MUSIM SEMI DATANG SAAT AKHIR MUSIM SEMI
(Part 2)
(Translater : Blade; Editor : Alien Mars)

Malam ini, saat Sorata sedang melipat bajunya di kamar, dari jauh terdengar suara yang tidak asing.
Onii-chan, onii-chan, onii-chaaan~!
Dan lalu terdengarlah suata pintu bawah terbuka.
“Maaf menganggu!”
Bersamaan dengan suara tersebut, suara langkah kaki yang terdengar kasar itu mulai mendekat ke kamar.
Onii-chan!
Pintu kamar nomor 101 pun terbuka.
Yang masuk itu adalah adik kandung Sorata, Yuuko, siswi kelas 1 Suiko. Padahal sudah SMA, namun dari segi fisiknya mapupun mentalnya masih seperti anak kecil, jadi sering disangka masih SD.
Yuuko dengan terkejut masuk ke dalam, entah apakah dia berlari ke sini, ia terlihat sangat lelah.
“Kenapa? Ribut sekali.”
“Yu-Yuuko tidak akan mengakui ini!”
Jarinya menunjuk ke Sorata, dan mengatakan hal yang aneh.
“Huh?”
“A-aku sudah tahu onii-chan dan Mashiro-nee-chan sudah menjalani hubungan itu!”
“Aku tidak ingat kami pernah menjalani hubungan seperti itu, juga, kau dengar ini dari siapa?”
“Kanna yang memberitahu.”
Lalu kebetulan saat ini Kanna sedang berjalan kemari. Mungkin karena mendengar suara Yuuko, jadi ia turun dari lantai 2.
“Cuma karena Kanda-kun mengirim e-mail ‘ada sesuatu yang seru tidak?’ padaku, jadi aku memberitahu dia sesuatu yang menarik.”
Sepertinya, bahkan di koridor mendengar apa yang dibicarakan mereka.
Mungkin karena mendengar suara yang ribut, sampai sampai Mashiro pun datang.
“Ah, Mashiro-nee-chan! Aku tidak akan menyerahkan onii-chan padamu!”
Yuuko memegang erat-erat lengan Sorata.
“…”
Mashiro yang biasa akan terlihat terlalu senang kini tidak merasakan apapun. Dia dengan cepat berjalan ke dalam kamarnya, dan duduk dekat sudut kamar. Ia membuka buku sketsa yang dia bawa kemari, mulai menggambar naskah dengan diam. Sepertinya dia datang ke sini untuk mengerjakannya.
“Uwaaaa! Wajahnya terlihat seperti pacar yang telah mendapatkan kemenangannya!”
“Begitukah?”
Dan coba memastikannya dengan Mashiro.
“Benar.”
Wajahnya penuh dengan keyakinan. Tapi, bukankah ini situasi yang memahami apapun.
Mashiro memindahkan pandangan dari buku sketsanya dan melihat ke atas.
“Yuuko.”
“Ada apa, Mashiro-nee-chan.”
Yuuko dengan lebih erat lagi memegang lengan Sorata.
Apa yang ingin dikatakan Mashiro? Jangan-jangan itu sesuatu yang tidak masuk akal.
“Aku sudah menjadi wanitanya Sorata.”
Dugaan Sorata ternyata benar.
“Tidak bisakah kau katakan ‘pacar’?!”
“Apa onii-chan sudah membuat dia menjadi seorang wanita?!”
Bahkan Yuuko mulai mengatakan yang aneh juga.
“Hanya kata yang berbeda, kenapa hubungannya berkembang sampai secepat itu?!”
“Sorata-senpai menjijikkan sekali.”
Lalu akhirnya, Kanna menambah garam dilukanya lagi.
“A-aku bilang, ya, Kanna.”
Senpai tidak perlu repot-repot menjelaskannya.”
“Aku tidak sedang menjelaskan, bisa tidak jangan salah paham!”
“Tidak perlu.”
Dia sama sekali tidak ingin mendengarkan Sorata.
“Po-pokoknya, Yuuko tidak akan mengakui ini!”
Yuuko tetap memegang erat lengan Sorata, dan terus melirik ke Mashiro. Hanya, ini sama sekali tidak menakutkan, malahan hampir menangis. Walaupun ia adalah adik kandungnya sendiri, rasanya kasihan sekali.
“Yuuko tidak akan memanggil Mashiro-nee-chan sebagai kakak iparku!”
“Hal yang pasti seperti itu tidak perlu kau teriakkan.”
“Ah, tapi, kalau Mashiro-nee-san sebagai seorang komikus dipanggil kakak ipar, rasanya lumayan keren, loh?”
Yuuko yang tidak memedulikan Sorata yang sedang berbicara itu terlihat bimbang.
“Dengan begitu, Yuuko akan menjadi adikku.”
“Tidak! Jangan mengatakan sesuatu yang aneh!”
“Bukan, ya?”
Mashiro bertanya ke Kanna yang berada disampingnya. Dan Kanna menatap ke Sorata dengan pandangan yang seperti bingung harus menjawab seperti apa.
“Tentu bukan.”
“Atau bisa dibilang ini sedang mimpi, ‘kan, Onii-chan?
Sorata bahkan merasa repot untuk menjawab ataupun menjelaskan, jadi dia langsung mencubit pipi Yuuko.
“Sakit, sakit sekali! Ah! Ini bukan mimpi!”
“Ah, ya, Yuuko,  aku melupakan sesuatu yang penting.”
“Heh? Apa? Apakah onii-chan ingin menyatakan perasaannya pada Yuuko?”
Kedua matanya yang terbuka lebar itu terlihat bersinar. Sorata dengan berpura-pura tidak melihat itu, dan mengambil sebuah plastik kecil yang ada di meja belajarnya.
“Ini suvenir retret perpisahan.”
“Heh? Uwaaa~! Hebat sekali! Apa boleh dibuka?”
Disaat Yuuko berkata begitu, ia langsung merobek plastik tersebut.
Yang ada didalamnya adalah gantung ponsel ‘beruang putih Hokkaido limited edition’.
“Sama dengan punya Kanna, loh.”
Syukurlah, Kanna! Sekarang kita menjadi kakak-beradik, loh!”
Yuuko yang akhirnya melepaskan Sorata itu berlari ke arah Kanna. Walaupun dia ingin segera menggantung gantungan ponsel itu, tapi sepertinya Yuuko tidak pandai.
Onii-chan, pasangakan untukku!”
Lalu akhirnya dia menyerah, dan memberi ponselnya pada Sorata.
“Otak sudah kurang, tanganmu juga kurang berguna. Sebenarnya apa bakatmu ini?”
Sorata dengan sekejap memasang gantung ponselnya pada ponsel Yuuko.
“Ini.”
Yuuko yang menerima ponsel itu terlihat sangat bahagia, ia terus tersenyum.
“Kalau sudah puas, pulanglah sebelum hari gelap.”
“Ah, hn, benar juga. Kalau begitu duluan, ya, Onii-chan!
Yuuko mulai  berburu-buru berjalan keluar dari kamar, dan terdengar suarau pintu Sakurasou tertutup.
Sorata yang keluar dari kamar itu dengan berhati hati mengunci pintu Sakurasou sebelum Yuuko menyadari dirinya sedang dikerjai.
“Tidak, Yuuko datang bukan untuk ambil suvenir! Ah! Tak bisa dibuka!”
Terdengar suara yang ribut di depan pintu Sakurasou.
“Cepatan buka, Onii-chan!
“Kalau aku ingin membukanya sih bisa saja. Tapi setelah kubuka pintunya, kau harus pulang, ya.”
“Hn, aku berjanji!”
Lalu Sorata membuka kuncinya dan berjalan keluar.
“Baik, seperti yang sudah ktia janji sebelumnya, pulanglah.”
“Ah! Kena kau!”
Lalu akhirnya Yuuko tetap melawan, dan tidak ingin pulang. Dia malah melirik ke kamar nomor 203 yang kosong itu, dan berkata, “Onii-chan, Yuuko akan segera pindah ke Sakurasou.”
“Tidak, tidak perlu.”
“Mengapa?”
“Karena kau sangat merepotkan.”
“Tidak perlu malu begitu, dong.”
“Pokoknya sekarang kau segera pulang, dan carilah kamus untuk mengecek apa kau maksud ‘malu’ itu.”
“Untuk pindah ke Sakurasou, Yuuko punya beberapa trik, loh.”
“Apa?”
“Rahasia!”
“Merepotkan sekali.”
Lalu akhirnya Yuuko tidak mendengarkan apa yang diomongkan Sorata, dan segera pulang ke asramanya.
Setelah Yuuko pergi, selesai makan malam dan membereskan semuanya, Sorata menikmati waktu mandinya.
Selesai mandi, Sorata mulai bersembunyi di dalam kamar untuk mengatur kembali game shooting yang sudah mulai dirancang sejak bulan April.
Namun dia tidak bisa konsentrasi. Setelah sendirian beberapa lama, dia merasa dalam hatinya seperti kekurangan sesuatu. Kosong, seperti ada lubang dalam hatinya.
“…”
Sorata sangat paham akan kehadiran itu. Saat Nanami benar-benar tidak ada lagi, Sorata baru sadar betapa penting Nanami baginya. Dan sekarang dia merasa kosong di dalam hatinya.
Namun, kalau sudah diputuskan maka dia tidak akan ragu lagi.
Setelah Sorata menampar kedua pipinya, seperti ingin merapikan suasana hati dengan merapikan pekerjaannya.
Mengubah gerakan musuh CPU, membuatnya sampai pemain tidak bisa menebak gerakan musuh dengan mudah. Dengan coding beberapa lama, akhirnya gerakan musuh CPU menjadi lebih teratur lagi. Berkat ini, akhirnya game Sorata mulai terasa sedikit seru.
“Nanti akan kutunjukkan pada Akasaka.”
Dulu pernah dikatai kalau gerakan musuh CPUnya sangat mudah ditebak, bahkan dibilang ‘sama sekali tidak pantas diharga’. Tapi sekarang Sorata sudah sedikit percaya diri.
Setelah pengerjaannya selesai, Sorata menutup komputernya, dan meguap.
“Hoaaah!
Saat ini, terdengar suara dari koridor.
Di saat Sorata penasaran ada apa di luar, dia lalu membuka pintu kamarnya, dan terlihat bayangan Mashiro di koridor.
Mungkin dia terkejut karena Sorata tiba-tiba mengeluarkan suara. Mashiro pun dengan tidak alami menyembunyikan kedua tangan ke belakang punggungnya.
Setelah bertemu pandang dengan Sorata, dia melewati kamar Sorata dengan berjalan miring seperti kepiting.
“Apa yang dia lakukan?”
Sorata tidak paham, Mashiro jelas terlihat sangat mencurigakan.
Sorata pun meninggalkan kamarnya dan berjalan ke koridor, namun di sana tidak terlihat bayangan Mashiro lagi. Mungkin saja sedang berada di kamar mandi atau di tempat lain.
Sorata dengan curiga mengecek ke kamar mandi, dan sesuai dugaannya, Mashiro berada di sana.
Dia sedang membuka tutup mesin cuci, dan melihat ke dalam.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Sorata memanggilnya, membuat dia terkejut.
Dengan terkejut, Mashiro membalikkan wajahnya dan menghadap ke Sorata, kedua tangannya tetap berada di belakang punggungnya. Tapi Sorata bisa melihat apa itu walaupun kurang jelas, itu adalah celana dalam berwarna putih polos.
“Apa itu pakaian yang mau dicuci?”
“Benar.”
“Kalau begitu serahkan saja padaku. Nanti akan kucuci.”
“Tak mau.”
Mashiro dengan tidak senang mencibir.
“Mengapa?”
“Aku cuci sendiri.”
“Kau tidak tahu cara menggunakan mesin cuci, ‘kan?”
“Aku tahu.”
Mashiro tetap mencibir, dan merasa tidak senang.
“Jangan membuat kehobongan yang terlihat jelas. Juga, karena bahannya beda, ada yang perlu dicuci tangan, loh.”
“Celana dalam, kah?”
“Ya.”
“Celana dalamku juga?”
“Ya.”
Malahan semua celana dalam Sorata semuanya tinggal lempar ke dalam mesin cuci.
“Sorata mencucinya dengan tangan?”
“Karena aku bertanggungjawab untuk mengurus Mashiro.”
“Mengejutkan sekali.”
“Akulah yang seharusnya terkejut dengan perkataanmu itu.”
Juga, Mashiro melihat ke Sorata dengan rasa yang menjijikkan.
“Melihat aku yang selalu mati-matian mengurusmu itu, apa sikapmu tidak keterlaluan?”
“Karena…”
“Pokoknya berikan saja padaku. Kalau kau menggunakan mesin cuci, nanti di sini akan penuh dengan busa.”
Dan membereskannya pasti akan menjadi pekerjaan Sorata, makanya Sorata harus berusaha menghindari ini, dia harus segera mengambil celana dalam Mashiro.
Di saat Sorata berpikir begitu, dia pun mengulurkan tangannya ke celana dalam Mashiro.
“Tidak.”
Namun Mashiro malah mundur selangkah, dan akhirnya tangan Sorata tidak menangkap apapun.
“Baik. Katakan saja alasannya.”
“Karena…”
“Karena apa?”
“Aku tidak ingin Sorata menganggap aku seperti perempuan yang aneh.”
“Tenang saja, aku sudah menganggapmu seperti itu.”
“Jahat sekali!”
“Untuk apa mengkhawatirkan itu lagi sekarang? Karena termasuk semua ini, aku tetap menyukai Mashiro.”
“…”
“…”
Di saat Sorata dengan tidak sadar mengatakan sesuatu yang memalukan, tentu sudah terlambat, kedua pipinya kini mulai memerah.
“Sorata.”
“Ke-kenapa? Ada masalah?”
Dia tidak berani menatap lurus ke Mashiro, dan berusaha memindahkan pandangannya.
“Aku tidak masalah.”
“Kalau begitu kenapa?”
“Kalau Sorata mengatakannya sekali lagi, aku akan memberikan celana dalamku pada Sorata.”
“Mana bisa kuulangi lagi.”
“Huh.”
“Aku tidak akan mengulanginya.”
“Kau tidak menyukaiku?”
Mashiro menatap ke arah Sorata.
“Licik sekali!”
“Sorata membenciku!”
Lalu kali ini dia dengan kecewa merendakah kepalanya.
“Ah, aku mengerti! Termasuk semua ini, aku tetap menyukai Mashiro.”
“Padahal saat di Hokkaido, yang Sorata katakan itu paling menyukaiku.”
“Terus-terusan bermain dengan perasaanku itu apa kau merasa sangat menarik?”
“Ternyata sudah bukan lagi paling menyukai.”
Dia terlihat kesepian.
“Ah, memanglah! Aku paling menyukai Mashiro!”
“Syukurlah.”
Mashiro perlahan menunjukkan senyumnya. Itu adalah senyuman yang menunjukkan tenang. Walaupun Sorata dipaksa mengatakan sesuatu yang memalukan, tapi kalau bisa melihat senyuman ini, dia merasa tidak apa. Hanya saja, penderitaan Sorata tidak hanya sampai di sini saja.
“Sorata-senpai, aku rasa kalau kau ingin menyatakan perasaanmu, sebaiknya perhatikan tempatnya, loh.”
Membalikkan kepalanya, terlihat Kanna berdiri disamping pintu kamar mandi. Dengan tangannya yang sedang memegang piyama, sepertinya dia ingin mandi.
“Kan-Kanna!”
“Sakurasou adalah asrama siswa, juga di dalamnya ada adik adik kelas yang masih muda. Pacaran itu ada batasnya.”
“Maaf.”
“Kalau Sorata-senpai mengatakannya sekali lagi, aku tak akan memaafkanmu.”
“Seberapa banyak yang kau dengar!”
“Aku pikir hampir semuanya, mungkin.”
“Begitukah?”
Sudah kehilangan kewibawaannya sebagai seorang senior. Sudahlah, sejak awal juga tidak ada niatnya untuk bergaya.
“Itu, aku ingin menggunakan kamar mandi.”
“Ah, hn, aku tahu.”
Kemudian Sorata menaruh celana dalam Mashiro ke dalam ranjang yang berisi pakai kotor.
“Baiklah, ayo pergi.”
Lalu dia menarik tangan Mashiro, dan membawanya ke koridor.
Kanna mengunci pintu kamar mandi, tidak lupa memasang papan ‘sedang digunakan’. Di saat yang bersamaan, di dalamnya terdengar suara terkunci.
“Sorata…”
“Kenapa? Kalau ingin membahas celana dalam—”
“Aku juga menyukai Sorata.”
Sorata belum selesai berbicara, Mashiro pun memotongnya. Dan dalam sekejap wajah Sorata langsung memerah.
“A-aku bilang, ya! Ja-jangan tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti itu.”
“Kalau begitu pelan-pelan tidak apa?”
“Sekalian saja kutanya sebagai referensi ke depannya, maksudnya pelan-pelan itu bagaimana?”
“Sorata.”
Mashiro menatap ke Sorata tanpa mengedipkan mata.
“Oh, oh.”
Dia terus menatap ke Sorata.
“…”
Terus menatap ke Sorata.
Kedua orang itu mengedipkan mata beberapa kali.
“… aku menyukaimu.”
“Baik, biarpun pelan-pelan tidak boleh. Langsung katakan saja tanpa mempedulikan apapun!”
Keheningan yang tidak jelas itu hanya membuat lelah saja.
“Aku tahu.”
Setelah selesai membicarakannya, di saat Soraat ingin balik ke kamar, pandangannya tertuju pada depan pintu kamar pengawas Sakurasou, dan berhenti di depan kamar nomor 101.
“Itu, Mashiro.”
“Ada apa?”
“Apa sekarang kau punya waktu.”
“Ada.”
“Apa tidak buru-buru mengejar deadline?
“Tidak.”
“Kalau begitu ke sini sebentar.”
Sorata menggandeng tangan Mashiro dan berdiri di depan pintu pengawas, lalu mengetuk pintu.
“…”
Namun tidak ada balasan.
“Chihiro-sensei?
“…”
Tetap tidak ada balasan. Sepertinya Chihiro tidak ada di dalam kamar, dan mungkin kalau begitu dia berada di ruang makan.
Di saat Sorata berpikir begitu, dia mulai bergerak.
Dan memang, ternyata Chihiro ada di ruang makan. Dia duduk di tempat duduknya yang biasa, minum bir sendirian seperti biasa.
Sorata dan Mashiro berjalan ke sampingnya.
“Itu, Chihiro-sensei.”
“Kenapa? Jarang-jarangnya kau terlihat serius.”
“Sebenarnya ingin melaporkan sesuatu.”
Di saat ingin mencoba mengatakannya, rasanya menjadi sangat memalukan.
“Sudah hamil, kah?”
“Mana mungkin!”
“Sudah diputuskan akan dilahirkan, kah?”
Chihiro yang telinganya sangat keras itu bertanya.
“Kan sudah kubilang tidak!”
“Aku ingin melahirkan.”
Telat selangkah, Mashiro sudah mengatakan.
“Begitukah huh!”
“Cepat atau lambat akan lahir.”
“Uh!”
Suara Sorata terhenti disuatu tempat di dalam tenggorokannya.
“Sorata? Ada apa?”
“Ka-karena tiba-tiba kau mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal, membuatku terkejut dan tidak bisa omong apapun! Perkembangannya terlalu cepat!”
“Apa kau hanya ingin main-main denganku?”
“Tentu aku serius!”
“Kalau begitu, ada apa kalian mencariku?”
Chihiro dengan tidak tertarik lanjut minum birnya.
“Tidak, eh…”
“Aku juga bukannya tidak punya kesibukan atau urusan, bisa tidak kau mengatakannya dengan lebih cepat.”
“Dilihat dari manapun sensei itu hanya sedang menikmati bir, apa aku salah?”
“Ya, aku sedang sibuk minum bir.”
“Begitukah, err…”
“Tadi sudah kudengar.”
“Kami sudah mulai berpacaran.”
Sorata mengatakannya dengan suara yang bergetar.
“Apa-apaan, apa kau pamer?”
“Ti-tidak! Hanya sensei sendiri juga tahu, Sakurasou itu…, itu…, asrama yang dihuni oleh laki laki dan perempuan, dan aku dengan Mashiro tinggal di sini.”
“Oh…, ‘Mashiro’, ya.”
“Ah, eh, itu…, po-pokoknya, sensei juga punya tanggungjawab untuk mengawasi siswanya, jadi aku pikir sebaiknya melaporkan ini dulu pada sensei.”
“Ya, ya. Aku sudah mendengarnya.”
“Enteng sekali, sensei!
“Kalau putus nanti pasti akan terasa sangat merepotkan, jadi setidaknya berusaha bertahanlah sampai sesudah wisuda.”
“Kami baru mulai pacaran tiga hari, jangan mengatakan sesuatu yang sial seperti itu!”
“Karena ya, anggap saja putus, tetap hanya Kanda yang bisa menjaga Mashiro, ‘kan? Karena kalau membiarkan mantannya menjaga Mashiro sendiri, rasanya menyedihkan sekali, bukan?”
Chihiro mengatakannya sambil tertawa. Entah mananya yang lucu, dia bahkan tertawa terbahak-bahak. Padahal di Hokkaido Sorata menerima banyak saran darinya, rasanya berbeda sekali dengan sekarang.
Hal yang perlu dilaporkan sudah, Sorata bersiap siap pergi.
“Kalau begitu, kami duluan.”
Di saat dia ingin meninggalkan ruang makan dengan menggandeng tangan Mashiro, terdengar suara Chihiro dari belakang punggungnya.
“Aku peringatkan dulu.”
“Apa?”
“Dinding Sakurasou itu sangat tipis, jadi berhati-hatilah.”
“Apa yang sensei katakan, huh?!”
“Tentu soal bercinta.”
“Uwooooooooo! Diam!”
“Kenapa berlebihan sekali? Apa pacaran itu sebegitu senangnya bagimu?”
“Ya! Tidak bolehkah?”
Sorata tiba tiba mengubah sikap bicaranya, Chihiro pun tertawa.
“Baguslah.”
Setelah dia tertawa nakal, dia mengambil bir dari dalam kulkas lagi.