Anastasis dari Neraka

Penerjemah: Zerard


Dahulu kala, mereka menebarkan pasir kami bagaikan bintang-bintang,

Kemudian beristirahat di lahan nan jauh di sana.

Tengadahkan telinga untuk mendengarkan kalimat bisikan:

Sebuah kisah suara angin...


Terdengar denting jernih sebuah lonceng, dan kemudian suara samar yang tersebar bagaikan riak. Berjalan maju ke panggung tibalah seorang birdwoman dengan kulit kecoklatan dan sayap hitam. Wanita itu tampak muda, akan tetapi, penampilannya tampak suram dan dingin, dan jari bersayapnya menggenggam sebuah pedang melengkung.

Scimitar memantulkan kelip samar cahaya bara api pada anglo, berkelip dan bersinar bagaikan makhluk hidup. Pastinya ini adalah pedang yang terkenal.

Tiba-tiba, wuuusshh, pedang itu di lemparkan ke udara, dan sang gadis mengambil dua langkah sigap ke atas panggung. Dia membentangkan sayapnya seolah dia akan terjatuh ke bumi, namun kemudian dengan satu kepakan besar dia melayang, dan pedang itu berada di tangannya kembali. Dia terbang melengkung sedeharna namun anggun di udara dengan tubuhnya, melakukam sebuah tarian pedang mmenakjubkan.

Gadis itu menebas dan berdansa beriringan dengan melodi yang bermain dari belakang panggung. Adalah sebuah kisah lampau akan kepahlawanan, sebuah dongeng kuno akan keberanian yang di teruskan kepada generasi masa depan melalui puisi seorang wanita. Sebuah danau di bawah tanah di dalam kedalaman bumi. Seekor naga kegelapan yang berkuasa di sana. Para petualang yang menantang benteng hitamnya. Mereka menerobos jalan mereka melewati gerombolan goblin dan vampire, dengan bantuan dari seorang dark dwarf, dan akhirnya mereka mencapai bagian terdalam.

Hanya salah satu dari mereka yang menyadari bayangan pada permukaan air: seorang rhea scout yang membunyikan alarm. Dalam sekejap, naga hitam bangkit dengan leher panjang dan besar, bersama dengan napas asam mengerikan yang membakar dan menghanguskan semua yang tersentuh.

Seorang lizardman warrior berdiri menghadang di antara temannya dan semburan itu. Namun sisiknya terbakar, dagingnya melebur, dan dia tersujud. Seorang cleric paruh baya dengan segera merapalkan keajaiban penyembuhan, namun musuh tidak akan menunggu gadis itu bertindak. Seorang warrior-witch, mengemban instrumen musik pada punggung dan darah iblis yang mengalir di nadinya, bergegas ke depan untuk memberikan mereka waktu. Hexblade miliknya menggigit sisim naga, dan lizardman memanfaatkan peluang itu. Dia memberikan binatang itu satu hantaman keras dengan tongkat emas besarnya, dan monster itu melarikan diri ke dalam kedalaman berlumpur kembali.

Akan tetapi, lizardman meraungkan nama leluhurnya dan mengejar makhluk itu ke kedalaman. “Jika saya dapat menumpas engkau dengan senjata saya, maka amal saya akan menjadi nyanyi-nyanyian. Saya harap, saya sungguh berharap, para wanita akan menyanyikan diri saya dengan sepenuh hati.”

Dengan itu, dia mematahkan leher monster di bawah air dengan satu hantaman keras...

Gadis yang menari mengkisahkan semua ini tanpa kata, atau bahkan tanpa lagu, namun hanya melalui cara dia berdansa dengan pedangnya. Mengerahkan sedikit tenaganya, membuat kulit gelap miliknya berkelip dengan kilau keringat yang bagaikan permata. Beberapa dari penonton pasti menyadari bahwa mata wanita itu yang tak berekspresi tengah menatap pada seorang pria muda pada kursi kehormatan—pemilik dari bangunan. Tarian ini, yang sungguh bergelora, sungguh tulus, sedang di persembahkan untuk pria itu seorang.

Adalah sebuah tarian akan ci ta, yang begitu terdedikasi dan membuat Priestess tersipu melihatnya. “Luar biasa...” dia berbisik tanpa di sengaja, dan blasteran berambut merah, seperti Pristess, sedikit tersipu, membalas, “Iya.”

Semua pengunjung yang berkumpul di sini dalam bangunan ini terpesona dengan performa itu. Priestess begitu sungguh terpukau, hingga dia tidak dapat dengan segera kembali kepada kenyataan, dan mendapati dirinya menghela napas panjang. Tepuk tangan dari penonton tidak serentak dan tampak lemah, pastinya di karenakan sisa dari penonton benar-benar terhanyut kagum seperti Priestess.

Gadis penari menundukkan kepala dan menghilang ke dalam sayapnya, namun sisa-sisa dari penampilannya masih tersisa di atas panggung.

“Mereka bilang dia penari terbaik di negara ini,” elf berambut merah berkata riang.

“Ya, dan....pembasmian naga.” Priestess hampir menggumamkan kata itu, seolah itu berasa dari mimpi. Dia memejamkan mata; adalah sebuah ekspresi yang begitu merindukan, membasmi naga. Dia tidak pernah bertemu dengan naga sungguhan seperti yang sering mereka ceritakan dalam dongeng dan legenda. Mungkin suatu hari dia akan mendapati dirinya berpetualang seperti itu. Seperti perbincangan asal-asalan yang dia ikuti kala dulu itu. 

Dia merasakan senua ini, walaupun dia mengerti bahwa seekor naga bukanlah makhluk jinak, dan jika kamu bertemu dengannya, itu tidak akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.

“Ha-ha-ha... Yah, seorang gadis kan bisa bermimpi,” elf berambut merah berkata, menyisir rambut dari telinga panjangnya. Namun tawanya terdengar sendu. “Tapi kamu tahu apa yang mereka katakan, ‘Biarkan naga tidur tetap tertidur.’”

“Maksudmu karena mereka sangat berbahaya?”

“Pastinya—berbahaya dalam segala macam bentuk.” Dia tidak memberikan penjelasan lanjutan dan hanya memutar cangkir kuarsa di tangannya. “Kurasa itu terserah kamu apakah kamu mau mempercayai mereka atau tidak.”

“Uh...huj.” Priestess mencoba untuk membuat suara sopan, namun dia tidak begitu berhasil. Gadis elf tampak segera merasakan ini. “Apa? Kamu punya impian tentang pembasmian naga?”

“Oh, nggak. Aku cuma... Aku punya teman yang membicarakannya dulu....sekali.”

Teman, apakah Priestess bisa menyebut bocah itu teman? Priestess tidak yakin. Bocah itu, para gadis. Salah satu dari gadis itu masih hidup, namun Priestess tidak mempunyai keberanian—atau tepatnya, masih belum mendapatkan keberanian—untuk pergi menjenguknya. Melakukan itu akan membutuhkan, Priestess sangat yakin, keberanian yang jauh lebih besar dari menghadapi naga manapun.

Blasteran berambut merah menunduk ke lantai tanpa bersuara, menggiring cangkir ke bibir dan meminum dengan berisik. “Terkadang kamu punya teman yanb nggak akan kamu bisa lihat lagi.”

“Iya... itu benar.”

Priestess tidak mengetahui apapun dari masa lalu blasteran ini, seperti layaknya sang efl tidak mengetahui apa yang terjadi dengan Priestess. Namun tidak satupun dari mereka yang harus mengatakan apapun untuk mengetahui bahwa masing-masing dari mereka telah di tinggal pergi.

Aku yakin ini pasti salah satu hal yang terus membuatnya berjalan.

Seperti salah satu hal yang membuat Priestess terus melanjutkan petualangnya adalah rekan-rekannya—teman-temannya, dari party pertama dirinya.

Akan tetapi pikirannya sedikit terbuyar; ingatannya terbuyarkan secara kasar. Semua pikiran akan tarian di atas panggung terbuang di karenakan keributan yang terjadi pada pintu masuk.

*****

“Kembalikan...!”

“Aw, ambil dong, bocah.”

“Pedangku... Kembalikan...!!”

Priestess tersentak dan berputar untuk melihat seorang pria muda di kelilingi oleh beberapa penjahat. Yah lebih tepatnya, tampaknya pria muda itu datang menggebrak melewati pintu masuk dan menabrak pria-pria tangguh itu. Salah satu dari mereka, seorang lizardman dengan sisik kebiruan, mengangkat pedang dengan sarung yang indah seraya mengejeknya. Sementara itu, sang pria muda, sangat berantakan; sangat jelas bahwa dia telah di keroyoki. Kesimpulannya tampak jelas: para orang jahat itu telah menggebuki dan mencuri pedangnya.

“Aku mengalahkan dengan adil, kampret. Kamu mau pedangnya, ayo rebut.”

“Sialan... kembalikan...!!”

Sangatlah begitu jelas bagi mereka yang ada di sekitaran bahwa gang itu telah mencuri pedang tersebut dari sang pria muda. Namun ketika sang korban mencoba untuk melawan kepada para penganiaya, dengan air mata di mata, tidak ada seorangpun yang ingin menolonh. Mereka mengernyitkan alis, dan menarik mulut mereka, memalingkan pandangan, dan menolak untuk memperhatikan keributan itu, tempat ini sungguh menjadi tidak elegan.

Mungkin di hajar hingga babak belur oleh para lizardmen adalah sesuatu yang sering terjadi di negara ini, di lahan ini?

Ini berlebihan, pikir Priestess. Dengan itu dia mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. Pegawai bertopeng menjentikkan lidahnya pelan, memanggil penjaga unicorn, yang di mana armor dalam pada tubuhnya berdecit kala dia bergerak maju. Sedangkan untuk elf berambut merah, dia tersenyum seraya dia sedikit menghela.

“Hei.”

Karena ada seseorang yang lebih cepat di banding mereka berempat. Pengikat metal berdenting pada sepatu beriringan dengan langkahnya seraya dia mendekati perkelahian, pundaknya berayun. Di menggunakan pakian luar berbahan kain yang tampak seperti seragam militer—mereka mengira pria itu adalah mata-mata.

“Ku kira aku bisa menikmati sedikit nyanyian dan tarian di sini... Dengan tenang.”

“Hrngh?!” Lizardman bersisik biru memutarkan mata besarnya kepada mata-mata. Sang mata-mata hanya sekedar mengangkat kedua tangan, dengan begitu santainya. “Hei ayolah, nggak perku marah-marah. Aku Cuma menyarankan agar kita membawa masalah ini keluar.”

“Hmm,” Lizardman berkata dengan desisan terhibur, kedua matanya berputar di kepala. “Ide bagus. Kalau begitu di luar.” Sang lizardman menjauhi pria muda yang memberontak, menuju pintu dengan gerakan yang seperti merayap. Mata-mata mengikuti di belakangnya, berhati-hati dengan ekor panjang melingkar lizardman. Sang lizardman melihat pria itu dengan mata berkacanya seolah dia baru melihat pria itu untuk pertama kalinya. “Ini hobiku, menghajar orang sok pede sepertimu.”

“Oh?” Mata-mata tersenyum. “Silahkan, kalau kamu bisa.”

Priestess tidak begitu memahami apa yang terjadi berikutnya. Bagi Priestess terlihat seperti sang mata-mata menghantamkan tinjunya pada belakang kepala lizardman dengan kecepatan tinggi. Hanya sesaat, ketika Priestess benar-benar tidaak mengetahui apa yang terjadi. Dia hanha mendengar suara gedebuk seraya dia melihat kizardman tumbang, dan dia melihat kilau silver  melengkung dari telapak tangan pria itu. Kilauan itu menyayat topi mata-mata, kemudian kilauan itu tertanam pada dinding bangunan. Adalah  sebuah kabel baja yang terpasang pada semacam duri tajam yang lizardman lontarkan dari tangannya.

“Ku kira tadi aku bilang di luar.” Mata-mata, sama sekali tidak berekspresi, mematahkan kabel baja dengan tangan kosongnya, kemudian mengangkat lizardman itu dan melemparnya dengan santai melewati pintu.

Dan kemudian semuanya telah berakhir.

Komplotan lizardman memberikan mata-mata lototan cepat, dan gemetar sebelum mereka berlari mengikuti pemimpin mereka. Pelanggan lain, bersama dengan penjaga dan pegawai bertopeng, melihat masalah ini telah terselesaikan. Semuanya kembali pada urusan mereka masing-masing, dan keriuhan bar ini berlanjut. Banyak dari pembicaraan yang tampaknya membicarkan tentang dansa itu. Seolah perkelahian itu tadi sama sekali tidak pernah terjadi.

“Maaf sudah membuat berantakan.” Mata-mata mengelusarkan sebuah koin emas dari kantung dan melemparnya kepada pegawai bertopeng, yang menangkapnya di udara. Priestess tiba-tiba menyadsri bahwa pegawai itu memiliki pedang di tangannya, pedang yang sangat tajam hingga terlihat seperti jarum beracun. Kapan wanita itu menarik pedangnya? Sang pelayan memasukkan senjata dan koin emas itu dengan tenang, dan mengangguk sekali. Tampaknya anggukan itu di tujukan kepada sayap panggung, dan Priestess dapat melihat gadis dansa mengambang di bayang-bayang, bukan di belakang panggung seperti yang dia kira. Wanita itu tengah memegang pedangnya, namun sekarang dia tampak lega, dan dengan anggukan yang mengarah pada kursi pemilik, wanita itu kembali ke dalam.

Aku sama sekali nggak sadar. Priestess berkedip. Dia sama sekali tidak melihat mereka semua bergerak.

“Coba ku lihat...” tampak tidak terpengaruh dengan pemandangan di sekitarnya, mata-mata mengambil pedang yang terjatuh dari tangan lizardman. Bahkan Priestess bisa mengetahui bahwa itu ada pedang yang indah, di lengkapi dengan sarung pedang berhias bunga. Mata-mata memperhatikan pedang itu dengan kritis, kemudian melemparkanya kepada pria muda yang berdiri sempoyongan.

“Y-yikes...!” Dia mengambilnya dan memeluknya, memperhatikan mata-mata dengan bingung. Mata-mata menarik ujung topi dan tampak tersenyum, walaupun senyumnya tersembunyi oleh mantel panjangnya. “Kamu orang beruntung.”

“...!” Pria muda itu semakin memeluk pedangnya dengan erat, melarikan dari bangunan ini tanpa mengucapkan terima kasih. Mata-mata memperhatikannya pergi, kemudian berputar santai mengarah Priestess. Dia mengangkat tangannya. “Hei.”

“Yang benar saja,” elf berambut merah berkata, namun senyum masamnya menandakan bahwa tidak banyak yang dia bisa lakukan tentang semua ini. “Kamu sudah selesai?”

“Eh, sepertinya,” mata-mata membalas dengan sebuah lirikan mengarah pintu di mana pria muda tadi pergi, “Baru saja.”

“Hmm.”

“Tinggal satu lagu. Hubungi yang lain dan lakukan pelarian kecil.”

Percakapan itu terdengar cukup intim. Priestess sepertinya cukup memahami apa hubungan mereka hanya dari mendengarkannya saja. Priestess tegang gugup, namun dia memaksa bokong mungilnya untuk kembali duduk. “Apa dia...temanmu?”

“Mm-hmm,” elf berambut merah berkata dengan garukan pipi canggung. “Dia menangani tugas mengintai.”

“Siapa dia?” Kali ini adalah giliran mata-mata bertanya, namu  gadis berambut merah berdiri dari kursinya dan berkata, “Dengar, aku kira kita nggak boleh menarik perhatian ke arah kita.”

“Hei,” mata-mata menggerutu, “dia yang nembak duluan.”

“Kamu itu Cuma mau kelihatan keren,” Gadis berambut merah mengejek dengan cekikikan. “Gayamu tadi—memang ada apaan sih?”

Mata-mata terlihat malu, bergumam sesuatu, namun kemudian berkata “Yeah, kamu benar,” dengan anggukan menyerah. “Tapi apa salahnya? Aku cuma lagi bersenang-senang.”

“Nggak ada salahnya.” Elf berambut merah menggeleng. Tersenyum lebar dan berlari mengarahnya. Dia kemungkinan senang melihat mata-mata melakukan sesuatu yang hendak dia lakukan. Priestess memahami perasaan itu, walau hanya secara intuitif.”

“Ahem.” Priestess mencoba memilih katanya dengan seksama. “Yah…. Hati-hati.” Adalah sebuah basa basi, namun itu menyampaikan apa yang benar-benar dia rasakan. Adalah lebih dari cukup untuk menyampaikan doa baiknya kepada orang ini yang baru saja dia kenal.

“Yeha, kamu juga.” Elf berambut tersenyum lembut, kemudian mengambil koin emas dari dompet dan menyeretnya di atas meja. Pegawai bertopeng menyambilnya tanpa sedikitpun melirik ke bawah, kemudian memberikan anggukan elegan kepala. “Kami berharap untuk bertemu dengan anda kembali.”

“Terima kasih.” Elf berambut merah melambai pelan, kemudian pergi berlari mengikuti mata-mata seperti seorang gadis yang sedang pergi di malam hari, namun mereka berjalan berdampingan, dengan santai saling berkomunikasi tentang berapa lama mereka sudah saling mengenal. Tahun demi tahun. Priestess memperhatikan mereka pergi dengan termenung, kemudian menghela napas kecil. Dia tidak memahami bahwa apa yang dia rasakan adalah iri.

*****

Pasangan tidak biasa itu muncul dari konfrensi tidak biasa mereka tidak lama setelah itu.

“Astaga, aku tahu aku kelihatan aneh, tapi kamu bertanya pertanyaan aneh juga. Menyebalkan.”

“Aku yakin aku sudah memberikanmu kompensasi yang cukup.”

“Iya memang benar. Aku tahu itu! Maaf, Cuma lagi mengeluh. Pekerjaanku banyak sekali semenjak anak buahku mendirikan toko itu.” Seorang wanita muda mendengus— Apakah dia seorang rhea? Tidak, mungkin seorang dwarf. Dia tidak mempunyai jenggot, namun rambutnya yang tebal membuat dirinya terlihat seperti dwarf, begitu pula dengan langkah kakinya, yang terdengar begitu berotot walau dengan tubuhnya yang kurus. Pakaiannya yang mewah dan bot panjangnya yang di mana dia gunakan untuk melangkah di atas lantai menjabarkan sebuah reputasi yang cukup terkenal.

Bahkan seraya dia menggerutu, dwarf muda itu melotot kepada bangku seorang pria. Seseorang dengan helm yang terlihat murahan mengikutinya, seorang pria dengan armor kulit kotot, membawah sebuah botol penuh akan sebuah cairan dan sebuah scroll yang tercampur di dalam kantung peralatannya.

“Dan jika orang itu berani untuk mengeluh pada pria  itu, raqsa-nya, gadis penari, bisa jadi marah atau mencambukkan pedang itu. Tuhan…”

Tidak semua orang dapat mengeluh. Apakah bordwoman itu sedang dalam mood yang baik atau tidak, tariannya tentu sudah membawa uang baik.

Sang wizard yang dapat mengendalikan pasir hitam; gadis penari yang berasa dari seorang budak; assassin bertopeng; padfoot warrior—walau dengan celotehannya yang terus berkelanjutan tentang bawahannya yang mundur dari bertugas dari barisan depan, wanita dwarf itu terdengar cukup terhibur.

 Mantan bawahannya telah pergi menjalani jalan mereka sendiri. Itulah mengapa dia tidak mempunyai banyak tenaga untuk membantu. Namun bawahan-bawahan itu telah memulai sebuah toko yang menhasilkan uang. Tidak dapat di pungkiri. Untuk orang-orang praktikal seperti dirinya, mengeluhkan keadaan seperti ini tampak semacam olahraga baginya. Goblin Slayer juga tidak pernah mengharapkan jawaban yang benar, oleh karena itu semua ini baik-baik saja.

“Kamu tahu, aku dulunya kenal seseorang seperti kamu,” sang dwarf berkata tiba-tba dengan lirikan mata mengarah helm baja yang terlihat murahan seraya dia bekerja dengan rajin. “Kenal seorang thief yang tidak akan menyelinap ke sebuah menara hanya karena takut. Seorang bocah ingusan bodoh yang hanya butuh keberanian dan menempuh jalan di luar.”

“Aku pernah seperti itu.” Goblin Slayer berkata acuh. “Bagaimana hasilnya dengan bocah itu?”

“Oh dia berhasil,” dwarf berkata, sama acuhnya. “Dia jadi barbarian yang mengerikan.” Dia terdiam untuk beberapa saat, kemudian mengernyit dan berbisik, “Tumben, tapi…kali ini, aku nggak mempunyai sesuatu yang lain untuk di katakana. O murid Barrel-Rider.” Dia menegakkan tubuhnya dan menengadahkan tangannya mengarah sang petualang dengan armor murahannya. “Semoga beruntung dan semoga berani kepadamu.”

“…Aku nggak pernah mempercayai keberuntunganku sendiri.” Goblin Slayer menjawab, menyambut tangan kecil sang dwarf dengan tangannya sendiri. “Tapi aku menggunakan apa yang di berikan kepadaku dengan sebaik mungkin.”

“Lakukanlah.”

Ini dan jabat tangan itu tampak cukup bagi mereka berdua. Sang wanita dwarf mengangguk kepada pegawai bertopeng dan penjaga bertanduk, kemudian dengan riang kembali ke belakang bangunan. Goblin Slayer memperhatikan sekitar ruangan dengan pelan, kemudian mulai berjalan acuh. Priestess bertekad untuk tidak mengintip sampai pria itu tiba di tempat dirinya duduk pada sebuah meja. Priestess telah mempelajari prosedur dan etika rumit yang di perlukan pada tempat seperti ini. Tidaklah baik jika Priestess menganggu dengan apa yang akan pria itu lakukan.

“Maaf, sepertinya aku membuatmu menunggu.” Ini adalah hal pertama yang keluar dari mulunya, jelas dan lugas. “Selain mencoba mendapatkan informasi, aku harus berbelanja sedikit. Ini lebih lama dari yang aku kira.”

“Nggak apa-aoa,” Priestess berkata dengan senyum berani dan sebuah gelengan kepala lembut. “Nggak apa-apa kok.”

“Begitu?” Nadanya acuh, hampir mekanikal, namun Priestess menangkap sedikit perubahan dalam diri pria itu.

Apa ada sesuatu yang…berbeda?

Pria itu tidak ragu untuk… Yah, dia tidak pernah ragu. Namun walaupun begitu, Priestess tidak dapat menahan pikiran ini.

Dan di bandingkan dengan dia…

Bagaimana dengan Priestess? Priestess hanya merasa tersesat semenjak mereka telah tiba di Negara ini, dia sama sekali tidak menilai tinggi performanya. Dia merasa begitu tidak berpengalaman, seperti seorang pemula yang masih sangat hijau yang hampir tidak mengetahui kiri dan kanan. Dia tentinya tidak merasa seperti seseorang yang pantas menerima sebuah promosi. Iri tidaklah dapat menjabarkannya. Dia bahkan tidak berada dalam posisi untuk bisa merasakan hal itu.

Rasanya lelah terus merasa kurang pede seperti ini.

“Kenapa?”

“Er, ah…!” Ketika dia menyadari bahwa dia sedang di perhatikan dari dalam helm, Priestess dengan cepat melambaikan tangan. “N-nggak, nggak apa-apa kok! cuma…” Suaranya melengking. Dia menelan liur. Dia masih dapat merasakan rasa manis samar dari minuman sebelumnya. “Aku Cuma merasa nggak enak…membuat kamu melakukan semuanya…”

Ya itulah yang dia rasakan. Dia sama sekali tidak melakukan apapun. sama sekali tidak membantu. Dia hanya sekedar…di sini.

Dia tidak berkontribusi dalam pertarungan. atau ketika mereka bergerak. Atau ketika terdapat masalah. Atau sekarang, ketika terdapat informasi yang harus di kumpulkan. Dia sama sekali tidak dapat melakukan apapun tentang thief pada kota asing ini, atau menghentikan perkelahian di bar ini. Bahkan jika dia datang ke Golden Mirage dengan Goblin Slayer dari awal, apalah yang akan dia bisa lakukan? Dia hanya dapat duduk di kursi di sampingnya, mendengarkan percakapan. Ketika Priestess memikirkan semua ini, dia sangat merasakan dirinya yang dan selalu tidak berpengelaman.

Tapi…

Bahkan seraya dia memikirkan ini, dia terpikir jika mungkin, hanya mungkin, dia telah melakukan apa yang dia bisa. Sebagai contoh, dia telah memastikan untuk membawa apa yang di butuhkan (Seperti Perlengkapan Petualang yang paling penting!) dan menyediakannya di saat di butuhkan. Dia terus menjaga matanya terbuka selama pertarungan, menggunakan ketapel untuk membantu sekutunya sebaik yang dia bisa. Selama istirahat, dia mencoba untuk merawat semua orang, menangani makanan dan air dan lain-lain.

Dan kemudian terdapat keajaiban yang hanya dia seorang diri dapat lakukan di partynya. Tentu saja, Lizard Priest sangat jauh dan jauh lebih unggul dari dirinya sebagai seorang cleric.  Dan Priestess juga bukanlah pengguna keajaiban terbaik sedunia. Dia juga terkadang mengacau. Tapi tetap saja.

Aku bahkan nggak di tegur kali ini…!

Dia masih memiliki kenangan buruk tentang keajaiban Purified, namun kali ini dia telah berhasil. Pikiran itu membawa sedikit kebahagiaan kepadanya. Bahkan para dewa telah mengakui dirinya. Hampir di saat dia memiliki pikiran itu, dia memiliki pikiran lain: tadi itu sedikit berlebihan. Dia menegur dirinya untuk tetap rendah hati.

Namun di saat yang sama, dia membiarkan pikiran itu mengalur. Pertempuran dengan ogre, pertarungan di bawah kota air, tariannya pada festival panen, penyerangan pada benteng dan lapangan latihan. Benar, dia telah gagal pada desa elf itu, namun kemudian dia sudah menantang Dungeon of the Dead, dan berhasil memainkan peran kecil pada pengunungan bersalju juga. Kejadian yang terjadi di sekitar anggur yang di peruntukkan sebagai persembahan itu telah membuatnya merasa tidak berpengalaman, benar, tetapi… Ketika dia menghitung semua aktifitasnya seperti ini, dia mulai berpikir: Apakah benar dia telah bekerja selebih keras dari yang dia sadari? Jika tidak, mengapa mereka berbicara untuk mempromosikan dirinya?

Dia tidak akan pernah bisa melakukan semuanya seorang diri. Bahkan sang Great Hero, bahkan sang archbishop dari kota air, bekerja dengan party mereka untuk menyelamatkan dunia.

Heh, nggak, nggak. Mungkin ini adalah semacam bukti akan pertumbuhannya hingga membuat dirinya berkenan untuk membandingkan dirinya sendiri dengan grup luhur seperti mereka. tertulis dalam kitab suci: “Barang siapa yang berpikir bahwa dirinya merasa mendapatkan pencerahan, maka dia tidaklah tercerahkan. Dan dirinya masih terpedaya.” Pada akhirnya, Pikiran Priestess terus terngiang di tempat yang sama. Dia memahami bahwa kekurang percayaan dirinya adalah kesalahannya sendiri, namun dia tidak mempunyai cara yang baik untuk mengukur pertumbuhannya juga. Adalah sebuah pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti, dan itu membuat perasaannya seperti sedang mengejar ekornya sendiri.

“Nggak.” Demi alasannya ini, adalah sebuah kebahagiaan tinggi bagi dirinya untuk melihat pria itu menggelengkan kepalanya. “Semakin banyak kartu yang bisa di mainkan di saat yang genting, maka semakin besar pertolongan yang bisa di gunakan.”

Seperti biasa, pria itu berkata dengan sesuatu yang sedikit tidak di sukai Priestess.

“…” Priestess memanyunkan bibir mengambek namun segera cekikikan sendiri. Tawaan itu membantunya mengembalikan semangan dirinya, dan dia tersenyum dan berkata, “Dengar.” Priestess mengacungkan jari untuk menekankan kalimatnya. “Kurasa itu nggak bisa di sebut sebagai pujian.”

“Hrk…”

“Arti kalimatmu itu kalau aku cuma ada di sana, tapi aku nggak melakukan apapun.”

Hal ini memprovokasi sebuah dengusan kecil dari dalam helm Goblin Slayer. Priestess menempatkan sebuah koin emas di atas meja tanpa ragu, kemudian mulai berjalan. Ketika Priestess mencapai pintu bangunan, dia memutarkan rambut emasnya. Pada wajahnya adalah sebuah senyum lebar. “Aku akan pergi membantunya—lihat saja!”

Adalah sebuah pernyataan dari niatannya, dan juga semacam sumpah. Jika dia tidak berhasil melakukannya, maka dia tidak akan menerima promosi itu walaupun di tawarkan kepadanya. Dan kemampuannya untuk bisa mengatakan ini membuatnya lebih percaya diri, walaupun hal itu sama sekali tidak mempunyai dasar spesial.

“…” Petualang yang tidak biasa dalam helm baja yang terlihat murahan terdiam untuk sesaat, kemudian hanya berkata apa yang selalu dia katakan. “Begitu?”

Karena itu, Priestess juga, menjawab dengan apa yang selalu dia katakan. “Iya begitu.”

Goblin Slayer melangkah melewatinya dan keluar dari bangunan. Priestess berlari mengikutinya. Di belakang mereka, pegawai bertopeng menunduk memberikan salam. “Kami menunggu kunjungan anda berikutnya.”

“Tentu saja,” Priestess berkata dengan kepastian baru, berbalik dan memberikan salamnya sendiri.

Lain kali— Lain kali dia akan memastikan agar dia dapat kembali kemari dengan penuh percaya diri, bahkan walaupun dia sendiri. Itu adalah tujuannya, cita-citanya. Seperti elf berambut merah. Seperti Wicth. Seperti sang archbishop. Atau mungkin, seperti seorang petualang tingkat Silver.

“Aku sudah memutuskan tujuan kita.”

“Jangan bilang…ke kastil?”

“Bukan.”

Mereka melewati pintu seraya mereka membincangkan ini. Sudah tidak ada tanda dari lizardman yang terlempar ataupun mata-mata atau teman berambut merahnya. Priestess merasa tidak begitu lama berada di dalam bangunan itu, namun tiba-tiba rasanya sungguh lama sekali semenjak dia merasakan udara luar pada kulitnya. Dan akhirnya dia menyadari apa yang dia cium, sebuah aroma samar yang tidak asing.

Huh, jadi itu…

Udara di sini mungkin berbeda, namun suara hujan tampaknya sama di manapun kamu berada. Untuk alasan yang tidak dia ketahui, pikiran itu membuat Priestess sangat senang.



Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya