MENARA PERTAHANAN

(Translator : Zerard)


“Wah, wah, Beardcutter. Bagus kamu bisa menahan diri.” Dwarf Shaman berkata dengan seringai, suaranya hampir hilang di antara suara derak roda kereta di atas batu ubin.

Helm baja Goblin Slayer bergerak sedikit. Dia telah menebarkan perlengkapannya di dalam kereta kuda dan sedang bekerja tanpa suara. Dia hanya bersuara “Hmm,” kecil berpikir dan kemudian menambahkan dengan suara datarnya, “Itu memang perlu.” Sebuah jawaban acuh. Adalah sebuah misteri akan seberapa pahamnya dia tentang arti di balik ucapan Dwarf Shaman.

Dwarf Shaman memperhatikan pemandangan berlari di balik tirai seraya dia minum beberapa anggur dari kendi di pinggulnya, dan menghela napas ahhh. “Rumor tentang anak goblin? Aku kira kamu bakal langsung menerkamnya.”

“Dia cuma keturunan dari orang berkulit hitam,” Goblin Slayer berkata pendek. Helm itu berputar mengarah Dwarf Shaman, tatapan di balik helm itu tertuju pada jenggotnya. “Dan pemberi questnya adalah anak pedagang anggur. Bukan goblin.”

Dwarf Shaman tertawa, cukup puas dengan jawabannya, dan di sudut, pipi Priestess melemas menjadi senyuman.

High Elf Archer, memperhatikan mereka, mengangkat bahunya dengan lebay. “Tapi semuanya ternyata menjadi hal yang sama: berburu goblin lagi. Tuhan, aku jadi bo an seolah ingin membuat jelas betapa tidak tertariknya dia.

Dwarf Shaman menghiraukan elf itu, dan meminum lagi. “Eh, pada akhirnya, seorang petualang itu cuma sebuah pentungan.”

“Pentungan?” Priestess berkata.

“Menurutku begitu,” Dwarf Shaman menjawab, membelai jenggot putihnya.

Priestess begitu terheran hingga tidak dapat mengatakan apapun lagi, namun Lizard Priest memilih untuk mengisi celah itu. “Dan apa yang membuat Anda berpikir demikian, Master Shaman?” Dia menjulurkan leher panjangnya, dan Dwarf Shaman mengangguk.

“Karena kapan pun dan di mana pun, cara terakhir untuk menyelesaikan masalah adalah dengan memukul sekeras mungkin. Di titik  seperti itu, kamu mungkin akan mencoba sopan santun, mungkin dapat menyelesaikan masalah yang berbeda, tapi ketika itu berakhir buruk...maka kitalah yang di panggil mereka.”

Lizard Priest mengangguk menyetujui. “Semenjak penciptaan seluruh makhluk, kekerasan selalu menjadi pilihan sebagai solusi permasalahan.”

Priestess memberikan senyum rapat dan memilih untuk tidak merespons secara langsung. “Apa...benar menurutmu seperti itu?”

“Tentu saja, itu tidaklah berlaku untuk semua situasi,” sang lizardman menjawab dengan nada yang sangat pantas untuk seorang monk. “Namun, setelah mengumpulkan informasi, mengadakan rapat perang, dan mencapai persetujuan...”

“Maka biasanya hanya ada satu kesimpulan, dan itu artinya ini waktunya untuk menyerang!” Dwarf Shaman berkata, dirinya dan Lizard Priest mulai tertawa lantang. Tawa mereka menggetarkan tirai dan membuat Priestess bingung bagaimana harus merespon. Pada akhirnya dia hanya dapat mengatakan sebuah “Maaf” kepada kusir dan itu saja.

Akan tetapi, dia berpikir, tentang hatinya yang tergerak hanya karena percakapan sederhana ini.

Mungkin itu karena aku sudah kembali.

Ini bukanlah pertama kalinya dia beroperasi tanpa yang lain. Dan belum terlalu lama semenjak petualangan terakhirnya bersama mereka semua. Namun...ya, untuk kembali adalah ekspresi kata yang tepat. Semua orang tengah bercakap dan menikmati diri mereka sendiri; Priestess berada di saja dengan wajah terganggu. Adalah benar-benar cukup nya,aj, dan untuk menyembunyikan rasa malunya, Priestess dengan sengaja bergumam pelan: “Aduh, beneran deh...”

“Yang seperti inilah yang membuat orang-orang berasumsi kalau dwarf dan lizardman itu sedikit nggak waras,” High Epf Archer berkata kepada Priesfess. Nggak usah kamu pikirin. Telinganya menjentik mengarah tirai. “Hei, aku melihat sesuatu—apa itu tempatnya?”

Goblin Slayer bergerak tenang mengarah tempat sang elf bersandar melihat keluar. Dia menjulurkan kepalanya keluar, melewati tirai, menoleh ke arah yang mereka tuju.

Jadi itu.

Di balik belukar pohon kecil, di dirikan di atas bukit menjulang yang tampak menatap mereka dari atas, adalah semua mansion. Ya, mereka telah mengatakan bahwa pedagang itu menjalan bisnis yang cukup menguntungkan. Rumah itu terlihat baru, sebuah bangunan yang spektakuler.

Goblin Slayer mendengus seraya dia melihat ke atas, kemudian bertanya datar. “Bagaimana menurutmu?”

“Kayaknya bukan aku deh orang yang biasanya kamu tanyakan pertanyaan itu,” High ElfmArcher membalas aku nggak peduli sih. Sang elf juga ikut melihat keluar, telinganya mengayun. “Kebun anggur di bagian barat. Itulah kenapa rumah itu di sini. Ada sebuah turunan dari mansion itu, kemudian sungai di timur...”

“Sungai?”

“Aku bisa mendengar air,” High Elf Archer berkata seolah ini adalah sesuatu yang sudah jelas.

“Hmm,” Goblin Slayer merespon, merogoh kantungnya dan mengeluarkan sebuah peta.

Adalah sketsa dari area sekitar. Mereka perlu untuk menginvestigasi secara pribadi rincian detail dari wilayah ini, namun—ah ya, terdapat sebuah sungai. Sungai itu mengalir masuk ke dalam kota air juga, sebuah anak sungai yang mereka pernah arungi ke selatan menuju kampung para elf.

“Pokoknya, kalau mereka akan muncul, aku yakin, pasti dari barat,” High Elf Archer berkata, masuk kembali ke dalam kereta seraya Goblin Slayer mempelajari peta. Sang elf merasa bahwa ini bukanlah pekerjaannya. Dia senang untuk berimprovisasi di saat mereka melihat seperti apa keadaan yang tersaji; dia tidak terlalu berpikir keras sebelum dia sampai ke sini.

“Bukannya kebun anggur itu akan menjadi posisi yang bagus?”

“Posisi?” Elf mengulangi, terkejut dengan pertanyaan itu. Kemudian dia berkata, “Ohh, kayak posisi strategis gitu,” Seraya makna itu teresap ke kepalanya. Dia mengangguk. “Pertanyaan bagus. Kurasa para goblin terlalu bodoh untuk membuat perubahan.”

“Begitu...”

Batang anggur di rawat dan tertata rapi dalam bentuk barisan untuk memudahkan pekerjaan. Seperti gerigi sisir, pikir Goblin Slayer. Jika ada jalan yang di siapkan untuk mereka, apakah para goblin dapat di umpan untuk melewati jalan itu?

“...Kita nggak bisa pakai api.” Dia berpikir.

“...Tentu saja nggak!” seseorang berkata, dan “Pastinya kita nggak bisa!” kata seseorang lainnya. Namun siapa yang berbicara?

Goblin Slayer membersihkan keraguan di kepalanya dan memperhatikan pemandangan berlalu. Dia terkejut oleh sesosok makhluk manusia yang dia lihat berdiri di tanah. Awalnya, dia mengira bahwa itu adalah penjaga atau mungkin pelayan, namun itu salah. Di lengkapi dengan senjata dan memakai helm, itu adalah orang-orangan sawah yang di buat dengan terburu-buru.

Benda seperti itu mungkin memiliki manfaat di malam, namun di siang hari, benda-benda itu sangatlah tidak berguna. Dan bagi goblin, malam adalah siang.

Apakah itu dapat membuat para goblin takut atau siaga? Goblin Slayer mempertimbangkannya untuk sesaat, kemudian menggelengkan kepalanya. Serangan akan datang di awal sore hari. Seperti itulah para goblin. Dan sekali mereka menyerang, mereka tidak akan pernah membayangkan diri mereka kalah.

Namun juga, banyak petualang yang memiliki pemikiran yang sama.

*****

“Kamu datang! Dari lubuk hatiku, aku mengucapkan terima kasih atas kedatanganmu...!”

Ketika party mereka turun dari kereta, mereka di sambut oleh anak pedagang anggur, yang telah duluan kembali. Akan tetapi, ketika mereka mengikuti dia masuk ke pintu,  apa yang mereka temukan sama sekali tidak sesuai dugaan mereka.

“Hrk...”

“Wah-wah... “

Goblin Slayer berhenti di pintu, sementara Dwarf Shaman di sampingnya bergumam pada dirinya sendiri.

Kebunnya terawat dengan rapi, bersama dengan jalanan di sekitarnya, dan kemudian terdapat pintu kayu ek tebal. Namun ketika mereka memasuki ruang tamu yang terbentuk di depan rumah, mereka melihat kehancuran. Bongkah kayu dan material bangunan dapat terlihat di sekitar, dan dinding di cat ulang namun hanya setengahnya saja. Di satu sudut ruangan di penuhi dengan mebel yang tidak di pakai, yang hanya di tutupi dengan satu kain besar di atasnya untuk mencegah debu. Priestess tidaklah yakin apakah tempat ini sedang di bangun atau sedang di hancurkan.

“jadi kami...masih mengerjakannya?” Priestess akhirnya bertanya.

“Aku bilang kami sudah tidak mencemaskan reputasi kami lagi, tapi setidaknya kami ingin bagian luarnya masih terlihat bagus.” Sang anak pedagang menjawab. “Ayahku menyewa tukang kayu untuk memperbaiki tempat ini, tapi dia lari.”

“Gaaaah! Mengenaskan sekali ini.” Potongan kayu dan ukiran batu, adalah bidang wewenang para dwarf. Sang shaman marah. Dia terlihat seperti seorang elf yang berhadapan dengan hutan yang di babat habis—dan mungkin merasakan hal yang sama. Wajahnya adalah gambaran dari kemuraman, dan suaranya juga penuh akan rasa kasihan akan rumah ini, yang tidak dapat memenuhi perannya. “Bangunan yang sia-sia...”

“Tapi ini berguna untuk kita,” Goblin Slayer berkata, memegang salah satu dinding yang di dirikan dengan buruk. Dia tampak senang mengetahui betapa tipisnya dinding ini. “Kita akan memukul tembus dindingnya. Akan ada banyak musuh untuk di hadapi. Dengan ini sebagai markas, untuk bisa memiliki akses interior yang mudah, ini adalah yang terbaik.”

“Apa, mau mengubah tempat ini jadi benteng?” Dwarf Shaman berkata, setengah bercanda dan setengah cemas.

“Nggak,” Goblin Slayer menjawab, menggeleng kepala. “Kastil percabangan.”

“Mm, sebuah taktik teruji untuk pertahanan.” Lizard Priest membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya. Sang lizardman memahami pertempuran melebihi ras manapun yang berada di party ini dan menjadi ringan mulut ketika membahas strategi dan taktik. Dia mengayunkan ekor panjang, lidahnya keluar masuk mulutnya, seraya dia melihat Goblin Slayer. “Sulit mengetahui apa yang di ingin pasukan Kekacauan di sini, namun saya ragu mereka hanya sekedar menginginkan kendali atau kuasa.”

“Apa memangnya goblin bisa berpikir sejauh itu?”

“Tidak, tapi mungkin yang di atas mereka. Karena itu, kita mungkin dapat menebak apa yang mereka incar.”

“Hmm,” Goblin Slayer bergumam dan mempertimbangkan. Apa yang ada di sini? “Anggur dan arak. Dan bangunan.”

“Ya, persediaan yang akan mereka dapatkan dari mencuri, namun saya rasa mencuri persediaan hanyalah sampingan dari tujuan utama mereka.”

“Kota air...markas sementara, apa seperti itu menurutmu?”

“Kemungkinan besar. Namun saya ragu bahwa itu sekalipun ada tujuan utama mereka. Operasi ini memiliki aspek, itu artinya—“

Mereka berdua menyatukan kepala mereka berdiskusi tentang pertarungan. Seraya ide-ide mengalir, Priestess menggenapkan segala yang dia miliki untuk dapat mengikuti pembicaraan mereka. Sangatlah mengintimidasi, namun seberapa pun kurangnya pengalaman dia, bahkan percakapan seperti ini adalah pelajaran yang sangat berharga baginya.

Tapi, aku harus mengatakan bagianku juga.

“Um,” dia berkata dengan sedikit batuk yang imut, mengundang tatapan menusuk dari dua pembicara. Walaupun dia merah tersipu dari perhatian itu, Priestess dengan bimbang mengangkat tangannya ke udara. “Bukannya kita harus meminta ijin dengan pemberi quest dulu sebelum melakukan yang semacam itu...?”

“...Hrk.”

“Gagasan bijak.”

 Goblin Slayer menggerutu, dan Lizard Priest memutar matanya riang di kepala. High Elf Archer, yang tengah mendengarkan percakapan tanpa rasa tertarik, mencoba untuk menahan tawa, namun masih terdengar cekikikan pelan seperti dentingan lonceng.

Dwarf Shaman hanya dapat menghela melihat pemandangan ini, dan dia berputar mengarah pemberi quest. “Kamu dengar mereka. Kamu setuju, pak?”

“Ya, tidak masalah.”

Jawaban itu datang sebelum anak pedagang anggur dapat berbicara, dari atas sebuah tangga yang mencapai lantai dua ruang utama. Suara itu terdengar seperti senar panah yang di tarik, dan suara itu adalah milik seorang wanita tua.

Wanita itu menggunakan pakaian sederhana dan tidak elegan, dan rambut abu-abunya di ikat tinggi di atas kepala. Pastinya dulu dia adalah wanita yang cantik, namun sekarang dia begitu kurus dan layu, setelah melalui banyaknya tahun. Akan tetapi, dia sama sekali tidak malu akan ini, seraya dia menuruni tangga dengan langkah pasti—dan kepastiannya itu adalah kecantikan dirinya sekarang.

Priestess menelan liur dan duduk dengan tegap. Sang wanita tua tampak senang melihat gerakan itu. 

“Hanya tersisa satu hal saja untuk menghormati rumah ini; hal lainnya hanyalah masalah sepele.”

“Ibu...”

“Diam, nak.” Suara wanita itu kental dengan umur, namun suaranya begitu kuat. Tatapannya tajam, mengamati para petualang, melihat dari satu ke lainnya. “Keluarga kami boleh saya jatuh bertekuk lutut, namun keluarga kami tidak akan gagal untuk bangkit.” Mungkin itulah yang memberikannya keyakinan bahkan di waktu penuh cobaan ini.

Apa ini yang artinya untuk memiliki jalan hidup? Untuk memiliki gaya?

Priestess memikirkan kalimat yang dia dengan di sarang para rogue. Dia masih memahaminya dengan samar.

“Seperti dalam bisnis, begitu juga dalam peperangan. Saya yakin kalian bisa mendapatkan hadiah kalian, petualang.” Sang wanita tua memberikan salam elegan, kemudian menghilang kembali ke atas. Langkah kakinya hampir tidak terdengar, tidak heran mengapa dia dapat masuk tanpa satupun dari mereka yang menyadari.

“Aduh, kalian manusia itu mengesankan banget.” High Elf Archer menyeringai dari samping Priestess. Terdengar sedikit tanda kekaguman dalam suaranya. “Aku harus tunjukkan anak kecil itu sisi terbaikku, mengingat aku lebih tua dari dia.”

“Tapi dia itu jauh lebih tua dari aku,” Priestess berkata—dan itu, baginya, tampak seperti alasan untuk memastikan dirinya dapat bertindak dengan cara yang dapat di banggakan. Wanita itu telah memberitahu mereka untuk mendapatkan hadiahnya. Itu adalah, bisa di bilang, sebuah ekspresi akan kepercayaan terhadap mereka. Dan kepercayaan itu sama berharganya dengan sekantung koin usang tua yang di mana kepala desa telah kumpulkam atau emas yang di keluarkan oleh pedagang dari brangkasnya.

Untuk mempunyai ayah, untuk mempunyai ibu, untuk mempunyai anak, untuk mempunyai teman, untuk mempunyai pekerjaan, untuk menghidupi kehidupan sehari-hari.

Aku yakin itu yang di maksud...Kan?

Priestess mengarahkan pertanyaan bisu itu tidak kepada siapa pun—mungkin kepada Ibunda Bumi di surga. Tentu saja, tidak ada jawaban yang akan datang. Namun itu tidak masalah.

“Pokoknya, biarkan saja Orcbolg dan temannya membicarakan rinciannya.” High Elf Archer tiba-tiba riang dan santai. “Aku cuma tinggal tembak doang.”

“Tunggu dulu, Telinga Panjang. Di saat kita kekurangan orang seperti ini, bahkan papan kayu pun bisa di manfaatkan.” Terdengar suara keberatan (“Bah!”), yang di hiraukan Dwarf Shaman seraya dia berputar mengarah anak pedagang anggur. “Sekali lagi, pak—bagaimana kamu ingin ini di tangani?”

“Ibuku sudah memberikan persetujuannya,” sang bocah berkata dengan senyum meringis. “Siapa aku yang berani melawannya?”

“Kalau begitu sudah di putuskan.” Goblin Slayer mengangguk. Dan dia dengan segera mulai menghitung dalam pikirannya. Mereka semua ada bersamanya. Dan tangannya ada di dalam kantungnya. Dia merasakan gelombang rasa terima kasih atas semua ini. “Aku akan biarkan kamu untuk putuskan dinding mana yang akan di hancurkan dan yang di biarkan. Buat supaya mudah untuk keluar dan masuk.”

“Itu tugasku. Tapi kita masih punya masalah yang ku sebut tadi tentang kekurangan orang.” Dwarf Shaman terdengar kurang terhibur. Yang hanya mereka miliki, dia menjelaskan, hanyalah satu papan. (“Aku yakin nggak lama lagi kita punya satu dwarf yang mati!” High ElfmArcher mengepalkan keras tangannya.) Kemudian mereka mulai berdebat, dan Priestess menyadari lamanya perasaan yang dia rasakan ini semenjak terakhir kali dia melihat pemandangan akrab ini.

Ketika Priestess tengah memikirkan bagaimana cara melerai mereka, Goblin Slayer mengangguk kembali. “Aku ingin meminjam pelayan manapun yang masih ada di sini dan sisa-sisa kayu dan perkakas lainnya. Apapun yang kami pakai, kamu bisa kurangi biayanya dari hadiah kami.”

“Baiklah. Tidak ada banyak yang tersisa, tapi beberapa dari pelayan kami cukup setia untuk tinggal bersama kami. Orang-orang yang dapat di andalkan.” Terdengar nada bangga dalam suara pria muda itu di tengah ucapannya. “Mereka siap melayanimu—begitu juga denganku. Berikan mereka tugas sesuai keinginanmu. Kamu spesialisnya, bukan?”

“Ya.” Goblin Slayer mengangguk kembali. Goblin Slayer. Sudah hampir lima, enam, tujuh tahun semenjak mereka mulai memanggil dia dengan nama itu. Tidak ada seorang pun yang dapat menyamai waktu yang dia habiskan untuk memburu goblin.

Kamu itu bodoh dan tolol dan nggak mempunyai keberuntungan, jadi pastikan kamu berpikir saat kamu bertindak! Itulah apa yang gurunya katakan kepadanya.

“Tolong bawakan aku orang yang bilang dia melihat jejak goblin. Aku ingin memastikannya sendiri.”

“Baik, pak. Segera.”

Kemudian, setelah beberapa kali lagi berbicara, Goblin Slayer mulai bergerak.

High Elf Archer, Lizard Priest, Dwarf Shaman, dan Priestess masing-masing bergerak untuk memenuhi peran mereka. Waktu sangat pendek, jumlah mereka sedikit, musuh mereka banyak, banyak yang harus di pertahankan—dan kegagalan bukanlah pilihan.

Situasi ini sangatlah genting, namun Goblin Slayer tetap tenang,

Itu karena, seperti inilah yang selalu terjadi.

*****

Pembantu berlari ke sana kemarin, sementara pelayan berlarian. Semua yang tersisa, petinggi dan bawahan, koki, budak dan yang lainnya, menyibukkan diri mereka dalam pekerjaan. Rumah besar nan kosong ini di penuhi dengan suara perkakas bangunan, kehidupan kembali ke dalam aula ini lagi. Ini mungkin adalah pemandangan yang menginspirasi—jika seseorang tidak memikirkan penyebab dari semua ini.

“Ini jejak yang aku lihat,” pelayan tua, bersandar pada tombak berkarat sebagai pengganti tongkat, berkata kepada Goblin Slayer. “Sihir demon itu melontarkanku,” dia berkata, mengetuk kaki kayunya dengan senyuman pada wajah berkeriputnya. “Tapi tuan dan nyonya di sini sudah berbaik hati untuk memberikanku pekerjaan di sini. Aku bukanlah seorang pria kalau aku nggak membalas budi mereka.”

“Begitu.” Dengan anggukan cepat, Goblin Slayer berjongkok untuk memeriksa lapisan tanah bumi. Mereka berada di bagian ujung jalan di antara anggur-anggur di dekat rumah. Dedaunan dan ranting yang bagaikan seperti pohon merambat di atas kepala mereka, dan dia dapat melihat jejak busuk di antara bayang-bayang. Seraya dia menghitungnya dari balik helm, tiba-tiba dia teringat oleh musim semi dua tahun yang lalu.

Waktu itu jumlah mereka lebih banyak.

“Apa ada jejaknya setiap hari?”

“Nggak, Cuma sekali, pak. Semenjak kami memasang orang-orangan sawah itu, para iblis kecil menjaga jarak mereka.”

“Tapi keadaan semakin berkembang sampai kamu memanggil petualang.”

“Yah, pastinya.” Wajah pria tua itu, tidak di ragukan lagi dulunya adalah seorang warrior, muram saat dia mengangguk. “Mereka Goblin scout. Kamu menghalangi mereka, maka mereka akan membalasmu dengan cara yang sama.”

“Ya.”

Itu memang benar.

Goblin selalu menganggap bahwa sudah sewajarnya makhluk lain di serang oleh mereka, di curi dari mereka. Untuk niat mereka yang di interupsi tentunya membuat mereka marah; mereka menganggap ini sebagai hinaan. Oleh karena itu sudah pasti akan terjadi serangan, seperti yang dia bayangkan. Untuk sejauh ini, tidak ada yang aneh.

Permasalahannya adalah orang-orangan sawah itu.

Goblin Slayer berdiri dan melihatnya dalam silaunya matahari. Benda itu memiliki senjata di tangan, menggunakan armor dan helm, sebuah warrior pemberani untuk menjauhkan goblin dan gagak—sebuah warrior yang berisi jerami.

Para goblin dapat melihatnya di malam, dan jika mereka cukup dekat, mereka tentunya akan menyadari benda apa ini—karena itu, seberapa bagus penglihatan mereka sebenarnya? Jika dari jauh, apakah mereka melihat dan berpikir bahwa ada pasukan besar yang menunggu mereka?

Mereka nggak menghapus jejak mereka. Itu artinya mereka memiliki pemimpin juga.

Jika mereka benar-benar berperan sebagai serdadu akan kekuatan dari Kekacauan, mereka tentu akan di berikan semacam perlengkapan. Akan selalu ada kemungkinan mereka akan mencoba tipu muslihat; dia harus bersiap.

“...Aku mau melihat sungainya juga.”

“Baik pak. Pergi ke belakang dan turuni lereng, dan kamu akan sampai ke sana.”

“Lereng?”

“Mungkin bisa di sebut sebagai tanggul. Tuan dari beberapa generasi yang lalu membangunnya di sisi sungai.”

Begitu. Goblin Slayer mengangguk dan berdiri. Matahari tersaring melalui akar merambat dan berubah merah, oleh karena itu mereka terlihat seperti bermandikan hujan darah. Hmph, Goblin Slayer mendengus, dan kemudian dari tas peralatannya, dia mengeluarkan sebuah kantung yang di kerjakannya di dalam kereta kuda. “Ini sesuatu yang aku siapkan. Tolong letakkan salah satu dari ini ke tengah masing-masing jalan kebun.” Dia memberikan tas itu kepada pelayan, kemudian setelah beberapa saat berpikir, “Kamu mungkin perlu seseorang untuk membantumu.”

“Heh, bahkan aku saja bisa melakukan pekerjaan seperti ini sendiri, pak. Serahkan padaku.” Sang pria tua menyeringai, kemudian berjalan dengan tas itu. Namun, tidak jauh kemudian, dia berhenti. “Ah, pak, apa yang akan kamu rencanakan tentang orang-orangan sawahnya? Apa perlu kita cabut?”

“Jangan,” Goblin Slayer berkata setelah beberapa saat. “Biarkan saja di sana.”

“Baik pak.”

Goblin Slayer memperhatikan pria tua itu pergi, kemudian memutar helmnya.

Pada akhirnya, jika di lihat secara keseluruhan, ini adalah pertempuran kecil. Perlawanan tidak penting di atas bagian sudut kecil dari papan permainan. Musuh mereka hanyalah serdadu dari kekuatan Kekacauan, dan mereka sendiri hanyalah petualang. Tidak di ragukan lagi para pemain di atas surga sana lebih tertarik dengan hal yang lebih besar seraya mereka melempar dadu mereka. Apakah dia akan menang atau kalah di sini, skala surgawi hanya akan sedikit bergeming.

“Tapi peduli apa aku?”

Jika ada semacam permasalahan dengan semua ini, Goblin Slayer tidak akan mengetahui permasalahan apa itu.

*****

“Ke-kerja bagus semuanya!” Adalah ucapan Priestess yang menahan diri seraya dia berlari memutari rumah. Dia sama sekali tidak mengetahui  pekerjaan kayu dan tidak cocok untuk pekerjaan fisik yang berkepanjangan. High Elf Archer berperan mengawasi perbatasan, dan untuk pekerjaan keseharian di dalam rumah, para pelayan lebih banyak mengetahui di banding Priestess.

Itu berarti hanya tersisa satu hal untuk di lakukan. Priestess menutupi rambutnya dengan kain, memakai celemek, mencuci tangannya dan berdiri di dapur menggenggam pisau. Satu hal yang cukup terbiasa dia lakukan di masa dia berada di Kuil Ibunda Bumi adalah membuat makanan untuk banyak mulut.

Sesuatu seperti rebusan tidak akan cocok untuk pekerjaan seperti ini; tidak ada waktu untuk berhenti dan makan. Syukurnya, bahan bumbu sangatlah banyak. Lebih dari cukup untuk mengisi perut semua orang di rumah.

Baiklah.

Dia menggunakan roti lama sebagai piringan, mengisinya dengan bahan lain, meletakkan satu roti di atasnya, dan memotongnya secara rata. Dia tidak yakin apa yang akan mereka semua buat adalah roti lapis, ini bukanlah sajian yang biasa bagi para bangsawan atau pedagang, tetapi—

“Setidaknya mereka bisa makan selagi kerja...!”

Dia menundukkan kepala dan berterima kasih kepada pembantu yang membantunya di dapur, kemudian memberikan masing-masing dari mereka sebuah keranjang.

Di waktu apapun, selalu ada sesuatu yang setiap orang dapat lakukan. Pada saat ini, Priestess merasa bahwa inilah yang dapat dia persembahkan, dan dia memang benar.

Dwarf Shaman, yang tengah sibuk memberikan instruksi kepada para pelayan, menyeringai dan segera mulai membagikan makanan. Lizard Priest, yang membawa batang kayu, memutar matanya riang, menelan sebuah roti lapis dengan keju dalam satu gigitan.

High Elf Archer melompat turun dengan lincah dari atap, mengambil roti lapis dengan “Makasih!” cepat dan melompat naik kembali.

Terima kasih adalah ucapan dari bibir semua orang, dari para pembantu hingga pelayan, hingga pria tua dengan kaki kayu. Hal ini membuat Priestess sangat senang.  Dirinya penuh semangat karena dapat membantu.

Dia berlari dari ruangan ke ruangan, hingga akhirnya mencapai ruangan paling dalam.

Dia menelan liur. Menarik napas dalam-dalam. Dadanya kembang-kempis seraya dia mengetuk.

“Masuk.” Suara itu jelas dan tegas.

“Per-permisi.” Priestess berkata dan membuka pintu.

Di dalam adalah sebuah rak yang tersusun dengan buku terbesar yang pernah di lihat Priestess dalam kehidupannya. Mungkin ini adalah ruangan untuk belajar.

Priestess melihat sekelilingnya, sedikit tercengang, memasuki ruangan sepelan mungkin. Anak pedagang anggur duduk pada sebuah meja besar mencatat sesuatu, sedangkan sang wanita tua tengah duduk di sebuah kursi, buku terbuka di depannya. Di tidak mendengak melihat Priestess yang mendekat namun berkata tajam, “Ah, ini makanan itu—yang mereka bilang populer dengan para bangsawan yang suka berjudi.”

“Ibu...” Pria muda berhenti menulis. Dia berdiri dan mendekati Priestess, berterima kasih kepadanya dengan tundukkan kepala. “Kita punya pertarungan sendiri untuk di hadapi. Kita harus bersyukur atas pangan ini.”

Mungkin ucapan itu ditujukan kepada ibunya, “Aku tahu,” sang wanita tua menjawab lesu.

“Bangsawan itu sangat rajin, tidak pernah bermain-main,” dia menambahkan. “Ini seharusnya tidak masalah untuk di makan selagi kamu kerja.”

Priestess mempertimbangkan sesaat, kemudian memutuskan untuk hanya menjawab, “Ya.” Dia tidak ingin mempermalukan orang-orang ini dengan memecahkan ekspresi mereka yang tertata rapi. “Semuanya berjalan sesuai rencana,” dia melanjutkan. “Maafkan aku, aku tahu ini sedikit berisik...”

“Pertarungan itu sesuatu yang berisik,” pria muda berkata. Dia mengambil roti lapis dari keranjang dan menggigitnya dengan senyuman dan ucapan, “Ahh, enak banget!” itu bukanlah sikap yang sopan baginya, namun itu juga merupakan tulus dari hatinya, dan entah mengapa, itu terlihat cocok untuknya.

“Tapi, pak... Pertarungan?” Priestess berkata, memiringkan kepalanya.

“Untuk apa yang akan datang,” anak pedagang anggur menjawab. “Wasiat terakhir dan warisan, untuk berjaga-jaga jika hal terburuk terjadi. Strategi untuk kita ikuti jika kita selamat. Banyak yang dapat di lakukan sebelum sebuah pertarungan.”

Jika kamu mengerahkan segalanya dalam pertarungan dan menang, itu bagus-bagus saja, namun jika kamu menghabiskan terlalu banyak waktumu dalam pertarungan hingga kamu tidak dapat bertahan hidup di akhir masa pertarungan, maka itu semua akan sia-sia. Berpikir ke depan, kemudian semakin jauh ke depan, dan lebih jauh lagi: Seperti itulah yang di lakukan para pebisnis.

“Ya ampun, tapi ini benar-benar lezat. Ibu, tidak mau coba?”

“Seseorang membutuhkan lebih dari sekedar kemenangan dalam pertarungan untuk bertahan hidup. Terima kasih atas upayamu.” Sang wanita tua berkata. Dia tidak sedikit pun menyentuh makanan selagi Priestess berada di sana, namun setidaknya wanita itu mengucapkan rasa terima kasihnya.

“Ti-tidak masalah bu!” Priestess membalas, tersenyum dan menundukkan kepala dengan sopan dan keluar dari ruangan.

Ketika pintunya tertutup rapat di belakangnya, Priestess menghela lega. Semua orang, masing-masing dari mereka, siapa pun mereka, sedang melakukan apa yang mereka dapat lakukan. Itu termasuk dirinya dan dua orang di ruangan itu. Masing-masing melakukan apa yang tampak jelas bagi mereka untuk di lakukan. Tidaklah lama semenjak jawaban itu muncul, namun sekarang dia tertawa mengingat betapa sepelenya apa yang di khawatirkan.

Saat Goblin Slayer kembali dari patrolinya, aku akan pastikan dia makan juga.

Seraya dia mempunyai pikiran seperti ini, matahari tenggelam dan malam datang tanpa di sadarinya.

Dan kemudian momen itu akhirnya datang.

*****

Bulan kembar dan bintang menatap turun pada cakrawala, dari kejauhan terdengar tabuhan sebuah genderang. Bayangan hitam kecil yang mereka duga akan datang tidak dapat terlihat dari titik pantauan di lantai dua mansion; musuh tersembunyi oleh dedaunan lebat kebun anggur.

High Elf Archer  mengepakkan telinga, improvisasi krenelasi di mana rangka jendela telah di bobol untuk memberikan lubang agar dia dapat menembak. “Mereka ada di sana—mereka banyak. Cuma goblin...kayaknya,  tapi aku mendengar ada gerakkan armor. (TL Note = “Krenelasi” adalah kata yang saya karang dari inggris “Crenellation”. Penjelasan crenellation bisa kalian lihat di https://en.m.wiktionary.org/wiki/crenellation . Karena saya tidak dapat bahasa indonya, alhasil saya karang sendiri menjadi krenelasi.)

“Seperti yang kita duga.”

“Ku harap mereka mengejutkan kita.”

“Aku setuju.”

Goblin Slayer memberikan High Elf Archer, yang bersiap dengan busur besarnya, sebuah tepukan pelan di pundak, kemudian bergerak ke satu sisi. Dinding telah di hancurkan untuk memudahkan akses keluar dan masuk, sementara puing-puing yang tersisa telah di bersihkan agar tidak menghalangi. 

Direktur dari semua ini tidak lain dan tidak bukan adalah Dwarf Shaman, yang sekarang berjongkok di port pemanah. Dia menggenggam tas katalis seraya dia memperhatikan medan perang. Di kakinya tertumpuk banyak amunisi: pecahan dari batu bata hancur. Dia meneguk anggur, mengelap tetesan di jenggotnya dan tertawa dengan girang. “Sekarang, Beardcutter. Jangan sampai kamu kelewatan.”

“Gerakan pertama kita harus berbarengan. Aku serahkan waktunya padamu.”

“Baiklah. Kita sudah bersama seperti ini selama dua tahun.”

Dua tahun untuk seorang manusia. Dua tahun untuk seorang dwarf. Dua tahun untuk elf dan lizardman. Seberapa banyak perbedaan yang ada di antara dua tahun itu, Goblin Slayer tidak tahu.

Ketika dia tidak mengatakan apapun, Dwarf Shaman tertawa kembali. Goblin Slayer meninggalkan ruangan dengan suara itu yang menggema di belakangnya.

Pintu yang sebelumnya menutupi satu ruangan ke ruangannya lain atau memisahkan ruangan dari lorong, semua telah di lepas dan sekarang bersandar pada bermacam dinding. Dalam skenario terburuk, mereka mungkin harus merayap di dalam rumah. Pintu-pintu itu akan menjadi perisai yang berguna dalam keadaan genting.

Di lorong, di samping pintu, berdiri para pelayan, semuanya terlihat siaga, di persenjatai dengan berbagai macam senjata. Senjata, mungkin adalah kata yang terlalu baik untuk menggambarkannya; dengan pengecualian akan beberapa pedang dan tombak yang di ambil dari gudang, banyak pelayan hanya di persenjatai dengan katapel atau busur kecil yang sering di gunakan dalam berburu. Jika pertarungan ini mencapai orang-orang tersebut, ini akan benar-benar menjadi akhir untuk mereka—kematian mungkin adalah hasil terbaik yang mereka bisa dapatkan.

Goblin Slayer melihat prajurit tua dari sebelumnya di antara pria dan wanita yang berkumpul dan mengangguk kepadanya. “Bagaimana statusmu?”

“Aku sudah menyerahkan semuanya. Jangan khawatir!”

“Suruh beberapa orang mengawasi sungai juga.”

“Ini bukan perang pertamaku. Aku tahu apa yang harus di lakukan.”

Keberaniannya sangat cocok sebagai prajurit. Dia berdiri di ujung port pemanah dan menatapi sungai.

Goblin Slayer melihatnya dan pelayan lain, kemudian dengan cepat menuruni tangga.

Penting untuk melihat sesuatu dengan mata kepala sendiri.

Apakah itu sesuatu yang di ajarkan oleh masternya atau sesuatu yang dia pelajari dari pengalaman bertualangnya? Atau mungkin Heavy Warrior yang mengatakannya. Ketika seseorang menjadi pemimpin party atau komandan sebuah pasukan, adalah kewajibannya untuk memberikan rekannya rasa tenang. Oleh karena itu, dia tidak boleh gugup atau panik. Tidak boleh takut, ataupun tidak sabaran juga.

Goblin Slayer tidak pernah merasa sangat berterima kasih atas helmnya hingga hari ini. Dia tidak memiliki kepercayaan diri bahwa dia dapat berperilaku seperti itu. Bagaimana dia terlihat bagi Priestess? Dan rekan lainnya? Gadis Guild terus mengatakan bahwa dia adalah petualang tingkat Silver. Namun apalah itu?

Tapi aku adalah Goblin Slayer.

Seperti itulah dia, sangat menyadari kalung peringkat yang menggantung di lehernya, menjabarkan dirinya: hanya dengan beberapa kata pendek. Dia adalah Goblin Slayer, dan ini adalah perburuan goblin. Dia hanya akan melakukan itu. Adalah apa yang mahir dia lakukan.

“Pak, Goblin Slayer!” Seraya dia tiba pada pintu depan, dia bertemu dengan Priestess, berlari keluar dari dapur. Dia telah menanggalkan celemek dan menukar kain yang ada di kepala dengan topi biasanya, dan tongkat derik yang di genggam di tangan.  “Goblinnya...!”

“Aku tahu,” dia berkata dengan anggukan. Sebuah gerakan yang sangat tipikal untuknya. “Apa semuanya siap?”

“Iya, pak!” dia membalas, dan dengan perubahan drastis dirinya dari beberapa hari yang lalu, dia tampak riang dan gembira. Ekspresinya tentu tercampur dengan kegelisahan tentang pertarungan goblin yang akan datang, namun dia tampak jelas sangat berbeda.

Hmph, benar-benar terlalu orang ini.

“...? Apa ada masalah?” Priestess bertanya.

“Nggak,” Goblin Slayer menjawab dengan gelengan kepala. Dia berputar mengarah pintu depan. “Kamu ingat suasananya?”

“Ya, aku ingat!”

“Bagus.”

 Dari semua pintu yang di lepas dan rangka jendela yang di hancurkan di rumah, hanya pintu depan ini saja yang di biarkan tidak di sentuh. Jika rumah ini adalah kastel percabangan, maka ini adalah gerbang kastel. Dan mereka juga bisa memalangi pintu ini. Lizard Priest berdiri di samping  bongkahan kayu ek ini, kunci dari pertahanan mereka, dengan lengan berlipat dan terlihat sedang seperti menikmati dirinya sendiri. “Ahem, sekarang, tuanku Goblin Slayer. Ini adalah waktunya—apa anda perlu prajurit lagi?”

“Kita nggak punya banyak orang, tapi aku ingin untuk menyisakan beberapa mantra.”

“Baiklah, saya mengerti.” Lizard Priest mengayunkan leher panjangnya sari samping ke samping, mengerjakan cakarnya dan melenturkan bagian-bagian tubuhnya. Jika di ingat lagi, akhir-akhir ini—di pegunungan bersalju ataupun di antara para zombie—dia tidak mempunyai kesempatan untuk merobek dan mencabik musuh-musuhnya. Goblin Slayer tidaklah yakin seberapa menyakitkannya itu bagi para lizardman.

“Bagaimana menurutmu?”

Apa yang terpenting adalah raksasa ini adalah yang paling berpengalaman dalam strategi militer di party ini. Mengetahui itu, adalah mudah untuk mempercayakan nyawa mereka kepadanya, walaupun pria itu tidak mempunyai gelar apapun.

“Hmm,” Lizard Priest berkata, memutar mata di kepala. “Jika semua berjalan sesuai yang di inginkan, maka saya rasa ini hanyalah menjadi pekerjaan yang seperti biasa.”

“Begitu.”

“Tetapi, sebuah medan perang seperti ini mungkin menyimpan sebuah kejutan tertentu...” Lizard Priest berbicara dengan tenang, kemudian membuat gerakan aneh dengan kedua telapak tangannya. “Kalian berdua lebih baik berpikir untuk tidak membunuh, melainkan untuk bertahan hidup. Saya yakin bahwa itu juga akan meningkatkan hasil dari pertarungan ini.”

“Baiklah,” Priestess membalas. Dia tidak menyangka bahwa suaranya akan melengking seperti itu, dan dia menutup mulut dengan tangan, wajahnya memerah.

“Saran yang sulit,” Goblin Slayer menggerutu. “Aku nggak punya niatan untuk membiarkan satu pun dari mereka pulang hidup-hidup.” Kemudian dia memegang pintu kayu ek dengan kedua tangan. Dia mendorongnya terbuka, pintu itu berdecit nyaring.

Pada akhirnya, ini tidaklah berbeda dengan penjelajahan gua. Atau pertemuan dengan goblin seraya mereka menyerang sebuah desa. Setelah mencapai momen ini, dia merasa bahwa Dwarf Shaman ternyata benar.

Dan hal yang tidak dapat dia lakukan sendiri, dia mempercayakannya kepada para pelari.

Sangatlah sulit untuk mengatakan semua sikap ini sebagai petualangan. Namun ini juga tidak begitu mirip dengan seorang  rogue. Bagi Goblin Slayer, dia percaya bahwa dia telah menerima siapa dirinya sendiri. Segalanya yang telah dia lakukan, telah membawanya pada situasi ini. Itu artinya, hanya ada satu hal yang harus di lakukan. Dia tidak perlu bertanya kepada siapapun.

Namun di saat yang sama, Goblin Slayer mengatakannya secara lugas. Kalimatnya tajam seperti belati di malam seraya dua bulan kembar menyinari dari atas. Suaranya begitu dingin seperti hembusan angin di kedalaman gua bumi.

“Kita akan membunuh semua goblin.”

*****

“GOOROGGOORG!!”

“GOORGB!! GBBOORGBB!!”

Mereka kurus kerontang. Rasa lapar yang mereka rasakan hanya dapat si puaskan di sini, dan hanya di sini saja, mereka yakin, mereka tidak ragu.

Namun, para bajingan ini telah mengingkari kontrak dengan mereka. Itulah apa yang di katakan pengunjung kuat dan perkasa itu. Oleh karena itu, para goblin akan menghajar mereka, melukai mereka, menginjak mereka, membunuh dan memperkosa mereka, dan mereka tidak punya hak untuk mengeluh. Biarkan mereka merengek dan meminta maaf, tidak akan ada pengampunan—dan jika mereka mati, itu hanya membuktikan kelemahan mereka.

Orang-orangan sawah bertombak yang mereka dirikan, sebuah trik konyol, menunjukkan kebodohan mereka.

“GBOOOGGB!!”

“GOGB!!”

Para goblin tertawa seraya mereka menendang orang-orangan sawah yang mengawasi kebun anggur. Mereka meludahinya, merobeknya, kemudian menginjak-injaknya.

Bagaimana dengan ide ini! Siapapun yang mereka tangkap, mereka akan menusukkan tombak ini, dan pajang mereka di jalan masuk ke hutan. Kemudian para manusia akan tahu bahwa anggur-anggur dan kebun dan segalanya yang berada di sini adalah milik goblin. Para manusia sepertinya berpikir bahwa kebun ini adalah milik mereka, namun mereka salah, salah, salah!

“GOROOGBB! GOBR...?”

Kemudian salah satu goblin yang terhanyut khayalan keji ini tiba-tiba terhuyung. Dia tersandung, merasakan seperti langit dan tanah bertukar tempat, dan kemudian dia terjatuh.

Tentu saja, tanahnya tidak bergerak; adalah sang goblin yang tersandung. Dia tidak menyadari bahwa rekan-rekan di sekitarnya juga ikut terjatuh satu-persatu. Dia tidak menyadari adanya panah dari kejauhan menembus tulang belakangnya dan menghabisi nyawanya. Tidak  ada rasa sakit, tidak ada penderitaan—adalah sebuah kematian yang bagus bagi para goblin. Setidaknya dari sudut pandang itu, hujan panah yang datang dari sudut yang aneh ini bagaikan sebuah belas kasih yang begitu besar.

Namun itu tidaklah apa yang dirasakan bagi para goblin yang melihat dari kejauhan. 

“GOROGB?!”

“GGBB?!”

Sihir! Ini sihir!

Para goblin mulai meracau liar. Orang-orang curang ini, telah berbuat curang.

Di selimuti dengan asap, di tembaki dengan banyak panah, para goblin mundur ke jalan dengan tergesa-gesa.

Ini tidaklah berarti apapun. Mereka yang terkena tembakan hanyalah goblin tolol. Kalau kita mengambil jalan yang berbeda—

“GOR? GOOGB?!”

Namun walau begitu, para goblin dapat melihat semua jalan telah di halangi dengan gumpalan asap. Sihir asap di manapun. Namun mereka belajar. Jika mereka menjauh dari asap, mereka akan baik-baik saja.

“GOOROGB!!”

“GRBBG! OOBOGRR!!”

Dengan pentungan dan golok di tangan, para goblin menyerbu jalan yang tidak berasap. Mereka tidak akan pernah, selamanya memaafkan anak pelacur yang menghalangi mereka. Mereka akan menghancurkan setiap tulang di tubuhnya, menarik rambut dan menyeretnya, menusukkan tombak ke dalam pantatnya dan memaparkannya sebagai pajangan.

Para goblin sangatlah murka.

Kepala kecil mereka penuh dengan kemarahan dan kebencian—dengan kata lain, segalanya sangatlah normal.

Dan dengan itu semuanya berjalan seperti biasa di kala perburuan goblin di mulai.

*****

“Urgh, Orcbolg itu idenya ngeri-ngeri.” High Elf Archer menggerutu seraya dia melepaskan panah satu persatu melewati port di lantai dua, setiap panah di bakar dengan api.

Telinga panjang berkedut, dia membaca udara malam, panahnya terbang melesat mengenai sasarannya di jalan antara kebun anggur. Di sana, sebuah sumbu tengah menunggu, tampak jelas di mata seorang high elf.

“Aku sudah membakarnya, seperti yang kamu bilang. Tapi asap apaan itu?”

“Kabut asap yang di buat dari kombinasi tai kering serigala, sulfur, abu kayu, jarum pinus, dan alang-alang,” Dwarf Shaman memberitahu elf yang kesal seraya sang dwarf meminum anggurnya. Ini adalah rumah dari pedagang anggur, dan dia mengatakan bahwa dia memiliki segalanya boleh untuk mereka gunakan. Dwarf Shaman membutuhkan energi yang cukup dan fokus untuk mengendalikan mantranya, benar—seperti katalisnya yaitu alkohol, terdapat banyak persediaan alkohol di sini, dan seorang dwarf akan tak terkalahkan dengan alkohol.

Dwarf Shaman mulai merajut mantranya dengan semangat kepada roh yang ada di sekitarnya: “Minum tanpa henti, bernyanyi dengan lantang, biarkan para roh menuntunmu! Bernyanyi lantang, berjalanlah dengan cepat, dan ketika kamu tertidur mereka akan melihatmu, semoga sebotol fire wine akan menyambutmu dalam mimpi!”

Mantra stupornya meliputi dalam kabut di atas medan perang—tidak terlalu mirip dengan kabut peperangan namun tentu saja ini membius para goblin. Seraya mereka melangkah ke dalam jalan kebun anggur, kesadaran mereka memudar, membuat mereka menjadi sasaran mudah untuk High Elf Archer.

Para goblin lari ketakutan, melihat ke kanan dan ke kiri, namun jalan lain pun tertutupi  kabut, dan mereka hanya mempunyai dua pilihan. Satu adalah untuk menyerang jalan terakhir yang tersedia; dan yang satunya adalah melarikan diri. Sebagian besar memilih pilihan kedua. Itu karena, mereka sendiri belum terluka, dan mereka tahu bahwa mereka belum akan mati.

“Dengan otak setingkat goblin, mantraku itu hampir nggak ada bedanya dengan kabut asap.”

“Jadi maksudmu mantra berhargamu selevel dengan mainan asap Orcbolg?”

“Aku anggap itu sebagai pujian,” Dwarf Shaman mengendus acuh.

“Yah, itu tadi sarkas,” High Elf Archer mengendus balik, melepaskan panah di saat yang bersamaan.

“Kalau apa yang di bilang Beardcutter itu benar, mereka bisa melihat di kegelapan tapi nggak bisa dalam asap.”

“Aku ingat katanya dia nggak bisa pakai api...”

“High Elf Archer sendiri tidak dapat melihat jelas dalam asap. Namun kemampuan yang mahir sulit di bedakan dengan sihir. Jika dia dapat merasakan adanya sesuatu di depan, dia dapat mengenainya, bahkan dengan mata tertutup. Dia hampir dapat merasakan panahnya yang menancap pada goblin di kejauhan setelah dia menembaknya melewati asap. High Elf Archer tersenyum seraya dia menarik panah dari tempatnya dan menembak secepat yang dia bisa.

Dia memiliki beberapa bundel panah bermata kuncup yang tergeletak di kakinya. Dia tidak perlu cemas akan kehabisan amunisi bahkan dengan kecepatannya menembak sekarang; adalah sebuah situasi yang membuatnya senang.

“Huh, akhirnya sekali-kali aku punya panah yang cukup. Aku suka menembak tanpa banyak mikir!”

“Hei, Papan,” Dwarf Shaman berkata curiga.

“Apa?” dia menggerutu.

“Kamu dapat dari mana semua panah itu?”

“Aku nggak mendapatkannya juga. Aku cuma minta bantuan mereka di sekitarku.”

Dia berkata, “Lihat” dan menjulur keluar dari krenelasi, mengucapkan kalimat kuno yang hanya diketahui para high elf—yang di mana sebuah ranting pohon yang tumbuh di dekat jendela bergetar seolah terhibur dan memanjang untuk menyambutnya. Dalam sekejap, ranting yang memanjang itu menghasilkan sebuah kuncup yang keras dan tajam: jelas sebuah panah.

“Terima kasih,” High Elf Archer berbisik, mengambil ranting berkuncup dan memuatnya ke busurnya. “Lihat kan?”

“Yah, sudahlah...” Dwarf Shaman menghela, dan kemudian mengucapkan kalimat yang sangat jarang keluar dari bibirnya. “Kurasa kamu memang berguna kadang-kadang!”

“Kadang-kadang kepalamu! Aku selalu berguna!” Telinga High Elf Archer berdiri bangga, kemudian dia menyiapkan tiga panah secara bersamaan di busurnya dan menembakkannya.

*****

“Berapa banyak yang kamu bunuh?”

“Tiga, termasuk yang baru saja tadi.”

Di ujung akhir jalan srtapak, Goblin slayer dan rekannya menunggu para goblin. Lampu di bariskan berderet di dekat kaki mereka, Priestess berjongkok di samping mereka. Terdengar suara gesekan seraya dia menyalakan batu api pada besi untuk mendapatkan percikan dan kemudian sebuah wuuush pelan terdengar seraya lampunya menyala.

“Ini, sudah siap.”

“Bagus.”

Priestess mendengak, mengangkat tongkat derik dengan kedua tangan. Kegelisahan tampak jelas di wajahnya, namun walau dengan mulutnya yang tertutup rapat, dia tersenyum, sebuah ekspresi tak gentar. Seperti apa yang  terjadi ketika mereka bertemu pertama kalinya di musim semi dua tahun sebelumnya? Goblin Slayer berpikir, kemudian menggeleng kepalanya. Tindakan gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, semenjak itu, dia menganggap bahwa gadis mungil ini adalah seseorang yang dapat di andalkan.

Mungkin Priestess menyadari tatapan pria itu kepadanya dari balik helmnya. Mata Priestess bergerak, tidak yakin ke mana harus memandang.

“U-um...?”

“Nggak apa-apa,” Goblin Slayer menjawab. “Ikuti rencananya.”

“Ba-baik.. Aku s-siap!” Priestess mmengangguk cepat; Goblin Slayer tahu bahwa dia tidak perlu memberikan gadis itu detil instruksi yang lebih terperinci.

“Ha-ha-ha,” Lizard Priest tertawa, mengamati percakapan. “Apakah beliau telah berhasil keluar dari cangkangnya?”

“Mungkin” hanyalah yang Goblin Slayer katakan. “Tapi aku percayakan padamu di saat pertarungannya semakin sengit. Aku nggak yakin aku bisa menjaga mereka semua sendirian.”

“Mengerti dan sangat di mengerti. Sebagai contoh, para binatang mempunyai empat tangan dan kaki sedangkan Anda hanya mempunyai dua lengan. Jika tidak cukup, Anda hanya perlu meminjamnya dari yang lain.” Lizard Priest berkata, kemudian mengambil postur bertarung. “Sedangkan untuk kaum saya, kami punya cakar dan cakar dan taring dan ekor yang dapat kami gunakan, oleh karena itu Anda dapat bertarung tanpa mencemaskan apa yang akan terjadi.”

Pemikiran lizardmen mungkin masih tampak samar bagi Goblin Slayer, namun kekuatan mereka sudah tidak perlu di ragukan. Goblin Slayer mengangguk, kemudian mengambil postur bertarungnya sendiri.

Akhirnya datanglah gemuruh langkah kaki tidak teratur, tidak disiplin dan tidak berirama mengarah mereka. Semua goblin mungkin memiliki bentuk badan yang sama, namun masing-masing dari mereka berlari dengan kecepatan yang sedikit berbeda. Tentunya, bukanlah yang pemberani yang berlari di depan, melainkan mereka yang tercepat—dan yang paling tidak pikir panjang. Goblin lain mengikuti di belakangnya, karena mereka membenci ide bahwa siapa yang tercepat akan mendapatkan semua jarahannya.

Oleh karena itu, adalah goblin terdepan yang melihat beberapa mangsa. Seorang wanita muda, berdiri di samping benda yang sangat besar.

Sang goblin mengendus; dia dapat mencium bau wanita itu di udara. Bau itu bercampur dengan aroma dari hutan.

“GOROOGOBB!!”

Para goblin berteriak seraya senyum hina tersebar di wajahnya; menurutmu apa arti dari ucapan itu? Dia milikku, mungkin. Atau: Hei, ada wanita! Atau: Semunya, ikuti aku! Atau mungkin itu hanyalah sebuah seruan perang.

Terserah, hasilnya akan sama saja. Para goblin selalu berasumsi bahwa semua akan berjalan sesuai kehendaknya, bahwa dia akan melewati lizardman itu dan mencapai sang gadis—dan dengan itu di pikirannya, dia berlari ke depan. Beberapa dari yang lain mengikuti di belakang dan beberapa lainnya di belakang mereka lagi. Mereka tidak akan terlambat untuk bersenang-senang. Mereka tidak akan membiarkan si bodoh itu yang berada di depan untuk menikmati gadis itu sendirian. Milikku, semuanya milikku!

Pada saat itu, Goblin Slayer menyerang dari samping.

“GROG?!”

Para goblin dengan intuisi tertajam segera berputar mengarah pria itu. Di dalam kegelapan, mereka dapat melihat pria itu datang. Sebuah helm baja yang terlihat murahan dan armor kulit yang kotor. Sebuah pedang dengan panjang yang aneh, sebuah perisai bundar terikat di lengan: seorang petualang yang aneh.

“GOROOGB—“

“Satu...!”

Mulut sang goblin yang terbuka lebar tiba-tiba di penuhi dengan pedang, menyayat lidah dan membungkam dia selamanya. Iblis kecil ini terjatuh ke belakang. Goblin Slayer menghantam mayat itu, menyebabkannya terlontar dan mencabut pedangnya bebas dalam satu gerakan. Kemudian dia membawa momentum itu menjadi satu ayunan pedang lagi...

“Dua!”

“GGBB?!”

Dia menghunjam senjata itu masuk ke tenggorokan salah satu dari mereka yang datang dari kiri. Pedang itu menembus tulang belakangnya, dan pedangnya menjadi bengkok. Dia menghantam goblin dengan perisainya seraya makhluk itu muntah darah, mengambil golok yang jatuh dari tangannya.

“Tiga!”

“GOOBOG?!”

Golok mengayun ke atas untuk menebas dagu dari goblin berikutnya, membelah wajahnya menjadi dua. Mengambil satu langkah mundur, dia menangkis cipratan otak dan darah dengan perisainya.

Aku memang benar—senjata ini kualitasnya bagus, Goblin Slayer berpikir seraya dia menggetarkan golok untuk membersihkan darah yang menempel. Setidaknya, senjata ini adalah kualitas tinggi untuk para goblin. Tidak di ragukan bahwa ini adalah milik kekuatan Kekacauan.

Bagus sekali.

Itu karena, merekalah yang menyediakan persediaan senjata untuk dirinya. Dia mengambil langkah zig-zag seraya dia bersiap untuk menghadapi musuh berikutnya.

“GOOROG,!”

“GOBOG! GOOGOBRBG!!”

Tentu saja, para goblin tidaklah memusatkan semua perhatiannya kepada petualang menyedihkan ini, karena bagi mereka, dia hanyalah sebuah rintangan kecil, sebuah rintangan kecil untuk dapat meraih gadis itu.

“O darah para leluhur yang mengalir di nadi hamba! Saksikanlah amal pertarungan keturunan Anda!!”

Itu artinya para goblin tidak dengan segera menyadari rintangan lainnya yang menghadang.

Satu terhempas terkena ayunan ekor besarnya, kemudian di terjang dan tumbang dengan luka cakar di tubuhnya. Sang goblin tercabik-cabik bahkan sebelum dia dapat berteriak, tubuhnya berubah menjadi gumpalan daging. Walaupun goblin itu sendiri tidak menyadarinya. Dia telah terkubur oleh keturunan naga yang menyeramkan.

“Ahh, tinggal selangkah lagi saya dapat mencapai jalan para leluhur saya! Yang perlu saya lakukan sekarang adalah bernafas—oop!”

Salah satu dari iblis kecil yang lebih cerdas, telah memanfaatkan kematian rekannya yang bodoh, melompati mayat itu mengarah Lizard Priest. Belati di tangannya terlumasi oleh sesuatu yang berkilau dalam cahaya, tentunya semacam racun yang berbahaya.

“Hmph, pisau beracun!”

“GOROGB?!”

Namun goblin itu tengah berhadapan dengan warrior-monk Lizard Priest yang tangguh dan perkasa, yang bercita-cita untuk dapat duduk berdampingan dengan para naga. Sisiknya dapat dengan mudah menangkis pisau, taringnya menggigit ke dalam kepala goblin (terciprat dengan kemenangan) sebelum goblin menyadari apa yang telah terjadi.

Terdengar retakan yang menjijikkan akan sebuah daging dan tulang.

Lizard Priest meludahkan makhluk itu tanpa sedikit pun menelan gigitannya, memberikan tendangan pada mayat yang kejang-kejang. “Sungguh berbahaya, yang barusan. Apa saya benar untuk mengatakan bahwa Anda masih belum diberkahi keajaiban Cure?”

“Yah, er...” Priestess tersenyum canggung kepada Lizard Priest, nada pria itu benar-benar tenang walau di tengah pertarungan spektakuler yang ada di sekitarnya. Sungguh, konon katanya kenangan tersuram pun tidaklah berarti apapun di hadapan pahlawan ras bersisik. Priestess sudah sangat terbiasa terkejut seperti ini; bahkan hingga dirinya sendiri mulai berpikir bahwa ini sedikit konyol. “Aku harap dan pastinya akan menerimanya suatu saat!”

“Mm, itu baru semangat. Adalah dengan melampaui kesulitan dan cobaan hingga kita dapat terus melanjutkan perjalanan dan berubah...!”

Namun, apakah ada cleric yang yang berlevel tinggi yang harus belajar dari dia? Priestess membuang pikiran yang berlalu itu, menstabilkan pernapasannya, dan akhirnya secara perlahan meningkatkan kesiagaannya. Seseorang harus memiliki hati yang tenang di kala berdoa—namun seseorang juga harus mengikat jiwanya ke surga di atas agar doanya dapat mencapai para dewa. Untuk mendapatkan konsentrasi yang dibutuhkan, Priestess menggenggam tongkat derik dengan kedua tangannya.

Para goblin semakin jauh dari dirinya—begitu pula Lizard Priest dan Goblin Slayer. Dunia, dirinya sendiri, dan para dewa. Suara dadu yang berguling terdengar di telinganya. Bernafas: hirup, buang.

Dan di saat dia mulai terhanyut di lautan banyak hal...

“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”

Tiba-tiba para goblin mendapati jalan mereka terblokir, dengan keajaiban ilahi.

“GOOROG?!”

“GGOBBOGOB!!”

Para goblin, terutama mereka yang mendapati diri mereka tidak dapat terus maju, tengah merasa benar-benar kebingungan. Mereka terus maju ke depan, tidak ingin di tinggalkan, dan hanya untuk menemukan sebuah dinding cahaya di jalan mereka. Mereka menghantamkan kepala mereka ke dinding, menekan hidung mereka dan mengeluh dengan lantang.

Namun adalah mereka yang di depan, yang tidak tahu sama sekali apa yang terjadi, yang menerima ganjaran fatal.

“Empat...!”

“GBROGB?!”

Goblin Slayer mengayunkan kapak, membelah tengkorak salah satu goblin seraya dia maju ke depan. Dia mengangkat perisai, menggunakan berat tubuhnya dan perlengkapannya untuk menghantam korban berikutnya.

“GBBG?!”

“Lima!” Dia mencuri belati dari tangan goblin yang meronta, membenamkannya ke dalam tenggorokan makhluk itu untuk membunuhnya. Dia mencabut senjata itu, berdiri, dan kemudian melemparkannya ke belakang dirinya dalam satu gerakan.

“GOOBGR?!”

“Enam—bagaimana kelihatannya?!”

Dalam sebuah pertempuran yang teratur, dia tidak akan pernah dapat menghentikan mereka semua. Salah satu goblin yang berlari melewati Goblin Slayer, kembali menuju rekan mereka, terhalangi oleh Lizard Priest.

“Eeeeyaaaaaaahhhhhh!”

Raungan spektakuler itu adalah satu-satunya jawaban dia. Lizard Priest, yang bisa dibilang telah menjadi satu dengan leluhurnya, para naga, tengah menggunakan semua empat bagian tubuhnya secara maksimal. Goblin manapun yang berada dalam jangkauannya akan terkoyak-koyak.

“Kurasa... Aku rasa kita masih baik-baik saja!”

Adalah Priestess yang memberikan jawaban di antara doanya. Mengusung tongkatnya, berusaha sebaik mungkin untuk mencapai para dewa di surga, dia sangatlah paham bahwa dia adalah kunci operasi ini.

Goblin Slayer, telah memastikan bahwa mereka berdua masih utuh, mengangguk. “Lakukan!”

Goblin Slayer mengambil sebuah pedang dari mayat seekor goblin dengan belati yang menancap di lehernya, memutar pedang itu di atas kepala. Seseorang bersiul di antara jari mereka, dan kemudian di ikuti dengan hujan batu dari arah mansion, batu-batu itu mengenai para goblin yang berada di sisi lain dari dinding Protection, para goblin menjerit dan meronta.

Kemungkinan besar, beberapa akan terbunuh. Namun tidak semuanya. Dia tidak peduli— Ini adalah tentang pengendalian medan perang. Lagipula, para pelayan adalah amatiran. Dia tidak ingin mereka secara tidak sengaja mengenai sekutu di dalam riuhnya pertempuran. Namun tetap saja, manusia adalah penembak katapel terbaik di dunia. Dengan dinding Protection sebagai perlindungan, mereka benar-benar mengerikan.

Apa kira-kira aki bisa bersiul cukup nyaring ya. Priestess teralihkan perhatiannya untuk sesaat oleh pikiran ini namun dengan cepat dia membuyarkannya.

Ketika mereka tengah meracik rencana, High Elf Archer ini mengambil peran ini. Ini adalah tentang mengulur waktu, membuat kekacauan, dan selama kekacauan itu—

“Tujuh, delapan—sembilan!”

“GGOOROOGB?!”

Goblin pertama yang melompat di depan bertemu dengan ajalnya oleh tangan dari dua petualang.

Lebih dari sepuluh, kurang dari dua puluh. Itulah tumpukkan mayat di tempat Goblin Slayer berdiri bagaikan penguasa. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Dia menggunakan kain para goblin untuk membersihkan darah monster yang menodai pedangnya.

Menjaga nafasnya tetap tenang. Memeriksa luka. Tidak masalah. Namun walaupun begitu, dia tidak mempunyai waktu untuk beristirahat.

“Dinding!”

“Baik, pak!”

Jawaban Priestess sekejap; dia membuyarkan kesadarannya dari doa Protection, kembali ke masa kini. Dinding cahaya menghilang bagaikan dinginnya malam yang sirna dalam mentari pagi.

“GOOGOB!!”

“GBBG! GOOROGB!!”

Para goblin berbondong-bondong maju, tentunya berfokus dengan apa yang ada tepat di depan mereka.

Mereka telah di lempari dengan batu. Dinding telah menghilang. Rekan mereka telah terbunuh.

Sekarang maju! Bunuh keparat itu! Perkosa gadisnya, lagi dan lagi dan kemudian bunuh dia juga.

Inilah apa yang ada di dalam kepala mereka. Dan mereka pun percaya bahwa pikiran penuh khayalan ini adalah benar.

Ya, adalah goblin yang berada di  depan yang masuk ke dalam situasi yang paling mematikan.

Bagaimanapun juga, satu-satunya kekuatan terbesar goblin adalah jumlah mereka.

“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!!”

Dan mereka kehilangan kekuatan itu ketika sebuah doa terulang, menghalangi bala bantuan mereka.

“Hrr—yahh!” Goblin Slayer melibas jalannya masuk ke dalam gerombolan para goblin.

Pertama, teralihkan oleh orang-orangan sawah, mereka telah terpencar dikarenakan kabut dari Stupor. Kemudia  mereka menyerbu kebun anggur melalui jalan terakhir yang tersedia dan mendapati diri mereka terhalang oleh Protection. Sekarang yang tersisa hanyalah terjun dan hancurkan grup berikut ya, kemudian terus tekan maju. Priestess dapat menggunakan tiga keajaiban secara keseluruhan. Patut untuk berasumsi bahwa siasat ini hanya akan berhasil dua kali.

Ya, mungkin ini juga akan berhasil dengan mantra Spirit Wall milik Dwarf Shaman.

Tapi roh bumi juga akan memakan lahan ini.

Adalah mirip seperti menggunakan api, dan ketika dia memikirkannya seperti itu, dia harus akui, walaupun enggan dia akui, bahwa itu lebih baik di hindari.

Namun dua kali sudah cukup untuk memusnahkan mayoritas dari para goblin.

Jumlah goblin yang sedikit sama sekali tidak menakutkan bahkan bagi para petualang baru.

Ketika berhadapan dengan banyak masalah, kamu harus memisahkannya dan hadapi satu persatu.

Adalah sedikit kebijaksanaan dari Dwarf Shaman yang di bagikan kepadanya—sesuatu yang sederhana, tip yang bagus untuk kehidupan sehari-hari.

Jika dia tidak mencoba untuk menghadapi keseluruhan pasukan, dan hanya menghadapi goblin yang menyerangnya di dalam “gua”? Yah, tidaklah mungkin bagi Goblin Slayer untuk kalah.

Ya, jika berasumsi tidak ada hal lain yang terjadi.

Sebuah siulan dari arah rumah memecahkan pikiran Goblin Slayer. Itu artinya...

Sungai.

*****

“In—ini mengerikan!” Prajurit tua berteriak, meniupkan siulannya kembali seraya dia berlari ke dalam ruangan.

High Elf Archer berkwta sebelum pria itu dapat berbicara, telinganya berkedut. “Sungainya, kan?!”

“Ya, dari selatan—hulu—perahu, datang ke sini! Nggak... Nggak bisa lihat berapa banyak!”

Tidak lama setelah ucapan itu keluar dari mulutnya, High Elf Archer, dengan busur di tangan, bergegas di dalam ruangan. Ketika seorang elf memutuskan untuk menggunakan keseluruhan kecepatannya, dia dapat bergerak dengan sangat cepat hingga hampir mustahil bagi manusia untuk melihatnya. Perubahan dirinya dari tenang menjadi aksi sangatlah mengesankan. Para high elf hanya membutuhkan satu langkah untuk dapat bergerak secepat mungkin. Oleh karena itu, di kala Dwarf Shaman mendatanginya, High Elf Archer sudah memantau jendela belakang.

“Apa yang kamu lihat?”

“Goblin. Setidaknya, para pendayungnya terlihat seperti itu.”

“Armada goblin? Tuhan, apa hutanmu itu ketiduran?”

“Itu nggak pengaruh, soalnya sungai itu di bawah yuridiksi manusia!”

Perdebatan terlontar seperti biasa, dan walaupun darurat, tidak terlihat adanya kecemasan. Mereka tidaklah begitu terkejut. Itu karena, mereka pernah melihat goblin di atas kapal dalam pertarungan di kota air. Adalah mustahil untuk mengetahui kapan para goblin mencuri rahasia akan menggunakan kendaraan dan tunggangan, namun fakta bahwa mereka memilikinya tidak dapat dipungkiri. Warg, serigala, dan laba-laba, hanyalah sekedar permulaan—bukanlah tunggangan yang paling lincah, namun tetap saja, mereka memiliki sesuatu untuk di kendarai. Permasalahannya bukanlah karena goblin datang dengan kendaraan, melainkan jumlah mereka yang begitu banyak.

High Elf Archer memusatkan mata setajam elangnya ke kejauhan, memperhatikan sosok hitam yang mengambang melintasi malam. Dua—tidak, ada tiga.

“Sialan, kenapa sih mereka itu selalu banyak banget...?!” Bahkan seraya dia berbicara, High Elf Archer memuat tiga panahnya secara bersamaan dan menembakkannya dengan dentingan senar dan sebuah siulan. Masing-masing dari panah melengkung dengan arah yang berbeda, seolah panah itu memiliki kesadarannya sendiri. Dwarf Shaman tidak mengetahui ke mana panah itu pergi. Bisa melihat di kegelapan dan bisa melihat di kejauhan adalah dua hal yang berbeda.

“Kamu mengenai mereka?”

“Emangnya perlu di tanyakan ya?” High Elf Archer mengendus. Dia melanjutkan rentetan hujan panahnya. Masing-masing batang panah berkelip di bawah sinar bintanh, bagaikan sebuah meteor, terbang di tengah malam. Tidak di ragukan terdapat banyak mayat goblin, sebanyak panah yang ditembak, atau bahkan mungkin lebih jika panahnya memantul. “Tapi aku rasa ini nggak akan berjalan lancar,” High Elf Archer berkata pelan, mengambil panah lagi dari tempatnya dan menarik benang hingga berbunyi. “Aku bisa menghabisi semua pendayungnya, tapi sungai akan tetap menggiring mereka ke sini. Dan kalau mereka masuk ke dalam perahunya, aku nggak bisa menyentuh mereka.”

“Kamu nggak bisa tenggelamkan kapalnya dengan satu tembakan?”

“Nggak—maaf, lenganku nggak sekuat kakak lakiku!”

“Jadi kakakmu bisa?” Dwarf Shaman bergumam, namun kalimatnya sirna terhapus suara tarikan benang busur yang bernyanyi bagaikan harpa. Kali ini, bahkan Dwarf Shaman dapat mendengar suara riak akan sesuatu yang mengenai permukaan air.

Aku benci mengatakannya, tapi si papan ini memang jago main busurnya.

Apakah sang elf melakukan ini karena itu berhubungan dengan harga diri bangsanya atau tidak, bahkan seorang dwarf-pun tidak mempunyai pilihan untuk memberikan pujian pada waktunya.

Yah, jika begitu sang dwarf tidak boleh bermalas-malasan. Bagaimana bisa harga dirinya sebagai seorang dwarf tetap terjaga jika dia membiarkan sang elf melakukan semua pekerjaannya?

“Mungkin aku bisa menggunakan mantra untuk mengubah arah dari arus sungai.”

“Mungkin bisa berhasil. Aku sebenarnya ingin langsung masuk ke tengah mereka kalau bisa, tapi sekarang pertarungan jarak dekat itu sedikit...mengkhawatirkan!” Pada kata terakhirnya, dia menembakkan panah terbang, dan goblin lainnya mati. “Soalnya, mereka punya jumlah. Aku benci tentang—“

Tiba-tiba, High Elf Archer terdiam.

“Kenapa?” Dwarf Shaman berkata, namun ketika dia melihat wajah muram sang elf, dia juga berhenti berbicara.

Telinga panjang High Elf Archer bergerak ke atas dan ke bawah, dan kemudian dia berkata tajam, “Sesuatu datang... sesuatu yang besar. Dan cepat. Apa-apaan itu?”

“Maksudmu itu sesuatu yang belum pernah kamu dengar sebelumnya?”

“Aku pernah mendengar sesuatu seperti ini,” High Elf Archer menjawab, mengernyitkan alis. “Tapi ini...!”

Pada momen itu, suara mengerikan itu mulai terdengar pada semua orang di rumah. Adalah suara seperti petir yang datang secepat kilat—tidak dari langit melainkan dari bumi ini sendiri.

Ya, kekuatan goblin bergantung pada jumlah mereka namun juga pada kelicikan keji mereka.

Terdapat perahu di atas sungai. Tentunya, terdapat sesuatu juga di tanah.

“Ya Tuhan...” Dari mereka bertiga yang ada di sana, hanya para prajurit tua yang mengetahui suara itu, dan wajahnya memucat takut seraya dia mengerangkan kalimatnya.

Dia pernah mendengar suara ini sebelumnya di medan perang. Ketika kamu mendengarnya dari belakangmu, suara ini memberikanmu tenaga dan meningkatkan semangatmu, namun jika dari depan, suara ini hanya akan membuat kamu bertekuk lutut.

Dia pernah berharap agar dia tidak akan pernah mendengar suara itu lagi seumur hidupnya.

“Itu chariot...!”

*****

Itu tampak seperti semacam mesin perang yang aneh.

“E-eeek?!”

Adalah di saat di mana dinding Protection kedua menghilang, sebuah grup ketiga dari goblin bergerombol masuk. Suara itu, bagaikan petir, diiringi dengan bayangan besar yang bertapak di bumi, dan inilah yang menyebabkan jeritan Priestess.

“Hrk...!”

“Ini gawat...!”

Dua petualang yang lebih berpengalaman melindungi diri mereka dari batu yang beterbangan, satu dengan perisai dan yang satu dengan sisiknya.

“GBBORB?!”

“GORG?!”

Terdengar jeritan dari beberapa goblin di depan mereka yang tertabrak dan terlindas di bawah roda. Jeroan kehitaman menciprat ke segala arah, menambahkan variasi segar akan pembantaian yang di lakukan oleh tangan para petualang. Aroma dari jeroan adalah bau kematian, usus-usus itu masih terasa hangat.

Ya, ini adalah senjata yang di buat untuk pembunuhan, kuno namun brutal.

“GOORGB! GGOOOROGOB!!”

Seekor goblin dapat terlihat menyeringai di atas kendaraan, yang berkelip merah dalam cahaya bulan. “chariot” yang dia komandokan, tampak seperti sebuah gerobak biasa atau kereta kuda dulunya; dan di rubah oleh mereka. Kemudian mereka melengkapi bagian depannya dengan perisai dan berbagai macam variasi senjata mengerikan: pasak, tombak, katapel. Gerobak perang ini melaju dengan tuas yang di dorong oleh banyak goblin lainnya.

“GOOROGOOROG!!”

Nama untuk alat ini? Mungkin bisa di sebut dengan gerobak tempur goblin. Sebuah instrumen mengerikan yang sudah pasti di buat dengan bantuan kekuatan Kekacauan.

“Berpencar!”

Yang mana yang duluan: perintah Goblin Slayer atau kedatangan chariot ini?

“GOOROGB?!”

“GRGB?!”

Dalam lintasan gerobak tempur yang melaju melintasi bumi kebun anggur, melindas beberapa goblin lain dengan rodanya. Namun, terlindas atau tertusuk oleh pasak chariot, mungkin adalah takdir yang lebih baik. Mereka yang sial yang terlontar ke udara memiliki beberapa detik renungan penderitaan akan kematian yang menjemput.

“GGBBRG?! GOOROGGB?!”

Untuk beberapa saat, salah satu monster meronta di udara, seolah ingin mencoba berenang di udara—sebuah upaya yang sia-sia. Dia terjatuh ke tanah, di mana kepalanya retak dengan suara ledakan buah yang ranum. Nyawanya, detik terakhir yang dia habiskan dengan kejang-kejang, lengan dan kakinya membengkok ke arah yang mustahil, akhirnya sirna ketika dia terlindas oleh chariot yang melaju.

“GGOROGB! GGRRRROGOBBGORGB!!”

Semangat dari gerobak tempur goblin tidak terpengaruh dengan jumlah korban kematian—setidaknya, pemimpin yang mengendarai di atas kendaraan ini. Dia melanjutkan memberikan ocehan perintah, yang di mana goblin yang mendorong menggerutu marah. Apapun itu, gerombak perang ini berbelok panjang, mengubah arah untuk mengejar para petualang sekali lagi. Potongan-potongan daging dan tetesan darah yang menodai gerobak seolah ingin mengatakan: kamu berikutnya.

“Puji Tuhan!” Lizard Priest berguling menghindar dari ancaman yang mendekat, menepuk ekornya girang di tanah. “Kekacauan tampaknya telah mempersenjatai dirinya dengan baik sekali hari ini!”

Tepat di bawahnya, terlindungi oleh tubuhnya yang besar, Priestess berjongkok sekecil dia bisa untuk menjaga dirinya tetap aman. “Ma-maaf...” dia berkata lemah, sangat sadar betapa lambannya reaksinya sendiri. Dia mungkin telah tumbuh dan mendapatkan pengalaman, bahkan cukup banyak, namun kapasitas fisiknya tidak akan berubah dengan drastis. Apapun itu, seraya lumpur menodai wajah ayu dan rambut emasnya, dia terus memperhatikan pergerakan dari gerobak tempur goblin. “Apa yang akan kita lakukan tentang ini...?”

“Mereka masih goblin,” Goblin Slayer meludah seraya dia berdiri. “Kita akan lakukan apa yang selalu kita lakukan!”

Namun semua tidaklah sesederhana itu—atau lebih tepatnya, semua semakin rumit di setiap detiknya. Siulan dari belakang mereka menandakan bahwa sesuatu tengah terjadi di sungai.

“Tsk...!”

Apapun yang dia lakukan, tidak peduli seberapapun gilanya, seberapapun sintingnya, ini tidak akan merubah situasi. Namun mengeluh tentang ini pun tidak akan membantu, Goblin Slayer menegur dirinya sendiri, berpikir secepat mungkin.

Apa yang harus kulakukan?

“Bagaimana menurutmu?”

“Hmm...” Gerobak tempur goblin mencipratkan tanah seraya berbelok memutar lagi. Lizard Priest berdiri. “Kebijakan tradisional mengatakan bahwa untuk menyerang jendral Anda harus menumbangkannya dari kudanya—namun sepertinya seseorang telah mengajari mereka untuk mengatasi itu.”

“Ya, itulah permasalahan pertama. Biasanya goblin yang mendorong chariot akan tidak terlindungi. Namun sebuah perisai melapisi chariot dari depan hingga ke belakang. Itu mungkin akan membuat mereka tidak dapat melihat apa yang ada di depan mereka, namun dengan pengemudi (jika itu memang kata yang tepat) berada di sana, itu tidak akan masalah. Bahkan panah High Elf Archer akan kesulitan untuk menyerang musuh dari belakang maupun samping.

“Bagaimana kalau secara langsung dari depan?”

Dengan waktu yang tak terbatas, terdapat banyak rencana yang mereka dapat lakukan. Namun siulan itu mungkin menandakan adanya bala bantuan dari sungai. Mereka hanya memiliki waktu untuk satu tindakan, paling banyak dua.

“Saya tidak yakin.” Lizard Priest membalas, menggeleng kepala. “Dengan keajaiban Partial Dragon, mungkin lima menit. Tergantung dari keseimbangan di antara kekuatan kita dan mereka dan seberapa cepat mereka bergerak.”

“Pertaruhan.” Goblin Slayer menggerutu. “Aku nggak suka.”

“Apa yang bisa di sukai? Konon, setiap aspek di dunia ini dapat di jabarkan dengan angka.”

Di mana dia pernah mendengar itu sebelumnya? Goblin Slayer menghela nafas. “Dari samping... Pasak, begitu.”

“Ha-ha-ha, tampaknya mereka telah mengantisipasi kebanyakan tipe serangan.”

As dari gerobak memiliki pasak panjang yang mencuat ke samping untuk menyapu barisan prajurit.

Terdapat banyak masalah di sini. Permasalahan sebenarnya—ya, adalah karena permasalahan itu sekaligus, diskrit dan tumpang tindih. Jika begitu...

“Pak, Goblin Slayer!”

Tiba-tiba, dia mendengar suara tegang namun kuat Priestess. Gadis itu berdiri, seragamnya masih kotor dengan lumpur, tongkat di tangan, dan menatap ke depan.

Gerobak tempur goblin telah berputar sekali lagi. Tidak lama perintah akan di berikan, dan itu akan menyerang mereka sekali lagi. Akan tetapi, Priestess, walau dengan kegelisahan dan teror yang tampak di wajahnya, berbicara dengan lugas: “Ayo kita perkecil permasalahan kita!”

“Jadi itu rencanamu.” Goblin Slayer mengangguk.

Selalu ada rencana. Tidak peduli kapan pun. Tidak peduli di mana pun.

*****

Pengendara dari gerobak tempur goblin mengumpat kepada bawahannya karena betapa lamban dan cerobohnya mereka dalam mengubah arah. Dasar tolol! Coba pikirkan apa yang akan terjadi padamu kalau mangsa kita sampai lolos.

Tidak perlu baginya untuk membagi apa pun kepada mereka-mereka ini. Sang kaptenlah yang melakukan semua pekerjaannya, oleh karena itu sudah sewajarnya untuk dia menyimpan semuanya untuk dirinya sendiri. Sang pengendara itu sendiri telah lupa akan bagaimana dia menganggap semua sosok berotoritas itu tidak ada gunanya dan hanya sekedar numpang tempat gratis beberapa hari yang lalu.

Sekarang di mana mangsanya? Ah, di sana. Setelah berlari ke sana kemari dalam kebingungan, mereka telah melakukan hal terbodoh dan memerangkap diri mereka sendiri di depan gerbang benteng. Sang pengendara menjilat bibirnya, ketika dia melihat gadis belia berdiri di sana, tampak jelas ketakutan, menggenggam tongkatnya.

Ayo kita berikan dia sesuatu untuk di takuti.

Sang pengendara dengan riang mengangkat golok berkaratnya, dan dengan satu ayunan, dia memotong tali dari katapel. Terdengar suara tok seraya beban itu turun, dan lengan katapel naik merespon. Lengan itu berbentuk seperti sendok besar, yang di mana sebuah batu yang duduk di atasnya sekarang terbang melintasi udara.

Goblin, tentunya, tidak dapat mengalkulasi lintasan dari proyektil itu. Batu itu terbang melewati atas kepala sang gadis, menghantam dinding benteng dengan dentuman. Beberapa bata pecah dalam benturan.

“GOOROGOOROOGG!!” Sang goblin chariot sangat girang melihat gadis itu menjerit “Eek!” dan meringkuk. Sangatlah sepadan telah memasang katapel ini, walaupun hanya dapat di gunakan satu kali.

Roda depan, yang terangkat dari tanah ketika katapel itu meluncurkan pelurunya, sekarang kembali turun menghantam bumi. Yang  sekarang perlu di lakukan hanyalah menyerbu gadis itu dan melindasnya. Membayangkan bagaimana gadis itu akan terlihat pada momen terakhirnya, akan bagaimana gadis itu merengek dan memohon ampunan, sudah cukup untuk membuat para goblin menggebu-gebu. Terhanyut oleh khayalan itu, dia mengedor dengan kakinya dan melolong kepada rekannya:

“GGORG! GGOOOROGGB!!”

“GOOROGB!!”

Kumpulan para tolol itu mengeluh dan mengoceh namun akhirnya mereka mulai mendorong. Jika mereka mendapatkan uap yang cukup, mereka dapat melumat kedua pria dan wanita itu hingga berkeping-keping, dan mereka akan menjadi pemenang. Dengan senjata hebat dan mengerikan ini, mustahil bagi mereka untuk bisa kalah.

Seperti itulah para goblin. Seperti budak anjing yang bereaksi secara refleks, mereka menyerang apapun yang berada di depan mereka. Mereka tidak mempertimbangkan berapa banyak rekan mereka yang telah mati, ataupun diri mereka sendiri yang mungkin akan ikut terbunuh. Tidak, masing-masing dari mereka berasumsi bahwa dirinya sendiri adalah pengecualian. Dia pintar. Dia tidak seperti yang lain. Dia jauh lebih baik.

Dan dengan itu...

“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”

Dari momen cahaya itu berkilau ke dalam mata mereka, hingga ujung akhir napas busuk mereka, mereka tidak pernah membayangkan identitas sebenarnya dari bayangan hitam yang meloncat ke arah mereka.

*****

“Yah—!”

Di saat keajaiban Priestess yang menyebabkan semburan cahaya suci, Goblin Slayer menendang tanah dan mulai berlari. Dari dalam gerbang, dia mendobrak pintu hingga terbuka dan terlempar. Pada saat yang sama, sebuah sosok hijau besar memegang seorang gadis muda rapuh, menariknya ke belakang.

“O brontosaurus aneh nan bangga, berikanlah hamba sepuluh ribu kekuatan!”

Dengan kekuatan yang di berikan oleh berkah akan Partial Dragon, ledakan tenaganya begitu kuat. Apakah dia dapat menghentikan chariot ini adalah sebuah pertanyaan kepada keberuntungan, namun kecepatannya sudah lebih dari cukup untuk membuat dirinya dan gadis itu menghindar dari jalur kendaraan itu.

Sedangkan Goblin Slayer, tengah berlari menuju gerobak tempur goblin. Satu langkah, dua langkah, tiga. Langkahnya tidak pernah salah walaupun gerobak tempur itu semakin melaju dan memperpendek jarak di antara mereka.

“Hrm...!”

Chariot mencapai pintu masuk kurang lebih di saat yang hampir sama dengan momentum Goblin Slayer yang membuatnya dapat berguling menaiki gerobak. Dia memegang kerangka katapult untuk memastikan dia tidak terlepas, menarik dirinya semakin ke atas. Kontes ini terus berlangsung hingga mereka memasuki deoan ruang tamu. Perabotan terhambur.

“Orcbolg?!”

“GOOROGBB?!”

High Elf Archer dapat terdengar di tangga. Namun Goblin Slayer tidak mempunyai waktu untuk merespon. Lagipula, dengan mata elf itu, High Elf Archer dapat melihat apa yang terjadi juga. Goblin Slayer mencari belati di sabuknya dan menyerang goblin yang menggelengkan kepalanya berusaha untuk menghilangkan kebutaannya.

“GOROG!”

“Dengan kamu—“  Dia mengincar pertarungan jarak dekat, dan itu artinya, genggaman terbalik adalah yang terbaik. Genggaman itu memberikannya rute terpendek di antara mata pedangnya dan tenggorokan goblin. “—jadi dua puluh lima!!”

Terjadi baku hantam—dia mungkin memang sedang menghadapi goblin, namun dia melakukannya di atas gerobak yang bergejolak—namun dia memutar gagang, melancarkan serangan kritikal. Goblin tenggelam dalam darahnya sendiri, tidak dapat berteriak, dan kejang-kejang. Terdapat beberapa napas tipis kehidupan dalam tubuhnya; Goblin Slayer mencondong ke depan untuk menghabisi mereka.

“GGOORGB?!”

“GGBG! GGOOROGB!!”

Di balik perisai, tidak sadar akan kematian pemimpin mereka, para goblin meracau dan mengoceh. Namun peduli apa Goblin Slayer?

“Hrrgh...” Goblin Slayer memberikan perisai sebuah tendangan untuk membungkam mereka, kemudian dia memegang erat sisi samping gerobak. Hanya dia, yang berdiri di atas chariot dan dengan pemandangan yang tak terhalang, memahami penuh apa yang akan terjadi.

Gerobak perang melewati banyak persediaan batu marmer yang di beli pemilik mansion dan terus melaju.

Adalah sebuah dinding.

Goblin Slayer merasakan getaran yang menjalar di sekujur tubuhnya yang hampir mirip dengan hantaman sebuah palu dari makhluk raksasa. Tubuhnya terlipat dan kemudian terlurus kembali. Lengannya, menjuntai dari chariot, mengerang: dan dia dapat merasakan sesuatu yang keras mengenai mayat goblin yang berada di punggungnya.

“GGORBBG?!”

“GBBG! GOORGBB?!”

Para goblin, akhirnya menyadari sesuatu yang janggal di luar nalar mereka, mulai berteriak, namun itu sudah terlambat. Hal berikutnya yang mereka rasakan setelah benturan adalah sebuah sensasi mereka melambung, setidaknya untuk sesaat. Terasa ciuman dingin akan angin malam.

Benturan itu telah menghancurkan katapel hingga terlepas dari gerobak, terlempar hingga menembus dinding. 

“Hrg...ggh...!”

Tubuh Goblin Slayer bergetar kembali di setiap benturan. Goblin Slayer tidak pernah menaiki kuda rodeo sebelumnya, namun dia membayangkan bahwa seperti inilah rasanya. Jika dia terjatuh, hal terbaik yang dia dapat harapkan adalah menghantam lantai dengan keras; namun jika yang terburuk terjadi, maka dia mungkin akan terjatuh mengenai pasak yang mencuat dari roda.

Goblin Slayer berfokus untuk tetap menempel di gerobak tempur, menjaga napasnya stabil.

“GBBOGB?! GOGGG?!”

“GOOROGGB!!”

Para goblin mendorong gerobak bersama dalam posisi yang kurang lebih sama: tidak dapat lepas dikarenakan terbawa momentum dari gerobak.

Bagaimanapun juga, akhir dari mereka sebentar lagi akan tiba.

Gerobak menuruni bukit dengan laju mengarah ke sungai hitam. Di mana kapal goblin sedang berusaha berlayar.

“GORGB?!”

“GOOOROGBB??”

Di atas haluan, para goblin yang berfokus bertahan dari hujan panah dari mansion, berteriak di kala mereka melihat gerobak tempur. Tidak di ragukan lagi mereka pasti berteriak, Apa?! Atau Apa yang para tolol itu lakukan?!—sesuatu yang seperti itu.

Dan dalam sesaat kemudian, chariot menghantam kapal, berat dan kecepatan chariot itu mengubahnya menjadi battering ram. Goblin Slayer sendiri kesulitan untuk dapat menahan benturan. Chariot itu menembus lambung kapal, mengoyak tengah kapal.

Ini sudah hampir tidak dapat di sebut sebagai chariot lagi—ataupun sebuah kapal. Hanya sekumpulan kayu yang menunggu terbawa arus. Seraya mereka tercelup ke dalam air, mereka hanya mempunyai kesan samar bahwa mereka telah menghantam sesuatu yang putih. Kemudian otak mereka mulai menyadari bahwa mereka telah terlempar ke dalam sesuatu yang berat dan kejam, dan secara refleks mereka mulai meronta. Namun mereka tidak dapat melepaskan diri. Roh air menarik kaaki mereka tanpa ampun, dan sedangkan untuk kepala mereka—ya, sisa dari chariot itu sendiri menjadi sebuah tudung kepala mereka.

“GOBOO?!?!”

“GOOGRBB?!”

Para goblin berusaha menggedor gerobak dengan putus asa, terbatuk dan tersedak busa, namun gerobak itu tidak bergeming. Tidak lama lagi mereka akan kehabisan nafas dan tenggelam. Goblin Slayer memperhatikan untuk memastikan, kemudian menendang dasar sungai. Benar: tenggelamlah hingga dalam, kemudian tendang—dan walaupun jika kedua tanganmu terikat, kamu dapat berenang.

Akan lebih mudah jika, pada jari manis dari tangan kirimu, menggunakan sebuah cincin Breath.

Percikan itu telah lama menghilang, namun sihir yang terkandung di dalamnya masih tidak berubah. Bahkan kedalaman air, dia tidak mempunyai alasan untuk takut. Dia mendorong dirinya hingga mencapai permukaan, mencapai udara terbuka, tetesan air mengalir dari helmnya.

“Ahh...”

Dia membuka mulutnya lebar, menghirup udara. Udara itu membawa kelembaban tebal sebuah awal musim panas, sebuah atmosfer yang minim energi sihir.

“GOOROGB!!”

“GOGB?! GOORGB?!”

Dia memperhatikan sekitar dan menemukan gerobak tempur goblin telah menabrak apa yang tampak seperti kapal kedua dari tiga kapal. Wahana itu terbelah menjadi dua, kedua belahan itu kini tenggelam hingga ke dasar. Di atas haluan, menjerit sekuat tenaga, adalah beberapa goblin yang berhasil melompat menghindari benturan. Namun mereka sudah tidak dapat tertolong lagi.

Para goblin sebelumnya berpikir jika mereka mengendarai sebuah chariot, atau berlayar dengan kapal perang, maka kemenangan akan menjadi milik mereka. Dapatkah mereka dikalahkan atau ditenggelamkan? Bukan aku, masing-masing dari mereka yakin. Sekarang mereka saling berkelahi untuk keluar dari geladak, masing-masing dari mereka mencoba untuk menyelamat diri mereka terlebih dahulu. Bahkan walaupun mereka berhasil lompat ke sungai, mereka kemungkinan terhantam oleh puing kapal yang tenggelam, terjepit dan terlumat hingga msti.

Tapi biarpun begitu... Dalam pikiran Goblin Slayer, itu tidaklah mengubah apa pun. Dia hanya sedang mempertimbangkan apakah perlu untuk menyelam ke bawah, menggunakan cincinnya untuk dapat ke bagian bawah dengan menghindari badan kapal, ataukah memanjat sisi kapal itu ketika—

“Orcbolg, awas!” sebuah suara jernih memanggil, dan sebentar lagi dia akan di selamatkan. Sebuah panah bermata kuncup melesat bersiul, menancap pada papan kayu di depannya. Dia menyadari adanya tali yang terikat di panah dan menggenggamnya tanpa keraguan.

“Astaganaga, rencanamu itu memang gila-gila, Beardcutter...!”

Di sisi lain dari ujung tali berada di tangan Dwarf Shamman, berdiri dengan kakinya yang berpijak kokoh di tepi sungai. High Elf Archer melingkarkan tangannys di sekitar pinggul Dwarf Shaman, menarik dengan sekuat tenaganya untuk mencegah Dwarf Shaman terpeleset ke dalam sungai. Priestess, berlumur lumpur, datang bergegas ke dua temannya yang beradu tambang. Mengikuti gadis itu datanglah Lizard Priest, terlihat sangat terpuaskan seraya dia menghela panjang.

“Benturan dengan kapal itu bukanlah bagian dari rencana.” Apakah suara Goblin Slayer terdengar ke mereka?

“Oke, Beardcutter, pegangan yang kuat!”

“Ya.” Dia mengangguk. “Maaf merepotkan, tapi aku butuh bantuan kalian.”

“Ahh, nggak ada dwarf yang akan berdiam diri menonton temannya tenggelam. Dia akan menariknya keluar atau ikut bersamanya sampai ke dasar!”

“Kelihatannya bakal lebih ke dasarnya kalau seperti ini!” High Elf Archer berteriak.

“Aku bantu,” Priestess berkata, memberikan senyuman canggung. Dan ketika Lizard Priest berteriak, “Ijinkan saya!” dan menambahkan tenaganya untuk menarik, sepertinya tidak ada yang perlu di khawatirkan.

“Nggak ada yang perlu di khawatirkan?” Goblin Slayer bergumam di balik helmnya, terpukau atas dirinya sendiri yang bisa berpikir seperti itu. Dia melirik kembali pada kapal goblin yang porak-poranda dan tenggelam, tampak jelas walau di kegelapan malam.

Ini, dia merasa, menandakan penyelesaian sukses questnya. Para goblin semua akan mati. Jika ada yang selamat, mereka akan di habisi ketika mereka mencapai pesisir. Sudah berakhir. Atau, setidaknya, seharusnya sudah berakhir.

Dia tidak pernah merasa benar-benar yakin. Dia mungkin tidak pernah merasakannya semenjak sepuluh tahun yang lali—semenjak perburuan goblin untuk melindungi desa di tahun pertamanya. Apakah dia, benar-benar telah melindungi mansion ini? Apakah dia benar-benar sudah membersihkan kecurigaan yang melibatkan Kakak Anggur? Seberapa lama pertarungan dengan goblin akan terus berlanjut?

Apa yang telah berhasil dia capai? Apakah dia pernah berpikir bahwa dia dapat mencapai sesuatu?

Dia merenungkan kembali peran yang dia mainkan dalam acara ini.

Kemudian dia bertanya pada dirinya sendiri apakah dia telah memenuhi peran itu.

Dia hampir tidak mengetahuinya.

Yang dia ketahui adalah rekannya berada pada ujung dari tali yang dia genggam.

“Hrmph.” Goblin Slayer menghela untuk ke sekian kalinya, mengatur genggamannya pada tali. “Berburu goblin memang lebih sederhana.”