Clockwork Planet
Jilid 2 Bab 3
Avenger (23:20)
—Dia jatuh.
Selama beberapa saat, Marie masih tidak bisa menerima
kenyataan itu. Halter sedang memutar gir-gir di organ prostetiknya dengan
kecepatan penuh, lalu mengangkat tuannya sambil meloloskan diri dari tempat
tersebut.
Ketika dia menyaksikan dasar neraka yang ambruk dengan
cepat, Marie berteriak,
“!! Tunggu!”
Tidak ada menunggu.
“Tunggu—tolong berhenti!”
Dia tidak berhenti.
Generasi cyborg terbaru itu langsung tancap gas, dan
akselerasi kasarnya itu menyebabkan dirinya kesulitan bernapas ketika Marie terus
memukulkan tinjunya ke punggung Halter secara berirama, “Biarkan aku kembali,
idiot! Kita harus menolong mereka…!!”
“Sia-sia.”
Marie kehilangan kata-katanya ketika mendengar balasan
monoton dan dingin tersebut.
“Lantai bawah itu sangat dalam. Mengesampingkan diriku yang
punya bagian cyborg dan Missy itu di bawah sana, disana bukanlah tempat dimana
manusia bisa bertahan hidup. Kau tahu, kan?”
—Tentu saja aku tahu.
Terjatuh ke lantai bawah yang dalam tersebut sama saja
dengan jatuh ke luar angkasa.
Ruang itu adalah ruang kosong di tengah-tengah angkasa; ruang
hampa yang hanya berisi inti planet setelah mantel planet dilepas. Tentu saja,
tempat itu bukanlah tempat dimana manusia bisa bertahan hidup.
Tetapi,
“Apa kau bilang kalau kita akan meninggalkan mereka!?”
Marie mengepalkan tinjunya seraya berseru.
“Orang itu—Naoto terlibat dalam semua ini karena diriku!
Akulah yang membawanya kesini!”
“Aku sudah bilang kalau itu sia-sia, kan, Milady?”
Respons Halter sungguh dingin.
Dan dengan suara kering, dia menyimpulkan,
“Naoto Miura sudah mati.”
“!!”
Marie menggertakkan giginya dengan keras.
Didorong oleh emosinya yang meluap, giginya bergemeretuk
dengan keras. Didorong oleh impuls untuk merusak sesuatu saat itu juga, emosi
tersebut melanda dirinya bersama dengan apa yang ada di dalam perutnya.
“Ahh—ahh…”
Bagian dalam matanya mulai terasa panas.
Dia bertanya-tanya, Mungkin akan terasa sangat enak jika
aku bisa berteriak dan menangis seperti ini.
…Tapi itu sia-sia. Dia tidak bisa melakukan hal itu.
Marie sendiri yang membawa orang itu ke tempat ini; Marie
sendiri yang melibatkan orang itu dalam insiden ini. Dia tidak bisa bertingkah
memalukan seperti itu, karena depresi atas hasil semacam ini, maupun meratap.
Dia pastinya tidak akan mengizinkan dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal
diatas.
Marie Bell Breguet tidak punya hak semacam itu.
Dia harusnya sudah siap mental untuk hal ini. dia membawa
anak itu, yang hanya punya kemampuan unik, dan tidak pernah menerima latihan
formal apapun, ke tempat mengerikan semacam ini.
Dengan demikian, inilah hasil yang bisa diharapkan. Ini
hanyalah hasil akhir dari apa yang suatu hari nanti akan tiba.
“Tetapi…!’
Meskipun begitu.
Itu pastinya adalah hal yang pasti terjadi di lain hari.
Namun, secara tiba-tiba—
“—”
Halter kembali memegangi gadis yang menangis tanpa suara
itu, menyeimbangkannya, dan melompat.
Tubuhnya, yang melompat dengan kekuatan yang bisa merusak
pijakannya, dengan mudah mencapai lusinan meter.
Melanjutkan aksinya dengan lompatan segitiga, Halter semakin
naik ke atas.
Saat dia naik,
“—Oh, beruntung sekali.”
Halter menemukan sebuah terowongan kecil di dinding, dan
memegang erat bagian ujungnya.
Dia memastikan kalau Marie di bahunya tidak terbentur dengan
bagian ujung tersebut, dan melanjutkan dengan memanjat.
Saat dia sampai di bagian akhir terowongan tersebut, dia
menendang pintu tertutup disana dengan mudah, menyembulkan kepalanya, dan
menemukan kalau terowongan itu adalah pipa saluran yang vertikal.
Diameternya kira-kira 30 meter, dan dia tidak bisa
memastikan seberapa tinggi atau rendahnya mereka saat ini. Dindingnya memilki
jalur berbentuk spiral di permukannya.
Halter berhenti sejenak, dan menurunkan Marie.
Mereka tidak bisa kembali menuju jalan awal mereka.
Karena penyusupan mereka telah ketahuan, pastinya perimeter
keamaan yang ketat akan dipasang di fasilitas ini.
Tapi biarpun begitu, mereka tidak bisa menghabiskan waktu di
tempat seperti ini.
Karena seharusnya mereka sedang dikejar dalam situasi ini.
RyuZU, yang bisa melawan mereka, sudah tidak ada lagi.
Jika mereka diserang oleh AnchoR lagi, mereka tidak mungkin
melakukan perlawanan apapun.
“…Apa anda sudah mulai tenang, Milady?”
Halter angkat bicara saat dia menghadap gadis yang tetap
terduduk diam di tengah jalur tersebut.
“Situasi saat ini…anda akan paham tanpa perlu penjelasan,
kan? Karena kedua orang itu sudah tidak ada, kekuatan tempur kita telah menurun
drastis. Ini sangat buruk.”
“…”
Marie tidak menjawab.
Halter menghela napas, dan melanjutkan kata-katanya.
“Meskipun ada sedikit harapan, kita perlu melakukan sesuatu.
Kita tidak bisa melakukan apapun jika kita berhenti disini. Bagaimanapun juga,
kita harus meloloskan diri ke permukaan.”
“—…”
“Anda mungkin ingat segalanya tentang tata ruang pabrik ini
dari Naoto, tapi kita tidak mungkin kembali kesana sekarang, kan? Artinya kita
perlu mencari jalan keluar lain? Sekarang, kita perlu menyelinap melalui
jaringan kemanan musuh saat kita tidak punya trik apapun lagi. Ini
menyenangkan, kan?”
“Anda dengar?”
Halter mengusap kepala botaknya, dan menyipitkan matanya
dengan tajam.
“Saat ini, kita perlu menembus keamanan ‘militer’ tanpa
intel apapun. Jika kita tidak hati-hati, kita akan dikejar oleh AM bersenjata
berat dan sebuah seri Initial-Y. kita akan dalam bahaya jika anda terus menjadi
beban seperti ini.”
“—Jangan menganggapku remeh!”
Marie mengangkat wajahnya seraya memelototi Halter. Mata
sembabnya telah bengkak, dan Halter tidak berkata apapun.
Marie mengangkat bahunya dengan kuat, dan menarik napas
dalam-dalam.
Sebelum menghembuskannya keluar.
“…Saluran ini kemungkinan besar adalah saluran untuk
mengangkut material.”
Marie menatap penghitung ketinggian yang melekat di
pergelangan tangannya, dan melanjutkan kata-katanya,
“Jika mereka membuat benda itu secara rahasia, mereka tidak
bisa menggunakan rute transportasi di permukaan. Kemungkinan mereka mengirim
semua sisa suku cadang yang dibuat pabrik di permukaan ke bawah tanah, dan
memasangnya di lantai yang harusnya tidak ada ini.”
“Dengan kata lain, pipa saluran vertikal ini terhubung ke
sebuah pabrik di permukaan?”
“Tidak, sangat tidak efisien jika setiap pabrik memiliki
jalur transportasi sendiri-sendiri menuju bawah tanah. Pasti ada satu tempat
untuk mengumpulkan semua materialnya…Tebakanku malah tempat itu sendiri yang
terhubung dengan banyak pabrik.”
“Hm…kalau begitu, ada jalan untuk keluar dari sini.”
Halter berkata begitu seraya menengadah ke bagian atas pipa
saluran, lalu mengusap dagunya,
“Orang-orang yang mencari kita…mungkin akan terus mencari
selama kurang lebih satu jam sebelum menyerah, kan? Kukira mereka akan
membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menggunakan lift dan elevator ke
permukaan hanya untuk melapor. Kita akan terus memanjat pipa ini dengan cepat,
dan kita bisa sembunyi di tengah jalan kalau kita mau …yah, kita pasti bisa
meloloskan diri sih.”
…Masalahnya Halter menunduk ke arah gadis di dekat kakinya.
Kekuatan fisik Marie.
Tinggi minimal pipa ini kelihatannya 70 km. Tapi meskipun
begitu, memanjat pipa ini dalam dua jam itu mungkin. Itu bukan hal yang
mustahil bagi tubuh cyborg Halter sendiri, tapi masalahnya adalah apakah tubuh
Marie bisa menahan pergerakan terus menerus yang terlalu sering tersebut.
Dia sedikit lebih terlatih jika dibandingkan dengan gadis
sebayanya—tapi pada akhirnya, dia adalah manusia yang terbuah dari darah dan
daging.
Karena itulah,
“Jangan pikirkan aku.”
Marie berkata begitu seraya balik menatap mata Halter.
Masih merasa ragu, Halter bertanya,
“Apa anda bisa menahannya?”
“Kita tidak punya pilihan lain, kan? Jika kau menganggapku
masalah, tinggalkan saja.”
“Tentu saja bukan itu maksudku?”
Halter yang kecewa segera mengernyitkan dahi ketika dia
mendengar kata-kata seorang budak itu.
Marie pelan-pelan berdiri, dan Halter melihat kalau anggota
tubuhnya sedikit gemetar. Secara fisik, Marie tidak merasa lelah, tapi dalam
hal mental—mentalnya sedikit terganggu
Kematian Naoto Miura telah menyebabkan hati Marie Bell
Breguet sangat terguncang.
…Semuanya sia-sia saja.
Itulah yang ditunjukkan oleh suara dan wajahnya, Halter
hanya bisa menghela napas.
Si gadis jenius, idealis, sedikit arogan dan kompetitif—pada
akhirnya hanyalah seorang gadis.
Gadis ini masih belum bisa menerima kenyataan kalau
seseorang yang dekat dengannya telah mati.
Namun—tidak ada ruang bagi gadis tersebut untuk menerima
situasi saat ini.
Halter bicara dengan tegas,
“Kau baik-baik saja, Marie? Dengarkan dulu.”
“…”
“Tidak ada waktu untuk istirahat. Aku akan mengerahkan
seluruh tenaga untuk memanjat pipa ini, jadi apapun yang terjadi jangan lepas
peganganmu. Bicara hanya jika kau tidak bisa melakukannya, selain hal itu,
tutup mulutmu.”
Marie terhenyak, dan mengangguk tanpa bicara apapun.
Baiklah, Halter juga balas mengangguk.
“—Sekarang, ayo kita mulai.”
●
“—Ah.”
Marie meluncur dari punggung Halter dan jatuh terduduk di
lantai.
Dia satu jaripun tidak bisa ia gerakkan—koreksi, jarinya
memang bergerak, tapi itu bukan karena keinginannya sendiri. Anggota tubuhnya
terasa lemas, dan tidak bisa berhenti.
Otot-ototnya telah membeku sepenuhnya.
—Halter menghabiskan 1 jam, 58 menit dan 34 detik untuk
memanjat pipa saluran vertikal dengan panjang sekitar 72 km.
Selama itu, Halter terus berlari dan melompat naik melalui
dinding vertikal, dan Marie terus menempel di punggung Halter, dia tidak
melepaskan pegangannya sedikitpun. Mereka naik memanfaatkan organ prostetik
yang melebihi spesifikasi normal, saat kecepatannya meningkat maupun menurun—Marie
terus menahan ujian yang dalam prosesnya dapat menyebabkan manusia biasa
kehilangan kesadaran.
Tapi Marie sudah mencapai batasnya.
…Dia tidak bisa berdiri.
Marie kesulitan bernapas ketika dia merangkak di tanah.
Paru-parunya sakit, dan jantungnya terasa hancur saat dia berteriak. Seluruh
tubuhnya dipenuhi keringat lengket yang menyebalkan, dan air mata muncul di
matanya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan sama sekali.
Penglihatannya berkunang-kunang, dan dia merasa mual. Tulangnya terasa sakit,
seolah-olah telah patah—tapi meskipun begitu.
Sehingga,
“Ah…haa—”
Atau malahan, terus kenapa?
“Anda tidak bisa berdiri, Milady?”
Halter berjongkok di samping kepala Marie sambil berkata
begitu dengan tenang.
—Memangnya bajingan ini pikir dia bicara dengan siapa?
Marie ingin mengutuk, tapi gagal. Dia hanya bisa
mengeluarkan sedikit erangan seperti seekor katak yang sedang dihancurkan.
Penglihatannya yang kabur dan basah menampilkan wajah dingin
Halter. Tubuh manusia tidak bisa menyaingi tubuh cyborg, tapi Marie mau tidak
mau merasa marah.
Dia melihatku seperti ini, tapi kenapa dia—
Tapi karena rasa marah itu, Marie berhasil mengumpulkan
sedikit kekuatan.
Dia mencoba sekuat tenaga untuk mengendalikan tangannya yang
gemetar, dan dimulai dari kelingking, melipat jarinya dengan erat menjadi
kepalan tangan. Dia menghantam lantai, memperoleh kembali kekuatannya,
melenturkan lututnya, dan meluruskan pergelangan tangannya.
Dia menarik napas, dan menggertakkan giginya.
—Aku masih bergerak
Dia masih hidup, berbeda dengan orang itu, yang telah mati.
“Jangan paksakan dirimu.”
Baiklah,Halter mengangkat Marie sedangkan Marie merasa sesak napas.
Dia marah dan malu diperlakukan seperti anak kecil lagi, dan darahnya mulai
mendidih.
Meskipun dia ingin berkata sesuatu, Marie tetap menutup
mulutnya. Kenyataannya, mustahil bagi dirinya untuk berdiri dan berjalan dalam
keadaan begini.
“Bagaimanapun juga, ayo kabur dari sini. Jadilah beban untuk
saat ini.”
Marie mengangguk merespons kata-kata Halter, dan menutup
matanya.
Marie mulai memikirkan apa yang akan terjadi nanti.
Dengan kata lain, dia mengingat kembali apa yang terjadi
sampai titik ini.
—Naoto Miura sudah mati.
Dia menggigit bibirnya. Dia tidak punya insting yang
dimiliki Naoto, dan hanya bisa mengumpulkan semua informasi yang dia tahu demi
memahami situasinya.
Senjata raksasa apa yang dia lihat di lantai terendah itu?
Tentunya benda itu tidak kelihatan seperti benda biasa. Bahkan jika dia
menganggap benda itu melanggar suatu traktat, tempat untuk menggunakannya pun
tidak ada. Bagaimana benda mengerikan seperti itu digunakan dengan tepat? Benda
itu hanya akan menghancurkan dan memisahkan semuanya. Orang yang akan
menggunakan benda semacam itu…teroris?
Aku jadi terlibat dalam hal ini.
Dadanya terasa sesak. Situasinya bukanlah hal tolol semacam
itu. Tidak ada kelompok teroris yang bisa membangun benda raksasa seperti itu
di lantai terendah suatu kota dan memastikan kerahasiannya. Mustahil jika
kelompok tersebut memiliki finasial, material dan SDM yang sangat baik. Jika
hal semacam itu terjadi di bawah kaki mereka, pemerintah mana yang sangat tidak
kompeten sehingga tidak menyadari situasi semacam itu?
—Apa kau, khususnya, punya hak untuk menyebut orang lain
tidak kompeten?
Matanya terasa panas. Dengan demikian, musuh mereka pasti
‘militer’—atau setidaknya seseorang yang memiliki pangkat lumayan di dalam
‘militer’. Musuh ini sudah menggunakan sebuah menara jam sebagai suku cadang,
sehingga jika itu memang benar, bisa dianggap kalau parlemen Mie juga musuh
bersama dengan ‘militer’.
—Informasi itu adalah hal yang kau peoleh dari si Naoto yang
kau bunuh.
Kepalanya terasa sakit. Ada detail lainnya; kenapa AnchoR ada
di tempat seperti itu? Marie tadi diolok-olok RyuZU, tapi tidak diragukan lagi
kalau menurut intel AnchoR telah dikirim ke Tokyo. Apa dia dipindahkan ke Tokyo
sebelum dipindahkan ke Mie lagi? Kalau itu benar, kenapa Mie? Jika AnchoR
adalah unit yang dimiliki ‘militer’ Kyoto, bukannya lebih tepat jika
mengembalikannya kepada pemilik aslinya? Adanya kejanggalan sebesar itu berarti
bahwa pemindahan itu memiliki hubungan dengan senjata raksasa tersebut.
Tentunya inilah inti semuanya?
—Apapun yang kau lakukan sekarang, dia tidak akan kembali.
Marie tidak bisa menahannya lagi ketika dia meluncur turun
dari bahu Halter.
Dia merangkak di lantai, memeluk lututnya seperti janin,
tapi dia dia tidak bisa menahan rasa mual yang muncul di dalam dirinya, dan
akhirnya muntah,
“Uu, gguu, guueehhhh…!”
Dia memuntahkan isi perutnya beberapa kali. Tidak ada warna
darah di dalam muntahannya yang banyak tersebut.
—Ahh, organ dalamku tidak terluka. Pikir Marie. Dia
mulai membenci dirinya karena khawatir tentang hal sepele seperti itu.
“…Buruk sekali.”
“Ya. Benar-benar buruk.”
Halter mengulangi kata-kata Marie dengan suara mantap,
“…Aku gagal. Total.”
“Ya, kau benar-benar gagal dengan buruk tadi.”
Halter menyetujui hal itu di dalam hatinya.
Dia tidak memberi pelipur lara murahan apapun, dan nada
bicaranya juga tidak menarik, tapi Marie merasa berterimakasih saat ini.
Dia memastikan sesuatu,
“—Naoto sudah mati, kan?”
“Kayaknya? Mustahil manusia bisa selamat dari ketinggian
seperti itu.”
Halter mengangguk tanpa belas kasihan.
—Semua ini kesalahanmu.
“—Apa aku benar!!?”
Emosi Marie membara ketika dia menghantamkan tangannya ke
lantai.
Rasa sakit yang tajam menyebar bahkan sampai ke tulangnya,
tapi itu bukan masalah. Rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa mual
perutnya yang seperti terombang-ambing.
Mata Marie menajam, dan mata zamrudnya menyala redup saat
dia berkata,
“—Ini harga yang cukup tinggi untuk dibayar.”
“Tentu saja. Anda mungkin harus mencabut rambut di dalam
bokong anda.”
Merespons kata-kata Halter, Marie mengangguk dan berdiri.
Mereka harus lebih cepat, biarpun hanya sedetik lebih cepat;
mereka punya sesuatu yang harus mereka lakukan bagaimanapun caranya.
Oh, iya.
Dialah yang ikut terlibat. Dia hanya menghabiskan waktu
senggangnya dan menggoyang-goyang sebuah pohon, demi memancing seekor harimau
liar. Karena hal itu, orang itu kehilangan nyawanya, jadi dia harus memikul
tanggungjawabnya sendiri. Tidak ada waktu untuk menyesal, dan dalam situasi
seperti ini, dia tidak bisa membiarkan dirinya sendiri tersiksa oleh penyesalan.
—Aku hanya bisa melakukan hal mewah seperti itu setelah
semuanya selesai.
Marie menyeka bibirnya yang kotor dengan lengan mantelnya,
dan berkata,
“…AnchoR seharusnya dipindahkan ke Tokyo, tapi dia muncul di
Mie; hal ini pasti berhubungan dengan senjata itu.”
“Yah, wajar kalau kita berpikir demikian.”
“Jika itu benar, maka pasti ada kontak antara Mie dan Tokyo.
Paling tidak, ada orang yang mendukung Mie, orang yang punya cukup wewenang
untuk memindahkan sebuah seri Initial-Y yang sedang dipindahkan ke Tokyo.”
“Selain itu, jangan lupa ada satu orang yang cukup ahli
untuk mengendalikan si AnchoR.”
Marie mengangguk.
RyuZU terkejut ketika AnchoR menyerang; dengan kata lain,
dia tidak menyangka kalau hal semacam itu dapat terjadi, atau paling tidak,
itulah yang RyuZU yakini. AnchoR adalah sebuah automata yang terus tertidur di
ruang bawah tanah Kyoto.
“…Mungkin seseorang sudah memodifikasinya, atau
mengendalikannya melalui alat eksternal.”
“Topeng yang dikenakannya kelihatan sangat aneh. Yah, apapun
yang baru saja kukatakan, mereka perlu menghubungi salah satu dari lima
Perusahaan hanya untuk membuat teknologi dalam topeng tersebut.
Halter mengusap dagunya, dan melanjutkan,
“Keluarga Vachron? Atau Pattek…Lunge juga kelihatan sedikit
mencurigakan. Kudengar kalau Keluarga Odema adalah salah satu perusahaan yang
bersih, tapi aku tidak bisa bilang kalau mereka tidak memiliki noda sama sekali.”
“…Perusahaan manapun itu, kita harus membicarakannya setelah
kita kembali ke permukaan.”
Marie menghela napas.
“Pertama, kita harus mendengar apa yang akan Tokyo katakan.”
●
Mereka sampai di permukaan ketika fajar mulai menyingsing.
Apa yang mereka lihat di pintu masuk adalah pabrik terlantar
yang fasilitasnya komplit, namun tidak bisa lagi diganakan. Mereka segera
keluar dari kompleks industri tersebut, dan datang ke stasiun Ring Rail dengan
cepat.
Mereka menaiki kereta, dan setelah sedikit guncangan, sampai
di jalanan Ise.
Malam sebelumnya, kelompok Marie sampai di Grid ini melalui
‘Platform’ menggunakan ‘Kereta Silinder’.
Tapi mereka masih tidak bisa kembali ke Jepang.
Marie hanya membersihkan debu dari pakaiannya, dan bersama
dengan Halter, turun dari Ring Rail, mereka berjalan jauh ke bagian dalam
kompleks pasar yang ramai di depan stasiun.
Hari menunjukkan kalau fajar telah tiba, dan toko-toko di
jalanan masih tertutup, tapi orang-orang sedang berjalan-jalan di sekitar sana.
Berbeda dari jalanan sibuk di ujung Kompleks Industri, jalanan disini terasa
penuh dengan kehidupan.
Setelah berbelok beberapa kali, keduanya sampai di sebuah
bangunan tua, sebuah hotel kosong.
Hotel itu kelihatan seperti hotel khusus untuk pelanggan
mabuk yang mau menginap. Mereka ragu apakah hotel ini masih berbisnis, tapi
setelah mereka masuk ke dalam, mereka tak menyangka kalau fasilitasnya ternyata
rapih.
Mereka memesan satu kamar, lalu mereka masuk ke dalamnya,
dan Marie segera berjalan menuju alat komunikasi yang terpasang disana.
Dia mengangkat telepon tersebut, dan menghubungi nomor
telepon saluran rahasia Keluarga Breguet.
Dengan bantuan saluran rahasia Breguet ini, dia berhasil
menghubungi Tokyo.
Dan beberapa detik kemudian, dia mendengar suara dari sisi
seberang,
“—Ohh, Profesor Marie, sudah cukup lama anda tidak
menghubungi kami.”
Di hadapan suara ramah tersebut, Marie sedikit bimbang saat
dia merespons.
“Memang cukup lama ya.”
”…Apa ada yang terjadi?”
“Yah…iya, benar. Banyak hal yang terjadi—sungguh.”
Marie mengoceh, dia kelihatan ingin melampiaskan sesuatu,
dan menurunkan pandangannya.
Jika dia menghadapi ini secara langsung, dia pasti akan
menangis, mencoba menahan emosi ini sekuat tenaga, dia mengalihkan perhatiannya
ke gagang telepon, dan melanjutkan kata-katanya dengan tenang,
“Maaf untuk hal yang tadi. Saat ini aku tidak punya waktu
untuk bersantai…Sekarang aku akan langsung bertanya. Apa kau tahu lokasi unit
seri Initial-Y yang dulu kuminta untuk kau selidiki sekarang?”
“Tidak tahu. Apa yang anda isyaratkan, sebenarnya?”
“Kami bertemu dengan unit itu, beberapa jam yang lalu.”
“Apa!?”
Pihak satunya menaikkan suaranya, dia kelihatan terkejut,
“Apa anda di Kyoto?”
“Tidak. Saat ini, aku ada di Grid Mie.”
“Mie?”
“Ada…sebuah intel anonim. Kami menyusup dan masuk ke bagian
bawah kota untuk memastikan hal itu, dan kami menemukan sesuatu yang sangat
mengerikan.”
Kemudian, Marie mulai menjelaskan tentang senjata raksasa
yang dia temukan di lantai yang seharusnya tidak pernah ada.
Marie menggambarkan penampilan dan kapabilitas senjata
tersebut yang setidaknya bisa dipastikan oleh matanya sendiri, dan juga AnchoR,
yang kelihatannya disiagakan disana sebagai penjaga keamanan, dan kemampuan
tempurnya yang melampaui pemikiran logis. Dia juga menjelaskan pengamatannya
bahwa musuh adalah parlemen Mie dan ‘militer’, dan bayangan suatu Perusahaan di
balik semua ini—
Setelah Marie menjelaskan semuanya, pihak satunya mengerang,
”…Bagaimana hal seperti itu bisa terjadi?”
“Ada hal yang ingin kupastikan. Tidak diragukan lagi kalau
unit seri Inital-Y telah dikirim ke Tokyo, kan?”
“…‘Militer’ memang memindahkannya dari Kyoto ke Tokyo. Ada
catatan dan laporan saksi mengenai hal itu. Dia dibawa keluar dari sebuah
kontainer, jadi info ini bisa dipastikan.”
“Kalau begitu, kurasa dia dikirim dari Tokyo ke Mie?”
“Kayaknya…mustahil kalau pengiriman itu tidak berkaitan
dengan senjata tadi.”
“Pikiranku sama. Mie dan Tokyo berkaitan sangat erat dalam
insiden ini. apa kau tidak keberatan memeriksa siapa yang berwenang dalam
pemindahan unit seri Initial-Y dari Tokyo?”
“Mengenai kemungkinan hubungan antara orang berwenang itu
dengan kolaborator dari Mie, ya?”
“Benar.”
”Beri saya sedikit waktu. Bagaimana?”
“Aku serahkan padamu.”
Marie ingin menutup teleponnya, tapi pihak satunya buru-buru
menambahkan,
“Dan satu hal lagi—Saya tidak yakin, tapi ssesuatu yang aneh
mungkin akan terjadi di Tokyo.”
“…”
“‘Militer’ Tokyo kelihatan seperti sedang mengumpulkan
kekuatan mereka. Seperti yang anda tahu, Tokyo dijalankan dengan sistem federal
yang berisi banyak Grid. Sepertinya banyak Menara Inti dan Menara Jam yang
tidak dijaga karena mereka mengumpulkan sebagian besar kekuatan mereka di satu
tempat.”
Itu. Marie mengerang.
Menara Inti dan Menara Jam dibiarkan kosong, pergerakan
mencurigakan ‘militer’; dia tidak menyukai hal itu, tapi tanpa sadar dia
mengingat kembali insiden di Kyoto beberapa waktu lalu.
Insiden dimana Kyoto direncanakan untuk dihapus bersama
dengan 20 juta penduduknya…
Orang di sisi lain telepon kelihatan mempertibangkan alasan
dan efek dari hal tersebut, kemudian berkata,
“Mengesampingkan sejarah, Kyoto hanyalah kota wisata saja,
jadi dalam hal ini, itu bukanlah alasan yang tepat. Jika semua area Tokyo
ambruk bersamaan, efeknya akan mempengaruhi seluruh daerah Asia.”
“Jadi pertanyaannya adalah bagaimana cara untuk membiarkan
area itu ambruk, ya? Tapi itu…”
Dalam sekejap, penglihatan Marie menjadi gelap,
Marie menggenggam erat gagang telepon di tangannya, lalu dia
mendesis,
“Berdasarkan logika ini, Kyoto juga seharusnya tidak boleh
dibiarkan ambruk.”
Singkatnya, masalahnya ada pada logika dan prinsip mengikat.
Mengapa para manusia, organisasi, ideal yang menyatakan
‘iya’ tentang membunuh 20 juta jiwa menyimpulkan dengan sangat tegas kalau hal
itu dapat mempengaruhi seluruh daerah Asia? Tentunya pernyataan ini tidak
menguntungkan bagi mereka, tapi kenapa mereka memutuskan hal seperti itu?
Dengan kata lain, Pasti ada alasan lain yang membuat mereka melakukan hal
itu.
Hanya ada kesunyian setelah Marie berkata begitu,
“…Sepertinya begitu. Memang benar kalau insiden itu tetap
terjadi.”
“Pokoknya, tolong tuntaskan apa yang kuminta. Aku akan terus
mengumpulkan intel di sini. Jika kita menyelidiki masalah ini lebih jauh, kita
pasti akan menemukan banyak hal mencurigakan mengenai hal ini.”
Dimengerti. Pihak satunya berkata begitu, dan mengulangi apa yang telah
diminta Marie.
“Bagaimanapun juga, tolong berhati-hatilah, Profesor Marie. Musuh
kali ini adalah lawan yang mengerikan.”
“…Baik, terimakasih banyak.”
Setelah jawaban yang singkat, Marie akhirnya menutup
teleponnya.
Dia menghela napas dengan pahit, karena jengkel, dia tidak
bisa lagi mengendalikan emosinya saat dia menendang ranjang di kamar tersebut
sekuat tenaga, seolah-olah ingin menerbangkan ranjang tersebut.
“Yang benar saja! Mereka semua itu seperti ini!”
“Jangan marah-marah, Milady.”
Suara menegur Halter terdengar dari belakangnya.
Marie menolehkan kepalanya ke belakang, lalu memelototi
wajah pria besar yang sedang duduk di kursi,
“Baik baik, jadi memangnya kenapa kalau aku mengamuk? Apa?
Kau mau jadi samsak tinju?”
“Dengan senang hati kulakukan jika itu membuat anda tenang.”
Halter berkata begitu dengan nada mengejek saat dia
melengkungkan bibirnya.
Di momen itu, Marie menaikkan alisnya—dan segera
menggelengkan kepalanya.
Aku seperti orang idiot saja, gumamnya.
“Yah, sudah cukup. aku sudah memutuskan apa yang mau
kulakukan. Ayo pergi.”
“…Ya ampun, kita baru saja kabur dari bahaya, kan? Paling
tidak pikirkan keadaanku.”
Halter melanjutkan kata-katanya dengan teguran, dan Marie
mendengus dengan tidak sabaran,
“Bodoh amat, aku juga bisa melakukannya sendiri.”
“Bukan begitu. Mengertilah, Milady. Tenanglah sedikit,
tidak, apa kau ini sudah tenang? Apa kau melakukan semua ini karena putus asa?”
“—Bukan apa-apa. Punya pertanyaan lagi?”
Dengan ekspresi mantap, Marie melanjutkan kata-katanya,
“Nyawa ini masih kumiliki berkat Naoto. Dengan kemampuan
RyuZU, dia mungkin bisa kembali dari kedalaman seperti itu. Jika itu terjadi—kurasa
aku akan dibunuh olehnya.”
Marie menggigil sambil memeluk bahunya dengan erat.
“Nyawa ini hampir mencapai batasnya, jadi aku harus
memanfaatkannya dengan efektif. Aku harus melakukan semua yang ingin kulakukan
sebelum RyuZU membunuhku.”
Dengan wajah serius, Halter mendengarkan kata-kata tersebut.
Dia mengenyitkan dahinya, dan kelihatan ingin menambahkan
sesuatu, tapi dia tidak berkata apapun.
Dia hanya bisa menghela napas, dan mengangguk.
“Baiklah, Milady. Anda boleh melakukan apapun yang ingin
anda lakukan, tapi sebagai orang profesional, nasihatku adalah anda tidur
sekarang. Nyawa anda akan berkurang, tapi anda ingin berusaha sekuat tenaga
dalam kondisi terbaik, kan?”
“…”
“Pergi mandi, minum coklat manis, dan tidurlah sebentar.
Pulihkan tenaga anda, jernihkan pikiran dan hajar orang manapun yang tidak
anda sukai semau anda.”
“…”
“Saat ini, itulah yang lebih logis, kan?’
“…Kau benar. Memang benar, apa yang kau katakan.”
Marie menerima kata-kata logis tersebut dengan tulus sambil
mengangguk terus terang. Setelah Halter yakin kalau Marie telah pergi
mandi, dia keluar dari kamar tersebut.
Dia membeli kokoa dan sandwich di toko terdekat, dan segera
kembali ke kamar.
Suara air yang mengalir di kamar mandi masih terus terdengar.
Dia duduk di kursi sambil menunggu Marie muncul dan mendadak
berpikir, Mungkin ini adalah adegan bunuh diri. Sesaat setelah dia berpikir
begitu, dia tertawa kecil.
Tidak. Itu tidak mungkin. Marie sendiri pasti tidak akan
melakukan hal seperti itu.
Dan seperti mengkonfirmasi hal itu, suara pengering rambut
yang menyala terdengar, lalu Marie muncul.
Dia hanya mengenakan mantel mandi, dan berjalan ke arahnya
dengan air yang masih menetes. Saat Halter menghadapi Marie yang suram ini, dia
memberikan kokoa dan sandwich tanpa berkata apapun.
Makasih. Marie bergumam dengan lemah sambil memasukkan semua itu ke
dalam mulutnya. Dia terus makan sambil diam, dan merapat ke ranjang tanpa
bicara apapun.
Halter berpindah tempat duduk ke samping jendela. Dia
melihat ke arah gadis yang sedang tidur dan tidak berdaya itu, lalu tiba-tiba
bicara dengan ragu,
“Hei, Marie, sebagai orang dewasa, aku punya hal yang perlu
dibicarakan.”
“…Apa?”
“Kau ini anak kecil. Kau hanya seorang anak perempuan.
Itulah yang kau katakan sendiri sebelumnya.”
“…Terus, kenapa?”
“Meskipun seorang gadis menangis seperti seorang anak
perempuan, tidak ada yang akan protes, kan?”
Marie tidak menjawab.
Kesunyian yang panjang menghampiri, dan tepat ketika Halter
penasaran apakah Marie telah tidur, dia akhirnya mendengar jawaban yang suram,
“—Aku akan protes, bahkan jika tidak ada yang akan protes,
aku yang akan protes. Aku pasti tidak akan membiarkannya. Jika aku meneteskan
air mataku disini, a—aku akan jadi kosong.”
Marie tidak menggeser maupun menggeliatkan tubuhnya.
Suaranya terdengar datar dan tenang, tidak menunjukkan keraguan sedikitpun.
Halter tidak berkata apapun.
Tapi, dia diam-diam merenung.
Dia tahu kalau bakat Marie Bell Breguet itu tidak mahakuasa.
Gadis jenius ini menjadi Meister termuda dalam sejarah, dan
tentunya, jika ada orang yang ditanya tentang hal ini, itulah imej yang melekat
pada Marie di mata orang-orang tersebut. Dia pintar dan serbabisa…tapi semua
itu tidak benar.
Alasan kenapa dia adalah orang jenius karena dia benar-benar
keras terhadap dirinya sendiri—hal yang terlalu sulit dipahami, sehingga bakat
normalnya disanjung sebagai ‘jenius’, dan dia dibilang memiliki talenta
tertinggi dari semua orang jenius.
Dia bijak.
Dia gigih.
Dia baik hati.
Dengan kata lain, dia menjalankan idealnya melalui tubuh dan
pikirannya; dari perspektif Halter, hal itu mirip seperti keyakinan yang
fanatis.
Orang biasa akan menyerah saat bertemu jalan buntu, tapi
bagi gadis ini, hal itu menjadi titik awal terbaik baginya untuk merasa kesal;
mesinnya akan berjalan sampai melewati batasnya, sebuah keinginan destruktif
untuk meningkatkan kemampuannya.
Dia memiliki spirit pengorbanan diri yang gigih, karena dia
berlaku kasar pada orang lain, tapi berlaku lebih kasar terhadap dirinya
sendiri.
—Itulah dasar dari seorang Marie Bell Breguet.
Karena itulah gadis ini tidak akan ambruk. Karena dia tahu
jika dia ambruk, dia akan menjadi bagian dari individu tak bernama yang tidak
berguna itu. Itulah yang paling ditakuti olehnya, dan karena itulah dia tidak
memanjakan dirinya sendiri. Dia memutuskan kalau dia harus hidup dengan cara
ini, dan dengan demikian, dapat dipahami mengapa dia menjadi Marie Bell
Breguet.
Jika dia berkompromi dengan hal itu—bisa dibilang kalau dia
akan mati.
Halter menghela napas dalam-dalam, dan menggelengkan
kepalanya,
“Baiklah—kemana anda akan membuat keributan setelah anda
bangun? Sebaiknya kita pikirkan dulu, bicarakan dengan matang biarpun kita
tidak punya saran apapun.”
“…Kau sangat mengerti kalau aku tidak berniat menyerah sama
sekali.”
Ya. Halter mengangguk.
Suara lembut Marie diisi dengan aura berbahaya saat dia
melanjutkan kata-katanya,
“Aku mau menghabisi pemimpinnya. Kita akan mengincar kepala
orang tersebut.”
●
“—Sialan!!”
Morikatsu Muroi mengambil komunikator dengan kesal.
Dia adalah Gubernur Prefektur Grid Mie. Setelah
menyelesaikan semua tugas publik di malam ini, dia buru-buru menghabiskan makan
malamnya bersama keluarga, dan mengunci dirinya sendiri di ruang kerjanya.
Normalnya, dia biasa menikmati minum larut malam bersama
dengan istrinya yang besar, tapi khusus untuk malam ini, dia tidak punya waktu
untuk hal tersebut.
Sejak dia menerima jabatan sebagai Gubernur Prefektur,
hari-harinya berlalu seperti air hangat. Dia hanya perlu mengerjakan tugas
hariannya secara rutin. Pekerjaannya adalah pekerjaan yang biasa dan
membosankan yang akan membuat siapapun merasa tidak bersemangat.
Tapi dia puas dengan situasinya saat ini. Dia memang punya
idealnya sendiri yang membara saat dia masih muda, tapi setelah menjadi pria
paruh baya, dan sekarang memasuki usia lanjut, dia hanya bisa tertawa pahit
saat mengingat kenaifan dirinya yang dulu dan kekanak-kanakan.
Pada akhirnya, dia hanyalah sebuah roda gigi yang bisa
diganti di masyarakat; di sisi lain, itu adalah hal yang pasti.
Dia hanya perlu melanjutkan pekerjaannya, mengambil gajinya,
sedikit mengomeli anak perempuannya, tapi sebagai balasannya dia jadi dibenci, dan
juga dicaci oleh istrinya sendiri.
—Ini saja sudah cukup. Dia berpikir begitu.
Dia tidak perlu perubahan. Hasil yang didapat oleh siapapun
yang mencari hal semacam itu adalah tidak ada.
Dan karena itu, apa yang terjadi hari ini seahrusnya tidak
terjadi.
Kelihatannya ada penyusup di lantai terbawah kota ini.
Lantai itu adalah area paling rahasia, terlebih lagi, laporan yang dia terima
adalah lolosnya para penyusup tersebut.
Ketika dia menerima laporan tersebut di pagi hari, dia
merasa marah, meskipun dia jarang merasa seperti itu. Dia masih merasa tidak
senang ketika dia makan malam, dan itu menyebabkan istri dan anaknya menjadi
tidak senang juga.
…Dia harus meminta maaf pada mereka berdua nanti.
Dia bertanya-tanya bagaimana supaya istrinya tidak merasa marah
lagi sambil memutar nomor telepon.
Sesaat kemudian, dia tersambung,
“—Ini aku.”
“—”
“…Eh, ini tentang pagi ini. Sebenarnya apa yang terjadi? Kau
sudah bilang kalau kerahasiaan hal itu tetap terjaga.”
“—”
“Bukan begitu. Selama kami tidak melihat dan mendengar penjahat apapun disini, nyawa kalian dan kami tidak akan terancam. Kita sudah sepakat, kan? Apa kau mau mengkhianati apa yang kita sepakati?”
“Bukan begitu. Selama kami tidak melihat dan mendengar penjahat apapun disini, nyawa kalian dan kami tidak akan terancam. Kita sudah sepakat, kan? Apa kau mau mengkhianati apa yang kita sepakati?”
“—”
“Mengancam? Kuharap kau sedang bercanda. Aku sudah memohon
pada kalian kan? Tolong jangan mengkhianati kami sekarang. Iya, iya aku akan
coba untuk menyelidiki apa yang terjadi di daerah kalian, tapi kebencian dan
ideal saja tidak akan bisa memberi kalian makan.”
“—”
“Baiklah, tolong cepat beri kami kesimpulan. Sudah 30 tahun
berlalu, tentunya penanganan situasi seperti ini akan sedikit lambat, tapi
meskipun begitu, kita tidak boleh selesai begitu saja—ini berlaku untuk kita
berdua.”
Setelah mengatakan hal itu, sambungan teleponnya diputus.
Muroi menghela napas dalam-dalam, dan meletakkan gagang
teleponnya.
Dia menyeka keningnya yang mengucurkan keringat tanpa ia
sadari, dan menghempaskan tubuhnya ke kursi
…30 tahun.
Muroi mengenang hari-hari yang sudah berlalu dan menghela
napas dengan pahit.
Sampai titik ini, pekerjaannya hanya berputar di sekitar
Mie, dan selalu berjalan baik. Meskipun ada beberapa masalah, baik kecil maupun
besar, dia dapat menangani semua masalah tersebut.
Itu bukan pekerjaan yang mengesankan. Itu hanya pekerjaan
dimana dia mengabaikan bahaya di dekatnya, atau sebuah bom yang mungkin meledak
bersama dengan Grid Mie sendiri suatu hari nanti.
Tapi kehidupan sehari-harinya yang terganggu saat ini adalah
masalah yang tidak bisa dia tanggung.
Baik penyusup yang memberinya situasi ini, maupun
‘orang-orang itu’ yang membiarkan penyusup itu menyusup dengan mudah.
Baginya, semua insiden ini adalah apa yang tidak bisa dia
tanggung.
Kenapa, kenapa setiap orang tidak menutup mulut mereka dan
tetap diam?
“…Bangsat.”
Untuk menghapus perasaannya yang pahit dan sangat buruk itu,
Muroi ingin menenggak alkohol yang kuat. Dia menenggak sedikit wiski, dan
bertanya-tanya apakah sudah waktunya untuk pergi tidur.
Dia hanya perlu meminta maaf pada istrinya esok hari.
Dia mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan dirinya, dan
berdiri.
Di momen itu.
Kerah bajunya dicengkram, dan dia didudukkan kembali ke
kursi.
Jantungnya berdebar-debar.
Ada kain lembut yang disumpalkan ke dalam mulutnya tepat
saat dia mau berteriak. Dia terus memberontak mati-matian, tapi tubuhnya telah
diikat oleh sesuatu; oleh lakban. Lakban yang lengket dan kuat itu mengikat
erat Muroi di kursinya.
Selama itu, penangkapnya tetap tidak berbicara. Namun, dia
paham apa yang coba mereka sampaikan.
—Diamlah.
—Kalau tidak.
Tidak bisa melawan nafsu keras seperti itu, keringat dingin
mengucur dari tubuhnya.
Itu bukan sebuah lelucon. Ada beberapa orang dengan niat
jahat yang sudah memasuki ruang kerjanya.
Selama beberapa saat, Muroi tidak bisa mempercayai kenyataan
ini.
Rumahnya adalah kediaman resmi yang diberikan pada Gubernur
Prefektur.
Rumahnya bukanlah fasilitas rahasia, tapi penjaga keamanan,
(atau malah pengawas) sering ditempatkan di rumahnya. Bukan hal yang mudah
untuk memasuki runah ini. Muroi sendiri tidak menyadari siapapun telah masuk ke
dalam ruangannya sejak dia masuk sampai teleponnya ditutup.
Tapi, kenyataannya dia sekarang sedang diikat.
Dia dililit lakban dari bahu sampai kakinya secara
berulang-ulang, dan pelaku yang lebih kuat darinya pelan-pelan mendekatinya
dari depan.
Orang itu adalah pria yang tinggi, seorang pria besar yang mengenakan
pakaian karet berwarna hitam, dia memberikan aura luar biasa, aura seseorang
yang berurusan dengan situasi-situasi keras.
Pria itu mendesis,
“Kami akan melepas kain yang kami sumpalkan di mulutmu
sekarang. Jika kau mau anggota tubuhmu lengkap, jangan bicara hal yang tidak
perlu.”
Bahu Muroi gemetar, dan dia mengangguk.
Setelah kain itu diambil, dia berusaha bernapas dengan panik.
Dia mengira kalau interogasinya akan dimulai begitu saja,
tapi pria itu mengulurkan tangannya ke belakang kursi, dan memutar kursi
tersebut dengan acuh tak acuh.
“!!”
Muroi membelalakkan matanya karena terkejut.
Tepat di belakang Morikatsu Muroi, ada seorang gadis muda.
Dia mengenakan pakaian karet berwarna hitam, dan lekuk
tubuhnya yang langsing kelihatan jelas. Tetapi, itu sendiri tidak memberikan
kesan seorang gadis yang lemah.
Rambut pirangnya masih bisa kelihatan di dalam kegelapan
itu. Mata mirip zamrud yang teguh milik gadis itu berkilau, memberi aura
seperti magma yang membara.
Dan, Morikatsu Muroi mengenali wajah gadis tersebut,
“Ma-Marie Bell Breguet…kau masih hidup!?”
Tuan Putri Keluarga Breguet yang harusnya telah mati 3
minggu lalu, atau seorang gadis berwajah sangat mirip dengannya. Pentungan yang
dikaitkan di pinggang gadis itu telah diayunkan ke arah Muroi tanpa ragu
sedikitpun.
Bam, suara benda tumpul terdengar.
Dia merasa sakit tak tertahankan di ulu hatinya, dan sedikit
merintih, tapi tidak sampai mengerang dengan keras. Untuk pertama kalinya, dia
mempelajari kalau berteriak dengan keras membutuhkan peluang untuk melakukannya.
Ujung pentungan itu menekan tenggorokannya yang kehabisan
napas dengan mudah.
“—Siapa yang bilang kalau kau boleh bicara?”
Gadis itu bicara dingin dengan suara datar.
Ketika dia mendengar suara yang terdengar tidak tertarik
itu, Muroi berteriak matah,
“B-bangsat, a-apa kau pikir hal ini hanya akan berakhir
begitu saja!?”
Dan sebagai balasannya, dia dipukul pentungan lagi.
Matanya mulai berkunang-kunang setelah dipukuli tanpa belas
kasihan.
Dan ketika Muroi tidak bisa bersuara dan hampir pingsan,
gadis itu bicara dengan datar,
“Kami akan langsung mengatakannya untuk membuat otak using
disini paham. Aku tidak meminta padamu. Aku memberi perintah padamu. Kau dan
aku tidak setara.”
“…B-berhenti mempermainkanku!”
Muroi berkata begitu dengan wajah yang merah padam karena
murka,
“A-Aku ini Gubernur Prefektur Mie! Aku tidak akan mengampuni
penghinaan ini!”
“Oh silakan.”
Gadis itu mengangguk, dan sedikit mengangkat matanya sambil
melanjutkan kata-katanya,
“Pergi ke bawah dan bawa istrinya. Kurasa aku akan
menunjukkan seberapa serius aku ini. Tidak masalah bagiku untuk menyiksa wanita.”
“Jangan!”
Muroi menjerit,
“Tolong! Biarkan istri dan anakku! Aku akan menjawab
pertanyaan apapun!”
“Aku sungguh berharap kau bertingkah seperti itu sejak awal.”
Suara dingin tersebut menyebabkan Muroi merasa sangat
ketakutan.
Emosi dalam mata zamrud tersebut tidak bisa dia pahami. Matanya
seperti mata seekor belalang sembah, pikir Muroi. Matanya tajam, dan tanpa
emosi, tapi ada keinginan intens yang tidak dapat dijelaskan di balik mata
tersebut.
Sang belalang sembah, yang telah mengambil rupa seorang
gadis, melanjutkan kata-katanya,
“Saat kau bicara, jawab ‘iya’. Jawab semua pertanyaan dengan
jujur, dan lakukan itu demi organisme-organisme tidak berguna sepertimu, jangan
memaksaku untuk menyiksa mereka satu demi satu.”
Muroi menggigil lalu mengangguk.
Gadis ini tidak memikirkan situasi Muroi sendiri. Jika Muroi
menunjukkan keraguan sedikit saja, gadis itu mungkin akan menjalankan
ancamannya tersebut—itulah yang Muroi rasakan.
“Kalau begitu, kita mulai dari masalah paling sederhana.”
Gadis itu duduk di meja kerja, dan melipat kakinya dengan
santai.
Dia bertanya,
“Sekarang, dilihat dari keterkejutanmu, kupikir kau tidak
tahu kalau aku masih hidup, kan?”
“…K-k-kupikir, kau sudah mati…”
“Halter, angkat dia.”
Ugh. Kerah Muroi diangkat dengan kekuatan yang luar biasa, dan
dia menjadi kesulitan bernapas.
Dia diangkat ke udara, dan terus memberontak meskipun
lehernya sedang menanggung berat tubuhnya sendiri. Si gadis memberitahunya
dengan dingin,
“Kau menjawab dengan cara yang salah. Harusnya kau bilang
‘iya’.”
Leher Muroi dilepaskan, dan dia terus terbatuk-batuk.
Bahunya gemetar karena takut, dan dengan air mata di
matanya, dia meminta maaf,
“B-b…baik. M-mohon maaf…”
“Susah sekali melatih seekor anjing bodoh disini.”
Gadis itu melengkungkan bibirnya dan berkata,
“Pertanyaan selanjutnya. Apa kau tahu tentang senjata yang
dibuat secara rahasia di lantai terdalam kota ini?”
“Iya, aku tahu.”
“Juga mengenai fakta kalau senjata itu melanggar Traktat
Internasional menyangkut senjata raksasa?”
“Iya…a-aku tidak pernah mendengar detailnya, tapi aku memang
pernah mendengar hal itu?”
“Oh? Kerjasama yang bagus.”
Gadis itu menaikkan alisnya, dan tersenyum kecil,
“Jadi, hal berbahaya semacam itu berlangsung di bawah kakimu
sendiri, dan kau berani bilang kalau kau tidak tahu detailnya? Seberapa tak
bergunanya kau ini? kau pikir aku ini orang tolol yang akan percaya hal itu!?”
“I-itu benar! Semua hal itu menjadi urusan mereka sendiri!”
“Urusan? Kau bukan orang paling berkuasa di Grid Mie ini?
kalau begitu, konspirasi yang direncanakan disini seharusnya dipimpin olehmu.”
“A-aku ini cuma perwakilan saja…!”
Muroi berkata begitu sambil terengah-engah,
“Saat ini, parlemen Mie juga dalam keadaan yang sama. Kami
hanya menjalankan tugas rutin harian kota ini, dan kami sepakat dengan mereka
untuk tidak mengganggu mereka.”
“Stop igauanmu itu. Kau bilang kalau pembuatan senjata itu
adalah kesepakatan sepihak dari militer, tapi kau membiarkan mereka melakukan
apa yang mereka mau begitu saja?”
“…I-iya, perkataanmu benar.”
“Apa ada alasan kenapa kau harus tutup mulut demi mereka?”
“I-itu…karena parlemen kami diancam oleh ‘militer’…”
“Jangan bohong.
Dengan ekspresi sedingin suhu di bawah titik beku, gadis itu
memelototi Muroi dan berkata,
“Mustahil bagian sebuah kota diambil karena ancaman kekuatan
militer. Mie—atau setidaknya parlemen dimana kau bagian darinya, kemungkinan
telah membantu militer dengan penuh semangat sejak lama.”
“I-itu.”
“Apa yang tidak kuyakini adalah, kenapa kau melakukan hal
itu. Pada awalnya, kukira itu semua demi uang dan kekuasaan, tapi tidak ada hal
mencurigakan pada rekening anggota parlemen. Mungkin uangnya mengalir padamu.
Sebagai bagian kesepakatannya, barangkali kau dapat sesuatu sebagai imbalannya.
Tetapi, buku-bukumu tidak menunjukkan tanda-tanda hal itu—benar-benar hubungan
yang tidak wajar, ya?”
“…”
“Jelaskan.”
Muroi tetap diam, dia tidak menjawab pertanyaan gadis
tersebut.
Si gadis menghela napasnya, dan mengarahkan dagunya kepada
pria yang sedang berdiri di belakang Muroi.
“Hukuman. Bunuh satu orang.”
“Stop, jangan!!!”
Muroi berteriak dengan penuh ketakutan.
Pria itu dengan santai menarik pisau dari pinggangnya, dan
menoleh untuk bertanya pada si gadis,
“Yang mana yang harus kubunuh?”
“Yang mana ya…?”
Saat berkata begitu, si gadis memiringkan wajah imutnya, dan
tersenyum ke arah Muroi,
“Kau yang pilih—istri atau anak perempuanmu? Yang mana yang
kau mau kami bunuh?”
“Tolong, hentikan, kumohon…!”
Wajah lembab Muroi dipenuhi air mata dan ingus, lalu dia
berteriak dengan penuh derita,.
Si gadis hanya memandang rendah ke arahnya dengan dingin,
“Jawabanmu salah, kan? Kau sungguh keliru jika kau pikir aku
akan terus memanjakan serta mendidikmu.”
“K-kedua belah pihak hidup berdampingan dengan berbagi
pendapat…!”
Muroi menundukkan kepalanya dengan lemah, dan terus
berbicara dengan susah payah,
“Bukannya itu karena ada senjata raksasa disini!? J-jika
fakta kalau mereka ada di Mie ini bocor, kami juga akan terancam bahaya.
Ka-karena itu, kami memberikan perlindungan bagi mereka…”
“…Aku tidak mengerti apa yang kau maksud.”
Si gadis memarahinya dan bermuka masam.
“Apa kau keberatan untuk menjelaskan hal itu supaya aku bisa
mengerti? Atau kau tidak mau?”
“M-mereka…bukanlah ‘militer’ Mie…”
“…Apa maksudmu?”
Si gadis semakin cemberut.
Muroi berkata dengan napas yang tidak teratur karena rasa
takut dan pukulan yang ia alami,
“Mereka adalah kekuatan ‘militer’ dari Grid Shiga, yang sudah dihapus
30 tahun lalu…!”
●
Ini adalah cerita yang terjadi sebelum Marie lahir.
Ada malfungsi parah berskala luas yang terjadi di Grid
Shiga, dan karena situasi yang sudah sangat buruk, pemerintah saat itu segera
menyetujui Hukum Penanganan Bencana Spesial. Mereka dengan paksa menjalankan
penghapusan tanpa menunggu anggota ‘Guild’ diutus terlebih dahulu.
Tentu saja, kejadian itu sendiri adalah masalah yang besar
dan menyebabkan kabinet pemerintahan dibubarkan. Tetapi setelah penyelidikan
yang dilaksanakan setelahnya, hasilnya adalah ‘jika mereka menunda penghapusan
sedikit saja, malfungsi ini akan mempengaruhi Grid-grid Jepang Barat.
Karena hasil penyelidikan tersebut, sekarang ada suara
kritik yang menyatakan bahwa, keputusan tersebut mungkin saja keputusan tanpa
hambatan serta kuat tanpa peduli jumlah kerugian yang ditimbilkan, daripada
keputusan yang segan dan sulit dilaksanakan.
Namun,
“…Itu semua bohong.”
Suara bergetar Morikatsu Muroi membantah sejarah tersebut.
“Saat itu, ada penelitian tentang teknologi eektromagnetik
yang dilaksanakan di Grid Shiga. Proyek itu berskala besar karena merupakan
proyek nasional…dan hampir 10.000 Angkatan Teknik yang berkumpul disana.”
“Teknologi elektromagnetik…!”
Wajah Marie berubah menakutkan saat dia berkata begitu.
Teknologi tersebut digunakan sebagai teknologi kontemporer di era lama, tapi di
dunia modern yang sepenuhnya digerakkan oleh gir, —
“Benar, penelitian tersebut melanggar traktat internasional.
Setelah itu, medan elektromagnetik raksasa yang terbentuk dari eksprerimen
tersebut merembes keluar hal itu menyebabkan fungsi-fungsi ko menjadi rusak.
Pemerintah memutuskan untuk menyingkirkan semua itu sebelum anggota ‘Guild’ yang
telah diutus menemukan hal semacam itu…itulah kebenaran dari penghapusan Grid
Shiga.”
Ekspresi mengerikan Marie menghilang dari wajahnya.
Hanya mata zamrudnya yang berkedip, sambil terus menatap
wajah sang Gubernur Prefektur.
“Semua dokumen yang berhubungan dengan penghapusan tersebut
sudah disiapkan, dan segala macam persiapan juga telah selesai. Selama Kepala
Sekretaris Kabinet memberikan tandatangan, grid manapun bisa dihapus. Hal ini
juga memuat evakuasi penduduk, dan dokumen yang menyatakan kalau sebagian besar
dari penduduk berhasil meloloskan diri dengan aman. Mereka ditampung di sini,
di Grid Mie.”
“…”
“Sehingga, sebagian besar dari mereka adalah para teknisi
yang dibuang tapi berhasil bertahan hidup, dan dengan memanfaatkan peran
‘pengungsi’, mereka tinggal di Mie. Semua itu dilaksanakan dengan cepat dan
diam-diam di balik layar.”
Ketika Muroi berkata begitu, dia mengangkat wajahnya.
Wajahnya, yang ditutupi keriput, benar-benar basah, dan keringatnya bercucuran.
Mata hitamnya berkilau aneh ketika dia menatap Marie,
“…12 tahun. Itulah waktu yang mereka habiskan untuk
mengambil alih kota ini.”
“Kenapa? Apa mengambil alih kota itu penting?”
Marie bertanya dengan suara berat,
“Mereka melakukan penelitian illegal dengan perintah negara,
dan dibungkam karena penelitian itu terungkap. Semuanya baik-baik saja sampai
titik ini. Kalau begitu, kenapa kau tidak membocorkan kebenaran ini?”
“…Karena jika aku melakukannya, Mie akan menjadi grid
selanjutnya yang akan jatuh, tahu?”
Muroi menghela napas dalam-dalam, dan menggelengkan
kepalanya,
“Shiga ditenggelamkan hanya untuk menyembunyikan
kebenarannya, jadi bagaimana bisa kau menyimpulkan seperti itu…setelah
mengetahui kalau para teknisi tersebut masih hidup, pemerintah tidak mungkin
membiarkan Mie tenggelam?”
“Karena…kau tidak bisa memaksakan penghapusan karena alasan
konyol seperti itu, kan? Dan juga Shiga baru saja dihapus.”
Dengan kata lain, kota adalah bagian dari daerah negara.
Teknologi zaman ini saja tidak cukup untuk mengembangkan kota dan membangunnya
kembali, jadi penghapusan berarti kehilangan daerah. Mereka memutuskan untuk
menenggelamkan Shiga untuk menyembunyikan kenyataan kalau mereka telah
melanggar traktat internasional, dan itu jelas karena semuanya telah terlambat.
Jika mereka terus menghapus kota-kota, wajar bila ada pertanyaan interogatif
dari semua negara asing.
Muroi melengkungkan bibirnya merespons kata-kata Marie,
“Bisa saja. Tapi aku akan bilang ‘jangan bermain-main dengan
kami’. Bagi kami, yang baru saja melihat Shiga ambruk dari tempat paling dekat,
dan bagi mereka, yang telah dibuang, kau berharap kalau kami akan percaya pada
kewarasan orang-orang gila itu, pemerintah, bahwa mereka akan mempertaruhkan
nyawa mereka sendiri serta keluarga mereka—apa kau benar-benar bicara begitu?”
“…”
Marie tidak bisa menjawab.
Wajah Muroi berubah, dan dia tersenyum dengan penuh gairah,
“Saat itu, aku hanya ajudan seorang anggota kongres.
Kadang-kadang, aku akan berinteraksi dengan pemimpin mereka, dan aku memahami situasinya
dengan cepat. Jika salah satu dari mereka mengetahui hal ini, Mie akan
ditenggelamkan. Sebelum itu terjadi, aku merasa bagaimanapun juga kami harus
punya ‘sesuatu’ yang bisa kami gunakan untuk bernegosiasi dengan pemerintah.”
“…Sesuatu itu adalah senjata raksasa di bawah tanah?”
Muroi mengangguk.
“Aku tidak terlalu yakin tentang detailnya, tapi mereka
mencari ‘kekuatan’ berwujud, yang bahkan jika pemerintah memutuskan untuk
menghapus kota ini dan mengerahkan ‘militer’ untuk melawan kami, kami punya
kekuatan untuk melawan balik dan mengusir mereka.”
Setelah mendengar kata-kata tersebut, Marie melotot dengan garang
kepada Muroi,
“Jadi karena alasan itu, kau mengorbankan Menara Jam di Mie?”
“Sisa-sisa Grid Shiga saja tidak akan cukup sebagai material…atau
setidaknya itulah yang kami dengar, dan kami memutuskan kalau mengorbankan
menara jam tersebut adalah hal yang perlu.”
Dengan wajah pucat, Muroi menarik kesimpulannya.
Marie menyipitkan matanya, dan bertanya,
“Sebagai penyeimbang kekuatan?”
Begitulah. Muroi seperti kesulitan mengatakan kata-kata tersebut.
“Kenyataannya, senjata itu terbilang efektif. Keberadaan
mereka telah diketahui pemerintah sejak lama, tapi pada dasarnya mereka telah
mengontrol Mie, dan memiliki kekuatan militer yang kuat, sehingga dengan begitu,
kedua belah pihak mengadakan kesepakatan rahasia. Kekuatan tempur mereka tidak
bisa diragukan, dan keberadaan senjata tersebut, yang dibuat dari sisa Grid
Shiga, adalah bukti nyata kalau pemerintah pernah melaksanakan penghapusan
illegal terhadap Shiga itu sendiri.”
Dengan demikian, mereka menyimpan senjata itu sampai hari
ini, dan tidak pernah menggunakannya.
Ketika Muroi mengeluh dengan penuh semangat, Marie
menundukkan kepalanya tanpa kata-kata.
Dia paham. Dia tahu kalau tidak mudah untuk membantah alasan
seperti itu, tapi dia tidak bisa percaya mereka. Mereka hanya didorong oleh
rasa takut, dan mencari kekuatan yang pasti dan lebih kuat.
Tetapi, itu—
Marie berkata.
“Kau bohong.”
“Aku serius!!”
Muroi menjerit dengan muka putus asa.
Marie menatap tajam wajah ini, dan pelan-pelan bertanya,
“Karena kau bicara begitu, beritahu aku. Kenapa senjata itu
dalam fase siaga?”
“…Apa?”
Murou membelalakkan matanya karena terkejut.
Marie melanjutkan kata-katanya setelah dia tidak menduga
kalau Muroi akan bereaksi begitu,
“Kami pergi ke lantai bawah untuk melihat senjata itu
sendiri. Senjata itu sudah dipersiapkan sampai titik dimana senjata tersebut
bisa diaktifkan kapan saja. Jika kalian tidak berniat menggunakannya, kalian
tidak perlu persiapan sebanyak itu.”
“…”
Muroi terdiam. Itu bukanlah penyangkalan, dan bukan pula
karena kebohongan yang terkuak. Dia hanya membelalakkan matanya karena
terkejut, dengan bahu gemetaran.
“…Begitu ya. Jadi memang begitu!”
Tiba-tiba dia menurunkan bahunya dengan lemah. Saat Marie
dan Halter menyaksikan hal itu dengan terkejut, Muroi menghela napas
dalam-dalam, dan menggelengkan kepalanya dengan lemah.
“Sudah berakhir, tidak ada lagi yang tersisa…”
“…Kuharap kau tidak menjadi satu-satunya orang yang paham
situasi saat ini, tapi apa kau mau menjelaskan apa yang kau mengerti?”
Setelah mendengar pertanyaan Marie, Muroi tertawa.
Gubernur Prefektur Mie pelan-pelan mengangkat kepalanya dan
menatap lurus ke arah Marie. Wajahnya dipenuhi rasa takut, pucat dan gemetar,
tapi bibirnya melengkung seperti mengejek,
“Haa…sepertinya kau tidak tahu apa-apa. Kau menyusup ke
dalam rumah orang, menyalak dengan arogan ‘yeah’ seperti tadi, tapi kau cuma
seorang tuan putri kecil yang angkuh, ya?”
“!!”
Merespons hinaan Muroi, Marie mengangkat alisnya.
Halter, yang berdiri di belakang Muroi, mengulurkan
tangannya ke kerah Muroi, sambil berbisik,
“Hei, jangan berlagak sombong disini. Jika kau bicara begitu.”
“Diam!!!”
Muroi berteriak. Dia memelototi Marie dan Halter bergantian
dengan agresif sampai-sampai Halter tanpa sadar melepaskan kerahnya.
“Apa kalian masih belum paham!? Senjata itu awalnya tidak
akan digunakan karena tadinya digunakan untuk menakut-nakuti. Senjata ini
hanyalah jaminan untuk negosiasi agar kami terhindar dari penghapusan! Menilik
dari senjata yang sudah dipersiapkan, orang idiot pun bisa mengerti apa yang
baru saja terjadi!!”
Muroi berhenti sejenak.
“—Negosiasinya gagal! Pemerintah sudah membuang kami! Jadi
orang-orang itu, ‘militer’ Shiga, memutuskan untuk melawan pemerintah, tahu?
Jangan lupa kalau itu semua adalah kesalahanmu, Marie Bell Breguet!!”
Marie mengerutkan dahinya, dia tidak paham dengan ocehan
mendadak Muroi. Di sisi lain, Halter terkesiap, dia kelihatannya paham makna di
balik kata-kata tadi,
“Hah! Si bangsat ini kelihatannya paham, ya? Inilah akibat
dari kalian yang menghentikan penghapusan Kyoto, dan membocorkan semua
informasi itu! Apa kalian bisa membayangkan seberapa besar kerugian yang
dialami pemerintah dan ‘militer’, seberapa besar kepercayaan Masyarakat
Internasional kepada mereka yang sudah hilang!?”
“!!”
“Bagi orang-orang itu, mereka perlu sesuatu. Untuk
menegaskan makna keberadaan mereka, mereka perlu ‘musuh’!!”
“!!!”
Di momen itu, semua hal di dalam kepala Marie saling
bertautan satu sama lain.
‘Militer’ Tokyo yang memusatkan kekuatan mereka, demi
melawan Mie—mantan ‘militer’ Shiga yang akan mengaktifkan senjata raksasa itu.
Pemerintah sudah tahu senjata itu dari dulu, tapi bertingakh seperti tidak tahu
apa-apa, jadi kenapa mereka memutuskan untuk menghancurkan ‘militer’ Shiga
sekarang?
Satu-satunya alasan adalah—karena percobaan penghapusan
Kyoto yang gagal.
Mereka membiarkan 20 juta orang menghadapi kematian mereka
saat mereka berencana menenggelamkan Kyoto. Setelah itu, karena petunjuk anonim
(Marie), insiden itu terhampar jelas ke seluruh dunia.
Pada akhirnya, hal itu merusak kredibilitas negara, dan
mereka kehilangan kepercayaan masyarakat, serta menyebabkan rasa saling curiga
dalam Perusahaan-Perusahaan. Apa yang harus mereka lakukan untuk memperoleh
kembali semua itu dengan cepat?
Sederhana saja—dan mata siapapun akan dapat melihat hal ini
dengan jelas. Mereka hanya perlu menciptakan sebuah ‘lawan’. Benar, misalnya,
memberantas pemberontak yang melanggar Traktat Internasional dan membangun
senjata raksasa.
“Apa kau mengerti!? Semua ini salahmu!!”
Dengan tubuhnya yang terikat, Muroi menggeliat-geliat di
kursinya seraya berteriak,
“Kaulah yang membocorkan semua informasi itu, kan!? Kau mau
menjadi pahlawan!? Itu sudah ketinggalan zaman, bocah sialan! Yang kau lakukan cuma
perbuatan iseng yang menambah kekacauan di dunia ini!”
“!!”
“Berkat perbuatan-perbuatanmu yang tidak diperlukan itu,
pemerintah jadi terpojok! Kami jadi orang jahat sekarang, dan merekalah orang
baiknya! Inilah skenario yang sudah dibuat! Berkat dirimu!!”
“…”
Marie tidak bisa menjawab. Wajahnya yang sudah putih berubah
menjadi sepucat kertas, dan dia menggigit bibirnya.
Si Gubernur Prefektur mendengus seraya menyeringai ke arah
Marie,
“Tapi orang-orang itu kelihatannya tidak sadar, kehidupan
macam apa yang mereka…kami, jalani selama 30 tahun terakhir ini.”
Muroi melengkungkan bibirnya, dan melanjutkan kata-katanya,
“Kami selalu merasa sangat ketakutan, kapan pemerintah akan
mencium jejak mereka, dan kapan mereka akan mulai penghapusan…itu sudah
berlangusng selama 30 tahun. Kami selalu tersiksa oleh keputusasaan dan
ketakutan yang tidak bisa kami abaikan itu. Apa pembuatan kartu as seperti itu
hanya akan digunakan sebagai gertakan saja?”
Marie dapat memahami makna di balik kata-kata itu.
—Senjata raksasa yang dia lihat di lantai terbawah Mie.
Jika benda semacam itu mengamuk, kehancuran macam apa yang
akan ditimbulkan olehnya. Bahkan jika militer Tokyo berkumpul dan melawan
senjata itu dengan serius, tidak mungkin mereka dapat mengalahkan senjata itu
dengan mudah.
“…!”
Marie menghentikan engahannya, dan menggigit bibirnya.
Pria di depannya ini mungkin tidak tahu detail semacam itu.
Di sisi lain, dia kelihatan sangat percaya diri. Desain senjata itu, teror dan
ketekunan teknisi-teknisi Shiga yang membangun benda itu, pastinya bukanlah
hal yang sederhana sama sekali.
Muroi bicara sambil tersenyum,
“Kami harus mengambil pilihan untuk bertahan hidup. Kau
paham itu, anak yang mengaku jenius!? Mereka akan menggunakan skenario yang direncanakan
pemerintah ini untuk melawan langsung dan menghancurkan pemerintah. Sejarah
ditulis oleh sang pemenang. Mereka akan menghancurkan musuh manapun yang
menghalangi mereka tanpa ampun, dan orang-orang itu akan dianggap jahat
sedangkan kami adalah keadilan.”
Dia kemudian melanjutkan kata-katanya dengan suara kering,
“Seberapa besar kehancuran yang timbul dalam proses ini?
Mungkin satu ada dua Grid akan tenggelam, entahlah. Sekarang, kau pikir ini
salah siapa?”
Marie tidak menjawab. Dia tidak bisa menjawab. Dia
membelalakkan matanya dan anggota tubuhnya gemetar karena terkejut oleh
guncangan luar biasa tersebut. Dia menelan ludahnya dan tenggorokannya terasa
serak.
“—SALAHMU!”
Muroi berseru, suaranya diisi dengan kebencian yang brutal.
Wajahnya berubah karena murka dan benci, serta matanya yang menatap Marie
dipenuhi dengan dendam.
“INI SEMUA SALAHMU! JIKA SAJA KAU PATUH DAN MATI DENGAN
TENANG—SEMUA INI TIDAK AKAN TERJADI, DASAR BOCAH SIALAN!!!”
●
—Tanpa sadar.
Ketika Marie menyadarinya, dia sedang berjalan di jalanan
yang tidak dia ketahui.
Sebuah jalan yang tidak dia ingat, dan dia masuk ke
sela-sela diantara dua gedung. Tidak ada keramaian, dan mereka tidak mendengar
suara serangga apapun, cahaya redup dari luar tidak bisa mencapainya di tempat
ini.
Kenapa aku berjalan ke tempat ini? Marie bertanya-tanya.
Halter juga mengikutinya dengan kecepatan sama.
Bahu Marie terasa berat dan langkah kakinya lambat. Dia
tidak mau menoleh ke belakang, dan terlalu malas untuk bicara; dia hanya
menghela napasnya dengan panjang.
Ingatanya terpotong di tengah-tengah interogasi, dan dia
tidak lagi ingat apa yang dia lakukan setelahnya. Melihat Halter yang tetap
bungkam, kelihatannya mereka berhasil mengatasi hal itu dengan benar.
“…”
Operasinya berjalan sukses.
—Dia menculik Gubernur Prefektur Mie. Misi itu berjalan
dengan sangat baik. Mengenai apa yang terjadi di distrik ini, dan apa yang akan
terjadi nanti, mereka yang ingin tahu mungkin sudah tahu itu semua.
Namun, dia tidak merasa bangga sedikitpun. Di titik ini,
bisa dibilang kalau dia merasa—gundah.
“—”
Marie berhenti.
Jika dia ingin mencapai sesuatu, secara logika, sebuah
paradoks akan terjadi.
Jika jam berputar berlawanan dari biasanya, hambatan yang
timbul akan mempengaruhi seluruh strukturnya, dan hasilnya akan rusak.
Ya, dia tahu kalau situasi selalu memihak orang baik, maka
peradaban masyarakat tidak akan bisa berjalan. Meskipun begitu, sampai titik
ini, dia melakukan semua yang dia bisa, dan berharap menjadi orang yang berdiri
dengan bangga dengan kepala tegak.
—Namun, dia berakhir di situasi seperti ini.
Dia menyelamatkan Kyoto, membocorkan kejahatan ini, menjadi
terlalu sombang, kalah telak, dan Naoto mati.
Dan di titik ini, hadiah yang dia peroleh adalah Tokyo dan
Mie yang akan berperang.
—Dia tidak bisa membiarkan hal itu begitu saja.
Itulah kesimpulan yang secara alami didapat Marie, tapi di
saat yang sama, dia merasa ragu.
—Apa yang harus kulakukan disini?
Dia melakukan apa yang dia percaya sebagai hal yang benar,
dan berakhir di situasi ini. Marie bahkan tidak berpikir untuk mencari dalih,
semua ini disebabkan olehnya, dan oleh karena itu, dia harus bertanggungjawab.
Apa yang harus dia lakukan, tanggungjawab macam apa, dan bagaimana cara dia
menanggung semua itu? Bagaimana bisa situasinya berkembang sejauh ini, dan apa
yang dia—
“Beritahu aku, apa yang harus kulakukan…”
Suara yang lemah terdengar,
—Hujan mulai turun.
Gerimis kecil dan hangat itu dengan cepat berubah menjadi
hujan deras yang mengguyur Marie. Dia tidak menghindar sedikitpun, dan tetap
diam di tempat.
“—Anda tidak perlu melakukan apa-apa.”
Halter berkata begitu,
“Itu cuma kata-kata yang tidak membuat anda terluka, kan? Si
Gubernur Prefektur itu cuma membela dirinya sendiri. Jika kita menelusuri
sampai ke sumber aslinya, pemerintah yang menyebabkan Shiga tenggelam dari
awallah yang harusnya menjadi tersangka kali ini.”
“Aku tahu…kalau segitu sih.”
Pemerintahlah yang mengadakan penelitian illegal di Shiga,
dan pemerintah juga yang mencoba menutupi kesalahan mereka dan melakukan
penghapusan. Para pengungsi Shiga adalah orang-orang yang melaksanakan keadilan
mereka sendiri, dan tidak masuk akal jika Mie melihat semua itu sebagai alasan
dan membangun senjata yang melanggar Traktat Internasional. Menyelamatkan Kyoto
sendiri jelas bukan perbuatan yang salah, dan informasi yang dia bocorkan
setelah itu bukan menjadi semacam karma bagi Marie sendiri.
Oleh karena itu, bagi Marie Bell Breguet, tanggungjawab yang
dia miliki atas situasi ini—tidak ada sama sekali?
—Bukan begitu.
“Tapi aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.”
Di tengah-tengah situasi seperti itu. Tindakan Marie tidak
jahat sama sekali, tapi dia tidak bisa bilang kalau dia tidak terlibat.
Bagaimana bisa dia berpura-pura tidak tahu apa-apa?
“Bukan itu masalahnya.”
Halter menyangkal perkataan Marie dengan suara kalem,
“Situasinya sudah tidak terkendali. Ini sudah jauh melebihi
apa yang bisa anda lakukan sebagai teknisi mesin jam.”
“Tapi itu…ugh!”
“Sekarang, apa yang akan anda lakukan? Membocorkan informasi
ini? Anda bisa mengambil resiko ini, tapi ini hanya akan memaksa pemerintah
bertindak lebih cepat. Itu hanyalah kabar burung tanpa bukti yang jelas, mereka
bisa berdalih apapun. ‘Penghapusan di Kyoto juga dikarenakan alasan yang sama’,
orang-orang itu akan menyatakan keputusan sulit ini dengan tenang, kurasa.”
“Jadi…!”
Marie membalikkan badannya, dan menatap Halter.
Halter balas menatap Marie tanpa mengelak, dan angkat bicara,
“Jadi, apa yang ingin anda lakukan sekarang? Apa anda mau
menghentikan ini semua secara rahasia? Bagaimana caranya? Musuh kita adalah
pemerintah, ‘militer’ yang mengabdi kedua belah pihak, dan 5 Perusahaan. Apa
yang bisa anda lakukan sekarang?”
Nada bicaranya terdengar sangat tenang, sampai titik yang
bisa dibilang lembut.
“Apa anda masih belum sadar kalau anda ini sudah mati? Dan
juga, jika aku boleh berpendapat, anda harusnya hidup tenang sebagai seorang
siswa di Kyoto saat ini sampai isu-isu sosial ini mereda.”
“Kalau begitu beritahu aku apa yang harus kulakukan!!”
Marie berseru dengan kesal,
“Apa kau bilang kalau aku harus mengamati semua yang akan
terjadi nanti dengan tenang sebagai penonton?”
“Itu salah satu pilihan.”
Halter menghela napas kecil, dan mengangguk,
“Pemerintah akan menggunakan ‘militer’ dan menghancurkan
senjata itu. Jika mereka bisa melakukannya, setidaknya mereka akan memperoleh
kembali sedikit kredibilitas mereka. Bukan hal yang terlalu buruk bila kita
menonton dengan tenang orang-orang putus asa melawan orang-orang yang tidak
punya pilihan selain melawan.”
“Apa kau serius?”
Merespons pertanyaan Marie, Halter mengangkat bahunya, ,
“Aku tidak pandai melawak."
“Kau juga melihat benda itu, kan? Senjata bawah tanah itu.
Perhatikan senjata itu. Apa kau pikir ‘militer’ Tokyo sendiri bisa
mengalahkannya? Kita juga perlu mempertimbangkan AnchoR. Dengan senjata itu dan
AnchoR menyerang di saat bersamaan, kau pikir mereka bisa menang?”
“Mungkin mustahil.”
Halter mengangguk dengan jujur,
“Dan meskipun begitu, memangnya itu masalah? Apa hal ini
begitu penting, baik pemerintah menang maupun kalah disini? Seperti yang Gubernur
Prefektur itu katakan, mungkin skenario ini akan menghancurkan pemerintah
sendiri—terus memangnya kenapa? Kita tidak punya alasan untuk memikirkan hal
itu.
Marie berteriak,
“Banyak orang yang akan mati!”
“Tentu saja.”
“Jika senjata itu mengamuk disana, amukannya tidak akan
berakhir dengan mudah! Baik mereka menang maupun kalah, kotanya akan hancur
dengan parah!”
“Kayaknya begitu.”
“Kalau begitu—apa kita akan kehilangan lebih banyak jiwa
daripada orang-orang yang harusnya menjadi korban di Kyoto?”
“Anda memang benar sekali. Berapa kalipun aku mengatakan hal
ini, inilah hasil dari orang-orang idiot yang bertingkah bodoh. Ini bukanlah
hal yang harus ditanggung oleh bocah lemah dan mulai merasa panik seperti orang
gila.”
Marie tidak bisa membuka mulutnya, dan jatuh terduduk.
Dia tidak bisa memahami kata-kata Halter—tidak, sebenarnya,
dia bisa memahami hal itu. Setidaknya, dia dapat mengenali logika di balik
kata-katanya adalah logika yang benar. Meskipun dia tidak melakukan apapun, apa
yang terjadi di masa depan bukanlah tanggungjawab Marie. Itulah yang coba
disampaikan oleh Halter.
“Jangan bercanda denganku!”
Marie menggertakkan giginya seraya meraung, harga dirinya
yang terluka tidak mau menerima hal itu. Kita sudah sampai di titik ini, dan
kau mencoba mengambil tanggungjawabku disini!?
Halter menarik napasnya, wajahnya kelihatan mengendur seraya
menggelengkan kepala,
“Aku tidak bercanda. Aku hanya menyatakan fakta keras dan
dingin, Milady, jika anda tidak menerimanya, yah…terserah anda saja. Aku akan mengikuti
keputusan anda.”
Lalu, Halter bertanya,
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Marie tidak menjawab.
Apapun yang dia lakukan tidak akan berarti, dan dia sendiri
yang paling mengerti kalau dia tidak bisa melakukan apapun. Dia sangat paham
kemampuan dan keterbatasan yang dia miliki…dengan keadaannya yang sekarang, dia
tidak bisa melakukan apapun untuk ikut campur.
“—”
Marie berlutut.
Dia berlutut dan merasa gundah. Air hujan yang menggenang di
tanah membuat pakaian dalamnya sangat basah sampai terasa menjijikan, tapi hal
itu tidak mengganggunya.
Hal-hal penting di dalam hatinya seolah-olah hancur, dan dia
tidak bisa bangun.
Dia menggigit bibirnya dengan keras.
Dia paham apa kelemahannya ini, dan juga paham kalau
seberapa kali pun dia bertahan dan terus merasa bangga saat dia melakukan hal
yang benar, masih ada hal yang tidak bisa dia lakukan.
Tapi meskipun begitu—dia punya firasat kalau selama dia
bersama Naoto, mereka bisa mengatasi apapun. Setelah membiarkan Naoto mati di
titik ini, Marie yang kecil ini tidak bisa melakukan apa-apa.
“…Tidak.”
Pikiran seperti itu hanyalah dalih belaka.
Air dan lumpur memercik ke tubuhnya, dan lengannya mati rasa.
—Jangan salah mengira.
Memangnya apa yang bisa dia lakukan bersama Naoto di saat
ini? Apa dia mengira kalau Naoto hanyalah alat yang berguna untuk segala jenis
situasi?”
Dia berpikir kalau bakat yang tidak bisa dia pahami sebagai
keajaiban gaib, dan hasilnya adalah seperti ini.
Dia tidak bisa menyerah, dan dia tidak boleh membiarkan
dirinya mati seperti ini.
Tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Dia tidak bisa
mengubah apapun.
—Pikirannya berputar dengan kosong.
Dan hujannya semakin lebat.
Tidak ada cahaya dan visibilitasnya benar-benar buruk. Karena
tidak tahan oleh air hujan yang terus mengguyur, tubuhnya semakin terasa berat.
Dan di titik ini, pada akhirnya dia tidak bisa bergerak maju.
“…Kenapa?”
Kenapa semuanya berakhir seperti ini? Mungkin perkataan si
Gubernur Prefektur udik itu benar, kalau saja dia mati dengan tenang, mungkin
situasinya akan berubah menjadi lebih baik dari saat ini.
Mereka berniat untuk mengorbankan 20 juta jiwa demi harga
diri mereka yang tidak berarti itu. Meskipun Marie dan Naoto sudah menghabiskan
banyak upaya untuk menyelamatkan 20 juta jiwa tersebut, mereka masih berniat
membunuh lebih banyak orang lagi di titik ini?
“Apa, apaan…”
Marie tidak bisa mengerti hal itu.
—Selalu saja ada orang yang membuat situasinya memburuk.
Bila ada keputusan yang benar, maka ada juga kesalahan.
Keadilan tidak dimiliki oleh pihak manapun, dan bisa berubah dengan mudah oleh
kebencian kecil ketika keadilan tersebut tidak dilandasi keyakinan dan
keikhlasan. Satu-satunya kenyataan adalah situasi yang menguntungkan mereka,
dan sisanya hanyalah kebohongan belaka.
—Dia tidak meragukan itu sama sekali. Dia sudah menyiapkan
mentalnya untuk memahami bahwa memang begitulah kenyataannya. Tidak ada yang
akan berubah meskipun dia menghela napasnya, dan sampai titik ini, dia setuju kalau
dunia yang dia tinggali ini memang begitu.
Tapi pada kenyataannya,
Sejak dia masih kecil, dia selalu berpikir,
Kalau dunia ini tidak menyenangkan serta sangat menyebalkan.
Marie terengah-engah seraya mendongak ke langit.
Dia bisa melihat langit mendung yang sempit diantara
sela-sela gedung ini.
Hujan yang jatuh menetes di wajahnya, melucur dari matanya
dan mengalir di pipinya.
Kata-kata yang selalu ada di dalam hatinya terasa sangat
sulit untuk dinyatakan secara sederhana, dan kata-kata itu menyelinap keluar
dari mulutnya tanpa ia sadari,
“…Nilai apa yang ada di dunia ini?”
Karena pemikiran seperti itulah dia menyadari keangkuhannya
sendiri.
Bukannya konyol seorang manusia biasa mempersoalkan nilai
dunia ini? Itu adalah masalah yang sangat dia ketahui, dimana banyak orang yang
menangis bersama, tertawa bersama, menyelesaikan masalah bersama sedikit demi
sedikit dan terus bertambah baik.
—Makan kotoran sana.
Dia sudah sangat muak dengan semua itu. Dia muak dengan
kata-kata yang terdengar manis itu
Clockwork Planet ditambal disana-sini hanya demi
memperpanjang masa hidupnya—tapi bukannya orang-orang yang hidup di atasnya
merupakan kegagalan itu sendiri?
Bahkan jika mereka entah bagaimana dapat merekonstruksi
dunia itu sendiri, apa yang bisa mereka lakukan?
Sudah 1000 tahun berlalu sejak keajaiban tersebut, sejak
planet yang sudah mati dan dingin ini dipaksa terus berlanjut.
Tapi pada akhirnya, situasi seperti ini terjadi. Seberapa
besar sebenarnya kemajuan umat manusia saat ini?
Dia benar-benar lelah dengan semua itu, tangannya yang
terkepal mulai melonggar.
—Di momen itu.
Pak.
Suara lembut terdengar saat lubang got di sampingnya yang
mulai membuka.
Sebuah lubang yang cukup untuk satu orang lewar muncul
disana.
Yang muncul dari dalam lubang tersebut adalah seorang anak
laki-laki yang kelihatan tidak mengesankan yang tiba-tiba memunculkan
kepalanya, sambil berseru,
“Wow, hujan sialan ini…sekarang apa? Kita keluar dari air
selokan menuju air hujan?”
“Bukannya akan lebih baik jika kita menganggapnya sebagai
air yang akan membersihkan kotoran? Selain itu, jika hujan ini disebabkan oleh
perawatan fasilitas ini yang tidak baik, pengelolanya harus bertanggungjawab
karena sudah mengotori pakaian hamba, dan hamba berharap bisa mengubur orang
itu hidup-hidup.”
“………………………………………………………………………….”
Ini halusinasi, kan? Itulah kesimpulan Marie.
Kelihatannya akal sehat Marie sudah melayang jauh
sampai-sampai dia bisa berhalusinasi, sebuah delusi yang harusnya tidak ada,
dan kesedihannya semakin menjadi-jadi.
Di sudut penglihatannya, anak laki-laki dan gadis yang
familiar pelan-pelan keluar dari lubang got tadi, dan itu pastinya adalah
halusinansi. Ini adalah delusi yang seharusnya tidak terjadi. Barangkali itu
akibat hujan ini.
…Karena hal itu memang sangat aneh.
“—Yang benar saja, rasanya panas disini! Jika mau hujan,
setidaknya turunkan suhu dong! Dasar, apa-apaan ini, tempat bernama Mie ini!?”
“Master Naoto, mengingat hujannya lebat begini, anda pasti
merasa kecewa karena anda tidak bisa melihat hamba mengenakan pakaian renang di
hari Minggu yang berharga ini—”
“Ahh!!! Itu juga, sial!!! Pas hujan, hujannya sangat lebat
begini!! Ahh, tapi sekarang…hm? Ah, itu Marie. Sial, nggak mau berhubungan
dengannya lagi.”
“Master Naoto, apakah anda akhirnya mempelajari kemampuan
tingkat tinggi yang disebut belajar dari kesalahan anda sendiri?
……Ditambah lagi, pendengarannya pun terpengaruh halusinasi
ini. Harusnya ada batasan mengenai kesedihan yang bisa dicapai seseorang!
Sangat tidak pantas bagimu berakhir menyedihkan seperti ini dan tenggelam dalam
delusi bagus seperti ini. Biarpun kau sudah membuang nama Breguet, kau tidak
membuang harga dirimu. Seberapa sedih maupun pahit yang kau rasakan, kau harus
terus bergerak maju, dan biarpun kau kehilangan—tunggu.
Dia terkesiap.
Dengan tangan di tanah, dia mengerahkan kekuatan di kakinya.
Dia melonggarkan sendi-sendinya, dan dengan ototnya yang berperan sebagai
pegas, tubuhnya, yang terasa berat karena resapan air hujan, meloncat dan
berputar!
Dengan sekuat tenaga, dia mengirimkan tendangan berputar
mematikan ke arah halusinasi yang harusnya tidak ada—
“—Burragh!?”
“Master Naoto—!? Melihat kekurangajaran anda disini, Master
Marie, saya rasa anda tidak mau hidup lagi, jadi karena anda berharap untuk
dicincang-cincang, izinkan saya untuk—”
“Tunggu, tunggu! Kalian berdua, tenanglah sedikit! Terutama
Tuan Putri!”
“ARRRR!!!”
Marie memegangi Naoto, yang hampir pingsan, dan mengeluarkan
suara aneh.
Perasaan lesu karena semua usahanya sia-sia saja berubah
menjadi banjir emosi yang menyingkirkan akal sehat Marie, tapi tangannya jelas
merasakan si idiot yang sedang dia pegangi, dan setidaknya membuatnya yakin
kalau dia memang benar.
“—Karena kau masih hidup, kenapa kau tidak buru-buru
tunjukkan wajahmu?”
“U-ugh—k-kau pasti bercanda! Aku baru saja kembali.”
“Jangan menjawab!”
“Master Naoto, tunggu sebentar. Sekarang hamba akan membelah
anjing liar itu disini.”
“Sudah kubilang kalian harus tenang dulu!”
—Kelihatannya ini bukanlah delusi sepihak yang bagus.
●
Mari kita memutar jamnya kembali ke 20 jam yang lalu.
Saat dia terbangun, Naoto bertanya-tanya, kenapa aku ada
di tempat seperti ini?
Penglihatannya terasa kabur. Kelihatannya dia ada dalam
suatu ruang yang luar biasa luas, dan tinggi atapnya bukan hanya beberapa ratus
meter. Dia merasa seperti sedang di luar ruangan…eh, luar ruangan?
Ingatannya saling bertautan.
Setelah melawan AnchoR, dia dipeluk erat oleh RyuZU, dan
jatuh ke dalam lubang yang sangat, amat dalam ini.
Ketika Naoto ingat hal itu, suatu suara dari atas kepalanya
memanggil namanya,
“Apa anda sudah bangun, Master Naoto?”
Dia sedikit menggerakkan lehernya, dan melihat wajah RyuZU
di dekatnya. Di momen ini, dia akhirnya menyadari keadaannya saat ini.
Dia sedang menggunakan paha RyuZU sebagai bantal.
Setelah dia menyadari hal itu, Naoto merasa sayang kalau dia
bangun begitu saja, jadi dia hanya mengangguk dengan lembut dan memejamkan
matanya.
Semua indra yang dia miliki dikonsentrasikan ke bagian
belakang kepalanya, dimana kelembutan paha RyuZU terasa.
“Kelihatannya anda merasa lelah, jadi tolong dengarkan hamba
mengenai kondisi anda. Saat ini, kita ada di luar kota Mie, jauh di dalam ruang
bawah tanah. Tempat ini awalnya mirip seperti luar angkasa, dan mengingat tubuh
yang terbuat dari daging dan darah anda ini sangat lemah, Master Naoto, anda
akan mati dalam beberapa detik—”
“Waaahhheeeyyy!!?”
Naoto bangun dengan panik.
Meskipun dia begitu enggan bangun dari paha RyuZU, dia tidak
bisa pura-pura tidak mendengar kata-kata tadi.
“G-gawat, kita harus buru-buru keluar dari sini sebelum aku
mati—huh, t-tunggu…? Tapi sekarang sudah lebih dari 10 detik, kan?”
Naoto menepuk-nepuk tubuhnya seraya bertanya, dan RyuZU mengangguk,
“—Benar, logikanya, harusnya begitu. Tapi entah kenapa,
sepertinya tempat ini memang memiliki kondisi yang bisa didiami manusia…bagaimana
dengan anda, Master Naoto? Apa anda memberikan perintah itu karena anda
mengetahui fakta ini?”
“Eh? Bukan apa-apa. Aku hanya tahu kalau masih ada pijakan
di bawah, jadi kukira tidak masalah kalau kita jatuh ke bawah, karena masih ada
lantai lain disana.”
Itu saja. Naoto mau bicara begitu, sebelum dia bungkam.
RyuZU, yang sedang menatap wajahnya, tidak menunjukkan
ekspresi apapun, dan dengan kedok wajah dingin ini, dia bicara dengan tenang,
“Master Naoto.”
“…Iya.”
“Hamba melihat bahwa meskipun anda ada di puncak umat
manusia, Master Naoto, secara relatif, anda adalah orang terpintar di dunia.
Tapi tragisnya, dalam sudut pandang objektif, hamba sudah memastikan kalau anda
itu sangat bodoh sekali.”
“Eh, errm…”
“Tolong izinkan hamba menjelaskan. Ini adalah sisa-sisa
pijakan yang dibangun lebih dari 1000 tahun yang lalu.”
“Sisa-sisa pijakan…?”.
Naoto mengulangi kata-kata itu dengan kosong seraya
melihat-lihat ke sekelilingnya.
Dia memusatkan perhatiannya saat mengamati tempat yang redup
itu, lalu, dia menyadari kalau tempat berbentuk jaring besar ini terhubung ke
lorong yang tak terhitung jumlahnya. Meskipun sudah usang, tempat ini masih
kokoh.
Entah kenapa, Naoto merasa kalau tempat itu mirip dengan sebuah
situs pembangunan. Atau sebuah jungle gym[i] kompleks
yang sangat amat besar.
RyuZU menunggu Naoto merasa paham, lalu melanjutkan
kata-katanya,
“Clockwork Planet diciptakan menggunakan mantel Bumi sebagai
material awalnya. Tentu saja, diperlukan sebuah pijakan untuk menggali mantel
Bumi tersebut. Di saat yang sama, pijakan-pijakan ini digunakan sebagai pondasi
untuk membangun planet ini—Dan pijakan-pijakan ini ada di sepanjang ruang
bawah tanah ini.”
“Eh, itu…”
“Saat ini, pembangunan planetnya sudah selesai, dan semua
kota di atasnya berjalan dengan normal. Lantai ini tidak dilindungi oleh
pengendali lingkungan Clockwork Planet.”
“Maksudmu…?”
Pada awalnya, Naoto berasumsi kalau adanya pijakan jauh di
bawah permukaan planet itu hal yang wajar, dan bahkan dia menentukan kalau itu
adalah tempat yang bisa didiami manusia. Pada kenyataannya, penilaian itu hanya
disebabkan oleh kesalahpahaman Naoto—
Benar. RyuZU mengangguk dan berkata,
“Pendeknya, anda bisa saja mati. Hamba kira bisa dibilang
kalau anda ini beruntung dan itu pasti karena amal baik yang sudah hamba
kumpulkan setiap hari sampai-sampai malaikat pun akan merasa malu.”
“GYYAAAHHH!!”
Setelah menyadari seberapa berbahayanya keputusan yang dia
ambil, Naoto berteriak.
Hanya di titik ini saja dia berkeringat dingin dan
jantungnya berdebar kencang.
Dan RyuZU menatap dingin ke arah Naoto yang sedang panik
seraya berkata,
“Master Naoto, setelah kita pulang, bersiaplah menerima
edukasi ketat dari hamba, anda mungkin punya bakat yang luar biasa, tapi anda
masih memerlukan pengetahuan paling dasar, kalau tidak, itu akan sangat amat
berbahaya; itulah yang sudah hamba tentukan.”
“Iya…Aku benar-benar menyesal.”
Naoto menundukkan kepalanya, tubuhnya menyembah-nyembah
sambil meminta maaf.
Namun—dia memiringkan kepalanya.
Di saat yang sama, dia merasa ragu. Kenapa tempat ini
berbeda?
Dan ketika dia bertanya pada RyuZU,
“Hanya ada satu jawaban. Ada orang yang datang untuk
memperbaiki tempat ini, kan?”
“Kalau begitu siapa?”
“Hamba tidak tahu. Barangkali ada hubungannya dengan senjata
raksasa yang kelihatan mengerikan itu, kan?”
Hm. Naoto mengangguk.
Memang, mereka tidak bisa bilang kalau benda aneh itu serta
fenomena bawah tanah ini tidak saling berhubungan.
Dan hal yang paling penting adalah—berapa kalipun dia
mengamati tempat ini, tempat ini kelihatan baru.
Tempatnya sudah kelihatan tua, tapi tidak mirip benda yang
sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Ditambah lagi, tempat ini tidak begitu
gelap, dengan kata lain, ada cahaya disini. Apa yang seharusnya menjadi tempat
yang gelap gulita telah disinari oleh gir cahaya, meskipun cahayanya tidak
begitu terang.
Dengan kata lain, Naoto bergumam,
“Seseorang merawat tempat ini, ya? Apa mereka mereka
menggunakan tempat ini sebagai rute transportasi untuk membuat senjata raksasa
itu, atau…yah, aku tidak terlalu yakin, tapi bagaimanapun juga—”
Naoto memasukkan jarinya ke dalam telinga.
“Pokoknya, kita harus kembali ke permukaan.”
Karena ada orang yang merawat tempat ini, harusnya ada pintu
keluar, dan sebuah elevator untuk kembali ke permukaan.
Lalu, Naoto mencari tempat yang harus dia tuju menggunakan
pendengarannya.
“Di sebelah sana. Kelihatannya lumayan jauh.”
Naoto menolehkan kepalanya sambil berkata begitu,
“Ada suara mesin yang sedang bekerja…dan kedengarannya ada
seseorang disana.”
RyuZU mengangguk.
“Kalau begitu mari kita pergi. Tolong pegang tangan hamba,
Master Naoto.”
Keduanya berpegangan tangan saat mereka berjalan melalui
lorong yang suram serta usang dengan hati-hati.
Mereka tidak terhambat sama sekali saat berjalan di kegelapan
ini berkat indra super Naoto dan sensor canggih milik RyuZU…tapi meskipun
begitu, jika mereka salah berpijak, mereka benar-benar akan jatuh ke dalam
neraka.
Keduanya berjalan dengan hati-hati.
Jalur yang mereka tempuh berkelok-kelok dan tidak beraturan,
kadang berupa turunan yang curam, lalu diikuti dengan tanjakan yang bertahap.
Tapi meskipun begitu, mereka tidak kehilangan arah berkat
persepsi arah yang mereka miliki, dan setelah berjalan maju selama lebih dari
satu jam, jalur itu menjadi lebih lebar seperti cabang pohon yang bersambung
dengan dahannya, dan keadaan perbaikan tempat ini lebih baik dari sebelumnya.
Kita istirahat dulu. Tepat ketika Naoto hampir berkata
begitu.
Lampu menyala ke sekeliling Naoto, sedikit jauh dari tempat
yang mereka tuju. Banyak lampu di atap yang bersinar, sampai ke kedalaman yang
tak terukur.
“…Apa ini?”
Naoto memiringkan wajahnya dengan ragu. Jika dilihat-lihat,
benda itu kelihatannya seperti sebuah struktur raksasa. Pada awalnya benda itu
tidak kelihatan seperti hasil yang dibangun manusia, tapi mengingat konstruksi
yang jatuh ke sini itu secara kebetulan mendarat di jalur yang berbentuk jaring
ini…
Karena merasa bingung, dia mengorek telinganya, dan dengan
cepat menemukan jawabannya. Bangunan itu adalah—
“Itu adalah…Menara Inti kota, kayaknya?”
Lebih tepatnya, itu adalah sisa-sisa menara inti.
Secara logika, menara itu tidak beroperasi saat ini.
Kelihatannya sebagian besar isinya sudah dibongkar, dan Naoto, sambil mengorek
telinganya, bisa merasa kehampaan di dalam menara tersebut.
RyuZU, yang ada di sebelah Naoto, memiringkan kepala
kecilnya seraya berkata,
“Dilihat dari arahnya, hamba rasa itu adalah Grid Shiga yang
sudah dihapus, kan? Dilihat dari bagaimana menara itu berhenti di ketinggian
ini, hamba harus bilang kalau menara itu lumayan ringan…meskipun kota itu
sendiri sudah berongga.”
“Berongga?”
“Di zaman dulu, Shiga adalah daerah dengan bentangan danau
terbesar di Jepang. Benar, dikatakan jika seperenam daerahnya diisi oleh danau,
dan sisanya adalah pedesaan; sebuah kota yang polos dan ganjil.”
Dengan mata setengah terbuka, Naoto menatap RyuZU,
“…Erm, apa kau punya dendam dengan Shiga?”
“Tidak? Bukan masalah pribadi. Tadi hanyalah apa yang
tertulis di catatan hamba.”
RyuZU menyangkal dengan wajah blak-blakan, dan melanjutkan
kata-katanya,
“Ketika dunia ini dimekanisasi, Grid Jepang direplikasi
menjadi sebuah kota air di Jepang Barat. Kemungkinan besar, cuaca Mie yang
begitu lembab disebabkan oleh penghapusan ini.”
“Ah, mengenai hal itu, kupikir Marie juga berkata begitu.”
Naoto mengangguk, dan menoleh ke arah RyuZU, yang terus
melanjutkan penjelasannya.
“Tapi ngomong-ngomong, kau lumayan tahu juga, RyuZU.”
“Iya. Karena anda sudah lupa, hamba dengan menyesal akan
memperkenalkan diri hamba lagi untuk kesekian kalinya. Pembuat hamba adalah
orang yang mendesain planet ini.”
“Ah, Benar juga.”
Tidak aneh dia tahu banyak, Naoto mengangguk.
“—”
“…Hm? Ada apa, RyuZU?”
Naoto melihat RyuZU terdiam dan menatap dirinya, dan dia pun
bertanya,
“Um…ini mengenai AnchoR.”
RyuZU menjawab.
Dia menghadap Naoto secara langsung, dan berjingkat seraya
menundukkan kepalanya.
“Hamba mohon terima permintaan maaf hamba yang terlambat
ini. Hamba benar-benar menyesal.”
“Eh…? Tunggu, RyuZU. Kenapa tiba-tiba begini?”
“Hamba membuat anda berada dalam situasi yang sangat
berbahaya, Master Naoto. Pemikiran dangkal hamba serta adik hamba yang ceroboh
adalah kesalahan besar yang tidak bisa hamba tebus…tapi hamba masih
mengharapkan pengampunan anda, Master Naoto.”
Mulut Naoto ternganga karena merasa kaget.
RyuZU terus menundukkan kepalanya, wajahnya tidak bisa
kelihatan. Ketika Naoto melihat bahunya yang gemetar dan tangannya yang
menggenggam roknya dengan erat, Naoto berkata dengan panik,
“Jangan lakukan hal ini. Angkat wajahmu, RyuZU.”
“…”
“Aku tidak marah sama sekali. Aku tidak terlalu memikirkan
hal itu.”
“…Tapi…”
“—Aku benar-benar tidak marah, RyuZU. Ngomong-ngomong,
bukannya memilukan kalau kau bilang AnchoR itu ceroboh? AnchoR sendiri sudah bilang kalau dia berharap kau bisa menghentikannya.”
Naoto terdengar sangat santai saat berkata begitu,
seolah-olah dia tidak keberatan sama sekali.
Tapi setelah mendengar kata-kata ini, RyuZU mengangkat
wajahnya. Mata keemasannya yang cantik membelalak lebar seraya berkata,
“—Anda bisa mendengar suara AnchoR?”
“Hm? Ahh, yah, semacam itu. Kalau itu bukan imajinasiku saja.”
Naoto mengangguk, dan wajah RyuZU sedikit mengendur.
“Sejujurnya, hamba sangat terkejut. Di antara kami para
bersaudari, anak itu adalah yang paling sulit mengekspresikan dirinya sendiri.”
“Hm? Aku tidak berpikir itu benar.”
“Tidak. Bagi anda, Master Naoto, yang begitu terisolir dari
umat manusia dan orang yang kemampuan berkomunikasinya sendiri berupa tanda
tanya, apa yang anda lakukan adalah pencapaian yang benar-benar ajaib.”
“Tolong jangan berkata begitu, kalau tidak aku akan menangis.”
Maaf karena aku ini aneh, Naoto berpikir
begitu sambil gemetar, dan RyuZU mengernyitkan dahinya seraya melanjutkan
kata-katanya,
“Tapi, jika itu bukan keinginan AnchoR, tadi itu apa…?”
“Ah…hm, kupikir yang aneh adalah topeng yang dia kenakan.
Hanya topeng itu yang mengeluarkan ‘suara’ yang sangat jelek. ‘Suara’ AnchoR
kelihatannya kalah oleh ‘suara’ topeng tersebut.”
Setelah mendengar kata-kata Naoto, RyuZU menurunkan
pandangannya.
Lengannya terlipat di depan tubuhnya, seolah-olah sedang
menahan sesuatu dengan tangan terkepal, dan dia menjawab dengan ketus,
“—Tidak bisa dimaafkan.”
“Ya, dalam hal ini, AnchoR tidak bersalah. Orang yang
bertanggungjawab pastinya adalah orang-orang jahat yang memberinya topeng itu.
Setelah kita menemukan para pelaku itu, kita akan menuntut permintaan maaf dan
kompensasi sampai mereka menangis.”
“Tentu saja.”
RyuZU bicara begitu dengan senyuman seperti bidadari,
“Pertama-tama, kita akan mencabik-cabik mereka dari kepala
sampai ujung kaki. Setelah mereka paham betul sampai tulang bahwa mereka
seharusnya tidak terlahir di dunia ini, kita akan mengukir nama mereka di
sejarah umat manusia dan mengeksekusi mereka secara umum ketika mereka dipenuhi
dengan rasa sakit dan putus asa.”
“…Dan tolong regulasi adegan-adegan mengerikan itu, oke?”
Naoto untuk sementara ini menambahkan kata-kata tadi, dan
RyuZU mengangguk seraya tersenyum ke arahnya; sebuah senyuman tidak jelas yang
bisa saja menandakan iya atau tidak.”
“…Yah, bodoh amat, untuk saat ini sebaiknya kita pergi.”
Keduanya lalu berjalan terus dan beristirahat dari waktu ke
waktu, dan akhirnya sampai di tujuan mereka.
Dalam pandangan pertama, tempat itu adalah sebuah ‘kota’
yang mirip dengan reruntuhan.
Perumahan itu dibangun di atas sampah-sampah yang terkumpul
di pijakan tersebut, dan meskipun strukturnya jelek, rumahnya kelihatan rapi.
Menara yang berada tepat di tengah itu semua menjulang tinggi, dan kelihatan
seperti memanjang sampai ke atap, bagian bawah kota Mie.
—Namun, tidak ada orang di sekitar sana.ada tanda-tanda yang
menunjukkan kalau setidaknya ada ribuan orang yang pernah tinggal disini, tapi
rumah-rumah itu dipenuhi debu serta kelihatan usang.
Setelah memasuki beberapa rumah, RyuZU berkata,
“Berdasarkan deduksi logika, hamba boleh berasumsi kalau
korban selamat dari penghapusan Grid Shiga pernah tinggal disini, kan?”
“Mereka masih hidup setelah penghapusan…apa, apa hal seperti
itu mungkin?”
“Hamba rasa mereka lumayan beruntung, atau mungkin sangat
amat tidak beruntung.”
RyuZU mengeluh sambil menghela napasnya,
“…Tapi ternyata ada orang-orang yang membangun kota seperti
itu dan terus hidup. Kelihatannya seluruh umat manusia itu luar biasa kuat
daripada apa yang hamba pikir.”
“Yah, orang-orang bilang kalau rumah adalah tempat dimana
kita membuatnya, tapi aku tidak mau membuat rumah disini dengan sengaja…”
Naoto berkomentar sambil mengorek telinganya.
Diantara kawasan kumuh yang ditinggalkan ini, dia mendengar
suara seorang manusia dengan jelas.
Setelah dia menemukan arah samar-samar suara tersebut, dia
bertanya pada RyuZU,
“Apa yang harus kita lakukan, RyuZU?”
“Mari kita dengarkan orang itu dulu. Bisa dibilang kalau
seseorang adalah sampah umat manusia jika dia berakhir tinggal sendiri seperti
ini, dan tidak ada gunanya bercakap-cakap dengan orang seperti itu. Namun,
barangkali kita akan mendapat petunjuk tentang siapa orang-orang biadab yang
memanipulasi AnchoR. Selain itu, dia sendirian, jadi kita pasti bisa menangani
orang tersebut.”
“…Hm, pokoknya, cobalah jadi sedikit lebih ramah?”
Setelah mendengar isyarat RyuZU mengenai niatnya yang
sebenarnya, Naoto merasakan hawa dingin di tulang belakangnya saat berkata
begitu.
Mereka berjalan maju menuju bagian tengah ‘kota’ yang
ditinggalkan ini, tempat dimana Menara Pusat berada.
Sesaat kemudian, mereka sampai di sebuah gubuk kecil, gubuk
itu tidak jauh berbeda dari rumah-rumah lain, sebuah barak yang dibuat dari
material rongsokan. Namun, tidak ada debu di dekat pintu masuknya, dan nada
dengungan keras dari sebuah generator mini di belakang rumah tersebut. Ada
seseorang di dalamnya.
Naoto dengan ceroboh mengetuk pintu itu dua tiga kali, dan
berkata,
“Erm, permisi! Aku mau bertanya sesuatu~”
Lalu, ada respons yang cepat dari belakang pintu tersebut.
“…Siapa? Apa tujuanmu kesini?”
Apa yang mereka dengar adalah suara yang sangat amat serak
dari seorang pria tua.
“Kami tersesat. Kami ingin tahu cara kembali ke permukaan.”
“…”
Setelah kesunyian yang lama, si pria tua berkata,
“…Pintunya tidak terkunci. Kau boleh masuk.”
Naoto dan RyuZU saling memandang, dan memutuskan untuk
pelan-pelan membuka pintu itu.
Setelah mereka masuk ke dalam, mereka melihat kalau ruangan
itu kelihatan sesak seperti bagian luarnya.
Atapnya tidak tinggi, dan lampunya redup. Rak-rak yang
mungkin terbuat dari rongsokan, memenuhi semua dinding, dan ada banyak buku tua
dan kertas yang menumpuk berantakan. Jika melihat ke samping, mereka bisa
melihat dapur sederhana dan ranjang kecil. Gubuk ini adalah rumah yang cukup
untuk satu orang.
Di tengah-tengah ruangan tersebut, di bawah lampu gir
cahaya, ada seorang pria tua yang besar sedang duduk di kursi batu.
Bahunya lebar, tulangnya besar dan dibalik kulit yang
keriput itu, ada otot-otot terlatih yang memenuhi sekujur tubuhnya.
Baik rambutnya yang kusut dan berantakan maupun janggut
kecil yang mengisi dagunya berwarna putih keperakan. Namun, warna janggutnya
menandakan orang yang sudah memiliki banyak pengalaman daripada orang tua yang
rapuh.
Dengan siku yang bertumpu pada lengan kursi sambil menyangga
wajahnya, mata logamnya yang berkilat menatap Naoto dan RyuZU, yang memasuki
ruangan tersebut.
Dia menepuk buku tertutup yang tebal dan bersampul keras di
lututnya,
“…Kalian siapa? Kenapa datang kesini?”
“Ah, yah sebenarnya, kami tidak sengaja, erm”
Naoto bergumam dengan tidak jelas, dan RyuZU menyela
perkataan Naoto dari samping,
“Kami jatuh dari bagian terbawah kota ini, kira-kira 34.258 m
ke tempat ini.”
“Benar, benar, erm…kurasa begitulah? Sialnya, kami tidak
begitu tahu cara kembali ke atas sana. Ini semua karena gadis pemarah Marie
itu, si dewi bencana.”
Si pria tua menatap ragu ke arah dua orang tersebut, dan
pelan-pelan menggelengkan kepalanya.
Dia menghela napasnya dengan lesu, dan memberitahu mereka,
“…Tidak ada cara kembali ke atas.”
“Ah, jadi kau tidak tahu caranya? Kau harus tahu kalau saat
ini aku sedang dalam misi untuk menyelamatkan anak bernama AnchoR, tahu?”
“Tempat ini adalah tempat yang sudah dihapus, dan semuanya
sudah dipindahkan. Yang tersisa hanyalah diriku ini dan beberapa pabrik
pengolahan saja. Elevator menuju ke permukaan sudah mati.”
“Kalau begitu coba aktifkan elevator itu lagi.
Ngomong-ngomong, apa kau bisa sedikit lebih cepat, kek? Saat kita berleha-leha
disini, AnchoR akan—”
Naoto tiba-tiba tidak bisa bernapas. Pandangannya gelap dan
kakinya tidak stabil. Sambil menyangga tubuh Naoto, RyuZU berkata,
“Master Naoto, disini memang ada udara, tapi atmosfernya
benar-benar tipis. Meskipun anda sudah lulus dari umat manusia, dan saat ini
setara dengan Dewa, anda masih tetap seorang manusia di titik ini, belum
berevoulsi menjadi makhluk hidup dari dimensi lebih tinggi yang bisa bertahan
hidup tanpa oksigen. Akan lebih baik jika anda menenangkan diri agar tidak jadi
sekarat.”
“A-Aku benar-benar akan mati?”
Naoto membelalakkan matanya karena benar-benar terkejut.
RyuZU mengelus wajah pucat Naoto dengan lembut, dan
melanjutkan kata-katanya,
“…Setelah anda mengikuti remedial, anda dipaksa Master Marie
ikut pergi ke Mie karena alasan pribadinya, sehingga kita menyerbu sebuah
fasilitas militer, melawan AnchoR, jatuh dari ketinggian lebih dari 30.000 m,
dan berjalan menembus udara tipis dalam waktu yang lama. Master Naoto, hamba
sungguh terkesan bahwa nafsu mesum anda, terutama cinta setia anda pada boneka,
membimbing anda untuk melakukan sesuatu di luar batasan anda sendiri, tapi
hamba mohon beristirahatlah sebentar.”
“…Jika kau mau dia beristirahat, biarkan dia tidur di
ranjang itu.”
Si pria tua bicara begitu.
RyuZU menatap si pria tua tanpa bicara apapun, lalu
mengangguk. Dia mengangkat tubuh lemas Naoto ke ranjang di sudut ruangan, dan
membiarkan Naoto terbaring disana.
Setelah melihat kalau Naoto sudah tertidur, RyuZU kembali
membalikkan badannya ke arah si pria tua,
“Sekarang, tolong izinkan saya bertanya sesuatu sebagai
ganti Master Naoto.”
“…”
“Saya tidak tertarik sedikitpun mengenai siapa kamu ini, dan
apa yang kau lakukan disini. Tetapi, Master Naoto punya urusan yang harus
beliau lakukan, dan saya punya tugas untuk mengabulkan semua keinginan Master
Naoto semampu yang saya bisa. Tempat ini juga tidak bagus untuk kesehatan—”
Saat RyuZU membisikkan kata-kata itu dengan wajah tenang,
sabit hitam keluar dari keliman roknya.
Mata pisaunya melengkung seperti seekor ular yang sedang
mengincar mangsanya.
“Tolong beri kami informasi mengenai cara kembali ke
permukaan. Saya akan mendapatkan jawaban itu menggunakan semua pengetahuan dan
kemampuan saya, bahkan jika itu berarti membuatmu mengalami seluruh rasa sakit
di dunia.”
“Begitu ya. Jadi kau ini salah satu seri Initial-Y?”
—Sabit itu melesat cepat.
Mata pisau sabit hitam itu berhenti tepat di leher si pria
tua.
“Kau benar-benar memikirkan tuanmu.”
Si pria tua tersenyum kecut dan menghela napasnya. Meskipun
wajahnya hampir saja dikupas, matanya tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan
sedikitpun.
RyuZU bertanya,
“Apa yang sebenarnya kau ketahui?”
“Bukan hal yang aneh. Singkatnya, kau selamat setelah
melawan ‘benda itu’, dan jatuh ke lantai ini, kan? Selain itu, kau tidak
terluka—tidak ada automata selain jenismu yang bisa melakukan hal itu.”
“…”
“Kudengar kalau si Tuan Putri Breguet banyak berkontribusi
untuk mencegah penghapusan Kyoto. Biar kutebak, kau adalah unit 1 yang dia
miliki, kan?”
RyuZU tidak menjawab, dan mata keemasannya menyipit dengan
waspada.
“Karena kau tahu kejadian yang baru terjadi seperti itu,
saya rasa kau bukanlah seorang penyendiri yang mengira dirinya seorang petapa
dan gagal dalam kehidupannya.”
“Bukan hal yang salah jika kau menganggapku begitu. Aku ini
memang orang gagal sih.”
Pria itu melanjutkan kata-katanya,
“Elevator menuju permukaan memang benar-benar mati, tapi kau
hanya perlu memberi sedikit daya untuk membuatnya bergerak.”
“Kalau begitu, tolong lakukan hal itu.”
RyuZU memerintahkan hal itu.
Sambil terus tersenyum, si pria tua berkata,
“Akan kulakukan, jika kau mau mendengar ocehan dari seorang
pria tua.”
●
“—Dan begitulah cara kami kembali.”
Naoto menarik kesimpulan begitu saja.
Mereka berempat kembali ke kamar yang disewa Marie dan
Halter di hotel yang kosong untuk berteduh dari hujan, dan bertukar informasi.
Setelah mendengar kata-kata Naoto, Marie berkata dengan
pandangan kosong,
“Dengan kata lain, saat itu kau tidak berniat mati…?”
“Eh? Berniat untuk mati? Aku? Buat apa?”
Naoto tercengang, dan Marie terbata-bata,
“Itu, bukan apa-apa, hanya saja, kukira kau mau mengorbankan
diri untuk melindungi kami…”
“Apa yang kau katakan?”
Naoto dengan cepat menyangkal hal itu, dan melanjutkan
kata-katanya,
“Aku cuma ingin menghentikan AnchoR, itu saja. Atau lebih
tepatnya, bagaimana bisa aku berniat menyelamatkan gadis pemarah sepertimu?
Memangnya ada flagnya? Jika aku mati, RyuZU akan merasa sedih,
dan aku tidak bisa menyelamatkan AnchoR, jadi, secara logika, tidak ada yang
akan mendapat keuntungan, kan? Marie, apa kau…sebenarnya orang bodoh?”
“—”
Marie gemetar karena marah setelah mendapat tatapan simpatik
dari Naoto.
“…Yah, itu masuk akal.”
Halter bergumam, dan ketika Marie mendengar hal itu, dia
membalikkan badannya lalu bertanya dengan suara yang menggema dari kedalaman
neraka,
“Halter…apa kau bilang kalau kau sudah tahu hal ini sejak
lama…?”
“Tidak, aku tidak punya bukti kau saat itu, lho?”
Halter menggelengkan kepalanya saat dipelototi Marie, dan
melanjutkan kata-katanya,
“Pada kenyataanya, tidak salah lagi kalau dia akan mati
setelah jatuh ke ruang bawah tanah yang jauh itu. Namun, faktanya memang terasa
aneh jika kau mengira kalau bocah ini akan menyelamatkanmu saat itu, Milady.”
“Kalau begitu, kenapa—”
“Apa kau mau mendengarkan kata-kata semacam itu tadi?
Kecuali kita memang membuktikan kalau Naoto masih hidup, kata-kata semacam itu
bahkan tidak akan dianggap sebagai pelipur lara. Kupikir kata-kata semacam itu
hanya akan memperburuk keadaan, jadi aku memilih untuk bungkam…”
“—”
Marie terdiam, dan bertanya-tanya,
Ada beberapa keraguan yang tidak bisa dia pahami; salah
satunya, Halter begitu tenang mengenai kelompok Naoto yang terjatuh ke bawah.
Tapi, Marie merasa kalau itu hanyalah mentalitas alami seorang pensiunan
tentara yang menjalani banyak latihan dan pertempuran sungguhan…
Dan, dia mengerti.
Dengan kata lain, hanya dia yang dipermainkan seperti
seorang badut.semua keputusasaan, beban, air mata, muntahan, luka hati dan
pertimbangan berulang-ulang mengenai situasi saat ini—hanyalah sebuah
kesalahpahaman tolol, sebuah pertunjukan satu orang yang bodoh.
—Benar, ayo bunuh mereka.
Marie diam-diam memutuskan hal ini.
Tidak mungkin aku bisa menyelamatkan harga diriku yang rusak
kecuali aku mengubur semuanya yang berhubungan dengan hal ini dan pura-pura
kalau tidak ada apapun yang terjadi disini…!
“Kalian…”
Marie berdiri dengan terhuyung,
Tapi Naoto mengabaikannya seraya membuka peta di lantai.
Lalu, dia berkata,
“Ngomong-ngomong, mengesampingkal hal itu, ayo pergi ke Tokyo.”
“—Eh?”
Kata-kata Naoto menyebabkan Marie berhenti.
Marie belum membicarakan informasi apa yang dia miliki,
termasuk kebenaran mengenai penghapusan Grid Shiga, konflik antara Mie dan
Tokyo, dan bahwa keduanya di ambang pertempurang.
Tapi kenapa—ketika Naoto melihat pandangan ragu Marie, Naoto menjawab,
“Hm? Apa aku bicara hal yang aneh? AnchoR sedang melindungi
senjata raksasa itu, dan dia harusnya ada di Tokyo, kan? Kalau begitu, jika
senjata itu bergerak, maka tujuannya adalah Tokyo—itulah yang kupikirkan. Apa
aku salah?”
“Iya…kau benar.”
Marie kelihatan sedikit ternganga, lalu menghela napas,
Secara bertahap Marie terbiasa dengan hal semacam itu; Naoto
akan selalu memunculkan deduksinya sendiri, dengan mengabaikan detail kecil
dalam bukti-bukti maupun situasinya.
“…Lalu, apa yang akan kau lakukan di Tokyo?”
“Eh? Apa lagi? Tentu saja aku akan menyelamatkan AnchoR. Siapa
saja yang bilang tidak setelah mendengar automata seimut itu ‘memohon’ pasti
orang gila atau semacamnya. Mengabaikan permohonannya adalah hal yang mustahil.”
…Apa orang ini memang idiot ya?
Marie mengusap keningnya yang dilanda rasa sakit, dan
berkata,
“…Kalian baru saja kembali dari bawah tanah, jadi aku tidak
yakin apakah kalian tahu ini. Senjata itu bermaksud meyerang Tokyo, lho?”
“Yah, benda itu memang senjata kan? Kupikir benda itu memang
digunakan untuk hal semacam itu, terus?”
“Terus—yang benar saja, kau ini.”
“Tapi, sudah kubilang kalau AnchoR ‘memohon’ pertolongan
padaku, lho? Kenapa kita tidak menghentikan senjata raksasa itu sekalian.
menyelamatkan AnchoR, mengalahkan senjata raksasa, dan semuanya akan berakhir
bahagia, kan? Kita akan menemukan dalang atau bos terakhir nanti, toh orang
seperti itu mungkin ada di Tokyo. Apa kita tidak bisa menangkap dan menangani
mereka semua?
“…”
Marie menghela napas dalam-dalam, lalu cemberut.
Dan Halter menyela dari samping,
“…Hei, Naoto. Itu kedengarannya mudah, tapi masalahnya
bagaimana kita melakukannya. Apa kita punya cara untuk menghentikan senjata itu?”
“Karena itulah kita harus memikirkan cara untuk mengatasinya.”
Naoto bicara begitu dengan enteng.
Halter mengelus dagunya, dan dengan tenang berkata,
“Saat ini Tokyo sedang mengumpulkan ‘militer’, dan Mie
sedang mengaktifkan senjata raksasa. Aku menebak Mie akan menyerang duluan.
Bukan hal yang buruk kalau kita bersiaga di Tokyo, tapi ketika orang-orang itu
bertempur di Tokyo, Grid Tokyo sendiri akan ikut terlibat, kan?”
Naoto kemudian segera menjawab tanpa ragu sedikitpun,
“Kalau begitu, mari kita pikirkan cara yang tidak akan
menyebabkan Tokyo ambruk.”
“Kalau begitu, kita tidak hanya akan menghadapi senjata
raksasa itu. ‘Militer’ Tokyo juga akan menjadi lawan kita.”
“Sejak awal orang-orang itu tidak akan membantu kita. Kita
hanya akan memanfaatkan mereka.”
“Kalau begitu, kali ini—”
“Ehh diamlah!!! Kita hanya akan memikirkan cara untuk
mengatasi mereka semua, oke!!?”
Naoto berseru karena kesal.
Dia mencurahkan isi kepalanya pada Halter dan Marie,
“Berhenti mengoceh soal logika disana-sini; kita kan
mengincar hal yang sama! Siapapun yang bicara soal logika seperti itu, apapun
yang terjadi aku tidak akan menyerah soal AnchoR, bodo amat! Jika ada yang mau
menghentikanku, akan kucincang orang itu biarpun dia seorang presiden!”
“—”
Marie tidak bisa menjawab, dan Naoto terus menekankan
kata-katanya,
“Jadi? Apa yang mau kau lakukan! Jika kau hanya mau
mengoceh ‘aku tidak bisa melakukannya’ dan lari terbirit-birit, itulah apa yang
akan dilakukan orang idiot! Hah!?”
Nada mengejek Naoto menyebabkan Marie merasa kesal,
Dan tanpa dia sadari, dia balas berteriak,
“—Jangan memandang rendah diriku!”
Mata zamrudnya membara, dan dia mengeluarkan kata-kata
bombastis seperti itu.
Naoto dan Marie saling berhadapan dan saling memandang.
“Kau pikit kau bicara pada siapa? Kau pikir aku ini siapa!?”
“Siapa yang peduli tentang dirimu saat ini, dasar bodoh!? ‘Sekarang’,
kau cuma seorang gadis pemarah dan perusak suasana yang melolong seperti anjing
yang kalah!”
Kedua belah pihak tidak mau mengalah.
Percikan api melayang diantara mata kelabu dan mata zamrud
tersebut.
“Kau tidak punya rencana terperinci, jadi berhenti
mengatakan keinginan egois sesatmu itu!”
“Kau tidak bisa melakukan apa-apa sekarang~. Jika itu yang
disebut rencana terperinci, aku tidak butuh hal semacam itu!”
“Eh!? Sekarang siapa yang kau sebut tidak berguna! Jangan
memutuskan hal itu sendiri!”
“Masa sih? Bagiku, kau selalu saja mencari alasan semacam
itu.”
Marie mengulurkan tangannya dengan marah, dan mencengkram
Naoto di dadanya,
“—”
Marie hampir mengamuk, hanya untuk menelan kata-katanya
kembali.
Dia menatap mata kelabu itu dari dekat.
Rasa kecewa jelas terasa dari ekspresi Naoto, dan Marie
merasa tubuhnya bergejolak.
Rasa malu membuat bahunya gemetar, rasa marah yang intens
membakar hati kecilnya.
Dia tidak keberatan dimarahi karena bersikap sombong.
Bertengkar dengan orang lain itu terasa menyegarkan. Dia tidak perlu
menggunakan honorifik saat memanggil orang lain. Semua rentetan hinaan adalah
hal yang sepadan untuk itu.
Tapi meskipun begitu,
Aku tidak mau orang ini mengasihaniku disini—!!
Dalam sekejap itu.
Seperti sebuah kilat yang membelah langit malam, ingatannya
terbangun.
“Aku—!”
Dia pernah seperti ini, berhadapan dengannya, dan dia
mengatakan kata-kata itu.
Saat itu, dia mengatakan kalimat tanda keyakinan yang tidak
tergoyahkan, tapi dia tidak sengaja melupakan hal itu.
Kalimat itu adalah satu-satunya kalimat kebanggaan yang
mendefinisikan kehidupan Marie Bell Breguet.
Marie berteriak dengan mata zamrud yang berkilau,
“—Aku adalah seorang gadis yang berpikir kalau hal yang
mustahil itu tidak ada!!”
Ahh, Naoto hanya tersenyum kecil.
“—Itu dia. Kau harusnya bersikap begitu. Kalau tidak, kau cuma
seorang gadis pemarah biasa.”
Marie tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Huhu…haha, ahahahaha!!”
Naoto yang ada di depan Marie, Halter dan RyuZU menatapnya
dengan kosong, tapi dia tidak keberatan.
Bagaimana bisa ini terjadi.
Aku hanya mengingat hal yang jelas seperti itu di momen ini.
Marie berkata,
“Mari kita pastikan—kau adalah orang idiot yang tidak punya
harapan.”
“Hei.”
“—Tapi kau masih tidak lebih idiot daripada aku.”
Marie segera menyela, dan menghela napasnya.
Dari samping, RyuZU kelihatan terkejut seraya berkata,
“Jarang sekali mendengar kata-kata yang akan disetujui semua
pihak—apa kepala anda terbentur atau semacamnya, Master Marie?”
“Ya. Aku merasa seperti kepalaku dipukul dengan palu atau
semacamnya. Menjadi orang idiot itu sungguh menyenangkan.”
Marie melemaskan tubuhnya dengan senang seraya mengangkat
bahunya.
—Tentu saja pikirnya.
Mungkin saja umat manusia sama seperti yang RyuZU katakan,
hanya kumpulan orang-orang idiot.
Mereka mungkin akan mengoceh kata-kata pecundang seperti
dirinya tadi, berkata kalau dunia ini tidak bernilai.
Memangnya kenapa?
“Dengan kata lain, hanya ada orang idiot di dunia ini.
Mereka semua adalah makhluk hidup yang tidak logis, rewel dan keras kepala—meskipun
begitu, kita harus saling mengasihi, kan? Mungkin saja dunia compang-camping
ini tidak memiliki nilai, tapi pasti ada maknanya.”
Itu karena meskipun nilai perlu ditentukan oleh orang lain,
makna sesuatu adalah hal yang harus mereka kenali sendiri.
Dengan demikian, orang-orang hidup demi menemukan makna
mereka sendiri.
—Setidaknya Naoto Miura tidak salah dalam hal ini.
Marie lalu berkata,
“Oke, memang benar kalau kau ini benar, ide yang bagus kalau
kita pergi ke Tokyo. Kita akan menghadapi Mie dan Tokyo di saat yang bersamaan,
dan bagaimanapun caranya kita akan menemukan cara untuk membalikkan situasi ini.”
“Aku tidak tahu apa yang mau kau lakukan. Tapi disini aku
tidak menyerah soal menyelamatkan AnchoR.”
“Dimengerti. Tujuan kita tidak akan berubah. Kau mau
menyelamatkan AnchoR, aku ingin menyelamatkan dunia. Kita akan melakukan apa
yang kita mau—apapun demi tujuan kita.”
Halter kemudian berkomentar,
“Oi oi, Milady. Aku senang melihat anda bersemangat
lagi, tapi apa rencana anda?”
“Apa lagi? Kita akan melakukan semuanya.”
—Ya, tidak perlu pusing-pusing dalam memilih opsi yang
benar. Tidak peduli apakah aku punya kekuatan ataupun tidak, aku tidak akan
menerima kewajiban itu.
“Kau benar-benar salah dalam hal ini. Kita bukanlah pembela
keadilan—kita ini teroris.”
Dan pikiran Marie mulai berjalan dengan kecepatan luar biasa.
Tubuh mungilnya mengeluarkan aura menakutkan.
“Aku sedang merenungkan hal itu—sampai sekarang, aku tidak
pernah membangkang seperti itu.”
Dan Marie mengepalkan tangannya dengan keras.
Melihat hal itu, Naoto sedikit mundur sambil bergumam,
“Erm…aku mau bertanya apa aku sudah dipaksa berperan sebagai
orang yang kasar?”
“Tenanglah Naoto. Berkat doronganmu, kita akan mengambil
AnchoR.”
“Aku akan coba mendorongmu. Kalau tidak, kau bisa
mengandalkanku untuk menabrakmu dengan mobil dan membuatmu roboh.”
Dan tingkah Naoto berubah secepat cahaya.
Melihat hal ini, bibir Halter menyentak.
“Aku tidak tahu apa yang sedang kalian pikirkan…tapi itu
pasti bukan hal yang baik.”
Marie mengangguk.
“Tentu saja bukan hal yang baik. Kita akan melakukan hal
yang buruk disini.”
Marie tersenyum lebar ke arah Halter yang sedang menggerutu,
dan menoleh ke arah Naoto,
“Sekarang, aku punya dua pertanyaan buatmu.”
“Erm aku punya firasat buruk mengenai hal ini, tapi apa yang
mau kau tanyakan?”
Marie mengarahkan telunjuknya pada orang yang ada di
depannya itu.
“Pertama. Berdasarkan nada bicaramu, kedengarannya kau bisa
menghentikan AnchoR entah bagaimana. Apa itu mungkin?”
“Ya.”
Naoto segera menjawab.
Namun, RyuZU menyanggah,
“…Jika boleh saya berpendapat, Master Naoto. Mesin yang bisa
mengalahkan anak itu dalam pertarungan—”
“Tidak, kau bisa melakukannya, RyuZU. Aku tahu tanpa kau
perlu berkata begitu; aku tidak akan membiarkanmu hancur, dan aku tidak akan
membiarkan AnchoR hancur. Kita akan menyelamatkan AnchoR seperti yang dia
harapkan. Sudah pasti.”
“Baiklah. Aku serahkan itu padamu.”
Tanpa bertanya dasar apa yang dimiliki Naoto, Marie lalu
menanyakan pertanyaan selanjutnya,
“Selanjutnya, demi RyuZU dan AnchoR, seberapa jauh kau mau
melangkah demi memastikan keselamatan mereka?”
“Aku pastinya akan melakukan apapun. Apa kau perlu bertanya
itu?”
Marie melengkungkan bibirnya menjadi sebuah seringai,
“—Halter, kau dengar itu, kan? Apa kau merekamnya?”
“Ahh, ya…”
“Kau bilang kalau kau mau melakukan apapun, kan? Kau sudah
bilang, kau sudah bilang tadi; jangan berpikir untuk menarik kata-katamu
setelah kau mengatakannya.”
Ketika Marie mendekatinya dengan niat tidak jelas, Naoto
sedikit mundur sambil berkata,
“Eh, erm…tidak, yah, aku mau melakukan apapun, ya, jika
RyuZU dan AnchoR bisa diselamatkan tanpa terluka. Aku harus menolak kalau aku
harus mati disini. Kemungkinan besar RyuZU tidak akan setuju dengan hal itu.”
Ketika Naoto menjawab begitu, RyuZU menunjukkan permusuhan
di matanya seraya melangkah maju, seolah-olah sedang melindungi Naoto,
“—Tentu saja, jika anda menginginkan kematian Master Naoto
atau apapun yang membuatnya terancam bahaya, Master Marie, tolong siapkan
mental anda untuk apapun yang akan terjadi selanjutnya. Karena anda sudah
melibatkan Master Naoto dalam masalah ini dengan begitu ceroboh dan hampir saja
nyawanya melayang, saya punya sesuatu yang ingin saya bicarakan mengenai hal
itu—”
“Jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkan siapapun mati
disini. Tidak seorangpun, tidak ada yang akan mati sama sekali.”
Marie melemaskan bahunya, dan tersenyum kecut,
“Tapi, yah…kayaknya. Naoto, remedialmu selanjutnya tentang
apa?”
“Eh? Sejarah modern…?”
“Begitu ya, kurasa itu bagus. Saat kau kembali, kau tidak
perlu mempelajari buku teks itu lagi.”
“…Hm?”
“Aku akan menulis namamu di buku teks itu dan membuatmu
menjadi teroris terburuk dalam sejarah, mengerti♪”
Yah, Halter menyela,
“Setelah semua hal mencolok itu, apa yang sebenarnya anda
rencanakan, Milady?”
Setelah mendengar pertanyaan ini, Marie menjawab dengan
wajah cerah,
“Sebenarnya sederhana.”
Dia berhenti sejenak,
“Kita akan menyerang Tokyo sebelum senjata raksasa Mie.”
Tanpa menunggu ketiga orang disana memahami kata-katanya,
Marie melanjutkan,
“Menurut apa yang dikumpulkan pihak kita, dan apa yang baru
saja kau katakan, aku punya tebakan kasar mengenai digunakan untuk apa senjata
raksasa itu. Tapi masih ada pertanyaan kecil mengenai bagaimana caranya kita
membuat senjata raksasa itu pergi ke Tokyo sih—”
Bila benda berukuran seperti itu dan berarmor kuat
menjelajah daratan, benda itu akan menghancurkan apapun yang ada di jalannya
dari Mie ke Tokyo saat benda itu bergerak maju.
Pada saat itu, senjata ini bukan hanya menjadi masalah bagi
Tokyo saja. Semua ‘militer’ di jalur yang dilalui akan melawan, dan jika
situasinya tidak menguntungkan, ‘militer’ dari negara lain mungkin akan dikerahkan
untuk mengatasi senjata raksasa ini.
Intinya adalah terlepas dari seberapa kuatnya senjata
tersebut, pergerakaannya tidak akan terlalu cepat mengingat ukurannya. Selama
senjata itu tetap berada di suatu kota, senjata itu akan hancur bersama dengan
kota tersebut, tenggelam tanpa bisa melakukan perlawanan,
Dengan kata lain, Marie menarik kesimpulan,
“Senjata itu bergerak di bawah tanah. Alasan kenapa senjata
itu dibangun di bawah tanah bukan hanya untuk menutupinya. Di bawah sana ada
dok peluncuran yang terhubung ke bawah tanah.”
Di saat yang sama, itulah peluang menang bagi ‘militer’ Mie.
Orang akan membayangkan kalau orang-orang itu tidak mungkin
menempatkan pasukan apapun di bawah tanah.
Karena dari awal tidak ada yang mengira kalau sebuah senjata
sedang bergerak di bawah tanah.
Setelah mereka diserang dari bawah tanah, semuanya tidak
akan ada artinya terlepas dari seberapa banyakpun pasukan yang dikerahkan
‘militer’ di permukaan. Jika mereka tidak meluluh lantakkan kotanya, ada
kemungkinan kalau mereka akan menyandera Menara Inti yang mengendalikan seluruh
daerah Tokyo.
“Jadi karena itulah kita akan memulai dengan aksi teroris.”
“Tapi apa yang akan kita lakukan untuk hal itu? Meledakkan
Gedung DPR?”
Naoto kelihatan sedikit sebal saat berkata begitu, dan Marie
menatapnya kosong seraya berkata,
“Idiot, tidak ada artinya melakukan hal seperti itu. Aku
memikirkan sesuatu yang lebih besar dari itu—kita akan menggunakan waktu itu
untuk mengendalikan seluruh Grid Tokyo.”
“Maksudmu…seperti apa yang terjadi di Kyoto?”
Ingatan tentang Marie dan Naoto yang merebut kendali Menara
Inti untuk menyelamatkan Kyoto masih segar dalam pikiran.
Apa kita akan melakukan itu lagi? dan merespons
pertanyaan Naoto. Marie mengangguk,
“Ya. Kita akan bisa mengevakuasi para penduduk terlebih
dahulu, dan selama kita membocorkan intel palsu, kita akan menuntun ‘militer’
ke ‘pos komando’ Tokyo. Dengan begitu, Angkatan Teknis pasti akan tahu kalau
ada sebuah senjata yang bergerak di bawa mereka. Kita hanya akan menyerahkan
itu pada mereka…disini adalah pertempuran harga diri.”
“Aku ingin mendengar lebih detail…tapi aku mengerti inti
dari apa yang kau katakan sekarang.”
Halter menyela,
“Tapi Milady, kita sedikit kekurangan tenaga untuk
menjalankan rencana ini. Kita juga tidak punya cukup waktu, dan jika kita mau
memaksakan rencana ini, kedua belah pihak tidak akan mengabaikan kita begitu
saja. Dalam skenario terburuk, AnchoR akan mengincar kita.”
“Itulah satu hal yang kuharapkan—tapi yah, bukan masalah.”
Marie tersenyum lebar, dan mengangkat bahunya,
“Aku tahu kalau kau mungkin saja sudah tahu, tapi aku juga
punya banyak teman yang bisa diandalkan, tahu?”
“—Apa kau benar-benar suka menghancurkan hati seorang anak
yang kesepian?”
Dan merespons perkataan Marie, perasaan rendah diri Naoto
sepenuhnya mekar saat dia bergumam begitu.
0 Comments
Posting Komentar