KEPUTUSAN AOYAMA NANAMI
Bagian 1
Minggu, 24 April …… Hari ini Sorata tidak meninggalkan Sakurasou selangkah pun, dari pagi sibuk membuat game.
Masih sisa 5 menit sebelum jam 9 malam.
----- Sendiri sudah bisa mendesain program awal untuk game shooting.
Setelah berusaha keras selama 10 hari, Sorata mendapatkan sebuah inspirasi, dari semalam menelusuri intinya.
Awalnya ingin membuat game tipe shooting yang biasa saja, tetapi pada saat baru selesai merancang 2 musuh tahap awal -----
“Kok rasanya membosankan ya?”
Sorata menyadarinya, jadi merasa perlu mengubah sedikit gamenya.
Setelah itu Sorata memilih tipe shooting pertempuran 1 lawan 1. Dengan menggunakan efek 3D, maka akan di klasifikasikan shooting oleh orang ketiga dengan konten dalam game TPS. Tapi karena belum menggunakan sumbu vertikal, jadi merupakan 3D yang belum sempurna, yang sebenarnya masih bisa disebut 2D ……
Peraturannya sangat sederhana. Yaitu saling bertarung di dalam cakupan yang sudah ditentukan, pemenangnya adalah yang duluan menghabisi HP lawannya.
Senjata yang tersedia ada 3 jenis. Yang pertama adalah dengan tembakan yang bisa ditembak secara terus menerus tetapi memberi dampak yang lemah ; yang kedua tidak bisa menembak secara terus menerus, tembakannya lambat tetapi sangat kuat ; yang ketiga adalah bom yang hanya bisa dipakai 3 kali dalam tiap putaran gamenya, guna untuk membunuh musuh yang menggunakan meriam, dan untuk mengejutkan musuh, kurang lebih dirancang seperti itu senjatanya.
Hari ini sudah menghabiskan waktu seharian dan hanya bisa menyelesaikan senjata yang pertama.
Hampir semua waktu dihabiskan untuk membuat pola pikir untuk musuh CPU. Tetapi membuahkan hasil yang cukup bagus, saat menjelang malam hari, sudah bisa memburu lawan player.
Akhirnya sudah sedikit ada kesan game. Karena terlalu gembira, Sorata menghabiskan waktu kurang lebih satu jam dengan tidak bosan-bosannya memainkan game yang belum sempurna tersebut.
Tinggal pengaturan pengukuran perhitungan stamina untuk membuat keputusan yang menentukan siapa pemenangnya, dengan begitu proses pembuatan tahap ini akan selesai. Dan juga masih perlu untuk menambah 2 cara untuk menyerang ------ bom dan peluru berkecepatan tinggi, tapi Sorata berpikir itu tidak akan terlalu susah.
Proses perkerjaan gamenya tanpa diduga lumayan lancar.
Membuat orang berpikir andaikan saja ada lebih banyak waktu untuk mengerjakannya.
Walau hari minggu bisa menghabiskan waktu seharian, tapi hari biasa tidak akan bisa.
Sepertinya sudah sedikit paham alasan kenapa Ryuunosuke jarang datang ke sekolah. Walaupun begitu, bagaimanapun tidak boleh meniru sikapnya itu …..
Dengan kecepatan seperti ini mungkin 1 minggu lagi pekerjaannya bisa selesai.
Sorata melepaskan mesin kontrolnya dan meregangkan tubuhnya ke belakang.
Karena dari tadi dia cuma duduk terus, bahunya mengeluarkan suara ‘klak klak’.
“Ah~~”
Sekali tidak konsen langsung mengeluarkan suara seperti itu.
Sorata baring di kasurnya.
Dalam hatinyanya ia merasa sangat puas. Karena hari ini telah berusaha ------- Sorata berpikir seperti itu.
Dia merasa seperti menimpa sesuatu dibelakang punggungnya, dan dia mengambil barang yang ditimpa. Ternyata sebuah buku. Buku yang kemarin ditinggalkan Hase Kanna, hari itu juga Sorata selesai membacanya. Awalnya sebenarnya cuma penasaran tetapi sekali membacanya, serasa tidak bisa berhenti dan ketika ia menyadarinya ternyata sudah baca sampai di halaman terakhir.
Sebuah cerita yang mengesankan. Tetapi, Kanna sangat gelisah karena tidak memiliki ide untuk menulis kelanjutnya di buku ke-2.
“Coba tanya saja dulu.”
Tiba-tiba Sorata punya sebuah pemikiran, mengulurkan tangannya mengambil HP yang ada di sampingnya, mencari nama seseorang yang ngangenin di kontaknya, dan menekan tombol call. Entah kenapa Sorata merasa sedikit gugup.
“Ada apa?”
Suara yang terdengar dari hp adalah Mitaka Jin yaang lulus SMA Suimei pada bulan maret yang lalu.
“Cuma ingin bertanya bagaimana kabarmu akhir-akhir ini.”
“Karena selalu menolak undangan dari teman teman, jadi aku dianggap orang yang susah untuk di ajak bergaul. Baru masuk universitas sudah nampak akan sendirian selama 4 tahun, membuatku takut sampai gemetar.”
“Huh?”
“Tapi, saat kubilang aku sudah mempunyai istri, semuanya menjadi tertarik lagi dan mendekatiku. Sekarang malah di anggap tokoh sentral, cukup menyusahkan juga.”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Kabar aku lah. Bukannya kamu sendiri yang tanya? Kau sendiri juga semangat sedikitlah.”
Walau kenyataannya memang begitu ……..
“Jadi, apa sekarang kau sedang kesal atau punya masalah?”
“Aku ingin bertanya bagaimana cara untuk membuat sebuah cerita?”
Untuk inilah Sorata meneleponnya, jadi dengan cepat masuk ke topik utama.
“Ada apa? Apa game mu perlu naskah?”
“Jika memang membutuhkan naskah aku tidak akan menulisnya sendiri dan tanpa ragu aku akan meminta bantuan Jin-senpai.”
“Untuk membalas harapan mu, aku akan berusaha lebih baik lagi.”
Sorata merasa tenang setelah mendengar respon dari Jin.
“Sebenarnya murid baru yang ku kenal beberapa hari yang lalu adalah seorang novelis, tapi karena dia tidak bisa menulis kelanjutan di buku ke-2nya membuat dia jadi sangat frustrasi.”
“Novelis? Apa buku dia sudah pernah diterbitkan?”
Suaranya Jin terdengar sedikit terkejut.
“Iya. Sudah pernah.”
“Kalau begitu berarti Sorata ingin membantu murid baru yang cantik nan imut ini?”
“Seingatku, aku gak bilang cantik nan imut, dan juga tidak bilang dia cewek?”
“Bukankah?”
“Iya, memang seorang cewek yang cantik nan imut.”
“Seperti biasa kamu selalu memikirkan orang lain ya.”
“Bukan begitu. Cuma terpikir mungkin Jin-senpai bisa membantu, jadi coba-coba aja tanya.”
“Urusanmu sendiri apa ada perkembangan?”
“Berkat Akasaka proses pembuatan gameku lumayan lancar, aku sangat senang.”
Sekarang di TV masih menampilkan gambar game yang masih di proses, musuh CPU menyerang terus player yang tidak bisa bergerak.
“Hmm, memang bisa diandalkan kalau Akasaka. Terus, nama cewek yang tadi siapa?”
“Hah?”
“Maksudku novelis yang cantik nan imut itu. Bukannya Sorata sendiri yang bertanya?”
Ah benar juga. Saking senangnya membicarakan soal pembuatan game jadi hampir kelupaan soal Kanna.
“Namanya Hase Kanna. ‘Kanna’ nya ditulis dengan huruf hiragana.”
“Oh, aku tahu nama itu. Dia adalah cewek yang berhasil mendapatkan penghargaan orang baru dengan ‘Hari Minggunya si Cinderella’ ya? Aku juga pernah membaca bukunya.”
“Ah, begitu ya.”
Kalau begitu, sekarang pasti akan lebih mudah meminta bantuan Jin-senpai.
“Karena saat umur 14 dia sudah memulai debutnya. Saat itu sempat jadi topik hangat pembicaraan, bukunya juga di nilai sangat bagus.”
Sorata tidak tahu semua itu mungkin karena yang biasa dibacanya cuma komik.
“Oh~~ dia masuk Suimei ya. Dunia ini kecil juga.”
Memang sudah sewajarnya kalau Suimei dapat menarik orang-orang berbakat seperti Kanna.
“Berarti dengan kata lain, Sorata meninggalkan Mashiro dan Aoyama dan fokus ke cewek ini?”
Cara berbicara Jin-senpai yang santai tetap tidak berubah.
“Tidak.”
“Maksudmu tidak apanya? Yang ‘fokus ke cewek ini’ ya ?”
“Benar.”
“Kalau begitu yang ‘meninggalkan Mashiro dan Aoyama’ juga benar?”
“……”
“Kalau kau tidak menjawab, berarti memang terjadi sesuatu dengan mereka dua.”
Seperti yang diharapkan dari Jin-senpai, sangat peka. Bagaimanapun dia merupakan pria yang pernah pacari 6 cewek sekaligus. Walau tidak boleh menjadi contoh tapi bagi Sorata yang belum pernah berpacaran, Jin merupakan lawan yang tidak pernah bisa dikalahkan oleh Sorata.
“Topik ini, hmm, aku tidak terlalu peduli. Walau bukan sepenuhnya tidak peduli, tapi masa bodohlah.”
“Apa-apaan itu hah?”
Terdengar Jin sedang tertawa.
“Kembali ke topik utama.”
“Yang dibicarakan Sorata sekarang adalah novelis yang kebingungan karena tidak bisa menulis kelanjutan di buku ke-2nya?”
“Iya.”
“Hm, memang akan sangat sulit untuk menulis kelanjutannya di buku berikutnya jika dilihat dari style penulisan karyanya itu.”
“Maksudnya?”
“Apa Sorata sudah membacanya?”
“Hu’um, sudah ku baca kemarin lusa malam.”
Tipe ceritanya adalah cerita modern. Tokoh utamanya cewek kelas 2 SMP, dengan gaya rambut kuncir kuda dan memakai kacamata bisa di bilang cewek yang sangat polos.
Di sekolah juga tidak begitu menarik perhatian, tetapi bukan penyendiri. Saat istirahat ada teman yang bisa diajak ngobrol juga ada teman yang bisa diajak makan siang bersama.
Saat ada 1 temannya yang tertawa, yang lain juga akan bertepuk tangan dan bertanya ‘apa itu, lucu sekali’. Kesehariannya kurang lebih seperti itu.
Tapi di dalam hatinya dia tidak tertawa. Walau punya teman tapi tidak punya sahabat karib yang bisa di ajak curhat…… Jika memahaminya lebih dalam, akan menyadari dia juga punya sisi yang sepi.
Dia tidak merasa sekolah itu menarik, dan juga sangat benci keadaan ketika merima email dari teman harus membalasnya dengan segera, di dalam hatinya merasa itu semua adalah hal yang sangat bodoh. Meskipun teman, pada akhirnya hanya tampilan luar semata, hanya dengan menggunakan infra merah bertukar email dan saling mengirim pesan untuk mempertahankan hubungan tersebut. Betapa bodohnya hal itu. Tetapi pada kenyataannya dia tetap membalas email dari temannya dengan cepat karena dia tidak ingin makan siang sendirian.
Dan begitulah, dia dengan terpaksa mempertahankan hubungan ini, meski ada saat dimana dia tidak bisa mengikuti percakapan teman-temannya tapi dia tetap berusaha. Dan jika sampai dibilang ‘dia sombong ya’ maka pasti akan langsung dikucilkan.
Setiap hari menjalani kehidupan seperti itu. Tapi tidak hanya dia, temannya yang yang lain mungkin juga ada yang seperti itu. Tapi tidak ada orang yang ingin menentang hubungan saat ini. Jadi walau tidak suka dengan situasi saat ini, semuanya tetap mempertahankannya.
------ Di lingkup ini tidak menerima orang yang berencana menghancurkan kedamaian.
Di kelas setiap orang tahu akan hal itu. Makanya semua orang menaati aturan tersebut.
Di dalam karyanya dijuluki ‘ketahanan hubungan dimana tidak ada orang yang memperoleh keuntungan’.
Di suatu minggu pada hari yang biasanya, demi melampiaskan semangat yang kian lama terpendam, dia berusaha tampil trendi, pergi ke kota sebelah yang biasanya tidak pernah dikunjungi.
Membiarkan rambut panjangnya terurai, mengganti kacamata dengan lensa kontak dan memakai sedikit make up, pakai rok mini yang di beli tapi tidak pernah dipakai sebelumnya. Berdiri dengan tegap dan mencocok kan tampilan sekarang dengan sepatu bot, entah kenapa suasana hati berubah begitu drastis menjadi menyenangkan.
Dia berjalan dengan santai dikota sebelah. Hanya dengan begitu dalam sekejap dia merasakan dunia menjadi penuh warna. Biasa nya laki-laki tidak begitu tertarik dengannya, tetapi hari ini perhatian semua orang disekitar mengarah padanya. Hanya saling melewati saja bisa tahu kalau orang lain sedang melihat ke arahnya, dan bisa merasakan orang-orang sampai memutar balik kepala untuk melihatnya. Bahkan percakapan anak-anak SMA yang tengah membincangkan ‘cewek yang tadi cantik banget ya?’ terdengar dengan sangat jelas.
Seakan perasaan sesak saat disekolah sudah lenyap semua, dan merasa dapat bernapas dengan mudah, pemadangan juga menjadi lebih indah, langit terlihat lebih luas. Perasaan terbuka seperti ini membuat dia merasa sangat senang.
Sejak hari itu, hampir tiap hari minggu dia akan berusaha tampil trendi untuk jalan-jalan ke kota sebelah. Mengobrol dengan penjaga toko majalah fashion, pergi ke toko crepe terkenal  yang biasanya tidak berani pergi karena gugup untuk mengantri.
Setelah beberapa kali berkunjung, dia juga sudah mulai punya teman di kota sebelah. Karena teman yang di kota sebelah tidak memiliki hp, maka tidak perlu memusingkan soal email-emailan. Dia bisa dengan terbuka mengobrol apapun sama temannya yang hanya bertemu dihari minggu saja, seperti ketidakpuasan saat di sekolah, memusingkan soal cinta, juga soal orangtua bercerai….. Mama menikah lagi…… Dan hal lain dirumah ataupun disekolah …..
Suasana yang sama di setiap hari minggu, membuat orang mulai kebingungan apa itu hanya sekedar mimpi atau kenyataan, dan juga akan mencapai ending seperti apa nantinya? Membuat Sorata dengan gugup membaca sampai ke halaman terakhir.
Ending dengan mendadaknya datang.
Mempunyai seseorang yang sudah bisa disebut sahabat ------- Tetapi ketika dia berpikir ini merupakan saat yang paling bahagia baginya …..
Dia tiba-tiba terbangun.
Yang pertama terlihat adalah plafon asing yang berwarna putih.
Saat laki-laki berjubah putih datang berbicara, dia baru sadar bahwa ini adalah rumah sakit. Sepertinya dia diantar ke rumah sakit saat dia pingsan di sekolah.
Ketika dokter berbicara tentang hal seperti tekanan dan yang lain sebagainya, dia tidak mengerti sama sekali. Padahal sebelumnya, masih bersenang-senang mengobrol dengan teman yang di kota sebelah ……
Kepanikan yang dialami tokoh utama tersebut juga membuat pembaca seperti Sorata merasakannya. Tetapi ketika semua orang bertanya-tanya ‘apa yang telah terjadi’, ceritanya pun berakhir dengan gantung.
Bagian mana kah merupakan kenyataan? Dan juga bagian mana kah yang merupakan mimpinya?
Karena sangat penasaran jadi membaca berulang-ulang kali, tapi akhirnya tetap tidak bisa menemukan jawabannya.
Ending cerita ini membuat para pembacanya merasa tidak bisa tenang.
------- Begitulah kenyataannya.
2 hari setelah dia membaca, Kanna memberitahunya seperti itu.
“Jadi kesanmu tentang bukunya?”
Jin bertanya.
“Meski sangat menarik, tapi terasa tak begitu mengenakkan. Bagaimana kesan Jin-senpai?”
“Aku rasa ini bukan cerita yang dibuat-buat.”
“Apa maksudnya?”
“Biarku berpikir sebentar….. lebih tepatnya ini bisa disebut bukan cerita yang di buat dengan imajinasi, melainkan pelampiasan isi hati dengan cara mengilustrasikannya sebagai novel.
“Ah,  begitu ya.”
Sorata tahu apa yang di maksud oleh Jin. Menulis tentang kesesakan saat di sekolah atau betapa tidak menyenangkannya sebuah hubungan yang palsu dengan teman, benar-benar membuat orang merasa tidak begitu enak.
Dan setelah berkenalan dengan Kanna, Sorata semakin yakin ceritanya itu merupakan pengalaman pribadinya.
Cerainya orang tua, dan kehidupan bersama Mama setelah bercerai. Ditambah lagi dalam buku di jelaskan bahwa karena Mamanya menikah lagi jadi punya Papa baru, dan juga berpikir tokoh utama yang tidak suka dengan marga barunya dapat terlihat bahwa tokoh utama perempuannya mirip dengan Kanna yang membenci marganya saat ini.
Bahkan di saat membaca juga hampir menganggap tokoh utama perempuannya adalah Kanna. Membuat Sorata merasa tidak enak seperti telah mengintip kehidupannya saat SMP.
“Alasan kenapa dia tidak bisa menulis kelanjutannya, mungkin karena sudah tidak punya bahan dalam isi hatinya, akan dimulai dengan selembar kertas kosong untuk membuatnya kan? Buku pertama ditulis tanpa harus berpikir seperti mengungkapkan isi hatinya dan tentu cara yang sama tidak bisa dipakai untuk kelanjutan di buku ke-2nya.”
“Jadi, harus bagaimana supaya dia bisa menulis lagi?”
“Jangan memaksa untuk menulis, tetapi menenangkan hati seiring menunggu menumpuknya emosional didalam hati.”
“Hm…. sepertinya agak sulit.”
Tekanan karena tidak bisa menulis membuatnya dalam bahaya. Kalau dibiarkan terus menerus, pasti dengan cepat akan terjadi sesuatu ….
“Sudah ditagih sama editornya?”
“Dia bilang walaupun memberikan ide tetap saja akan ditolak editornya karena tidak bagus.”
“Begitu ya. Kalau begitu aku akan memberikan beberapa saran.”
“Ah, sebentar. Aku mau mencatatnya.”
Sorata dengan panik menuju ke meja dan mempersiapkan pen dan kertas.
“Sebenarnya sarannya mungkin tidak begitu membantu, jadi jangan terlalu berharap ya.”
“Sudah siap.”
“Pada dasarnya, akan lebih mudah kalau menganggap cerita hanya sebagai kerangka. Tokoh utama seperti apa, di dunia yang seperti apa, atau bertemu dengan seseorang, terlibat dengan sebuah kejadian, melakukan sebuah hal, perasaan yang bagaimanakah, ending yang seperti apakah……. Menyusun kerangka ceritanya seperti ini akan lebih gampang.”
Jin dengan sengaja pelan-pelan membiarkan Sorata bisa mencatat tanpa ketinggalan.
“Menganggap cerita ‘Hari Minggunya si Cinderella’ sebagai contoh, aku pikir sebentar….. disekolah maupun dirumah membuat dia merasa tidak begitu nyaman, siswi SMP kelas 2 yang pusing tiap hari, dan suatu hari pergi ke kota sebelah yang tidak ada 1 orang pun yang mengenalnya, berhubungan dengan orang yang tidak di kenal, bertemu dengan teman yang bisa di ajak curhat dan mengobrol, menemukan sebuah tempat yang bisa membuatnya nyaman, sebuah cerita yang baru saja menemukan harapannya…… Kira-kira seperti itu.”
“Rupanya begitu.”
“Walau dibaca sampai akhir kita tetap dibuat harus menghadapi kenyataan ini bahwa perasaan akan sebuah hubungan yang membuat orang merasa sesak tetap ada. Dia mungkin ingin menyampaikan bahwa ‘kalau mimpi pada ahkirnya tetap akan terbangun’.”
Setelah mendengar penjelasan Jin, endingnya memang bisa di simpulkan seperti itu.
“Dan juga pengarang perlu berpikir dengan cerita ini apakah dia bisa membuat pembaca merasakan sesuatu, berharap pembaca dapat memahami ceritanya itu, ini sangat penting. Kalau ceritanya itu berdasar pengalamannya sendiri.”
“Maksudnya tema seperti apa?”
“Dengan istilah sederhananya, ya begitulah. Hanya yang ku bilang tadi berdasar keseluruhan ceritanya, kalau melalui tokoh-tokoh juga bisa.”
“Ou.”
“Kalau misalnya, di dalamnya ada seseorang yang tidak dapat melihat situasi?”
Tanpa sengaja mengaggap Iori sebagai orang itu.
“Menambah kesan di suatu tokoh akan mempengaruhi gaya penulisan juga. Seperti ‘pecundang yang tidak bisa apa-apa’, atau ‘bocah lucu yang membuat orang lain tidak membencinya’. Tokoh yang tidak bisa melihat situasi akan membuat banyak masalah, merupakan karakter yang repot…… Tapi sebaliknya juga ia tidak memikirkan diri sendiri dan tanpa berpikir membuat orang lain terlibat tapi akhirnya berakhir bahagia, karakter seperti itu juga tidak bisa di benci bukan?”
Walau berada di situasi yang sama, tapi ini memberikan kesan yang berbeda.
“Lain kali aku akan coba membahas ini bersama dia.”
“Kalau begitu juga boleh, aku ada contoh yang gampang, nanti ku kirimin.”
“Serius? Makasih banget.”
“Tapi, aku tidak yakin bisa membantu banyak.”
Saat ini, komputer yang masih nyala menerima sebuah email, itu dari Jin. Sepertinya dengan cepat ia sudah mengirimnya, Jin memang baik.
“Kalau begitu, apa tidak perlu mendengar masalah soal cinta Sorata?”
“Kalau yang itu akan ku pikirkan sendiri.”
“Wogh, memang lelaki sejati.”
Jin dengan sengaja memberi reaksi yang lebay. Sorata pasti dianggap bodoh.
“Kalau memang tidak bisa, aku akan mencari Jin-senpai untuk mendiskusikannya lagi.”
“Kalau memang niat tampil keren, berusaha bertahanlah sampai akhir.”
Jin tertawa dengan suara yang keras.
“Kalau begitu, bukannya akan menjadi lebih parah?”
“Kalau malu di dalam cinta tidak ada keuntungan, bagaimanapun akhirnya akan tetap ‘telanjang’.”
“Termasuk hati juga?”
Sorata bertanya, dalam hatinya merasa sedikit malu.
“Tapi kenyataannya mungkin tubuh yang ‘telanjang’ dulu.”
“Tak tahu harus bagaimana ku mengatakannya, entah itu memotivasi atau membuat kehilangan semangat ……”
Saat mereka berdua masih membicarakan topik ini, pintu kamar Sorata dibuka. Mashiro berjalan kemari seperti menganggap kamar ini merupakan kamarnya. Apakah ada urusan?
“Ah, maaf, padahal aku sendiri yang meneleponmu tapi sekarang Shiina datang ke sini.”
“Tentu saja sekarang bukan saatnya mengobrol dengan senior yang sudah tamat sekolah.”
Sorata pura-pura tidak dengar Jin berbicara.
“Kalau begitu, aku akan menelepon lagi.”
“Oke.”
Sorata menutup teleponnya.
Mashiro duduk di kasur menatap terus TV yang masih nyala dan kontroler mesin game.
“Ingin coba bermain?”
“…….”
Sorata memberikan kontroler game pada Mashiro yang terdiam, lalu perlahan menjelaskan cara mengendalikan. Sampai saat ini Mashiro masih terdiam.
“Baiklah, mari kita mulai.”
Nyalakan kembali mesin gamenya, dan menjalankan game yang masih belum selesai dibuat.
Mashiro kurang pandai mengendalikan kotrolernya dan player yang ada di layar bergerak sembarangan dan menyerang ke arah musuh.
“Sorata.”
“Ada apa?”
“Bosan sekali.”
“Iya, kalau kau merasa ini menarik aku malah akan sangat terkejut!”
Dan juga, gamenya belum selesai, jadi harap jangan memberi penilaian dulu.
“Sebuah karya yang gagal.”
“Darimana kau belajar kalimat seperti itu!”
“Maid-chan yang mengajariku.”
“Ternyata hubungan kalian lumayan bagus juga ……”
Sebenarnya apa yang mereka berdua bicarakan?
“Maid-chan pernah bilang.”
“Dia bilang apa?”
“Sorata sedang membuat sebuah karya yang gagal.”
“Aku kan bukan sengaja ingin membuat karya yang gagal!”
Nanti saja mengirim email protes ke Maid-chan.
“Pokoknya hiraukan ini dulu, Shiina.”
“Ada apa?”
“Pada saat kau menggambar manga, apa kau pernah merasa tertekan?”
“Tertekan?”
“Misalnya tidak lancar, pusing memikirkan ide, atau mencemaskan apakah manga mu akan berhenti serialisasi gitu?”
“Pernah.”
Yang dikira bakalan tidak pernah tapi ternyata jawaban Mashiro berlawanan dari perkiraan.
“Kalau begitu, pada saat itu emosi seperti apa yang kau rasakan?”
“Emosi yang ingin ……”
“Emosi yang ingin?”
“Sorata ……”
“Aku?”
“Membully Sorata.”
“Ayolah jangan begitu.”
“Sekarang aku sedang membullymu.”
“Jadi sekarang kau sedang membully ku!”
Sepertinya tanpa disadari sudah menjadi bahan Mashiro untuk meringankan stresnya. Terkadang dia akan berbicara yang aneh-aneh. Jadi selama ini, itu sebenarnya sedang meringankan stresnya?
“Akhir-akhir ini Sorata sombong.”
“Kenapa tiba-tiba aku dimarahi?”
“Ini tidak boleh.”
“Apa maksudmu Mashiro!”
“Sama sekali tidak boleh.”
“Apa-apaan itu? Dan sekarang apakah ini topik baru kita?”
“Sama sekali tidak bisa ditolong.”
“HELP!”
“Seperti yang diduga.”
“Apa yang kau bicarakan sih!”
Sebelumnya tidak pernah kejadiaan seperti ini, membuat orang panik saja.
Entah apakah Mashiro sudah puas atau gimana, tiba-tiba dia terdiam.
“…….”
“…….”
Menatap Sorata seperti sedang menunggu sesuatu.
“Gimana?”
“Apanya gimana!”
“Apa detakan jantung Sorata bertambah cepat?”
“Tidak, malah merasa menjengkelkan!”
“…… Ternyata gagal.”
Mashiro menggunakan jari menekan bibirnya, sepertinya dia sedang berpikir.
“Apa yang sedang kau rencanakan?”
“Rita pernah bilang.”
“Entah kenapa saat mendengar nama ini membuatku merasa tidak begitu nyaman.”
“Dua orang yang terjebak dalam sebuah hubungan yang membingungkan.”
“Aku dan Shiina?”
“Musim kemarau.”
“Apa pernah melewati musim hujan?”
“Makanya kurang perhatian dengan Sorata.”
Terasa nada berbicaranya berbeda dengan yang biasanya.
“Jangan-jangan kau sedang meniru Rita-san?”
“Miripkan?”
“Hanya segitu tapi kenapa kau merasa bangga sekali!”
“Soalnya memang begitu.”
“Tidak, aku sama sekali tidak bisa memahami apa maksudnya.”
Sepertinya bertanya kepada Rita-san akan lebih cepat.
Sorata mengambil hpnya dan mengirim email ke Rita.
Perbedaan antara Jepang dengan Inggris kira-kira 9 jam, jadi seharusnya sekarang disana masih siang hari.
------ Apa yang kau ajarkan pada Shiina?
Baru sebentar sudah mendapat balasan.
------ Aku hanya mengajari dia trik cinta yang dasar loh?
------ Tolong jelaskan situasinya padaku.
------ Bagi dia, kau selalu disampingnya itu wajar saja. Jadi untuk membuat dia untuk balik melihatnya sebaiknya jaga jarak dulu lalu tunggu saat dia sudah kehilanganmu maka dengan tegaslah mengatakan : “kalau kau kira aku akan selalu berada disamping maka kau sudah salah besar!”, tunggu sampai hatinya sudah berada diambang kehancuran, dan saat itulah giliran dia yang akan balik mengejarmu.
------ Terdengar seperti menyalin dari sebuah artikel.
------ Soalnya memang nyalin dari artikel.
------ Sudah kuduga!
------ Ryuunosuke sudah bersikap dingin padaku lama sekali, bukankah sudah saatnya dia memperlakukanku dengan sedikit lembut?
------ Topik apa ini?
------ Topik cinta antara aku dengan Ryuunosuke.
------ Bisa kau membicarakan ini dengan Ryuunosuke?
------ Tolong beritahu Ryuunosuke. “Kalau masih tidak mengirim email padaku, aku akan kencan dengan laki-laki lain loh, dan memberi ‘barang’ yang penting dariku kepada orang lain. Aku serius loh.”
Sepertinya Rita juga sedang menggunakan trik cinta yang dasar.
Pokoknya, sesuai yang Rita minta, mengirim email pada Ryuunosuke dulu.
------Rita bilang begini.
Terus langsung mendapat balasan, yang dikira bakalan Maid-chan yang membalas, tapi ternyata Ryuunosuke sendiri yang balas.
------ Sungguh sebuah kabar yang bagus. Beritahu dia.
Walau bukan tidak boleh memberitahunya, tapi Rita terlalu kasihan, Sorata tidak bisa mengatakannya. Sepertinya soal cinta antara Rita dan Ryuunosuke juga tidak berjalan lancar. Tapi kalau sudah tahu, bagaimanapun tidak boleh di biarkan begitu saja.
Sorata menutup Hpnya. Sepertinya sudah tidak ada masalah, terlihat Mashiro yang berjalan keluar kamar.
“Tunggu bentar kau! Berilah waktu untuk aku mengeluh! Aku sudah hampir stres!”
Mashiro dengan terpaksa membalikkan badannya.
“Karena …..”
“Karena apanya!”
“Sorata akan berkencan dengan Nanami.”
Setelah mengatakan itu, Mashiro menebasnya pakai pisau mengarah ke bagian yang tidak ada persiapan sama sekali. Hanya dengan 1 tebasan saja sudah bisa menjadi luka fatal.
Sorata merasa ini sebenarnya tidak perlu disembunyikan, karena saat kemarin makan malam di ruang makan mendiskusikan tempat pertemuan dan waktunya, sebuah keputusan yang salah.
Alasan kenapa Mashiro membahas dengan Rita mungkin karena masalah ini.
“Itu cuma untuk jadi bahan referensi untuk latihan naskahnya.”
“…….”
Mashiro terus menatap Sorata.
“A-apa, kenapa melihatku terus?”
“Sorata sudah punya orang yang disukainya.”
Sepertinya sekarang sedang melanjutkan topik yang dibicarakan saat kedatangan Kanna.
“Ah itu, hm, pada dasarnya itu merupakan sesuatu yang wajar saja terjadi.”
Sorata ingin menganggap biasa-biasa saja dan membiarkan berlalu, tetapi Mashiro bertanya terus.
“Ada orang yang disukai, berkencan dengan Nanami.”
“Ja-jangan tebak sembarangan.”
Tidak bisa membiarkan hal ini berlalu sangat memusingkan kepala. Walau Mashiro sepertinya tidak sadar Sorata menggali kuburannya sendiri saat Kanna datang, tapi itu tidak berarti sekarang dia masih belum sadar, kemungkinan besar pada saat dia membahas masalah ini dengan Rita, Rita menyadarinya, dan memberitahu ini pada Mashiro.
Kalau bukan Mashiro pasti Nanami. Hari itu, Sorata sama saja memberitahu orang yang disukainya ada diantara mereka berdua.
Kalau Sorata dengan tegas menyatakan orang yang disukainya bukan Nanami, maka dengan kata lain orang yang disukai Sorata adalah Mashiro. Sungguh cara menyatakan cinta yang menyedihkan.
“Oh~~”
“Apa maksud dari reaksi langka mu itu?”
“Sorata sudah punya orang yang disukainya ……”
“Masih berlanjut ya!”
“Berkencan dengan Nanami.”
“Tujuan kencannya hanya untuk bahan referensi latihan naskahnya! Tidak ada maksud lain dari itu!”
“Sorata sudah punya orang yang disukainya ……”
“Bisa tidak jangan lanjutkan topik ini lagi?”
“Memperlakukan Nanami dengan lemah lembut.”
“Aku harus gimana supaya tidak melanjutkan topik ini lagi?”
Dilihat darimanapun, Sorata jelas-jelas dicurigai.
“Sorata sudah punya orang yang disukainya ……”
“Masih perlu lanjutkah!”
“Nanami juga sudah mempunyai orang yang disukainya.”
“Hm, harusnya ada.”
“Aku juga ada orang yang disukai.”
Pipinya Mashiro terlihat sedikit memerah. Kalau tidak memperhatikan dengan jelas tidak akan sadar. Arah pandangan matanya juga berubah terus.
“…….”
Orang yang disukai Mashiro.
Sepertinya ini pertama kalinya dia mengatakannya dengan jelas.
“Inilah fungsi ketiga pihak.”
“Sedikit lagi!”
“Inilah hubungan segitiga.”
“Walau sudah benar katamu, tapi bisa tidak jangan mengatakannya dengan jelas begitu!”
“Mengapa?”
“Karena hati ku ini sudah hampir hancur!”
Tidak salah lagi. Mashiro hampir mengerti hubungan antara mereka bertiga yaitu Mashiro, Nanami dan Sorata.
“Kalau begini pas.”
“Didalam hidup ini hubungan segitiga seperti apa yang akan dikatakan pas?”
“Ayano yang bilang.”
Dia adalah penanggup jawab editor Mashiro, Lida Ayano.
“Ou, mengapa?”
“Sudah saatnya hubungan segitiga.”
“Menurutku maksud Ayano-san bukan ditujukan untuk dunia nyata! Yang dia maksud adalah hubungan segitiga di mangamu!”
“Iya.”
“Kalau begitu, ini merupakan bagian yang penting, jangan dihapus! Bikin aku kaget aja….. ngomong-ngomong, apa kau tahu apa itu hubungan segitiga?”
Walau sedikti curiga, bagaimanapun dia itu Mashiro.
“Aku tahu.”
Mashiro terlihat percaya diri. Bisa dibilang, kapanpun dia selalu terlihat percaya diri.
“Serius? Coba jelaskan.”
“Tak mau.”
“Bilang saja tidak tahu!”
“Kalau aku bilang, Sorata akan khawatir nanti.”
“……”
Seperti bagian kepala dipukuli secara berat, Sorata tidak bisa membalas omongannya itu.
“Kalau begitu masih mau bilang juga?”
“Ja-jangan …..”
Sorata merasa, sepertinya sudah tidak bisa menunggu lagi.
Saat berpikir akhirnya datang juga.
Saat memutuskan akhirnya datang juga.
Walau belum siap, kenyataan selalu mendekati kita tanpa belas kasihan, Sorata sudah tahu mengenai ini. Karena pada tahun ini, Sorata sudah merasakannya.
Walau bukan sepenuhnya, tapi Sorata masih merasa sedikit ragu….. Saat untuk memilih akhirnya datang juga. Inikah yang dinamakan hidup.
Yang bisa Sorata lakukan hanya berpikir pada waktu yang telah ditentukan, dan pusing mencari jawabannya.
Tapi, pada saat Mashiro sedang melukis Sorata, Sorata sudah merasakan waktunya sudah tidak banyak.


Bagian 2
Keesokan harinya, hari senin, pada saat istirahat siang Sorata mengambil tasnya.
“Mau pergi mencari Mashiro?”
Tanya Nanami yang duduk di sampingnya.
“Tidak, ada beberapa urusan.”
“Urusan apa?”
Karena Nanami tidak memaksa, Sorata menjawab dengam sembarang dan dengan cepat meninggalkan kelas.
Turun lewat tangga, menuju ruang kelas 1. Yuuko bilang dia kelas ke-3, Hase Kanna yang sekelas denganya harusnya ada di kelas.
Berjalan di koridor yang beda tahun, walau sudah naik ke kelas 3, tetap merasa sedikit gugup. Padahal saat masih kelas 1, Sorata juga berada di gedung ini.
Mengamati kelas ke-3 sebentar. Terlihat Yuuko yang sedang makan siang dengan temannya, tapi tidak melihat Kanna.
Di saat ingin balik ke kelas, tatapan mata Sorata dan Yuuko bertemu.
“Ah! Onii-chan~~!”
“Sih bodoh itu ……”
Yuuko berteriak dengan keras, sangat menarik perhatian. Yuuko meninggalkan tempat duduknya….. Saat ini, dia terjatuh di depan pintu kelas.
Bagian mukanya tertabrak dengan lantai, bahkan membuat orang yang melihat juga ikut merasa sakit.
Berkat ini, sekarang jadi lebih menarik perhatian lagi.
“Mau makan siang bersama?”
“Tidak.”
Sorata menolak Yuuko yang hidung dan dahinya yang memerah itu.
“Kalau tak mau kenapa datang ke sini!”
“Kanna-san dimana?”
“Dia bilang mau ke kantin…. Masih belum balik? Bagaimana ini? Apa terjadi sesuatu yang buruk padanya?!”
“Mungkin karena tidak mau makan siang dengan Yuuko yang bawel.”
“Ah tidak mungkin~~”
Tidak mengerti cara untuk mencurigai orang, sungguh menakutkan.
“Kalau begitu, aku pergi dulu, aku tidak ada keperluan denganmu.”
“A-aku juga tidak ada kali!”
Adikku di belakang terlihat sedang marah dan membuat orang bingung. Sorata dengan cepat meninggalkan kelasnya.
Coba ke kantin sebentar. Ditempat siswa berkumpul untuk membeli roti tidak melihat Kanna. Atau dengan kata lain, menurut sifat Kanna dia tidak akan bercampur di kerumunan seperti ini.
Apa Kanna pergi ke tempat lain?
“……”
Meski merasa tidak begitu yakin, Sorata memutuskan untuk pergi ke loteng sekolah.
Kembali ke koridor, naik lewat tangga. Dari lantai 1 ke loteng sedikit jauh.
Saat sampai di depan pintunya sudah bikin sesak nafas.
Sesampai di loteng sekolah.
Langit yang biru dan luas seperti menyambut Sorata, berhembus angin yang lemah lembut.
Musim seperti ini enak sekali, tidak panas juga tidak dingin.
Terlihat Kanna yang sedang duduk di kursi panjang.
Dia membelakangi Sorata, dan menghadap ke bagian pagar.
Sorata dengan diam-diam mendekati, dan duduk di kursinya, jarak mereka kira-kira muat untuk 1 orang.
Kanna yang sepertinya sadar akan sesuatu langsung memasuki mode waspada.
“Ternyata kau.”
“Boleh duduk disamping mu?”
“Kursi panjang yang disebelah masih kosong.”
Pandangan mata Kanna ubah ke samping, disana masih ada kursi yang kosong.
Sepertinya dia menyuruh Sorata duduk di sana.
Sorata pura-pura tidak sadar, dan mengeluarkan bekal dari tasnya. Itu merupakan bekal yang dia buat sendiri jam 6 pagi tadi.
Memasukkan gulungan daging ke dalam mulut, rasanya sungguh sesuatu.
“Bagaimana dengan keadaan naskahnya?”
“Ternyata kau tipe orang yang tidak bisa melihat situasi.”
“Karena aku berpikir kalau Kanna-san merasa keberatan pasti dengan sendirinya akan pindah ke kursi panjang yang ada di samping.”
“……”
Kanna tidak mengatakan apa-apa dan berdiri, tapi dia tidak bergerak sedikitpun. Setelah beberapa saat, dia duduk kembali. Mungkin karena kalau sekarang pindah ke kursi yang ada di samping itu sama saja dengan menyetujui apa yang dikatakan Sorata, maka tidak jadi pindah.
“Tak bolehkah makan siang sendirian?”
“Apa aku ada bilang tidak boleh?”
“…… Bukankah kau duduk disini hanya karana merasa kasihan padaku?”
“Tapi aku juga sendiri loh?”
“……”
“Kalau keberatan sendiri, kenapa tak balik saja ke kelas dan makan bersama dengan Yuuko?”
“……”
Kali ini Kanna hanya terdiam.
Sepertinya ubah topik akan lebih baik.
Ketika Sorata berpikir begitu, Kanna berbicara.
“Aku tidak suka tempat yang ada banyak orang.”
Dia mengatakan itu sambil makan sandwichnya.
“Itu ……”
“Apa?”
“Jangan melihat aku makan terus, itu sedikit membuat ku malu.”
Sama sekali tidak sadar. Tapi dia tidak menatap Sorata, sepertinya dia memang merasa malu.
“Maaf.”
Sorata meminta maaf, sambil mengambil kroket menggunakan sumpit.
“Situasi tidak begitu baik.”
Kanna berbisik dengan suara rendah.
“Hm?”
“Bukannya kau yang tanya? Tanya aku ‘bagaimana keadaan naskahnya?’.”
Memang benar begitu.
“Maksud mu tidak begitu baik itu apa karena tidak ada perkembangan sedikitpun?”
Kanna mengangguk-anggukan kepalanya.
Tapi bagaimanapun juga mengetahui situasinya ini baru 3 hari yang lalu, jadi seharusnya tidak boleh terlalu berharap ada perkembangan.
“Akhir pekan ini sibuk jadi tidak bisa. Mungkin karena terpikir terus dengan novelnya, terasa sangat menjengkelkan….. Dan kenapa aku ada di sini karena hari ini aku bete.”
Selanjutnya seakan mencoba mencari alasan seperti : “biasanya adikmu keras kepala sekali ingin mengajak ku makan siang jadi aku akan makan siang di kelas.”
“Jadi hari ini juga merasa tertekan?”
“Iya.”
Tatapan mata Sorata seperti ditarik sesuatu, dan menatap ke arah rok Kanna, sepertinya sangat tertarik apa yang ada di dalam rok itu.
“Biar ku beritahu dulu, hari ini ada pakai.”
“Syukurlah.”
“Bisa tidak jangan memandangku dengan tatapan mesum seperti itu.”
“Adakah aku menatapmu seperti itu!”
Cuma terpikir kalau tertiup angin nantinya akan gawat sekali, jadi merasa khawatir. Sorata lanjut makan bekalnya.
“Kenapa Kanna-san ingin menjadi novelis?”
“Aku menjadi novelis bukan karena aku menginginkannya.”
“Begitu ya?”
Sorata berpikir itu sedikit tidak masuk akal kalau dengan ke tidak sengajaan bisa menjadi seorang novelis.
“Itu karena……… ’Hari Minggunya si Cindrella’ itu seperti buku diary.”
“Bukannya novel?”
“Tanpa sadar sudah dimulai. Karena merasa sekolah membosankan, ngobrol dengan teman juga terasa sesak, jadi awalnya cuma ingin curhat lewat buku.”
“Jadi begitu, kau menganggap ini seperti diary.”
“Iya. Awalnya nulis-nulis gitu sudah puas. Tapi disaat sudah ditulis menjadi sebuah artikel, menjadi ketagihan untuk menulis, karena bisa melupakan hal-hal yang tidak nyaman di hari-hari biasa. Seperti saat di sekolah, mengobrol dengan teman, dan di rumah .…..”
“Rupanya begitu.”
“Tapi, setelah beberapa lama menulis, aku merasa tidak nyaman lagi. Karena di halaman manapun tidak ada kejadian yang bahagia, kalau dibaca kembali sedikit menyakitkan. Jadi aku mulai berbohong di diaryku dan menjadi sedikit nakal.”
“Berbohong?”
“Seperti saat memakai make up, pergi ke kota sebelah yang biasanya tidak akan dikunjungi, menikmati saat-saat yang bahagia.”
“……”
“Lalu di saat masih lanjut berbohong aku sadar ini sudah bukan diary lagi. Dan seiring berjalannya waktu, bagian berbohongnya semakin banyak, tapi kupikri tidak apa-apa juga karena tujuannya untuk meringankan stressku.”
Seperti yang Jin bilang. ‘Hari Minggunya si Cindrella’ itu bukan karya yang ditulis karena pengarangnya ingin menulis novel. Novel itu ditulis, berdasarkan kehidupan sehari-hari Kanna dan dicampur dengan kebohongannya. Tapi itu bukan kebohongan yang biasa. Justru itu merupakan harapannya Kanna, buku itu menjadi sangat menarik untuk dibaca. Jadi dengan kata lain, meski kenyataannya itu merupakan sebuah kebohongan tapi itu merupakan sebuah kebohongan yang ingin diwujudkan.
“Dan saat itu, tayangan TV sedang panas-panasnya mengulas soal penghargaan penulis baru.”
“Jadi akhirnya tertarik mengirimkan diarymu ke pihak penerbit?”
Kanna mengangguk-angguk kepalanya dengan pelan.
“Aku tidak mempunyai keinginan untuk mendapatkan penghargaan atau semacamnya, hanya saja aku tertarik pada reaksi orang setelah membacanya. Karena ini sejak awal merupakan sebuah diary jadi aku tak bisa membiarkan orang lain membacanya.”
“Dan akhirnya tanpa diduga mendapat penghargaan?”
Mungkin ini juga bisa dianggap sebagai sebuah bakat. Bukan karena ingin lakukan jadi melakukannya, tapi sekali melakukannya langsung berhasil……. Kira-kira seperti itu.
“Aneh sekali, padahal waktu dulu menulis sangat menyenangkan, juga bisa meringankan stressku ……”
Dan sekarang malah terbalik. Menulis malah membuat Kanna menderita.
Mungkin karena ini sebuah pekerjaan. Jadi Kanna merasa wajib melakukannya dari akhirnya tertekan. Awalnya harusnya menyenangkan tapi sekarang malah menjadi tidak menyenangkan…… Inilah keadaan Kanna sekarang.
Walau tidak tertarik tapi tetap terasa menderita, harusnya bisa memilih untuk tidak melakukan. Tapi aku tidak merasakan perasaan itu dari Kanna yang sekarang.
“Sebelum aku menjawabmu, apa aku bisa bertanya 1 hal padamu dulu?”
“Tanya apa?”
“…… Jangan-jangan kau sudah membacanya?”
Mungkin dia sadar karena sikap Sorata yang tadi, dan Kanna dengan curiga menatap Sorata.
“Iya, aku sudah membacanya.”
“Ha-harusnya beritahu aku dulu!”
Suaranya terdengar panik juga terdengar seperti marah.
“Kalau tahu kau sudah membacanya, pasti tidak akan kubilang itu sebuah diary.”
“Kalau dianggap sebagai sebuah novel menarik kok.”
“Tolong jangan terlalu memujiku.”
Kanna terlihat tidak senang sambil minum jus menggunakan sedotan.
“Mengenai masalah tadi….. Daripada dibilang melanjutkanya, lebih tepat dibilang kalau aku yang ingin melanjutkannya.”
Entah kenapa sekarang Kanna seperti di dalam kegelapan dan terlihat menyedihkan.
Situasi yang sekarang ini agak mirip dengan saat Kanna datang ke kamarku.
“Kalau sudah membacanya maka tidak ada alasan untuk menyembunyikan ini lagi……. Seperti yang tertulis dibuku, orang tua ku cerai saat aku masih kelas 1 SMP, dan hidup dengan mama selama beberapa saat. Tapi tidak sampai 1 tahun mama menikah lagi. Jadi ada papa baru.”
Ini memang cerita yang pernah Sorata lihat di bukunya.
“Sampai sekarang tetap aneh rasanya kalau harus memanggil orang itu papa. Saat sedang bertiga, untuk menjaga suasana tapi akhirnya rasanya menjadi ‘kaku’. Aku tak tahan dan memilih SMA Suimei yang ada asramanya. Aku rasa ini tidak akan masalah bagi rumah selama aku menggunakan royalti dari novel, jadi aku memutuskan untuk berusaha tidak berhubungan dengan mereka…… Jadi setidaknya sampai aku bisa bekerja menghasilkan uang sendiri sekarang aku akan tetap menulis.”
Setelah mendengar keputusannya, jujur saja ini tidak begitu menyenangkan, tapi juga tidak begitu setuju dengan caranya untuk menyelesaikan masalahnya. Jadi pada akhirnya tetap tidak menyelesaikan apapun.
“Mungkin kau akan berpikir aku terlalu banyak mencampuri urusanmu ………..”
“Kalau begitu jangan bilang lagi.”
Tidak di duga Kanna menolak.
Walau begitu, Sorata tetap melanjutkan pembicaraannya sampai akhir sambil memakan bekal buatannya sendiri.
“Aku rasa mau bagaimanapun sebaiknya kau bahas ini dengan orangtuamu dulu.”
“Apa tadi kau tidak mendengar omonganku? Jangan suka mencampuri urusan orang.”
“Maaf tapi aku akan tetap ngomong.”
“Aku memintamu untuk tidak ngomong lagi!”
“Ya sudah. Aku tidak akan bilang apa-apa lagi. Hari ini aku datang menemuimu hanya ingin memberi ini padamu.”
Sorata ingin memenuhi tugasnya dan mengeluarkan lembaran kertas dari tasnya dan memberikannya pada Kanna.
“Apa ini?”
Kanna sedikit curiga.
“Ada seorang senpai yang lulus pada bulan maret dan sekarang sedang kuliah di Osaka. Orang itu sedang belajar menulis naskah, jadi aku memintanya untuk memberikan beberapa saran.”
Kanna menerima lembaran kertasnya. Yang tertulis diatas kertas itu adalah dasar-dasar untuk menciptakan sebuah cerita yang dikirim Jin kemarin.
Kanna dengan perlahan melihat kertasnya 1 per 1 sampai-sampai lupa makan sandwichnya, dan memberikan reaksi seperti ‘rupanya begitu ya’.
Mungkin karena sudah selesai baca, dia melirik Sorata.
Tatapan matanya seperti sedang bertanya kenapa membantu sampai seperti ini? Padahal baru kenal beberapa hari yang lalu.
“Mungkin karena setelah mendengar bagaimana situasimu?”
Padahal Sorata menjawab dengan serius tetapi Kanna seperti sedang mewaspadai sesuatu dan curiga pada Sorata.
“Kalau mau alasan yang jelas, aku pikir sebentar…… Mungkin karena berkenalan dengan adik kelas yang juga merupakan teman dari adik sendiri, yang bisa saja sekarang masih mengikuti pelajaran tanpa memakai celana dalam, jadi merasa tidak tenang, bagaimana? Apa alasan ini diterima?”
“Tolong jujur.”
“Maaf, bagaimanapaun tidak bisa tenang rasanya.”
Walau tahu ini bukan yang ingin di dengar Kanna, Sorata tetap menjawabnya.
“…….”
Ekspresi Kanna menunjukan bahwa dia semakin tidak mengerti.
“Memang orang yang aneh. Pantas aja dipindahkan ke Sakurasou.”
“Penilaian ini sangat sulit diterima. Aku ini wakil orang normal di Sakurasou loh.”
“Aku rasa saat kau sudah mulai tinggal di Sakurasou itu sudah tidak normal lagi.”
“….. Benar juga si. Huh? Jadi aku sangat aneh?”
Tidak, tidak, tidak mungkin. Yang namanya aneh itu harusnya untuk orang-orang seperti Mashiro, Misaki dan Ryuunosuke lebih tepat.
“Maaf.”
“Tidak, tidak perlu minta maaf.”
“Bukan….. Aku rasa sikapku tadi itu tidak baik.”
“Disaat kita sedang menghadapi masalah yang tidak menyenangkan, normal saja jika tidak akan terlalu mempedulikan orang lain.”
Jika kehilangan ketegaran, Sorata juga akan seperti itu. Sensian dan sulit untuk mengendalikan amarah. Situasi seperti itu pada dasarnya sangatlah normal.
Sebaliknya juga, pada saat urusan kita lancar, suasana hati akan menjadi santai dan menyenangkan. Sekarang kenapa Sorata bisa begitu baik di depan Kanna mungkin karena urusan pembuatan gamenya lancar.
“Apa kau tidak marah?”
“Malahan ku pikir kau mungkin akan mengnggapku terlalu mencampuri urusan orang lain, jadi membuat ku tidak tenang.”
Atau dengan kata lain aku merasakan ada sesuatu seperti ‘pelindung diri’ dari Kanna.
“Memang orang yang aneh…… Tapi, apakah tidak apa-apa membantu ku seperti ini.”
Dari nadanya berbicara terdengar seperti ini tidak akan menguntungkan bagi Sorata.
“Kalau bisa menulis lagi, stressku akan hilang, jadi…….. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi di sekolah loh?”
“Jadi aku dianggap orang mesum ya?”
“Bukan gitu maksudku, kalau aku tidak punya kelemahan lagi, aku akan jadi orang yang tahu kelemahanmu, apa tidak apa-apa?”
“Oh, maksudmu hal itu.”
Mungkin tak wajar kalau dibilang tidak apa-apa. Tapi ini juga bukan masalah yang besar jadi biarkan saja.
“Tidak apalah. Soalnya kelemahanku ini masa berlakunya juga akan segera hilang.”
Di lihat mulai dari sekarang, mungkin tidak akan bertahan lama lagi. Karena disaat lukisan Mashiro selesai, akan terjadi sebuah perubahan……. Kalau seperti itu, tidak akan jadi malasah lagi.
“Sorata.”
Saat ini, terdengar suara dari belakang.
“Uwoo!”
Memutar balik kepala, terlihat Mashiro sedang berdiri. Pandangan matanya menuju Sorata dan Kanna. Lalu dia duduk dibagian tengah kursinya, yaitu antara Sorata dan Kanna.
“Ini sedang apa? Kok mirip dengan tempat duduk di kereta?”
“…….”
Mashiro tidak menjawab, membuka bekal yang dibawanya, dan makan dengan perlahan-lahan. Sayurnya sama dengan punya Sorata. Kanna sepertinya sadar akan ini.
“Bisa aku bertanya 1 hal?”
Pandangan Kanna seperti ada maksud lain, dan dia menatap Sorata dan Mashiro.
“Tidak boleh.”
“Apa hubungan kalian berdua?”
“Bukannya tadi aku sudah bilang tidak boleh ya?”
“Maaf, karena rasa penasaranku mengalahkan pikiranku.”
“Jangan tibat-tiba buat kebohongan yang tidak masuk akal! Kalau begitu akan menjadi orang dewasa yang tidak dewasa!”
“Hubungan aku dan Sorata seperti berpacaran dan belum berteman.”
Tadi yang menjawab itu adalah Mashiro. Tapi, rasanya ada sesuatu yang aneh.
“Terbalik kali, hubungannya sedang berteman tapi belum pacaran!”
“Ternyata begitu, aku sudah mengerti.”
Kanna menunjukan ekspresi seakan dia sudah mengerti keadaannya.
“Benarkah begitu?”
Disaat Sorata ingin memperbaiki maksud Mashiro, Mashiro bertanya begitu, jadi kehilangan kesempatan.
“Kalau begitu, aku pergi dulu, kurasa aku akan menggangu kalian berdua.”
Kanna dengan cepat berdiri.
“Bisa tidak jangan begitu peduli pada kami.”
“Tidak kok, ini karena aku sudah selesai makan.”
Dia menunjukan plastik yang sudah kosong pada Sorata.
“Begitu ya.”
“Itu…….”
“Hm?”
“Terima kasih telah memberikan ini padaku.”
Kanna berterima kasih dengan menunjukan lembaran kertas pada Sorata.
“Aku akan menyampaikan terima kasih mu pada Jin-senpai.”
Setelah Kanna menguncapkan salam dengan cepat dia berjalan kembali ke kelas.
“Lalu, Shiina datang ke sini buat apa?”
“Shiho yang beritahu.”
“Beritahu apa?”
“Sorata bertemu dengan seorang wanita di loteng sekolah.”
“Oh, pantasan dari tadi aku merasakan pandangan mata seseorang!”
Balikkan kepala, terlihat Shiho yang sedang menjongkok. Sampai-sampai terdengar suara : ‘ah, mati dah’ dan dengan cepat kembali ke kelasnya.
“Sorata.”
“Kali ini mau bilang hal apa lagi yang akan membuatku pusing?”
“Kroket, sangat enak.”
“Begitu ya. Tapi aku tidak akan memberimu punyaku.”
“Mengapa?”
“Karena itu punyaku!”
“Kalau aku tidak tumbuh juga tidak apa-apa?”
“Sebagai seorang gadis, kurasa kau sudah tumbuh dengan sangat baik!”
Dilihat dari tingginya, tidak diduga dia lebih tinggi sedikit dari Nanami.
“Kalau bagian dada?”
“Tadi kau bertanya apa?!”
“Kalau tidak tumbuh juga tidak apa-apa?”
“Ah~~ bailaklah, ini ku berikan kroketku! Akan tetapi, aku beda dengan Iori, aku tidak fokus pada bagian itu! Mengerti? Sudah Paham ‘kan?”
“……”
Mashiro yang terlihat puas dengan makan kroketnya itu tentu saja tidak mendengar Sorata ngomong, mengunyah, dan menelan, setelah menelan dia menutup tutup bekalnya, dan berdiri.
“Hm, kenapa?”
“Sorata, mau pergi dulu.”
“Maaf, tapi kau ingin kemana!”
“Ruang kelas seni.”

***

Sorata dengan cepat memakan habis bekalnya dan setelah itu Mashiro membawanya ke ruang kelas seni. Mashiro perlahan-lahan mempersiapkan kanvas, dan peralatan lukis.
“Apa harus melukis disaat istirahat siang juga?”
“Tidak boleh kalah dengan Nanami.”
“Apa kau menjawab pertanyaanku?”
Disaat Sorata bertanya lagi, konsentrasi Mashiro sudah fokus ke kanvasnya.
“Dilihat kapanpun, benar-benar konsetrasi yang menakutkan ………”
Membuat orang curiga, apa dia punya tombol untuk membuka tutup bakatnya itu.
Sorata duduk diam menjadi model lukis Mashiro, setelah 15 menit dia tidak tahan lagi, dan mengajak Mashiro ngobrol.
“Hei, Shiina.”
“……”
Tidak dijawab.
Walau begitu, Sorata tetap teringat sesuatu yang ingin ia ditanyakan, jadi tanpa pikir dia langsung bertanya pada Mashiro.
“Bagaimana dengan kuliahmu nanti?”
“Aku tidak akan kuliah.”
Dijawabnya dengan segera.
Pandangan mata Mashiro tertuju pada kanvas, tangannya yang memegang pensil lukis juga tidak pernah berhenti.
“Aku akan menggambar manga.”
Jawaban yang sudah diduga. Jadi Sorata tidak begitu terkejut. Hanya saja Sorata merasa kehidupan SMAnya di Sakurasou, sebentar lagi akan selesai.
Setelah lulus SMA, masing-masing akan mulai berjalan di jalannya sendiri. Jawaban Mashiro tadi, membuatku semakin memikirkan itu.
“Sekalian tanya, setelah lulus SMA hidupmu bagaimana?”
“Gambar manga.”
“Cara bertanyaku salah. Kau berencana tinggal dengan siapa, dan siapa yang akan menjaga dan merawatmu?”
Bagaimanapun tidak mungkin seperti sekarang, seperti Sorata menjaganya saat di Sakurasou.
Tidak diduga, Mashiro malah terlihat santai.
“Dikamar Sorata.”
“Huh?”
“Tinggal bersama dengan Sorata.”
“Hah?!”
“Dijaga Sorata.”
Mashiro menjawab dengan begitu santai.
“Tunggu sebentar!”
“Tak mau.”
“Tidak, tidak, bentar, bentar, tunggu sebentar! Maukah kau pikir kembali apa yang kau katakan tadi? Aku rasa sebaiknya pikirkan dulu! Laki-laki dan perempuan tinggal di 1 atap, bagaimanapun itu tidak boleh!”
“Sekarang juga sama.”
“Sakurasou itu merupakan asrama murid, juga ada orang lain seperti Aoyama dan Akasaka! Jadi tidak hanya berdua! Juga ada orang dewasa yang berjaga seperti Chihiro-sensei, ini dengan itu sama sekali berbeda!”
“Apa kau tidak mau?”
“Bukan masalah mau tidak mau, ini masalah soal etika! Ka-karena yang kau bilang i-itu, itu ma-maksudnya tinggal bersama sebagai suami istri’kan?”
Meski sendiri yang bilang, tapi Sorata dengan kata ‘tinggal bersama sebagai suami istri’ itu merasa malu. Tanpa sengaja mulai membayangkannya, kehidupan bersama Mashiro di masa depan nanti. Entah kenapa, Mashiro menggunakan celemek dan berdiri di dapur. Ini tidak mungkin. Dan bayangan ini juga bercampur dengan pikiran ‘baru menikah’.
“Sudah kubilang tinggal bersama sebagai suami istri!”
Sorata langsung menghilangkan bayangannya itu.
“Apa kau benci tinggal bersamaku?”
“A-aku sudah bilang bukan soal benci tidak benci!”
“Selalu bilang benci itu maksudnya juga menyukai?”
“Lebih salah lagi! Yang namanya hidup bersama itu kan tindakan yang dilakukan 2 orang yang sedang berpacaran atau sudah menikah!”
Sorata dengan serius menjelaskan dan Mashiro menatap Sorata terus.
“…….”
Tatapan matanya yang polos itu, dilihat kapanpun selalu terasa cantik.
“Ke-kenapa?”
Sorata tidak tahan berdiam diri dan bertanya.
“Kalau begitu, ayo berpacaran saja?”
“Huh?!”
Sesaat, Sorata seperti mendengar bahasa asing dan tidak bisa fokus ke sekitarnya …….
“Sorata dan aku …….”
“……..”
“Berpacaran?”
Ini maksudnya itu kan? Biasa Mashiro akan ngomong sembarangan, ini juga bukan pertama kalinya. Jadi Sorata berpikir harus segera menyadarkan Mashiro sebelum dia melanjutkannya ke lebih dalam lagi.
“Berpacaran perlu gandeng tangan bersama. Kencan, berciuman lalu bercinta.”
“A-apa aku akan melakukan itu semua dengan Shiina!”
“……..”
Mashiro memiringkan kepalanya berpikir kenapa Sorata bereaksi seperti ini. Lalu seperti terpikir sesuatu dan membuka mulut. Mashiro yang menampakkan wajahnya dari kanvasnya itu, pipinya mulai memerah, sepertinya sekarang ia baru sadar apa yang dia omongkan dari tadi.
“Shi-Shiina?”
Sorata memanggil namanya, dan dia dengan cepat seperti kembali ke guanya, bersembunyi dibalik kanvas, jadi tidak bisa melihat ekspresinya sekarang ini.
“Hei, heii a-aku memanggilmu! Ka-kau mengerti tidak dengan apa yang kau katakan tadi!”
Sorata juga mulai merasa malu setelah melihat reaksi Mashiro yang tadi. Dan detakan jantungnya mulai bertambah cepat, semakin cepat.
“Kau….. kau………. Itu, aku bilang kau!”
1 kalimat saja tidak bisa dikatakan dengan lancar.
Mashiro muncul dari belakang kanvas dan menatap Sorata, ketika tatapan mata mereka saling bertemu, Mashiro dengan cepat kembali lagi ke balik kanvas.
“A-aku cuma bercanda.”
Dia berbicara dengan suaranya yang hampir habis itu. Tidak biasanya Mashiro berbicara dengan suara gagap, dan mungkin ini pertama kalinya. Suaranya juga terdengar bimbang dan ragu.
Karena ditutupi oleh kanvas jadi tidak nampak ekspresi Mashiro saat ini. Walaupun melihatnya, Sorata juga sudah tidak bisa berpikir apapun lagi dengan otaknya yang sudah beku itu.
Lalu, mereka berdua tidak ngomong apapun sampai bel berbunyi dan dikelilingi oleh suasana yang tegang. 


Bagian 3
3 hari menjelang golden week, pagi hari Sorata menghabiskan waktunya dengan mengikuti pelajaran, sepulang sekolah menjadi model lukis Mashiro diruang seni, sesampai di asrama langsung melanjutkan proses pembuatan gamenya, tidak terasa waktu dengan cepat berlalu.
Sejak kemarin mengajak kencan, Nanami sudah tidak terlalu sering meminta Sorata menemaninya latihan. Ketika tiba dipagi hari perjanjian, Sorata merasa tidak tenang apakah dia benar-benar akan ke taman hiburan. Dan bertemu dengan Nanami di ruang makan saat sarapan pagi.
“Kalau begitu, jam 3 ketemu di stasiun ya.”
Ketika Nanami berkata demikian. Akhirnya tiba juga saat berkencan ---------- Sorata menyadari itu.
Kenapa waktu janjiannya begitu malam, itu karena Nanami kerja di sebuah tokoh es krim dari pagi sampai siang hari. Jadi diputuskan akan kencan setelah dia selesai bekerja.
Sebelum berangkat, Sorata berusaha memfokuskan diri untuk mengatur gamenya. Desain yang inign ditambahkan kemarin pagi sudah ditambahkan. Sekali menyalakan gamenya akan muncul layar awalnya, lalu bisa memilih ‘main sendiri’ atau ‘main berdua’. Kalau memilih ‘main sendiri’ maka kita akan mulai melawan musuh CPU. Dan pemenang akan ditentukan sampai HP salah satu pihak habis, lalu kembali ke layar awal lagi. Dan proses yang dasar sudah selesai.
Dan jika memilih ‘main berdua’, layar akan dibagi menjadi dua, kedua bagian akan di kontrol oleh masing-masing pemain. Kemarin malam, Misaki-senpai masuk ke kamar Sorata dan bermain sangat lama. Walau sendiri yang membuat gamenya tapi Sorata tetap tidak bisa menang melawan Misaki 1 kalipun ……..
“Kenapa Misaki-senpai hebat sekali meski baru pertama kali main!”
“Kouhai-kun sendiri sama sekali belum tahu rahasia dari game inikan!”
“Padahal aku yang buat loh!”
Kira-kira seperti itulah keadaan kemarin.
Hari ini sejak tadi pagi, demi membuat game menjadi lebih menarik, jadi mengatur cara tembak dan kecepatan player berjalan. Yang paling menyusahkan tetap bagian CPU lawan. Mengenai ini, jujur saja Sorata tidak bisa menetukan keputusan akhirnya. Kalau terlalu lemah tidak seru, jika terlalu kuat hanya akan menambah tekanan.
Terus melanjutkan proses pembuatan game, sepertinya sudah hampir jam 3, Sorata mengganti baju dan bersiap berangkat. Saat ini tidak bertemu siapapun. Iori bilang mau pergi ke ruang kelas musik latihan piano jadi dia berangkat lebih awal, dan tidak ada tanda-tanda Ryuunosuke keluar dari kamar. Mashiro juga sepertinya dia sedang fokus menggambar manga, sama sekali tidak ada suara yang terdengar dari lantai 2.
Menaiki kereta api sekitar 1 jam, tiba juga di tempat pertemuannya di stasiun yang dekat dengan laut.
Seperti yang diharapkan dari hari pertama golden week, dimana-mana dipenuhi kerumunan orang.
Ketika turun dari kereta api, karena saking ramainya jadi tidak bisa berjalan dengan lancar. Sorata berusaha maju ke depan, bersusah payah melewati tempat pemeriksaan tiket.
Setelah itu dalam sekejap Sorata sudah menemukan Nanami. Dia berdiri di tiang yang jauhnya kira-kira 10 meter. Entah kenapa di kerumunan ini dengan anehnya Sorata bisa segera menemukan keberadaan Nanami.
Nanami yang tersenyum dengan lemah lembut melambaikan tangan pada Sorata yang semakin dekat, tapi dengan cepat ia memperhatikan sekitarnya lagi mungkin malu terhadap diri sendiri yang sedang melambaikan tangan pada seseorang.
“Maaf, apa kamu sudah lama menunggu?”
“Enggak kok, coba kau lihat sekarang jam berapa.”
Nanami menunjuk jam yang gantung di dinding. Kira-kira masih 5 menit sebelum waktu pertemuannya.
“Ternyata Kanda-kun sangat menepati janji ya.”
Nanami tersenyum dengan gembira, bagian atas memakai kemeja lengan panjang berwarna kuning muda dan bagian bawahnya memakai rok pendek dengan menggunakan legging berwarna hitam, dan di bagian kaki memakai sepatu olahraga yang mudah gerak. Menggunakan tas kecil yang imut, membuat orang mulai memikir bagian dadanya yang terus tumbuh itu. Sorata berusaha untuk tidak melihat bagian itu dan Sorata sadar gaya rambutnya tetap seperti biasa yaitu kuncir kuda.
Nanami seperti menyadari tatapan Sorata yang sedang memperhatikan roller coaster itu.
“Kalau ingin naik roller coaster, bakalan repot kalau tidak mengikat rambut.”
Lalu bertanya lagi :
“Apa lebih bagus diturunkan aja?”
“Karena gambaran saat malam natal masih membekas dibenak, jadi dengan sendirinya menatap. Tetap seperti itu juga sangat bagus kok.”
“Kamu masih ingat soal hari itu ya.”
“Waktu itu kamu memakai jaket berwarna merah dan menggunakan rok yang ringan’ kan?”
Masih ingat waktu itu dia memakai sweater yang dirajut sendiri dan dibagian kaki memakai sepatu bot.
Hari ini tanggal 29 April, kira-kira sudah hampir 4 bulan sejak saat itu.
Sorata tiba-tiba terpikir suatu hal yang penting.
“Ngomong-ngomong, apa hari itu aku membuat sebuah janji dengan Aoyama?”
“Ternyata yang itupun kamu masih ingat.”
“Barusan terpikir tadi, ahahaha ……..”
----- Tunggu audisi bulan februari selesai, aku ingin mengatakan sesuatu.
Meski sudah lupa waktu itu perkataannya gimana, tapi setidaknya masih ingat.
Mungkin karena waktu itu banyak masalah seperti Sakurasou akan dirobohkan, upacara perpisahan Misaki-senpai dan Jin-senpai, dan juga tidak lolos audisi waktu itu jadinya lupa dengan janji yang sudah dibuat.
“Kalau begitu tunggu audisi kali ini selesai baru aku mengatakan itu.”
“Oke, aku mengerti.”
“Tolong buat persiapan dulu sebelum mendengarnya nanti.”
Nanami sengaja mengatakan itu dan membuat Sorata bingung.
“Ah, oke, ayo pergi! Waktu untuk bermain sudah tidak banyak lagi.”
Sorata berjalan bersebelahan dengan Nanami dan menuju ke taman hiburan dengan suasan hati yang menyenangkan.

***

“Entah apa karena terlalu beruntung atau gimana ……..”
Setelah 30 menit, Sorata dan Nanami menaiki roller coaster dan duduk di bagian paling depan.
Kenapa bisa begitu? Alasannya sangat sederhana.
Karena sesampai di taman hiburan, Sorata bertanya :
“Mau bermain apa dulu?”
“Itu.”
Nanami menjawab dengan alasan yang juga sangat sederhana. Karena berdasarkan anime yang sedang dibuat Misaki, cerita dan naskahnya memang begitu.
Menghitung mundur untuk roller coasternya, semuanya mempersiapkan diri, roller coaster juga semakin naik.
Di saat seperti ini sangat tidak baik untuk jantung. Padahal sudah  tahu saat sudah dipuncak akan mulai menurun, membelok, memutar dengan sangat cepat, buat diri menjadi begitu resah, tapi tetap tidak ada cara untuk menghindar.
Merasa mesin ini merupakan mesin yang membuat orang mencapai pada batasnya.
“Kanda-kun, ekspresimu sangat kaku.”
“Aoyama juga.”
“Kamu pasti takut.”
“Aoyama sendiri kali.”
“ ‘Kalau begitu, ayo kita bertanding!’ “
Nanami mengucapkan dialog yang di naskahnya.
“ ‘Aku terima.’ “
Sorata juga mengikuti naskahnya.
“ ‘Orang yang duluan berteriak kalah ya.’ “
“ ‘Orang yang kalah jamin makan es krim.’ “
“ ‘Kalau begitu, sudah diputuskan …….’ “
“ ‘Mari kita mulai.’ “
Saat ini, roller coasternya sudah berada dipuncak.
Keheningan yang sesaat, detakan jantung yang bertambah cepat. Ketegangan sudah pada puncaknya.
Lalu, roller coaster mulai berjalan lagi. Turun naik, tidak bisa menahan takut. Bagi Sorata yang berada dipaling depan, ini lebih menakutkan lagi.
“Uwaaaaaaaaaaaa~~!”
“Kyaaaaaaaaaaaa~~!”
Mereka berdua berteriak bersama-sama seperti yang ada dinaskah.
“Ah~~ pusing sekali …….”
Sorata yang dipermainkan oleh roller coaster duduk di kursi panjang dengan lemas.
“Memanglah~~ tak perlu mengikuti naskah sampai segitunya kali.”
Nanami yang duduk di sampingnya menunjukan ekspresi seakan tidak kuat lagi.
Di dalam animenya, anak laki-laki yang kurang tidur karena belajar terlalu malam, setelah naik roller coaster menjadi pusing.
“Walau aku sangat berterima kasih kamu masih berpikir untuk latihan saat ini.”
“Yang tadi itu bukan akting.”
“Aku tahu.”
Nanami menggunakan tangannya sebagai kipas untuk mengipas Sorata.
2 orang duduk di kursi dan mengangkat kepala ke atas mengamati langit. Karena waktu yang dijanjikan jam 3, sekarang langit sudah mulai memerah. Menarik napas yang dalam dan membuang dengan pelan-pelan.
“Akhir-akhir ini kamu susah tidur’kan?”
“Hm, begitulah.”
Karena proses pembuatan gamenya sangat menyenangkan, merasa tidurpun sangat membuang waktu. Walau sudah tidur tetap bangun lagi dengan cepat.
“Pagi ini juga sepertinya kamu bangun awal……  Jangan-jangan begadang dan tak tidur semalaman?”
“Aku tidur kok. Dari jam 2 sampai jam 5, kurang lebih tidur 3 jam.”
“Maaf.”
“Kok minta maaf?”
“Padahal kamu sendiri sibuk, tapi tetap meluangkan waktu untuk ku.”
Mungkin karena depresi, Nanami melihat ujung sepatunya.
“Itu……. Aoyama.”
“Apa?”
“ ‘Aku merasa kurang enak badan, apa aku boleh berbaring?’ “
Untuk mengganti suasana, Sorata mengucapkan dialog di naskah.
“ ‘Kalau begitu……. Silahkan.’ ”
Nanami menepuk-nepuk pahanya sendiri.
“ ‘Aku tidak menjamin ini akan terasa enak untuk berbaring.’ “
Naskah untuk adegan saat ini hanya sampai disini. Sisanya cuma membayangkan dan malu sendiri berdua.
“Apa benar boleh.”
Angin membawakan suara yang terdengar seperti bisikan.
“Itu….. Anggap saja rasa terima kasihku.”
“A-Aoyama?”
“A-aku sendiri juga malu, ta-tapi coba kau lihat, hari juga sudah mulai gelap.”
Disamping kursi panjang berdiri lampu jalan yang terang.
“Anggap saja latihan seperti berpacaran.”
“Tidak, tidak, tapi ……”
Berbaring di paha cewek yang sekelas, ini terlalu sulit. Bergandengan tangan bahkan tidak bisa menandingi ini.
“I-itu, Kanda-kun.”
Entah sejak kapan Nanami berbicara dengan logat Kansai.
“Orang sudah ngomong sampai begini, mana bisa kau tolak lagi?”
Ekspresi Nanami yang berusaha menahan malu, mengalahkan akal budi Sorata. Sikapnya yang menggemaskan itu, sungguh tak tertahankan dan membuat orang tak berdaya.
“Kamu curang sekali …….”
Dalam waktu dekat ini sepertinya Sorata tidak bisa mengatur kembali suasana hatinya.
“Ke-kenapa?”
“Membuat orang jadi tidak bisa menolaknya.”
“I-iya bah, cepatan dikit ……”
“Be-benaran boleh?”
“Membuat orang merasa lebih malu lagi. Kanda-kun, jangan main-main lagi.”
“Iya, iya, aku mengerti.”
Sorata tidak tahan dan menelan ludahnya.
Dengan pelan-pelan menaruh kepalanya dipaha Nanami yang menggunakan legging.
Sesaat, seluruh badan Nanami gemetar sebentar. Tapi Sorata tidak ngomong soal itu.
“Ya-yang tadi itu bukan gemetar loh kubilang dulu.”
Nanami menjelaskan dengan panik.
“……..”
“……..”
Mungkin karena tidak bisa saling menatap, diantara mereka berdua ada sebuah suasana yang membuat orang tidak tenang.
“I-itu…….. Kanda-kun, bagaimana?”
“A-apanya bagaimana?”
“Hal seperti kesan ……”
“Lebih keras dari pada yang dibayangkan……. mungkin?”
Sorata dengan jujur mengatakannya, Nanami menurunkan kedua tangannya dengan pipinya yang memerah itu.
“Uwa~~ tunggu sebentar! Sekarang pertahananku sangat lemah!”
“Siapa suruh Kanda-kun ngomong yang aneh-aneh!”
Nanami dengam marah memindahkan wajahnya ke samping. Tapi berkat percakapan ini, keduanya menjadi sedikit lebih tenang, Nanami juga menjadi lebih lembut, dapat merasakan suhu tubuh Nanami lewat leggingnya itu, rasanya membuat orang tenang. Perasaan ini tidak dapat dibandingkan dengan saat duduk di kursi panjang tadi.
“Ah~~”
Sorata tidak dapat menahan diri dan mengeluarkan suara yang aneh. Suara seperti ini kira-kira hanya akan keluar saat mandi?
“Kali ini ada apa lagi?”
Nanami sepertinya masih marah.
“Tidak ada, tidak ada apa-apa kok.”
“Mau aku meninjumu sekali lagi?”
“Jangan begitu……. Setelah aku mengatakan ini, jangam marah ya?”
“Kalau Kanda-kun tidak ngomongin hal-hal yang tidak sopan aku tidak akan marah kok.”
“Bagaimana bilangnya ya…… Sepertinya ini akan gawat.”
“Maksudmu?”
“Paha Aoyama……. Benar-benar membuat merasa nyaman”
Padahal memuji dengan tulus, tapi yang di dapat malah sebuah tinju dari Nanami.
“Kan-Kanda-kun, apa yang kau bicarakan!”
“Uwa! Stop! Jangan kuat-kuat!”
Sorata yang merasakan bahaya dengan segera menangkap tangan Nanami. Akhirnya Nanami tenang kembali, tetapi dia melihat ke bawah dan pipinya memerah kembali.
“Ma-maaf, harusnya aku tidak memukulmu.”
Di bagian dahi terasa sedikit sakit.
“Anggap saja aku pantas mendapatkan rasa sakit ini.”
“Ja-jangan ngomong hal seperti itu! Malu sekali rasanya ………”
“Aoyama sendiri yang bertanya dulu’ kan.”
“Hn, memang sih.”
Mungkin karena Nanami tidak tahu mau menaruh tangannya dimana, jadi dia melonggarkan kuncir kudanya.
“Kenapa?”
Sorata menatapi Nanami terus, dan berkata.
“Melihat Nanami dari bawah seperti ini ada yang berbeda rasanya.”
Rasanya beda sekali dengan Nanami yang biasanya. Mungkin karena dia menurunkan rambutnya.
“Jangan lihat lubang hidung ku.”
Nanami menutup hidungnya agar tidak kelihatan.
“Anak perempuan memang hebat.”
“Apa maksudmu?”
Nanami tidak ikat kuncir kuda, tapi menggunakan karet mengikat rambut di belakang lehernya, dan sebagian rambutnya tertiup oleh angin sampai didepan bahunya. Rambutnya yang berayun-ayun, membuat Sorata ingin menyentuhnya.



“Hanya baju dan gaya rambut yang tidak sama, tetapi kelihatan begitu beda.”
Nanami yang sekarang, terlihat seperti seorang kakak yang dewasa.
“Tidak diduga Kanda-kun akan ngomong seperti itu. Jangan-jangan masih pusing, otak juga ikut pusing?”
“Mungkin hahaha......”
Sendiripun curiga apa yang dikatakan sendiri saat ini. Biasanya kata-kata itu tidak akan keluar sendiri.
Sorata terus menatapi rambut Nanami yang berayun-ayun didepan bahunya itu.
“Apa kau ingin menyentuhnya?”
Nanami bertanya begitu.
“Sangat tertarik.”
Sorata memutuskan jawab dengan jujur.
“Kalau begitu, tak akan ku kasih kau menyentuhnya.”
“Apa-apaan itu?”
“Karena aku tidak ingin dibandingkan dengan Mashiro yang rambutnya lembut itu.”
“…….”
Terdengar nama yang tidak diduga, detakan jantung tiba-tiba bertambah cepat.
“Tadi detakan jantungmu bertambah cepat ‘kan?”
Sepertinya Nanami juga sadar akan itu.
“Kau tidak tanya ‘kenapa ada nama Mashiro’ ?”
“Sepertinya aku terlalu meremehkan Aoyama.”
Sorata menatap matanya Nanami. Tidak perlu ditanya juga tahu alasannya.
“……..”
Kali ini Nanami terdiam sejenak.
“Padahal tahu akan itu, tapi Kanda-kun tetap menemaniku hari ini.”
Dia berbicara dengan nada yang rendah, rasa kesepian seolah dapat terlihat dari pandangan matanya.
“Karena masih ada hal yang aku tidak tahu ………”
Termasuk diri sendiri, Mashiro juga Nanami ……..
“Dan juga, aku benar-benar berharap impian Aoyama dapat terwujudkan. Jadi kalau ada bagian yang dapatku bantu, aku pasti akan bantu dengan sepenuh hati.”
“Dibilang seperi itu olehmu, rasanya tidak bisa tenang ya.”
Topik ini juga sudah selesai. Cukup sampai di sini saja topiknya.
“Selanjutnya mau main apa?”
Sorata mengganti suasana hati, bertanya dengan gembira.
“Kanda-kun tidak bisa main yang terlalu ekstrim ‘kan?”
“Tunggu sebentar lagi aku akan bangkit kembali.”
“Naik wahana permainan lain yang akan membuat pusing, lalu meminta ku untuk mengkontribusikan paha lagi. Kau sedang berpikir begitukan? Apa kau begitu menginginkannya?”
Nanami tertawa dengan candaannya.
“Ma-mana ada!”
“Ngomongnya sih gitu, tapi kok kelihatannya kau tidak begitu ingin mengangkat kepalamu?”
Perasaan yang begitu nyaman, memang sulit membuat orang berhenti.
Tapi Sorata juga punya harga diri.
Tetapkan hatinya dan berusaha membangunkan dirinya dari paha Nanami.
Sekarang perasaan sudah lebih baik, tidak begitu pusing lagi.
“Baik, ayo jalan. Selanjutnya apa?”
“Itu mungkin?”
Nanami menunjuk tempat itu menggunakan jarinya, itu merupakan sebuah bangunan gaya barat yang menyeramkan, dengan kata lain itu rumah hantu.
Mereka berdua menunggu sekitar 10 menit di pintu masuknya.
Lalu dibawa kedalam.
“Permisi, ingin yang level berapa (maksud level itu ingin yang seberapa menakutkan)?”
Onee-san yang menjaga kasir itu tersenyum tidak pedulikan suasana disekitar. Apa dia tidak takut sama sekali?
Ada 3 level.
Mungkin karena banyak keluarga yang datang bermain ini, jadi dibagi menjadi 3 level.
“Kanda-kun yang pilih aja.”
“Aoyama, apa kau memang menyukai yang beginian?”
“Tenang aja, enggak akan begitu menakutkan kok.”
Apa benar begitu? Reaksi Nanami membuat Sorata bingung.
“Kalau Kanda-kun takut, pilih yang 1 bintang aja.”
Settingnya itu semakin banyak bintang maka semakin menakutkan.
Jujur aja tidak begitu sering ke rumah hantu…… Atau dengan kata lain aku sudah lupa kapan terakhir kali pergi ke rumah hantu, jadi Sorata juga tidak begitu yakin apa dia takut atau tidak.
“Kalau begitu, berikan kami yang paling menakutkan.”
Saat naik roller coaster Sorata memalukan dirinya sendiri, jadi dengan kesempatan ini, dia ingin mengembalikan harga dirinya dengan memilih yang paling menakutkan.
“Baik, aku mengerti~~! Karena berdua totalnya 1000 yen.”
2 orang masing-masing mengeluarkan 500 yen dan membayar.
“Kalau begitu, silahkan masuk.”
Pintu yang berada disamping dengan berat terbuka.
Dua orang berdampingan berjalan masuk.
Lalu pintu yang ada dibelakang mereka tertutup dengan tiba tiba.
“Uwo!”
“Akh!”
Mereka berdua langsung dikejutkan dengan suara yang tiba-tiba ini.
Yang berada di depan Sorata dan Nanami adalah jalan yang gelap.
“Kalau begitu, ayo jalan.”
“Hn, hn.”
Kira-kira setelah berjalan 3 langkah Soraat merasakan ada sesuatu yang memegang lengannya. Itu adalah Nanami.
“Aoyama-san?”
“A-aku bukannya takut, cu-cuma kalau ada sesuatu keluar dengan tiba-tiba mungkin aku akan terkejut?”
“Itu bukannya berarti takut ya?”
Disaat belum selesai ngomong, lampu yang ada dibelakang Nanami tiba-tiba nyala. Seorang pria dengan tubuh yang penuh luka muncul dengan tiba tiba.
“Uwaaaaaaaaaa!”
Setelah menakuti Sorata, lampu dengan segera lenyap, pria dengan tubuh penuh luka menghilang dalam kegelapan.
“Kanda-kun, kau terlalu lebay.”
“Ta-tadi itu dibelakangmu!”
Nanami memutar kepalanya ke belakang yang ditunjuk Sorata. Tapi disana sudah tidak ada siapapun.
“Perlu aku menggandeng tanganmu?”
Disaat Nanami bertanya begitu, kali ini pria dengan tubuh penuh luka kembali muncul lagi dalam kegelapan.
“Huwaaaaaaaaaaaaaa~~!”
“Kyaaaaaaaaaaaaaaaa~~!”
Dan dengan cepat menyembunyikan diri lagi.
“…….”
“…….”
Mereka berdua dengan cepat mewaspadai. Setidaknya sudah tidak terasa kehadiran pria dengan tubuh penuh luka itu.
“Hm, Aoyama.”
“Ada apa? Kanda-kun.”
“Kita bergandengan tangan saja.”
“Hn, hn.”
Setelah itu, mereka berdua berteriak terus, dan akhirnya sudah tiba di luar. Rasanya seperti sudah mau mati saja.
“Rumah hantunya sungguh menakutkan.”
“Hn….. aku belajar sesuatu dari perjalanan kali ini.”
Mereka berdua masih bergandengan tangan dengan erat sampai sekarang.

***

Sorata dan Nanami dengan cepat meninggalkan rumah hantu gaya barat itu dan dengan santai berjalan menuju ferris wheel.
Matahari sudah sepenuhnya turun, masing-masing wahana permainan dihiasi lampu yang berwarna warni. Hiasan ferris wheelnya sangat indah.
“Itu ya?”
Di jalan utama menuju ferris wheel ada bermacam-macam maskot. Sepertinya sekarang sedang mengadakan pertunjukan maskot imut.
Sepertinya bisa menjadikan ferris wheel sebagai latar belakang dan foto dengan maskot yang disukai.
Ada 2 maskot dengan bentuk beruang imut mendekati Sorata dan Nanami. Salah satunya memakai pita, itu menunjukan dia yang betina sepertinya.
2 beruang imut itu sepertinya mengajak Sorata dan Nanami foto.
“Maksudmu ingin membantu kami foto?”
2 beruang imut itu mengangguk-angguk kepala. Tapi sepertinya sebenarnya mereka sedang membungkukkan badan dan memberi salam ……..
“Ternyata Aoyama ngerti ya apa yang mereka bicarakan.”
Disaat berbicara begini, beruang imut itu menunjukankan sikap berciuman. Sorata dan Nanami awalnya cuma biasa-biasa tapi ternyata ada sepasang kekasih yang sedang berciuman, dan beruang imut itu juga sepertinya menujukan sikap tangan seperti ‘silahkan’, itu membuat mereka berdua panik sejenak.
“Bukan, kami bukan sepasang kekasih!”
“Ka-kami bukan sepasang kekasih!”
Saat ini, 2 beruang imut itu menutup mulut mereka dengan tangan seperti mengatakan ‘ah jangan malu’. Beruang jantan menunjuk Sorata yang sedang menggandeng tangan Nanami, dan mengolok-olok mereka berdua.
Disaat bersamaan mereka berdua langsung melepaskan tangan masing-masing, dan melambaikan tangan untuk menjelaskan bukan begitu.
Mungkin karena sudah tidak bisa dipaksakan, mereka berdua menyerah. Tapi disaat sebelum meninggalkan mereka, beruang jantan itu menepuk bahu Sorata seperti sedang memberikan Sorata semangat.
“Mungkin dia ingin aku lebih semangat lagi. Apa aku terlalu banyak pikir?”
Beruang jantan memutar kepalanya dan menunjuk ferris wheel yang ada di depan, lalu mengangkat jempolnya ke Sorata…… Tapi karena tangan beruang hampir bulat, jadi tidak nampak begitu jelas.
“Kami memang ingin naik ferris wheel.”
Karena inilah, kami berjalan menuju arah ini.
“Sepertinya antri di sana.”
Seperti yang diharapkan dari ferris wheel, banyak orang yang mengantri demi naik ini. Melihat papan iklannya, di atas tertulis tunggu sekitar 15 menit.
Melihat dari bawah sampai ke atas menunjukan seberapa besar ferris wheel ini. Lampu yang terus berubah warnanya seperti sedang menyaksikan kembang api.
“Hebat ya.”
“Iya.”
Pasangan kekasih kebanyakan mengobrol begini sambil menunggu.
Waktu semakin berjalan dan akhirnya sampai juga giliran Sorata dan Nanami di set ke tiga.
“Ah~~ sayang sekali!”
Pasangan kekasih yang berada di depan Sorata dan Nanami sepertinya sedang mencemaskan sesuatu.
“Syukurlah.”
Nanami berbisik disamping Sorata dengan suara yang kecil.
Staff wanita yang ada di depan mengantar pasangan kekasih yang di depan ke dalam gerbong ferris wheel.
Akhirnya tiba juga giliran Sorata dan Nanami.
“Selamat untuk kalian berdua. Ini merupakan gerbong yang menandakan kebahagiaan loh.”
Staff itu dengan senang mengatakannya.
Gerbong yang berada didepan mata itu berwarna ungu. Walau gerbong warna merah, biru, kuning ada sekitar 10, tetapi gerbong yang berwarna ungu hanya ada 1.
“Silahkan masuk.”
Nanami masuk duluan, Sorata menyusul masuk. Pintu dari luar ditutup dengan rapat.
Mungkin karena sedang bergerak jadi dibagian kaki ada perasaan sedang berjalan diatas udara.
Sorata dan Nanami duduk berhadapan.
Diatas tertulis maksimal untuk 8 orang, jadi di dalam lumayan luas. Kalau Cuma berdua, rasanya membuat orang memikirkan sisa ruangnya.
Ketinggian naik sedikit demi sedikit. Kira-kira 1 putaran itu 15 menit, jadi kalau mau mencapai  bagian tertinggi kira-kira masih perlu menunggu beberapa saat.
“Maksud tadi gerbong yang menandakan kebahagiaan itu…… Kalau dinaiki pasangan kekasih, katanya akan memperoleh kebahagiaan.”
Sebelum Sorata bertanya, tatapan mata mereka saling bertemu dan Nanami pun menjelaskan.
“Begitu ya.”
“Karena untuk memperoleh gerbong ini kesempatan yang kita dapatkan hanya 1 per 60, jadi sangat sulit untuk mendapat gerbong ini.”
“Benar juga.”
“Akhir-akhir ini sepertinya aku beruntung….. Jika hal itu berkaitan dengan Kanda-kun.”
“Aku?”
“Kita sekelas lagi’ kan.”
“Iya.”
“Dan juga, duduk bersebelahan lagi.”
“Lalu hari ini dapat lagi gerbong kebahagiaan?”
“Hn.”
Di saat sedang mengobrol, gerbong yang berputar di arah jam 6, berpindah ke arah jam 9.
Pemandangannya sangat indah. Tidak peduli itu hotel yang ada di sekitar, kantor disekitar atau atraksi lain yang dihiasi lampu berwarna warni, menghiasi jalan menjadi menarik, semua itu sangat indah, bagaikan sebuah lukisan, masing-masing ada warna nya sendiri.
“Memang awal pikirnya akan indah pemandangannya, tapi tidak diduga akan seindah ini ………’
Nanami yang menempel di kaca jendela itu, memuji pemandangan yang indah itu.
“Iya, memang sangat indah, tapi …….”
Benar, memang sebuah pemandangan yang indah. Walau merasa begitu, tetap ada sebuah masalah.
“Tapi ketinggian ini juga diluar dugaan, lumayan menakutkan ini!”
Kalau cuma memperhatikan pemandangan yang di depan itu memang bagus, tapi kalau perhatikan ke bawah itu menakutkan sekali.
“Walau aku juga merasa begitu, tapi suasana sedang bagus, ditahan bentar saja.”
Nanami mengeluarkan suara seperti tidak tahan dan memegang pipinya.
Sorata merasa sedikit tidak enak dengan Nanami.
“Ini pertama kalinya aku naik ferris wheel. Jadi ini sedikit berbeda dengan yang aku bayangkan …….”
Awalnya berpikir ini hanya indah, tetapi menakutkan juga ternyata. Karena tidak bisa turun dengan tiba-tiba ditambah saat berhenti diudara itu lumayan lama bagi beberapa orang, ini lebih menakutkan dari wahana permainan lain ……
Ketinggiannya semaki naik.
Menurut arah jam, mungkin sekarang sudah lewat dari posisi arah jam 10.
“ ‘Apa aku boleh duduk disamping mu?’ “
Tidak menunggu Sorata menjawab, Nanami berdiri. Gerbongnya bergoyang sejenak.
Nanami dengan hati-hati ke samping Sorata, dan duduk di samping Sorata, menekan Sorata di samping.
Sorata mulai menguncapkan dialognya.
“ ‘Aku belum menjawab’kan?’ “
“ ‘Kalau dipikir kembali, sebenar tidak perlu tanya kau bukan?’ “
“ ‘Memangnya kenapa?’ “
“ ‘Karena tempat duduk di samping laki-laki itu sejak awal memang milik pacar perempuannya’ kan?’ “
“ ‘Benar juga.’ “
Walau tempat ini terlalu luas bagi 2 orang, tapi di dalam gerbong yang luas ini, suara mereka berdua terdengar jelas sekali.
Di ganggu suasana akting, Sorata mulai tidak bisa membedakan yang mana merupakan kenyataan dan mana yang akting.
Walau di dalam otak percakapan yang tadi jelas hanya sebuah latihan, tetapi Sorata tidak bisa membedakan kalimat yang diucapkan Nanami yang sedang akting, baginya ini seperti suara yang masuk ke dalam hati.
“ ‘Hn, ayo berciuman.’ “
Dialog yang ini Sorata panik. Sorata mulai ragu-ragu di dalam hatinya. Otaknya mulai tidak bisa berpikir, tubuh mulai memanas. Selanjutnya harusnya giliran Sorata mengucapkan dialog, tapi dialog yang seharusnya tersimpan dalam otak itu tiba-tiba menjadi putih. Sorata tidak tahu harus mengucapkan apa.
“Uwa, maaf, berhenti sebentar dulu!”
“Kanda-kun?”
“Maaf banget….. Yang tadi itu ………”
Di saat Sorata ingin mengatakan situasi yang tadi tidak terlalu bagus, tetapan mata Sorata dan Nanami saling bertemu.
“Jangan-jangan kau menganggap ini sungguhan?”
“A-apa yang kau bicarakan!”
“Matamu melihat kemana-mana loh.”
Tidak tahu mau melihat kemana, walaupun melihat pemandangan yang indah, tapi tetap merasa tidak tenang.
“Ti-tidak ada apa-apa. Karena selanjutnya merupakan dialog berciuman, jadi merasa sedikit malu.”
Kalau tidak menganggap begini, akan menjadi susah nanti.
Sorat mencoba menarik napas dalam dalam.
Disaat dia sedang membuang panasnya, Nanami mengatakan dialog yang sama lagi.
“Hn, ayo berciuman.”
Ini tidak seperti sedang berakting.
Nanami dengan caranya snediri mengatakan dialog tadi.
Sorata merasa begitu.
Walau ingin mencoba bilang apa kau sedang bercanda tetapi Sorata tidak dapat ngomong apapun.
Karena tatapan Nanami ke Sorata itu menandakan bahwa dia sedang serius.
Suara seperti sedang menghilang disekitarnya.
Hanya dapat mendengar detakan jantung sendiri.
Tidak, masih ada 1 suara. Sepertinya itu suara detak jantung Nanami.
Mata Nanami terlihat sedikit lembab, dan dia semakin mendekatkan wajahnya.
“A-Aoyama, tenangkan dirimu! Walaupun untuk latihan, tapi ini sudah keterlaluan!”
Tiab-tiba sadar diri, Sorata sudah memegang bahu Nanami untuk menjaga jarak, mereka berdua memutar wajahnya di saat bersamaan. Kalau menatap terus wajah Nanami akan gawat seperti akan ditariknya. Melihat pemandangan malam saja, tenangkan diri dulu. Sorata memberitahunya pada dirinya sendiri, tapi tidak sadar apa yang sedang dilihatnya sendiri, dan detakan jantungnya bertambah cepat terus.
“Maaf, Kanda-kun. Sepertinya aku sudah keterlaluan.”
Nanami mengeluarkan suara yang gembira, seperti sedang menjelaskan yang tadi itu hanya bercanda.
“Memanglah, yang tadi itu sama sekali tidak lucu loh ………”
Sorata dan Nanami sudah saling mengetahui perasaan masing-masing, ini tidak bisa dianggap sebuah candaan antar teman.
“Maaflah, aku minta maaf. Putarlah kepalamu ke sini.”
Walau Sorata masih melihat pemandangan diluar gerbong, tapi setidaknya hatinya sudah agak tenang, dan dengan protes memutar kepalanya menghadap ke Nanami.
“Aku bilang Aoyama kau sama sekali ……….!”
Baru ngomong sampai tengah.
Ada sebuah benda yang lembut, memblokir mulut Sorata.
Itu merupakan bibir Nanami.
Yang ada di depan mata itu merupakan wajah Nanami yang sedang menutup kedua matanya.
Tangannya menggenggam bagian dada Sorata dengan erat.
Padahal cuma 5, atau 6 detik. Tapi bagi tubuh ini sepertinya tidak hanya beberapa detik, ini seperti dibekukan selama 1 menit.
Tanpa sadar, gerbong ferris wheelnya sudah melewati posisi arah jam 12.
Nanami menggunakan sedikti tenaga di depan dada Sorata, perasaan menempel itu semakin menjauh.
“Tidak akan melakukan ini karena bercanda. Walaupun hanya latihan naskah, juga tidak akan lakukan sepert ini …………..”
Nanami mengatakan dengan suara yang sangat kecil, berpindah tempat duduknya ke seberang.
“…….”
“…….”
2 orang itu hampir lupa untuk bernapas. Begitu sunyi.
Yang pertama berbicara itu Nanami.



“Kanda-kun.”
Cara berbicaranya kembali ke logat Kansai.
“…….”
“Aku sudah memutuskan, setelah audisinya selesai, aku akan meninggalkan Sakurasou.”
“Huh?”
Untuk Sorata yang masih belum bisa tenangkan diri, ini merupakan serangan ke 2.
“Sebelumnya Akasaka-kun sudah pernah bilang ‘kan? Sakurasou bukanlah tempat yang kau ingin tinggal, dan bisa tinggal begitu saja. Tapi aku malah ‘ingin terus tinggal di Sakurasou’. Karena aku menyadari itu, aku merasa harus meninggalkan Sakurasou. Bagaimana bilangnya ya? Bagiku Sakurasou sudah seperti sebuah tempat untuk memanjakanku.”
“……”
“Aku sudah membicarakan ini dengan sensei. Untuk bisa melangkah lebih depan lagi, aku memutuskan untuk meninggalkan Sakurasou.”
“……”
“Jadi sisa waktu ku tinggal di Sakurasou sudah tidak banyak lagi.”

Di dalam pandangan mata Sorata yang terkejut ini, dengan menyaksikan pemandangan malam sambil bergumam ‘sungguh cantik’ wajah Nanami dari samping. Hanya bagian samping wajahnya.