Goblin Slayer di dalam Negara pasir Bagian 2

Penerjemah: Zerard


Ketika Goblin Slayer membuka pintu ruang penjaga, ruangan ini tampak seperti terjahit dengan mayat. Para penjaga tergeletak di lantai, mereka semua tertidur, walaupun ini bukanlah cara tidur yang sehat. Kemudian mereka semua tampak terikat dengan sebuah tali. Hanya dua orang yang masih bediri. Female Merchant, bajunya menghitam dengan keringat, dan Dragontooth Warrior dengan mantel panjangnya.

Goblin Slayer memperhatikan semua ini dengan satu lirikan, kemudian bertanya halus, “Kamu nggak apa-apa?”

“…Ya.” Female Merchant mengelap keringat, kemudian menarik jaket yang menggantung pada punggung kursi. “Kurang lebih.”

Kemudian sebuah helaan napas lega dari Priestess. High Elf Archer tersenyum juga. Hal ini menyebabkan Female Merchant tersipu, hampir seperti dia merasa malu. “Maaf. Ini memakan waktu yang lebih lama dari yang ku kira…” Female Merchant terdengar tidak nyaman, dia mulai mengatur jaketnya untuk menutupi dirinya.

“Menangani satu ruangan penuh dengan penjaga sendiria? Yeah, pasti bakal makan waktu lama.” High Elf Archer cekikikan.

“Sudah ah,” Female Merchant tidak menyetuji dengan lemah. “Aku nggak sendirian, dan aku juga nggak bertarung dengan mereka…”

“Bisa menang tanpa bertarung—bukannya itu jauh lebih hebat?” Priestess membalas segera. “Iya kan?” dia bertanya kepada rekannya sebelum Female Merchant dapat mendebat lagi.

“Hmm…” Female Merchant berkata, terkalahkan oleh celotehan tidak biasa dari Priestess.

Dwarf Shaman tidak akan membiarkan gadis ini berdalih dengan mudah. “Sudah sepantasnya mereka mendapatkan ini, gadis. Kerjamu hebat.”

“Hoo-hoo, Dragontooth Warrior saya yang juga tidak perlu melakukan apapun juga bukti bahwa anda berhasil dengan sangat baik, sangat baik.”

Tiba-tiba Dwarf Shaman dan Lizard Priest, dua petualang peringkat Silver, menyirami dirinya dengan pujian.

Tetap pada karakternya, Goblin Slayer memberikan pujian yang lebih lunak…

“Tampaknya efek dari parfum ini berfungsi seperti yang seharusnya.” Dia berkata seraya dia memeriksa ikatan prajurit. Itu adalah sebuah pujian, yang berasal dari dirinya.

“Jadi, ahem,” Female Merchant berkata, melirik sekitarannya untuk menyembunyikan rasa malu. “Bagaimana dengan kalian…?”

“Kami aman juga.” Priestess menambahkan dengan anggukan. Kemudian dia melirik mengarah Lizard Priest. “Sekarang kita harus mengeluarkan mereka…”

Pertanyaannya adalah caranya bagaimana.

Tampaknya Female Merchant telah menyuruh Dragontooth Warrior untuk melakukannya, namun tidaklah mungkin bahwa para prajurit di ruangan ini mewakili semua prajurit dalam benteng ini. Dan kemudian terdapat juga goblin. Mereka di tempatkan jauh di bawah tanah, namun tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan ke permukaan.

Yang paling mendesak dari semua adalah, sekarang mereka memebawa beberapa tahanan. Melarikan diri tidak akan menjadi tugas yang mudah dalam kondisi seperti ini. Mereka tidak akan dapat sekedar meletakkan para wanita di dalam gerobak seperti yang pernah mereka lakukan di dalam benteng di atas pegunungan salju. Kali ini mereka berada di dalam benteng musuh dan tidak dapat bersembunyi di kota terdekat ketika mereka berhasil keluar benteng.

Priestess terlihat seperti seorang murid yang telah di berikan tantangan permasalahan untuk di pecahkan. Dia dapat mendengar dirinya sendiri bergumam di balik napasnya.

Satu jawaban datang dari High Elf Archer, seolah itu adalah hal terjelas sedunia. “Apa kita nggak bisa ambil kapal pasir dari pelabuhannya saja?”

“Ada pelabuhan?”

“Aku mengingat itu dari cetak biru. Aku yakin tempatnya ada.” High Elf Archer berkacak pinggul dan membusungkan dadanya bangga, kemudian melirik mengarah Goblin Slayer. “Aku berasumsi kalau itu memang rencanamu dari awal kan, Orcbolg?”

“Sejauh ini.” Terdapat sebuah anggukan kecil dari helm baja yang terlihat murahan itu.

Priestess secara pribadi tercengang, dia menghela secara mental. Kurasa aku harusnya nggak perlu kaget lagi sekarang, kalau dia nggak memberitahukan strateginya kepada kami semua.

Pria ini benar-benar sungguh terlalu.

Dan pria itu mungkin harus belajar untuk hal menyadari itu, tanpa perlu Priestess mengatakannya.

“Para wanita,” Goblin Slayer berkata dengan anggukan kepada wanita yang di selamatkan. “Kita akan memberikan mereka kepada Dragontooth Warrior. Apa kamu bisa mengemudikan kapal?”

Lizard Priest memberikan belaian berpikir pada dagunya dan memutar kedua mata. “Saya rasa seharusnya bisa. Ketika kita berada di atas wahana Master Myrmidon, saya mengamati prosesnya. Dan di manakah tujuan kita?”

“Kasih aku peta yang di berikan Myrmidon itu.”

“Tentu saja, sesuai kehendak anda.” Lizard Priest mengeluarkan kertas papyrus dari tasnya dan membuka gulungan itu. Kali ini semua orang dapat memperhatikannya, termasuk High Elf Archer. Walaupun tidak seorangpun dari mereka adalah kartografer, mereka dapat mengetahui bahwa ini adalah peta yang sangat bagus. Goblin Slayer menyadari sebuah tempat yang tidak jauh dari benteng. “Apa ini reruntuhan?”

Tempat itu di tandai dengan sebuah X dan tergambar dengan sesuatu yang tampak seperti lingkaran pilar batu. Sungai berlalu melewatinya, tampaknya itu adalah tempat yang menjanjikan di mana mereka dapat beristirahat. Reruntuhan tua adalah reruntuhan tua, mereka harus mempertimbangkan kemungkinan bertemu dengan monster—namun untuk sebuah grup petualang, itu sudah menjadi resiko pekerjaan.

Itu sudah menjadi pembimbing yang baik untuk di tengah semua kekacauan ini.

“Baiklah,” Lizard Priest berkata. “Dragontooth Warrior akan mencari dan menyiapkan kita sebuah kapal di pelabuhan.”

“Sementara itu kita akan pergi ke atas.” Goblin Slayer menggulung peta dan melemparnya kepada Lizard Priest, yang menangkapnya di udara dengan cakar panjangnya. “Kemudian kita melarikan diri, bertemu dengan Warrior dan menuju reruntuhan.”

“Yah kalau begitu jangan buang waktu lagi. Kita nggak ingin mereka memergoki kita gara-gara kita bersantai di sini.” Dwarf Shaman menghitung sisa dari mantra pada jari gemuknya. “Coba ku lihat, sihir. Aku baru menggunakan Stupor sekali, jadi aku masih punya tiga mantra lagi.”

“Dan saya hanya memanggil satu Dragontooth Warrior,” Lizard Priest berkata. “Sayapun demikian masih memiliki tiga mantra.”

“Aku baru menggunakan Holy Light dan Silence, jadi aku punya satu…” Priestess berkata dan kemudian mencuri lirik kepada Female Merchant. Untuk beberapa saat, gadis itu tidak memahami mengapa dirinya sedang di perhatikan, namun kemudian dia berkedip dan berkata. “…Aku belum menggunakan mantra apapun. aku masih punya dua.”

“Gila, party ini kaya sihir banget.” High Elf Archer cekikikan. Tiga belas mantra secara keseluruhan, tersisa Sembilan sekarang. “Hei, kamu yakin aku nggak bisa mengadopsimu? Kamu bisa menangani baris depan dan menggunakan sihir, itu hebat banget.”

Female Merchant tiba-tiba mendapati dirinya di dekap dan rambutnya di belai oleh seorang high elf, berkata canggung, “Er, uh kurasa…nggak bisa…” Wajahnya menjadi merah padam, dan dia melihat lantai dengan malu. “Maksudku ada banyak yang aku harus lakukan. Di ibukota.” Seseorang tentunya akan mengira bahwa kedua teman ini hanya berbeda beberapa tahun (Yah, mereka memang berbeda beberapa tahun) atau seperti sepasang saudari.

Dengan Priestess yang menyela akan “Dia bilang dia nggak bisa, oke?” Trio yang imut ini menjadi lengkap. Perdebatan mereka tampak tidak pantas di antara tumpukan para penjaga yang tumbang di dalam benteng jahat ini.

Dwarf Shaman menyipit seolah dia sedang melihat sesuatu yang cukup terang dan berkata, “Ayolah, Telinga Panjang,” Namun terdapat nada sayang di dalam suaranya. “Scaly dan aku mungkin bisa saja berdiri di baris depan kalau memang harus. Ngomong-ngomong, Beardcutter, apa yang harus kita lakukan dengan goblinnya?”

“Sarangnya ada di bawah kita,” Goblin Slayer mengamati dengan acuh. Dia mengeluarkan sebuah botol dari kantung dan menuangkan isinya ke dalam helmnya, meminum dengan khusyuk sebelum melanjutkan. “Akan terlalu lama untuk di cari dan menghancurkan setiap individualnya. Kita harus melenyapkan mereka semua secara sekaligus.”

Dengan kata lain, dia akan melakukan apa yang selalu dia lakukan. Dia adalah Goblin Slayer. Dan dia akan membasmi goblin.

“Dan karena itu kita akan pergi ke atas…” Female Mechant berkata, akhirnya terlepas dari pergulatan singkatnya dengn High Elf Archer. Dia dapat merasakan sebuah tatapan mengarahnya dari balik helm itu dan diapun mengangguk.

“Cuma mau memastikan, bagaimana status dari questmu?”

“Perdana mentri dari negara ini telah bersekutut dengan Kekacauan dan tengah bekerja untuk meningkatkan jumlah goblin di lahannya. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.” Female Merchant membalas. Dia mengetahui apa yang terjadi. Kekacauan tengah bersemi di sini dan bersiap untuk mekar. “Questku sudah selesai. Yang tinggal ku lakukan adalah melaporkan apa yang aku lihat.”

“Kalau begitu aku akan menemanimu.” Goblin Slayer memasukkan kembali botol setengah kosongnya masuk ke dalam kantung. Suaranya semakin menjadi acuh, mekanikal, seraya dia berkata: “Party ini bagus karena mempunyai ‘kaya sihir’”

Hehe. Pipi Female Merchant melembut menjadi senyum. Dia senang mendengar pria itu mengatakan itu.

Diskusi singkat mengikuti, rencana di rencanakan, dan persiapan segera di buat. Adalah rapat perang yang sekaligus menjadi istirahat singkat.

Priestess menyadari bahwa dia tidak mengetahui seudah seberapa lama semenjak mereka memasuki benteng ini. Ini terasa begitu lama namun juga begitu singkat dalam waktu yang sama. Namun apapun itu, tidak dapat di pungkiri bahwa waktu telah berlalu, dan kemungkinan sekarang sudah tengah malam.

Lelah dan semangat sama-sama berbahaya. Jika kamu tidak berhati-hati, kamu dapat tidak menyadari bahwa kamu sudah kelelahan. Karena itu setelah konfrensi mereka,  mereka meminum air, memakan persediaan, dan menghabiskan waktu berharga mereka dalam tawa.

Tidak lama kemudian, Goblin Slayer berkata, “Ayo,” dan kelima petualang lainnya berdiri. Tujuan mereka: lantai teratas dari benteng. Apa yang akan menunggu mereka di sana, mereka tidak mengetahui. Mengapa mereka tidak mengetahuinya? Karena ini adalah petualangan.

“Oh, tunggung sebentar,” Female Merchant berkata seraya mereka hendak akan meninggalkan ruangan penjaga. Dia berlari kembali dari pintu menuju Dragontooth Warrior yang membawa para tahanan wanita. “Aku nggak pernah berterima kasih padamu atas bantuanmu…”

Female Merchant memegang tudung yang menutupi kepala Warrior, menarik Warrior itu mengarahnya, dan berdiri berjinjit; kemudian wajah Female Merchnat menghilang masuk ke dalam tudung. High Elf Archer mengeluarkan suara terkejut. Hanya untuk sesaat, sosok dari Female Merchnat dan Dragontooth Warrior bersatu.

“…Maaf sudah menunggu,” dia berkata, kembali ke party dengan gerakan cepat yang sama. Pipinya sedikit tersipu. Priestess, yang menyaksikan momen itu, juga merasakan wajahnya sedikit memanas.

“Ha-ha-ha, Dragontooth Warrior itu sungguh sosok yang sangat beruntung.” Lizard Priest mengeluarkan tawa terbahak-bahak, dan wajah Female Merchant semakin memerah. “A-ayo, pergi!” dia berkata menunjuk dan mengarah pintu, menuju lorongd dari benteng.

Keseluruhan party mengikutinya, masing menyeringai hingga Dwarf Shaman berbisik, “Sekedar bertanya, tapi kamu nggak berniat untuk membunuh jendral atau siapapun yang memimpin tempat ini kan?”

“Aku nggak tahu siapa itu, tapi aku ragu kalau itu di perlukan.” Goblin Slayer berkata, suaranya terdengar begitu dingin. “Kalau mereka setia dengan goblin, maka kita bisa akan berhadapan dengan orang tolol.”

*****

Mereka di berikan makanan. Mereka di berikan tempat untuk tidur. Mereka bahkan di berikan wanita. Akan tetapi, semua ini hanya menambahkan ketidakpuasan mereka. di isni mereka, di paksa untuk hidup di dalam lubang menjijikkan, sementara orang lain menikmati diri mereka di lantai atas. Mereka yang di atas kemungkinan memiliki makanan yang lebih enak dan jauh lebih mewah. Mereka kemungkinan hanya tidur-tiduran, dalam panasnya “malam” atau dinginnya “siang”.

Terlebih, mereka yang di atas telah merenggut segalanya yang para goblin susah payah menangkan. Bahkan para wanita. Mereka telah di berikan wanita, di beritahu bahwa mereka dapat melakukan apapun yang mereka ingin dengan para wanita—namun ketika mereka melakukannya,  orang-orang yang di lantai atas meneriaki mereka dan mencabuk mereka. adalah hak mereka untuk melakukan apapun yang mereka suka pada apa yang sudah menjadi milik mereka!

Tetapi apa yang paling membuat mereka murka adalah bagaimana mereka yang ada di atas berpikir bahwa ini semua sudah cukup untuk membuat para goblin patuh. Orang-orang itu hanya akan beragumen, berjalan dengan sombongnya dan bersolek, ketika di dalam, mereka tidaklah lebih dari para goblin yang hidup di bawah sini. Berjalan sombong dan bersolek hanyalah satu-satunya talenta mereka.

Dan mereka benar-benar ribut hanya karena kehilangan secarik kertas! Apa sih yang mereka lakukan di atas sana?

Berani sekali orang-orang itu menganggap rendah mereka yang hidup di bawah sini! Lakukan ini, lakukan itu, mereka bilang, dan kemudian ketika telah selesai, mereka akan mengeluh. Jika mereka memang benar-benar sebegitu putus asanya, mereka harusnya melakukannya sendiri.

Dan semua itu akhirnya berujung kepada…ini.

Kandang kudanya kosong. Tubuh dari kompatriot berserakan di segala tempat, aromanya menembus hingga ke atas. Para goblin meraung murka, menghiraukan kenyataan bahwa dirinya telah berhasil lolos dari pembantaian hanya karena dia melalaikan tugasnya. Jika ada seseorang yang dapat memahami lidah para goblin, mereka tentunya akan mengernyit mendengar kevulgaran dari bahasanya.

Ini terakhir kalinya mereka membuat kami marah!

Para goblin selalu marah, selalu mebentak. Namun seperti biasanya, goblin ini yakin bahwa kemarahannya sangatlah pantas. Dia dan yang lain telah di perlakukan secara tidak layak, yang karena itu mereka berhak untuk bangkit dan mengambil kembali apa yang seharusnya milik mereka.

Mereka adalah yang bekerja paling keras di benteng ini, karena itu seharusnya merekalah yang berdiri di atas tngga hirarki. Bukan mereka, tetapi dirinya, ini adalah pikiran sang goblin seraya teriakannya menggema di dalam gua. Mereka yang terlahir dan besar di dalam sini, mereka yang terbawa dari luar—mereka semua seharusnya dan semestinya murka, perlu dan akan memberontak. Mereka akan mengambil alih benteng ini dan kota di dekatnya, semuanya, mengambil semua dan membuatnya menjadi milik mereka.

Gadis penari yang sering di perbincangkan para prajurit, dan permaisuri atau siapapun dia—para goblin akan mengambilnya. Para prajurit sangatlah bodoh karena tidak ingin mengambil mereka, namun para goblin berbeda dengan prajurit itu.

Dan aku akan berdiri di puncak dari semuanya.

Kenapa? Karena dia akan menjadi komanda dari pertarungan ini tentunya. Yang lainnya akan menjadi bawahannya yang setia, seperti tangan dan kakinya; mereka akan pergi untuk mati sebagai pengganti dirinya. Bahkan, tidak seperti para goblin bodoh yang terbunuh di sini, dia tidak akan membuat kesalahan yang sama. Dia akan selamat. Dia sangat yakin.

Dengan seringai keji di wajahnya, selangkangannya bergejolak oleh khalayan sederhana ini, sang goblin mengusung pedangnya—

“GGOOGOOOGORRBB!!”

--dan dalam sekejap, otaknya terburai oleh rantai besi yang menangkap kepalanya, dan kehidupannyapun berakhir. Seseorang menginjak tubuhnya seraya mayat itu tumbang, kejang-kejang: goblin lainnya yang lebih besar. Menjadi yang goblin terbesar di sini, dia mengetahui bahwa dial ah yang harus berdiri di puncak, dan dia meraungkan keyakinannya.

Tidak ada goblin lain yang menolak. Mereka semua bersatu dalam kepercayaan mereka untuk memanfaatkan goblin besar ini demi keuntungan dirinya sendiri.

“GORGB!! GOORGBB!!”

Bah, manusia itu nggak ada kuatnya.

Coba, lihat. Mereka memakan sesuatu yang kita nggak pernah lihat. Apa itu, tahi?

Ada bau. Baunya seperti betina. Bau bagus. Betina baru. Dan baunya seperti budak seks kita.

Di atas. Mereka pergi ke atas. Dasar bajingan. Kota akan menyeret mereka kembali ke bawah sini, menghajar mereka sampai babak belur.

“GOORGBB!!”

Para goblin melucuti perlengkapan para prajurit, kemudian membasahinya dengan darah, mengeluarkan seruan perang dan berlari ke depan.

Mereka akan membunuh para manusia, mendapatkan para wanitanya kembali, dan merenggut apa yang seharusnya milik mereka.

Di kala mereka mulai, mereka tidak akan berhenti sampai mereka mati: ini adalah jalan para goblin.

*****

“A-apa…?!”

“Goblin! Para goblin menyerang dari bawah tanah!”

“Siapa sih yang punya ide cemerlang buat memakai goblin?!”

Suara marah berseru, tidak lama kemudian di iringi dengan benturan pedang, teriakan dan jeritan, suara daging terkoyak, dan ceracau para monster.

Tidak ada perintah, mereka semua hanya bergegas maju dengan pedang mereka. beberapa prajurit masih menggunakan pakaian sipil, sementara yang lain bergegas untuk menarik armor mereka, dan beberapa mencoba melawan hanya dengan pakaian dalam mereka.

Banyaknya rintihan kematian yang dapat terdengar tentunya bukan berasal dari para manusia, namun terdapat juga beberapa jeritan dari para prajurit. Mereka telah hidup di atas sebuah sarang goblin tanpa sedikitpun memasang penjaga. Ini adalah hasil yang seharusnya.

Dengan kata lain, adalah sebuah kekacauan murni.

“Si-siapa kamu?! Sebutkan squadronmu dan—“

“Para goblin akan segera menyerang dari bawah tanah.”

“A-apa…?!”

Pertanyaan itu—di pertanyaankan oleh seorang pria yang masih belum memahami keadaan yang terjadi sekarang—di jawab dengan respon tenang dari Goblin Slayer, yang kemudian bergegas ke depan bersama partynya. Mereka melalui beberapa koridor, melewati prajurit-prajurit yang berlari seraya berteriak “Kami membawa prajurit terluka! Semuanya minggir!”

Mata Priestess menatap pria terluka di atas usungan seraya mereka berlalu, namun dengan cepat Priestess menatap kedepan lagi dan terus berlari.

Entah mereka pergi untuk bertarung atau melarikan diri, kebanyakan dari prajurit tengah mengarah ke bawah, Priestess dan partynya sedang bertarung melawan arus gelombang para prajurit.

Kebanyakan dari mereka menghiraukan pria kotor dengan beragam partynya dan perlengkapannya yang bermacam-macam. Jika seseorang mencoba untuk berbicara dengan mereka, mungkin akan sama seperti sebelumnya, seseorang yang tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi.

Para prajurit akan berguna sebagai pengalih untuk para goblin, sementara goblin juga di gunakan sebagai pengalih prajurit. Walaupun mereka berjumlah banyak dan memiliki keuntungan dalam elemen kejutan, para goblin masih tetaplah goblin. Ketika para prajurit dapat mendinginkan kepala mereka lagi, adalah mustahil bagi mereka untuk kalah, kebingungan ini akan segera sirna tidak lama lagi. Namun ini sudah lebih dari cukup untuk memberikan mereka waktu.

“…Aku tahu kamu memang ahlinya dalam goblin.” Dwarf Shaman berkata, tertawa seraya mereka berlari. “Tapi idemu itu ngeri-ngeri, Beardcutter.”

“Bukanlah pengetahuanku yang membuatku melakukan ini.” Goblin Slayer menjawab, bersandar pada sebuah dinding untuk mengintip di sekitar sudut. Puas tidak ada masalah di depan, dia melambai kepada yang lain, dan party mereka berlanjut berlari.

Benteng ini mungkin di dirikan untuk membuat bingung musuh yang menyelinap—namun orang-orang yang bekerja di sana masih tetap harus melakukan pekerjaan mereka. terlebih, Goblin Slayer dan partynya adalah petualang. Gua, reruntuhan, dan labirin adalah makanan mereka sehari-hari. Jika seseorang menghapal peta sebelum menyelipan, maka seseorang itu tidak akan tersesat. “Ketika di kepung oleh musuh, seseorang hanya perlu bersahabat dengan mereka dan memberikan informasi, bukan?”

Lizard Priest memutar matanya riang dan mengetuk lantai dengan ekornya. “Begitu, begitu. Sugesti pribadi saya telah membuahkan hasil, dan menghasilkan kemenangan besa untuk sekutu saya.” Dengan ekor besar melingkarnya, dan cakar kakinya yang mengigit lantai batu, Lizard Priest terlihat, bisa di bilang secara sopannya, seperti monster sesungguhnya. Lototan yang dia berikan kepada para prajurit yang berlalu adalah salah satu hiburannya—namun mereka tidak mengetahui itu.

“Harus ku akui… Aku kepikiran terus kalau kita ini pasti terlihat sedikit aneh untuk menjadi teman mereka.”

“Sudah ku bilang kalian semua itu seharusnya mengganti baju kalian seperti aku,” High Elf Archer memaksa, hembusan angin melewati mereka. pada akhirnya, High Elf Archer adalah yang paling tidak mencurigakan di antara mereka. apakah itu di karenakan pakaiannya? Atau karena rekan party lainnya terdapat seseorang dengan armor kotor dan lizardman raksasa?

“Kurasa itu akan membuat kita masuk ke dalam sini dengan jauh lebih mudah,” dia melanjutkan.

“Ku kira kamu nggak suka penyamaran.” Goblin Slayer membalas kepadanya.

“Aku nggak suka menyamar sebagai budak!” Dia terdengar kesal.

Tapi sebenarnya, dia terlihat mencolok, Priestess berpikir terengah-engah di belakang party, di mana dia dapat melihat keindahan High Elf Archer dengan penuh. High Elf memiliki kualitas penampilan yang jauh di luar keindahan duniawi, tidak ada satupun pakaian yang akan bisa menutupi itu.

Priestess berpikir untuk sejenak, kemudian secara reflek: “Sudah, sudah, nggak boleh terlalu pilih-pilih.”

“Hrgh?!” High Elf Archer, tampak jelas tidak menduga ini dari Priestess, tersedak sedikit.

“Hoh!” mata Dwarf Shaman melebar sedikit, terkesan gadis itu dapat menjawab tangkas sebelum dia dapat melakukannya. “Gadis itu benar. kamu bakal datar terus kalau seperti ini.”

“Argh…! Gadis lugu, imut tak berdosaku sudah terkorupsi oleh Orcbolg dan teman-temannya!” Adalah sulit untuk mengetahui apakah High Elf Archer serius atau tidak. Dia menatap langit-langit dengan dramatis.

“A-aku nggak terpengaruhi!” Priestess berkata, namun tidak ada seorangpun yang melanjutkan ucapannya.

Jika mereka ingin mencapai lantai atas, mereka harus menggunakan tangga. Di deoan mereka adalah tangga berputar yang terjal dan sempit. Satu gerakan salah maka seseorang itu akan terjatuh dari sisi tangga, dan akan selalu ada kemungkinan bahwa musuh—prajurit atau goblin—dapat menekan mereka dari atas. Goblin Slayer dan High Elf Archer yang berada di baris depan tampak jelas sedang bersiap untuk pertarungan, dan Lizard Priest mengikuti mereka.

“Grr.” Priestess menggerutu, mengembungkan pipinya seraya mereka berlari. Namun tidak ada yang dapat di lakukan. Dia menyerah untuk meneruskan pembicaraan itu.

“—…?” Priestess melirik kepada Female Merchant, yang tengah berlari sekencang dia bisa, wajah merah dan bernapas pendek namun bertekad untuk tidak memperlambat party. Priestess telah berbaik hati untuk menyamakan kecepatan berlarinya dengan Female Merchant, namun sekarang matanya terbuka lebar. Aku nggak cukup memperhatikan dengan seksama.

Ketika dia berpikir tentang apa yang Female Merchant lalui dalam kehidupannya, Priestess dapat menyimpulkan bahwa ceracau para goblin yang ada di sekitar tentunya sangat mengerikan baginya. Dan seraya mereka berlari melintasi benteng, bahkan pada saat ini, dentingan peperangan di sekitarnya, dan begitu juga teriakan para goblin.

“Kamu nggak apa-apa?” dia bertanya kepada temannya.

“Er, ah—“ Female Merchant memperhatikan sekitarannya, tidak yakin harus berkata apa. Kemudian dia menstabilkan pernapasannya sedikit dan hanya berkata dengan sedikit apa yang merupakan rasa iri, “Kamu memang…hebat.”

“Um… Menurutmu?”

Priestess tidak begitu yakin. Baginya yang dapat dirinya lakukan hanyalah mengikuti orang yang ada di depannya. Akan tetapi…

Kalau aku hebat, pastinya bukan cuma aku saja.

“Kurasa itu berlaku untuk kita semua,” dia berkata.

Termasuk kamu.

Priestess menggenggam tangan seorang wanita yang menjadi pedagang kelas atas, menempuh jalannya di dalam bidang yang tidak dapat di bayangkan Priestess. Seperti di kala pertarungan pada gunung salju, genggamannya lembut namun kuat. Kemudian, Priestess merasakan jemari yang menggenggam jemari dirinya dengan ragu, dan itu membuatnya sangat senang.

“Yah, kalau begitu ayo terus maju!”

“Baik!”

Dan mereka pergi ke atas tangga, cekikikan bagaikan gadis kecil, sebuah suara yang sangat terdengar janggal di sini.

Tangga memutar ke atas. Tangga ini menandakan bahwa mereka sedang berada pada salah satu menara yang mereka liat dari luar. Ketika pada akhirnya mereka telah tiba di puncak dari tangga, mereka mendapati diri mereka berada di dalam ruangan besar dengan jendela pada setiap sisi. Sebuah menara pengawas, mungkin. Goblin Slayer menjulurkan kepalanya keluar pada salah satu jendela dan melihat sekitaran.

Tunggu… Tidak, Priestess berpikir. Goblin Slayer tampak tidak sedang melihat sekitaran, melainkan melihat ke atas.

“Kamu berpikir untuk naik ke atas?” Priestess bertanya.

“Ya, ke atas atap.” Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Tapi atapnya terlalu terjal. Langit-langitnya bagaimana?”

“Sedikit tinggi di atas sana,” Dwarf Shaman mendengus. “Tapi kalau kita bisa ke sana, kita mungkin bisa menembakkan beberapa batu dan pergi ke luar.”

“Kalau begitu…pergilah.”

“Siap pak.” Priestess dengan segera mengeluarkan Perlengkapan Petualang dari tasnya, memberikan dia kail pengait yang telah tersedia.

Jangan pernah meninggalkan rumah tanpa ini…! Dia mengambil Perlengkapan petualang itu karena rekomendasi, dan terkadang ada kalanya ketika dia menyesal memiliki ini.

Goblin Slayer mengambil kail pengait, meremas tali dengan kuat dan memutar ujung kail sebelum melemparnya ke atas. Kail itu tersangkut di antara kasau, dan Goblin Slayer memberikan satu atau dua tarikan pada tali untuk memastikan talinya aman. Sekarang yang perlu mereka lakukan adalah memanjat.

Female Merchant sangatlah baru dengan ini dan tentunya, sedikit kesulitan, namun dengan kelima orang lainnya menarik dirinya bersama, tidak ada masalah yang terlalu besar. Saat sudah berada di atas kasau, Dwarf Shaman dengan piawainya melonggarkan beberapa dari papan langit-langit, membuka akses pada atap. Mereka mendapati diri mereka berada di dalam kubah melengkung berbatu.

“Jadi kamu mau keluar kan?”

“Ya. Di titik tertinggi sebisa mungkin.” Goblin Slayer menatap ke atas pada bebatuan di puncak lengkungan. “Ada sesuatu yang di sebut sebuah kunci batu, kan?”

“Tunggu dulu Orcbolg!” High Elf Archer berteriak. Dia mempunyai firasat buruk mengenai ini. Priestess-pun merasakan demikian. “Kamu nggak bermaksud untuk merobohkan keseluruhan benteng ini, kan?”

“Nggak,” Goblin Slayer menjawab tanpa ada rasa cemas. Dia memberikan gelengan pelan kepala berhelmnya. “Bukan aku yang akan merobohkannya.”

Alih-alih dia menatap kepada Lizard Priest.

*****

Woooooooooooooom….

Terdengar rauangan sebuah perkumpulan banyak roh-roh, sebuah teriakan tersiksa menggema.

Kemungkinan besar siapa yang mendengarnya tidak memahami teriakan apakah itu. Para goblin tentunya tidak. Dan kebanyakan dari prajuritpun kemungkinan tidak.

Tidak, mereka yang hanya sekedar mendengar tidak akan mengenali apa yang tengah terjadi—namun hanya mereka yang melihatnya yang paham. Begitu juga mereka yang merasakan gempa yang terjadi.

Gurun tengah bergerak. Pasir berputar di kejauhan gersang seperti sebuah awan yang terlahir dari tanah.

Dan awan itu  mendekat. Semakin mendekat. Awan itu merapat hingga membuat badai semakin besar dan besar.

Kebanyakan dari orang terlalu tersibukkan oleh banjir goblin yang melimpah hingga tidak menyadari adanya badai pasir, namun tidak di ragukan bahwa mereka semua merasakan getaran yang sedang terjadi. Awalnya samar, getaran itu membuat partikel pasir di atas lantai melompat naik dan turun. Kemudian perkakas makan di atas meja, senjata tak terpakai, dan bahkan furnit mulai bergetar tidak karuan, hingga jatuh dan pecah di lantai.

Para prajurit, entah melarikan diri dari goblin atau masih berusaha untuk melawan mereka, berhenti tidak bergerak. Goblin yang tidak berakal pun juga sama ikut tidak bergerak, mereka mulai saling bertukar pandang dan mengoceh cemas.

Dan kemudian momen itu datang. Sebuah gelombang pasir besar menghantam benteng bagaikan badai angina. Sebuah sirip punggung, setinggi menara, dapat terlihat menonjol dari dalam cipratan pasir.

“Itu— Itu manta pasiiiiiir!” seseorang berteriak, namun suara itu dengan cepat tertelan oleh monster yang maju. Gerombolan ikan besar, dengan cangkang luar sekeras armor, menghiraukan para manusia dan goblin dan bahkan benteng ini sendiri; semua itu tidak berarti apapun bagi para manta.

Pertama, kemudian satu lagi dan satu lagi, menghantam benteng. Adalah sederhana: para manta pasir sama sekali tidak mencemaskan apapun, mereka hanya sekedar bergerak maju lurus melintasi apapun yang ada di hadapan mereka.

Hanyalah masalah waktu hingga benteng ini—yang terkenal di lahan ini—akan menjadi puing reruntuhan.

*****

“Eeeeek!” Female Merchant tampak tidak dapat menahan teriakannya di dalam semua getaran ini. Priestess mendekap dirinya erat. Semua ini seolah tidak hanya ruang penjaga, namun keseluruhan dari benteng ini tengah menjerit penuh derita.

“O Mapusaurus, penguasa bumi. Ijinkan hamba untuk bergabung dengan gerombolan anda, seberapapun singkatnya.” Lizard Priest menyelesaikan rapalan dari doa Communicate, kemudian menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Puji Tuhan, walaupun mereka bersisik, namun mendapati dirinya saya membisikan doa kepada kumpulan ikan! Saya tidak pernah membayangkannya.”

“Hrmph… Aku rasa itu bisa menjabarkan banyak hal dalam perjalanan ini,” High Elf Archer menggerutu. “Lihat saja tuh, pemimpin mereka bahkan nggak ada di sini…” Dia membuka mulutnya untuk melanjutkan, namun terdapat getaran besar lainnya, dan sekeping atap jatuh roboh dari atas kepala. High Elf Archer menelan kembali keluhannya untuk Lizard Priest dan sebagai gantinya meneriaki Goblin Slayer. “Hei. Orcbolg, kamu ini lagi ngapain sih?!”

“Pergi keluar,” dia berkata, menendang ke samping bagian atap yang terjadi. Sebuah ruang terbuka menganga di depannya, dan tiba-tiba sebuah hembusan angin mencambuk di sekitar area: Priestess menyipitkan matanya dengan sedikit jeritan, dan ketika angin mulai mereka, dia membuat suara lainnya.

Merah…

Adalah fajar di dalam gurun. Sebuah langit biru indigo melayang di cakrawala. Namun di balik pasir gelap terdapat cahaya merah kekuningan. Cahaya itu menyebar perlahan, seperti sebuah bunga yang mekar di atas bumi, mengubah segalanya menjadi kirmizi. Dan benar, sebuah aroma flora tercium oleh mereka pada hembusan terakhir dari angin hujan malam. Priestess telah melihat banyaknya subuh di sepuluh tahun kehidupan dan seterusnya, namun tidak ada yang seindah ini.

Tidak…

Itu tidaklah terlalu benar. Dia merasa setiap fajar pasti selalu indah. Namun orang-orang sangat jarang menyadarinya. Jadi hanya beberapa orang saja yang menyisihkan waktu mereka untuk benar-benar melihat…

“Oops, yipes…”

Perasaan itu datang dan pergi dengan cepat. Terdapat sebuah suara besar lainnya, dan menara ini mulai bergetar tidak karuan. Mereka tidak mempunyai banyak waktu sekarang.

Priestess memegang Female Merchant ketika getaran ini di mulai, sekarang dia berkata, “Kamu bisa berdiri?” dan menolong Female Merchant untuk berdiri.

“Orcbolg, coba tunggu sebentar!”

“Ada apa?” Satu tangan Goblin Slayer sudah memegang atap yang bergetar dan satu kaki terangkat keluar, namun dia berhenti dan menoleh mengarah High Elf Archer.

Sang elf, telinganya memanjang sebisa mungkin, berjalan mendekatnya tanpa mempedulikan getaran. “Apa yang mau kamu lakukan pergi keluar sana?! Walaupun kamu berhasil ke bawah, tempat ini sudah kacau, kamu bakal—“

“Apa?” Goblin Slayer murni terdengar terkejut. Dia berucap dengan nada acuh seperti biasanya, akan tetapi, respon itu sangat mengejutkan. Sisa dari party lainnya mendapati diri mereka tidak dapat berbicara. Mereka hanya menatap helm baja yang terlihat murahan itu. “Kamu barusan ngomong kan.” Goblin Slayer melanjutkan, masih terdengar bingung, seolah dia tidak dapat percaya bahwa dia harus menjelaskan ini. “Kita akan terbang menyebrangi mereka.”

Sekarang giliran High Elf Archer yang tampak tidak dapat mempercayaiya, dan dia-pun kesulitan untuk melontarkan kalimatnya. “Ap—? Kita apa—?” Mulutnya membuka dan menutup, namun Priestess mengingat sesuatu yang pernah High Elf Archer ucapkan sebelumnya di dalam terowongan. Sebuah percakapan kecil mengenai seorang petualang yang pernah melakukan hal semacam itu. Dia tampak mengingat bahwa pahlawan itu memiliki sebuah nama, nama yang pendek namun mengesankan, sesuatu yang akan di ingat oleh seseorang seumur hidupnya.

Dan pria ini tidak melupakan detil kecil ini.

“…Tuhan,” Dwarf Shaman akhirnya berkata. “Satu hal yang tidak pernah berubah—hidup denganmu itu nggak pernah membosankan.”

“Begitu?”

“Falling Control, kan? Aku akan menyiapkannya, tunggu sebentar.”

“Terima kasih.”

Dwarf Shaman meneguk anggurnya untuk menyemagati dirinya, kemudian dia menepuk kedua tangannya bersama untuk memanggil peri bumi. Gurun merupakan tempat akan cahaya matahari, cahaya bulan, pasir, dan peri bumi, dan dewa api dan angina. Tentunya mereka akan bersedia untuk menolong petualang ini.

“Keluarlah, kalian gnome, dan lepaskan! Kemarilah, namun perlahan saja! Balikkan ember-ember itu—letakkan kami perlahan di atas tanah!”

Priestess merasa dirinya dapat mendengar tawaan samar dan merasakan sesuatu yang kecil berdansa di sekitarnya. Pada saat yang sama, rok dari seragamnya terhembus, dan dia menahannya ke bawah dengan satu tangan. Tawaan  ini, jika Priestess tidak sedang berimajinasi, beribah menjadi sebuah tawaan riang dan girang.

“Yah, saya cukup berat. Jika kekuatan dari lahan ini tidak menyokong leher saya, maka saya mungkin akan patah.” Priestess tidak memahami, namun Lizard Priest mengayunkan lengannya dan mengambil langkah ke depan. “Saya tahu di mana keberadaan Dragontooth Warrior, jadi tidak usah risau. Seseorang harus menjadi yang pertama untuk menyebrangi para ikan…!” Tidak lama setelah dia berbicara, dia melompat ke dalam gerombolan pasir manta. Walau dengan ukurannya yang besar, dia melayang ke bawah mendarat pada punggung manta pasir dengan begitu ringannya, kemudia dia menendang sisik pada punggung itu dengan kaki bercakarnya, melompat lagi.

“Argh! Walau umurku bisa sampai ribuan tahun, ini nggak akan cukup! …Nggak adil! Tunggu aku!” High Elf Archer melompat mengikutinya. Dengan keanggunan sebuah dedauanan di atas angin, dengan lompatanan yang seperti bola pantul, dia semakin mengecil dan mengecil di kejauhan. Mungkin bagi seorang high elf seperti dirinya, berjalan menyebrangi gerombolan pasir manta tidaklah berbeda dengan berjalan menyebrangi sungai.

“Bah, sebentar—kalau kamu terlalu jauh dari aku, mantranya nggak akan bertahan!” Dwarf Shaman berusaha mengikuti mereka, melompat ke udara. Dia bergerak dari satu ikan ke ikan selanjutnya seperti sebuah balon, terlihat sedikit berbahaya. Satu gerakan salah dapat membuatnya terjatuh ke tanah, akan tetapi anehnya, dia tidak tampak seperti dalam bahaya terjatuh sama sekali. Mungkin dia sudah terbiasa dengan ini. Namun jika seseorang mengatakan itu, mungkin Dwarf Shaman hanya akan mentertawainya.

“Apa yang kamu mau lakukan? Apa kamu mau yang selanjutnya?” Ini adalah Goblin Slayer, berdiri berjaga di belakang seraya mereka semua pergi duluan. Pertanyaan ini tampak seperti tindakan murah hati untuk Priestess dan Female Merchant. Walaupun ekspresinya tersembunyi di balik helm, seperti biasa, dan mereka tidak dapat memastikannya.

“…Nggak, nggak apa-apa.” Priestess menoleh kepada Female Merchant, masih di lengannya. Butuh waktu sedetik bagi Female Merchant, namun dia mengangguk sigap. “Kami pergi bersama.”

“…Yakin?”

“Kami yakin.”

“Begitu,” Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Baiklah.”

Dia memasukkan pedangnya(kapan dia mengambil pedang baru itu?) ke dalam sarungnya, kemudian menendang dinding dan melompat ke atas udara. Sekarang hanya Priestess dan Female Merchant. Terdengar raungan badai, menyebabkan menara ini terus-menerus berayun dan retak. Tidak akan lama hingga tempat ini akan roboh di atas kepala mereka. tidak waktu untuk di buang, tidak ada ruang untuk kesalahan. Akan tetapi, entah mengapa, Priestess sangat tenang. Hatinya tidak goyah, bahkan hangat. hatinya terasa seperti sudah melayang, seperti berdetak selaras dengan dunia di sekitarnya.

“…Ayo?” dia bertanya.

“Ya!” Female Merchant mengangguk dan meremas tangan Priestess dengan sangat erat. “Ayo!”

“Ini…”

“…dia!”

Dan kemudian para gadis melompat, mempercayakan diri mereka kepada langit, kepada petualangan. Udara menghempas melewati mereka, menghembus rambut mereka dengan liar. Priestess hanya menekan topi di kepalanya dengan tangan yang sama yang memegang tongkat deriknya. Dan kemudian mereka dapat melihatnya melalui cambukan pasir, punggung ikan raksasa yang melaju dengan kencangnya. 

“Yaaahhh!”

Mereka berdua menendang makhluk itu, dan mendapati diri mereka melayang di udara kembali. Ini terasa seperti mereka keluar dari gelapnya malam menuju cerahnya hari. Matahari bersinar di atas kepala mereka, dunia kemerahan tersebar di bawah. Para wanita muda saling bertukar pandang. Mereka mulai tertawa. Entah mengapa, mereka tidak dapat menahannya.

“Ah, ah-ha-ha-ha…ha-ha-ha!”

“Hee-hee…!”

Detak langkah mereka begitu ringan bersama.

*****

Andai saja itu adalah akhir dari semuanya.

“GOOROOGBB!!!”

Ketika rauangan itu terdengar dari atas kepala, satu goblin mulai berlari untuk menyelamatkan nyawanya. Berukuran lebih besar dari yang lain, dia telah lama menanggalkan rantainya. Sekarang dia menggunakan sebuah helm bertanduk dan sebuah mantel panjang dengan beberapa armor, dan dia membawa sebuah halberd yang dia tidak ketahui cara penggunannya. Dia memiliki semua ini di karenakan dia adalah yang pertama bergegas memasuki ruangan mewah ini dan memulai mencuri segalanya yang dapat dia temukan. Dia tidak mempunyai niatan untuk berbagi sedikitpun dengan goblin yang datang setelahnya mencari sisa-sisa. Kemudian dia melirik keluar dan dengan segera memutuskan untuk berlari.

Dia tidak seperti goblin bodoh lainnya—goblin yang akan bertarung dengan para prajurit, menikmati menyiksa mereka, dan kemudian terbunuh oleh penjaga lainnya seraya mereka tengah bersenang-senang menyiksa penjaga pertama. Mereka semua adalah sampah dan dungu; tentu saja mereka akan mati. Tetapi tidak dirinya. Benar, dia percaya bahwa dia tidak akan pernah mati.

Yang lain tidak pernah membantunya. Tidak sekalipun; bahkan, mereka mentertawai dan mengolok dirinya. Biarkan saja mereka mati. Mungkin itu adalah apa yang ada di pikirannya.

Apapun itu, dia berlari ke bawah masuk ke dalam dungeon, dengan perlindungan lapisan dinding batu tebal, dia masih murka dengan pikiran bahwa orang-orang di atas telah memaksanya hidup di dalam lubang menjijikkan ini. Namun sekarang bukanlah waktunya. Dia mempunyai tujuan, dan dia akan mencapainya sebelum salah satu dari para goblin tolol itu menyalipnya.

Dia meremas secarik kertas dengan begitu kuat hingga kertas itu menjadi rusak di dalam genggamannya. Dia mengambil kertas itu di saat yang sama ketika dia mendapatkan helm kesayangannya ini; kertas itu terlihat seperti sebuah gambar, sebuah diagram. Kemungkinan salah satu dari “peta” itu. Dia menyeringai akan kecerdasannya sendiri. Dia begitu pintar; seperti itulah dia mempercayainya.

Di sini adalah terowongan bawah tanah. Dan jauh di dalamnya, terdapat semacam tanda. Dia hanya perlu ke sana. Terdapat sebuah harta di sana, dia yakin. Mungkin wanita. Mungkin makanan. Apapun itu, tentunya pasti bagus.

Itu adalah yang ada di dalam pikirannya, hanya hal-hal bagus itu saja dan dirinya yang akan mendapatkan semua itu. Dia tidak pernah berpikir mengapa para manusia itu memaksa para goblin ke bawah sini dan memenuhi tempat ini dengan perangkap. Hanyalah orang tolol sejati yang mengharapkan adanya perenungan serius dari para goblin. Mereka hanya pergi mengambil apa yang ada di depan mereka, mencurinya, menggunakannya hingga mereka tidak tertarik lagi, dan kemudian berlanjut ke hal berikutnya.

Seperti itulah para goblin.

*****

Syukurnya, kapal pasir itu tidak terbalik ketika party petualang datang terguling ke atas geladak dari atas. Namun kapal ini tetap terguncang liar di atas garis pasir.

Kapal ini benar-benar wahana kelas militer: Bahkan dengan keseluruhan party di atasnya, bersama dengan mantan tahanan dan Dragontooth Warrior, kapal ini melajur ringan dan mudah di atas pasir.

“Sumpah, Aku nggak bisa percaya ini!” di atas kapal, High Elf Archer terlihat gembira dan marah di waktu yang sama. Dia melotot tajam mengarah helm baja, menunjuknya dengan jari lentik kurusnya. “Pertama air, Byuur!, kemudian tepung, fwiish!, dan sekarang keseluruhan benteng, geludak! Gila!”

“Aku yakin aku melakukan lebih dari itu.”

“Bukan itu maksudku!”

Yang lain memperhatikan pertukaran ini dengan lega di wajah mereka. pasti itu adalah rasa bahwa ini semua telah berakhir. Mereka sangat memahami sekali bahwa kemarahan High Elf Archer itu sendiri adalah semacam permainan.

Dwarf Shaman menahkodai kapal, layar berhembus seraya dia mengarahkan wahana menuju reruntuhkan dan berlayar di atas pasir. Priestess akhirnya melepaskan tangan Female Merchant dan pergi untuk merawat wanita yang di selamatkan, terlebih dahulu menawarkan mereka P3K dan perlindungan dari matahari. Dia membersihkan tubuh mereka lagi, mengolesi salep antibakteri pada luka mereka, dan membalut mereka dengan perban sebaik dia bisa. Yang mengejutkan Priestess, Dragontooth Warrior, berdecak mendekati untuk membantu dirinya, yang di mana Priestess merasa itu cukup menggembirakan.

“Lebih baik untuk tidak bertindak tergesa-gesa pada waktu seperti ini,” Lizard Priest berkata ringan, mengambil posisi duduk dan memperhatikan ke segala arah. Tampak cukup nyaman dengan dirinya sendiri, dia mengeluarkan sebongkah keju dari tas persediaannya. Jika di pikir lagi, ini sudah pagi. Mereka telah bekerja semalam penuh, dan Priestess memegang perutnya, dan mendapati dirinya cukup lapar.

“Jika tidak, maka kita akan tampak seperti sedang melarikan diri,” Lizard Priest menambahkan, mengigit kejunya. Priestess, tidak sabar ingin makan juga, merogoh isi tasnya.

Ikan dan minuman yang aku makan di rumah makan itu enak banget.

Dia merasa dia dapat makan sedikit lebih banyak jika dia memiliki waktu. Tetapi, untuk sekarang, dia menarik makanan panggang, mematahannya dengan papan kayu, jika tidak begitu, akan sulit untuk membagikan persediaan pangan pangganya.

“Ketika jarak dari pengejar kita sudah cukup lebar, kita bisa mengendarai masuk ke dalam…”

“…Atau menerobos pengejar itu dan pulang ke rumah.”

“Begitu, begitu,” Lizard Priest berkata dengan anggukan leher panjangnya. Seraya dia mendeklarasikan makanannya sebagai madu manis, Priestess menggigit makanannya sendiri. Makanan panggang itu terletak di atas sebuah sapu tangan, dia membagikannya kepada Female Merchant, yang juga ikut menggigitnya. Atau lebih tepatnya, yang menggigit dengan anggun, layaknya seorang seorang wanita terpelajar atau mungkin seperti seekor tupai. Sangatlah imut. Ketika Priestess tidak dapat menahan tawanya, Female Merchant berkata, “Apa?” dan terlihat bingung.

“Oh, nggak.” Priestess membalas dan menggigit kembali. Adalah makanan yang baik untuk tubuhnya yang leleah. Dia menyadari bahwa Goblin Slayer juga mengambil beberapa daging kering dari kantung peralatannya dan tengah dengan acuh memasukkannya ke dalam helm. High Elf Archer sedang mengunyah beberapa buah kering, dan Dwarf Shaman sedang menikmati tegukan fire wine. Semuanya terasa santai, hampir seperti bermalas-malasan di atas kapal. Priestess telah belajar selama dua tahun terakhir bahwa waktu seusai petualangan sering seperti ini.

Kebanyakan dari dongeng dengan para pahlawan selesai ketika mereka selesai bertarung dan mendapatkan hartanya.

Tetapi kalau kamu seorang petualang, mala setelah semuanya berakhir, kamu harus pergi pulang. Kamu harus mencari cara untuk membawa segunung jarahanmu dan terkadang kamu begitu lelah atau bahkan terkantuk. Jika di pikir lagi, Priestess tidak pernah sekalipun melihat “Jarahan” itu sejauh ini…

“Heeei, kita akan sampai di reruntuhan sebentar lagi,” Dwarf Shaman memanggil. “Mungkin lebih baik untuk istirahat saat kita sudah turun.”

“Kamu nggak lagi mabuk kan? Aku nggak mau kapal kita karam Cuma karena kamu terlalu mabuk untuk mengemudi.” High Elf Archer menegur sang dwarf sebelum menambahkan, “Mengemudi—itu yang kamu lakukan dengan kapal, kan?” Dia benar-benar tidak tahu.

“Kita nggak akan karam, dan aku nggak mabuk.” Dwarf Shaman membalas. Seraya mereka berdebat, kapal pasir tiba di sebuah reruntuhan bersama dengan cipratan debu. Ya, mereka tentunya dapat mendarat di sini. Seraya mereka turun dari kapal, mereka menebukan tanah di bawah cukup kokoh. “Mm…” High Elf Archer mengendus udara. “Aku mencium rumput.”

“Konon katanya gurun merupakan sebuah lahan yang sangat subur,” Lizard Priest melompat turun dari kapal.

Area ini di kelilingi dengan pilar bundar; tempat ini memang terlihat seperti sebuah kuil di jaman dahulu sekali. Sekarang tempat ini terkubur di dalam batu dan puing, hanya memberikan sedikit saja tanda akan kejayaannya.

Goblin Slayer dengan cepat memperhatikan area sekitar dan berkata, “Tempat ini bisa melindungi kita dari matahari selama kita beristirahat beberapa jam.” Dia terdengar legat.

Satu hal yang benar. mereka telah bekerja semenjak malam kemarin. Tidak ada satupun dari mereka yang akan mengatakannya, tetapi sangat jelas bahwa mereka semua sangat kelelahan. Syukurnya, terdapat air mengalir di dekat tempat ini. Mereka dapat meminum air segar, mencuci diri mereka, dan beristirahat hingga sore. Kemudian mereka akan kembali ke ibukota atau kota lainnya. Petualangan mereka telah berakhir. Mereka dapat beristirahat dan—

“Hei,” High Elf Archer berkata tajam, mengganggu Priestess yang hendak bersantai. “Kamu cium sesuatu yang aneh nggak?”

“…?” Priestess mengangkat kepala, mengendus. “Aku nggak yakin…”

“Kamu yakin itu bukan rumput dan bunga yang kamu bilang tadi?” Dwarf Shaman bertanya. 

“Bukan, aku yakin,” dia membalas. “Kita pernah mencium ini sebelumnya, ingat nggak? Di pertama kali kita bertiga berpetualang bersama!”

Priestess tidak mengetahui apa yang di maksud, namun Dwarf Shaman dan Lizard Priest tampak memahaminya. Ekspresi mereka menegang, dan Lizard Priest memastikan katalisnya masih tersedia—sebuah gigi naga—di tangannya.

“Sulfur lagi? Ugh, jangan bilang ada demon lagi?! Aku sudah muak…!” Dwarf Shaman berteriak, kemudian meneguk anggur dan mengelap tetesan di jenggotnya. Teriakannya mungkin terlihat seperti putus asa, namun mungkin itu hanyalah apa yang dia butuhkan untuk menyemagati dirinya.

“Demon?” Goblin Slayer berkata. Dia tampak tidak yakin tentang apa yang terjadi , demikian juga dengan Priestess, namun pedangnya sudah di siapkan di tangan. Menerima isyarat dari Goblin Slayer, Priestess berdiri dan meremas tongkat derik, membersihkan remah dari makanan panggang dari lutut dengan tangannya.

Demon…

Dia pernah menghadapi mereka sebelumnya, jauh di kedalaman dari dungeon mengerikan. Dia tidak akan pernah melupakannya. “Maksudmu…makhluk yang seperti itu lagi yang cuma berlengan?”

“Kami pernah bertarung dengan seekor lesser demon, di saat kami belum bertemu dengan kalian berdua. Dan satu atau dua kali setelah itu.” Lizard Priest memamerkan taringnya; dia terlihat sangat tidak sabar. “Demon ini bahkan tidak memiliki mata berlian. Ha-ha-ha, pertarungan telak…!”

“Dan kamu kedengarnnya senang dengan ini, kenapa? Kalau aku bakal senang untuk nggak bertarung dengan demon lainnya seumur hidupku, tahu!” High Elf Archer tampak lelah, namun dia melompat ke atas kepada salah satu pilar batu dengan keringan yang sama seolah dia sedang berlari di atas ranting. Jika mereka akan membutuhkan panahnya, sebuah titik pantau tinggi akan menjadi keuntungan mereka.

“Hmm, sekarang,” Lizard Priest berkata, memperhatikan sang elf, menggelengkan kepalanya. “Aneh— Demon tidak biasanya muncul di kala matahari berada tinggi di langit. Dan Demon bukanlah satu-satunya yang beraroma sulfur.”

“Kalau begitu menurutmu apa—?” Priestess mulai bertanya, namun kemudian sebuah gempa besar menyerang reruntuhan, dan ruangan terbuka ini (mungkin dulunya sebuah altar) mulai runtuh di bawah mereka.

Hal pertama yang mereka lihat dari lubang menganga itu adalah kilauan emas. Sesuatu terbang keluar, dengan perlengkapan yang penuh dengan emas dan silver yang dapat menyilaukan mata orang yang memandang. Dan yang duduk di atas pegunungan harta adalah seekor makhluk yang tampak keluar dari sebuah lelucon buruk. Sayapnya yang terbentang menggelapkan langit. Sisiknya lebih keras dari baja. Cakar dan taringnya lebih tajam dan mematikan dari pedang terkenal manapun yang di jinjing oleh banyak ksatria dongeng. Napasnya, sebuah miasma sulfuric, tampak membakar langit, dan kecerdasannya bahkan membuat para elf seperti anak kecil.

“GOOROGGOBOG!!”

Menungggangi di punggungnya adalah seekor goblin menjijikkan—monster terlemah di dunia mengendarai makhluk besar bertubuh merah. Siapapun yang dapat berbahasa di dalam dunia bersudut empat, bahkan anak paling kecil sekalipun, dapat mengenalinya.

Tanyakan siapa orang atau makhluk terkuat di dunia, dan jawaban itu akan segera terjawab:

“Naga merah!”

Seolah membalas itu, terdengar sebuah raungan lantang yang merobek udara dari dungeon hingga ke langit.

*****


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya