Hajar dan Lari

Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon


Dia tidak pernah melihat seorang assassin berjalan berseragam seperti seorang assassin.

Tidak, dia pernah melihatnya sekali, satu kali, sebelum orang itu ketahuan oleh penjaga dan di tahan. Jadi mungkin dia harus mengatakan bahwa dia tidak pernah melihat assassin profesional melakukannya. Siapapun yang melihatnya pastilah assassin yang tolol, amatiran, atau bodoh, atau mungkin ketiganya.

Tidak di ragukan lagi, pria itu pro.

*****

Dia tidak terlalu menganggap dirinya sebagai pembunuh sewaan pro. Dia bangun perlahan dari kasurnya. Di luar jendela matahari sudah tinggi; lewat tengah hari. Untuk tidur di senja hari dan bangun di tengah hari bukanlah sesuatu yang sehat—dia mengetahui itu, namun tetap saja...

“Aku jadi burung hantu bersertifikasi.”

Dia juga jadi lebih sering berbicara pada dirinya sendiri.

Dia berada di dalam kamar murahan, dengan tidak lebih dari sebuah ranjang dan lemari untuk menemaninya. Lantainya juga dalam keadaan yang buruk, dan berdecit di setiap kali dia melangkah. Langkahnya ringan, namun tubuhnya tetaplah daging dan darah, masih mempunyai berat, secara perlahan dia turun dari kasur dan meletakkan tangannya di lantai. Dia meregangkan jarinya, menegangkan rusuknya, dan mendorong dirinya sendiri ke depan menggunakan lengan yang sama.

Setelah beberapa kali jumlah repetisinya, dia mengganti lengannya. Ini bukanlah tentang kuantitas atau kecepatan; adalah presisi yang dia incar. Tujuan dari ini adalah untuk tidak membuat lantai berdecit.

Di saat dia selesai dengan kedua lengannya, dia berdiri satu kaki dan mencoba mengulangi latihan yang sama dengan hanya menggunakan satu kaki.

Lengan kanan, kemudian lengan kiri; kaki kanan, kemudian kaki kiri. Dia berlatih dan melakukan pemanasan pada keempat anggota tubuhnya, adalah awal yang bagus. Idealnya, dia ingin melakukan pull up menggunakan kasau atàu balok gantung, namun dia takut memikirkan apa yang akan terjadi jika benda itu patah.

Seberapa bagusnya latihan isometris ini baginya tidaklah begitu jelas, namun tidak di ragukan bahwa ini lebih baik dari tidak melakukan apapun sama sekali. Terlebih, dia merasa ini lebih terpercaya di bandingkan bergantung pada perlengkapan atau sihir. Tentu saja, jika dia mengatakan ini secara blak-blakan, rekan dia akan memberikannya ceramah panjang lebar mengenai pentingnya perapalan mantra.

Dia memahami satu hal setidaknya: Tanpa mantra yang terukir di lengan dan kakinya, dia tidak akan bisa bergerak sedikitpun.

“...Hrm.” kendi air yang dia ambil ternyata kosong, dan tidak ada makanan juga. Itu bukanlah hal yang baru, mengumpat kecerobohannya sendiri pada hari berikutnya, dia memutuskan untuk keluar mencari makan. Tidaklah begitu buruk; lagipula, dia berencana untuk keluar juga hari ini. Tim favoritnya telah kalah pada Wizball kemarin, dan ketika itu terjadi, adalah lebih baik untuk pergi keluar dan mencari pekerjaan di banding meratapi di dalam kamarnya.

Dia mengelap dirinya sendiri dengan sebuah kain, kemudian pergi menuju lemari dan membuka pintu gandanya. Lemari itu penuh dengan pakaian, namun dia menggesernya ke samping, mencari kunci tersembunyi di satu sudut. Dengan sebuah klik, bagian belakang dari lemari terbuka, menunjukkan ruangan kedua rahasia.

“Heh!” tidak peduli berapa kali dia melakukannya, tidak peduli seberapa baiknya dia mengetahui apa yang berada di dalam sana, hal ini selalu membuatnya menyengir. Tidak terdapat banyak perkakas di ruangannya, namun dia telah bekerja keras untuk ruangan satu ini—cukup sampai membuat temannya gila.

Adalah lebih dari sekedar armor kulit dan topi militer yang tersimpan di dalam ruangan ini. Dia memiliki pistol di sana, busur silang, dan berbagai macam hal yang secara teknis di larang. Benda yang harus di simpan jauh dari mata memandang.

Dia pernah melihat sebuah sandiwara dulu sekali di mana seorang mata-mata raja telah menyembunyikan perlengkapannya dengan cara seperti ini. Semenjak itu, dia ingin melakukan hal yang sama—walaupun, pada akhirnya sang mata-mata itu terbunuh di ujung sandiwara, mungkin itu semua hanyalah kesialan.

“Mm... Sempurna. Semuanya ada.” Dia menarik pistol, memeriksa busur silang, memastikan semuanya berfungsi seperti seharusnya, kemudian meletakkannya kembali dengan rapi di dalam rak. Dia tidak begitu yakin apa bagusnya inspeksi ini, namun, sekali lagi...lebih baik dari tidak melakukan apapun sama sekali.

Kemudian, dengan rutinitasnya selesai, dia menarik baju dan jaket. Tentunya dia tidak akan memakai topi militer atau mantel panjangnya. Dia bahkan tidak akan berjalan dengan membawa pistol atau busur silang bersamanya. Karena jika kamu melihat seseorang berjalan di kota terlihat seperti seorang assassin, maka kamu tahu bahwa mereka adalah amatir.

****

Beberapa jam sebelum gelap, sebuah angin bertiup di kota air, membawa aroma lembab dari sungai. Bermandikan cahaya matahari emas, kota ini tampak pelan dan kaku.

Seorang dwarf dengan ahlinya, mendayung gondola di atas kanal. Sang assassin yang tidaklah amatir, memperhatikannya untuk sesaat, kemudian pergi berjalan ke hulu. Seorang rhea memimpin anak-anak, berlari melewatinya, berteriak dan ribut. Sang rhea itu hampir tiga puluh tahun; dia memiliki anak-anak terburuk di kota bersamanya. Dia mungkin sedang merencanakan perampokan atau sesuatu.

Ngomong-ngomong tentang berapa tuanya orang-orang, bagaimana dengan elf itu yang sedang menggosokkan baju pada papan cuciannya? Elf tetap cantik tanpa mempedulikan seberapa tuanya mereka, dan lagipula, akan membosankan untuk mempertanyakan umur salah satu bunga malam ini, bahkan seorang manusia—terlebih seorang elf.

Wanita itu menatapnya, dan dia membalasnya dengan senyuman malu dan anggukan kecil kepalanya.

Sudahlah, dia berpikir. Bocah dan gadis baik kecil tidak bergabung dengan Guild, dan mereka tidak berkeliaran di sekitar kota selarut ini di senja hari. Aku harus mendapatkan pekerjaan di agensi secepatnya untuk menjadi pengawas malam atau pengawal atau sesuatu.

Itu karena dia, bukanlah petualang resmi, yang pergi melakukan quest atau bekerja di sekitar kota. Kalung peringkat palsu ini sangatlah berguna, namun kalung ini juga memiliki kekurangan, bahwa jika kamu terlalu tidak pergi berpetualang, maka orang-orang akan mulai bertanya-tanya. Dan ketika seorang pria yang tidak memiliki pekerjaan atau sumber penghasilan yang jelas berkeliaran, maka orang-orang akan mulai mencurigainya sebagai dalang dari apapun hal buruk yang terjadi di sekitar area mereka.

Dia tidak terlalu keberatan untuk di salahkan tentang apa yang dia sudah lakukan, namun dia tidak ingin seseorang mendatanginya hanya karena beberapa orang bodoh telah menyebabkan masalah di sekitaran. Mempunyai alibi yang selalu siap di gunakan kapan saja adalah bagian dari permainan.

Untuk beberapa saat dia berjalan dengan sedemikian rupa agar tidak mencolok di atas jalanan yang cukup sepi—dengan kata lain, berjalan lurus, seperti dia mengetahui kemana dirinya akan pergi, namun tidak dengan terburu-buru. Kemudian, dia berpura-pura bahwa dia mengingat sesuatu, kemudian dia berbelok masuk ke jalan samping, kemudian jalan lain, kemudian lainnya lagi, melintasi jalannya melewati labirin gang.

Di balik pusat kota yang ramai, di sini sangatlah sepi, rapi, dan bersih. Di suatu tempat di sana adalah sebuah jalan masuk biasa dari apa yang terlihat seperti pintu belakang dari semacam restoran atau sesuatu, yang di mana pintu itu akan membimbingmu ke lantai bawah dari ruang bawah tanah. Pintu itu memiliki rambu yang menurutnya terlihat seperti Silver Moon atau Grim Reaper. Dia melirik pada rambu itu, kemudian menuruni tangga dengan satu loncatan anggun.

Dia berhadapan dengan sebuah dinding yang tertutupi dengan grafiti yang terlihat sudah berada di saja sejak jaman dahulu, tertulis di mana seorang manusia harus berjongkok untuk bisa membacanya, yang di mana tulisan itu berisi tentang hal-hal biasa yang berkaitan dengan para elf. Di atas di mana manusia harus berjinjit untuk melihatnya adalah beberapa hal-hal keras mengenai para dwarf. Dan tepat di depan mata manusia adalah dua garis kalimat tentang keburukan manusia.

Dia menyeringai, seperti yang selalu dia lakukan, dan menggosok kata Longshanks dan Strider dengan tangannya, kemudian dia membuka pintu terbawah—pintu masuk menuju sebuah bar. (TL Note : Speakeasy = Bar)

Dia melewati meja counter, di mana seorang bartender sedang mempersiapkan minumannya kepada salah satu pelanggan.

“Berikan aku tiga kacang.”

“Dua seharusnya sudah cukup buatmu.”

“Nggak, tiga. Dua tambah satu—tiga.” (TL Note : quick math!!!)

“Pesanlah minuman sesekali.”

“Minuman kencing kuda itu?”

“Coba kamu lihat sesuatu itu dari sudut pandangku...”

Dalam sekilas ini terlihat seperti tempat yang vulgar, namun di dalam, kamu akan menyadari bahwa tempat ini cukup berkelas. Karpetnya lembut; meja, botol, dan gelasnya tampak berkilau. Terdapat meja bilyar yang di kelilingi oleh orang-orang yang terhanyut dalam permainannya, dan kemudian En Garde, sebuah permainan tarung, yang di nikmati orang-orang dengan segelas anggur di satu tangannya. Terdapat elf, rhea, dwarf, dan padfoot. Dan wanita yang bermesraan dengan lizardman di sudut ujung sana sepertinya adalah seorang dark elf.

Jika mereka berjongkok di suatu tempat di kota, maka mereka akan terlihat seperti kumpulan para preman, namun entah mengapa, di tempat ini, mereka adalah sesuatu yang lebih. Terdapat kualitas pada para kumpulan klien di sini yang tidak akan selalu kamu temui di perjalananmu. Jika dia harus memberikannya nama, maka mungkin dia akan mengatakannya...

Gaya, sialan!

Siapapun yang kurang beruntung untuk tidak memilikinya, akan dengan cepat di seret dan di lempar secara kasar keluar pintu. Tentunya mereka tidak akan di ijinkan masuk ke bagian terdalam dari bangunan ini.

Dia merajut langkahnya di antara kursi-kursi hingga akhirnya dia melihat pintu yang dia cari. Tebal, terbuat dari baja.

Ya, segalanya tentang tempat ini terlihat kurang lebih seperti warung makan biasa. Namun tidak dengan apa yang berada di balik pintu itu.

Adalah sebuah gua, pikir beberapa orang. Namun tidak untuknya. Baginya, itu adalah lautan.

Sebuah ruang terbuka bermandikan cahaya biru sejuk, lampunya remang namun ada, benar-benar berbeda dari kegelapan sesungguhnya. Bartender dan barmaid dengan rompi yang terjahit sempurna berenang melewati ruangan, menerima pesanan dan mengantarkan minuman. Sebuah band yang di sewa melantunkan melodi gamelan degung yang berteriak di telinganya bagaikan raungan lautan. Bagaimana bisa mereka menghasilkan suara seperti itu hanya dengan instrumen yang tampak seperti bergoyang dan bergetar? Dia tidak mengetahuinya, seperti dia tidak bisa mengetahui perbedaan antara waiter, bartender, atau garcon.

Tapi hei, kurasa itu nggak penting, dia pikir.

Ini adalah lautan. Dan ketika berenang di lautan, para barmaid—para duyung—adalah kesukaannya, dia memutuskan seraya dia menemukan kursi biasanya.

“Oh, kamu di sini!” Gadis berambut merah melihatnya dengan semangat dan senyum, tampak jelas setidaknya dia sedikit senang melihat pria ini. Sedang untuk “mata” pria ini, dia dapat melihat menembus lautan ini juga. Dia membiarkan pipinya melemas menjadi senyuman tipis.

“Yeah, kurasa akan ada pekerjaan nggak lama lagi. Kamu juga berpikir gitu ya?”

“Yah, aku antara ingin bekerja atau aku ingin malas-malasan.” Elf berambut merah melihat meja dengan canggung. Pria itu duduk di samping sang gadis dengan santainya, kemudian melihat sekitarannya kembali, melihat gadis lain di meja seberang.

“Mahh.... Urgh...” Desahan tidak jelas itu tampak tidak pantas bagi seorang cleric yang menyembah Dewa Pengetahuan.

Sang assassin merautkan wajah. “Dia kenapa?”

“Cuekin saja dia,” pengemudi berotot mereka berbisik—dia juga sudah berada di sini, dia tengah menyedot jus buahnya dengan gembira—mencoba tidak mabuk agar dia dapat memegang kendali kusir, mungkin.

“Katanya dia kehabisan uang.”

“Apa? Kita itu kaya sehabis kejadian di gurun itu.” Sang assassin lebih terkejut dari apa yang dia niatkan. Memang benar dia mencoba untuk tetap sembumyi-sembunyi sampai keributan mereda, namun walaupun begitu, ini terlalu cepat untuk sampai bisa kehabisan uang.

“Ini salah buku itu! Bukunya mahal banget...” sang cleric menggerutu dengan suara yang tidak terlalu merengek dan tidak terlalu mengumpat juga.

“Yeah, buku memang mahal.” Gadis berambut merah berkata dengan setengah tersenyum. “Percaya deh, aku sudah banyak berurusan dengan sihir untuk mengetahui kalau buku bisa membuatmu bangkrut.”

“Itulah kenapa aku harus mengambil pekerjaan jelek ini. Ini demi mengejar kebenaran.” Kepala cleric berguling ke satu sisi, dan dia tertawa kecil, terdengar seperti seorang gadis seumurannya. Mungkin dia merasa lebih baik sekarang, telah melampiaskan keluhan yang mengganjal di hatinya. Karena, sang pria yakin bahwa itu bukanlah di sebabkan dari alkohol—hanya orang tolol yang minum sebelum bekerja.

Hrm...

Pikiran itu mengingatkannya bahwa dia masih belum memakan apapun.

“Geser, aku lapar.”

“Yep, yep. Hup.” Sang gadis cleric berdiri dari meja agar meja itu kosong. Sang assassin memanggil salah satu barmaid—wanita itu benar-benar terlihat seperti duyung—dan memesan tanpa sedikitpun melihat menu.

“Tiga burger. Nggak perlu pakai roti. Dan beberapa air soda.” Dia menyentilkan koin emas kepada wanita itu dan sang barmaid pergi dengan senyuman.

“Yah, setidaknya kamu belum kehabisan duit.” Elf berambut merah menyengir, mengubah senyumnya menjadi tawa. “Mencoba bertingkah seperti seorang gunslinger?”

“Nggak, aku cuma ketiduran,” dia berkata pendek. Dia tidak pernah menyukai gagang itu; itu membuatnya tidak nyaman. “Hilang kemarin.”

“Wizball,” gadis berambut merah berkata pelan. “...Apa itu sepadan buat di depresikan?”

“ini semua gara-gara sang kapten tertangkap oleh garda kota waktu itu.”

Bahkan seraya dia berbicara, sang barmaid, dengan lincahnya bekerja, kembali dengan pesanannya dan meletakkan semua di atas meja tanpa suara. Piring besi panas itu berdesis dengan tiga lemak daging yang berada di atasnya. Dia mengambil sejumput garam dari botol di dekatnya, dan menambahkan banyak merica, dan kemudian mulai memotong daging itu dengan pisau. Akhirnya, dia membawa daging itu ke mulutnya. Dia tidak mengincar rasa maupun kuantitas, begitu pula nutrisi atau panas. Perasaan itu tidaklah jelas. Pokoknya, dia tahu dia berada di mana. Dia yakin bahwa ini akan terasa enak.

“Maksudku itu bukan pertama kalinya beberapa dwarf mabuk dan sakau hingga membuat keributan di rumah makan setelah berkelahi.” Dia berkata, akhirnya berhasil mengumpulkan pikirannya kembali seraya dia mengaduk air soda di dalam mulutnya. Akhirnya, dia menambahkan, “Banyak yang terjadi di sekitaran sini akhir-akhir ini.”

Sang kusir turut membahas topik ini dari sudut yang berbeda. “Pengawas kota menangkap centaur ini, salah satu dari aurige—pelarian dari kompetisi Quadriga—waktu itu.”

“Yeah, untuk apa?”

“Doping,” sang kusir berkata tidak tertarik. Dia penggemar berat dari kompetisi Quadriga yang di adakan di arena. “Orang itu bilang kalau itu obat asma, tapi itu ternyata obat asma ilegal.

Sang assassin hanya memiliki beberapa pilihan kata untuk ini: “Cerita bodoh.” Dia menusukkan potongan daging terakhir di piring, kemudian memasukkannya ke dalam mulut.

Elf berambut merah memperhatikan pria itu dengan senang, kemudian memberikan pertanyaannya sendiri kepada percakapan ini. “Oke, oke. Tapi katanya yang benar-benar mengerikan itu ‘Ketua iblis’ dari garda kota?”

“Aku dengar dia pernah menjadi bagian dari dunia bawah tanah, jadi dia di kenal sering pura-pura tidak tahu.” Sang cleric dari Dewa Pengetahuan melambai kepada pegawai yang lewat, telah tergoda oleh aroma dari daging, dan ingin memesan daging itu untuk dirinya sendiri. “Aku mau air lemon. Dan sesuatu untuk di makan—yang paling murah yang kalian miliki. Terserah mau kalian buat semurah apapun.”

“Aku pesan roti lapis dengan daging yang sudah di awetkan,” elf berambut merah berkata dengan menyengir, “Mau bagi dua denganku?”

“Seorang elf makan daging. Keajaiban memang nggak pernah ada habisnya.”

“Nggak ada keajaiban di dunia ini.”

Adalah perasaan yang bagus untuk melihat sepasang wanita bercanda dan bergurau bersama. Melihat itu, sang assassin merasa lebih baik dari malam sebelumnya, baik secara fisik maupun mental. Baginya, ini sudah cukup. Karena itu, ketika makhluk putih tidak di ketahui muncul tiba-tiba dari bayangan, dia bisa tersenyum melihatnya.

“Hmm, apa kamu yakin itu cara untuk memperlakukan temanmu? Kurasa aku tidak menyetujuinya.” Familiar itu menyenggol tangannya, namun dia tidak mempedulikan itu, dia hanya memberikan tepukan pada kursi yang kosong.

“Oh, kamu di sini,” gadis berambut merah berkata, menjulurkan tangan, dan sang cleric menambahkan, “Kerja! Kami mau pekerjaan!”

“Kalian semua lihat itu barusan kan? Cara dia memperlakukanku. Jelek kan? Memegang orang di lehernya! Tuhan.” Rekan mereka—di manapun tubuh aslinya berada—menjilat bulu di bagian perutnya yang gatal.

Sang assassin hanya mengangkat bahunya. “Itu salahmu sendiri, menyelinap keluar bayangan seperti itu.”

“Itu benar, kamu punya Bat Eye, kan? Seharusnya aku sudah menduga itu.”

Mereka hanya saling menggoda satu sama lain. Sang assassin bahkan memaafkan makhluk putih itu yang mencuri selembar dagingnya.

Tidak lama kemudian, roti lapis elf berambut merah tiba, dan percakapan mereka berlanjut kembali. Kebanyakan membahas tentang buku yang di beli sang cleric (yang haus akan pengetahuan), dan penipuan yang terjadi di kota pada waktu itu. Ketika makanan dan minuman telah di habiskan...

“Baiklah, semuanya ada di sini?” Teman mereka berkata gembira, mendekati kursi mereka. Makhluk itu mungkin sudah berada di sana selama beberapa saat sebelum pada akhirnya menunjukkan dirinya. Wizard ini hanya pernah muncul melalui familiarnya; wanita itu sendiri mungkin berada di tempat yang sangat jauh. Jika tidak, dia tidak mungkin dapat menyamakan tempo kehadirannya dengan sangat sempurna, di kala terdapat keheningan di dalam percakapan mereka. Hal itu sangat mudah di tebak dalam waktu singkat bekerja dengan wanita ini.

Mereka yang lain, termasuk sang assassin mengernyit di saat mereka melihat fixer ini dengan seringai kecilnya. Sudah waktunya untuk mantel dan belati: berlari melintasi bayangan dari kota besar. Pekerjaan mata-mata.

Dengan kata lain, ini adalah waktunya pelarian.

*****

“Pekerjaannya datang dari orang yang ku percaya, tapi aku sendiri masih belum bisa mendapatkan intel tentang ini.” Sang fixer berkata kepada mereka.

“Astaga, coba balik kalimatmu itu?” sang mata-mata berkata sarkas. “Setidaknya bakal jadi lebih meyakinkan.”

“Aku masih belum bisa mendapatkan intel tentang ini, tapi pekerjaannya datang dari orang yang ku percaya!”

“Itu sama saja!” sang kusir meludah kesal.

“Ya, tapi kita akan melakukan apapun. Dengan harga yang tepat,” sang cleric berkata datar.

“Hentikan itu, bisa nggak?” elf berambut merah menyela, sedikit terhibur.

“Yah, ini kedengaran seperti pekerjaan mudah, aku nggak akan terlalu ambil pusing,” makhluk putih itu berkata, menyimpulkan keadaan, dan kemudian pengarahan mereka di mulai.

Ini memang benar bukanlah pekerjaan yang sangat sulit, fixer mengulangi, sebuah pekerjaan malam cepat.

Cepat dan mudah bukanlah hal yang sama, pikir mata-mata. Mungkin mereka perlu memajang tulisan itu di jalanan terpencil, dia berpikir.

“Pokoknya, sasaran malam ini adalah seorang gadis kecil di suatu tempat yang membuat kesalahan besar.”

Mereka memberitahu pria itu, sang fixer berkata—sekarang ini adalah apa yang dia sudah dengar—bahwa ini adalah semacam hal yang sering terjadi. Seorang gadis gelandangan, seorang pengemis, tipe yang akan membuatmu mengira bahwa dia adalah pelacur. Namun hei, ketika kamu berjalan dengan pundak lurus dan pisau di tasmu, orang-orang tentu akan mengira bahwa kamu adalah preman jalanan. Gadis itu hanyalah seorang gadis suruhan dari salah satu geng jalanan, namun...

“Kemudian dia mulai menyelundupkan doping secara diam-diam, mengacaukan wilayah antar geng, dan mempertipis persediaan.”

Cerita biasa, pikir mata-mata, dan anehnya cukup mengagumkan. Ketika kamu tidak memiliki uang, kamu akan selalu merasa rendah dan bersembunyi. Ketika kamu punya uang, kamu akan berjalan keliling seolah kamu yang memiliki tempat ini. Kepercayaan diri ekstra itu sangat penting.

Akan tetapi, sang kusir, tampak memiliki pandangan lain. Dia meludah, “Dasar bego!”

“Kucing yang gemuk bisa lupa kalau tikus bisa menggigit.”

“Kedengarannya seperti seekor tikus yang mengira dia bisa mengalahkan kucing dengan menggigitnya...” Elf berambut merah terlihat simpati. “Jadi pekerjaannya apa? Kita mengintimidasi dia? Menangkapnya dan membawanya ke sini?”

“Nggak, ini sebuah hajar.”

Elf berambut merah terdiam. Setelah beberapa saat, dia berkata, “Oh.”

Hal semacam ini hampir terjadi setiap hari di kota besar. Geng jalanan bertahan dengan menggunakan reputasi mereka. Lihat mereka dengan cara yang salah hari ini, maka kamu bisa mati di keesokkan harinya. Lagipula, pengedar narkoba tidak pernah hidup lama. Seseorang mungkin tidak perlu melibatkan seorang pelari.

Namun bagi mereka, ini justru kebalikannya. Masalah berarti bisnis. Jika mereka bisa mendapatkannya, maka mereka akan menghasilkan uang dari itu. Adalah pekerjaan fixer untuk mencari masalah yang paling menguntungkan dari semuanya. Dan pria yang menyengir di depan mereka yang membahas pembunuhan ini sangat, sangatlah ahli dalam pekerjaannya.

“Jadi, kasih keputusannya. Lakukan atau nggak.”

Grup terdiam, saling bertukar lirikan—atau mungkin saling berkonsultasi melalui mata mereka. Hanya mata-mata yang siap segera membuka mulutnya. “Kamu nggak memberi tahu kita hal terpentingnya.”

“Oh? Apa itu?”

“Hadiahnya,” pria itu berkata tajam, kesal dengan pria ini yang berpura-pura bodoh. “Kita perlu peluru, mantra—semua itu nggak gratis tahu. Uang muka—seperti itu seharusnya.”

“Kamu kira aku ini bodoh?! Tentu saja ada hadiahnya. Ini.” Dia melemparkan empat kantung koin berat yang berdenting di atas meja, tepat di mana makanan mata-mata berada beberapa menit yang lalu. Setengah dari jumlah yang di sediakan oleh pemberi quest akan masuk ke dalam kantung sang fixer. Setengah dari sisanya akan di bayarkan secara muka kepada sang pelari, dan sisa setengahnya lagi akan akan di tahan hingga pekerjaan selesai. Seperti itulah etika dari ini. Kemungkinannya adalah, sang wizard, master dari familiar ini, telah menerima jatah bagian untuk dirinya juga.

Sang mata-mata menimbang berat dari pembayaran di tangannya—hanya setengah dari total yang akan dia dapat. Hmm... uang yang cukup banyak untuk pekerjaan cepat malam.

Sang mata-mata memperhatikan fixer dengan mata tidak manusiawinya. Ekpresi pria itu tidak bergeming.

Aku kenal pria ini. Pasti keseluruhan grup gengnya, atau beberapa kumpulan geng lain yang memicunya. Namun sang mata-mata tidak mengeluh. Dia akan mendapatkan uang. Uang dapat membantu memperindah kota. Itu artinya karma bagus untuk dirinya. Walau hanya sedikit.

Dia hanya memiliki satu hal untuk dikatakan, hanya dua kata. “Aku bersedia.”

“Aku, juga.”

“Aku memang ingin uang itu.”

“Baiklah, aku ikut juga.”

“Kan,” makhluk putih berkata, senang melihat semua tangan terangkat untuk ikut. “Nggak susah kan.” Makhluk itu lompat turun dari lutut fixer (kapan dia berada di sana?) dan kemudian naik ke atas meja. “Aku sudah dapat petunjuk di mana sasaran kita berada dan mengintainya ke sana sendiri.”

Adalah pekerjaan sang fixer untuk memberikan mereka pekerjaan, adalah wanita itu sendiri yang melakukan segala penelitian sebelum mereka berangkat. Wanita—itulah apa yang di pikir sang mata-mata mengenai wizard yang mengendalikan familiar ini. Dia merasa bahwa itu benar.

Gadis berambut merah dan cleric cukup akrab. Mereka sering satu pikiran. Tidak mudah untuk menipu mata mereka. Itulah mengapa sang mata-mata bersedia untuk mempercayai ucapan wanita ini. Seseorang tidak akan bisa memaksa temanmu untuk memiliki segala macam bukti.

“Nggak sejauh itu,” sang kusir berkata ketika dia mendengar lokasi tempatnya. Tentunya, dia sudah tahu cara untuk mencapai tempat itu, “Tapi kita butuh sesuatu yang lebih selain kaki kita sendiri untuk bisa sampai ke sana. Aku akan ambil keretanya.”

“Kedengarannya bagus. Terima kasih.” Gadis berambut merah tersenyum dan berdiri. Dia menarik mantel dan mengambil tongkatnya, dan dia siap untuk pergi. Sang cleric juga mengikuti. Dia, seperti elf itu, tidak perlu sesuatu yang lain selain seragamnya yang melapisi sosok kurusnya, bersama dengan lambang suci, untuk benar-benar siap pergi.

Sang kusir hanya membutuhkan sebuah kendaraan, dan di sana ada terdapat banyak roh di manapun di dalam kota, ketika dia melihat mereka bertiga telah siap untuk melakukan pelarian, sang mata-mata juga ikut berdiri. Kemudian dia berkata. “Mungkin kita bisa mampir ke tempatku dulu.”

“Kenapa?” gadis berambut merah berkata, sedikit cemas, dari cara gadis itu memiringkan kepalanya, bingung, sedikit menunjukkan salah satu telinga panjang yang biasanya tersembunyi di balik rambut.

“Mau ambil barangku.”

Oke, jadi tidak ada pekerjaan di saat dia pergi di pagi hari. Itu bukanlah pertanda yang bagus.

*****

Bahkan walau dengan mengambil jalan memutar, tujuannya tidaklah begitu jauh, berada di ujung kota air, di suatu tempat di antara kumpulan sampah, adalah sarang pengedar narkoba.

Para gelandangan berkumpul mengelilingi api di antara bangunan yang di telantarkan, rumah kosong, dan tumpukan sampah. Tidak ada peta di area ini. Bahkan peta kota sekalipun sulit untuk bisa didapatkan. Sudah cukup sulit untuk bisa masuk ke dalam kota rapi yang berdinding, namun kebanyakan tempat tidak mempunyai uang untuk di habiskan untuk hal semacam itu.

Jika berhubungan dengan wilayah kumuh seperti ini, tidak ada perencanaan, tidak ada irama atau alasan. Hanya membentang, dan orang-orang yang ingin tinggal di sana muncul dan menghias tempat itu sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Siapapun yang berada di sana kemarin bisa hilang hari ini, kota ini sendiripun tampak berubah dari waktu ke waktu.

Sebenarnya, mereka berada di luar dari batasan kota air, di ujung dari hukum dan ketertiban. Jika mereka ingin berkeliling, mereka akan membutuhkan salah satu gelandangan lokal sebagai pemandu, atau jika tidak...

“Mm. Info itu kurang lebih benar.”

Gadis muda mereka yang di berkahi oleh Dewa Pengetahuan. Dia tengah bermeditasi di atas kereta yang bergoyang hingga dia membuka kedua matanya dan berbicara seperti itu.

Dewa Pengetahuan sebenarnya tidak memberikan pengetahuan secara langsung, namun memberikan bantuan kepada pencari yang membutuhkan. Sumber tidak tepercaya adalah sama buruknya dengan Dark God, atau seperti itulah apa yang sering di keluhkan oleh sang cleric.

“Aku yakin tentang lokasinya. Dan aku cukup yakin wanita itu masih berada di sana. Walaupun dia mungkin akan pergi besok.”

“Pertanyaannya adalah situasi di sana.” Sang mata-mata mengangguk pelan, memainkan sebuah benda di tangannya. Pistol adalah senjata yang rumit, terlebih lagi busur silang. Kamu tidak ingin senjata itu menembak secara tidak sengaja. Itu adalah hal yang sangat penting. Demikianlah apa yang di pikirkan oleh sang mata-mata seraya dia memukulkan pantat senjata itu ke sisi kereta.

“Jangan lakukan itu. Kamu akan menggoresnya.” Ucap sang kusir. Dia selalu berkata seperti itu. Memukul sisi kereta adalah cara cepat untuk mendapatkan perhatiannya.

“Aku akan melihat. Berhenti di sini.”

“Coba bilang langsung sajasang kusir menggerutu, namun dia menarik tali kemudinya, dan sang kuda—atau lebih tepatnya keplie—berhenti bergerak. Hal terbaik tentang roh kuda adalah bahwa mereka tidak menimbulkan suara tapak kaki mereka. Dan jejak kaki yang di tinggalkan mereka akan segera cepat menghilang.

Mata-mata mempertimbangkan keuntungan dari hewan mereka seraya dia mengambil pistol di tas dan memasukkan ke dalam peluru bundar ke dalam kantungnya.

“Aku mengandalkanmu.”

“Uh-huh. Jaga sepatuku.”

Dia selalu meminimalkan ucapannya, dan jawaban gadis itu juga terbatas. Tidak ada keraguan dan tidak ada kebimbangan.

Wizard berambut merah memejamkan kedua mata dan roboh ke pundak mata-mata seperti boneka dengan tali yang terpotong. Gadis itu berkata bahwa inilah yang terjadi ketika dia memproyeksikan jiwanya ke alam gaib, berkeliling lepas dari tubuhnya dengan bebas. Sebagai roh murni, dia dapat menjelajahi banyak kilometer dalam sekejap, membuat dirinya dapat melihat apapun yang berada di sana. Tentu saja, dia menjelajahi alam gaib, bukan alam fana, karena itu dia tidaklah melihat hal yang benar-benar sama dengan apa yang akan di lihat pria itu ketika pria itu muncul. Walaupun begitu, dia dapat mengetahui jika sesuatu terasa janggal, atau mengetahui secara kasar jumlah orang yang akan berada di sana, dan informasi itu sangatlah berharga.

Sang mata-mata, tentunya, sama sekali tidak memahami seperti apa dunia yang di lihat gadis itu. Tetapi juga, dia juga tidak mengetahui seperti apa dunia yang di lihat sang cleric, atau sang kusir, atau makhluk putih, atau fixer. Di keseluruhan party, satu-satunya yang “biasa” –satu-satunya yang bukan pengguna sihir—adalah mata-mata.

Tapi memangnya kenapa? Itulah apa yang di artikan untuk memainkan peran yang berbeda. Dia mengetahui posisi apa yang dia mainkan.

Sang mata-mata dengan perlahan merebahkan tubuh gadis, melipat selimut untuk di jadikan bantal. Kemudian dia mengambil busur silang yang baru saja dia periksa secara hati-hati dan mengawasi kereta dengan kesiagaan penuh. Dia adalah perisai daging, dan dia tidak sedikitpun meragukan itu. Sang mata-mata mengetahui gumpalan daging siapa yang lebih berharga. Dia sangat mengetahui itu.

Malam telah menyelimuti tumpukan sampah kota ini, namun kegelapan tidaklah menghalangi pandangannya. Mata terlarangnya menangkap dunia dengan pandangan wire frame, persis seperti apa yang tampak di dalam Dungeon of the Dead yang terkenal.

“Hei, pertanyaan...” suara itu datang secara tidak terduga dari arah bagasi. Sang makhluk putih, cara mereka berkomunikasi dengan sang wizard, datang terbang. Mata-mata bertanya apa yang di inginkan wanita itu tanpa melihat mengarahnya—tentu saja tidak—dan makhluk itu mengayunkan ekornya tertarik. “Aku tahu aku sudah tanya ini, tapi matamu itu, matamu bisa melihat menembus benda kan? Maksudku, Evil Eye itu bukan keahlianku, tapi...”

“Cuma sedikit. Dinding tipis, mungkin aku bisa melihat apa yang ada di baliknya.” Bayangan bergerak di sekitar gentung busuk. Busur silang membidik. Sebuah tikus raksasa. Biarkanlah. Biarkan tikus itu makan makanan sisa kalau dia mau. “Aku nggak tahu persis cara kerjanya, tapi mata ini membuatku bisa melihat di kegelapan.”

“Aku baru kepikiran sesuatu!” familiar berkata, suara wanita itu naik satu oktaf. Suaranya terdengar seperti dia sudah memikirkan ini untuk beberapa saat. “Itu bakal jadi cara yang bagus untuk mengintip tubuh cantik elf itu—sempurna untuk pria muda sepertimu!”

Mata-mata tidak dengan segera membalas. Alih-alih, dia menghabiskan dua detik berharga untuk menghela sebelum dia berkata, “...Yeah, aku bisa. Tapi nggak ku lakukan kan?”

“Wow, kamu mengakuinya,” familiar berkata dengan memiringkan kepalanya. Gerakan itu membuatnya semakin terlihat seperti hewan kecil yang kebingungan. “Wanita pedagang waktu itu—dia juga sangat cantik. Kakinya itu. Pokoknya cantik banget!”

“Dengan rapier dan belati di pinggulnya juga,” gadis cleric menambahkan pelan. “Berbentuk dan terlatih.”

Mata-mata memandang curiga kepada gadis itu, namun hanya untuk sesaat. Kemudian dengan sengaja dia berkata dengan suara penuh wibawa. “Seseorang bertanya dan aku menjawab, itu saja. Itu pekerjaanku kan?”

“Aduh, ku kira kamu ini punya rasa untuk kaum elf. Dari cara kamu merebahkan dia tadi betul-betul lembut betul. Iya kan?”

“Iya kamu benar.”

Mereka sama sekali nggak mendengarkanku, pikir mata-mata. Dia baru saja akan menjentikkan lidahnya, namun memikirkan hal yang lebih baik. Lebih baik untuk tidak membiarkan mereka mengetahui apa yang mempengaruhi dirinya. Namun bahkan kesabaran pria itu tampak membuat sang makhluk terhibur—atau setidaknya penyihir yang berada di suatu tempat di balik familiar ini. Dan wanita itu bukanlah yang satu-satunya. Gadis cleric juga tersenyum kepada pria itu; mata-mata tidak perlu melirik mengarah gadis itu untuk mengetahuinya.

“Jadi, nggak tertarik sama sekali denganya?”

Mata-mata menyerah dan mengeluarkan helaan panjang lagi. “Aku nggak bilang begitu.”

“Dia nggak bilang begitu!!”

“Tapi dengar, dia mempercayaiku, dan aku nggak akan pernah mengkhianati itu.” Mata-mata menjulurkan satu tangannya ke belakang dan membungkam makhluk berbulu putih agar dapat mendiamkannya (suara wanita itu naik satu tingkatan lagi). Wanita itu menjerit dengan suara yang tampak sangat kewanitaan baginya, walaupun mata-mata tidak mengatakannya.

Dia memiliki kepercayaan elf itu. Dia tidak akan mengkhianatinya.

“Jangan pikir yang aneh-aneh.” Hanya itu yang pria ini katakan, kemudian berdiri tegak. Dia menggerakkan tubuhnya, seperti seekor harimau yang bersiap untuk berburu. “Aku akan berpatroli di luar,” dia berkata, kemudian memberikan lirikan mengarah gadis berambut merah. “Beritahu aku kalau dia sudah kembali.”

“Yup, baik. Soalnya, kamu sudah sangat informatif!”

Mata-mata melompat turun dari kereta dengan jentikan lidahnya, menambahkan kegirangan dari familiar.

Setelah pria itu menuruni kereta dan masuk ke dalam kegelapan malam, dia mendengar suara lain, kali ini berasal dari sang kusir. “Bagaimana akhir-akhir ini?”

“Lumayan.” Kusir besar itu terlihat seperti kerbau, namun dia sangat lincah. Bibir mata-mata sedikit melengkung. “Persendiannya sedikit ngilu kalau terlalu dingin, sih.”

“Nggak ada tabungan uang?”

“Nggak cukup untuk daging beneran.” Mata-mata mengangkat bahu. “Mungkin bakal dapat dari Wizball suatu hari. Kamu bagaimana?”

“Cukup lancar,” kusir membalas datar. “Cukup untuk menutupi biaya kereta dan cukup untuk membayar para wanita.”

“Kamu memang anggota masyarakat yang benar-benar berkontribusi.”

“Aku nggak bilang dia wanitaku. Hmph!” kusir membalas, namun hanya itu saja.

Mata-mata menggeleng kepala dan berdiri di samping kereta. Busur silangnya bergantung di satu tangan. Dia perlu berpatroli. Namun jika ada waktu untuk memfokuskan energimu, maka gunakan. Waktu itu bukanlah sekarang.

Sedikit perdebatan di tengah pelarian adalah hal yang bagus. Setidaknya untuk party ini. Jika kamu tidak dapat bercanda sedikitpun, maka itu artinya kamu benar-benar kewalahan...

Para penumpang terdiam sekali lagi ketika mata-mata pergi meninggalkan kereta. Makhluk putih dan cleric dari Dewa Pengetahuan saling bertukar pandang dan tertawa bagaikan dua teman lama.

“Kamu dengar dia kan?”

“Dia nggak nggak tertarik!”

“.........”

Mereka menyadari bahwa telinga lancip yang sedikit muncul dari balik rambut mereka itu berkedut kecil. Namun mereka akan menunggu gadis ini kembali dari perjalanannya. Adalah hal yang akan di lakukan dari seorang kawan.

*****

“....Terima kasih sudah menunggu.” Wizard gadis berambut merah melompat turun dari kereta lima menit kemudian. Seseorang yang pintar dulu pernah meracik sebuah pepatah yang seperti: “Lakukan dalam dua menit! Sekarang lajukan dalam dua detik!” Tapi apa yang terpenting dalam pekerjaan ini adalah presisi, bukan kecepatan. Oleh karena itu, mata-mata sama sekali tidak mengeluhkan wanita ini. Bagaimana mungkin dia bisa?

Mata-mata menggantung busur silang di pundaknya dengan menggunakan benang, memperhatikan sekitarannya dengan cepat, kemudian berkata, “Bagaimana? ...Ada sesuatu?”

“Nggak ada,” gadis itu membalas cepat. “Cuma penasaran kenapa mereka banyak tanya di sini.” Dia terlihat lelah. Kemungkinan besar karena para wanita yang mengoceh. Jika itu terhitung delapan puluh atau sembilan puluh dari kekesalannya, sepuluh persen sisanya mungkin jatuh kepada sang kusir, dan sepuluh terakhirnya, pria itu.

“Yah, kecepatan adalah inti jika menyangkut tentang informasi.”

“Aku tahu itu...” gadis berambut merah menghela panjang, kemudian berkata pelan: “Aku melihat gadis itu. Dia di sana.”

Huh. Mata-mata mengangguk. Sepertinya pengedar narkoba mereka sudah kehabisan keberuntungannya malam ini. Jika wanita itu tidak berada di sana, apakah mungkin dia akan hidup melihat fajar di keesokan hari?

Entahlah.

Dia tidak begitu yakin seberapa lama wanita itu bisa selamat. Berlarian menuju tepian tebing bukanlah sesuatu yang akan di lakukan orang pintar.

“Tempat ini bau narkoba dan patroli. Beberapa yang lain yang di sampingnya. Mereka nggak kelihatan terlalu cerdas.”

“Mungkin mereka pemulung yang hidup dalam pengisolasian.”

“Entah,” wizard berambut merah menjawab dengan gelengan kepala. Dia menarik tudung mantelnya ke atas. “Maaf.”

“Nggak masalah,” mata-mata berbisik, kemudian dia mengeluarkan pistol dari tasnya, memutar santai pistol itu di tangan. Bermain dengan sebuah senjata dapat membuat seseorang menjadi sial. Sepertinya. Dia berusaha mengingat orang yang mengucapkan itu.

Tidak peduli siapa orang itu. Dia merobek membuka bola peluru dari kantung dan memasukkannya ke dalam senjata. Kemudian dia memukul pantat pistol hingga rapat, membuang bungkusan kosong itu, dan dia siap untuk pergi.

“Skenario terbaik, kita pelari. Skenario terburuk, kita masih pelari.”

*****

Ketika mata-mata dan gadis itu mulai berjalan, kusir secara perlahan membawa keretanya menjauh, seperti yang telah di rencanakan. Sebuah kendaraan asing yang berhenti terlalu lama akan menarik perhatian yang tidak di inginkan, dan akan menempel pada ingatan orang-orang. Terlebih lagi, kereta sebagus itu di tempat sejelek ini akan segera menggoda seseorang. Sebelum pelarian di mulai, mereka selalu menentukan rute aman untuk sang kusir lalui dengan perlahan.

“....”

“.....”

Mata-mata dan gadis berambut merah berdekatan seraya mereka berjalan menuju tempat pengisolasian, semacam komplek apartemen. Mereka tampak seperti melihat di kejauhan karena masing-masing dari mereka memperhatikan dunia yang berbeda, satu suara, satu sihir. Satu-satunya yang mereka miliki bersama adalah masing-masing dari mereka memiliki titik buta. Cara mereka yang saling menjaga satu sama lain adalah hal yang sudah seharusnya di lakukan ketika beroperasi dua orang.

Ketika dia memikirkan itu, mata-mata menyadari bahwa sudah saling mengenal dalam jangka waktu yang lama. Dia sangat jarang berlari melintasi bayangan sendiri lagi.

“...Lantai pertama kosong?” pria itu bertanya.

“Sepertinya,” gadis berambut merah berbisik membalas. Mata-mata hampir tidak bisa melihat cahaya kehidupan gadis itu. Memang benar-benar sunyi. Sayangnya, dinding dan lantai tempat ini terbuat dari batu, yang di mana meredam suara. Kamu tidak akan bisa mengharapkan pengelihatan x-ray dari Bat Eye.

Kemungkinan ini tempat makan dulunya, dia berpikir. Meja yang membusuk dan kursi yang bergelimpangan, terlupakan bahkan oleh pengais. Jendela dan pintu telah di lepas untuk lebih banyak memasukkan pelanggan, karena itu di sini terlalu banyak angin. Jika kamu akan tinggal di bangunan ini, kamu mungkin ingin memulainya dari lantai dua, seperti yang telah di sarankan intel dari pengintaian mereka.

“Naik ke atas,” mata-mata berkata.

“Aku akan jaga belakang kita.”

Dengan percakapan cepat, berbisik itu, mereka mulai maju, kaki bergerak bagaikan sedang berdansa, menaiki tangga. Langkah kakinya sendiri terdengar berat. Langkah kaki gadis itu sangat ringan.

Mata-mata memegang busur silang, bersiap kapan saja, memastikan dia selalu memeriksa sudut tembakan. Tiba-tiba dia mendapati dirinya mengingat percakapan santai dengan partynya di dalam toko.

Narkoba, narkoba, narkoba. Tiga kali pakai dan kamu mampus.

Apakah kemungkinan? Takdir? Itu tidak membuat perbedaan. Apa yang harus dia hajar, akan dia hajar.

Oleh karena itu, ketika dia mencapai lantai atas, dia menyadari bayangan hitam mengambang di lorong.

“Aneh,” gadis berambut merah dengan penglihatan astralnya berkata sebelum mata-mata dapat berbicara. Gadis itu pasti sudah menyadarinya juga. “Rasanya lebih kuat dari sebelumnya. Dan aku nggak tahu apakah ada cahaya kehidupan.”

“Masalah?”

“Mungkin.”

“Kalau kita bisa pulang dan bisa mendapatkan hadiahnya, aku akan melakukannya sekarang,” dia bergumam.

“Dan aku akan ikut denganmu,” gadis itu berkata dengan cekikikan, mengatur ulang tudungnya. Mereka melanjutkan melewati lorong ini.

Tujuan mereka adalah ruangan yang berada di ujung dari lantai dua. Tidak ada jendela sejauh mereka melihatnya dari luar. Andai Jika tempat ini memiliki beberapa persiapan, mereka akan menyukainya. Tentunya ruangan itu pasti memiliki satu atau dua rute pelarian...

Kemudian mata-mata berdiri di depan pintu. Perangkap—kemungkinan besar. Bahkan tidak perlu di tanyakan apakah pintu ini terkunci atau tidak. Mereka tidaklah sedang menyelinap ke dalam semacam markas pusat atau toko pedagang besar. Kecepatan akan lebih berperan penting di banding kesiagaan.

Pria itu dan partnernya saling bertukar pandang memahami. Mereka akan masuk secara bersamaan. Satu, dua, dan...tiga.

“........!”

Satu tendangan kaki yang di perkuat sihir dari mata-mata mendobrak pintu terbuka. Dia masuk ke dalam tanpa suara, mengayunkan busur silangnya ke sini dan ke sana seraya dia memeriksa ruangan.

Di sanalah dia—seorang wanita. Hal pertama yang pria itu sadari adalah aroma manis menyengat dari opium; dia membencinya. Aroma pekat ini mengelilingi ranjang di mana wanita itu terbaring, lengan dan kaki wanita itu terlentang lemas. Mungkin dia baru saja mandi, karena rambut coklatnya yang lebat itu basah, tertindih oleh kepalanya, telinga panjang wanita itu mencuat keluar dari balik rambutnya. Tubuhnya, terlapisi oleh lapisan tertipis dari pakaian dalam, sangatlah gemulai, langsing dan ringan. Namun itu bukan berarti dia tidak memiliki daging di dalam tulangnya, mata-mata memahami itu karena dia pernah menggendong partnernya sendiri.

Huh. Mungkin dia memang suka dengan para elf...

Setidaknya, mereka tidak berbohong tentang mata mereka yang terbuka lebar, lidah bergantung keluar, dan sebuah pisau tertancap sampai ke gagang di dada mereka.

“Di-dia mati?!”

“...Yah dia nggak hidup.”

Gadis berambut merah menjerit, hanya jeritan pendek, sementara mata-mata mendekati ranjangnya. Bukanlah hal yang lucu jika ternyata wanita itu hanya berpura-pura mati. Namun tidak ada detak jantung, dan kamu tidak bisa memalsukan itu.

“Dia masih hangat,” wizard berbisik, menyentuhkan tangannya kepada wanita itu. Dia menjulurkan lengan dan menutup kedua mata wanita itu.

Dengan ini matanya sudah tertutup—dia bakal kelihatan cantik kalau bukan karena pisau itu. Adalah hal yang konyol untuk di pikirkan, namun mata-mata mencoba untuk membentuk pikirannya yang bingung menjadi sebuah pikiran yang koheren. “Jadi dia baru saja di bunuh?”

“Yeah—maksudku, dia masih hidup saat aku gentayangan dari luar.”

Oke, ayo coba pikirkan ini.

Kapan? Baru saja.

Di mana? Di sini.

Siapa? Bukan kami.

Bagaimana? Pisau di dada.

Kenapa? Itu yang nggak kita ketahui.

Nggak ada jendela. Nggak ada yang keluar saat kita mengawasi. Nggak melewati siapapun saat kita masuk. Kalau begitu ini berarti...

“...Siapapun yang melakukannya masih ada di sini?”

“Nggak lucu ah..” gadis wizard berambut merah berkata.

Tentu saja tidak lucu. Mata-mata tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi, namun ini bukanlah berita yang bagus.

Satu hal yang tampak jelas: Mereka harus cepat keluar dari bangunan ini secepatnya. Sang mata-mata mulai mundur, satu langkah mundur perlahan, mencoba menjaga tubuhnya dekat dengan gadis berambut merah, untuk melindunginya.

Cepat. Apakah dia melewatkan sesuatu? Tidak ada kesempatan untuk mencarinya lagi. Apakah mereka akan mendapatkan uang mereka untuk ini?

“Ayo. Kita bergabung dengan lain. Kita harus mengetahui apa yang sedang terjadi, atau—“

“...!”

Mata-mata mendengar rekannya menarik napas. Itu sudah cukup. Dia berputar, busur silangnya bersiap.

Dari pintu masuk datanglah hal terakhir yang dia ingin dengar dari dunia ini. “Berhentiiiiiiiiiiiii!”

“Penjaga...!” Dia menyempatkan waktu untuk mengumpat kepada dewa. Berdiri di pintu ruangan adalah penjaga kota—dia dapat mengetahuinya dari simbol pedang dan timbangan yang terjiplak pada helm kulitnya. Dia mengeratkan gigi, melingkarkan lengan kirinya pada gadis berambut merah, dan berlari lurus ke depan.

“Eep?!” Gadis menjerit, namun mata-mata sama sekali tidak menyadari itu seraya dia mempercepat larinya. Dia tengah melihat pedang yang di tarik penjaga, bersiap untuk menusuknya.

“Hrrahhh!” mata-mata menghajarkan lengan kanan untuk menghadapinya.

“Apa?!” Tidak menduga benturan kuat itu, sang penjaga terhuyung ke belakang, anehnya suara itu terdengar bernada tinggi. Seorang wanita?

Serangan itu melontarkan helm penjaga, memperlihatkan rambut coklat yang terikat di atas kepala. Namun mata-mata tidak mempunyai waktu untuk berdiam diri. Dia mengayunkan lengan kirinya menjauh dari penjaga, melindungi rekannya, dan menghadapi serangan musuh lagi dengan lengan kanannya. Terdengar dentingan baja seraya lengan mata-mata memantulkan pedang itu. Mata pedang itu mengisi pengelihatannya. Dia membiarkan momentum ini membawa tubuhnya ke depan, keluar dari ruangan.

Dia melintasi lorong dengan tiga lompatan besar, kakinya ngilu, kemudian dia menggenggam pegangan tangga dengan lengan kanan.

“Tolong!”

“Uh-huh!”

Sudah tidak perlu lagi untuk di diskusikan. Pria itu melompat. Gravitasi mencengkram tubuhnya. Dia mulai terjatuh.

“Falsa...umbra...oriens. Bangkitlah, bayangan palsu!” Dari pundak pria itu, sang gadis mengayunkan tongkat dan melantunkan kata kekuatan sejati. Mata-mata merasakan getaran yang menjalar pada kedua kaki, kemudian sebuah bayangan mulai menggelembung dari lantai, mengisi anak tangga.

“Ahhhh?!” Dia mendengar sang wanita berteriak kebingungan. Jadi dia memang wanita. Tidak di ragukan lagi mantra Vision telah memporak-porandakan penglihatan wanita itu. Jika ini cukup untuk membuat penjaga itu menyerah, maka mereka tidak akan perlu semarah ini...

“Pembela ketertiban sialan...!” mata-mata menggerutu ketika dia mendengar wanita itu bersiul tajam. Mata-mata sama sekali tidak melirik ke belakang seraya dia bergegas melintasi bangunan terbengkalai ini, lebih cepat dari kecepatan suara. Jadi bagaimana jika terdapat sampah yang bergelimpangan di sekitaran? Dengan kakinya yang melesat melebihi batas, tempat ini sudah sama saja dengan kosong.

“Apa aku perlu merapalkan Transparent juga?!”

“Jangan, semua akan baik-baik saja!” dia membalas kepada suara yang berada di pundaknya. Penilaian gadis itu selalu tepat. Setiap kali. Mantra pelumpuh seperti Sleep akan berguna di saat yang genting, namun jika kamu gagal menggunakannya maka mantra itu akan menjadi sia-sia. Mata-mata tahu bahwa lebih baik untuk membingungkan musuh dengan ilusi, yang di mana setelah itu adalah gilirannya untuk mengatasi ini.

Dia sangat senang bahwa temannya tidaklah tolol untuk mencoba menembakkan mantra penyerang kepada sang penjaga. Jika saja, kemungkinan seorang penyihir istana dengan tongkat hitam muncul, maka itu akan menjadi hal yang sangat sulit di bayangkan. Terlebih lagi...

Menyerang penjaga itu berita buruk!

Seorang penjaga mungkin akan memalingkan mata jika seseorang mencuri sebuah apel, namun jika kamu membunuh salah satu dari mereka, maka mereka akan memburumu hingga ujung bumi. Mata-mata masih ingin tinggal di kota ini, oleh karena itu sangat di sarankan untuk tidak membunuh penegak keadilan hukum lokal.

Benar, dia bisa melihat suara, namun itu bukan berarti menjadikannya penantang bahaya yang tidak mempedulikan nyawanya sendiri. Yang berarti hanya ada satu pilihan di sini—melarikan diri—dan satu cara untuk melakukannya—dengan menggunakan kedua kakinya. Suara siulan itu memanggil penjaga lain, namun mereka tidak akan muncul dan menyerang secara langsung. Dia masih memiliki waktu. Para penjaga akan pergi ke arah suara siulan itu terlebih dahulu. Mereka akan mulai mengejar setelah itu.

Itu artinya dia mempunyai waktu untuk melarikan diri sebelum mereka berbondong-bondong mengejar, itu adalah hal yang terpenting sekarang. Waktu dan kecepatan. Dia condong ke depan, berlari, berlari. Berlari seperti harimau.

“Aku penasaran—apa ini jebakan?”

“Yeah, mungkin kita sudah di tipu.” Sang gadis menjulurkan lengan, memegang topi mata-mata agar tidak terhempas oleh angin. “Pria itu nggak pernah membuat kesalahan dalam pekerjaannya, tapi... Hei, kenapa kamu ketawa?”

Yah, itu karena mereka berdua untuk sesaat sama-sama berpikir bahwa sang fixer telah menjual mereka. Mata-mata berlari lebih cepat, melewati jalanan wilayah kumuh, berputar di setiap sudut jalan. Tentu saja, dia memiliki rute sang kusir di kepalanya. Namun pergi menemuinya secara langsung adalah ide gila. Para pemulung bukanlah temannya. Mereka akan menjual info apapun kepada siapapun demi uang. Oleh karena itu sang mata-mata berlari dengan rute berputar-putar, menghitung waktu di dalam pikirannya, dan ketika dia melompat masuk menuju jalan utama...

“Semuanya naik!” kereta datang di depan pandangan, bergerak begitu cepatnya hingga kelpie sama sekali tidak sempat untuk melenguh.

Mata-mata memberikan teriakan menyetujui kepada kusir, dan seraya dia di lewati oleh kendaraan itu, dia mendorong wizard berambut merah melewati pintu. “Ack!” gadis itu berteriak, namun tentu saja, dia menghiraukan sang gadis. Dia merasa bersalah, namun ini adalah keadaan darurat.

Mata-mata menggenggam bagian belakang dari kendaraan yang melaju, menarik dirinya sendiri naik dengan kekuatan lengannya. Dia memegang topi di kepalanya melawan angin yang berhembus dengan satu tangan seraya dia memanjat naik ke atap. Kendaraan yang di siapkan oleh sang kusir untuk pekerjaan ini memiliki jendela langit. Mata-mata memasukkan setengah tubuhnya ke dalam, dan kemudian mengangkat busur silang , memutar dan menghadap ke belakang.

Nggak akan mengejar kita?

Wilayah kumuh semakin terlihat kecil di kejauhan. Dia tidak merasakan adanya musuh. Sasaran mereka telah mati. Mereka tengah di kejar.

Dengan kata lain, ini belum berakhir.

Dia menghela, kemudian memasukkan sisa tubuhnya ke dalam kereta.

*****

“Status sasaran?”

“Nggak hidup.”

Pertanyaan itu berasal dari gadis cleric, sebuah introgasi singkat di balik suara roda kendaraan yang berdecit. Gadis berambut merah, terhibur dengan perbedaan nada suara mata-mata, menambahkan. “Maksud dia wanita itu terbunuh.”

Terdengar sebuah bruk, dan kereta terlompat. Kemungkinan menginjak beberapa batu, atau sesuatu yang tidak dapat di serap oleh per kendaraan. Mata cleric membara penasaran. Perempuan itu mencondong ke depan. “Di ruangan itu nggak ada jendela, kan? Apa pintunya terkunci?”

“Pakai kunci master,” mata-mata berkata singkat, yang di mana pria itu bermaksud bahwa dia telah mendobrak pintunya. Mata-mata merasa lelah, gerah. Dia perlu waktu untuk mendinginkan diri. Dia memasukkan rokok di antara bibirnya.

Adalah selalu seperti ini setelah pria itu melampaui batasnya. Otak pria itu terasa seperti terbakar, dan dia perlu untuk mendinginkannya atau otak miliknya akan berhenti secara keseluruhan. “Nggak ada waktu untuk mencari atau menggunakan mantra pembuka.” Mata-mata mencari korek di kantung, namun tidak menemukan apapun; gadis berambut merah melihat itu dan menggapai tasnya. Gadis itu mengeluarkan sebuah silinder seukuran telapak tangan dengan sedotan yang tertempel, keduanya terbuat dari tanduk kerbau.

Dia menggiring kedua benda itu dengan gerakan terlatih, memasukkan sedotan dengan cermat ke dalam silinder. Terdapat hembusan angin, dan ketika dia menarik sedotannya keluar, ujung korek bersinar dengan terangnya.

“Nih,” dia berkata, memegang korek itu, dan mata-mata mencondong ke depan dengan sebuah “Terima kasih” karena sudah menyalakan rokoknya. Wolfberry keringnya terbakar, mengirimkan asap manis yang mengisi kabin.

Sejak kapan gadis itu sudah membawa benda penyulut api itu? Mata-mata tampak tidak dapat mengingat gadis itu memilikinya ketika mereka pertama kali bertemu...

“Jadi kita nggak tahu apakah tadi pembunuhan ruang tertutup atau bukan,” cleric bergumam kesal.

Terdengar bruk lagi dan kereta terlompat lagi; sang kusir menjentikkan lidahnya. “Kurasa mereka akan mengetahuinya ketika mereka melakukan pemeriksaan, walau itu nggak penting untuk kita. Kita akan masuk ke saluran air.”

“Baik.”

“Dan buka jendelanya. Jangan sampai baunya menempel.”

“Iya, oke.”

Mata-mata mengangguk dan dengan tenang membuka jendela kereta. Ini bukanlah sebuah poin yang akan dia debat.

Jika kamu akan terlibat dengan penyelundupan, kamu harus mengetahui jalan terbaik untuk bisa keluar kota tanpa di ketahui. Dengan kata lain, ini membutuhkan seorang spesialis. Pertarungan telah berakhir, dan sekarang dia tidak mempunyai pilihan selain untuk bergantung kepada bantuan orang lain.

Kereta miring ke depan seraya menurun dari pelabuhan dan menuju sungai. Tapak kelpie membuat pola riak di atas air, dan roda yang berputar menyebabkan air bergelembung lembut.

“...Tapi aku penasaran—apa yang di lakukan penjaga kota di sana?” mata-mata berkata, menghela asap rokok dari paru-paru. Gadis berambut merah meliriknya untuk bertanya apakah dia baik-baik saja; mata-mata mengangguk dan mencabut ujung dari rokok dengan jarinya,

“Jangan di jatuhkan di dalam kabin dan jangan di buang keluar jendela,” Kusir menggerutu.

“Aku tahu, aku tahu.” Mata-mata memasukkan puntung rokok ke dalam sakunya.

“Bagus,” kusir berkata, tampak bisa merasakan ini. Kemudian dia berkata, “Aku punya pertanyaan yang lebih bagus. Bagaimana bisa preman kampungan yang hidup dalam lubang busuk ini bisa punya banyak ganja untuk di jual?”

“Orang dalam di bisnis seperti ini... Pelarian susu, gundulmu.”

Hanya itu kekesalan yang dapat dia lampiaskan kepada sang fixer. Pikiran itu bernaung di kepalanya. Yah, mereka akan mengurus hal itu ketika mereka telah menyelesaikan masalah lain mereka. Mencoba untuk melemparkan kesalahan di tengah pelarian adalah sama saja kamu menandatangani surat kematianmu sendiri.

“Maaf,” makhluk putih berkata, dan wanita itu benar-benar terdengar tulus. “Kami berdua akan mencoba untuk menangani apa yang terjadi. Tapi ini bukan pengkhianatan dari perantara, aku jamin.”

“Aku tahu itu. Yang lain juga sama.” Gadis berambut merah tertawa lembut dan menepuk kepala makhluk putih. Bukan dengan cara menepuk hewan, namun seperti seorang teman. “Tapi, siapa menurutmu yang melakukannya? Kalau sampai di mana kita mendapatkan quest untuk ini, maka hampir semua orang bisa saja membunuhnya...”

“Huh? Sederhana, kan?” Cleric dari Dewa Pengetahuan berkata, merasa jawaban dari pertanyaan itu adalah hal yang sudah sangat jelas. Dari tempatnya di ujung kereta, dia berkata, “Ayo di ulas. Setidaknya ada tiga orang di TKP. Kamu, dia, dan satu lagi.”

“...”

“Kamu nggak membunuhnya. Dia nggak membunuhnya. Jadi...?”

Mata-mata mengerang pelan. Tidak ada assassin yang akan terlihat seperti assassin.

“Penjaganya...”

“Bingo.” Cleric mengejek pria itu. Mata-mata tidak yakin apa dia pernah melihat ekspresi seperti itu pada gadis ini sebelumnya.

*****

“Tapi kalau mereka membunuhnya, kurasa kita bisa berasumsi bahwa membunuh wanita itu akan menguntungkan bagi mereka.” Di dalam ruang terbatas di dalam saluran air bawah tanah, ucapan cleric terdengar begitu lantang. Kereta telah mengambang ke sini dan ke sana melewati labirin dari saluran air, akhirnya berhenti beristirahat entah ada di mana. Yah, para dewa dan sang kusir—mata-mata yakin pria itu tahu di mana mereka, walau sang mata-mata sendiri tidak bisa menebak keberadaan mereka. Dia tidaklah cemas.

Dia dapat mendengar air mengalir di sekitar mereka di dalam kegelapan; baginya hampir sama sekali tidak terasa adanya kehidupan di sini. Namun mata dari mata-mata mendengarnya. Sesuatu yang bersembunyi di kegelapan; pembawa kematian harfiah. Sesuatu yang menggeliat di bayang-bayang. Sesuatu yang membuat rumah mereka di sini, di bawah kota.

Ghoul.

Sepengetahuan mata-mata, mereka memiliki moncong hidung, namun mungkin itu adalah yang seharusnya dari mereka yang menyebut diri mereka sendiri ghoul. Ghoul adalah monster yang muncul dari gundukan kuburan dan hanya memakan mayat. Setidaknya cerita tentang mereka yang merupakan penduduk dari dunia mimpi pastinya adalah sebuah kebohongan. Tetapi, apa yang terjadi pada tikus yang tertangkap setelah merayap melewati kakinya, adalah realita.

“Rame banget ya mereka?” ucap sang kusir, yang tampak jelas telah membuat kontak dengan para ghoul setelah pertengkaran party mereka tercampur dengan goblin-goblin itu. Para ghoul ini mungkin memakan manusia, namun mereka tidak ingin hancur secara keseluruhan bersama dengan para goblin yang pernah menyerang orang di kota pada malam hari. Itu sudah satu atau dua tahun yang lalu sekarang, dan itu merupakan hari gajian besar untuk grup mereka...

Secara hati-hati, kusir menurunkan tas serat rami yang duduk di sampingnya, dan menendang tas itu ke dalam kegelapan. Sebuah pasukan makhluk buas ragam rupa menyerbu tas itu dan merobeknya, suara dari keributan itu secara singkat bergema di sekitaran sebelum akhirnya semua menjadi senyap kembali.

“Berikan mereka sesuatu untuk di makan dan mereka akan menyerangmu—atau bahkan mungkin menolongmu.”

“Nggak masalah sih selama mereka nggak mengundang kita untuk makan malam.” Mata-mata berkata. Dia masuk kembali ke dalam kereta—sebelumnya dia mencondongkan tubuhnya keluar jendela untuk memperhatikan sekitaran—dan menyuruh sang cleric untuk melanjutkan. “Terus kenapa? Mungkin seseorang kalap dan melakukannya karena marah.”

“Apapun itu setidaknya ini memberikan kepuasaan emosional. Itu sudah menjadi alasan yang cukup untuk membunuh beberapa orang.” Sang cleric terdengar seperti dia tengah menjelaskan sesuatu kepada murid tidak cerdas tertentu—dan kemudian dia melemparkan kuis. “Ganja akhir-akhir ini semakin banyak muncul ya?”

“Sejauh sepengetahuanku, yeah.”

“Kalau begitu ini pasti di awali dari suatu tempat,” cleric berkata pelan. “Sebuah depot suplai di mana ini semua berasal.”

“…Dan di mana itu?” Gadis berambut merah bertanya dengan kepalanya yang miring. Dia berbicara dengan pelan, hingga hampir sama sekali tidak terdengar oleh mereka.

“Garnisun garda kota,” cleric menjawab datar, menyipitkan matanya. Wanita lain menarik napas. “Mereka mengambil opium yang mereka sita dan menyelundupkannya kepada penyuplai, mengisi kantung mereka dengan uang saku. Cukup sederhana kan?”

Wizard berambut merah adalah yang satu-satunya tampak kesulitan untuk mempercayai ini. Kusir, yang terdiam, dan makhluk putih, yang kemungkinan sedang berdiskusi dengan fixer mereka, tampak sama-sama menerima kemungkinan itu. Namun gadis berambut merah, terdengar dia masih tidak ingin ini menjadi kebenaran, bertanya, “Apa pelayan dari Supreme God benar-benar melakukan itu?”

“Pasti,” Cleric memberi tahu temannya dengan percaya diri. “Soalnya, bukanlah dewa yang menentukan Baik dan jahat—tapi kita.”

Para dewa di surga tidak menginginkan orang bertindak dengan cara tertentu. Mereka tidak memberikan keajaiban sebagai pengganti untuk kepercayaan. Orang-orang tidak mempercayai para dewa karena ada keuntungan di dalamnya.

“Terkadang kamu mendengar seseorang berkata bahwa orang-orang besar itu di cintai oleh dewa, atau kalau kamu tidak bahagia, maka itu salahnya dewa,” cleric berkata. “Namun itu adalah karena orang-orang hanya melihat hasilnya. Proses dari itu semua juga penting.” Dia melanjutkan dengan berbisik. “Orang-orang itu hanya nggak ingin mengambil tanggung jawab karena kekalahan mereka—mereka hanya ingin menyalahkannya kepada para dewa.”

“…Kurasa nggak sesulit itu untuk menebak apa yang terjadi,” mata-mata berkata, sebagian besar menghiraukan percakapan para gadis. Dia dapat memikirkan tentang baik dan jahat sepanjang hari dan sepanjang malam, namun dia tidak akan memiliki apapun yang berguna sebagai kontribusi. Mereka adalah pembunuh yang membunuh ketika mereka membutuhkan uang. Tidak lebih dan tidak kurang.

Sang kusir melemparkan nota dari topinya dengan satu jari, berkata datar, “Kalau seorang pengedar ganja dalam masalah dengan penyuplainya, itu artinya ada perdebatan selama negosiasi mereka—pasar nggak dapat menentukan apa yang mereka mau.”

“Dan kemudian mereka membunuh wanita itu,” mata-mata bergumam.

Sang kusir mengangguk. “Kemudian mereka menyadari bahwa mungkin mereka setidaknya akan mendapatkan sesuatu dari ini.”

“Uang yang wanita itu dapatkan.”

Ketika kamu melenyapkan titel merah, maka itulah yang akan terjadi. Hanya itu saja: sebuah kasus biasa. Takdir atau Kemungkinan, atau keduanya, telah bertabrakan dengan pelarian mereka. hanya sesederhana itu. Namun…

“Mengetahui kebenaran bukan berarti semuanya selesai,” sang kusir menambahkan; persis seperti apa yang di pikirkan mata-mata. “Mereka menangkap kita, maka mereka mendapatkan kambing hitam mereka—semuanya berjalan sesuai keinginan mereka.”

“Aku yakin mereka akan senang kalau mereka menangkan kita karena kesalahan mereka sendiri.” Mata-mata tertawa. Namun tidak terdapat tanda keraguan di saat dia mengatakannya, “Harus mengalahkan mereka. itu satu-satunya pilihan.”

“…Aku nggak suka terlibat urusan membunuh penjaga kota,” kusir bergumam.

“Yeah, itulah kenapa akulah yang akan melakukan pembunuhannya.”

Kusir menarik ujung topinya untuk menutup matanya. Gadis berambut merah memberikan mata-mata tatapan menegur, namun dia menghiraukan mereka semua. Dia mengetahui posisinya. Sebagai sebuah aset, dia bisa di gantikan. Dan yang terpenting bisa di buang.

“Yah, kamulah pria yang bertanggung jawab dengan kekerasan di sekitar sini. Dan kedengarannya ini akan menjadi kasar,” cleric dari Dewa Pengetahuan berkata dengan nada tenang biasanya. Mungkin tidak satupun dari ini menarik baginya. Mungkin ada sesuatu yang lain yang lebih menarik perhatiannya.

Cleric membuka pintu kereta dan kemudian—vwip--dengan keanggunan tertentu dari seseorang yang tidak berbakat dengan akrobatik, dia melompat keluar dari kendaraan. “Ada sesuatu yang lain yang harus kita lakukan dulu kan?” dia berkata dengan sedikit memaksa dari biasanya, demi menyembunyikan apa yang dia rasakan dari pendaratannya. “Bagian kota mana ini? Aku harap dekat dengan kuil Dewa Pengetahuan.”

“Mm… Yah, nggak terlalu jauh,” sang kusir berkata.

“Hmm,” mata-mata mendengus, mengambil busur silang dari pundaknya. “Kamu mau kembali ke kuil?”

“Pastinya. Apa kalian nggak ada melakukan penelitian apapun?” cleric muda ini terdengar benar-benar lelah. Namun kedua matanya berkilau seraya dia berkata kepada mereka. “Kalau kamu benar-benar akan menginvestigasi sesuatu, buku adalah tempat awal untuk di mulai.”

*****

Apa yang di lakukan “pria yang bertanggung jawab dengan kekerasan” selama fase penelitian? Melakukan kekerasan, pastinya.

Mungkin ini hanya tidaklah lebih dari sekedar menjaga “wajah”—seorang negosiator—atau seorang pembaca mantra. Jika dia dapat membantu hanya dengan berdiri saja, maka berdiri saja adalah yang akan dia lakukan.

“Kenyataannya adalah banyaknya jumlah pengetahuan yang di miliki seseorang itu sangat minimal. Kamu harus lakukan antara bertanya sekitaran, atau kamu harus melakukan penelitian.”

“Aku tahu kita sudah ke kuil Dewa Pengetahuan sebelumnya, tapi ini nggak pernah gagal membuatku terpukau…”

Mata-mata mengikuti para gadis dan bisikan percakapan mereka, memikirkan perannya sendiri. Tidak ada suara di kuil, yang menjadi rumah dari rak buku yang memanjang hingga sampai ke plapon. Cahaya bulan yang tersaring melalui jendela tidaklah cukup untuk melihat, lilin membara di antara beberapa tempat buku, menandakan bahwa mereka bukanlah satu-satunya yang membalikkan halaman di tengah malam demi mengejar pengetahuan.

Rasanya nggak masuk akal bagiku. Mata-mata berpikir. “Membaca, menulis, dan aritmatika? Selama aku bisa menambahkan poin di dalam permainan Wizball dan mengikuti peraturan dengan benar, itu sudah cukup untukku.”

“Kalau begitu, itu keinginanmu. Hanya itulah yang akan kamu dapatkan dalam kehidupanmu… Ah, ini dia. Ambil ini.”

“Yeah, oke.”

Gadis cleric menarik buku dengan ujung jarinya, dan dia mengeluarkannya dari rak. adalah sebuah buku tebal dengan pelapis besi: buku ini akan terlalu berat bagi orang biasa, namun mata-mata memegangnya dengan sangat ringan. Berat itu yang seharusnya di tujukan agar maling tidak mencuri buku ini, namun buku ini sendiri terlihat seperti sebuah ukiran seni. Dan buku ini baru.

“…Apa-apaan ini?”

“Book of heraldy.” Cleric membalas. “Buku ini menceritakan tentang sejarah kebangsawanan, peran mereka—semuanya ada di sini.”

“Oh, ini edisi tahun ini…. Aku nggak tahu kalau ini sudah keluar.” Gadis berambut merah terdengar seperti dia sedang melihat musim bunga bersemi. Tampaknya, hanyalah mata-mata yang satu-satunya tidak mengenali buku ini. Pria itu mendengus. Bahkan di dalam kegelapan, dia dapat menebak bahwa cleric ini sedang melakukan hal itu yang sedang gadis ini lakukan, yang di mana gadis itu tampak seperti sok penting seraya menjaga ekspresi netral.

Terkadang lebih baik untuk nggak bisa melihat sama sekali, dia berpikir. Ini hanya semakin membuatnya ingin mengatakan sesuatu, oleh karena itu dia pergi menuju tempat sandaran buku. Cleric dengan tubuh ramping mereka, hampir tidak bisa membawa buku-buku ini, apalagi memegang untuk membacanya; itulah mengapa mereka membutuhkan sandaran buku. Buku itu dapat tersandar di sana seraya mereka membalikkan halaman demi halaman.

“Ini dari penerbit yang bagus. Tapi sedikit mahal sih… Oh, apa karena itu kamu nggak punya uang?”

“Uh-uh. Lagi ada lagu ini yang tersebar, ‘The Wolf of Hell’… Nggak, kita harus tetap fokus dalam tugas kita. Siapa yang kamu temui? Apa mereka memliki lambang keluarga atau semacamnya?”

“Hmm… Aku Cuma melihat sekilas pada hiasan yang ada di bajunya. Di sana ada bentuk perisai ketupat, dan lambangnya—“

Dari sudut pandang mata-mata, para gadis mungkin sedang berbicara secara kode. Dia tidak mengetahui apapun tentang heraldic atau apapun itu, dan dia tidak tahu mengapa mereka tidak langsung saja menuliskan nama mereka—“Aku begini dan begini dari rumah itu dan itu!”

Kurasa aku nggak berhak untuk merasa seperti itu. Pikir mata-mata. Gadis berambut merah memiliki ingatan yang lebih baik darinya. Dan gadis itu adalah seorang elf, karena itu dia dapat melihat di dalam kegelapan. Mata-mata akan hanya berdiri di sana dengan tenang, memeriksan sekitaran, hingga dia di minta untuk melakukan sesuatu yang lain. Jika itu cukup sebagai membantu, maka itu adalah yang akan dia lakukan.

Mereka mungkin berada di kuil Dewa Pengetahuan, namun mereka masih dalam pelarian, dan masih buronan. Dan apa yang harus dia lakukan—meninggalkan pembaca mantra mereka sendirian selagi dia berjaga di kereta? Itu konyol. Mata-mata sama sekali tidak memiliki niatan untuk pembagian divisi seperti itu, yang di mana merupakan pencarian alasan untuk berhenti berpikir.

“Kalian butuh bantuan?”

Lihat, seperti itu. Seseorang mendekati memegang sebuah lilin, wajah mereka tersembunyi di balik tudung. Jika ini adalah musuh yang mencoba menyelidiki mereka, para gadis harus menghadapinya sendirian.

“Oh, uh…” Mata-mata mencoba untuk mengulur waktu seraya dia berpikir cepat, menganalisa situasi. Suara orang itu pelan dan tenang. Tidak yakin apakah dia adalah seorang pria atau wanita. Namun kemungkin seorang cleric. Dengan kata lain, bukan seorang musuh. Mata-mata merilekskan ototnya yang tegang dan membiarkan wajahnya tersenyum. “…Kurasa kami akan dapat mengatasinya.” Dia berkata. “Teman-temanku di sini sangat hebat dalam mencari sesuatu…bahkan dalam buku.”

“Begitu.” Ucapan orang bertudung itu singkat, namun lembut. Mata-mata berpikir dia mendengar sebuah senyum dalam ucapan itu. “Kemungkinan memanglah sangat banyak di dalam perpustakaan. Sebuah tempat bagi mereka yang terbiasa pada perburuan.”

“Er, iya…”

Wanita—iya kah?---menundukkan kepalanya di dalam cahaya lilin yang berkelip. “Jangan tumbang, kegelapan.”

“Ja-jangan tumbang, kegelapan…” Mata-mata secara samar mengingat bahwa ini adalah ucapan dari sebuah doa dari Dewa Pengetahuan. Sebuah keinginan untuk kesuksesan mereka, kemungkinan.

Seperti mereka yang tiba-tiba muncul, orang yang menundukkan kepala itu menghilang di antara tumpukan buku, masuk ke dalam kegelapan. Hanya beberapa bintang berkelip, yang berada di kejauhan, yang tampak tetap berada.

Pada saat itu, sang cleric berbicara. “…Ketemu. Kurasa ini wanita itu.”

“Yeah, kelihatannya benar,” gadis wizard berambut merah berkata. Mata-mata melirik dari balik pundaknya pada keremangan dan menyadari bahwa dia tidak melihat cahaya lilin lagi, namun dia tidak membiarkan ini mengusiknya. Mata-mata melirik melewati pundak kedua temannya (tidaklah sulit; kedua temannya tidak terlalu tinggi), namun dia menemukan tulisan tangan cepat yang tertulis di buku itu terlalu sulit untuk di baca.

“Jadi siapa?” dia bertanya.

“Kita benar, dia itu memang seorang wanita.” Kemudian sang cleric dari Dewa Pengetahuan menyebutkan sebuah nama yang sepanjang dan serumit sebuah mantra sihir. Anak-perempuan-dari Tuan-Count-besar-dari-Clan-Ini-yang-mempunyai-banyak-lahan.

“Kalau begitu, gadis itu datang dari orang kaya.” Tidak ada apapun dari nama itu yang berarti apapun bagi sang mata-mata. Dia tidak mengetahui perbedaan antara duke, marquis, count, viscount, dan baron. Ketika dia pernah bertanya apakah penggali kubur adalah pengawas pemakaman, dia mendapatkan tatapan kesal dari mereka. dalam pikiran mata-mata, siapapun yang memiliki titel seperti itu jatuh dalam katagori “bangsawan,” dan kebanyakan bangsawan, di dalam pikirannya, memiliki kehidupan yang nyaman.

Gadis berambut merah menjalarkan jarinya beberapa kali di atas halaman, memastikan nama itu, kemudian mengangguk. “Yeah, aku kenal orang ini. Dia terkadang datang untuk membeli narkoba—obat—dari mentorku.”

“Narkoba?” Sekali lagi dengan narkoba. Mata-mata melihat gadis itu, dan entah mengapa gadis berambut merah tersipu dan menatap lantai.

“Yah, ahem…” dia bergerak tidak nyaman. Akhirnya, gadis itu menarik napas dan bergumam, “Be-beberapa elf menjadi, uh, selir, kayaknya? Dan jadi, dia, uh…”

“Wanita itu ingin sesuatu untuk membantunya memiliki lebih banyak anak?” cleric bertanya blak-blakan. “Atau lebih sedikit?”

“Le-lebih sedikit?”

“Tinja ikan, madu, kayu akasia, dan getah pinus, mungkin. Tentu saja, rencana terbaiknya adalah untuk tidak hamil sama sekali.”

Jangan ngomong begitu, sang elf tampak seperti berpikir demikian, namun sang cleric menolak untuk menerima itu, dan menutup buku. “Jadi, apa yang akan kita lakukan?”

“Hmm?” Mata-mata memiringkan kepalanya. Dia tidak begitu memahami. Sang cleric melanjutkan seolah sudah memahami semuanya. “Sekarang kita sudah mengetahui siapa yang kita hadapi.”

“Kalau begitu, kurasa itu artinya pelarian.” Mata-mata berkata, mencoba untuk terdengar acuh seraya dia mengucapkannya. “Apapun yang kamu dapatkan, sang fixer seharusnya tahu cara untuk mendapatkan uang dari itu.”

*****

Malam menjalar sehening bangunan terbengkalai. Penduduk dari bagian kota ini biasanya menghabiskan malam mereka dengan melakukan tindakan yang sulit di jabarkan, jika tidak, maka mereka akan tidur bersama kematian. Terlebih jika ada pembunuhan beberapa jam sebelumnya.

Tubuh itu telah di pindahkan dari tempat isolasi, tempat di mana tubuh itu di temukan, dan sudah tidak terdapat adanya tanda garda kota lagi di sana. Karena, criminal, sang MO, dan motifnya sudah cukup jelas. Serahkan saja kepada mereka yang berpangkat untuk menangkap orang jahat, maka; tidak perlu untuk mengendus tempat kejadian perkara seperti anjing.

“…Hmph.”

Itu membuat ini menjadi waktu yang sempurna untuk melakukan sedikit investigasi.

Terdapat gemerisik pelan, dan walaupun tidak perlu untuk menyembunyikan langkahnya, penjaga wanita itu mendengus dengan kesal seraya dia memasuki bangunan terbengkalai ini. Mungkin penyusup itu menjadi duri baginya. Atau mungkin mereka adalah berkah dari surga.

Apakah itu hasil dari mata dadu akan Takdir dan Kemungkinan baik dan jahat? Adalah di luar jangkauan kekuatan dari seorang bidak seperti dirinya untuk bisa membayangkan jawabannya, dan oleh karena itu dia tanpa suara memanjat tangga. Dia tidak sedikitpun bimbang ketika dia mencapai ruangan pada lantai berikutnya, terblokir hanya dengan sebuah tali semenjak pintu itu telah di dobrak—wanita itu masuk ke dalam.

Pintu telah hilang, seperti tubuh wanita half elf; tidak ada lagi lainnya yang berubah di ruangan ini.

Iblis bajingan. Bibir garda wanita itu menyengir. Kapten garda, yang mengumpat iblis, telah menekannya akhir-akhir ini tentang keadaan dari tempat kejadian perkara dari kejahatan ini, termasuk penjagaan tempat ini.

Jika kamu bukan bagian dari barisan Iblis, maka kamu mungkin hanyalah bidak yang dapat di buang. Namun ini juga merupakan modus operandi dari para Iblis yang membiarkan sang wanita itu untuk mendapatkan apa yang dia cari. Adalah lemparan bagus dari dadu.

Setidaknya, lebih baik dari tujuh yang aku butuhkan.

Garda wanita berjongkok, satu lutut di lantai. Darah yang menetes dari ranjang sebelumnya telah menodai karpet di bawahnya, meninggalkan noda besar. Dia tengah menarik karpetnya ketika dia berhenti.

Apa aku saja, atau memang ada yang janggal…?

Dia tidak dapat menjelaskannya—ini bukanlah indra ke enam, atau indra biasa lainnya., namun otaknya menerima semua itu. Apakah noda pada karpet dan noda pada lantai sedikit…tidak rata?

“Itu memang di sengaja. Kita perlu seseorang untuk melakukan pekerjaan detektif, atau nanti akan ada masalah.” Suara itu mengejutkan dirinya. Suara itu dingin sedingin es, membuat rusuknya merinding. “Cukup membingungkan apa kita harus melakukan ini di rumah atau di kantor.”

Tangannya sudah berada di pedangnya seraya dia melompat seperti boneka ber per. Dia melirikan matanya ke kanan, kemudian ke kiri di ruangan redup ini. Ujung ruangan. Ranjang. Tidak ada jendela. kontainer penyimpanan—tempat di mana pintu itu berada pintu berada. Tepat di belakangnya…!

“Soalnya aku nggak ingin kehilanganmu. Tapi kurasa criminal memang benar kembali ke TKP.”

Terdapat bentuk di sana. Seorang mahluk hidup tak bernama yang berlari melintasi bayangan. Sang wanita hanya dapat melihat mantel kulitnya saja; sebuah topi bertipe militer menghalangi wajah orang itu. Satu-satunya yang dia lihat adalah cahaya tidak wajar yang bersinar dari kedua mata orang itu.

“Cara terbaik untuk menghindari pencarian adalah untuk kembali ke dalamnya setelah barisan itu menyebar.” Garda wanita mengambil langkah ke belakang, mencoba untuk menjaga jarak di antara dirinya dan sosok bayangan itu. Dia mungkin tidak bisa melihat dengan baik di kegelapan, namun dia dapat melihat orang itu—sang mata-mata—sedang memegang sebuah pistol.

Mata-mata menyengir mengingat ini adalah kebalikan dari kejadian sebelumnya, namun sang garda wanita sama sekali tidak memperlihatkan pikirannya kepada mata-mata. Sang mata-mata sedikit mengangkat bahunya dan menggapai saku dada dengan tangan bebasnya. “Kami sudah menemukan uang tersembunyi yang kamu cari. Aku punya beberapa teman yang pandai dalam mencari sesuatu.”

Mata-mata mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil, semacam kotak yang mungkin di gunakan untuk menahan kertas, dan kotak yang terlihat jauh lebih cantik di bandingkan dengan segalanya yang ada di ruangan ini. Kotak itu tersembunyi di bawah lantai, di balik karpet, di bawah ranjang. Wanita itu cemas para penjaga kota mungkin akan menemukannya, namun ini, dia masih bisa mendapatkannya. Itu karena, dialah orang yang akan terkena masalah jika para penjaga menemukan kotak itu.

Delapan atau Sembilan dari sepuluh, wanita itu berpikir bahwa ini adalah sebuah kesempatan. Biasanya dia selalu menduga untuk mendapatkan tiga atau setidaknya empat. Dan jika semua berjalan lancar, maka apa lagi yang perlu dicemaskan tentang apa yang akan dia harus lakukan jika dia gagal—yang di mana dia tidak mungkin gagal?

“Aku akan berterima kasih kepadamu jika kamu memberikan itu padaku saat ini juga.” Sang garda wanita terdengar seperti dia akan marah di detik ini juga. Mata-mata menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya wanita itu benar-benar terdengar seperti wanita, dan pikiran itu membuat mata-mata tersenyum. Wanita itu melanjutkan, “Terima penangkapanmu tanpa perlawanan. Aku yakin Dewa kamu, Supreme God, akan meringankanmu.”

“Maksudmu ini milikmu? Wow, aku kaget.” Senyum mata-mata tidak pernah pudar seraya dia mengeluarkan isi konten dari kotak kayu. Akumulasi dari penjualan narkoba, kemungkinan; sebuah kantung emas, dengan beberapa perak dan perunggu yang tercampur di dalamnya. Dan kemudian di sana terdapat sebuah amplop dengan segel lilin yang menggambarkan mata hijau. Segel itu telah terbuka. Isi konten amplop itu: sebuah perintah, dan peta detail dari kota.

“Aku nggak tahu seberapa rencanamu untuk memeras para kultus untuk benda ini, tapi aku tahu peta ini bukan pekerjaanmu.”

“…”

Jika tatapan dapat membunuh, mata-mata mungkin sudah mati lima atau enam kali. Mata-mata menutup kotak itu, kemudian memasukkannya ke dalam kantung mantelnya. Kemudian dia menukarnya dengan sesuatu yang lain yang berada di dalam kantungnya, yang di mana dia lemparkan kepada wanita itu seolah benda itu adalah bola. “Ini punyamu kan?”

Shing. Benda itu menancap di lantai dengan suara tajam. Adalah sebuah belati yang cantik, namun pada saat ini, belati itu sudah benar-benar ternoda. Belati yang sampai beberapa jam yang lalu, telah menancap pada dada wanita half elf.

Pemilik dari pisau ini tidak bergerak untuk mengambilnya—dan setelah mata-mata sudah begitu baik untuk mengembalikan belati itu. Namun itu bukan berarti mata-mata mengharapkan reaksi dramatis dari wanita itu. Dia hanya membawa pisau itu bersamanya karena ini akan sangat bermanfaat baginya walau hanya dengan menyinggung benda ini.

“Aku tahu kalau aneh sekali kamu cuma memiliki pedangmu. Para penjaga biasanya selalu memiliki pedang dan belati sebagai pasangan.”

Garda wanita menatap mata-mata dengan lototan, bernapas keras, seraya dia akhirnya berhasil berucap, “Tapi bagaimana…?”

“Aw, jangan tanya.”

Pada kenyataannya, adalah sederhana: berpura-pura sebagai pengemis, bersumpah kepada penjaga bahwa dia adalah salah satu dari warga wanita itu (dan melemparkan beberapa koin untuk meyakinkan mereka), dan berlanjut dari sana. Itu karena, penjaga mana yang tidak akan menukarkan material bukti demi sebuah uang saku? Terdapat banyak orang yang menginginkan hal seperti itu sebagai—sang mata-mata tidak mengetahui—momento atau semacamnya. Mata-mata merasa bahwa ini akan berhasil.

Sebenarnya, mata-mata telah mendengar bahwa kapten garda akhir-akhir ini sangatlah keji. Para penjaga kecil lainnya kemungkinan akan di jadikan kambing hitam atas masalah wanita ini. Namun itu bukanlah pekerjaan mata-mata untuk menjelaskan detail ini kepada wanita itu. Dan dia tidak memiliki waktu.

“-------!!” Sang wanita itu memberikan tendangan pada pisau itu, secara bersamaan menarik rapier dan melompat menerjang kepadanya. Mata-mata ini mempertimbangkan apakah wanita ini terlihat lebih seperti macan atau singa. Pedang itu dapat menyerang bagaikan petir dan dia tidak akan mempunyai waktu untuk menghindari pedang dan belati itu secara bersamaan.

Mata-mata mengeratkan gigi. Kekuatan menjalar di keseluruhan tubuhnya. Dia melihat ujung dari pisau itu mendekat dengan pandangannya yang menyempit…

“Di jarak seperti ini, sebuah pisau tidaklah lebih cepat dari pistol.” Jari pada tangan kanannya sudah mulai menarik pelatuk. Terdapat sebuah boom dan peluru bundar menghempaskan rapier itu dari tangan sang wanita.

“Clavis….caliburnus…nodos!”

Pada saat yang sama, terdapat sebuah klik dari besi sabbaton di tempat wanita itu terjatuh. Tepat sebelum wanita itu sempat untuk berteriak, mata-mata menangkap belatinya di udara. Dengan kesadarannya yang di percepat, keseluruhan kejadian ini hanya terjadi dalam satu kedipan mata.

“Pembaca mantra…!” garda wanita berteriak.

Seraya wanita itu berusaha untuk bangun, mata-mata berjalan mendekat dan menginjakkan kakinya pada punggung wanita itu. “Pekerjaan dua orang, apa kamu tidak tahu.” Dia menyengir. “Gadis itu jauh lebih bisa di andalkan di bandingkan aku.”

Jika kamu ahli dalam bertarung di kegelapan, maka kamu juga tidak akan bisa terus-terusan menjadi penantang bahaya, mempertaruhkan nyawamu sepanjang saat—tapi dengan berdua, kamu mungkin bisa berhasil lolos dari bahaya itu.

Mata-mata berjongkok untuk melihat mata wanita itu, napas wanita itu tercekik seraya dia mencoba mendapatkan udara masuk ke dalam paru-parunya yang terinjak. Tak seorangpun yang mengenali mata-mata dapat bertahan di bawah tatapan itu untuk jangka waktu yang lama. Sekarang, mata-mata itu hanya mengangkat bahu. “Banyak orang berpikir kalau pistol itu cuma senjata jarak jauh, tapi ini adalah senjata yang dapat menembus armor pada jarak dekat.”

Mata-mata menekankan bantal pada wajah garda wanita. Kemudian dia menarik senjatanya, menodongkan pistol itu. Tempat ini sudah tersebar dengan darah pengedar narkoba. Tidak ada salahnya untuk menambahkannya sedikit lagi. Dan lagipula, memberikan sebuah tembakan melalui sesuatu yang lembut adalah cara terbaik untuk memastikan dia tidak merusak senjatanya.

“Membunuh penjaga kota itu nggak bagus buat bisnis. Rumornya akan seperti ini, kamu mengambil uang itu dan lari.”

“Tunggu—kita bisa buat kesepakatan!” garda wanita berteriak, terlihat perih dan meringkuk bagaikan udang. Mata-mata sama sekali tidak tertarik mendengar apa yang ingin di katakan wanita itu, namun dia kesulitan untuk menahannya di lantai, dan jawabannya sedikit terlambat. “Mungkin di bandingkan membunuh untuk uang, kamu bisa…membantu membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik!”

“Hmm?”

“Soalnya, kalau kamu membunuhku, kamu akan sudah melakukannya. Ada sesuatu yang kamu inginkan.”

“Biasanya.”

“Uang. Dan kejayaan. Aku yakin kamu mau melakukan hal yang besar.” Wanita itu tampak seperti mengambil kesempatan dari jawaban apa adanya dari mata-mata dengan cara yang paling menguntungkan, karena wanita itu mulai berbicara dengan cepat. “Kamu manusia juga, kan? Kalau begitu kamu pasti mengerti. Kamu harus lihat kalau kota ini sudah di invasi!”

“Yeah, kurasa memang begitu.”

“Coba lihat saja di sekitaranmu—kamu bisa melihat mereka di manapun. Elf, dwarf—padfoot, dan rhea. Mereka semua…”

Mata-mata dapat merasakan wanita itu menggeliat di balik bantal. Dia tidak yakin apakah wanita itu mencoba untuk melarikan diri, atau wanita itu hanya sedang begetar ketakutan.

“Kita perlu menyingkirkan para manusia demi, melenyapkan raja bodoh yang mentoleransi mereka, dan mengambil Negara kita kembali. Itu adalah hal yang adil dan benar untuk di lakukan!” sang wanita berteriak tanpa henti seraya dia berbicara, sama sekali tidak merasa bahwa dia bisa saja salah mengenai itu. Adalah keseluruhan alasan mengapa wanita itu menyita barang-barang yang berada di jalanan, menyebarkan narkoba, membunuh kliennya, mencoba untuk mengkambing hitamkan party mata-mata, dan sekarang tengah memohon ampunan atas nyawanya.

“Para ‘demi’. Jadi ini soal itu ya?” Mata-mata meludahkan setiap kata seperti benih dari buah.

“Apa aku salah?” garda wanita membalas. Adalah seperti terdapat api di perutnya dan wanita itu ingin mengeluarkan semuanya. “Seorang elf terlahir dari benih manusia itu hal yang menjijikkan.”

“Kurasa semua orang mementingkan pendapat mereka sendiri.”

Jadi para pengemis, budak, dan pendosa dari wilayah kumuh telah menghancurkan diri mereka sendiri dengan narkoba dan terbunuh. Tidak ada alasan khusus untuk marah dengan itu. Mata-mata sendiri terkadang menerima uang, terkadang melakukan perbuatan baik, terkadang membunuh seseorang. Sama saja. Apa yang di inginkan pelaku di depannya ini, adalah kota yang indah dan murni menurut pendapatnya sendiri. Hadiahnya: uang dan ketenaran. Itu akan menjadi keuntungan umat manusia, kebaikan dari dunia. Proyek perindahan yang di kontribusikan mata-mata.

Untuk alasan itu, dia akan membunuh. Dia akan membunuh para elf yang berasal dari benih manusia. Sama saja.

Mata-mata mengangkat bahu.

“Seperti mencoba mencari bayangan di malam hari.”

“…Apa?”

“Itu bukan pekerjaanku.”

Garda wanita tidak segera menjawab. Dia memaksa mengangkat kepalanya, mendorong ke samping bantal, dan melihat kepada pria itu seolah dia tidak dapat memahami apa yang dia lihat. “…Kalau begitu,” wanita itu akhirnya berkata, “Apa yang kamu inginkan?”

“Pertanyaan bagus,” mata-mata membalas. Dia berpikir sejenak, kemudian menyengir seperti hiu. “Kurasa aku mau timku menang.”

*****

Di kala mereka telah mengirimkan karung penuh dengan daging ke dalam saluran air, cahaya lembut pertama dari subuh mulai muncul. Beberapa orang akan menyebutnya awan indah ungu kehitaman; sedangkan yang lain akan menyebutnya mengerikan.

Sedangkan untuk mata-mata, sekarang semua pekerjaan berat telah selesai, dia hanya akan menyebutnya, memusingkan.

Dia muncul dari bawah tanah dan berdiri untuk beberapa saat, mendengarkan air yang mengalir. Dia dan temannya setidaknya dapat makan-makan enak selama beberapa hari.

Penjaga berwajah kelinci mungkin akan menemukan kejahatan wanita itu sebentar lagi, dan penjaga itu mungkin akan kembali ke dalam TKP. Mereka mungkin akan menemukan noda baru. Tetapi yang hanya akan mereka temukan hanyalah kotak kayu kosong. Garda wanita akan menghilang. Satu kesimpulan jelas. Garda wanita itu yang telah menyuplai narkoba telah mengalami keributan dengan penjualnya, menawarkan wanita itu uang, dan kemudian mencurinya dan melarikan diri—kemana, tidak ada yang mengetahui. Hanya itu saja; kasus di tutup. Bukan hal yang perlu di cemaskan di dalam Dunia-Bersudut-Empat.

Mata-mata mulai berjalan perlahan menjauh dari pintu masuk atau mungkin pintu keluar? dari saluran air. Namun tubuhnya tidak bisa bersantai dulu. Di dalam cahaya samar yang menyebar di kota, dia melihat seseorang yang dia tidak kenal berdiri di samping kereta yang dia sembunyikan. Mata-mata merasakan beban dari pistol yang berada di dada di balik mantelnya seraya dia berjalan. Busur silang repetitive memiliki kecepatan menembak yang lebih baik, namun untuk kemudahan penggunaan dan kekuatan murni, ini adalah waktunya untuk pistol. Tidak di ragukan.

“Apa itu kamu? Maid itu?”

“Perwakilan dari pelopor.” Adalah gadis berambut silver (gadis itu akan sangat mudah di sangka sebagai anak kecil)—walaupun gadis itu tampak seperti tidak benar-benar berada di sana, seperti bayangan.

Perwakilan? Mata-mata berpikir. Kemudian seragam itu antara penyamaran atau sebuah pilihan pribadi. Mustahil kalau gadis itu benar-benar seorang maid.

Mata-mata mendongak ragu pada temannya sang kusir. Sebagai balasan, sang kusir menarik topinya ke bawah seolah bahwa ini bukanlah urusannya, dan menggelengkan kepalanya dengan sedikit kesal.

“Sepertinya kamu sudah selesai dengan pekerjaannya. Bagaimana?” Maid bertanya.

“…” Masih berhati-hati, mata-mata secara perlahan membuka kancing dari mantelnya untuk menunjukkan apa yang terdapat di dalamnya. Pistol tergantung di dekat dada. Dia menggapai melewati pistol, mengeluarkan sebuah surat terbuka dan peta, dan melemparkannya kepada wanita itu. Maid berambut silver menangkapnya di udara dan melihat kedua benda itu dengan suara tertarik. “Apa kamu sudah menyelidiki apa yang tertera di peta ini?”

“Belum.” Mata-mata berkata, menggelengkan kepala. “Terlalu sibuk.”

“Okelah kalau begitu.” Maid melipat peta dengan rapi dan memasukkannya ke dalam amplop, kemudian memasukkan amplop itu ke dalam sakunya. “Ini seharusnya sudah menjadi akhir dari permasalahan narkoba di kota air. Pemberi questmu sangat senang, aku jamin itu.” Ucapan itu terdengar seperti sebuah naskah, hampir terdengar konyol. “Questnya sekarang telah berakhir. Hadiahmu ada dengan sang fixer.”

“Aye-aye.” Mata-mata berkata, mengangguk. “Panggil kami saat kamu butuh melakukan bisnis lagi.”

“Baiklah.” Maid berambut silver bergumam, “Kalau begitu, sampai jumpa,” dan kemudian berjalan ke dalam gang. Wanita itu mungkin telah pergi untuk membeli sarapan—namun kemudian wanita itu menghilang di antara bayangan dan lenyap dari pandangan.

Mata-mata memperhatikan wanita itu pergi, tidak mengatakan apapun. kepalanya—otaknya—panas.

“…Sepertinya sudah selesai,” ucap makhluk putih berbulu, memunculkan kepalanya dari bangku kusir. Gadis itu menghela napas yang sepertinya dia tahan. Mungkin gadis itu mengetahui siapa maid berambut silver itu sebenarnya. “Kerja bagus!”

“yeah, terima kasih,” mata-mata membalas pendek. Ini benar-benar terasa seperti pekerjaan—dia sangat lelah.

Sang makhluk tampak menyadari ini. Gadis itu memiringkan kepalanya seolah mendengar sesuatu di kejauhan, kemudian mendengus dan berkata, “Wanita itu bilang… ‘Maaf selalu merepotkanmu selama ini’”

“Nggak masalah.”

Sebenarnya, bukanlah tidak masalah. Terdapat seseorang yang melakukan negosiasinya, seseorang yang melakukan penelitian, seseorang yang memberikan dukungan, dan seseorang yang membawa mereka. dan kemudian seseorang yang berada di sampingnya, merapalkan mantra. Yang semuanya terjatuh pada… “Peranku adalah untuk melakukan penghajaran dan membawa pulang semua orang dengan aman.”

“Heh! Mereka bisa mengurangi sikap keras kepalamu, tapi mereka nggak bisa merubah sikapmu.” Makhluk putih berbulu tertawa. Sang fixer kemungkinan tengah tertawa juga. Karena itu mata-mata menambah tawanya sendiri. Bukanlah perasaan yang buruk, untuk di puji oleh temannya.

“Aku akan kembali,” sang makhluk berkata. “Harus melapor sama si fixer.”

“Bukannya dia ada di sana di dalam ruangan bersamamu?” datang suara mengejek dari cleric di dalam kereta, bersama dengan tawaan kecil.

“Hmm.” Familiar berkata menghindar, namun dia mendapati dirinya di cekek di leher dan di letakkan di atas lutut cleric.

“Aku akan kembali ke kuil hari ini. Rasanya aku seperti tidur selama tiga hari penuh.” Kenyataannya, adalah gadis cleric yang berjaga mengawas sekitaran mereka, menggunakan kemampuan yang di berikan kepadanya oleh Dewa Pengetahuan.

“Baiklah, kerja bagus,” mata-mata berkata pelan.

“Hrmph,” kusir mendegus. “Bagaimana—kamu menumpang pulang?”

“Nggak.” Mata-mata menjawab setelah beberapa saat, menggelengkan kepala. “Aku jalan saja.”

“Terserah kamu.” Senyum tipis muncul di wajah datar kusir yang jarang tersenyum, dan kemudian pria itu menggenggam tali kekang hewannya. “Pergilah sekarang, kelpie, ini waktunya untuk sibuk! Bumi ke sungai dan laut ke langit, putar balikkanlah semuanya!” kelpie berlari menarik kereta, bulu rambut kelpie melayang, hanya meninggalkan jejak tapak kaki seperti rintik hujan.

Mata-mata memperhatikan mereka pergi. Dia berdiri di sana sendirian di jalanan, menatap kosong mengarah mereka. akhirnya, tidak dapat menahan cahaya samar subuh lebih lama lagi, dia mulai berjalan.

Semua sudah selesai sekarang. Punya kesempatan untuk berpikir.

Bayangkan apa yang di rasakan garda wanita, mungkin itu adalah hal yang perlu di lakukan. Jika ini semua ternyata hanyalah omong kosong, maka seperti itulah dunia bekerja, maka mungkin tidak ada seorangpun yang akan mengeluh.

Sekarang, untuk menggabungkan kepingan akan semua informasi acak itu seolah semua itu memiliki arti sesuatu, hanya karena kamu berpikir kamu melihat sebuah pola dalam semua itu—itu hanyalah sekedar paranoia sederhana. Namun misalnya—hanya misalnya….

Bagaimana jika pengedar narkoba half elf itu adalah kakak perempuan dari garda itu, atau mungkin adik perempuannya? Mungkin anak dari kekasih. Apapun itu, anak haram dari beberapa keluarga bangsawan. Darah campuran. Di usir dari rumah atas kelahirannya, namun masih bergantung secara finansial kepada mereka. dia pun mengarungi kehidupan kriminal, bahkan narkoba, memanfaatkan kenyataan bahwa gadis itu adalah keluarga darah dari penjaga kota untuk bisa mendapatkan barang-barang sitaan.

Jika semua ini terkuak, ini akan menodai kehormatan dari penjaga. Atau bahkan lebih buruk, keluarga wanita itu sendiri. Dan anak perempuan lainnya, garda wanita—pikir apa arti itu semua bagi wanita itu.

Supremasi manusia. Wanita itu berniat untuk melakukan apapun demi itu. Bahkan bersekutu dengan pasukan Kekacauan.

Kalau pelopornya adalah orang tua gadis itu. Mungkin mereka hanya ingin memastikan bahwa ini tidak sampai lepas kendali. Atau mungkin lebih dari itu.

Namun pengedaran narkoba telah di ketahui. Seseorang telah mendapatkan pesan rahasia di antara para wanita, entah oleh kebetulan atau melalui pengkhianatan. Mungkin mereka mengkambing hitamkan para wanita itu atau mungkin mereka ingin menghentikan wanita itu.

Apapun itu, terdapat banyak hal di dunia ini yang lebih baik untuk tidak di ketahui. Dan banyak hal yang tidak mungkin untuk di ketahui.

Karena itu, pengemis, budak, dan pendosa dari wilayah kumuh yang merusak diri mereka dengan narkoba telah terbunuh—apakah ada orang yang berduka untuk mereka? mengapa mengoceh keteledoran seperti itu kepada kelas bawah—tidak akan ada gunanya mengganggu mereka dengan itu. Hanya mereka yang sangat bodoh atau penantang bahaya yang tidak kenal takut akan mengotot untuk memaparkannya, dan mata-mata bukanlah tipe seperti itu.

“…Hmph.”

Dia akan lebih memilih untuk menjadikannya kambing hitam. Adalah yang paling termudah jika tidak orang yang benar-benar ahli. Jika tidak ada cara sebenarnya untuk di selamatkan.

Karma terasa lebih ringan dengan seperti itu.

Tubuh mata-mata mulai terasa panas hingga terasa terbakar; dia mencari kantung di mantel. Dia mengeluarkan rokok tipis. Sekarang dia hanya perlu menyalakannya…

“…Ini.” Dia mendengar silinder jerami menyentik, dan kemudian terdapat kilauan api di depan matanya. "…” Gadis berambut merah tengah berdiri di sana dengan senyum malu. Mata-mata menerimanya dengan senyap, menarik napas dalam dari asap antipiretik, dan ketika otaknya menjadi sedikit dingin, dia bertanya, “…Apa, nggak kembali dengan kereta?”

“Nah,” gadis itu berkata. “Lagi pingin jalan pulang kerumah.”

“Huh.”

Terhembus dengan asap manis tipis, mereka berdua berjalan dengan santai. Mata-mata lebih tinggi dari gadis itu. Kaum elf itu tinggi, namun gadis itu kurus, lembut, dan ringan. Mungkin adalah karena orang tua gadis itu adalah manusia. Mata-mata tidak mengetahui. Elf blasteran lainnya.

Mata-mata mencoba untuk memperpendek langkah panjangnya, gadis berambut merah berlari untuk mengejar dan berjalan di sampingnya. mereka tidak terlalu banyak mengetahui masing-masing latar belakang. Mata-mata adalah pemain Wizball yang gagal yang telah kehilangan lengan dan kakinya dalam kecelakaan, yang sekarang mengarungi dunia bayangan untuk mencari uang. Gadis itu adalah anak perempuan dari pedagang, yang di incar oleh para pembudak karena dia adalah blasteran, yang sekarang sedang mengejar dendam demi seorang teman yang tertangkap di tengah-tengah.

Bukanlah pertanyaan dari baik dan buruk, akan asas tinggi atau motif rendah, dari Ketertiban atau Kekacauan.

“Hei,” Gadis itu berbisik. “Lain kali kamu akan pergi melihat Wizball… ajak aku.”

“Belum pernah melihat sebelumnya kan?”

“Nggak juga.”

“Huh.” Mata-mata mengangguk. “Aku belikan kamu beberapa kacang dan kerupuk.”

“Apa itu yang kamu makan saat nonton pertandingan?” gadis itu tertawa seolah ini adalah hal yang lucu.

Sudah waktunya bagi kota air ini untuk terbangun. Jalanan di penuhi dengan orang, rambu toko di balik menjadi sisi BUKA. Dan kota di penuhi dengan langkah kaki gumaman keramaian. Koki Rhea sedang menyiapkan perkakas mereka, penempa dwarf sedang menyalakan api mereka, dan penyair elf sedang menyetel instrumen mereka. tidak lama lagi, di segala arah akan di penuhi dengan anak manusia dan anak padfoot yang berlarian dan bermain.

Seperti apa mereka terlihat seraya mereka berjalan melewati itu semua? Mata-mata memikirkannya secara singkat seraya percakapan santai mereka berlanjut, namun tidak butuh waktu lama bagi dirinya untuk memutuskan bahwa ini tidak penting. Dia tertawa; hanya karena dia adalah seorang assassin bukan berarti dia perlu berkeliling dan bertindak seperti assassin.