CINDERELLA YANG MELUPAKAN CELANA DALAMNYA

Bagian 1
Sudah dua minggu lewat sejak semester baru, bulan April tanggal 21 hari Kamis …. Jam istirahat siang hari itu, Sorata dipanggil oleh Koharu-sensei.

“Kalau begitu,  sekarang mari kita mulai interview, Kanda-kun.”

“Senang bertemu denganmu.”

Di gedung kosong lantai satu yang tidak dipakai, dua meja yang disusun saling berhadapan, Sorata dan Koharu-sensei memulai interviewnya.

Di kelas yang luas, hanya ada Sorata dan Koharu-sensei. Karena hanya berdua suasanyanya jadi sepi. Terdengar suara para siswa yang sedang bermain basket.

“Hn~ Tujuan Sorata setelah lulus SMA adalah Universitas Suimei Jurusan Seni, Departemen Media Art?”

“Benar.”

“Apa pernah berpikir bagaimana kalau gagal masuk?”

“Kalau gagal aku berpikir untuk mengikuti ujian biasa.”

“Begitu. Pantas di kertas survei cuma tertulis satu.”

Koharu-sensei menganggukkan kepala dan melihat berkas-berkas yang ada.

“Hn~ Aku juga sudah melihat tujuan murid lain, dan jika dilihat dari nilai Kanda-kun, kira-kira hanya 5% kemungkinan berhasil masuk ke jurusan seni. Kalau nanti peminat jurusannya sedikit, mungkin kamu akan diterima. Yah, kira-kira seperti itu.”

Kalau harus diterima lewat hasil nilainya, yah, apa boleh buat.

“Walaupun begitu, kamu tetap tidak boleh menyerah, dan perbaiki nilai-nilaimu yang ada. Kamu tahu kan nilai semester 1 ini akan mempengaruhi diterima atau tidaknya nanti?”

“Ya.”

“Akan lebih baik kalau kamu meningkatkan nilaimu. Juga ingat, jangan suka tidur saat pelajaran.”

Pandangan mata Koharu-sensei seperti memperingatkan ‘terutama di pelajaranku’.

“Sekalian bertanya, kamu ada persiapan untuk ujian?”

“Tidak ada.”

“Bersiap-siap saja dulu. Walaupun hasil rekomendasinya akan keluar saat akhir semester satu, tapi sebaiknya mulailah belajar saat ini, kalau tidak nanti akan terlambat.”

“… Benar juga.”

“Nih, untukmu.”

Koharu-sensei memberi Sorata setumpuk kertas yang terdiri dari sepuluh lembar lebih, Sorata menerimanya dan bertanya: “Apa ini?”

“Ini soal ujian masuk departemen media art tahun lalu. Coba kamu kerjakan , mungkin akan membantu.”

“….”

Ada apa ini, kenapa Koharu-sensei terlihat bisa diandalkan.

“Kenapa memandangku terus? Apa mau menyatakan cinta? Jangan-jangan sejak kelas satu kamu sudah menyukaiku? Tiap malam memimpikanku?”

Pokoknya , kesampingkan dulu soal Koharu-sensei yang bercanda.

“Kalau sensei lagi serius, bisa diandalkan juga.”

“Jadi kamu jatuh cinta sama sensei?”
“Tidak pernah sekalipun!”

Niatnya ingin memuji sensei, tapi karena sifatnya yang begitu, tidak jadi.

“Ah, Kanda-kun membosankan.”

Koharu-sensei mengeluarkan suara yang manja.

“Cuma permainan percintaan antara guru dan murid yang terlarang kok, ikut main sebentar lah. Kadang-kadang Mitaka-kun menemani sensei bermain loh.”

“Jangan membandingkanku dengan si Maharaja itu … kalau begitu, interviewnya sudah selesai kan?”

Topik tiba-tiba menuju ke arah yang aneh.

“Sensei serius, Kanda-kun.”

Raut muka Koharu-sensei tiba-tiba berubah menjadi serius, seperti menyuruh Sorata mempertimbangkan universitas lain untuk berjaga-jaga …. Tapi, Sorata sudah memutuskan, selain Universitas Suimei Jurusan Seni dia tidak akan kemana-mana.

“Apa kamu sedang berpacaran dengan Shiina-san?”

“Bosan hidup ya?”

Sorata lupa kalau lawan bicaranya Koharu-sensei.

“Tidak ya? Bukannya kalian selalu kencan di ruang kelas seni setiap sepulang sekolah?”

Itu cuma menjadi model melukisnya.

Walau sudah berjalan selama sepuluh hari lebih dan tiap hari datang ke ruang kelas seni, Sorata mengira sepertinya benar-benar membutuhkan waktu satu bulan untuk menyelesaikan lukisannya. Soalnya Mashiro keras kepala tidak mau menunjukkan lukisannya sebelum dia selesai, jadi Sorata pun tidak tahu sudah sampai mana.

Saat selesai menjadi model hari selasa, Sorata ingin mengintip hasil lukisannya, tapi …

“Tidak boleh lihat.”

Mashiro bicara begitu sambil mengacungkan kuasnya, membuat Sorata terkejut.

“Tidak boleh lihat sebelum selesai.”

“Apa kau tidak bersyukur karena aku menjadi model melukismu?”

“Pokoknya belum boleh lihat.”

“Kalau kulihat bagaimana?”

“Aku akan menghabisi Sorata saat …”

“Saat?”

“Saat Sorata tidur.”

“Waktu saat kau melakukannya membuatku takut, bisa membuatku tidak bisa tidur malam ini!”

Sepertinya dulu juga pernah ada percakapan seperti sekarang.

… Dan aku tidak pernah lihat reaksi Mashiro seperti sekarang ini.

Dia melukis dengan sangat serius, dan Sorata merasa lukisan Mashiro yang saat ini sangat berarti.

“Kalau sudah selesai apa kau akan membiarkanku lihat?”

“Kalau sudah selesai, aku akan membuatmu menjadi pertama yang melihatnya.”

“Kalau begitu, janji ya.”

“Janji.”

Kali ini lukisan seperti apa ya? Sorata mulai penasaran. Lukisan Sakurasou yang sebelumnya Mashiro lukiskan, dipenuhi oleh perasaan Mashiro. Setiap memikirkan itu, Sorata yang tidak ingin melihatnya juga menjadi ingin, yah, perasaan itu masing-masing 50%.

Jadi setiap berduaan dengan Mashiro setelah pulang sekolah, membuat perasaan Sorata menjadi bingung dan gugup.

Mungkin saat lukisannya selesai, akan menjelaskan apa arti dirinya di pikiran Mashiro.

“Kalau begitu, Kanda-kun.”

Koharu-sensei meneriakkan nama Sorata, dan Sorata pun mulai fokus ke pembicaraan dengan Koharu-sensei.

“Ada apa?”

“Apa kau sedang berpacaran dengan Aoyama-san?”

“Bosan hidup?”

Interview macam apa ini.

“Bukannya kalian sering menukar surat saat pelajaran?”

“Hn.”

Tidak disangka akan diketahui oleh Koharu-sensei. Padahal isinya biasanya hanya ‘makan malam nanti apa ya?’, atau ‘di kulkas masih sisa apa ya?’, atau ‘nanti pulang ke distrik pembelanjaan beli daging yuk.’.

Tentang Nanami, Sorata juga hampir tiap hari menjadi lawan latihannya. Walau Nanami terlihat semakin hebat, tapi sepertinya dia tidak sadar.

Juga saat ini, Sorata sudah mulai membuat game, jadi jadwal dalam sehari itu lumayan ketat.

Saat bangun pagi mengurus Mashiro, pergi ke sekolah, dan belajar di sekolah sambil memikirkan hal hal tentang pembuatan game; saat sepulang sekolah menjadi model melukisnya Mashiro; saat pulang ke Sakurasou menjadi lawan latihannya Nanami; habis itu memanfaatkan waktu yang masih ada untuk membuat game.

Program utama yang disiapkan Ryuunosuke untuk Sorata sangat gampang, bahkan Sorata sekalipun bisa membuat game berdasarkan itu.

Hari pertama sudah bisa menampilkan karakter yang dimainkan oleh player di layar. Cuma hasil sekecil itu sudah bisa membuat Sorata merasa sangat senang. Untuk memperjelas karakter yang ada di dalam layar yang hitam itu, Sorata masih belum bisa.

Hari kedua sudah bisa mengotrol karakter ke kiri, kanan, atas, dan bawah. Seperti orang bodoh yang hanya bisa bergerak tetapi belum bisa menembakkan apapun …. Hari ketiga sudah bisa menembakkan peluru, tapi hanya satu, dan hari keempat memusingkan bagaimana caranya untuk bisa menembakkan peluru secara terus menerus. Sorata pusing untuk mengurus bug yang banyak, dan akhirnya hari kelima sudah bisa menembak secara terus menerus. Saat sudah sampai sini, mulai bisa melihat sedikit perkembangan pada gamenya, dan terlihat sangat menarik.

Dan kira kira saat sudah 10 hari atau lebih, prosesnya sudah bisa sampai ke peluru mengenai musuh, musuh yang mati saat diledakkan, dan sudah sampai di tahap dimana pemain akan mengumpulkan poin. Kontrol, menembak, terkena sasaran, ledakan …. Akhirnya dasar-dasarnya sudah selesai.

Hampir tiap malam mengurus hal seperti ini sampai capai baru tidur, tapi ia tidak pernah mengeluh. Tiap hari serasa ingin melanjutkan terus, tangan terasa gatal. Selanjutnya, setelah bangun pagi mengurus Mashiro dulu, lalu pergi ke sekolah …. Seperti itulah tiap hari terulang.

Jujur saja, sebenarnya tidak ada waktu untuk menemani Koharu-sensei ngobrol. Kalau ada waktu lebih sebelum pulang pasti akan dipakai untuk memikirkan gerakan seperti apa yang dipakai oleh musuh.

“Sepertinya interviewnya sudah selesai, aku kembali ke kelas dulu, ya.”

Sorata tidak menunggu balasan dari Koharu-sensei dan langsung berdiri meninggalkannya.

“Kanda-kun tak seru~”

“Aku pergi dulu.”

“Ah sekalian aku beritahu, saat itu aku tidak khawatir sama sekali loh, dan berhasil masuk ke Universitas Suimei Jurusan Seni.”

Koharu-sensei berbicara begitu.

“Karena untuk melampiaskan amarah, jadi Sensei ingin bilang hal seperti ‘kalau menurut level manusia, levelku lebih tinggi loh’, kan?”

“Hn.”

Koharu-sensei dengan senang tersenyum.

Diriku yang ingin memuji Koharu-sensei, benar-benar salah besar ….

Sorata memikirkannya dalam hati, dan meninggalkan kelas yang dipakai untuk interview.


Sorata dengan malas berjalan di koridor untuk menuju ke gedung utama.

Di tengah jalan, Sorata melihat sebuah kertas yang tertempel di mading. Di kertas itu tertulis ‘murid bermasalah … bla bla bla bla’.

Yang akan menulis hal aneh seperti ini sepertinya cuma anak TK saja. Tapi kenapa kertas seperti itu tertempel di mading?

“Setidaknya tulis yang benar sedikit, dong.”

Kalau diperhatikan dengan jelas, ada beberapa coretan yang dihapus.

“Eh? Sorata-senpai, apa yang kau lakukan di sini?”

Sorata mendengar dirinya sedang dipanggil dan memutar badannya, terlihat Iori yang sedang memegang partitur. Sepertinya dia bersama dua teman sekelasnya, yang satu memakai kacamata, bingkainya berwarna hitam, dan satu lagi mukanya terlihat seperti boneka, ada perasaan kalau dia dari keluarga yang kaya.

“Iori, kami duluan ya.”

“Jangan telat ya, Iori-kun.”

“Aku tahu.”

Iori melambaikan tangannya ke temannya, temannya tidak membalas dan langsung pergi saja.

Walau cuma sebuah percakapan yang pendek, tapi Sorata merasakan Kalau Iori dan teman sekelasnya tidak begitu ‘cocok’.

“Baru dua minggu lebih mulai sekolah, kau sudah mulai berteman akrab dengan beberapa orang.”

Saling memanggil nama masing masing tanpa ragu, tidak merasa gengsi sedikitpun.

“Ah, maksudmu Naoya dan Sho ya? Yang berkacamata itu adalah Takesato Naoya, dan yang agak pendek itu Kasukabe Sho, aku sudah kenal dengan mereka sejak dulu.”

“Huh?”

“Atau dengan kata lain, kalau cuma kami, yang lain kami juga sudah kenal.”

“Maksudnya?”

Jangan bilang saat ujian masuk pernah ketemu.

“Yang bisa masuk ke Suimei, hampir semuanya pernah ikut lomba di SMP, dan sampai final. Aku pertama kali bertemu Naoya dan Sho, kira-kira saat umurku delapan.”

Iori sepertinya tidak merasa bangga. Dengan kata lain, itu adalah langganan lomba … juga orang-orang yang hebat, jadinya saling kenal.

“Mungkin karena setiap tahun setidaknya akan bertemu di suatu tempat, jadi nya cepat akrab.”

“… Jurusan musik memang hebat.”

Walaupun tidak pernah terpikirkan, tapi jurusan-jurusan di Suimei itu merupakan kumpulan orang hebat. Dan Iori sepertinya salah satunya. Harusnya dia tidak berpikir untuk pindah ke divisi reguler.

“Ah, sebelum pelajaran dimulai aku ingin membaca sebuah partitur, duluan ya.”

Saat Iori meninggalkan Sorata, ia berlari kecil menuju gedung lain. Saat sudah tidak nampak Iori lagi, Sorata bertanya-tanya.

“Walau dia bilang ingin pindah ke divisi reguler, tetapi dia tetap sangat rajin ya.”

Mungkin ia hanya ragu-ragu ingin berpindah jurusan. Soalnya melihat Iori yang sekarang, siapapun rasanya akan berpikir begitu. Terlihat akrab dengan teman-teman, rajin dan serius belajar … juga setiap malam berlatih pianonya, tiap hampir hampir subuh baru tidur.

“Aku tidak paham.”

Saat Sorata melangkah untuk kembali ke kelasnya, di tengah jalan ia menabrak seorang murid perempuan.

“Ah!”

“Oh.”

Di saat Sorata merasa bahaya, dia berhasil menangkap muridnya.

“Ah, maaf.”

Keduanya saling mundur selangkah.

Saat ini, Sorata baru sempat melihat wajahnya, dan ternyata ia adalah murid kelas satu yang rasanya pernah dilihat Sorata. Saat upacara penerimaan murid baru, yang mewakili murid baru untuk memberi kata sambutan … kalau tidak salah namanya Hase Kanna. Kacamatanya yang membuatnya ingat, dari pandangan matanya terlihat tekad yang kuat, seragamnya sangat cocok dengannya, seragamnya rapi dan terikat dengan bagus, bahkan rok nya tidak terlalu pendek, memang memberikan kesan murid teladan. Sorata bahkan sempat mengiranya anggota OSIS.

Di saat ingin menegurnya, Sorata merasa tidak enak.

“Tolong lebih berhati-hati.”

Bibirnya yang lembut, dan ia mengangkat kepalanya ke atas memandang Sorata.

“Maaf.”

Sorata meminta maaf lagi.

“Bisa minggir tidak?”

Sikap Hase Kanna sepertinya tegas, mungkin biasanya dia juga seperti itu.

“Maaf.”

Saat Sorata ingin minggir,

“Bisa tidak jangan meminta maaf terus.”

Walau ia berkata begitu, ia tetap sopan, dan pergi menuju ruang kelasnya.

“Sama sekali tidak terlihat setahun dengan Yuuko ….”

Sorata berharap adiknya bisa bertambah dewasa, dan saat baru ingin menuju ke kelas. Kakinya menginjak sesuatu.

Sorata melihat ke lantai, dan terlihat ikat rambut berwarna hitam.

Sepertinya itu barang Hase Kanna yang terjatuh saat dia bertabrakan denganku, Sorata berpikir begitu dan memungutnya.

Sorata merasakan sedikit suhu tubuh dari ikat rambutnya.

“Hn?”
Setelah melihat dengan teliti, ia baru sadar kalau itu bukan ikat rambut.

“Ah!”

Barang yang terlihat kusut, tidak diragukan lagi, itu celana dalam! Warna hitamnya memberi kesan seksi.

“Heh? Kenapa!”

Walaupun berpikir dengan keras, tetapi ia tidak bisa menjelaskan situasi saat ini.

Biasanya, harusnya tidak ada celana dalam yang jatuh begitu saja.

“Apa ini? Apa ini adalah cobaan yang dunia berikan padaku!”

Kalau memang ada orang menjatuhkannya, tidak diragukan lagi, itu pasti Mashiro.

“Dunia tidak memberi Sorata cobaan.”

“Uwaaaaaaaaaaa!”

Sorata terkejut oleh suara yang tiba-tiba terdengar.

“Shi-Shiina, kenapa kau bisa ada disini.”

Ini adalah lantai satu. Ruang kelas siswa kelas tiga ada di lantai tiga, dan ruang kelas seni yang dipakai oleh jurusan seni juga di lantai tiga gedung lain.

“Aku sedang mencari Sorata.”

“Serius?”

“Anggap saja begitu.”

“Sepertinya kau tersesat.”

“Bukan.”

Mungkin karena naik ke kelas tiga dan berganti kelas, dia belum terbiasa.

“Shiina.”

“Ada apa?”

Sekarang perlu investigasi pelaku yang paling mencurigakan dulu.

“Aku akan bertanya satu hal yang kurang sopan padamu.”

“Silahkan.”

“Apa kau memakai celana dalam?”

Mashiro dengan bingung memikirkannya.

“Tidak, tidak, ini bukan hal yang perlu dipikirkan sampai segitunya!”

“Benar juga.”

Kali ini dia memasukkan tangannya ke dalam roknya.

“Ini juga bukan hal yang perlu dikonfirmasi!”

“Pakai.”

“Benar?”

“Apa kau ingin melihatnya?”

“Boleh, perlihatkanlah padaku.”

Sorata menunjukan sikap yang keras. Karena tidak boleh selalu dipermainkan olehnya.

“Tidak boleh membiarkanmu melihatnya.”

“Kalau begitu percakapan tadi harusnya tidak diperlukan!”

Yang repot itu, tersangka pertama dipastikan tidak masalah.

Mashiro melihat celana dalam yang sedang dipegang Sorata.

“Celana dalam itu bukan milikku.”

“Selain kau di sekolah ini, aku tidak kenal orang yang akan menjatuhkan celana dalamnya sendiri.”

“Sorata tidak tahu apapun.”

“Kalau begitu, Shiina, apa kau kenal?”

“Pastinya orang lain dan bukan aku.”

“Kebetulan aku juga berpikir begitu ….”

Sorata dengan tidak sengaja mengalihkan pandangannya ke ruang kelas siswa kelas satu.

“Tidak, tidak mungkin ….”

Yang tertabrak tadi adalah Hase Kanna, dia adalah murid teladan yang mewakili seluruh siswa kelas 1 untuk memberi kata sambutan.

“Shiina, apa kau yakin benar-benar bukan kau?”

“Apa kau mencurigaiku?”

“Tentu saja aku mencurigaimu.”

“Padahal kau sudah pernah melihat semua celana dalamku.”

“Ya, memang benar, dan kalau orang lain tahu tentang ini, aku pasti akan dianggap sebagai orang mesum!”

Dan kalau diperhatikan, diriku yang sekarang ini sedang memegang celana dalam, ini situasi yang buruk. Kalau dilihat seseorang, tamat sudah kehidupan masa SMAku. Pasti akan dijuluki ‘si mesum’ atau ‘maniak celana dalam’.
“Kanda-kun yang sedang memegang celana dalam, dilihat bagaimanapun, pasti akan dianggap orang mesum.”

“Huwa! Kenapa sampai ada Aoyama di sini?”

Dia bukan Mashiro, harusnya dia tidak mungkin tersesat di sini.

“Aku ingin ke UKS soalnya ada sedikit keperluan ….”

Cara bicara Nanami sedikit berbelit-belit.

“Tidak enak badan? apa baik-baik saja?”

“Ti-tidak apa … bukan begitu.”

Suasana dekat Nanami terasa sedikit aneh, dan sepertinya Sorata tahu apa itu. Ya , suatu hal yang akan membuat canggung laki-laki.

“Pasti hari itu.”

“Ma-mashiro!”

“….”

Yang tadi pura-pura saja tidak dengar , kasihan melihat Nanami.

“Po-pokoknya jangan urus hal ini dulu. Lagipula, itu yang dipegang Kanda-kun…!”

Nanami memindah topik ke soal celana dalam lagi.

“Mencuri dari mana?”

“Aku pungut di sini!”

“Sebenarnya sedikit sulit dipercaya begitu saja.”

“Tolong percaya padaku, kalau tidak kita bisa melanjutkan percakapan ini.”

“Baik.”

Padahal bukan salah Sorata, tetapi Nanami menghela napas.

“Sekalian bertanya, mohon bantuannya …. Kira-kira saat seperti apa Aoyama akan melepaskan celana dalam di sekolah? Lalu menjatuhkan celana dalamnya?”

“Dengan kata lain, sekarang aku boleh menamparmu kan?”

Nanami tersenyum kecil.

Sorata merasakan hawa dingin di belakang punggungnya.

“Bu-bukan begitu! Aku tidak bermaksud untuk bertanya pertanyaan seperti itu!”

“Kalau bukan, apa!?”

“Aku cuma ingin memecahkan misteri ini.”

Kenapa ada orang yang bisa kehilangan celana dalamnya di sekolah.

“Kanda-kun, barang itu … bagaimana kau akan mengurusnya?”

“Pilihan pertama, menyerahkan kepada guru, dan beritahu bahwa aku temukan di koridor.”

“Menurutmu apa yang akan dilakukan guru-guru setelah mendengarmu berbicara begitu?”

“Kira-kira seperti ‘menyarahlah kau, pencuri celana dalam!’ ….”

“Aku juga berpikir begitu.”

Jadi, pilihan pertama jelas tidak bisa.

Pilihan kedua, meletakkan kembali ke tempat asalnya, walau mungkin pemiliknya pasti akan sadar, jadi aku merasa sedikit tidak bertanggung jawab.

Walau dalam hati masih belum bisa percaya bahwa pemiliknya adalah Hase Kanna … tapi kalau begitu, setidaknya masalah selesai, dan lihat situasi dulu, baru kembalikan ke pemiliknya. Ya, ini merupakan cara terbaik, baik untuk kedua belah pihak ….

Sementara lebih baik menyimpannya dulu.

“Mulai sekarang, aku akan menaruh celana dalam ini di sakuku.”

Kalau tidak menyimpan, sama saja seperti bunuh diri bagi Sorata. Itu sangat berbahaya, dan Sorata sudah sangat lelah.

“Jadi tolong, Shiina dan Aoyama, tutuplah mata kalian, atau memutar badan kalian?”

“Sorata.”

Mashiro memanggil Sorata, dan mengeluarkan handphonenya.

“Ajarkan aku cara untuk foto.”

“Kenapa kau bertanya sekarang?”

“Soalnya sekarang saat yang tepat untuk mengambil foto Sorata.”

“Tolong jangan begitu, kumohon!”

Kalau difoto saat sedang menyimpan celana dalam ke saku, itu akan menghancurkan hatiku.

Kalau diperhatikan lebih jelas, Nanami juga sudah siap untuk memfoto Sorata.

“Siapa tahu akan beguna suatu saat nanti.”

“Apa kau ingin mengancamku!”

“Sorata, beritahu aku cara untuk mengambil foto.”

Mashiro menarik-narik lengan Sorata.

“Mana ada orang bodoh yang akan mengajarkan cara foto di saat begini!”

“Mashiro, tekan ini.”

“Ah~~! Aoyama, jangan ajarkan dia!”

Mashiro dengan cepat menekan tombol untuk mengambil foto.

“Sudah difoto.”

Walaupun hasilnya kurang bagus, tapi sepertinya Mashiro terlihat sangat senang.

“Sorata, coba lihat.”

Mashiro menunjukkan fotonya, terfoto Sorata yang sedang panik.

“Aku ingin menjadikannya layar.”

“Apa maksudmu wallpaper?”

Nanami bertanya, dan Mashiro menganggukkan kepala.

“Kalau begitu bisa disetel dari bagian ini.”

“Terima kasih Nanami.”

Sepertinya foto Sorata dijadikan wallpaper handphone oleh Mashiro, dan Mashiro menyimpannya dalam saku, terlihat sangat senang.

“Kanda-kun , lihat ke sini.”

“Hn?”

Saat Sorata memutar kepalanya , Nanami mengambil foto Sorata.

“Aku bukan panda yang ada di kebun binatang!”

“Tidak sepopuler panda yang ada di kebun binatang sepertinya.”

“Kalau begitu jangan foto!”

Mereka berdua sepertinya sudah cukup puas dengan foto yang diambilnya tadi, tapi syukurlah, tidak terfoto Sorata saat sedang memegang celana dalam.

Tetapi, masalah belum selesai. Karena celana dalam itu masih ada di sini.

“… Apa benar ini dijatuhkan oleh Hase Kanna tadi.”

Sorata sangat tidak yakin.

Bagian 2
Hari berikutnya setelah kejadian Sorata yang memungut celana dalam, Sorata diberi pukulan oleh kucing yang dipeliharanya dan berangkat ke sekolah dengan Mashiro dan Nanami seperti biasanya.

Sorata membuka loker sepatu seperti biasanya.

Tapi, kali ini di atas sepatu indoornya terlihat selembar surat berwarna pink muda, tulisannya seperti milik perempuan, dan tertulis ‘untuk Tn. Kanda Sorata’.

Apa ini mimpi?

Saat Sorata tidak yakin, ia mengeluarkan suratnya dan mengecek bagian belakangnya. Tidak tertulis nama pengirimnya.

Pokoknya baca saja dulu. Sorata dengan hati-hati membuka surat itu.

Di dalamnya ada kartu pesan.

----- Saat jam pulang, tolong datang ke loteng sekolah.

Jangan-jangan, itu …?

“Surat cinta sepertinya.”

Sorata dengan terkejut mengangkat kepalanya, terlihat Mashiro dan Nanami yang berdiri disampingnya. Mereka berdua menatap suratnya terus.

“Pasti itu.”

“Itu?”

“Seperti, perbuatan Yuuko?”

Memang, kemungkinannya sangat tinggi.

“Walau begitu, Kanda-kun sepertinya terlihat sangat senang.”

“Kalau begitu, Aoyama-san malah terlihat tidak senang.”

“T-tidak …. Surat cinta yang diterima Kanda-kun, tidak ada hubungannya denganku ….”

Padahal ia terlihat sangat gelisah.

Kalau Mashiro, ia terus menatap Sorata, sedikit demi sedikit mendekatkan wajahnya ke arah Sorata. Sorata merasakan tekanan yang luar biasa dari Mashiro.

“Onii-chan!”

Saat ini Yuuko berlari ke arahnya. Tapi, pandangan Sorata bukan berada di Yuuko, malah di belakangnya, yaitu Hase Kanna.

Yuuko seperti menyadarinya dan dengan bangga ia memperkenalkannya.

“Dia adalah temanku, Kanna. Kami juga sekelas!”

Sepertinya teman sekamar yang dibanggakan Yuuko saat upacara penerimaan adalah dia.

“Kanna itu murid teladan yang mewakili siswa kelas satu memberikan kata sambutan.”

“Kami juga melihatnya, jadi kami tahu.”

Karena Sorata juga menghadiri upacara penerimaan itu.

“Senang bertemu denganmu dan salam kenal, namaku Hase Kanna.”

Kanna tetap menjaga jarak dan dengan sangat sopan memberikan salam.

“Ah, hn, walau kemarin pernah ketemu. Tapi bagaimanapun baru bertemu hari ini, salam kenal.”

“Hn? Apa begitu, Onii-chan, Kanna?”

Yuuko menatap Sorata dan Kanna.

“Maaf, apa kita pernah bertemu?”

Kanna menunjukkan eskpresi terkejut.

“Tidak, cuma tidak sengaja tertabrak.”

Sorata menjelaskan saat ia menabraknya, mungkin dia akan mengingatnya.

“… Maaf.”

Walau begitu, reaksi Kanna tetap sama.

“Onii-chan aneh, ah! Jangan-jangan karena Kanna cantik, jadi Onii-chan ingin menggodanya!? Seperti, ‘Hn? Maaf nona, apa kita pernah bertemu?’, ‘Tidak, ini pertama kalinya kita bertemu.’, ‘Ah begitu, maafkan saya. Sepertinya kita sudah pernah bertemu di mimpi kemarin malam?’”

“Kata-kata aneh macam apa itu.”

Dari mana dia belajar hal seperti itu ….

“Apa itu surat?”

Kanna sepertinya baru sadar Sorata sedang memegang surat.

“Hn? Onii-chan dapat surat cinta!”

“Yuuko , kau masih pura-pura?”

“Bukan Yuuko yang menulisnya?” tanya Mashiro dan Nanami..

“bukan! Tapi, ternyata ada cara seperti ini juga ya!”

“Tidak, tidak ada.”

Reaksi Yuuko sepertinya tidak sedang bohong. Karena dia bodoh, jadi kalau dia sedang bohong, pasti langsung nampak, kalau begitu siapa pengirimnya?

“Kakaknya Kanda-san populer juga ternyata.”

Kanna terlihat tidak tertarik, pandangan matanya sedikit dingin.

“Kanda-san, ayo pergi, kalau tidak nanti telat. Senpai, maaf kami duluan.”

“Ah, Kanna, tunggu sebentar! Lagipula panggil aku ‘Yuuko’ saja, tidak perlu malu-malu.”

Yuuko langsung menyusul Kanna di belakangnya dan menuju ke kelas.

Tinggal Sorata, Mashiro, dan Nanami.

Mereka fokus lagi ke surat cintanya.

“Kanda-kun, aku cuma bilang ‘jika’, ya.”

“A-apa?”
Mendengar suara Nanami yang gugup, Sorata ikut gugup juga.

“Kalau memang benar itu surat cinta….”

“Kalau memang benar itu surat cinta?”

“Saat kamu pergi ke loteng sekolah …”

“Saat aku pergi ke loteng sekolah?”

“Ada seorang perempuan yang cantik menunggumu.”

“Lalu?”

“Kalau begitu … Ka-Kanda-kun.”

Walau ingin melanjutkan kalimat tadi, tapi Nanami tidak bisa.

“Apa Kanda kun akan …”

“Akan berpacaran dengan dia?”

Mashiro langsung bertanya hal yang ingin ditanya Nanami dari tadi.

“Ka-kan tidak mungkin dia langsung menyatakan cinta, lagipula kita juga belum tahu siapa pengirimnya.”

“Aku bukan bertanya tentang itu.”

“Kalau begitu, mi-misalnya aku berpacaran dengan dia, memangnya kenapa?”

Sebenarnya Sorata bertanya untuk dirinya sendiri juga.

“Aku akan sangat khawatir.”

Sebelum Sorata memikirkan jawabannya, Mashiro sudah menjawab duluan.

“A-aku juga … akan khawatir. Soalnya tidak bisa seperti biasanya lagi.”

Setelah Mashiro menjawab, Nanami juga ikut menjawab.

“Akulah yang harusnya khawatir mengenai situasi ini.”

Sekarang, terdengar bunyi bel masuk kelas.

Bagian 3
“yang dimaksud ‘sepulang sekolah’, itu maksudnya jam berapa ….”

Sorata memikirkannya.

Sorata duduk di kursi di loteng sekolah, dan bertanya-tanya kepada langit yang biru. Tapi, langit biru tentu saja tidak menjawabnya.

Tidak ada cara lain, hanya bisa berpikir sendiri.

Mungkin sore jam empat? atau sore jam lima? Atau mungkin sebelum sampai waktunya tidur itu masih dianggap sepulang sekolah?

Sorata sudah menunggu selama setengah jam, atau mungkin lebih.

Sesuai dengan petunjuk suratnya, datang ke loteng sekolah. Tapi tidak terlihat siapapun di sini, juga tidak ada tanda-tanda seseorang akan datang ke sini.

Setelah menunggu selama itu, Sorata menyimpulkan sesuatu.

“Mungkin yang mengirim itu orang iseng, ya.”

Tapi boleh juga begitu, soalnya hari ini ia tidak dapat berkonsentrasi sama sekali. Tidak seorangpun muncul, malah membuat Sorata lega.

Jujur saja, tidak terpikirkan akan ada seseorang yang mengirim surat cinta kepadanya. Juga, Sorata sebenarnya sudah mengira siapa yang akan mengirimnya. Walau perasaannya belum yakin, setidaknya orang yang mengirim itu hanya iseng-iseng saja.

Saat handphone Sorata menunjukkan pukul empat, Sorata berdiri dari kursinya.

“Pulang saja.”
Sorata berbisik-bisik sendiri untuk mengganti suasana hatinya.

Ia mengambil tasnya dan membuka pintu. Tapi saat membuka pintu, tidak tahu kenapa ada Iori dan Shiho yang terjatuh.

Di depan pintu juga ada Mashiro dan Nanami yang sedang berdiri, Nanami terlihat siap kabur.

“Kalian sedang apa di sini?”

“Menguping.”

Yang menjawab pertama adalah Mashiro, tanpa ragu-ragu.

“Jangan mengira dengan mejawab jujur akan aku maafkan.”

“Bukan menguping.”

“Sudah terlambat untuk bohong sekarang!”

“Bu-bukan begitu, Kanda-kun.”
Nanami dengan khawatir melihat ke arahnya.

“Mana yang bukan?”

“Hmm … tidak, bukan begitu maksudnya.”

Heran juga, di situasi seperti ini , selain menguping , apa lagi?

“Dan ngomong-ngomong, kenapa sampai Iori dan Shiho-san ada di sini juga?”

“Karena aku mendengar Sorata-senpai menerima surat cinta.”

Sorata mengalihkan pandangannya ke Mashiro dan Nanami, keduanya pura-pura sedang melihat ke tempat lain.

“Agar nanti bisa jadi referensi, jadi aku ingin menguping Sorata-senpai yang ditembak oleh seorang perempuan!”

“Kalau begitu maaf, karena sudah menghancurkan harapanmu.”

Sorata mengalihkan pandangannya ke arah Shiho.

“Karena dari pagi Shiina-san terlihat aneh, jadi aku merasa penasaran.”

“Shiina? Apa benar begitu ?”

Sorata mencoba untuk bertanya Mashiro.

“Tiap hari aku terlihat aneh.”

“Aku juga berpikir begitu.”

“Iya kah? Soalnya dia melihat keluar jendela, makan baumkuchen sambil melamun, dan melukis secara diam-diam.”

“… Bukannya itu Shiina yang biasanya?”

“Huh? Benarkah? Pokoknya Shiina-san berbeda dari biasanya! Teman-teman di jurusan seni semua sangat khawatir, dan ada perasaan suram semacam itu.”

“Suram, ya ….”

Mungkin dia penasaran dengan surat cintanya. Pagi ini juga, kalau bilang Sorata akan berpacaran dengan pengirimnya, dia merasa khawatir. Sorata sedikit pusing apakah ia harus senang atau tidak.

“Shiho, jangan berbicara yang aneh-aneh.”

“Ahaha, apa Shiina-san sedang malu?”

“Aku tidak pernah merasa malu.”

Walau mashiro berbicara begitu, dia menundukkan kepalanya.

“Ah, celaka! Aku ingat aku masih ada interview dengan sensei! Maaf, aku duluan!”

Shiho dengan panik turun tangga dan dengan cepat meninggalkan mereka.

“Anak yang cerewet, ya ….”

“Tapi, dadanya tidak disangka besar juga.”

Iori sepertinya terlihat sangat senang. Mungkin karena tadi terjatuh berdua dengan Shiho, dan ia melihatnya dengan dekat.

“Iori.”

“Ada apa?”

“Kalau kau masih ingin berpacaran dengan perempuan yang cantik, lucu, dan mempunyai kehidupan SMA yang bahagia, sebaiknya jangan pernah lagi mengatakan yang seperti tadi.”

Walau Mashiro tetap seperti biasanya, tapi Nanami menjadi kesal karena perkataan Iori yang tadi.

Sorata mengambil tasnya lagi dan turun tangga.

“Kanda kun, kau tidak menunggu lagi?”

Nanami yang menyusul Sorata bertanya begitu, Iori dan Mashiro juga menyusulnya.

“Tidak, sudah aku tunggu sampai jam 4, cukup lama sebenarnya.”

Mungkin sudah cukup.

“Oh ya, Shiina, apa hari ini masih ada perlu di ruang kelas seni?”

“Hari ini tidak perlu.”

“Ah, begitu ya.”

Padahal aku kira masih perlu menjadi modelnya hari ini, jadi menunggu sengaja hanya sampai jam 4 saja ….

“Aku akan pulang menggambar cover.”
“Hn? Gambar cover untuk majalah komik?”

Komik yang sedang diserialisasikan di majalah komik, padahal bulan lalu baru gambar cover untuk majalah komiknya.

Tankoubon[1].”

“Oh, memang sudah harusnya ada satu volume, ya ….”

Serialisasinya mulai bulan November tahun lalu, jadi kira-kira sudah enam chapter. Jadi kalau sekarang rilis tankoubon-nya wajar-wajar saja.
Tidak terasa Mashiro sudah memulai langkahnya sebagai seorang komikus. Setiap langkahnya terasa besar, dan memperbesar jarak antara dia dengan Sorata. Tetapi Sorata tidak akan panik lagi, karena akhirnya dia hanya bisa melakukan apa yang bisa dia lakukan. Juga, proses pembuatan game saat ini sangat menyenangkan, jadi ada rasa melangkah maju, walau cuma sedikit.

“Ah, aku ke ruang kelas musik untuk latihan piano dulu, permisi.”

Saat sampai di lantai dua, Iori yang berada di belakang berhenti.

Setiap pulang sekolah ia selalu latihan piano di kelas dengan sangat lama. Saat pulang ke Sakurasou, kira-kira sudah malam.

“Memang serius.”

“Karena untuk persiapan lomba. Situasi saat ini yang paling kubenci. Ah~~ menyebalkan, rasanya malas main piano ….”

Kenyataan sepertinya tidak begitu. Dan Iori melihat ke papan pengumuman yang ada di sebelah.

Di papan pengumumannya tertempel pemberitahuan tentang lomba piano.

Bulan Mei tanggal 3, di ruang konser Universitas Suimei. Tertulis ‘terbuka untuk umum’. Sepertinya ini lomba yang dibicarakan Iori.

“Di pemberitahuannya tertulis terbuka untuk umum, apa itu berarti kita perlu pergi juga?”

“Boleh …. apa Senpai berencana datang!? Tolong jangan! Aku serius! Kalau ada kenalan yang datang nanti aku akan menjadi sangat gugup! Aku serius, janji tidak datang ya?”

Setelah Iori selesai berbicara, dia langsung berlari di koridor dan menuju gedung lain, kira-kira ruang kelas musik ada di sana.

“Kenapa setiap dibilang jangan datang, malah kita jadi makin ingin pergi?”

Tiba-tiba Nanami bergumam.

“Tidak kuduga ternyata Nanami jahat juga.”

“Walau Kanda-kun ngomong begitu, bukannya Kanda-kun sendiri juga sedang menahan tawa.”

“Kalau cuma pergi secara diam-diam, kurasa tidak apa-apa.”

“Ya.”

Mashiro juga tampaknya setuju.

Anggap saja janji hari ini, bulan Mei tanggal 3. Sorata dan Nanami tertawa puas.

Mereka pulang sambil mengobrol soal lomba Iori, tidak mampir ke tempat lain dan langsung pulang ke Sakurasou. Mereka mengobrol dengan antusias soal lomba, dan saat sudah tiba di Sakurasou, Sorata sudah melupakan soal surat cinta.

“Kami pulang!”

Mengikuti Sorata di belakang, Mashiro dan Nanami juga memberi salam, yang sayangnya tidak dijawab siapapun. Soalnya juga tidak ada orang di Sakurasou saat ini, walau ada Ryuunosuke sih … tapi, dia tidak mungkin akan membalas dengan ‘Ah, kau sudah pulang’.

Sorata berpisah dengan Mashiro dan Nanami di pintu masuk, tidak mengantar mereka ke lantai dua, dan langsung menuju ke kamarnya sendiri, kamar nomor 101.

Tanpa curiga ia membuka pintu kamar sendiri. Bagaimanapun itu kamar sendiri, jadi ia rasa sudah sewajarnya.

Tapi cuma hari ini, Sorata merasa sedikit menyesal.

Dia merasakan sedikit keanehan, saat masuk ke kamar dan pintu tertutup.

Udara sekitar terasa aneh. Ada sebuah bau yang aneh yang tercampur dalam udara. Kamar juga lebih berantakan daripada saat pagi berangkat ke sekolah, kacau balau. Baju yang seharusnya sudah dirapikan menjadi berantakan seperti kamar Mashiro. Tapi itu masih baik-baik saja, karena sampai sini ia masih bisa menahan kemarahannya.

Yang menarik perhatian Sorata adalah seorang siswi yang sedang mengacaukan kamarnya. Dengan posisi seperti kucing membongkar-bongkar barang yang ada di bawah kasur.

Selanjutnya, Sorata saling berpandangan dengan siswi yang mengangkat kepalanya tiba tiba itu. Karena terkejut, ia mundur selangkah. Itu wajah yang dikenal Sorata. Siswi yang memakai seragam Suimei, dia adalah Hase Kanna.

“Apa ini? Terlalu menyeramkan!”

Ini reaksi pertama Sorata.

Suatu hari pulang ke rumah, ada seorang perempuan cantik yang menunggu di kamar … dengan hanya membayangkan, sudah dapat merasakan kebahagiaannya. Tetapi, saat orang yang kita tidak kenal masuk ke kamar kita yang pertama pasti akan merasa ketakutan.

“Kenapa sekarang kau pulang?”

Kanna bertanya kepada Sorata, seperti sedang mengutuk dirinya sendiri. Lalu, dengan pelan dia berdiri.

Apa maksud kalimatnya tadi? Terdengar sepertinya sudah tahu Sorata bakalan pulang malam hari.

Tidak , sekarang bukan saatnya mencemaskan hal seperti itu.

Sekarang perlu memastikan situasi dulu.

Sorata sekali lagi memeriksa kamarnya. Kamar yang berantakan, dan Kanna yang sepertinya sedang mencari sesuatu … mengingatkan Sorata dengan kejadian kemarin saat ia bertabrakan dengan Kanna ….

Walaupun rasanya tidak mungkin, tapi di otak muncul sebuah kata.

“Celana dalam?”

“…!”

Sorata dengan enteng mengatakannya. Tubuh Kanna langsung gemetar, mukanya menjadi merah dan ia langsung menundukkan kepalanya. Tetapi, tidak berapa lama kemudian wajahnya menjadi pucat.

Reaksi Kanna sudah menjelaskan segalanya.

Walaupun Kanna merupakan tersangka yang berkemungkinan paling tinggi, Sorata tetap kurang percaya dia adalah pemilik celana dalam itu ….

Sepertinya celana dalam yang dipungut Sorata itu benar-benar milik Kanna.

Kanna melamun sebentar, dan tiba-tiba ia menjadi gugup sekali dan mulai mengelilingi kamar Sorata. Saat ini, dia mengambil kamus Inggris-Jepang yang tebal dari meja, mendekati Sorata, dan mengangkat kamus itu tinggi-tinggi.

“W-woaaaa~~! Apa yang ingin kau lakukan!?”

“Karena sudah ketahuan, aku tidak akan membiarkanmu keluar dari kamar ini hidup-hidup.”

“Bukannya ini kamarku? Ah, sakit!”
Saat Sorata sedang protes, keningnya dipukul dengan sangat keras oleh kamus yang dipegang Kanna.

Karena satu pukulan saja sudah sangat kuat, ia hampir pingsan. Sudah tidak bisa berdiri lagi, Sorata jongkok dan memegang kepalanya.

Terdengar suara kucing yang sedang cemas.

“Ano … apa kau tidak apa-apa?”

Sorata mendengar suara lembut seseorang. Setengah membuka mata, ternyata dia lah pelakunya.

“Apa aku memukul keningmu terlalu keras?”

“Padahal kau yang memukul, kenapa kau bisa dengan tenang begitu menanyaiku!”

“Ka-karena aku panik ….”

Itu sudah pasti, dilihat dari situasi saat ini. Dari tadi, Kanna terlihat tidak tenang, dan sepertinya sudah sampai batasnya.

“Ah, mengenai itu …”

Untuk menenangkannya, Sorata berbicara.

“A-apa?”

Menatap ke Sorata, ia mulai tenang.

“Karena kau sudah memukul keningku dengan keras, bisakah kau memberitahuku alasannya?”

Sebenarnya Sorata belum begitu mengerti situasinya, tapi sudah tidak ada cara lagi. Atau dengan kata lain, terlalu menakutkan.

“Itu…..”

Dari gerakannya, Kanna terlihat sedikit malu dan ragu, ia mengalihkan pandangannya.

“Bisa tunggu aku sebentar? Aku akan membuat teh.”

Pokoknya tenangkan diri dulu, itu yang Sorata pikirkan, dan dia keluar dari kamarnya.

Sorata memanaskan air dan membuat teh, sehabis itu ia kembali ke kemar dan  mengambil cemilan dan celana dalam yang dijemur di toilet.

“Silahkan.”

“Terima kasih.”

Sorata mebiarkan Kanna duduk di kasurnya, dan Sorata juga duduk menghadap dia. Mungkin karena gugup, keduanya berlutut dan saling menghadap.

Sorata berpindah topik dan dengan gugup menanyainya.

“Aku akan memastikan ini dulu …. Apa celana dalam ini benar-benar milik Hase-san?”

Sorata menunjukkan celana dalam berwarna hitam itu kepada Kanna.

“Benar, itu milikku.”

Setelah mendapatkan celana dalamnya, dengan segera Kanna menyimpannya ke dalam tas, ia terlihat malu sekali, tidak ingin siapapun tahu mengenai ini.

Walau sudah tahu bakalan jadi begini, tapi masih terkejut.

“Kalau begitu, Hase-san ….”

“Bisa tidak jangan memanggilku dengan panggilan ‘Hase’, aku sangat membenci marga itu.”

Dari cara dia berbicara sepertinya dia mempunyai marga lain, tapi sekarang bukan saatnya membahas ini.

“Kalau begitu, Kanna-san …?”

“….”

Kali ini tidak protes apapun, sepertinya bisa melanjutkan pembicaraan.

“Kalau begitu, apa hari ini Kanna-san datang ke sini untuk mengambil barang yang dijatuhkan kemarin?”

“Iya ….”

Kanna tidak ingin menatap Sorata, dia menatap ke cemilannya.

“Yang kau bilang tadi, ‘kenapa kau sudah pulang?’, itu apa?”

“Surat yang ada di loker sepatu.”

“Oh, ternyata begitu.”



Mungkin ia bermaksud memperpanjang waktunya untuk mencari barangnya, makanya dia menggunakan trik surat. Saat itu ia sengaja muncul bersama dengan Yuuko cuma untuk memastikan apakah Sorata sudah mendapat suratnya.

“Nah, selanjutnya topik utama kita … apa kau masih ingat soal kemarin saat kita saling bertabrakan?”

“Ingat.”

“Jadi, apa setelah tertabrak kau baru menyadari kalau kau kehilangan sesuatu yang penting?”

“Saat aku kembali ke kelas, aku baru sadar. Tetapi saat ingin pergi mengambilnya ternyata sudah dipungut olehmu. Kau juga sepertinya sedang mencurigaiku ….”

Mungkin karena begitu, jadi dia bisa tanpa ragu langsung datang ke kamarku untuk mencari barangnya.

Bertujuan untuk melenyapkan bukti, ia ingin dengan cepat mengambil kembali celana dalamnya dan menganggap hal ini tidak pernah terjadi.

Kalau tidak ada bukti, walau Sorata bertanya lagi, ia bisa berpura-pura tidak tahu. Lagipula jika dipikir dengan logika, kejadian seperti menjatuhkan celana dalamnya di sekolah … kalau tidak ada bukti yang kuat, pasti tidak akan ada yang percaya.

Jadi, Kanna pikir jika celana dalamnya sudah direbut kembali maka tidak akan ada masalah lagi.

Ngomong-ngomong, rencana menyusup ke kamar orang untuk mengambil celana dalam itu merupakan tindakan yang nekad. Tidak, atau dengan kata lain sudah tidak ada jalan lain baginya. Seperti itulah.

Masih ada beberapa pertanyaan, topik pun semakin menuju ke intinya.

Apa yang terjadi dengan rok Kanna saat itu?

“kalau jatuh … itu berarti kau tidak memakainya?”

Kalau cuma menjatuhkan celana dalam yang baru diganti ia rasa tidak perlu untuk melenyapkan bukti. Soalnya memang kadang ada beberapa siswi kurang teliti, tapi setidaknya masih bisa dimaafkan. Tapi, yang dipungut Sorata itu celana dalamnya yang masih terasa suhu tubuh pemakainya, celana dalam yang Kanna rela untuk menjadi pencuri demi mengambilnya kembali. Kalau begitu, kalau tidak dengan alasan yang kuat, akan membingungkan.

“Iya…..”

Kanna menganggukkan kepalanya di depan Sorata.

Akhirnya kejadian ini selesai, pikir Sorata.

“Itu … mungkin aku kurang tahu, tapi apa memang akhir-akhir ini anak perempuan sedang populer dengan hal seperti ini?”

“Kau memandang perempuan seperti apa?”

Malah dimarahi.

“Aku pikir juga begitu ….”

Saat ini Kanna cuma menundukkan kepalanya dan tidak menatap Sorata. Tapi bagi Sorata, ini membuatnya lebih mudah untuk berbicara.

“Bisa aku tanya alasannya?”

Karena, apakah seseorang sampai rela tidak memakai celana dalamnya di sekolah? Walaupun tahun lalu pernah kejadian Mashiro lupa memakai celana dalamnya ke sekolah, tetapi situasi saat ini berbeda dengan waktu itu. Karena sepertinya Kanna melepasnya di sekolah … dan dia sadar, tidak seperti Mashiro.

Dengan berpikir begitu, semakin membingungkan. Jika membandingkan ini dengan kelakuan dan sikap Kanna di sekolah, bagaikan langit dan bumi.

“….”

Kanna tetap menundukkan kepala, mengulurkan tangannya ke tas yang ada di sampingnya, dan mengambil sebuah buku, dengan hati-hati menaruhnya di samping teh dan cemilan. Di covernya tertulis ‘Hari Minggu Cinderella’.

“Apa ini?”

Baru bertanya setengah, sudah tidak perlu lagi.

Nama penulisnya sangat menarik perhatian.

------ Ditulis oleh Yuigahama Kanna.

Walau marganya beda, tapi ‘Kanna’nya sesuai, dilihat dari situasi saat ini, ini bukan tidak mungkin.

“Itu margaku sebelum orangtuaku bercerai.”

Kanna menjelaskannya. Sepertinya inilah alasan kenapa dia membenci marganya yang sekarang.

“Dengan kata lain, ini buku yang ditulis oleh Kanna.”

Kanna menganggukkan kepalanya lagi.

“Ini adalah karya yang pernah mendapat penghargaan saat SMP.”

“Wah, hebat.”

Sorata mengambil bukunya dan membukanya.

Tidak hebat sama sekali, hanya karena beruntung.”

“Kenapa kau merasa begitu?”

“Sekarang aku sedang menulis buku keduanya, tetapi sama sekali belum ada kemajuan ….”

Kanna mengepalkan tangan yang ada di atas pahanya dan menggigit bibirnya seperti merasa marah.

“Aku memang ingin menulis, sangat ingin menulis … tapi sama sekali tidak ada kemajuan sedikitpun. Tidak peduli aku sudah berapa kali mengubah alurnya, editor hanya menunjukan ekspresi yang tidak puas.”

“Begitu ya.”

Sorata merasa kasihan kepada Kanna dan membalasnya.

“Sekarang aku juga sudah lupa bagaimana dulu aku menulis …. Setiap hari terasa sesak. Setiap memikirkan ceritanya merasa pusing … walaupun begitu, aku tetap ingin menulis, harus menulis, ini … satu-satunya barang yang kumiliki sekarang hanya ini!”

Kalau diperhatikan dengan teliti, Kanna terlihat lelah, sepertinya saat malam ia juga susah tidur. Saat sedang ada masalah akan sulit untuk tidur, Sorata juga pernah merasakannya.

“Lalu disaat terasa sesak, mulai menjadi kesal, merasa ingin menghancurkan semuanya …. Awalnya, memakai celana dalam yang berlebihan ke sekolah.”

Saat Sorata memungut celana dalam itu, ia juga merasa kesan yang luar biasa. Dia terkejut sekali saat terpikir pelakunya Kanna.

“Dengan mengganti sebuah celana dalam, aku merasa pandanganku dengan dunia ini berubah, dan sepertinya bisa lupa dengan rasa cemas akan cerita …. Yah, bisa lupa sih, tapi lama kelamaan terpikir lagi rasa cemas itu dan … aku merasa tidak puas.”
Saat ini, Kanna akhirnya menatap Sorata dengan wajahnya yang memerah itu.

“Jadi berpikir untuk mencoba melepaskannya?”

“… Iya.”

Aku yang mendengar saja bingung, apalagi yang mengakuinya, lihat saja bibir Kanna yang sedang bergetar itu.

“Jadi, maksudmu … ini bisa menghilangkan tekanan?”

“… Aku rasa begitu.”

“Untuk menghilangkan tekanan, jadi belajar dengan melepaskan celana dalam?”

“… Iya.”

“….”

Ini terlalu mengejutkan.

“Yang bertanya itu kau, bisa tidak jangan memberi reaksi seperti itu.”

Kanna melirik Sorata dengan kesal.

“Ah, tidak, hn … aku tidak bermaksud begitu, sepertinya. Pokoknya, ada saatnya orang-orang mengalami hal seperti itu ‘kan? Lihat saja, misalnya karena di rumah tidak ada orang, jadi telanjang di rumah? Hn, kadang memang kejadian seperti itu.”

Padahal ingin menjawab, tetapi Kanna menundukkan kepalnya lagi.

“….”

Sepertinya aku sudah salah berbicara.

“Jangan-jangan, yang kemarin itu bukanlah pertama kalinya?”

Kanna menganggukkan kepalanya lagi, sampai-sampai telinganya menjadi merah.

“Apa kedua kalinya?”

“Kira-kira ketiga kalinya ….”

Kanna menjawab dengan tatapan seperti sedang berperang melawan sesuatu. Karena begitu, Sorata tahu dia bohong.

“Yang benar?”

“Keenam kalinya.”

“Aejak masuk ke Suimei?”

“Iya ….”

Kira kira 2 hari sekali ….

Sorata terkejut dan terdiam sejenak. Dalam hidupnya ini pertama kali, pertama kali dia mendengar pengakuan seperti ini. Dibandingkan dengan murid bermasalah di Sakurasou, ini diluar dugaannya …. Cuma bisa dibilang … anak ini terlalu mengejutkan.

“Ekspresimu tidak sopan sekali, padahal kau sendiri yang bertanya.”

Kanna dengan aura mengancam menatap Sorata.

“Maaf, karena aku tidak tahu ekspresi apa yang harus digunakan saat ini ….”

Sorata tertawa. Yang namanya manusia, saat dia sudah mencapai batas, dia akan tertawa. Walau shock saat tahu ada orang seperti Mashiro, tapi jika dilihat dari dunia orang aneh, hanya bisa dibilang kalau di atas langit masih ada langit lagi ….
“Pokoknya, kalau ketahuan lagi bakalan menjadi masalah, jadi kumohon jangan melakukan ini lagi.”

“….”

Awalnya Sorata kira Kanna akan menurut dengan diam, tetapi ternyata dia mengalihkan pandangannya, dan terdiam.

“Bukannya saat ini dengan menjawab ‘baik’, akan menyelesaikan masalah dengan bagus?”
“… Aku juga mengerti mengikuti pelajaran tanpa memakai celana dalam itu merupakan tindakan yang aneh. Kalau boleh, aku juga ingin segera berhenti. Tapi kalau aku bisa berhenti dengan sedirinya, aku pasti tidak akan pernah melakukannya lagi! Tapi, walau tahu tidak boleh, tetap tidak berhenti … jadi masih melakukannya sampai saat ini.”

Kalimat akhir-akhir hampir tidak kedengaran. Ternyata begitu, alasan yang wajar. Kanna sudah tahu sikapnya sendiri sangat aneh, juga ingin segera berhenti melakukannya, tapi karena tekanan yang ada mengalahkan akal sehatnya … kira-kira seperti itu.

“Apa tidak ada cara lain untuk membebaskan diri dari tekanan? Seperti jalan-jalan dengan teman.”

“Aku tidak mempunyai teman.”

“Ah, wajar saja, soalnya baru masuk sekolah juga.”

“Bukan itu maksudnya …. Saat aku SMP aku juga tidak mempunyai teman.”

Kanna menjelaskannya dengan blak-blakan, membuat Sorata tidak bisa mengatakan ‘tenang saja, di Suimei kau pasti akan segera mendapat teman’.

“Kalau begitu bagaimana dengan Yuuko?”

“Dia adalah anak yang baik.”

Ini bukan jawaban yang diinginkan Sorata.

“Walau aku berpikir dia akan membuat banyak masalah dan membebanimu, tapi, tolong bertemanlah dengan dia. Tidak, aku yakin dia pasti sudah membuat banyak masalah dan membebanimu. Tapi tenang saja, dia bukan anak yang tidak baik.”

“….”

Sorata mengucapkan kalimat itu tanpa sadar, Kanna malah menatap Sorata lagi.

“Ada apa?”

“Aku cuma berpikir, jarang ada orang yang mengatakan kebaikan keluarganya sendiri.”

“Apa aku bisa menganggap yang tadi itu pujian?”

“Topik sudah berpindah jauh, apa tidak masalah?”

Kanna tidak menjawab pertanyaan Sorata.

“Tentu saja masalah.”

Mungkin harusnya bukan cara untuk menghilangkan tekanan, tapi melawan tekanannya. Pokok permasalahannya ada di situ.

“Kalau kau sudah bisa menulis lagi, apa … apa kau akan menjadi seperti dulu lagi?”

“Aku rasa mungkin.”

Walaupun begitu, tentang menulis novel, bukan masalah yang bisa diselesaikan Sorata, paling Sorata hanya bisa bertanya tujuan dia membuat cerita tersebut. Tapi, bagaimanapun Kanna sudah pernah mendapat penghargaan itu, berarti dia sudah ada di level profesional. Sorata tidak yakin apakah bisa mendiskusikan hal ini dengan Jin-san … Sorata tidak tahu bagaimana.

“Walau aku juga merasa masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah ….”

“Ada apa?”

“Bagaimanapun, kalau kau ingin melepaskan celana dalam lagi sebelum itu cari aku untuk mendiskusikan dulu.”

“Nanti aku teriak.”

Kanna melirik Sorata, tatapan matanya terasa dingin sekali, bahkan lebih dingin daripada tatapan Nanami.

“Jangan salah paham. Aku bukan ingin tahu kapan kau akan melepaskan celana dalammu,  tapi aku rasa mendiskusikan ini mungkin bisa mencegah perhatian orang lain. Kalau kau menyembunyikannya, kan tidak bisa mendiskusikan ini dengan orang lain.”

Tidak punya teman, dan yakin diri sendiri tidak akan dapat teman. Walau dapat temanpun, tidak akan mudah.

“Ya … ini seperti yang kau bilang.”

Kanna sedikit merenungkannya. Selanjutnya, dia menatap Sorata dengan tatapan penuh protes.

“Tidak ada cara lain, hanya bisa dicoba dulu.”

Ini bisa dibilang pilihan terakhir baginya. Di saat seperti ini, mungkin sudah cukup.

“Kalau begitu, masalah ini selesai.”

Walau Sorata berpikir begitu, Kanna belum tenang dan menatap Sorata terus.

“Ada apa?”

“Aku belum selesai bicara.”

“Kau ingin bicara apa?”

“Aku sangat khawatir kalau kau akan membocorkan ini ke orang lain.”

Mungkin karena ini sengaja , jadi terdengar seperti nada kalimat inggris.

“Aku tidak akan membocorkan ini ke orang lain.”

“Kalau hanya bicara begitu, tidak dapat dipercaya.”

Sikap Kanna saat ini, menyadarkan Sorata sesuatu. Kanna tidak lari setelah ketahuan, dan menjelaskan segalanya, tidak meminta maaf karena telah memukul Sorata dengan Kamus, juga tidak menyesal walau sudah ketahuan. Dia sudah memutuskan sebelum Sorata benar-benar janji tidak akan membocorkannya, dia tidak akan pulang. Sepertinya sudah tidak ada jalan lain baginya.

“Aku harus bagaimana agar kau percaya.”

Jangan-jangan menyuruhku bersumpah di sebuah kertas?

“Tolong beritahu aku … satu rahasia yang kau mati pun tidak ingin orang lain tahu.”

Tidak diduga Kanna mengatakan ini.

“… Apa ini maksudnya kalau aku membocorkan rahasiamu, kau juga akan membocorkan rahasiaku nanti?”

“Menggunakan rasa malu untuk menahan orang lain.”

“Aku baru pertama kali mendengar yang seperti itu!”

Kanna tetap duduk dengan sikap berlutut, menatap Sorata dengan tatapan yang serius. Tapi jika dilihat dari tatapan matanya, ia dapat merasakan sebenarnya dia sangat cemas. Kalau ketahuan teman sekelas, dia tidak akan bisa ke sekolah lagi, wajar saja dia merasa cemas.

Juga , ini merupakan Sakurasou kamar nomor 101. Kamar Sorata, markas musuh baginya. Ditambah Sorata siswa kelas tiga, dan Kanna masih kelas satu. Hatinya mungkin bisa hancur hanya karena begitu.

Bukan untuk mengkasihaninya, tapi Sorata berpikir kalau bisa menenangkan Kanna, memberitahu satu-dua rahasia sepertinya tidak apa apa.

“Hn~~ Rahasia, ya.”

Tapi, dipikir bagaimanapun juga rasanya Sorata tidak memilik rahasia yang membuatnya malu sekali.

“Tidak ada?”

“Kalau rahasia yang selevel dengan Kanna-san … sepertinya tidak ada.”

Atau dengan kata lain, di dunia ini ada berapakah orang yang sama-sama memiliki rahasia melepaskan celana dalam ke sekolah seperti Kanna?

Kalau tahu begitu, harusnya kemarin meminta Mashiro dan Nanami untuk foto saat aku pungut celana dalam itu. Tapi kalau pemiliknya Kanna berarti foto itu juga mengandung rahasianya ….

“Kalau tidak ada, apa ada yang lain? Aku pikir sebentar …. Kau tidak sedang memilik pacar kan?”

Kanna mengatakan kalimat yang kurang sopan itu selagi mengangkat kepalanya.

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Ada?”

“Tidak ada.”

“Apa perlu menggertakku?”

“Tidak.”

“Huft ….”

Kanna mengehela napas, sepertinya dia tidak begitu gugup lagi.

“Kalau begitu, tolong beritahu aku nama orang yang kau suka.”

“Huh?”

“Bagaimanapun pasti memiliki seseorang yang diam-diam suka kan?”

“Hn.”

“Apa dia murid Suimei?”

“Hn.”

Rasanya sedikit malu. Percakapan seperti ‘apa kau sedang menyukai seseorang?’, sepertinya dulu juga pernah ada yang menanyakannya. Kalau tidak salah musim gugur tahun lalu … percakapan dengan Nanami pada hari terakhir festival budaya di sekolah.

“Setelah kau beritahu aku namanya, aku akan menurut dan segera pulang.”

Sepertinya Kanna ada niat menipu, tapi Sorata tidak membicarakannya.

------ Orang yang disukai?

Ditanya begitu, muncul sebuah nama di pikiran Sorata.

Tapi saat berniat untuk mengatakannya, Sorata merasa ragu-ragu dan sedikit malu.

“….”

Kalau ditanya suka atau tidak, sepertinya suka. Tapi, kalau ditanya apa ingin segera menyatakan cinta dan berpacaran, rasanya bukan seperti itu juga. Seperti cinta pada pandangan pertama, semakin dalam semakin tidak bisa menahannya, perasaan juga menjadi semakin kuat. Kalau jujur saja, sekarang dia merupakan tujuan Sorata, perasaan untuk mengejar dia di belakangnya lebih kuat, makanya jadi ragu-ragu saat Kanna menanyakannya.

“Tolong cepat sedikit.”

Ngomong-ngomong, Kanna sepertinya benar-benar tidak akan pulang sebelum Sorata mengatakannya.

“… Kalau nama perempuan yang terus terpikirkan boleh?”

Sorata yang ragu-ragu terus, bertanya pada Kanna.

“Aku rasa itu yang dunia namakan cinta bertepuk sebelah tangan.”

“Kalau begitu itu artinya boleh ya.”

Kanna dengan pelan menganggukkan kepala.

“Bisa pinjamkan telingamu?”

Mengatakannya dengan berhadapan, rasanya benar-benar malu dan tidak enak.

Kanna sedang mempertimbangkannya tapi akhirnya tetap dibolehkan dan mendekatkan wajahnya.

“Kalau begitu, maafkan aku yang banyak minta.”

Sorata mendekatkan wajahnya ke Kanna, dan mengatakan namanya dengan suara kecil di samping telinganya.

“….”

“….”

Setelah selesai engatakanya, masing masing duduk lagi.

Kanna juga berputar badannya dan menghadap Sorata.

“Tolong jangan mengatakan pendapat dan tanggapannya.”

Pipi Sorata memanas dan memerah.

“Kanda-kun, sekarang sudah saat nya menemaniku latihan … hn?”

Saat itu, Nanami datang ke kamar.

Melihat Kanna dan Sorata yang duduk di atas kasur dengan sikap berlutut saling menghadap, Nanami terkejut dan melebarkan matanya.

“Situasi macam apa ini?”

“Sorata.”

Mashiro juga ikut datang ke kamar.

Tatapan mata Mashiro juga melihat ke Kanna dan Sorata.

“Siapa wanita itu?”

“Hase Kanna kelas satu. Pagi ini baru bertemu, seharusnya kau tahu!”

“Ya.”

“Kalau begitu kenapa kau masih bertanya?”

“Bagi Sorata, siapa dia?”

“Pertanyaan yang menyulitkan ….”

Sepertinya orang yang kehilangan celana dalam dan orang yang memungut celana dalam. Atau dengan kata lain, dua orang yang saling tahu hal memalukan.

“Dia cuma datang untuk mengambil barangnya yang hilang.”

“Celana dalam ya.”

“Heh?”

Kata-kata Mashiro membuat Kanna terkejut dan membuatnya langsung menatap tajam ke Sorata.

“Bukannya tadi kau baru janji tidak akan membocorkan hal ini ke siapapun!”

“Karena Shiina dan Aoyama juga ada saat ku pungut celana dalammu, jadi mereka juga tahu soal celana dalam.”

“Kau bohong! Saat itu cuma ada kau sendiri. Aku akan mebocorkan rahasiamu, orang yang kau sukai adalah …!”

“Uwa~~! Tunggu sebentar!”

Untuk menutup mulutnya, Sorata mendorong jatuh dia ke kasur.

“Ka-Kanda-kun, apa yang kau lakukan!?”

Sorata tiba-tiba tersadar.

“Ma-maaf!”

Sambil meminta maaf Sorata menarik Kanna yang terjatuh di kasur. Mungkin karena terkejut, Kanna melamun sebentar.

Juga, masalah Sorata belum selesai sekarang, situasi menjadi buruk.
“orang yang disukai Sorata?”

“Sekarang sedang membahas apa?”

Mashiro dan Nanami bertanya hal yang paling Sorata tidak ingin didengar oleh orang lain.

“Tidak, itu ….”

“Untuk membuat dia jaga rahasiaku, aku memintanya untuk beritahu salah satu rahasianya.”

“Menggunakan rasa malu untuk menahan orang lain.”

Yang berbicara tadi adalah Mashiro.

“Apa kalimat ini sedang populer? Atau cuma aku sendiri yang tidak tahu?”

“Jadi, rahasia Kanda-kun ada orang yang sedang dia sukai …. Dengan kata lain, Hase-san bertanya orang yang sedang disukai Kanda-kun?”

Nanami bertanya.

“Iya.”

“siapa yang disukai Sorata?”

Mashiro bertanya tanpa ragu.

“Tidak boleh tanya! Kalau bilang akan menyebabkan perang yang memalukan, bisa jadi dunia hancur nanti!”

“Mereka berdua sudah tahu rahasiaku, jadi kalau aku membocorkan rahasiamu di sini, tidak apa-apa kan.”

Kanna menjelaskan situasi saat ini dengan benar. Kalau begitu, jadinya adil, tapi kalau dia membocorkannya tamat sudah, karena nama yang Sorata beritahu tadi, salah satunya ada disini.

“Maaf, bisakah kau mengkasihaniku?”

Sorata dengan serius memohon dan menundukkan kepalanya.

“Aku cuma bercanda.”

“Bisa tidak jangan memakai eksrepsi yang serius! Juga, tolong pandangan matamu!”

Kalau tidak hati-hati, rahasia akan ketahuan karena orang yang dilihat Kanna saat ini.

“Aku merasa kau sedang menggali kuburanmu sendiri, apakah tidak apa-apa?”

“Heh?”

Setelah Sorata mengatakannya, ia baru sadar, tadi sudah salah mengambil keputusan, itu sama saja dengan membocorkan rahasia sendiri.

Itu berarti, orang yang disukai Sorata antara Mashiro atau Nanami, tinggal memilih salah satunya.

Pertama, tatapan mata Sorata dan Nanami saling bertemu.

“….”

“….”

Tidak mengatakan apapun. Tapi eksresinya Nanami mengerti apa yang dimaksud Kanna tadi. Terkejut, bingung, dan ragu, semua dapat dilihat dari tatapan matanya.

Punggung Sorata mulai berkeringat.

Satu-satunya penebusan adalah reaksi Mashiro. Dia mulai berpikir apa yang dimaksud Kanna tadi.

“Terima kasih telah meningkatkan nilai rahasiaku. Kalau begitu aku sudah tenang.”

“Aku rasa aku tidak akan tenang sampai nanti tidur malam ….”

“Kalau beitu, hari ini aku pulang dulu. Atau sebaiknya aku bantu merapikan kamarmu?”

“Silahkan pulang saja.”

“Ah! Tunggu sebentar.”

Kanna tidak peduli pada Nanami yang mencegahnya agak tidak pulang, dan langsung mengambil tasnya berdiri.

“Aku pulang dulu.”

Dia menundukkan kepalanya, memberi salam dengan sopan, dan meninggalkan kamar.

“Hati-hati ….”

Sorata dengan susah payah mengatakannya.

“….”

“….”

Sorata merasa tertusuk karena tatapan Mashiro dan Nanami yang menatapnya.

“O-oh iya, Aoyama ingin latihan naskah? Shiina ingin baumkuchen?”

Sorata berpura-pura ceria untuk mengganti suasana.

“….”

“….”

Tapi tentu saja usahanya gagal.


Setelah beberapa lama, mereka berdua tetap menatap Sorata terus.

Bagian 4
Setelah Kanna meninggalkan Sakurasou, ditambah Iori yang baru pulang, mereka makan malam. Hampir tidak ada percakapan, yang ada hanya tatapan menusuk dari Mashiro dan Nanami, sampai Iori yang tidak mengerti situasi saat ini merasakan penderitaan Sorata.

“Hari ini tenang seperti sedang makan kepiting. Ah, jangan jangan itu? Karena aku hanya tertarik pada perempuan gajah jadi marah?”

“Apa itu perempuan gajah? Maksudmu perempuan anggun dan cantik mungkin. (elephant dan elegant pengucapannya hampir sama dalam nada jepang.)”

“Maksudku perempuan yang dadanya besar.”

Walaupun bicara topik seperti ini dengan Iori, suasana tidak sedikitpun membaik.

Setelah selesai makan malam, Sorata mulai merapikan kamarnya yang kacau balau karena Kanna itu.

“Perlu bantuan?”

Nanami yang bertanya dengan tulus, cuma bisa Sorata terima dalam hatinya, dan Sorata menolak dengan berat hati. Tidak boleh lagi menguras mentalnya yang lemah ini.

Setelah Sorata merapikan kamarnya, dia mulai membuat game.

Tapi, rasanya hari ini tidak ada mood untuk membuat game, kepalanya sedang pusing, dipenuhi perasaan antara suka dan tidak suka.

Hari itu … saat malam natal, perasaan yang harusnya sudah ia tutup rapat-rapat itu entah kenapa mulai melonggar.

Berpikir terus memaksa diri sendiri tidak akan berhasil, Sorata berhenti membuat game hari ini, mematikan komputer, dan menuju kamar mandi.

Setelah bertemu Iori yang kebetulan baru keluar dari kamar mandi, Sorata masuk ke kamar mandi dan menghangatkan badannya.

Ia kira dengan mandi bisa mengganti suasana hati, ternyata tidak bisa.

Dia mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu berjalan ke kamarnya sendiri. Di sana, Nanami duduk di kasurnya dan menunggunya sendirian. Dia memakai piyama, rambutnya sudah digerai turun, dan ia juga memakai kacamata.

“Ah!”

“Jangan menunjukan ekspresi seperti itu, jadi membuat orang lain tidak nyaman.”

“Harusnya kau tahu alasannya.”

Padahal kamar sendiri, tapi Sorata membutuhkan keberanian untuk melangkah masuk.

“Jangan khawatir, karena aku tidak akan bertanya lagi.”

“Serius?”

Sorata dengan hati-hati melangkah masuk ke kamarnya dan duduk bersebelahan dengan Nanami di kasurnya.

“Karena, tidak ada gunanya bertanya.”

Nanami melihat ke tempat lain, ke arah depan. Di situ adalah lukisan dinding yang Mashiro dan Misaki-senpai lukiskan musim gugur tahun lalu. Tapi Sorata tidak merasa Nanami sedang melihat lukisan dinding itu, dia merasa Nanami sedang melihat sesuatu yang lebih jauh …. Sesuatu yang lebih jauh yang tidak terpengaruh oleh waktu maupun jarak.

“Tidak perlu tanya aku juga tahu.”

Nanami bergumam.

“Begitu, ya ….”

Sorata juga diam-diam membalas.

“Sejak awal aku sudah tahu.”

Ia tidak merasa begitu terkejut. Setelah mendengar kata-kata Nanami, hati Sorata tenang kembali.

“Apa kau menungguku hanya untuk mengatakan ini?”

“Tidak, yang tadi hanya sekalian saja.”

Kalau begitu berarti persoalan yang akan dibicarakan Nanami sekarang lebih penting. Sorata menyiapkan dirinya untuk mendengar.

“Tadi, Misaki-senpai datang ke kamarku dan memberitahuku tanggal audisi nanti.”

“Tanggal berapa?”

“Bulan Mei tanggal 3. Dia bilang jam 5 sore audisinya dimulai. Tempat sudah dipersiapkan, di studio Universitas Suimei.”

Kira kira masih sisa sepuluh hari.

“Lalu setelah mendengar itu, aku merasa tidak tenang …. Bisa menemaniku latihan sekali lagi?”

“Aku sudah tahu. Kalau untuk latihan, dengan senang hati aku akan membantu.”

Sorata mengulurkan tangannya mengambil naskah yang ada di meja. Karena hampir tiap hari latihan, Sorata sudah hampir hafal …. Naskahnya juga tidak banyak. Karya Misaki-senpai sekarang lebih banyak menampilkan adegan gambar, walau filmnya sendiri 40 menit lebih, tapi kalau cuma latihan naskah kira kira 15 menit sepertinya sudah cukup.

Dilihat dari Nanami yang datang dengan tangan kosong, sepertinya dia sudah hafal.

“ ‘Kau tiba tiba ingin memberitahuku sesuatu … apa itu?’ ”

Dimulai dari naskah paling awal yang ia tidak tahu sudah mengulanginya berapa kali.
“ ‘Hn, sesuatu yang lumayan penting … mungkin.’ ”

Balas tokoh utama perempuan.

Karakter yang ditampilkan hanya tokoh utama laki laki yang diperankan Sorata dan tokoh utama perempuan yang diperankan Nanami. Kira-kira di filmnya nanti cuma ada dialog antar mereka berdua.

Dua orang teman masa kecil yang sudah SMA kelas tiga, karena pernyataan cinta tokoh utama perempuan, mereka jadi berpacaran. Hari-hari yang bahagia, tiap hari yang bahagia. Pergi ke sekolah bersama-sama, tatapan mata yang saling bertemu saat pelajaran, makan siang bersama, pulang bersama. Dan kadang belanja bersama-sama, atau kencan ke taman hiburan, berciuman saat naik bianglala. Walau tidak ada perkembangan cerita yang mengejutkan. Tapi setiap adegannya terasa manis, membuat orang berpikir kehidupan SMA seperti ini juga tidak buruk.

“Hn~~ Apa boleh begini?”

Saat adegan kencan di taman hiburan selesai, Nanami menyerah pada karakternya, ia mengeluarkan suara yang aneh.

“Aku merasa yang tadi cukup bagus kok.”

Ia sudah mendalami perasaan tersebut. Jujur saja, adegan bianglalanya membuat orang gugup. Dan saat Nanami mengatakan kalimat ‘ayo kita berciuman’, membuat hati jadi tidak tenang.

“Hn …. Tetapi, Misaki-senpai bilang ingin perasaan yang tidak ingin diubah?”

“Ya.”

“Apa tidak merasa yang tadi itu agak palsu? Atau bisa dibilang disengajakan ….”

“Ini … hn, sepertinya.”

Rasanya seperti jelas kalau itu akting. Tapi itu mungkin karena Sorata sangat mengenal Nanami, jadi bisa merasakannya.

“Ah susah juga, sepertinya tidak perlu akting ….”

“Aku malah merasa kalau akting lebih susah ….”

“Aku merasa sudah lebih baik dari pada waktu dulu latihan, sudah tidak ada perasaan yang ingin membuat tertawa.”

“Kalau begitu terima kasih atas pujiannya.”

Masalah Sorata tidak penting sama sekali, karena yang ikut audisi adalah Nanami.

“Mungkin karena aku menghapalkan sambil memikirkan ‘mungkin perasaan tokoh perempuannya seperti ini’ …. Tapi bagaimanapun itu cuma membayangkan. Aku tidak pernah punya pacar, tidak pernah kencan ke bianglala, jadi tidak begitu mengerti.”

“Begitu ya.”

“Hn~~.”

“Kalau begitu, mau bagaimana ya ….”

Mereka berdua memikirkan solusi untuk masalah ini.

“….”
“….”

Setelah beberapa saat, tatapan mata Sorata dan Nanami saling bertemu. Dengan ekspresi seperti sudah memikirkan solusinya. Di dalam otak Sorata, muncul sebuah ide.

“….”

“….”

Hanya, Sorata ragu-ragu untuk mengatakannya atau tidak. Walau untuk audisinya, tapi apa Sorata boleh mengatakannya pada Nanami yang sepertinya sudah tahu perasaan Sorata …?

“Itu, Kanda-kun.”

Saat ini, Nanami yang berbicara.

“Mau tidak kencan ke taman hiburan?”

Terdengar seperti sedang meniru karakter seseorang, terlihat sedikit disengajakan.

“Kenapa menggunakan nada sopan seperti itu?”

“Bukannya Kanda kun kadang juga seperti itu?”

“Yah, benar juga ….”

Mereka berdua tertawa.

“Bagaimana dengan lusa, hari minggu?”

Kali ini Sorata yang bertanya.

“Hari itu, aku ada pekerjaan seharian, ganti tanggal 29 bagaimana?”

Itu merupakan hari pertama golden week, belum ada rencana apapun.

“Boleh.”

“Kalau begitu, tanggal 29 ya.”

“Hmm, tapi kalau aku menjadi lawanmu untuk menemani ke taman hiburan, apakah itu bisa menjadi sebuah contoh yang bagus untuk adegan bianglala nanti?”

Kata-kata yang tidak sengaja dikeluarkan biasanya hanya untuk menutup perasaan malu. Sorata merasa seperti itu, dan Sorata yakin kata-kata tadi untuk menenangkan suasana saat ini. Sejak dulu selalu seperti itu.

Tapi hari ini sedikit berbeda.

“….”

“….”

Nanami terdiam, mengangkat kepalanya dan menatap Sorata, terlihat sedikit marah dengan ekspresi serius. Pandangan matanya yang terlihat ragu, seperti menunjukkan kesepiannya pada Sorata.

“Apa kau benar-benar merasa begitu?”

Karena kalimat ini, hati Sorata terasa terpincut. Saling melarikan diri dari perasaan masing-masing, tapi Nanami seperti mengulurkan tangan, meminta Sorata untuk tidak melarikan diri.

“Tentu saja bisa jadi contoh yang bagus.”

“….”

“Karena orangnya adalah Kanda-kun, tentu bisa jadi sebuah contoh yang bagus.”

“Begitu ya ….”

Suara terasa habis.

“Hn.”

Setelah Nanami membalasnya, dengan cepat ia berdiri.

“Terima kasih hari sudah menemaniku latihan, walaupun latihannya berhenti tengah jalan, tapi tidak apa-apa. A-aku balik ke kamar dulu.”

Nanami dengan cepat mengatakannya, dan berlari kecil meninggalkan kamar Sorata.

Suara langkah kaki Nanami semakin menjauh, kembali ke lantai dua.

Sorata yang setengah melamun, tidak mengedipkan mata sesaat, dan dengan cepat sudah tidak melihat Nanami lagi.

------ Tadi itu apa?

Pertanyaan ini muncul di otak Sorata. Tapi sepertinya tidak begitu berarti.

Sorata sudah tahu jawabannya.

“….”

Sorata menutup mata dan berbaring di kasurnya.

Kucing yang sudah tidur bangun lagi dan protes kepada Sorata karena terkejut.

Walau suara mengeong itu terdengar oleh Sorata, tapi Sorata tidak peduli.

Musim semi kali ini …. Musim yang baru telah tiba, kehidupan SMA tahun ketiga ini akhirnya sudah dimulai.

Di Sakurasou, ada Sorata, Mashiro, Nanami, Ryuunosuke, Maid-chan, dan Chihiro-sensei. Saat ini juga ada siswa kelas satu yang bergabung, yaitu Iori. Sorata juga mengira kalau tahun ini ia juga akan merasakan banyak hal dengan penghuni Sakurasou, kadang bahagia, kadang sedih … dan mengira bakalan seperti ini terus sampai tamat SMA. Ia tidak ragu-ragu mengira hubungan seperti saat ini bakalan berjalan terus.

“….”

Tidak, apa benar begitu? Sepertinya tidak, tiap hari yang terlihat sama, sebenarnya sedikit demi sedikit mulai berubah ….

Karena hari-hari yang terasa begitu damai, sampai melupakan ini.

Seperti musim yang mulai berubah, berjalannya waktu juga mengubah hubungan antar manusia. Karena hari ini tidak begitu beda dengan kemarin, jadi tidak terlihat perubahan yang jelas. Sampai suasana hati sendiri yang berubah, juga tidak sadar ….

Lalu, sedikit demi sedikit perubahan yang kecil itu, suatu hari akan menunjukkan wujudnya, seperti saat Mashiro ingin melukis Sorata ….

Hubungan dengan Nanami juga mulai berubah. Sejak kapan ya ….

“… Berpikir begitu kurasa tidak ada gunanya juga.”

Yang bisa dipastikan, Sorata dan Nanami bersama-sama melewati hari ini.

Juga sebuah hal yang tidak bisa kembali ke kemarin lagi.


Sorata mulai merasakan kedua hal tersebut.