OWARI NO SERAPH
JILID 1 PROLOG
TENTANG MUSIM SEMI DI DUNIA INI
Saat kecil, aku selalu
beranggapan bahwa impian macam apapun pasti akan terwujud.
Impian seperti, bisa
bersama dengan orang yang disukai, mendapatkan apa yang dinginkan, dan hidup
dengan penuh tawa setiap harinya.
Dan aku merasa bahwa hal
itu akan mudah terwujud.
Dan aku benar-benar merasa
bahwa hal itu, akan sangat, teramat mudah terwujud.
“Hei, Guren.”
“..............”
“Hei, Ichinose Guren.”
“Ya ...?”
“Em ... kita ini ....”
“............”
“Saat kita menjadi dewasa
..., anu, kita ini, apa bisa kita menikah, ya ...?”
“..........”
“Yah, seperti saat sekarang
ini. Apa kita bisa selalu bersama, ya ...?”
Di atas hijaunya
rerumputan.
Di bawah langit biru yang
luas tanpa satupun awan.
Seraya menggenggam
tanganku, gadis yang berada di sampingku berkata demikian.
Dia berada sangat dekat
denganku, hingga aku bisa mendengar napasnya. Aku suka suaranya. Aku suka suara
gadis itu. Aku suka suara detak jantungnya. Ya, dulu, aku suka
semua hal tentangnya.
Namun, tanpa menatapnya,
aku menjawab.
“Tidak mungkin.”
“Kenapa?”
Suaranya, sedikit bergetar.
Kemudian aku berkata lagi.
“Kau mengerti, kan?”
“Karena masalah ...
keluargaku?”
“...... Aku berasal dari
keluarga cabang. Sedangkan kau, berasal dari keluarga inti, dan merupakan
penerus utamanya. Kita ini sangat tidak cocok satu sama lain.”
“Tapi,” ujarnya.“Tapi itu,
kan, tidak ada kaitan—“
“Ada, lah.”
Aku memotong perkataanya.
Kemudian dia terdiam. Ah,
tidak. Mungkin dia menangis. Karena aku tahu, dia juga memahaminya. Ya, dia
benar-benar memahaminya. Karena itulah, napasnya sedikit emosional. Dan, dia
pun mengenggam tanganku dengan erat, dan sangat erat.
Dan bersamaan dengan itu,
dari kejauan terdengar suara-suara bergema.
“Itu dia!”
“Itu nona Mahiru!”
“Lagi-lagi bocah dari
keluarga Ichinose! Apa kau yang menyeret nona Mahiru keluar?!”
“Apa yang kau rencanakan?!
Dasar keluarga cabang rendahan!”
Aku, mengangkat kepalaku.
“Mereka menjemputmu.”
Kataku kepada gadis
berambut abu-abu yang berada di sampingku.
Dan ternyata dia memang
menangis. Sambil mengenggam tanganku dengan sangat erat, dia berkata,
“Aku ... tidak ingin
berpisah dengan Guren!”
“.................”
“Aku ... aku ....”
Namun, aku tak lagi bisa
mendengar suara gadis itu. Tapi, itu bukan karena dia berhenti berbicara.
Melainkan karena aku tengah
dipukuli.
Para orang dewasa datang,
lalu memukuliku.
“Hentikaaaaaaaaaaaaan!”
Gadis itu berteriak. Namun,
suara teriakannya tidak didengar oleh para orang dewasa itu.
“Sadari posisimu! Dasar
bocah sialan!”
“Bunuh saja! Dia ini hanya
Ichinose si keluarga cabang! Sampah takdibutuhkan!”
“Bunuh! Bunuh!”
Sambil berteriak demikian,
mereka terus-menerus memukuliku.
Sambil terus menerus
dipukuli, aku melihat ke arah gadis itu yang menangis dengan tatapan kosong.
“Mahiru” namanya. Nama dari
gadis itu.
Bagiku yang terlahir dari
keluarga rendahan, dialah sang Matahari[1]-
“Hentikan! Kumohon! Kalian
semua! Hentikan!”
Saat itulah, aku kehilangan
kesadaran.
Pantas jika saat itu aku
kehilangan kesadaran karena menerima pukulan keras bertubi-tubi.
Bau darah pada besi.
Langit biru yang luas
bagaikan takberujung.
Padang rumput yang
menenteramkan hati.
Di situlah aku kehilangan
kesadaran, dan berpikir.
Walaupun saat aku masih
kecil, aku benar-benar beranggapan jika impian macam apapun, pasti akan
terwujud.
Impian seperti,
menghabiskan waktu dengan orang yang kusukai, mendapatkan apa yang kuinginkan,
dan hidup dengan penuh tawa.
Meskipun, aku merasa bahwa
hal itu akan mudah terwujud.
Meskipun, aku
benar-benar merasa bahwa hal itu, akan sangat, teramat mudah terwujud.
“ .... kekuatan,”
Gumamku sambil terjatuh.
Seraya mengepalkan tanganku
dengan kuat, aku berujar,
“ .... untuk mendapatkan
apa yang kuinginkan, kekuatanku ... masih belum cukup.”
Lalu, aku mengangkat
kepalaku.
Dan gadis itu telah ditarik
pergi.
Seraya menangis, dia
menatap kearahku.
Dan sepertinya dia
berkali-kali dan berkali-kali meminta maaf.
Maafkan aku.
Semua ini salahku. Maafkan
aku.
Padahal sebenarnya, dia
tidaklah bersalah.
Padahal sebenarnya, akulah
yang bersalah. Ya, aku si makhluk rendahan yang tidak memiliki kekuatan.
“ ............ “
Aku menatap hal itu, dan
mengulurkan tanganku.
Yang mengarah kepada
kehampaan.
Yang mengarah kepada sang
Matahari.
Yang mengarah kepada
Mahiru.
Seraya berpikir,sebenarnya,
apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan semua yang kuinginkan? Aku
....
¨
Dan tanpa kusadari, hari
dan bulan telah berlalu selama 10 tahun.
-------------------------------------------------------
Catatan Kaki
1. Kembali ke atas ↑ Mahiru: Arti nama Mahiru
bisa dimaknai sebagai Siang Terang benderang
0 Comments
Posting Komentar