongkan waktunya untuk memikirkan idenya. Dengan begitu mewujudkan impiannya dengan perlahan. Karena begitulah, catatan yang ada di dalam hatinya berhasil dipenuhi dengan ide idenya yang baru.
Di kehidupan damai seperti ini, satu minggu berhasil dilewati, dan minggu kedua terlewati lagi.
Sudah tengah bulan Juni, dan terjadi perubahan pada kelas yang Sorata sudah terbiasa itu.
Ryuunosuke yang kembali ke gaya hidup sebelumnya sepulang retret perpisahan itu datang ke sekolah, bahkan pada saat wali kelasnya belum sampai di kelas. Awalnya dia mengira semester pertama tahun ini dia tidak akan datang ke sekolah.
Tentu dengan sekejap seluruh isi kelas mulai tertarik dengan Ryuunosuke.
Ryuunosuke sama sekali tidak memedulikan itu, duduk di bangku urutan terakhir dekat jendela, dengan kata lain belakang Sorata. Dia mengeluarkan laptopnya dari dalam tas, setelah menyalakannya, dengan cepat dia memulai pengerjaannya.
“Akasaka, apa yang sedang kau kerjakan?”
“Memperbarui beberapa program yang ada.”
“Tidak, aku tidak menanyakan itu. Aku ingin tanya kenapa kau datang ke sekolah.”
Sorata sadar kalau dirinya menanyakan sesuatu yang aneh, datang ke sekolah belajar itu sesuatu yang wajar.
Namun teman sekelas yang melihat ke sini dengan pandangan penasaran juga mempertanyakan hal yang sama.
“Semester 3 kelas 3 itu bebas tidak wajib datang ke sekolah.”
“Itu aku tahu.”
Karena semuanya akan sibuk mempersiapkan dirinya untuk ujian masuk universitas atau mencari pekerjaan.
“Harus mulai mengatur jumlah kehadiran mulai sekarang.”
“Hn, aku berpikir itu salah satu alasannya.”
Sudah begini, Ryuunosuke juga tidak mungkin bertobat, dan dengan rajin datang ke sekolah.
“Oh ya, Kanda.”
“Hn?”
“Ini tentang game shooting yang kau minta aku coba mainkan.”
“Ah, bagaimana?”
“Kalau tentang gerakan CPU, sudah bisa dibilang lulus.”
“Sepertinya ada maksud lain ini.”
“Karena aku tidak merasa ini game yang seru.”
Ryuunosuke tetap seperti biasa langsung menuju ke intinya.
“Kalau begitu maaf.”
Jujur saja, dengan hanya coding Sorata saja sudah pusing sekali, sama sekali tidak ada waktu untuk meningkatkannya lagi.
“Tapi, ini sudah cukup untuk kau yang masih belajar desain program.”
“Hn, aku sudah tahu secara garis besar caranya untuk mebuat suatu game.”
Tentu, Sorata sudah sangat paham ini hanya langkah awalnya. Namun, di saat sebelum mencoba membuat, Sorata bahkan tidak tahu bagaimana caranya sebuah game bergerak. Jadi bisa dibilang ini merupakan kemajuan yang cukup banyak.
“Juga ini bagian pentingnya, apa kau sedang memikirkan ide untuk mengikuti “Game Camp”?”
“Aku sudah punya beberapa ide.”
Dia menaruh catatannya di atas meja Ryuunosuke.
Setelah Ryuunosuke mengambilnya, dia mulai membolak-balikkan halaman.
Ada sekitar empat sebuah ide. Game teka-teki, shooting, dan action…, juga perbaikan dari game ritme sebelumnya, penyempurnaan dari ‘Rhythm Battler’ yang sempat lolos tahap seleksi ‘Ayo Membuat game’.
“Batas pendaftaran pertama kalau tidak salah tanggal 10 bulan Juli, ‘kan?”
“Hn.”
“Apa kau berencana ‘memaksakannya’?”
Pandangan Ryuunosuke tetap tertuju pada catatan itu.
“Kalau tidak tahu kapan akan diadakan pendaftaran yang kedua kalinya, kurasa kita harus daftar kali ini.”
“Pilihan yang tepat.”
Saat ini tangan Ryuunosuke yang membolak balikkan halam catatan itu berhenti.
“Kalau dinilai dari kedewasaan pembuatan, maka Rhythm Battler sudah memenuhi itu.”
“Ya, bagaimanapun ini game yang dibantu oleh Fujisawa-san.
“Mengubahnya menjadi proyek yang lebih dominan pertarungan itu…, alasannya apa?”
Dengan kata lain, awalnya ini game irama pertarungan dengan menekan tombol yang sesuai dengan musik, tapi versi penyempurnaan mengubahnya menjadi lebih seperti game pertarungan pada umumnya, pemain bisa mengontrol karakternya untuk bergerak bebas dan menyerang. Kalau ingin bahas soal di mana iramanya, itu adalah ada bagian untuk melancarakan serangan spesial. Idenya itu adalah menekan tombolnya sesuai dengan BGM-nya, dengan begitu serangan pamungkasnya berhasil.
Apalagi, alasan mengaturnya seperti ini ada di dalam hati Sorata.
“Karena yang mendesain ini adalah Akasaka.”
“Oh.”
“Kalau lebih menekankan bagian beratnya padamu, mungkin hasilnya akan lebih baik?”
“Memang keputusan yang tepat, sih.”
“Bisa menjawab dengan penuh keyakinan seperti itu, kau memang hebat sekali, ya.”
Ryuunosuke tidak menanggapinya, dan lanjut mengatakan, “Walaupun seharusnya tidak perlu aku ingatkan, kalau dilihat dari unsur proyeknya, unsur musiknya tidak bisa diremehkan.”
Pandangannya seperti bertanya anggota yang mengurus bagian musik itu bagaimana? Kalau lebih jelas lagi, dia ingin Sorata meminta bantuan pada Iori.
“Pokoknya, akan kutanya dia apakah tertarik dengan pengerjaan game.”
Kalau tidak, maka harus dipertimbangkan ulang. Berbeda dengan ‘Ayo Membuat Game’, ‘Game Camp’ yang Sorata tantang kali ini harus mencari anggotanya sendiri.
Walaupun rasanya akan sangat menyusahkan, tapi termasuk mencari anggota, Sorata sangat menikmati situasi sekarang, dengan hanya berpikir atas segala kemungkinan yang ada rasanya menyenangkan sekali.
“Juga bagian gambar.”
“Aku tahu.”
Kalau tanya Mashiro, dia pasti akan menyetujuinya dengan senang.
Namun, Sorata merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyai Mashiro. Membuat game itu tujuan Sorata, bukan Mashiro. Mashiro mempunyai impian ingin menggambar komik yang bagus, sekarang juga dirinya masih mengusahakan itu. Sorata tidak boleh mengganggunya, juga tidak ingin mengganggunya.
Di sekitarnya juga ada seseorang yang sudah bisa membuat anime seorang diri, Misaki yang sudah diperhatikan di masyarakat, tapi alasannya juga sama, jadi Sorata tidak berencana untuk bertanya padanya.
Bagi Sorata sendiri, karena berharap masa depan nanti bisa membuat game dengan tim seperti sekarang, jadi tidak berharap akan selesai hanya dengan satu kali saja.
Sorata berharap bisa seperti Fujisawa Kazuki, bersama rekan yang ada saat masa mudanya menantang ‘Ayo Mmebuat Game’, lalu sukses dan mendirikan perusahaannya sendiri.
Jadi tidak boleh menyeret Mashiro dan Misaki yang tujuannya berbeda ke dalam.
“Pokoknya, akan kupertimbangkan lagi.”
Sorata menjelaskan begitu pada Ryuunosuke, dan menerima kembali catatan yang diberikan.
Hari ini sepulang sekolah, Sorata berjalan ke kelas seni yang berada di gedung sebelah untuk menjemput Mashiro.
Di koridor menuju ke sana, Sorata melihat seseorang yang tidak asing baginya.
Itu Iori.
Ini merupakan sebuah kesempatan bagus. Sorata berjalan ke arahnya, ingin bertanya soal ‘game Camp’ padanya.
Saat ini, Iori sedang melihat ke poster yang ada di papan pengumuman dengan ekspresi yang serius.
Sorata melihatnya dengan berdiri di sampingnya, sebentar, itu sebuah poster promosi untuk lomba piano. Sorata sementara menyimpan urusan ‘Game Camp’ karena takut mengganggu.
“Apa kau ingin mengikutinya?”
“Uwaa!”
Iori yang terkejut sedikit meloncat.
“Sorata-senpai, sejak kapan kau berdiri di sini?! Apa kau seorang ninja?!”
Sepertinya terlalu fokus, jadi sama sekali tidak menyadari kehadiran Sorata.
“Pokoknya, aku bukan ninja.”
Hiraukan ini. Sorata memindahkan pandangannya kembali ke posternya, Iori juga begitu.
Tanggal pelaksanaannya tanggal 7 bulan depan, sebelum liburan musim panas, kalau dihitung termasuk hari ini, itu pas sekitar sebulan lagi.
“Aku sudah daftar sejak lama.”
“Begitukah?”
“Tapi, sedang kupikirkan mau batalkan atau tidak.”
“Oh, ya?.”
“… senpai, apa kau tidak bilang sebaiknya ikut saja atau sesuatu seperti itu?”
“Apa kau berharap aku berkata begitu?”
“Aku tidak tahu.”
Iori perlahan merendakan kepalanya, dan terdengar suara dari sebelah koridor.
“Iori, sudah saatnya latihan.”
Yang berada di gedung sebelah itu adalah siswa kelas 1 jurusan musik yang menggunakan kacamata. Sorata sebelumnya pernah melihatnya bersama Iori, masih ingat namanya Takura Naoya. Di tangannya terlihat sesuatu seperti lembar musik.
“Aku segera menyusul! Aku duluan, senpai.”
“Hn.”
Iori yang berlari kecil itu segera menyusul Naoya, dan memberinya sebuah tendangan, namun Naoya dengan sebal menangkisnya dengan lembaran musik.
Setelah kedua orang itu pergi, Sorata sekali lagi melihat ke papan pengumuman.
‘Lomba Piano Se-Jepang’.
Di sampingnya tertempel foto kakak Iori yang Sorata kenali, Himemiya Saori, juga beberapa artikel dari majalah.
Tanggalnya sekitar 3 tahun lalu.
‘Mendapat juara 3, Himemiya Saori’
Judulnya tertulis begitu.
Ekspresi Saori yang terliaht lebih mudah dari bayangan Sorata itu mengenakan gaun berwarna hitam.
“Ini memang rasanya tidak menyenangkan.”
Kakak kandungnya sudah berhasil memperoleh prestasi bagus, namun adiknya Iori terus saja dibandingkan orang lain dengan kakaknya. Kalau dilihat dari hati manusia, biasanya pasti akan meminta Iori tampil lebih bagus dari kakaknya.
Yang disayangkan, Iori yang sekarang belum bisa membalas harapan itu.
Dilomba yang Sorata amati waktu itu, di saat Iori maju, atmosifrnya memang berbeda dengan orang lain, dan Iori yang tidak tahan dengan semua itu, berhenti di tengah permainannya.
“…”
Walaupun sudah dibilang ke Ryuunosuke akan coba bertanya pada Iori, namun, menurut Sorata, sekarang bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal seperti itu, setidaknya perlu tunggu Iori memutuskan tentang lomba kali ini.
Sorata melihat ke artikel ‘siswa bermasalah di sini loh~~!’ yang ada dipojok sambil berpikir.
“… ngomong-ngomong, apaan ini?”
Menggambar dengan menggunakan crayon, tidak bisa dikenali apa itu kucing, anjing atau sebuah monster. Sebuah lukisan yang aneh.
“Apa ini yang namanya seni?”
Sorata tidak ingin berpikir lagi, dan memutuskan untuk menuju ke kelas seni tempat Mashiro berada.
Sampai di ruang kelas seni, kebetulan bertemu dengan teman sekelas Mashiro, Fukaya Shiho.
“Ah, Kanda-kun.”
Dia memanggil dengan suara yang ceria, lalu segera balik lagi, mengulurkan kepalanya ke ruang kelas seni dan berkata, “Shii-na-san! Suamimu sudah datang menjemputmu, loh!”
“Siapanya yang suami, hoi!”
“Eh? Tapi, Kanda-kun itu suami masa depannya, ‘kan?”
“Siapa yang bisa tahu tentang masa depan?”
“Eh? Apa kau berencana putus?”
“Maksudku bukan itu.”
“Bohong saja, kok, itu tentu aku tahu. Aku duluan, ya. Silahkan kalian berdua menikmati waktu kalian sendiri.”
Shiho dengan nakal mengatakannya, dan mulai meninggalkan Sorata dengan berlari kecil.
Di saat mengira seperti itu, di depan koridor terdengar suara teriakan Shiho hampir saja terjatuh.
“Uwaaa~!”
“Apa yang dia lakukan, sih?”
Sorata memalingkan wajahnya, supaya dirinya tidak melihat pemandangan yang ada di bawah rok.
“Ngomong-ngomong…”
Padahal tidak pernah ceritakan pada orang lain, kenapa dia tahu tentang Mashiro yang pacaran dengannya? Tidak hanya Shiho, di kelas lain juga, hal ini menjadi bahan pembicaraan anak kelas tiga.
Dilihat dari situasi sekarang, masih tidak terlalu parah di bagian anak kelas 1 dan 2. Tapi bagaimanapun itu, Mashiro, kakak kelas yang cantik juga pandai menggambar itu, cepat lambat pasti akan tersebar.
Di saat Sorata berpikri begitu, Mashiro dengan cepat berjalan ke samping Sorata.
“Sorata, maaf membuatmu menunggu lama.”
“Kalau begitu, ayo kita pulang.”
“Hn.”
Di antara Mashiro dan Sorata ada suasana yang manis-manis gitu.
Ke kelasnya untuk menjemput Mashiro, entah sudah dilakukan berapa kali sejak menjadi yang bertanggungjawab menjaganya, namun suasana hatinya sekarang berbeda sekali dengan dulu.
Shiho yang belum pulang mengintip dari depan, dan tersenyum dengan nakal karena melihat kedua orang itu.
Dalam jangka waktu lama sepertinya harus tahan terhadap situasi sepert ini. Sorata menganggap ini sebagai pengorbanan cinta, dan pasrah.
Apalagi, sikap Shiho terbilang lucu, di kota ini ada orang yang sikapnya lebih parah dari ini.
Setelah mengganti sepatunya, Sorata dan Mashiro berjalan melewati gerbang sekolah. Untuk belanja bersama, mereka berjalan ke arah stasiun, tujuan mereka adalah distrik perbelanjaan.
Setelah tiba di distrik perbelanjaan, yang menunggu Sorata dan Mashiro adalah sambutan yang hangat.
Melewati depan penjual ikan, paman itu berkata, “Woo, bukannya ini Kanda? Makarel kuda hari ini lumayan, loh.”
“Kalau begitu, aku mau beli makarel kuda.”
“Mashiro hari ini juga begitu imut, ya. Kalau begitu kugratiskan satu ekor! Karena pantas untuk dirayakan, jadi ambil saja!”
Setelah paman penjual ikan selesai mengatakan itu, benar-benar diberikannya. Rasanya sedikti mengkhawatirkan. Tokonya tidak akan bangkrut, ‘kan?
Lalu bibi penjual daging berkata, “Yaa, bukannya ini Sorata? Lihatlah ke sini. Ada daging goreng yang baru selesai digoreng, loh.”
“Eh, kalau begitu, berikan itu padaku juga.”
“Pasangan dengan akur keluar membeli bahan makan malam, ya. Masa muda memang menyenangkan. Kroketnya anggap saja bonus.”
Lalu dapat kroket lagi.
Berkat ini, setiap kali lewat distrik perbelanjaan, kedua tangan akan penuh dengan bahan-bahan makanan.
Hari ini juga begitu.
“Sorata.”
“Hn.”
Sorata kembali merapikan kantong plastik yang sedang ia pegangi.
“Aku ingin bawa.”
“Bawa apa?”
“Daging.”
“Kenapa?”
“Ikan.”
“Aku tanya kenapa kau ingin bawa.”
Mashiro melihat ke kedua tangan Sorata, kemudian melihat ke kedua tangannya sendiri dan berkata, “Sorata tidak ingin gandengan tangan denganku?”
Sorata terkena serangan yang tidak diduga, jantungnya berdetak dengan keras.
“Ba-baik, kalau begitu bawalah setengah.”
Sorata kemudian memberikan plastik yang lebih ringan pada Mashiro, dan satu tangannya kini menganggur. Tapi dengan segera, dia menggandeng tangan Mashiro, tangannya tidak menganggur lagi.
Dia melihat ke wajah Mashiro yang terlihat puas itu, dan melangkahkan kakinya.
“Nah, Sorata.”
“Ada apa?”
“Berat sekali.”
Belum berjalan 10 meter, Mashiro ingin mengembalikan plasti yang penuh dengan kroket itu pada Sorata.
“Ini biar kau yang bawa.”
“Bukannya kau sendiri yang bilang ingin membawanya?”
Sepasang kekasih mengobrol seperti itu, lalu akhirnya tetap kembali ke Sakurasou dengan bergandengan tangan.
Melewati pintu besar, mereka membuka pintu Sakurasou dengan berkata, “Kami pulang…”
Di saat ingin masuk, Sorata melihat sepasang sepatu laki-laki. Itu bukan sepatu Sorata, juga sepertinya bukan punya Ryuunosuke ataupun Iori. Karena tinggal bersama, jadi alami saja bisa tahu barang yang digunakan semuanya.
“Hn? Tapi ini, kan…”
Kalau diperhatikan lagi, rasanya pernah lihat.
Wisuda dari Suiko saat bulan Maret, yang awalnya tinggal di kamar nomor 103 itu.
“Jin-san!
Kemeja dengan warna putih itu sangat cocok dengannya, kacamatanya tetap sama seperti dulu.
“Ada apa, sesenang itukah bertemu denganku?”
“Karena, eh? Kenapa kau pulang?”
Jin ke sini untuk fokus belajar menulis naskah, dia mengambil rekomendasi dari Suiko, dan dia berhasil masuk ke Universitas Seni yang ada di Osaka, juga dia lolos dengan sempurna, sekarang harusnya dirinya berada di Osaka sendirian.
“Anime Misaki katanya besok akan mulai diberikan suara, makanya aku pulang untuk melihatnya.”
“oh, itu ya.”
Sorata tahu itu adalah peran Nanami. Sebelum audisi dimulai, Sorata sempat membantu Nanami berlatih naskah, karena entah sudah mengulanginya berapa kali, sampai sekarang Sorata masih mengingat naskahnya dengan jelas, apalagi akting Nanami.
“Jin, selamat kembali.”
Walaupun telat sedkit, tapi Mashiro akhirnya muncul.
“Mashiro juga sudah lama tidak bertemu. Ngomong-ngomong, tidak begitu lama juga, ya.”
Jin mulai tertawa. Terakhir kali bertemu itu saat liburan musim semi, saat Sorata demam Jin pernah pulang sekali, tujuannya untuk memastikan pendaftaran pernikahan yang akan diserahkan Misaki. Lalu mereka berdua harus kembali ke kampung mereka, dan pulang setelah menyapa orangtua mereka. Entah apa yang mereka katakan padanya.
“Tapi, tidak kusangka secepat itu sudah ada 2 siswa kelas 1 yang datang ke Sakurasou, mengejutkan sekali.”
“Hn, begitulah.”
Saat ini, bel pintu berbuynyi. Lalu, terdengar suara seorang gadis.
“Maaf mengganggu…”
“Itu Ayano.”
Mashiro menyambutnya. Sepertinya Ayano datang untuk diskusi soal komik. Setelah mendengar sedikit pembicaraan mereka, kedua orang itu naik ke lantai 2 untuk diskusi.
Sorata dan Jin seperti tertarik dengan suara langkah kaki itu, namun setelah itu mereka saling menatap lagi.
“Bagaimana persaanmu setelah memiliki pacar yang imut?”
Jin yang mulai tertawa itu bertanya pada Sorata.
“Hn, tentu sangat bahagia.”
Sorata menutup pintu kamar, melepaskan seragamnya. Kalau tidak lakukan sesuatu, nanti hampir semua isi hatinya tertulis di wajahnya.
Di saat dia mengganti dengan pakaian rumahan, dalam otaknya terlintas hal tentang Nanami, ekspresinya sekejap menjadi murung. Walaupun dia mencoba untuk menyembunyikannya, namun setelah menyadari pandangan Jin, Sorata pun menyerah, dan menunjukkan senyuman yang pasrah.
“Biarpun aku bilang ini hal yang tidak bisa dihindari, ini juga tidak bisa menyemangatimu. Tapi, menurutku soal Aoyama san memang tidak bisa kita lakukan sesuatu.”
Sudah diketahui oleh Jin.
“Ya…”
“Tapi padahal tahu begitu, rasanya tetap tidak enak, kan?”
Sorata mengangguk-angguk kepalanya dengan terdiam. Selain itu, dia tidak tahu harus menajwab seperti apa.
“Aku sangat paham bahwa aku tidak berdaya, juga paham seperti yang dibilang Jin-san.”
“…”
“Tapi, aku belajar banyak hal dari Aoyama, jadi aku sangat berterima kasih padanya. Tidak peduli itu pertemuan dengannya, menjadi teman dengannya, hari yang dilewati bersama di Sakurasou, atau dia yang menyukaiku, aku merasa semua itu sangat indah…, sangat-sangat indah.”
“Apa kau pernah mengatakan ini pada Aoyama san.”
“Aku tidak pernah katakan ini padanya.”
“Begitukah.”
“Karena tidak mungkin aku bisa mengatakan ini padanya…, makanya kukatakan pada Jin-san.”
Jin hanya tertawa seperti biasanya. Bagi Sorata saat ini, itu semacam pertolongan.
“Ngomong-ngomong, Sorata…”
Jin seperti ingin mengganti suasana, dan melempar topik baru.
“Ada apa?”
“Aku ada sebuah pertanyaan yang sangat penting.”
Terlihat ekspresi yang sangat serius diwajahnya.
“I-iya.”
Sorata menjawab dengan berdiri di depan lemari bajunya.
“Sudah sampai sejauh mana kau dengan Mashiro?”
“Apa-apaan senpai menanyakan hal seperti ini dengan ekspresi yang amat serius, hoi?!”
“Sudah ciuman, kah?”
“Ah, eh! Itu…!”
Di gereja Hakodate. Hari saat Sorata berlarian sana-sini untuk mencari Mashiro.
“Begitu, ya. Sudah ciuman.”
Jin berkata begitu.
“I-itu…, itu hanya karena dorongan sesaat. I-itu…, jujur saja, sih, sudah tidak ingat sama sekali.”
Setelah itu, hal seperti itu tidak pernah terjadi lagi. Saat Sorata ingin mencobanya lagi, ia tak tahu harus seperti apakah, malahan dirinya merasa sudah terlalu seenaknya saat di Hokkaido. Saat itu perasaannya semangat dan begitu bergairah, seperti yang Sorata katakan, semua itu hanya karena dorongan sesaat.
“Tenang saja, Sorata, sudah pacaran, selanjutnya lakukanlah yang ingin kau lakukan.”
“Lakukanlah yang ingin dilakukan?”
Sorata menelan ludahnya sendiri.
“Tentu termasuk hal seperti ini dan itu.”
“To-tolong jangan menggodaku.”
“Tapi, harus memahami perasaannya juga, loh?”
Jin dengan tidak sadar mengingatkan.
“A-aku tahu! A-aku akan menjaga dengan sepenuh hati.”
“Woo, Sorata semakin berani, ya!”
“Sudah cukup dengan topik ini!”
Sorata sendiri sangat sadar wajahnya sudah memerah.
“Jangan marah-marah, padahal begitu menarik.”
“Aku sama sekali tidak merasa menarik!”
“Huft, ya sudahlah. Kalau begitu ganti topik saja.”
“Gantilah topiknya.”
Sorata menghela napas.
“Bagaimana kencan Sorata dengan Mashiro?”
Terlihat seperti mengganti topik, tapi sebenarnya tidak.
“Ken-kencan apanya?! Itu…,  kami belum pernah kencan!”
“Huft…”
Jin menghelas napas dengan kecewa.
“Aku bilang ya, Sorata, sudah berapa lama kau pacaran dengan Mashiro?”
Sorata mulai memikirkan kembali tanggal yang ada di kalender.
“Umm…, sekitar 3 minggu.”
“Dan belum pernah kencan sekalipun?”
“Ya…”
“Sebenarnya apa yang kau lakukan saja selama ini?”
“Memangnya kenapa?”
Jin yang berdiri itu berjalan ke arah Sorata dan memukul perutnya.
“Tu-tunggu sebentar, Jin-san!”
“Sekarang, segera ajak dia.”
Setelah selesai mengatakannya Jin pun mengusir Sorata ke koridor, dan pintu kamarnya juga terkunci rapat.
Pandangan Sorata dengan alami melihat ke arah tangga menuju lantai 2.
“Eh, tapi, sekarang Iida-san masih di dalam.”
Baru Sorata berpikir begitu, terdengar suara dari lantai 2. Ayano turun dari lantai 2 sendirian.
“Eh? Kau sudah mau pulang?”
“Ya, cuma mengantar beberap berkas saja, lalu mengambil naskah yang sudah diperbaikinya.”
“Oh, begitu.”
Walaupun kurang mengerti yang dia omongkan, tapi sepertinya juga tidak ada waktu untuk bertanya lebih jelas, Ayano pun pergi setelah mengenakan sepatunya. Mungkin karena sudah dekat dengan deadline, sekarang mereka sangat sibuk.
Namun kalau begitu, itu berarti tidak ada alasan untuk tidak pergi ke kamar Mashiro.
“…”
Sorata dan Mashiro sedang menjalin hubungan asmara. Sebuah pasangan, hubungan seperti pacaran.
Kencan saat hari minggu itu sangat wajar. Kalau pergi kencan, mungkin akan ada kesempatan untuk berciuman ke dua kalinya.
Dan kebetulan, besok hari minggu.
Sorata memberanikan dirinya, naik lewat tangga. Dengan menginjak lantai kayu itu, naik perlahan, semakin mendekat ke kamar Mashiro, jantungnya berdetak semakin deras, rasanya tidak begitu nyaman, ia tidak bisa menenangkan dirinya. Gugup sekali.
Lalu, di kamar nomor 202, di depan pintu kamar Mashiro, perasaan gugupnya mencapai puncak.
Walau Sorata ingin menyusun rencana dalam otaknya, tapi dirinya yang sekarang tidak memungkinkan itu. Pokoknya, ia memberitahu dirinya harus sealami mungkin. Alasan kenapa Sorata berpikir begitu membuktikan bahwa dirinya sekarang sangat gugup.
“Baik, baik.”
Sorata berpikir tidak masalah lagi, dan di saat ingin mengetuk pintu, pintunya terbuka dari dalam.
“Uwaa!”
Sorata dengan refleks mundur selangkah.
“Um? Ada apa?”
Mashiro berdiri di dalam kamar.
“Huft…, mengejutkan saja.”
“…”
“Eh, iya, kebetulan sekali kita bertemu di sini.”
“…?”
“…”
“Ya.”
“Tidak, padahal bukan!”
“Sorata sendiri yang bilang.”
“Memang, sih, tidak, eh…, itu…, maksudku…”
“Ya.”
“Aku belum mengatakan apapun!”
“Sorata terlihat senang sekali.”
“Itu hanya untuk menutupi ketidaktenangan yang ada dihatiku!”
“Kalau begitu tenanglah.”
“Be-benar juga.”
Pandangan Sorata kabur ke lantai bawah. Saat ini, dia menyadari ada sebuah plastik di samping kaki Sorata. Itu adalah sebuah kantong plastik berwarna putih yang mempunyai cap penerbit.
“Mashiro, itu…”
Jari Sorata menunjuk ke plastik itu, Mashiro pun mengeluarkan benda yang ada di dalamnya.
“Ambil.”
Yang dia berikan adalah volume manga shojo. Itu volume manga punya Mashiro yang sedang diserialisasi, covernya itu adalah sebuah pasangan yang saling membelakangi.
“Woow!”
Sorata mengeluarkan suara yang aneh.
Walaupun tidak pernah melewatkan satu kali pun edisi serialisasinya, tapi kalau menjadi volume manga, rasanya jadi berbeda.
Mashiro memang mulai menjadi komikus dengan caranya perlahan, dan volume manga inilah bukti terbaiknya.
“Apa mulai diedarkan minggu depan?”
Dalam ingatan Sorata yang tertulis di majalahnya tanggal 20.
“Benar.”
Hari ini tanggal 18 hari sabtu, jadi lusa akan diedarkan.
“Sorata, ada apa?”
“Ah, eh…, itu...”
Ditanya begitu oleh Mashiro, Sorata baru sadar kembali.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”
“…?”
Mashiro dengan lurus menatap kemari. Dan perasaan gugup yang tadi hilang entah ke mana kembali lagi.
Seperti dirinya sudah tidak tahu harus mengatakan apa. Walaupun ingin sealami mungkin, tapi sekarang malah terlihat kaku. Walau menyadari ini, sekarang juga sudah terlembat, hanya bisa mempertahankan situasi seperti sekarang.
“Ada apa?”
“I-itu besok.”
“Kenapa.”
Mashiro memiringkan kepalanya. Ini salah satu gerakan yang disukai Sorata.
“Mau ke luar bersama?”
Dia menahan kecepatan detakan jantungnya, padahal akhirnya berhasil mengatakannya.
Saat ini, Mashiro mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian merendahkan kepalanya lagi seperti sedang bepikir…, lalu menatap ke Sorata.
“Kencan?”
“I-iya.”
Dipastikan kembali seperti ini rasanya sangat memalukan. Pipi Sorata memerah dan memanas, keringatnya terus mengalir dari kepalanya.
“Aku ingin pergi.”
“Oh, oh.”
“Aku ingin kencan.”
“Kalau begitu sudah, ya.”
“Hn, rasanya tidak sabaran.”
“Be-begitukah.”
“…”
“…”
Percakapannya seharusnya sudah selesai, namun Mashiro terlihat masih mengharapkan sesuatu.
“Nah, Sorata.”
“Ke-kenapa?”
“Mau pergi ke mana?”
“Huh?”
“…”
“…”
Sorata sekarang baru sadar kalau dirinya belum memikirkan apapun untuk kencannya.
“Aku akan memikirkannya sebelum besok.”

Janji kencan untuk pertama kalinya terasa payah sekali.