SETAN & HANTU

(Translator : Zerard)


“Urrgh...” Priestess menendang lantai dengan marah seraya dia berjalan. Baginya, ini sangatlah tidak biasa. Dia adalah gadis yang selalu sopan, dan walaupun tempat ini tua, ini adalah makam; dan dia tidak pernah menjadi tipe orang yang mengganggu istirahat mereka yang wafat.

Mungkin makam bukanlah kata yang tepat seperti gundukan kuburan. Jauh di dalam hutan yaang gelap karena pepohonan, terdapat tempat di mana tanahnya sedikit timbul. Di dekatnya terdapat tumpukan batu, di penuhi dengan lumut namun sangat jelas bahwa ini tidaklah alami. Adalah jelas bahwa ini adalah kuburan dari beberapa raja atau bangsawan, yang dahulunya sangat terkenal.

Walaupun begitu, ini adalah tempat di mana murid taat dari Ibunda Bumi harus hormati.

“Urrrrrrgh....”

Akan tetapi di sanalah Priestess mengeratkan giginya seperti anak kecil mengambek, tidak dapst menutupi kekesalannya. High Elf Archer, berjalan di depan, telinganya berkedut dan berbisik tanpa menoleh kebelakang, “Aneh banget.”

“Sebuah pertanda bahwa betapa sulitnya ini bagi beliau untuk di terima,” Lizard Priest berkata dengan anggukan. “Sulit untuk dapat menyalahkannya.”

Dwarf Shaman mendengak ke langit dengan pasrah. Tentunya dia tidak mengharapkan apapun dari dewa yang ada di surga. Dia ini kayak anak kecil saja.

Gadis ini berumur tujuh belas tahun. Masuk dua tahun dalam kedewasaannya, dan tentunya lebih dewasa dari dia yang sebelumnya, namun dia tetaplah masih muda. Lagipula, dari umur saja, sang papan yang ada di depan jauh melampaui umur mereka semua.

Kedewasaan adalah tidak lebih dari sekedar akumulasi dari tahun ke tahun. Dia masihlah gadis muda. Selalu rajin berpikir, selalu mencemaskan orang lain, selalu berusaha membuat dirinya berguna—dan itulah yang membuatnya tampak seperti anak kecil. Akan sangat menyedihkan bagi seseorang untuk melihat gadis itu, jika mereka tidak mengetahui alasannya.

“Hei, Beardcutter. Coba kamu ngomong sesuatu ke gadis itu?”

“Hrm...” Goblin Slayer, mengamati dari posisinya di baris kedua, mendengus pelan. “Contohnya?”

“Masa iya aku harus kasih tahu kamu?”

Goblin Slayer tidak menjawab. Tidak ada jawaban untuk di berikan.

Perhatiannya tertuju pada tanah yang ada di depannya, pada petualangan di depan, dan dia tidak mempunyai niat untuk membagi perhatiannya pada hal lain.

Sejauh quest ini berjalan, memang agak aneh.

Pertama, tidak ada bahaya yang sudah terjadi, sebuah fitur langka dalam perburuan goblin. Pernyataan quest ini adalah bahwa para goblin telah di temukan di hutan dengan desa yang di gunakan untuk berburu dan berkumpul. Mereka adalah bayangan kecil yang berkeliaran di dalam kabut putih. Sesosok bentuk yang di kenal para pemburu sebagai goblin.

Pemburu ini sudah menjadi bagian dari pertarungan satu tahun sebelumnya, sebagai seprang pemanah. Dia tidak akan pernah salah dalam melihat goblin.  Dia sendiri telah berpikir apakah dia harus bertindak duluan. Namun ketika dia mempertimbangkan bahwa membuat marah satu atau dua makhluk itu dapat menyebabkan mereka membawa gerombolan mereka ke dalam desa ini, dia mengurungkan niatnya.

Cukup dapat di mengerti, bahwa pemburu itu akan menyampaikan rasa cemasnya ke Kuil Ibunda Bumi sebelum dia berpikir untuk pergi ke Guild Petualang. Dan adalah melalui biarawati itu kisah ini mencapai Goblin Slayer...

“Akan ku lakukan.” Itulah yang dia katakan.

“Eh, tapi sepertinya belum ada apa-apa yang terjadi,” Kakak Anggur berkata dengan senyum malu. “Itu hanya kecemasan seseorang, karena ada goblin yang berkeliaran.”

“Aku setuju,” Goblin Slayer membalas. “Aku sangat setuju.”

Permasalahannya di mulai setelah itu.

Tidaklah jelas siapa yang mengucapkannya pertama kali, atau mengapa. Namun bisikan-bisikan mulai menyebar di dalam kota, dalam rumah makan, bahkan dalam pojokan gelap di dalam Guild.

“Menurutmu biarawati itu turunan goblin?” mereka bertanya.

Adalah, tentu saja, sulit untuk mengkritik Kuil Ibunda Bumi secara terbuka. Ini adalah dunia di mana Dewa-dewa memberikan keajaiban asli kepada khalayak. Mereka nyata. Dan itu adalah fakta yang di terima semua orang.

Namun menyerang sebuah individu adalah masalah yang berbeda. Masyarakat ataupun petualang, tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar suci dan jujur.

Wanita itu adalah anak perempuan dari seorang wanita yanh telah di hamili oleh goblin, kata mereka. Mereka menggerakkan mata mereka pada dada besar yang tercetak pada seragam biarawatinya, dan mereka berbisik.

Bagaimana mungkin rumor seperti itu tidak terdengar oleh Priestess?

Pikirannya teringat kembali pada pemandangan di Guild Petualang sebelum mereka pergi.

*****

🎵...”

Langkah Priestess terasa ringan bagaikan bulu seraya dia berjalan melintasi Guild, bangunan ini penuh cerah dengan sinar matahari pagi. Dia bergumam sebuah senandung seraya dia memikirkan benda apa saja yang dia butuhkan.

Perlengkapan—Terkadang termasuk senjata dan armor—dan peralatan, terutama barang sekali pakai biasanya. Potion dapat menjadi basi jika lama tidak di pakai, dan kail pengait yang ada di ujung talinya dapat menjadi usang. Pasak besi dapat berkarat. Adalah penting untuk tidak hanya memperbaharui persediaan setelah mereka menggunakannya, namun juga secara proaktif mengganti benda yang sudah mulai di makan usia. Ketika kamu benar-benar membutuhkan helaing potion, kamu tidak ingin meminum lima atau enam dan menyadari bahwa hanya satu saja potion yang berfungsi.

Jalan terbaik untuk menghindari situasi itu, adalah untuk selalu memeriksa tasmu dan membeli persediaan baru sesuai kebutuhan.

Inilah apa yang di namakan kebiasaan.

Bukan berarti aku bersikap angkuh sih, tapi...

Pikiran bahwa mereka sedang menuju sebuah perburuan goblin dapat menyebabkan ketidakgembiraan. Dia berharap petualangan dirinya dengan pria itu, dengan mereka, untuk menyenangkan—ataunsetidaknya, dia kira akan seperti itu—namun realita sebenarnya dengan para goblin...

Dia merasa dirinya telah sedikit tumbuh, akan tetapi kepercayaan diri sepertinya masih belum dapat dia cengkram. Ini bukanlah baik ataupun buruk—hanyalah bagian dari dirinya, namun walaupun begitu, dia masih dapat menjadikan dirinya berguna terkadang. Priestess merasa persiapan perlengakapan suplai peran untuk dirinya. Mencurahkan seluruh hati untuk tugas itu adalah pekerjaannya, sebuah pekerjaan yang patut di hormati yang membuatnya dapat membusungkan dada kecilnya.

“Hei, kamu dengan rumor itu?”

Karena itu, ketika dia mendengar bisikam itu, dia menghiraukannya sama sekali. Dia sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa bisikan itu menyinggung dirinya.

“Maksudmu tentang cleric itu, yang dari Ibunda Bumi?”

“Apa...?” Priestess terhenti dan mendapati dirinya menatap beberapa bocah yang, tampak seperti petualang baru, jika di lihat dari perlengkapan mereka yang masih bersih.

Satu tahun telah berlalu semenjak lapangan latihan di ujung kota telah selesai. Selama konstruksi berlangsung, Priestess beberapa kali membantu di sana sebelum bangunan itu benar-benar rampung dan berfungsi. Mayoritas dari instruktur di sana adalah petualang berpengalaman; Priestess hanyalah seorang asisten. Seseorang bahkan bisa mengatakan bahwa mengambil alih pimpinan dalam pertarungan dengan para goblin itu hanyalah yang gadis ini lakukan.

Kenangan itu sangat berharga bagi dirinya sekarang, karena itu adalah yang menjadi dasar promosi yang dia terima.

Tentunya, hatinya juga terasa nyeri ketika mengingat mereka yang telah mati.

Banyak pemula yang berhenti berpetualang ketika mereka menyadari betapa kejamnya perbedaan antara mimpi dan kenyataan.

Sekarang guru dari fasilitas ini kebanyakan petualang pensiun yang sudah tua, dan Priestess sudah bukan bagian dari ini lagi. Lagipula, terdapat banyak petualang baru yang memilih untuk tidak menerima latihan apapun.

Karena itu, dia tidak mempunyai alasan untuk berpikir bahwa ini ada sangkut paut dengan dirinya...

“Oh, yeah, aku tahu itu,” petualang lain menjawab dengan anggukan. Darah terkuras dari wajah Priestess ketika dia mendengar apa yang petualang itu katakan berikutnga. “Katanya ada gadis yang di serang goblin kan? Seorang petualang?”

Priestess tidak dapat bersuara. Dia meremas barang bawaannya; adalah yang hanya dia dapat lakukan untuk tidak menjatuhkan barang itu.

Apakah ada cleric lain dari kuil Ibunda Bumi yang gagal dalam perburuan goblin? Sejauh Priestess mengingat, tidak ada.

Apa yang harus ku lakukan? Dia mendapati dirinya berpikir. Apa yang harus ku lakukan? Hanya itu satu-satunya yang terlintas di benaknya. Lututnya sedikit bergetar.

“Bukan yang itu bego.” Bocah pertama menyeringai. Bocah itu tidak melihat ke arah Priestess. Priestess menyadari bahwa dia belum di sadari oleh mereka, namun dia tetap berdiri di tempat itu. “Maksudku cerita tentang adanya anak goblin di sana.”

“Huh? Anak goblin?”

“Eh, temannya temanku yang kasih tahu. Aku nggak begitu yakin apa yang dia maksud.”

“Tapi coba kamu pikir.” Bocah itu menyeringai lagi. “Wanita berkulit gelap itu?”

Apa? Pikir Priestess. Apa sih yang mereka bicarakan?

“Ugh, nggak mungkin. Maksudmu yang buat arak itu? Anjing, aku minum lagi araknya.”

“Yeah... Bikin perutmu mual kan?”

“Mereka goblin kan? Kalau kamu sampai kalah sama mereka berarti kamu asli sampah banget.”

“Mudah buat menang selama kamu nggak di kepung mereka. Pahlawan besar bakal ketawa—goblin!

“Kamu tahulah gimana—orang-orang yang terlibat masalah sama goblin bakal ketakutan kayak pecundang. Mereka kayak, Oh tidak! Goblin!

“Kalau mereka pikir goblin itu buruk, ku harap mereka nggak pernah ketemu naga. Mereka bakal langsung mati di tempat.”

Para bocah terkekeh-kekeh yang menggema di sekitar ruangan; Priestess berusaha menutup telinganya, kami bisa melawan naga kalau memang harus! Kalimat itu terngiang tiada henti di pikirannya.

*****

“...Konsentrasi,” Goblin Slayer berkata—hanya satu kata—seraya dia berjalan tanpa suara di atas jamur dedaunan.

Ucapan itu mengembalikan kesadaran Priestess. Dia menggeleng kepalanya. Entah mengapa High Elf Archer dan Dwarf Shaman terlihat lelah. Lizard Priest mengangkat bahu, membersihkan alang-alang dengan ekspresi yang terlihat kesal.

Pepohonan memblokir sinar matahari, kelembaban udarapun terperangkkap.

“A—aku tahu...!” Priestess menjawab, goyah dan bingung namun siaga dengan bau ini, yang berbeda dengan bau dari sarang goblin. Dia menggigit bibir dan menatap tanah; “Aku tahu, aku benar-benar tahu...”

Dia tampak seperti seorang anak kecil yang sudah di marahi orang tuanya. Dia meremas tongkat deriknya, memarahi dirinya sendiri, merasa dirinya menyedihkan.

Aku seharusnya...

Dia seharusnya mengatakan sesuatu. Mengapa dia tidak mengutarakannya? Mengapa dia membiarkan momen itu berlangsung begitu saja? Apakah takut atau sesuatu lainnya?

Mungkin hanya karena sekedar otaknya tidak mampu mengikuti emosinya. Bahkan sekarang, setelah berjam-jam berlalu, dia masih belum yakin.

Saat dan kalai kami pulang...

Dia mengulangi naka Ibunda Bumi pada dirinya sendiri, mencoba untuk mendapatkan ketenangan. Jika dia tidak dapat berkonstrasi, dia akan mati. Dia sangat memahami itu.

Dia sangatlah akrab dengan pemandangan mereka yang biasanya saling berdebat ringan satu sama lain, namun sekarang mereka tengah memfokuskan perhatian mereka untuk bersiap bertarung. Priestess akan mencoba meniru mereka. Dia akan mencoba menjadi mereka, pikirnya, seraya dia menarik napas dalam dan menghembuskannya. Tentu saja, ampas dari kegusaran itu masih menghantuinya, namun tidak ada perbedaan di antara mencoba atau tidak—

“Hei, kamu cium sesuatu?” High Elf Archer berbisik, hidungnya mengendus.

Party berhentu. Tidak lama kemudian, Priestess ikut berhenti juga, dan memperhatikan sekitar. Sebuah party dapat hidup atau mati tergantung dari indra pengintai mereka—dan tidaknada pengintai yang lebih baik di bandingkan dengan seorang elf.

Mereka mendengarkan dengan seksama, dan ketika mereka mendengar sesuatu di sekitar mereka, sebuah gemerisik sesuatu yang berat bergerak di balik dedauanan.

Mungkin Langit di atas sangat berawan dan abu-abu. Itulah yang Priestess lihat dengan mata batinnya seraya dia mengendus udara. Dedaunan busuk, bumi, kelembaban, semua bercampur menjadi rasa basi yang menempel di lidahnya.

Ini berbeda dari bau sebuah gua, tapi...

“Aku selalu berpikir kalau gundukan kuburan kayak ini pasti akan selalu bau.”  Dwarf Shaman berkata, namun dia tetap meraih tas katalisnya dan mengambil postur bertarung.

“Saya penasaran sudah berapa lama waktu berlalu semenjak tempat ini terlupakan.”

“Siapa yang tahu?” Dwarf Shaman membalas Lizard Priest dengan belaian jenggot putih dan menatap penuh pikiran ke langit. “Seratus atau seribu tahun. Tapi aku ragu kalau ini mencapai sejauh Jaman para Dewa. Dan aku nggak yakin teman datar kita di sana punya hidung yang mampet.”

“Mau lihat siapa yang mampet,” High Elf Archer menggerutu, telinganya menegang ke belajang, namun Dwarf Shaman menghiraukannya, dan berbisik, “Aku juga merasa kalau kuburan ini nggak normal.”

“Goblin?”

“Entahlah,” Dwarf Shaman berkata dan merinding. “Aku nggak heran sih kalau nanti ada wight yang muncul.”

“Wight,” Goblin Slayer mengulangi. “...Aku nggak tahu kata itu. Apa itu semacam monster?”

“Kamu nggak tahu kata lain selain goblin.” High Elf Archer mengernyit, menggapai tempat panahnya dan menarik panah bermata kuncup. Dia memasangnya dengan perlahan di busur seraya telinganya bergerak ke sini dan ke sana, mendengar seksama. “Wight itu sejenis roh—raja terkutuk atau jendral yang mengingkari kepercayaannya dengan penguada dan mereka nggak di ijinkan untuk istirahat.”

“Saya pribadi bukanlah seorang spesialis, namun...” Lizard Priest menjulurkan leher panjangnya, tangannya memainkan taring naga yang ada di telapaknya.

Sebuah kabut tipis menyebar, namun mata lizardman meiliknya sama sekali tidak terpengaruh. Party ini memiliki beragam macam ras, termasuk seorang elf, dwarf, dan lizardman, oleh karena itu mereka cukup dapat mengatasi permasalahan pengelihatan yang buruk. Walaupun adalah misteri bagaimana Priestess dan yang lainnya dapat melihat di tempat yang begitu minim cahaya.

“...Saya menduga akan adanya lebih banyak roh di banding goblin di tanah makam tua ini,” Lizard Priest menyimpulkan.

“Apa goblin akan tinggal di tempat yang pernah di tinggali orang seperti itu...?” Suara Goblin Slayer terdengar pelan dari dalam helm bajanya. Adalah jelas dia tidak menyukai situasi ini. Dia menendang tanah dengan ujung sepatunya, mencari jejak. Tanah di sini sangatlah lembek, dan tapak sepatunya penuh dengan lumpur. “Aku nggak suka ini.”

Priestess menelan liur dan mendekap tongkatnya. Dia merasakan rasa menggelitik di lehernya, bulu kuduknya berdiri. Adalah perasaan yang sangat tidak nyaman. Dia selalu merasa seperti ini ketika sesuatu yang buruk akan terjadi. Oleh karena itu dia memperhatikan dengan seksama pada kuburan dan segalanya di sekitar mereka,  memfokuskan matanya pada bayangan yang melayang di balik kabut.

Pilar bebatuan yang di tumpuk ke atas. Bekas gundukan kuburan tanah bumi. Apakah dia melihat sesuatu yang bergerak di antara itu?

Tidaklah adil, mungkin itulah apasan mengapa dia menyadarinya. Namun dialah yang menyadari tanda itu.

Zzf. Hampir tanpa suara, dengan sendirinya, beberaps tanah berlumut bergetar, dan itulah yang di sadari Priestess.

“Oh...!” dia berteriak. “Tanah di sana...!”

Dalam sekejap, sebuah panah terbang. High Elf Archer menarik busur dan melepaskannya. Busur itu bernyanyi seperti senar kecapi, terlalu cepat untuk di lihat. Sebuah gundukan bumi tampak tidak terusik sama sekali dengan panah yang sekarang menancap di situ, semakin naik, seraya sesuatu dari dalam berusaha keluar.

Adalah sesosok humanoid. Makhluk itu memiliki mata yang mengerikan dan bau yang busuk.

Priestess hanya dapat membayangkan satu hal: seekor goblin. Goblin Slayer tampak berpikirnhal yang sama.

“Jadi itu goblin. Berapa banyak?!”

“Aku nggak yakin!” High Elf Archer mengepakkan telinga seraya dia menyiapkan panah lainnya. “Tapi mereka datang dari semua arah!”

Dan memang benar. Gundukan tanah di sekitar mereka mulai bergetar dan hancur, musuh bangkit dari tanah di setiap sisi. Priestess mendesah dan menutup mulut dengan tangan untuk menahan nau memualkan yang sekarang mengelilingi mereka.

“Hoh-hoh. Sergapan dari dalam bumi.” Lizard Priest memperhatikan sekitar, matanya tajam, namun rahangnya tersenyum. “Sebuah siasat yang cukup cerdik dari para iblis kecil ini.”

“Kita bisa saluti kereka nanti! Beradcutter berikan kita rencana!” Dwarf Shaman tengah merogoh ke dalam tas kagalisnya.

Goblin Slayer, perisai dan pedangnya bersiap, menatap sekitaran pada musuh yang mendekat. Namun, bisa di bilang, helm pria itu membuat sulit untuk mengetahui ke arah mana pria itu menatap. Priestess terkesiap ketika dia merasakan pria itu melirik mengarahnya. 

“Kita bentuk lingkarang, mengelilingimu.” Dia berkata pelan. “Bersiaplah.”

“Ba-baik pak!”

Para petualang beraksi dalam sekejap. Pada momen seperti ini, tindakan sekarang jauh lebih baik di bandingkan ide bagus nanti.

Mereka mengelilingi Priestess, siap dengan pedang, kapak, dan cakar. High Elf Archer berada di depannya, dengan Goblin Slayer di kiri, Lizard Priest di kanan, dan Dwarf Shaman di belakang. Di tengah semua itu, Priestess menggigit bibirnya dan memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Tentunya, dia tidak melihat pada musuh, yang di mana tidak dapat dia lihat di balik kabut, melainkan melihat kepada temannya, tentang bagaimana keadaan mereka. Tugas Priestess adalah untuk selalu memberi tahu mereka semua tentang adanya informasi baru terhadap situasi yang terjadi.

Tugas ini adalah nomer dua terpentinh setelah pemberian keajaiban, tanggung jawab dan kegundahan sangat membebani Priestess.

“Gerakan mereka lambat, ya...?” dianbertanya.

“Nggak.” High Elf Archer membalas, busurnya berdecit seraya dia memperhatikan bayangan yang berkelip di dalam kabut.

Slick, flick. Sosok itu semakin mendekat, langkah demi langkah, dan Priestess merasakan tulang belakangnya merinding.

“Mereka nggak tumbang bahkan di saat aku menembak mereka. Tapi aku nggak ada dengar adanya armor... Rasanya ada yang janggal dengan ini.”

“Bagaimana menurutmu?” Goblin Slayer mempertimbangkan pengamatan High Elf Archer dan berbicara pelan kepada Lizard Priest.

Warrior itu bergumam dan menjilat hidung dengan lidahnya, menarik napas dalam. “Berbicara murni dari sudut pandang pengalaman pribadi, saya enggan untuk mengambil menyerahkan inisiatif pada mereka dalam situasi ini.”

“Aku setuju,” Goblin Slayer berkata. “Tetap dalam formasi. Kita akan menerobos jalan kita.”

“Baik!”

Melupakan firasat sebelumnya, Priestess mengangguk. Pada momen ini dan hanya momen ini, dia dapat merasa melupakan kegelisahannya dari Guild.

Walaupun dia enggan untuk berterima kasih pada goblin atas bantuan mereka.

*****

“Apa ini?”

Seekor goblin terjatuh ke belakang, cipratan darah muncrat dari tenggorokan di mana pedang yang lempar telah menusuknya tanpa ampun. Bahkan dari kelambu kabut, aroma busuk akan daging dan darah terus menusuk hidung mereka.

Goblin itu jatuh dengan gedebuk, namun kemudian tanpa suara tubuhnya mengambang, semakin melayang perlahan di dalam kabut.

“Mereka bukan goblin,” Goblin Slayer meludah frustrasi.

“Mereka ini sudah pasti undead...!” High Elf Archer berteriak, membanjiri mereka dengannhujan panah. Panah bermata kuncup itu terbang bagaikan halilintar pada sudut yang mustahil bagi manusia, menghilang ke dalam kabut. Bunyi tok, tok akan panah yang mengikuti yang menusuk daging adalah bukti bahwa bidikannya tepat. Namun sosok yang menggeliat di dalam kabut terus maju dengan tenang mengarah petualang walaupun dengan panah yang menghujani mereka.

High Elf Archer menjentikkan lidahnya kesal. Tampaknya mereka tidak dapat memberikan kerusakan. “Oh, yang—! Kenapa sih selalu seperti ini akhir-akhir ini? Inilah kenapa aku benci sama apapun yang nggak hidup...!”

“Marimkita mulai menghancurkan mereka!” Lizard Priest mengibaskan ekor panjangnya, memutari di sekeliling pohon membusuk dan menghantam mereka dengan itu. Terdengar suara beberapa buah yang hancur, namun para goblin hanya dapat merintih di tanah dan tidak dapat bangkit kembali.

Lizard Priest membersihkan kotoran dari ekor dan meraung kepada temannya: “Daging dan tulang tidaklah lebih dari komplikasi; hancurkan dan mereka tidak akan dapat bergerak kembali!”

“Ku kira kamu bukan pakar dalam mayat...!”

“Sejauh pengetahuan saya, mayat hanya melakukan satu hal—kembali ke bumi. Apakah mungkin mereka ini semacam slime?”

Dwarf Shaman membalas jawaban santai dari Lizard Priest dengan kalimatnya sendiri dan mengangkat kapaknya. Dia hanya mempunyai satu tangan untuk di gunakan, di karenakan tangan lainnya berada di dalam tasnya.

Mata kapak itu menggigit tembus tubuh goblin seperti ranting pohon, namun hal itu hampir tidak berpengaruh untuk memperlambat mayat yang tidak kenal takut.

“Kalau mereka sampai mendekat, kita bakal habis,” Dwarf Shaman berkata, memaksa kaki pendeknya untuk terus mengikut party mereka. “Kita harus cari necromancernya, Beardcutter, dan habisi dia!”

“Necromancer,” Goblin Slayer mengulangi pelan. “Dia yang mengendalikan goblin?”

“Gimana kita bisa tahu itu kalau kamu nggak tahu, Orcbolg?!” High Elf Archer berteriak. Dia sudah mengembalikan busur besarnya ke punggung dan memegang belati obsidian dengan genggaman terbalik. Dia mengayunkannya dengan cepat, seolah ingin mengatakan, Coba saja kalian mendekat, aku potong kalian, namun para goblin tidak bergeming. Dari kiri dan kanan, mereka muncul dari tanah, semakin mendekat.

Telinga High Elf Archer menegang marah ke belakang, mengumpat dalam bahasa elf. Mayat para goblin sangatlah banyak; satu-satunya yang membuat party mereka masih bertahan adalah karena para mayat itu lambat. Membentuk lingkaran di tengah gerombolan itu, party mereka berlanjut bergerak, tidak yakin kemana mereka pergi namun tetap mempertahankan formasi mereka.

Akan tetapi mereka, secara perlahan mulai terpojok. Hanya menunggu masalah waktu hingga formasi mereka pecah.

“Uh, um...!” Dari tempatnya di tengah, Priestess berusaha melihat ke dalam kabut; dia menyentuh bibir dengan jarinya seraya pikiran melintas di benaknya. Necromancer: baik atau jahat, adalah seseorang yang menggunakan sihir untuk mengendalikan mayat, atau itulah yang dia dengar. Itu artinya ini adalah hasil dari mantra itu. Mantra terkutuk. Dan itu artinya...

“Ini pasti berasal dari suatu tempat!” pengetahuannya tentang hal ini sangatlah samar, namun Priestess mengikuti kilasan pengetahuan ini. “Aku nggak tahu apa ini hanya trik goblin atau memang benar pekerjaan necromancer, tapi...”

“Maka kemungkinan besar ini berasal dari puncak bukit makam.”  Lizard Priest mengoyak mayat terdekat dengan cakar dan mencabiknya. “Jika pelakunya adalah saya, di sanalah tempat saya akan memberikan berkah saya.”

Goblin Slayer mengambil pedang di kaki, helmnya berputar kensini dan ke sana. Kemungkinan senjata ini sudah terkubur bersaja dengan seorang prajurit di makam ini. Pedang ini tua, berkarat, dan dia tidak menyukai panjangnya. Dia mencoba mengayunkannya satu sampai dua kali untuk merasakannya, kemudian menoleh kepada Priestess. “Apa kamu bisa menghentikannya kalau kita pergi ke sumbernya?”

“Iya, pak...!” Priestess mengangguk sigap, meremas tongkatnya.

“Kalau begitu,” Goblin Slayer berkata. “Kita akan pergi ke puncak bukit makam ini.”

Para petualang saling mengangguk dan mulai bergerak serentak. Mereka mulai melangkah menuju tanjakan kecil, menerobos langkah mereka melalui goblin yang datang dari setiap arah. Terdapat beberapa party yang dapat menerobos gerombolan ini seperti party Goblin Slayer. Mayat goblin mungkin berdiri menghalangi mereka, namun mereka hampir tidak memperlambat party ini sama sekali.

“Cukup potong kaki mereka—kan...?” High Elf Archer bergumam seraya dia berlari ke depan. Dia menarik oanah bermata kuncup yang hampir tidak membantu sama sekali sebelumnya. Seraya dia berlari, dia mengetukkan ujung panah ke belatinya, menyebabkan panah itu terbelah seperti bunga mekar.

“High Elf Archer menggigit belatinya, dan dengan keanggunan mutlak bagaikan ombsk yang mengalir, dia mengambil busur besar di punggung dan menembakkan panahnya. Senar panah berdentang dengan suara bagaikan instrumen musik, dan panah itu merayap di tanah sebelum akhirnya memantul ke atas.

Panah itu membidik ke arah yang dintuju: tepat di selakangan goblin...

“—?!”

Panah itu berputar di kala terkena benturan, menghancurkan kski dengan suara yang mengerikan. Jika mayat dapat terkejut, maka ini akan menjadi shok baginya.

Para petualang terus melangkah dan melewati tubuh itu yang terbaring, semakin maju ke depan.

“Wuuu!” High Elf Archer berteriak, belati masih di gigi dan telinganya naik turun seraya dia menyiapkan tembakan berikutnya.

“Mengerikan” adalah apa yang di ucapkan Dwarf Shaman. “Inilah kenapa mereka memperingatimu untuk jangan pernah berperang dengan elf...”

Dwarf Shaman bisa saja mengeluh semaunya, namun dia juga tidaklah berdiam diri saja. Dengan bagian belakang formasi yang di percayakan kepadanya, Dwarf Shaman mengambil botol air dari tas katalisnya. Dia membuka tutup botol itu dan menuangkannya ke tanah—dia sedang melakukan persiapannya.

“Gnome! Undine! Buatkanlah aku bantalan terbaik yang pernah ada!”

Bahkan makhluk yang tidak mengenal kematian tetap harus berdiri di atas tanah.

Seperti yang di ucapkan Lizard Priest, tulang  haanyalah sebuah rangka untuk makhluk ini, sebuah sesuatu untuk menggantukan daging. Ketika tanah menggelembung menjadi lumpur, lumpur itu melahap kaki mereka dan membuat mereka terjatuh. Setelah lumpur itu menangkap pijakam mereka, setelah mereka terjatuh dengan cipratan besar dari bumi basah, mereka di tinggalkan untuk tenggelam.

Mereka mengayunkan lengan mereka, seperti anak kecil yang panik. Namun mereka terus tenggelam. Seraya para mayat goblin berlanjut maju mendekat, bernafsu aroma makhluk hidup, mereka-pun ikut tertangkap dalam lumpur itu satu persatu. Sudah sangatlah buruk jika mereka mempunyai kecerdasan seperti anak kecil, namun sekarang para goblinpun kehilangan kecerdasan itu.

“Beardcutter! Aku bisa tangani bagian belakang; maju saja!”

“Baiklah.” Hanya yang di ucapkan Goblin Slayer sebelum dia berlari ke barisan paling depan. Dia melempar pedangnya mengarah mayat goblin yang terseok di depannya, pedang itu menancap dalam ke kepala makhlukmitu. Dia mengikutinya dengan menghantamkan perisainya ke tenggorokan goblin, menekannya kuat hingga menghancurkan saraf tulang belakangnya.

“Mereka banyak seperti biasanya...” Dia menjentikkam lidah seraya menginjak lengan yang masih kejang-kejanh, menghancurkan daging membusuk itu. “Goblin itu menyusahkan, bahkan setelah mereka mati.”

“Pak Goblin Slayer!”

Teriakan Priestess di jawab cepat dengan ayunan sebuah pentungan. Senjata itu membelah kepala goblin yang sedang berusaha muncul dari dalam tanah, mencoba meraih kaki Goblin Slayer. Dia menendang wajah makhluk yang hancur itu, kemudian memperhatikan sekitar tanpa bersuara.

Jumlah musuh memang benar banyak. Begitu banyak. Dia bshkan dapat melihat bayangan yang lebih banyak lagi bergerak di kabut depan. Mereka hampir terlihat seperti satu makhluk besar.

Tapi kurasa itu hampir nggak ada bedanya dengan yang biasa.

Fakta sederhana itu tidak berubah.

“..........!”

Di belakangnya, Priestess  memegang tongkat derik dengan kedua tangan, mengangguk dengan ekspresi penuh tekad.

Nggak masalah kalau begitu, setelah mencapai keputusan ini, party mereka berlanjut menembus kabut dengan Goblin Slayer yang berada di depan. Semakin ke atas dan ke atas semakin mendekati puncak bukit.

Akhirnya, semua menjadi suara tidak mengenakkan akan daging di hancurkan dan di potong, napas terengah, dan decitan lumpur. Sesekali teriakan bergema di sekitar daerah mereka, teriakan itu adalah, seruan perang dari Lizard Priest. Para mayat tak bersuara, berbeda dengan lawan mereka. Mereka hanya mengerang pelan yang akan segera sirna terbawa angin.

Priestess berkedip seraya keringat menetesi dahi dan masuk ke matanya. Kabut ini tampak membuat tubuhnya dingin dan basah, seperti hujan, seragamnya lengket di kulitnya. Dia menarik roknya ke atas, mencoba untuk mengikuti pria, namun tenggorokannya penuh dengan kecemasan.

Hasil dari pertempuran, kesempatan untuk mereka semua kembali pulang hidup-hidup, bergantung di pundak kurus Priestess. Jika dianya untuk Dispel, bersama dengan Holy Light, tidak mencapai Ibunda Bumi, dia tidak ingin membayangkan apa yang terjadi pada mereka.

Ketika kekuatan mereka habis, mereka akan di kerubungi oleh banyaknya musuh, semua bagian tubuh di hancurkan, perut mereka terburai, kehormatan mereka di nodai, sebelum akhirnya mereka di makan.

Tiba-tiba, dia merasa dia masih berada di gua itu. Mungkin dia ada di dalam lubang goblin menjijikkan itu sekarang, berlumur timbunan kotoran, menunggu untuk mati.

Mungkin dia hanya hidup dalam mimpi bodoh seraya memandang mata hampa gerombolan goblin. Apa yang dapat di lakukan gadis kecil yang hanya mampu bergetar ketakutan, menangis dan memanggil nama tuhannya? Doa itu tidak akan pernah mencapai surga, dan temannya akan di hancurkan oleh gerombolan monster, di bunuh, dan kemudian begitu pula nasibnya...

“Hampir sampai.”

Kalimat itu singkat, pelan, mekanikal. Dia tidak berkata terus bertarung atau semua akan baik-baik saja atau kalimat penyemengat lainnya.

Priestess merasakan ruang di sekitarnya semakin terang, seraya dia menjawab “Baik” dengan suara kecil.

Ini berbeda.

Dia menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin udara. Sudah cukup melamunnya. Adalah Ibunda Bumi yang memberikan keajaibannya; Priestess hanyalah perpanjangan dari beliau. Semua anggota partynya sedang melakukan yang terbaik, begitu juga dirinya, akan berdoa dengan segenap tenaga. Dia tidak boleh berpandangan sempit di sini.

Pikiran itu membuat darah yang sepertinya terhambat di nadi mulai mengalir kembali. Mungkin itulah mengapa. Priestess berkedip. Dia mendengar sesuatu di atas bukit berkabut, sebuah suara aneh yang bukan berasal dari mayat...

“...?! Heek?!”

Dalam sekejap, topi Priestess terhempas, berdansa dia udara bersama dengan beberapa helai rambut emas dari kepalanya. Dia mendengarkan firasatnya, menjatuhkan dirinya ke depan masuk ke lumpur: adalah pilihan yang benar.

Sesuatu terbang bersiul di atas kepala, sesuatu tengah mengincar Priestess. Kemudian itu terjadi lagi.

“Oh, ahh...!” dia mengeluarkan jeritan seraya dia terbaring di sana, pakaiannya penuh lumpur. Sepatunya terkoyak seraya dia terjatuh, dan darah mengalir di pahanya. Jika di perhatikan lebih dekat menunjukkan adanya robekan di seragamnya; serangan itu benar-benar di tujukan untuk membunuh dirinya.

Jika bukan karena baju besinya, yang berkelip redup dari pemakaian sehari-hari, serangannitu mungkin akan menusuk jantungnya.

Kemudian datang serangan ketiga...

“Di atas kita!” Goblin Slayer berkata. “Itu bukan goblin.”

Terdengar suara daging dan tulang yang terkoyak, dan sebuah lengan membusuk terlontar dan tenggelam ke dalam lumpur. Goblin Slayer melempar lengan seekor goblin, menarik pedang berkarat dari sabuknya. Dia memegang senjatanya secara terbalik, dengan cepat berjongkok di samping Priestess.

“Kamu bisa berdiri?”

“Aku...baik-baik...saja...!” Napas berat dan bertumpu pada tongkat, Priestess berhasil berdiri dengan sempoyongan, hanya untuk terjatuh lagi di karenakan shok dari rasa sakit. Bukanlah karena rasa sakit melainkan rasa malu, perasaan akan betapa menyedihkannya dirinya, pikiran itu membuat matanya berair. Dia tidak akan pernah mencapai puncak bukit—

“Apa...?!”

Sebelum pikirannya selesai, dia merasakan tubuhnya melayang. Hanya butuh waktu sekejap sebelum dia menyadari bahwa dia sedang berada di atas pundak Goblin Slayer.

“Ayo.”

“Oh! I-iya pak...!” Dia menjulurkan tangannya sebisa mungkin untuk meraih topinya, namun pada saat itu terdapat sebuah hembusan angin lainnya. Percikan terrlontar dari pedang yang di angkat Goblin Slayer ke atas, bersama dengan noda karat yang mendarat di wajah Priestess.

“Apa kamu bisa jaga dia?” Goblin Slayer bertanya pelan, tidak terpengaruh dengan gumaman malunPriestess.

Jawaban pertanyaan itu datang dari temannya.

“Pasti!” High Elf Archer menjawab segera; dia berlari ke depan sembari menembakkan panah ke dalam kabut. Telinga elf adalah yang paling sensitif di antara mereka yang dapat berbahasa, dan dia dapat dengan mudah menembak musuh yang tidak dapat dia lihat. “Aku tadi cuma bisa lihat sekilas, tapi tadi ada makhluk humanoid dengan sayap—Hidup, kayaknya! Nggak kelihatan kayak batu!”

“Ah,” Goblin Slayer menjawab. “Kalau begitu, bukan gargoyle.”

Telinga High Elf Archer berkedut, dan Priestess melupakan rasa sakitnha untuk sesaat dan berkedip. “Kamu...tahu tentang mereka...?”

“Iya aku tahu.”

“Tuhan—itu semacam demon!” Dwarf Shaman memaksa kaki pendeknya untuk terus berlari seraya kapaknya terus mencabik, menghancurkan mayat goblin. Dia memegang senjatanya bersiap untuk melindungi Goblin Slayer dan Priestess, memindai langit. Dia mengernyit dinsaat dia jendengsr suara angin yang berhembus di sekitar mereka. Mereka mempunyai banyak undead goblin untuk di khawatirkan. Ini bukanlah pengembangan positif.

“Telinga Panjang, Kayaknya aku pernah lihat yang seperti ini sebelumnya. Kamu tahulah maksudku.”

“Yah, ada yang besar dan yang kecil.”

“Kurasa sebutan mereka itu ace dan joker...!” Dan tanpa sedikit memberikan isyarat tubuh tentang apa yang akan di lakukannya, High Elf Archer menembakkan panah ke dalam kegelapan. Mata kuncup yang bersemi terbang melesat menghilang dari pandangan, di sambut dengan kepakan sepasang sayap besar. Demon itu telah mengganti jalurnya, berharap untuk menghidari proyektil yang datang. Makhluk itu panik.

Namun panah itu tidaklah meleset. Tidak ada seorangpun elf yang mensia-siakan tembakannya. Dengan kata lain, dia telah dengan sengaja untuk meleset.

“Sekarang!!”

“Rrahh!! Velociraptor, saksikan lompatan hamba!!” Teriakan bergema di dalam kabut seraya bayangan hitam besar mengangkat ekornya. Ini adalah sergapan ala lizardman.

“AAAARERRRERERERREM?!” Demon, yang terus diam untuk menjaga elemen kejutan, menjerit karena hantaman itu.

Melakukan hal yang sama seperti sebelumnya adalah membuktikan bahwa tidak ada perlunya mengganti taktik bertarung. Cakar dan taring Lizard Priest sekali lagi menggenggam demon, agar dia dapat bergantung di punggung makhluk itu.

“AREEEM!! AREEEMEER!!” Demon itu meronta liar, mengumpat makhluk bersisik yang ada di punggunhnya seraya dia mengepak sayap dan terbang semakin tinggi. Rencana makhluk itu telah hancur sekarang. Rencana awal makhluk ini adalah untuk menghancurkan gadis kecil menyedihkan itu.

Itulah tujuannya, peraturan mutlak dari pertarungan demon: mulai dari membunuh cleric. Hancurkan mereka sampai mereka terlihat babak belur. Namun sekarang dirinya berada di ujung tanduk. Dia masih akan membunuh mereka semua, namun dia harus memulai dengan lizard ini.

Semua makhluk akan msti jiks menghantam tanah dengan kerasl dia akan mengubur petarung bodoh ini!

“ARRERMERE!!”

“Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Makhluk dungu, yang sama sekali tidak dapat menemukan cabang pohon evolusi!”

Bahkan seraya demon mencoba mendapatkan ketinggian, dia merasakan cakar, kedua tangan dan kaki, merobek punggung dan sayapnya; makhluk ini tidak mau lepas. Buruknyaa lagi, cakar itu mencabik kulitnya, mencipratkan darah demon ke segala arah. Tidak peduli apapun tantangannya, seorang lizardman tidak akan melepaskan mangsa yang di burunya.

Yang kuat akan bertahan, dan untuk menjadi kuat dan untuk bertahan dari segi apapun adalah keadilan dan kebenaran dari para lizardmen. Lizard Priest memegang sayap seperti kelelawar, sebuah senyum menyeringai pada wajahnya. “Sayap seperti ini adalah hujatan bagi pterodactyl! Saya akan memusnahkannya!!”

Dan kemudian dengan raungan, taringnya menggigit tenggorokan demon.

“ARRRRARARRRRRMMM?!?!”

Teriakan itu tidak mempunyai arti apapun lagi sekarang. Cakar lizardman merobek sayap demon tanpa ampun, mematahkan tulang, meremasnya. Dan akhirnya, dengan kekuatan besar Lizard Priest mencabut sayap itu, melemparnya menjauh seperti sampah.

“AARAMM?! ARARAMMMMMREERMMMM?!”

Yang tersisa hanyalah terjatuh.

Tidaknp ada seorangpun yang dapat mengetahui pikiran demon itu seraya dia berputar menuju tanah. Darah dan teriakan mengikuti di belakangnya seperti ekor yang panjang, seperti komet yang menghantam bumi. Cipratan lumpur terlontar ke udara, menyebabkan Dwarf Shaman—setengah basah dengan lumpur—untuk bergumam, “Itu pemakaman yang lebih baik dari yang seharusnya dia patut terima.”

“Hei, kamu masih hidup?!” High Elf Archer berteriak, namun Lizard Priest duduk dan menjawab tenang. “Oh itu bukanlah masalah.” Dia meludahkan darah menjijikkan demon dari mulutnya, kemudian menggetarkan tubuhnya untuk membersihkan lumpur yang menempel. Dengan kaki besarnya, dia menginjak demon yang masih terbaring kejang-kejang, menjulurkan lehernya untuk memperhatikan makhluk itu. “Terus maju; tidak usah risaukan makhluk ini!”

“Ba-baik...!- Priestess mengangguk, melawan rasa sakit, dan Goblin Slayer tanpa suara berlanjut berjalan. Perhatikan kemana kamu pergi. Memperhatikan dengan sangat seksama pada sisi kiringa, di mana Priestess berada, dia menggerakkan pedang berkaratnya dengan lincah, memotong kaki goblin.

Pedangnya patah menjadi dua seraya dia membasmi kesekian goblin, namun sekarang pedang ini menjadi panjang yang sempurna. Ya, seperti inilah panjang pedang seharusnya. Goblin Slayer mengayunkan pedangnya dan kemudian melemparkannya ke depan. Pedang itu terbang tegak lurus ke depan, tidak terputar-putar, hingga menancap di tenggorokan goblin.

“Yikes!” Priestess jenjerit seraya Goblin Slayer mengangkat dirinya, melompst ke depan dan menendang goblin hingga terjatuh dan menginjaknya hingga hancur.

Terdapat aroma akan darah dan lumpur bercampur dengan sroma busuk yang berasal dari mayat dan tentunya jeroan tubuh yang terburai. Semuanya seperti yang seharusnya. Perbedaannya adalah tidak adanya jeritan; goblinnyang seharusnya mati hanya menggeliat di bawah sepatunya.

Para goblin tidak bersenjata; mereka hanya berjalan sempoyongan ke depan dengan mata hampa dan tangan menjulur ke depan.

“Aku nggak suka ini.”

Mereka bukanlah goblin.

Goblin Slayer melihat pedangnya, yang sekarang hanya tersisa gagangnya. Dia tidak mempunhai persediaan senjata. Dia menurunkan Priestess dengan pelan, mengangkat perisai di lengan kirinya.

“Apa kamu bisa!”

“Aku...” Priestess menyentuh tanah dengan kakinya dan mengerang kesakitan. “Aku bisa...!”

“Bagus.”

Priestess mengangguk, menahan air mata yang menggenang di kedua matanya, dan mulai berjalan, menyeret sebelah kaki. Mereka sudah begitu dekat dengan puncak. Jarak pendek itu terasa begitu jauh.

Di penuhi dengan semacam rasa sesal  sesaat, dia menoleh ke belakang, dan di sanalah sebuah perisai bundar milik pria itu mengayun di belakangnya. Perisai itu kecil, namun ujung yang di asah itu dapat memotong bagian tubuh membusuk bagaikan golok memotong ranting. Di balik perisai itu, panah High Elf Archer, kapak Dwarf Shaman, dan cakar, taring, serta ekor Lizard Priest, semuanya menghasilkan kehancuran dahsyat.

Entah mengapa kabut terlihat tipis; Priestess dapat melihat keseluruhan pertarungan, yang seharusnya tersembunyi di karenakan kabut.

Tiba-tiba, telinga High Elf Archer berkedut, dia mendengak dan melambai dengan senyuman. Priestess mengangguk. Kakinya begitu sakit seolah jantung dia berada di kaki itu, namun dia menekan lukanya, menarik napas, dan memaksa dirinya untuk menggapai tongkatnya; darah dari lukanya—darah dirinya—menetes menuruni tongkat.

Dia meremas tongkat.

Demon wabah yang dulu pernah memporakporandakan di keseluruhan benua, tidak menggunakan suatu kutukan sederhana untuk mengendalikan para mayat, atau konon seperti itu katanya. Jika hal yang sama terjadi sekarang—jika. Itulah rasa takut yang mengisi dadanya, namun dia menarik napas dan menghelanya.

Yang tersisa hanyalah doa. Dia tidak akan melakukan apapun. Dia hanya sekedar penyalur.

Jadi aku nggak perlu mencemaskan apapun.

Dia memberikan tatapan terakhir pada helm baja itu dan kemudian memejamkan kedua mata dan berdoa. Adalah hubungan langsung dengan kesadarannya pada surga di atas. Lembut, jemari gemulai membelai hati muridnya yang paling taat ini.

“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan...!!”

Terdapat kilauan, sebuah cahaya penuh kasih, yang menyirnakan kabut terkutuk dalam kegelapan putih.

*****

“Oh, wow...”

Seraya kabut menghilang seolah tersapu dengan sapu, High Elf Archer adalah yang pertama berbicara. Dia berdiri di atas bukit kuburan, menendang bumi berlumut, lembab yang ada di hadapannya, dan memperhatikan sekitar.

Langit berwarna biru, udara terasa jernih, dan angin membelai menggelitik telinganya. Terdapat sensasi damai di sini, seolah ini menjadi tempat yang berbeda dari bukit berkabut sebelumnya.

Baris demi baris sebuah pillar bumi berdiri di sekitar mereka. High Elf Archer mengetuk salah satu pillar di kanan dengan busurnya, dan pillar itu remuk hancur menjadi timbunan tanah halus. Inilah apa yang terjadi dengan monster yang mengincar dan mengancam mereka sampai keajaiban itu terjadi.

High ElF Archer telah menyaksikan keajaiban surgawi ini dengan kedua matanya selama lebih dari dua tahun sekarang, namun dia masih terpukau dengan apa yang dapat mereka raih.

“Mereka semua berubah jadi...debu...”

“Dari abu menjadi abu dan debu menjadi debu, konon mereka berkata.” Lizard Priest, masih menyeret tubuh besarnya, terdengar cukup santai. Adalah sudah seharusnya tubuhnya menjadi lamban; dia mengeluarkan sesuatu dari tasnya untuk di gunakan sebagai pencuci mulut—sebongkah keju. Akan High Elf Archer ragu, seberapa enaknya keju itu ketika sang lizard itu sendiri belum mencuci mulutnya. “Saya tidak mengetahui tentang iblis akan alam lain, namun selama para goblin mati, maka atas nsms bumi dan surga, semua baik-baik saja.”

“Hei, benar juga, lukanya...!”

Tentu saja, High Elf Archer, tidak menyinggung soal Lizard Priest. Pria itu adalah yang paling kekar di antara mereka semua. Kepang dari rambutnya terbang seraya dia bergegas ke tepi bukit, memberikan Dwarf Shaman sebuah pukulan kepala selagi dia berlari, yang mengundang sebuah “Mm!” serta tatapan melotot.

“Di mana dia?!”

“Di atas sana,” Goblin Slayer berkata seraya dia berlalu. “Pergi dan obati dia.” Dia sedang merobohkan tumpukkan bumi yang sebelumnya adalah goblin untuk memastikan bahwa mereka benar-benar berhenti.

“Siap,” High Elf Archer berkata dan mempercepat langkahnya, mencapai puncak bukit dalam sekejap. “Kamu nggak apa-apa?!”

“Maafkan aku...karena terlalu lama...” Di sanalah Prieetess, terbaring di tanah, wajahnya pucat, namun dengan senyum kemenangan. Terdapat robekan besar di seragam clericnya, namun tidak ada tanda lain akan sesuatu yang menembus baju besinya.

Apa yang menarik perhatian High Elf Archer adalah kaki Priestess, yang terpapar di depannya. Darah merembes melalui perban yang melilit di sekitar luka. Sang elf melipat tangannya muram.

“Di saat seperti ini, ku harap aku bisa menggunskan keajaiban,” dia berkata.

“Jangan, aku masih bisa...”

“...Itu kalau si dia , dan aku nggaknsuka.”

Priestess hanya dapat tersenyum perih pada jentikkan lidah temannya, seraya dia bertumpu pada tongkatnya, mencoba berdiri. Namun tenaganya tidak bisa masuk ke dalam kakinya; dia bergetar seperti anak kecil yang mencoba berjalan dan tidak yakin dia dapat berdiri.

Astaga... High ElfmArcher menghela namun tersenyum seolah mengatakan, Apa boleh buat. “Sini, pegangan.”

“Te-terima kasih...”

“Sudah pegang saja,” High Elf Archer memerintah, menolak permohonan maaf Priestess, dan kemudian dia membiarkan gadis itu bersandar padanya. Ukuran tubuh High Elf Archer tidaklah jauh berbeda dengan Priestess, namun para elf memiliki kemampuan fisik yang lebih hebat dari manusia.

“Aku akui sih, aku kagum,” High Elf Archer berkata, mengatur bentuk tubuhnya untuk menyokong gadis itu. “Menghabisi semua goblin itu dalam satu serangan.”

“Aku cuma berasumsi kalau undead itu rentan dengan apapun yang melenyapkan kutukan... Aku senang itu berhasil.” Priestess menyentuh dadanya lega, namun sementara itu, dia belepotan oleh lumpur dari kepala hingga kaki. Topinya, rambut emas cantiknya, seragam putih dan sepatu, semuanya. Sebenarnya, itu adalah hal yang wajar, karena dia sempat terjatuh ke dalam lumpur.  

“Aduuuh...” Seraya High Elf Archer melihat gadis itu, yang tampak gembira, tidak terusik dengan noda yang mencoreng pipi hingga ke ujung hidungnya, semua rasa marah untuk diri gadis itu telah menghilang. Tapi aku harus memberikan teguran sama si Orcbolg.

Kedua matanya dengan cepat menemukan pria itu, yang sedang berdiskusi dengan Dwarf Shaman. Tentu saja, bahkan dalam jarak sejauh ini, telinganya dapat cukup mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Gimana menurutmu?”

“Aku nggak bisa nebak sama sekali apakah memang ada makhluk semacam goblin necromancer, tapi aku yakin kalau demon tadi itu bukan dalang semua ini.”

“Menurutmu begitu?” Goblin Slaye4 berkata, terdengar kaget. “Aku kira ini hal yang sering di lakukan para demon.”

“Mungkin kalau demon tingkat tinggi, seperti yang ada di dalam dungeon itu baru-baru ini—yang cuma berlengan saja...” Dwarf Shaman meneguk botol di pinggulnya, kemudian melihat langit dengan belaian jenggot berpikir. “Tapi menurutku yang ini itu cuma bawahan, bukan masternya. Walaupun aku akui dia cukup kuat untuk seekor lesser demon.”

“Dalam istilah goblin, seekor hob.”

“Yah kalau kamu memang bisa bandingkan goblin dan demon,” Dwarf Shaman berkata dengan keriput di dahi. “Makhluk ini lebih kuat dari hob manapun, tapi kalau membahas hirarki makhluk ini, aku rasa kamu ada benarnya.”

“Jadi ada makhluk lain yang memberikan dia instruksi...”

“Ya seperti waktu pertarungan sepuluh tahun yang lalu.”

Sepuluh tahun lalu—penjelajahan labirin terbesar di dunia, Dungeon of the Dead. Banyaknya kematian telah menciptakan tentara kematian, mengubah seluruh dunia menjadi gila. Ambisi akan Kekacauan—yang di mana enam petualang, telah berhasil hentikan di ruangan paling terdalam dari dungeon—masih segar dalam ingatan. Bahkan pembasmi goblin dan partynya bsru-baru ini menantang labirin terbengkalai itu sendiri.

“Satu-satunya yang aku pahami itu apa yang mereka inginkan. Kamu nggak bakal buat gerombolan zombie cuma buat menyerang desa.”

“Itu yang akan di lakukan goblin.”

“Jangan pikir kalau ini goblin.” Dwarf Shaman berkata. “Kurasa ada sumber ketidakmurnian di bawah bukit kuburan ini, atau mungkin ini pekerjaan dari semacam sekte jahat, atau...

Akan selalu ada kemungkinan. Mereka benar-benar kekurangan tenaga untuk mencari kebenaran.

“Menurutku lebih baik untuk membiarkan Guild tahu. Kemudian kita bisa mendapatkan petualang lain untuk menginvestigasi ini.”

“Ya,” Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Kalau ini bukan goblin, ini melebihi dari apa yang bisa aku tangani.”

Telinga High Elf Archer menegang di belakang kepalanya setelah mendengar bahwa pria itu masih berbicara tentang goblin. “Ayolah, Orcbolg! Kamu harus sedikit lebih baik dari ini dalam menjaga orang kita!”

Jawaban yang dia terima sangat acuh, seperti biasa. “Aku memang merasa tidak enak soal ini.”

High Elf Archer mengendus dan Priestess yang terlibat di antara mereka berdua, semakin mengecilkan dirinya. “Oh, nggak... A-aku baik-baik saja kok..”

“Ku ingatkan kamu ya kalau terkadang boleh-boleh  saja untuk sedikit marah sama pria itu.”

“Maaf,” Priestess berkata, semakin mengecilkan tubuhnya, dan High Elf Archer hanya menghela.

Dwarf Shaman, merasakan kesempatannya datang, menyela dengan mudah, “Jangan rewel, Datar. Kamu tahu Beardcutter itu peduli dengan caranya sendiri.”

“Yah, iya...sih.”

“Yang lebih penting lagi: apa ada sesuatu lain yang bergerak di sekitar sini?”

“Nggak, nggak ada. Nggak ada suara apapun selain kita.” High Elf Archer memberikan kepakan bangga telinganya.

“Baiklah,” Dwarf Shaman berkata, tepaksa untuk mengakui superioritas telinga sang elf.

Dengan ini pertarungan berakhir, untuk saat ini. Priestess akhirnya dapat bersantai, menundukkan kepalanya kepada Goblin Slayer, yang baru tiba di puncak bukit. “Maafkan aku, pak Goblin Slayer. Kalau saja aku melakukan pekerjaan dengan lebih baik...”

“...” Goblin Slayer tidak merespon segera, namun helmnya menoleh mengarah High Elf Archer. Terdengar geraman pelan, kemudian dia menoleh kembali mengarah Priestess. “...Nggak  ada yang perlu di maafkan.”

Itu saja? Tidak. Priestess memahaminya sekarang: Ini adalah keheningan pria itu dalam mencari kalimat berikutnya.

“Kamu berhasil dengan baik... Kamu sudah membantu kami semua.”

“Baik, pak!” Kalimat itulah yang hanya dia perlu dengar. Wajahnya riang, dan dia mengangguk semangat. Jika saja dia mempunyai ekor, maka ekor itu akan berkibas dengan kencang.

“Gimana Orcbolg? Semuanya nggak berjalan seperti rencana, dan nggak ada harta karun, tapi...” High Elf Archer memberikan “Heh-heh,” bangga, membentangkan tangannya lebar. “Kita melawan monster misterius, menerobos paksa jalan kita menembus gerombolan musuh, dan membasmi para undead! Apalagi ini namanya kalau bukan petualang.”

“Ya... Walaupun ini bukan pembasmian goblin.”

Hal itu justru semakin membuat High Elf Archer senang. “Iya syukurnya bukan!” Dia berkata.

Mungkin dia terlalu terbawa kegirangan itu untuk mendengarnya. Namun Priestess dapat mendengar bisikan pelan itu.

Goblin Slayer, tidak mencoba untuk menyembunyikan ketidaksenangan dalam suaranya, menggerutu pelan, “Kalau begitu...ada di mana goblinnya?”

*****

Hanya terdapat beberapa hal yang bergerak lebih cepat dari rumor: angin, cahaya. Mungkin kilat.

“Hei, kamu dengar nggak? Di Kuil Ibunda Bumi, ada—“

“Oh yeah, goblin—“

Bisikan itu yang mengiang di rumah makan, tampak begitu banyak. Namun itu adalah hal biasa di dalam bangunan minuman yang tergabung dalam Guild Petualang. Mereka yang berada di dalam sering mempercayai tanpa bukti, dan sering mengklaim mengetahui sesuatu yang tidak pernah mereka lihat ataupun dengar.

Bukanlah berarti mereka tong kosong nyaring bunyinya. Di keseluruhan dunia, tidak ada informasi yang benar-benar dapat kamu pastikan, bahkan termasuk informasi yang sudah kamu pastikan sendiri. Kamu bisa tertipu oleh ilusi; ketidakpedulianmu dapat menyebabkan dirimu untuk salah menilai apa yang berada tepat di depanmu; atau mungkin ada seseorang yang berperan menarik benang dari balik bayang-bayang.

Dalam underworld, konon katanya jika kamu hendak pergi makan malam dengan nenekmu sendiri, kamu harus memastikan adanya kotoran atau debu pada dirinya. Adalah benar—terlebih bagi kamu yang berhadapan dengan petualang pemula. Setidaknya, mereka mengetahui mitos dan kisah yang mereka dengar dari tetua desa atau orang tua mereka, kisah lawas yang semakin termakan waktu. Benar, mereka mereka mungkin pemberani, dan mereka mungkin mengetahui bagaimana cara mendapatkan kesempatan—itu karena, mereka sudah meninggalkan kota mereka untuk menjadi petualang. Namun sangat sedikit sekali dari pemuda-pemudi ini yang tahu cara mendengarkan rumor, apalagi memastikan kebenarannya.

Bisa di bilanh, itu adalah keistimewaan yang hanya di miliki mereka yang masih muda: keberanian untuk menghadapi dunia tanpa pengetahuan dan pengalaman, hanya bermodalkan keberanian. Tidaklah sulit untuk membedakan perbedaan antara kebodohan sederhana atau ketololan.

Oleh karena itu, rumor yang berterbangan di sekitar rumah makan mungkin hanyalah ocehan pemuda-pemudi bersemangat—namun tetap saja.

“Urrrgh...”

Itu bukanlah yang Priestess rasakan terhadap mereka, baru kembali dari mengalahkan mayat goblin dan demon yang memerintahkan mereka. Dia mengeluarkan suara di antara gerutu dan keluhan dari tempat di duduk, sebuah gelas kosong ada di tangan. Wajah dan kulitnya, yanh begitu pucat sebelumnya, sekarang cerah dan merah, dan antusiasmenya ketika minum membuat mata Dwarf Shaman semakin melebar.

Adalah hal yang tidak biasa bagi gadis itu—bahkan mungkin ini adalah yang pertama kali—namun dia benar-benar mengkhayati minumannya.

“A-aduh, apa kamu benar-benar harus bertingkah seperti itu?” High Elf Archer menggosok punggung Priestess menenangkan. “Rumor itu nggak bertahan lama. Semua orang bakal melupakannya sebentar lagi, percaya deh.”

“Rumor yang menghilang ‘sebentar lagi’ bagi para elf itu adalah legenda yang di ceritakan berabad-abad bagi kami semua,” kata Dwarf Shaman.

“Ya terus aku harus ngomong gimana?” High Elf Archer melotot balik, mengangkat alisnya dengan tatapan jangan-ikut-campur.

Akan tetapi Dwarf Shaman, menghiraukannya, dia menuangkan anggur dari kendi untuk dirinya sendiri dan meminumnya dengan sekali teguk. Alis High Elf Archer semakin meninggi ketika melihat tidak adanya kecemasan pria itu untuk Priestess.

“Astaga,” Dwarf Shaman berkata, seperti master yang berhadapan dengan muridnya yang dangkal. “Terkadang kamu butuh anggur buruk. Biarkan saja gadis itu minum sampai dia mau berhenti sendiri.”

“Kurasa kita masih perlu melakukan sesuatu...”

“Pasti, kalau dia sudah mau mabuk. Terkadang jauh lebih baik untuk memuntahkan semuanya.”

Lagipula gadis itu terlalu banyak yang di pendam dalam hatinya.

Mereka tidak mengetahui latar belakang masing-masing—apakah persahabatan membutuhkan adanya prolog?—namun sekarang sudah lebih dari dua tahun semenjak mereka bersama sebagai party. Dia hanya mengetahui bagaimana gadis ini di besarkan sebagai yatim piatu di Kuil Ibunda Bumi. Akan tetapi dia juga sangat mengerti bahwa gadis itu lebih mementingkan perasaan dan kebahagiaan orang lain daripada dirinya sendiri.

"Kalau aku, menurutku Beardcutter bisa lebih sedikit kasih kemudahan untuk dia.” Dwarf Shaman menepuk pundak kurus Priestess dengan tangannya kasarnya, perlahan, seraya gadis itu mengeluarkan desahan yang tidak di mengerti.

Terhibur melihat Priestess yang mengambek, Lizard Priest memutar matanya riang di kepala. “Saya yakin beliau ingin pamer kepada Goblin Slayer kita.” Cleric itu sedang duduk santai di kursinya—dia menggunakan gentong sebagai pengganti kursi. “Jika beliau sedikit lebih lunak, saya percaya sedikit bermanja tidak ada salahnya, namun seseorang tentunya menginginkan beliau untuk menyadari bahwa beliau harus keluar dari cangkang telurnya.”

Tetap saja, lizardman merenung, sangatlah terlalu pedih untuk di pikul, terlalu memalukan untuk marah dan membentak, dan terlalu menyedihkan karena tidak dapat bertindak. Oleh karena itu, Priestess mendapati dirinya berpangku pada anggota partynya. Lizard Priest cekikikan pelan. Adalah sebuah tawa dari makhluk karnivora kejam, akan tetapi di saat yang sama, tawanya mengandung cinta yang dalam, tawa seorang monk.

High Elf Archer ber-hmm seolah dia tidak terkesan, kemudian merosot merebahkan tubuhnya di atas meja meniru Priestess. Sang elf berbaring di sana dengan lengan membentang, kepalanya menoleh ke satu sisi, hanya matanya yang menatap Lizard Priest. “Kamu seharusnya monk kan; seharusnya kamu berbicara sesuatu yang sedikit seperti monk kek.”

“Yah...” Di hadapkan dengan tatapan elf itu, Lizard Priest menyentuh ujung hidung dengan lidahnya penuh pikiran. Seorang high elf menatapnya dengan mata yang penuh dengan roh anggur, tampak jelas sedang kesal. Pria biasa manapun tentu akan terintimidasi. Akan tetapi, Lizard Priest, tidak goyah; dia hanya membuka rahangnya dan berkata tenang: Seseorang mungkin, Saya percaya, dapat menghiraukan percakapan basa-basi seperti apa yang sudah kita dengar... Setidaknya, seperti itulah pendapat pribadi saya.”

“Dengar, kita nggak tahu apakah itu benar atau nggak,” High Elf Archer berkata, menunjuk dengan jari telunjuk dan menggambar lingkaran di udara. “Tapi pasti ada seseorang yang memulai rumor ini kan? Dan mereka itu yang bersalah karena sudah mengejek senior biarawati gadis kita.”

Rumor itu membuat dirinya jijik, High Elf Archer pernah melihat temannya dan hutannya di incar oleh goblin. Dirinya sendiri dulu pernah di serang oleh mereka. Dia bukanlah tipe seseorang yang akan mengenang kenangan buruk, namun tidak dapat di pungkiri bahwa itu adalah pengalaman yang mengerikan. Karena itu, sekarang telinganya melemas, dan dia bergumam, “Apa kamu nggak penasaran..,apa yang mereka pikirkan?”

“Rumor tidak berdasar adalah fundamentil dari pertarungan. Itu bukanlah mantera maupun kutukan.” Lizard Priest menggeleng kepalanya perlahan namun berbicara dengan tegas. “Di mana ada niat jahat tanpa keberanian, maka bintang jatuh akan jauh lebih pasti di bandingkan musuh yang akan di bungkam oleh kekuatan.”

“....Apa kamu nggak benci mendengar seseorang berkata jelek tentangmu?”

“Jika itu sudah cukup untuk mengusikku, itu artinya saya lemah. Dan tidak layak untuk di takuti.” Deklarasi acuhnya terdengar seperti dirinya.

Namun itu terlalu berlebihan bagi High Elf Archer, yang bergumam, “Barbarian,” namun cekikikan.

“Yah, kayaknya kita lagi asik ya?” sela Dwarf Shaman.

“Bagaimana tidak, jika kita sedang minum bersama dengan cleric tersayang kita?” jawab Lizard Priest.

Kedua pria bertukar tersenyum seolah tidak ada hal lain yang dapat di lakukan. Ketika mereka membutuhkan, mereka akan meminta bantuan dari beberapa petualang wanita lain untuk mengantarkan para gadis ke ruangan mereka. Sementara itu, mereka akan terus minum sepanjang malam—itulah yang sudah mereka rencanakan, ketika:

“Baiklah, makannya datang!” dengan kaki berlapis tapak, sang pelayan berjalan menuju meja party mereka. Nampan yang dia bawa berisikan keranjang roti dan semacam panci baja yang penuh dengan sup beruap.

“Makanan...?” High Elf Archer berkata, mengangkat kepalanya dan mengendus udara.

“Nih, makanan,” Dwarf Shaman berkata. “Awas kepalamu kalau kamu nggak mau terbakar.”

“Yeeeey, makanan!” High Elf Archer mengangkat tangannya merayakan.

Sementara itu, Lizard Priest menjulurkan tangannya lembut untuk mengatur Priestess agar dalam posisi duduk.”

“Mrrf...?”

“Saya rasa akan lebih baik jika anda memasukkan beberapa makanan ke dalam perut anda bersama dengan anggurnya, jika tidak perut anda akan sakit nantinya.”

“Uh-huh,” Priestess bergumam seperti anak kecil yang kelelahan, namun dia berhasil menjaga dirinya tetap tegak. Hampir—kepalanya tertunduk lemas di tempat di berdiri...

“Satu ikan es kering dalam minyak bawang, ini dia!” menyajikan makanan baru di atas meja yang baru di kosongkan, Padfoot Waitress menempatkan sebuah panci rebus kecil yang terlihat sangat, sangat panas. Minyak zaitun menggelembung di dalam. Terdapat beberapa potongan bawang, terebus hingga menjadi lunak, dan kemudian sebuah ikan kecil. Di rebus dengan bawang putih dan rempah-rempah, makanan ini menghasilkan aroma yang menggiurkan: Hidung Lizard Priest mengembang ketikandia mencoba menghirupnya. Walaupun mungkin dia sedang mengendus roti dan keju di dalam keranjang yang di iringi dengan ikan.

“Aku kira musim ikan es itu di musim dingin, sebelum mereka bertelur. Apa bakal enak kalau sekarang?” Dwarf Shaman mengintip ke dalam panci penuh penasaran, menyipitkan matanya di tengah uap yang sedikit tajam.

“Heh!” Padfoot Waitress mengendus, membusungkan dadanya yang terbentuk rapi. “Musim semi tahun ini itu dingin loh. Kamu masih bisa menangkap beberapa ikan es yang membawa telurnya!”

Sekarang semua akan terbukti di saat mereka memakannya. Dwarf Shaman mengambil seekor ikam dan bawang dan mulai mengunyahnya. Terasa rasa menggelitik dari rempah-rempah, dimikuti dengan daging lembut ikan yang  meledak dalam mulutnya, bercampur dengan tekstur bawang—sukar di jabarkan.

High Elf Archer tampak penasaran pada mulanya, namun ketika dia mencoba bawangnya, dia cukup puas setelah menyadari bawang itu cukup enak. Sedangkan Lizard Priest, sedang memasukkan keju ke dalam roti, mencelupkannya ke dalam sup, dan kemudian memakannya, di iringi dengan sorakan akan “Madu manis!”

“Dia kenapa?” Padfoot Waitress bertanya, menunjuk kepada Priestess. “Dia lagi patah hati?” Sang cleric tengah menyeruput sendoknya dengan bengong. “Aku bawa makanan ini karena ku pikir dia mungkin lagi depresi...”

“Soal rumor itu loh yang lagi menyebar.” High Elf Archer menggerutu, melihat kepada Padfoot Waitress dari balik kelopak matanya yang berat. “Rumor busuk! Apa sih bagusnya mereka?”

Dia tidak sedang berbicara atau melotot kepada seseorang tertentu, namun lebih kepada keseluruhan penyebaran cerita itu.

“Ah,” Padfoot Waitress berkata, tidak terusik dengan amarah High Elf Archer. “Yeah, aku sendiri juga nggak suka dengan hal semacam itu. Tapi kurasa orang-orang dengan telinga paling tajam sudah mulai bertindak.”

“Apa maksud anda?” Lizard Priest bertanya, berhenti mengunyah roti dan keju.

“Hmm?” Padfoot Waitress menjawab menekan tapak tangannya ke pipi. Mungkin dia tidak menyangka respon tajam itu dari dia. “Maksudku sekarang sudah ada pedagang dari kota air yang bertanya apakah kita ingin membeli anggur dari dia, daripada membelinya dari Kuil Ibunda Bumi.”

“Pedagang, eh...?” Dwarf Shaman mengerutu. 

“Penyerang tercepat dari predator apapun yang saya ketahui.” Lizard Priest berkata.

“Yah, perihal itu, si pak tua menolaknya.”

Sudah seharusnya. Sang rhea chef adalah seseorang yang berhati baik, mampu dan dapat di percaya. Dia mengetahui perbedaan tentang apa yang dia telah lihat dan dengar sendiri dan para pedagang yang datang bersama arus rumor.

Tentu saja, terkadang mengikuti arus itu terkadang menjadi hasil yang terbaik. Bisa di bilang ada, itu  tergantung dari pendirian pribadi. Hidup dan mati adalah sedekat dua sisi dari selembar kertas. Hal ini berlaku bagi pedagang, sebagaimananya berlaku untuk petualang.

“Bagaimana menurut anda, Master Pembaca Mantra?”

“Sayangnya aku juga sama nggak tahunya denganmu, Scaly.”

Dwarf Shaman dan Lizard Priest berbisik tentang pendirian itu. Mereka mempertanyakan apakah mungkin untuk merespon cepat pada sebuah cerita yang baru saja bersikulasi dalam beberapa hari. Tetapi, dengan pedagang, akan sangat mengejutkan jika tidak ada sesuatu yang terjadi dari balik layar.

Ketika terdapat banyak uang yang terlibat, maka ada banyak para pelari di bayang-bayang. Terdapat koin untuk di hitung, potensial laba untuk di kalkulasi; dan di mana ada uang yang terlibat, pengetahuan bangsa dwarf sering di terapkan, namun...

Aku benar-benar nggak tahu.

Dia masih belum cukup minum anggur; itulah permasalahannya. Dwarf Shaman mengangguk, mengisi gelasnya dengan anggur dari Kuil Ibunda Bumi, dan meneguknya.

“Ngomong-ngomong, di mana si teman aneh kalian itu?” Padfoot Waitress berkata, berkacak pinggul seraya dia lanjutkan permbicaraan. “Seharusnya di saat seperti ini, dia perlu menjaga gadis ini...”

“Goblin Slayer?” Adalah Priestess yang berbiczra, dengan suara pelan namun—seperti pria itu—terdengar jelas. “...Dia membuat laporan biasanya, dan pergi pulang, seperti biasanya.”

“Argh,”Padfoot Waitress berkata, menepuk dahi dengan tapak tangan daan menatap palpon. Aneh sih lain cerita, tapi dia bodoh juga!

*****

“Nggak ada goblin.”

“Apa, yang benar?”

“Mereka mayat,” dia berkata. Kemudian dia menambahkan, “Yang bergerak.”

“Begitu, goblin zombie... Ada lagi?”

Helmnya miring menerima pertanyaan itu. Dia diam, bukti tengah berpikir. Terdapat jeda.

“Dan seekor demon.”

“Demon?”

“Dia merah.” Tampaknya hanya itu yang hendak dia katakan, namun kemudian dia tampak mengingat sesuatu lainnya. “Dia terbang ke langit.”

Begitu. Gadis Guild memberikan anggukam cepat, penanya menggores kertas laporan yang duduk di atas meja di depannya.

Setelah memberikan tugas berpetualang, adalah pekerjaan Guild untuk mencatat laporan petualang, mendukomentasikannya sebagai berkas. Adalah penting, karena laporan ini akan membentuk dasar dari kemungkinan adanya promosi—dari akumulasi poin pengalaman petualang. Tentu saja, beberapa dari petualang sering melebih-lebihkan pencapaian mereka sendiri, oleh karena itu seseorang harus selau berhati-hati. Pegawai Guild tidak dapat sekedar langsung mempercayai ucapan semua orang, dan mencari siapa yang dapat di percaya adalah bagian dari tugas mereka.

Tetapi juga... Gadis Guild menghela secara mental, mencuri lirik mengarah helm baja yang ada di seberangnya... Petualang ini sepertinya tidak tertarik dengan adanya promosi lanjutan.

Itu artinya ini adalah kesempatannya untuk sedikit bercakap dengannya. Tentu sajak seseorang tidak boleh mencampur profesionalisme dan kehidupan pribadi, dan Gadis Guild sendiri tidak pernah berpikir hal lain selain memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya, tetapi...

“Kenapa?”

“Oh, uh, tidak apa-apa.”

Dia tidak menduga pertanyaan itu; dia dengan cepat menggeleng kepala, menyebabkan kepangnya berayun.

Penanya pasti telah berhenti bergerak. Atau mungkin pria ini menyadari tatapan Gadis Guild kepadanya.

Gadis Guild membersihkan tenggorokan untuk menyembunyikan rasa malu dan memaksa pergantian topik. ”Jadi, ahem... Bagaimana menurut anda?”

“Tentang apa?”

“Gadis itu,” Gadis Guild berkata berbisik. “Anda sudah mendengar kan, tentang semua rumor itu…”

Walaupun masih tampak sifat kekanak-kanakkan dari Priestess, sudah lebih dari dua tahun semenjak dia menjadi petualang. Dia telah berumur tujuh belas. Bahkan seraya dia tumbuh masuk ke dalam kewanitaan, dia juga tumbuh sebagai petualang, dan dalam masa depan, mereka akan mencoba untuk mempromosikan dirinya kembali.

Dan di tengah semua itu terdengar rumor tidak menyenangkan tentang goblin. Dia sudah seperti adik kecil, teman berharga, dan seseorang yang tengah dalam perjalanannya menjadi petualang hebat. Ini bukanlah karena tidak dapat membedakan antara profesionalisme dan masalah pribadi: dalam hal ini, profesionalisme dan perasaan pribadi Gadis Guild tertunjuk pada arah yang sama, dan dia tidak dapat membiarkan ini begitu saja.

“Yah…” Goblin Slayer mendengus dari dalam helmnya. “Dia sepertinya terlihat nggak semangat.”

“…Anda akan memperhatikan beliau, bukan?”

“Aku ragu bakal banyak berpengaruh kalau aku berbicara dengan dia.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya perlahan. “Yang bisa aku katakana adalah dia baik-baik saja, jadi nggak ada yang perlu di khawatirkan. Lagipula apa gunanya?”

“Yah, anda tidak sepenuhnya salah…” Gadis Guild berpikir kembali. Mengingat petualangan pertama Priestess.

Anggota party yang dia temui di Guild. Sebuah grup orang yang masih tidak saling mengenal satu sama lain, namun tergabung berdasarkan mimpi dan harapan dan perasaan bahwa itu benar.

Sangatlah mudah untuk mengejek mereka, mengatakan bahwa mereka ceroboh, bodoh. Namun Gadis Guild tidak memandanganya seperti itu. Dia yakin bahwa ada sesuatu di sana, sesuatu yang berharga di dalam mereka yang mereka bagikan dengan setiap petualang. Satu-satunya permasalahan, fakta kesialan yang begitu sederhana, adalah mereka terlalu menggangap diri mereka terlalu tinggi, terjerumus dalam pertumbuhan itu…

Dan hanya satu petualang yang selamat. Seorang gadis, yatim piatu untuk kedua kali.

Kenyataan bahwa dia telah berdiri kembali, dan bergerak maju adalah berkat satu hal: pria itu dan anggota partynya.

Jadi apa yang pria itu dapat katakan? Itulah kenapa kamu nggak perlu menkhawatirkannya; rumor itu bukan tentangmu kan?

Benar, tidak ada yang dapat membantunya.

Gadis Guild mengira dia mengetahui apa yang pria itu percayai. Bahwa jika seseorang tidak berdiri dan bergerak dengan sendirinya, situasi seseorang itu tidak akan berubah.

Akan tetapi, Gadis Guild, meletakkan penanya dan menyiratkan senyuman pada wajahnya, berbeda dengan senyum yang harus di pasang secara paksa. “Ketika anda terluka, terkadang…akan membuat anda sangat senang jika seseorang akan repot-repot berusaha melakukan sesuatu untuk anda, loh?”

Seperti ketika kamu terkubur dalam quest, dan seseorang muncul untuk mengambil quest itu. Atau ketika kamu di serang di malam sebuah festival, dan seseorang datang menyelamatkanmu.

“…Begitu.” Goblin Slayer terdengar seperti dia sedang memikirkannya, dan kemudian dia terdiam. Dia menarik napas sebelum gumaman pelan berikutnya. “Aku akui, itu nggak terlalu masuk akal bagiku.”

Gadis Guild menghabiskan beberapa menit lagi mendengarkan laporan Goblin Slayer dan membuat berkarnya. Kemudian ketiak mereka selesai, Goblin Slayer berdiri dengan ucapan ,”Baiklah,” dan mulai berjalan dengan langkah sigap biasanya. Namun kemudian dia berhenti, dan helmnya berputar mengarah rumah makan. Priestess berada di sana, wajahnya merah dengan anggur, di kelilingi oleh teman mereka, yang sedang berbincang-bincang.

Untuk sesaat, dia berdiri dan memperhatikan mereka, kemudian berjalan perlahan keluar dari Guild.

Di hadapkan dengan pintu yang berayun pelan, Gadis Guild hanya dapat menghela.

*****

“Psst, hei… Sini!”

Dia baru saja keluar dari pintu dan masuk ke dalam malam ketika Goblin Slayer mendapati lengannya di genggam. Di tarik ke dalam bayang-bayang, dia berhasil melepas lengannya dan melihat sang penarik. Adalah makhluk hidup, humanoid, benar-benar tertutup di bawah mantel usang.

Goblin?

Tidak, bukan seekor goblin. Dia terlalu kecil dan suaranya terlalu tinggi. Goblin Slayer merendahkan pinggul dan memegang pedangnya, benar-benar siaga. Di balik helmnya, dia menggerakkan kedua mata, memperhatikan sekitar. Mereka berada di belakang Guild, di mana material untuk bengkel dan bahan-bahan dapur di simpan. Dia sering datang kemari ketika dia sedang menolong gadis itu. Dia cukup hapal wilayahnya. Dia dapat bergerak bebas. Tidak akan ada masalah.

“Apa?”

“…Kamu nggak perlu meraung kayak gitu ke aku,” sosok dalam mantel itu berkata, cekikikan. “Kita kan saling kenal.”

“Kalau begitu,” Goblin Slayer menjawab, merasakan pergerakan jempol kakinya, “Lepaskan mantelmu.”

Goblin Slayer merasakan helaan napas, dan orang itu membuka mantelnya.

Gelombang rambut hitam membanjiri keluar bagaikan ombak lautan, dan dia melihat kulit hitam. “Aku lagi coba sembunyi-sembunyi di sini…” Kakak Anggur memalingkan pandangan, menggaruk pipinya canggung.

Goblin Slayer melepaskan tangan dari pedangnya dan berdiri tegak. Sepertinya tidak ada yang perlu di takuti. “Aku cuma mengira kalau kamu mungkin goblin.”

“Apa itu sarkas yang ku dengar?”

“Nggak,” dia menjawab, menggeleng kepala. Kemudian setelah beberapa saat terdiam, dia menambahkan, “Setidaknya, itu bukan niatku.”

“Hmm,” Kakak Anggur berkata, dan wajahnya tersenyum. “Senang rasanya bertemu dengan pria yang tahu apa yang dia inginkan.”

“Begitu?”

“Mm-hmm.”

Percakapan mereka terhenti beberapa saat. Kakak Anggur memainkan rambutnya canggung, dan Goblin Slayer menunggu apa yang hendak wanita itu katakan berikutnya. “Uh, hei...”

“Apa?”

“Erk,” Kakak Anggur menjerit, terkejut oleh reaksi instan pada ucapan yang sudah susah payah dia coba untuk lontarkan. Dia terbatuk kecil dan mengumpulkan keberaniannya. Apapun yang di lakukan seseorang, dengan bertatap muka, adalah mustahil untuk membatalkannya. “Gadis itu…Aku cuma penasaran, bagaimana perasaannya?”

“Maksudmu apa,” Goblin Slayer bergumam, “bagaimana perasaannya?”

“Ituloh, maksudku, dia terlalu bekerja keras sebagai petualang atau…” Kakak Anggur terbata-bata pada apa yang tampak jelas sebagai basa-basi, sebelum pada akhirnya dia berhasil mengatakan apa yang ada di pikirannya. “Mungkin aku terlalu berlebihan dalam memikirkan ini, tapi dengar. Aku, kamu tahulah, cemas kalau rumor itu mungkin bisa menjadi masalah baginya.”

Goblin Slayer tidak menjawab segera. Dia terdiam di dalam helmnya, walaupun terdengar gerutu. Dia tidak mengetahui cara terbaik untuk meresponnya. “Dia baik-baik saja,” dia berkata, kemudian terdiam. “Setidaknya, menurutku/

“Begitu…” Mm. Kakak Anggur, kemudian bersandar pada sebuah kotak kayu di belakangnya. Apakah dia sudah sedikit tenang? Goblin Slayer merasa wanita itu sudah terlihat tidak terlalu tegang. “Begitu. Kalau dia baik-baik saja, ya itu bagus. Itu saja yang perlu aku dengar.”

Bahkan…

“Sepertinya tidak semakin menanjak. Aku benci harus berpikir kalau aku sudah menghalanginya.”

Bahkan, bagi Goblin Slayer dia terlihat seperti kakaknya sendiri, memaksakan sebuah senyuman pada wajahnya yang menandakan dia baik-baik saja.

“Bagaimana mungkin kamu menghalanginya?” Goblin Slayer berkata cepat. Kakak Anggur berkedip mendengar pertanyaan paksa itu. “Mustahil kamu bisa.”

“…Senang mendengar itu,” Kakak Anggur menjawab, dan kemudian dia mengenakan mantelnya kembali, senyumnya menghilang ke dalam kegelapan. “Kalau gitu, lebih baik aku lanjut deh,”

“….” Helm Goblin Slayer berputar, menunjuk pada jendela rumah makan, yang di terangi dengan cahaya hangat. “Kamu yakin?”

“Aku yakin.” Kakak Anggur mengangguk. “Aku sudah bilang tadi, aku nggak mau menyebabkan masalah buat dia.”

“Begitu?”

Hanya itu.

“Sampai jumpa,” Dia berkata dengan lambaian tangan, dan kemudian dia masuk ke dalam kegelapan. Para petualang yang wanita itu lewati, melihat seragam seseorang dari Kuil Ibunda Bumi secara sekilas, dan melirik kepadanya. Suara mereka yang berbisik entah mengapa begitu terdengar di dalam helm baja Goblin Slayer.

Goblin Slayer mendengus pelan, menatap langit dengan dua bulannya, dan kemudian tanpa berkata apapun, berjalan menjauh.

*****

Malam tampaknya bukanlah milik musim semi atapun musim panas, ataupun musim gugur, namun mungkin malam ini adalah bagian dari ketiganya, atau tidak sama sekali. Anehnya, tidak ada hembusan angin, udara mengambang berat di atas lahan. Cahaya bintang samar, dan bulan merah bersinar redup; hanya bulan hijau yang bersinar dengan terangnya.

Goblin Slayer bukanlah astrologer. Dia tidak dapat menebak cara kerja akan takdir dan kemungkinan di dalam pergerakan bintang. Oleh karena itu dia tidak memperhatikan langit dan hanya menatap ke bawah dan berjalan.

Dia tidak menyukainya.

Dia tidak menyukai semuanya.

Walaupun dia sedang berjalan di atas jalan berdebu, kakinya terasa berat seolah dia sedang menyeretnya di dalam lumpur. Di setiap langkah, dia harus mengangkat sepatunya dari bumi, dan dia menghentakkannya kembali ke tanah di bawahnya.

Jika dia mendengak ke atas, dia mungkin akan dapat melihat cahaya rumah kebun di kejauhan sekarang. Namun dia tidak melihat ke atas; tidak pada cahaya dan tidak pada bintang, namun hanya ke bawah pada lumpur.

Adalah benar, sebuah jalan panjang. Dia tampak mengingat itu adalah kata yang terkadang di senandungkan masternya.

Dia tidak dapat mengenyahkan perasaan bahwa jalannya terus berlanjut dan berlanjut hingga akhirnya dia tidak akan dapat kembali pulang. Dia merasa di tinggalkan di dalam kegelapan di antara ramainya kota, cahaya rumah yang di tujunya, dan lahan membentang di sekitarnya. Dia bahkan merasa dapat mencium aroma dari bawah lantai malam itu, terkeruk dari dalam ingatannya.

Dia tidak berkata apapun, hanya mengeratkan giginya. Hanya itu yang ada di pikirannya. Hal yang ada di depannya saat ini, hanya itulah yang dia perlukan untuk di perhatikan. Semua hal lainnya sudah berakhir.

“…..”

Dia akhirnya melihat ke atas ketika dia mendengar suara. Dia mengetahui dari perjalanan di jalan ini dari waktu ke waktu bahwa suara itu tidak seharusnya berada di sini pada malam.

Adalah suara gemercak roda dan hentakan tapak kuda. Sebuah cahaya berkelip datang dari arah kebun menuju dirinya, mendekat dengan cepat.

Kereta kuda? Bahkan seraya dia memegang pedang dengan tangan, Goblin Slayer mengambil satu langkah ke samping untuk memberikan jalan. Dua kuda itu berlalu melewatinya; kedua kuda itu tamapaknya tidak mempunyai niatan untuk sedikitpun melirik kepada petualang kotor ini. Mereka menarik sebuah kencana yang penuh dengan hiasan mewah yang tampak jelas walaupun di selimuti kegelapan, kurangnya cahaya bintang dan bulan. Kusirnya sangat piawai, memegang kendali dengan pretensi bahkan seraya dia mengangkat topi di kepalanya.

Goblin Slayer memperhatikan mereka pergi mengarah kota hingga mereka menghilang seolah di telah cat hitam, dan kemudian dia menggelengkan kepalanya. 

Sungguh, dia tidak menyukai ini sama sekali.

*****

“…Ahh, kamu pulang?” Suara tenang, pelan menyambutnya di saat dia tiba di pagar kebun.

Dia memutar helmnya hingga dia menemukan pemilik kebun bersandar di gerbang pagar. “Ada apa?”

“Cuma lagi memeriksa sapi.” Itu terdengar seperti alasan. Kemudian sang pemilik menatap pria itu, mulutnya terbuka dan tertutup beberapa kali. Setelah beberapa saat ragu, dia tampak ingin menyerah; dia berkata datar. “Sedikit telat malam ini ya?”

“Nggak,” Goblin Slayer berkata kepadanya, namun kemudian berpikir beberapa detik sebelum menambahkan perlahan, memilih perkataannya. “Sepertinya tadi ada kereta kuda di sini.”

“Iya tadi.” Sang pemilik menjawab, dengan gelengan kepala jengkel. “Pedagang anggur, dari kota air. Dan nggak ada minnow juga.” (TL Note : Minnow = sejenis ikan.)

“Pedagang anggur?”

“Dia mau tahu apa aku tertarik untuk berfokus pada pekerjaan lahan, mengubah tempat ini menjadi lahan jelai. Sepertinya dia mau memasak birnya sendiri.”

“…” terdengar dengusan dari dalam helmnya. Dia tidak tahu apakah itu adalah proporsi bisnis yang baik atau tidak. Dan seseorang yang tidak paham tidaklah berhak untuk memberikan komentar. Itu adalah urusan untuk pemilik dan gadis itu. Dia sangat paham bahwa ini bukanlah haknya untuk memberikan pendapat. 

“…Aku menolaknya.”

Dia sangat menyadari helaan napas tak di sengaja yang keluar dari mulut sang pemilik. Dia tidak terlalu mengetahui mengapa, namun dia merasa seolah sesuatu yang sangat terpendam di dalam hatinya telah terpuaskan.  

“Ini bukan tentang apakah cerdas untuk mencoba sesuatu yang baru atau terus melakukan sesuatu yang lawas…” Sang pemilik melipat lengan dan mendengak menatap langit seolah tidak yakin harus bagaimana. Goblin Slayer meniru gerakan itu, melihat ke langit. Bintang dan bulan bersinar terang hingga hampir menyengat. Dia menyipit di balik helm. Sang pemilik melirik pria itu dan, setelah beberapa saat, berkata pelan. “…Tapiaku menyukai kehidupanku yang seperti ini.”

“…Ya.” Dia mengangguk pelan. Pada saat ini, dia yakin. Adalah dari beberapa hal yang dapat dia deklarasi dengan penuh percaya diri. “Aku yakin kamu punya kebun yang bagus.”

“Begitu…?” Sang pemilik berkata pendek, kemudian mengulangi datar, “Begitu…” Kemudian dia berkata, “Gadis itu menunggumu buat makan malam.”

“Baik pak.”

“Pastikan kamu istirahat.”

“Baik pak.” Dia mengulangi seraya dia memperhatikan sang pemilik pergi menjauh. Kemudian hidungnya mengendus, dan dia menangkap sebuah aroma susu rebus dari suatu tempat. Helmnya berputar kembali, dan dia mulai berjalan perlahan menuju pintu rumah.

Langkahnya masih terasa berat.

*****

Gadis Sapi tidak memberikan pertanyaan apapun, hanya memperhatikan pria itu dengan diam seraya pria itu memakan rebusannya. Sang gadis duduk di seberang dia, kedua tangan menopang pipi—namun ekspresinya terlihat berbeda dari biasanya. Normalnya, dia akan tersenyum riang, namun hari ini, anehnya, senyumnya menghilang.

Setelah beberapa kali menyendok rebusan, menyedot kuah melalui celah helmnya, dia mendengus pelan.

Terdengar dercak api lilin yang membara. Kenari bercuit mengantuk. Di kejauhan, para sapi melenguh tidak senang. Terdapat hembusan angina, dan malam tampaknya terasa begitu larut. Dia merasa ingin melihat keluar jendela, ketika dia menemukan bahwa bintang dan bulan telah tersembunyi oleh awan.

Dia meletakkan sendok di atas meja, berpikir, dan kemudian membuka mulutnya. “Apa…ada sesuatu?”

“Itu seharusnya ucapanku.” Kalimatnya di ikuti dengan Humph kesal. Gadis Sapi menghela seolah—hanya seolah, pikir pria itu—dia lelah. Di dalam helmnya, dia memejamkan kedua matanya. Gadis Sapi tidak menerka apa arti di balik helm itu. Terkadang helm itu menghalangi dirinya, terkadang menusuk hatinya, namun…

Apa itu yang terjadi?

Karena Gadis Sapi selalu seperti itu, sebenarnya ini bisa di bilang memuaskan. Mengetahui gadis itu sangat mengenal dirinya, Goblin Slayer merasa bodoh untuk mencoba mengenakannya. Siapa yang dapat menyalahkan gadis itu karena menjadi lelah?

“Ini bukan soal pekerjaan kan?” dia berkata. “Jadi apa? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan orang lain?”

Goblin Slayer membuka mulut, menutupnya kembali, kemudian dia menarik napas dan menghelanya. Di balik celah dari helmnya, dia dapat melihat kedua mata gadis itu yang menatap kepadanya, seolah gadis itu dapat melihat segalanya, namun dia masih menunggu pria itu untuk berbicara.

Akhirnya Goblin Slayer membulatkan tekadnya dan mengutarakan, seberapun seingkatnya, ke dalam kalimatnya sendiri. “Aku bingung.”

“Tumben.”

“Ya.”

Apa yang akan di katakan masternya, jika dia mendengar ini? Sebenarnya, dia mungkin tidak akan mengatakan apapun, hanya tertawa dan memukulnya. Bertindak! Itulah ajaran masternya. Di saat kamu memutuskan untuk melakukan sesuatu dan menjalaninya, kemenangan akan menjadi milikmu. Jika kamu tidak melakukan apapun, tidak aka nada yang terjadi. Apakah kamu bisa itu adalah masalah berbeda, namun apakah kamu akan melakukannya adalah tergantung pada dirimu.

Tentu saja, jika kamu gagal, orang-orang akan mentertawakanmu.

Sudah berapa sering dia mengatakan itu padaku?

Apa yang terasa begitu tidak pasti baginya? Dia melihat kebawah pada mangkuk sup setengah kosong agar dia dapat menghindari tatapan gadis itu. “Ada sesuatu yang ingin aku bantu.”

“Yeah…?

“Tapi aku nggak tahu cara melakukannya.”

Mengucapkan kalimat itu telah menyadarkannya kembali. Adalah bagus untuk bertindak. Jadi tindakan apa yang harus di lakukan?

Betapa sederhananya pembasmian goblin. Tebas dan libas. Hanya itu saja. Dia mengetahui apa yang dia harus lakukan untuk menyelesaikannya. Dia selalu berpikir tentang itu, tetapi…

Itu nggak akan membantuku kali ini.

Bingung, tiba-tiba dia tersadarkan sesuatu: alasan mengapa goblin selalu mencuri semuanya. Yang hanya mereka perlu lakukan untuk menghindari pencurian adalah membuat segala sesuatunya sendiri. Namun bagaimana? Mengobrak-abrik otak mereka untuk mendapatkan solusi—adalah sangat sulit.

Dan pembasmian goblin sendiri, seburuk-buruknya, dapat merengut nyawanya sendiri. Ketika bertindak sebagai pemimpin grup, nyawa dari temannya (dengusan pelan lagi memikirkan ini) bergantung di pundaknya, namun jika sendiri, semua sangat berbeda.

Akan tetapi, dalam hal ini, segalanya berbeda. Ini bukanlah tentang dia. Ini bukanlah tentang goblin. Jika dia salah, bukanlah dia yang akan menanggung konsekuensinya.

Dia tidak pernah sekalipun mengira bahwa dia telah menguasai segalanya. Terdapat banyak hal yang tidak dapat dia lakukan. Namun untuk menyadari betapa sedikitnya kartu yang dia genggam—adalah tidak menyenangkan.

Dia menyadari ini semua, namun dia masihlah seseorang yang tidak bedaya. Tidak berbeda dari ketika dia bersembunyi di bawah papan lantai.

“Mm, Aku penasaran.” Ucapan gadis itu menyelinap masuk ke dalam hatinya.

“…” Goblin Slayer mendengak dari mangkuk sup, menatap gadis itu seolah dia tidak dapat mempercayai apa yang dia lihat.

Kepala gadis itu miring cemas ke satu sisi, dan dia tampak sedang berpikir, akan tetapi gadis itu tersenyum. “Aku nggak begitu mengerti, tapi ini kedengarannya sulit.”

“…Ya.”

“Kalau begitu…” Suaranya tampak seperti menegaskan, riang dan jelas. “Jadi dirimu yang biasa saja.”

“Diriku yang biasa.”

“Yah, setiap sisi dirimu.”

Pria itu terdiam. Gadis itu tersenyum; itu terdengar begitu sederhana.

Mungkin—mungkin itu memang sesederhana seperti ini. Apakah seperti itu dirinya selalu bertindak, dari sudut pandang gadis itu? Goblin Slayer mengenang kembali pada seorang bocah di bawah lantai sepuluh tahun yang lalu dan mengangguk pelan.

“…Begitu?”

“Iya begitu.”

“Kurasa memang begitu…”

Dia mengangkat sendoknya kembali.

Apa yang akan dia katakana masternya, jika dia mendengar ini? Sebenarnya, mungkin dia tidak akan mengatakan apapun, hanya tertawa dan memukulnya.

Dia telah menjadi murid yang buruk, tidak cepat dalam belajar. Di balik helm, bibirnya melemas hingga hampir tersenyum.

Hampir seolah sang gadis dapat mengetahuinya, Gadis Sapi tersenyum semakin lebar dan berdiri dari kursinya. “Mau tambah?”

“Ya, tolong.”

*****

“Sampai jumpa!”

“Ya” adalah jawaban satu-satunya Goblin Slayer ketika dia meninggalkan kebun.

Mungkin hujan telah turun di malam hari, atau mungkin ini hanyalah kabut pagi hari. Rerumputan mnengkilat dalam cahaya matahari, dan langit sangat biru hingga menyengat matanya. Goblin Slayer melihat matahari dan awan putih dari balik helm dan kemudian berjalan perlahan.

Hari ini, anehnya, Gadis Sapi tidak bersukarela untuk ikut dengannya. “Lebih baik seperti itu kan?” dia berkata, dan pria itu tidak tahu harus bagaimana menjawab. Gadis Sapi mungkin mengetahui ini lebih baik dari dirinya. Oleh karena itu Goblin Slayer menuruti perkataan gadis itu. Seperti biasa, tampaknya orang lain lebih mengerti di bandingkan dirinya.

Dia mengikuti jalan pagar, mengangguk kepala ketika dia menemukan pemilik kebun di kejauhan bersama dengan para sapi. Dia tidak melihat apakah ada reaksi. Dia berniat untuk tidak memeriksanya.

Dia melanjutkan berjalan di keheningan, lembab namun cepat mongering di bawah matahari. Tidak lama kemudian dia mendapati dirinya pada persimpangan, kemudian dia menuju kota perbatasan, terdapat semakin banyak orang di setiap bagian jalan.

Sebagai anak kecil, dia selalu mendambakan untuk berjalan di jalan ini semenjak pertama kalinya dia ingin menjadi petualang. Sekarang, sejak mendaftar di Guild, dia melewati jalan ini setiap hari. Hari ini dia tenggelam dalam pikirannya seraya berjalan, mampu mengikuti jalanan hanya dengan ingatan. Dia melewati satu persatu orang lain, menuju langsung ke Guild. Sebelum dia mendorong pintu berayun, dia berhenti dan mendengak ke atas memperhatikan bangunan.

Apakah dia pernah berhenti dan memperhatikan ini sebelumnya?

 Sudah hampir tujuh tahun sekarang, tapi—a

“…Tidak mau masuk?”

Goblin Slayer berputar perlahan untuk mencari sumber suara di belakangnya. Adalah Gadis Guild, berdiri dan tertawa. Di lengannya, dia sedang memeluk sebuah tinta dan pena di antara barang kecil lainnya.

“Aku bukan telat bekerja,” dia berkata ketika dia melihat pria itu menatapnya. “Aku sedang dalam tugas khusus. Sepertinya tintanya tidak tertutup rapat, dan semua tintanya mongering.”

Goblin Slayer tampak melamun mencari sesuatu untuk di katakan sebelum dia mendengus pelan. “Nggak,” Goblin Slayer berkata, namun tidaklah jelas apa yang di sangkalnya. “Aku cuma melihatnya saja.”

“Oh oke, tapi bukannya kamu melihatnya setiap hari…?”

“Ya.”

Hmm. Gadis Guild mendekap belanjaannya ke dadanya yang terbentuk. Dia melihat kepada Goblin Slayer, seperti ingin melihat apa yang ada di balik helm itu. “Aku tahu perasaan itu—walaupun kamu melihatnya setiap hari, terkadang kamu memang ingin benar-benar memperhatikannya.”

“Begitukah?”

“Menurutku.” Gadis Guild mengangguk dan tersenyum, walaupun Goblin Slayer tidak yakin apa ada yang lucu.

“Begitu.” Goblin Slayer berkata, melirik kepada Gadis Guild dan kemudian kepada Guild. Tidak ada yang berubah dari bangunan ini. Atau lebih tepatnya, dia tidak dapat mengingat bagaimana bentuk bangunan ini dari awal dia berada di sini. Dia tidak dapat membayangkan bangunan ini berubah.

Setelah beberapa saat memperhatikan bangunan, dia menggeleng kepala dan menoleh pada Gadis Guild. “Kemungkinan,” dia berkata, kemudian mempertimbangkan ucapannya untuk beberapa saat, “Hari ini atau besok, aku nggak akan bisa pergi berburu goblin.”

“Wah,” Gadis Guild berkata, matanya sedikit melebar, dan terlihat terkejut. “Apa kamu mau mengambil liburan?”

“Bukan, tapi…”

“…Hee-hee, jadi begitu…Sulit juga” Gadis Guild menempelkan senyum di wajahnya, memainkan ujung kepangnya seolah tidak yakin akan sesuatu.

Goblin Slayer berpikir bahwa dia harus mengatakan sesuatu dan membuka mulutnya. Namun tidak sepatah katapun keluar. Akhirnya dia berhasil memeras kata sederhana, “Begitu…” 

Itu tidak berarti apapun, namun Gadis Guild tetap cekikikan. “Tidak apa-apa.” (Di dalam helm pria itu, Goblin Slayer berkedip mendengar jawabannya.) “Aku tidak akan memberikan semua beban itu pada kamu sendiri, Goblin Slayer.” Tidak perlu cemas! Dengan itu, Gadis Guild membusungkan dada dan menambahkan, “Jangan mengkhawatirkan kami!”

“Begitu,” Goblin Slayer berkata, menghela napas. “Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin.”

“Baguslah. Kami masih bisa menyelesaikannya tanpamu, tapi tentunya bantuanmu tetap sangat di hargai.” Gadis Guild tersipu sedikit seraya dia berkata ini, kemudian dia berlari dengan segenap tenaga seekor anak anjing riang. Sebelum mendorong pintu berayun, dia memperlambat larinya. Tiga kepangnya berayun seraya dia berputar kepada pria itu. “Apapun yang kamu lakukan., semoga beruntung! Aku akan menyemangatimu!”

“Ya,” Goblin Slayer membalas, pendek, pelan, dan datar.

Gadis Guild berdansa masuk ke dalam pintu bangunan. Pria itu memperhatikan dia pergi, kemudian dia memperhatikan pintu berayun untuk beberapa saat, dan kemudian dia mulai berjalan pelan maju ke depan. Langkah sigap biasa, acuh, hampir mekanikal.

“Itulah yang dari tadi aku bilang! Serbu masuk, tusuk dulu dan tanya belakangan, itu juga petualangan!”

Teriakan ini adalah yang pertama dia dengan seraya dia masuk ke dalam pintu.

Adalah Spearman. Dia sedang berada di sudut ruang tunggu di mana setiap macam petualang menunggu dan bersantai. Di bangku di depannya adalah Bocah Scoit dan Gadis Druid, bersama dengan Rookie Warrior, Apprentice Cleric dan Harefolk Hunter.

Kalau di pikir lagi, Goblin Slayer berpikir dengan gelengan kepala, mungkin mereka sudah bukan rookie atau apprentice lagi. 

Para pemuda pemudi itu di kelilingi oleh petualang berpengalaman.

“Nggak akan ada yang menganggapmu sebagai petualang kelas pertama kalau kamu cuma duduk saja menunggu quest mendatangimu.” Spearman berkata, terdengar seperti seorang guru yang memberikan ajarannya.

Di samping pria itu, witch seksi yang selalu bersamanya, ikut duduk di bangku, membuka mulutnya. “Itu, benar,” dia berkata. Wanita itu terdengar seperti berbisik, akan tetapi entah mengapa, kalimat itu mencapai hingga telinga Goblin Slayer. “Bagaimana, sebuah, petualangan, bermula? Itu, adalah sesuatu, yang hanya, di ketahui, oleh…dewa..loh?”

Hmm. Kelima petualang muda di bangku telah mempunyai cukup banyak pengalaman, namun ini tampaklah tidak begitu masuk akal bagi mereka.

Bocah Scout memberikan mereka tatapan kosong. “Kamu yakin soal itu?”

Knight Wanita melipat lengan di depan dadanya yang berarmor dan mengangguk percaya diri. “Aku rasa dia benar. Nggak ada yang tahu di mana kamu menemukan bibit petualangan yang akan menyelamatkan dunia. Mau itu pertanda akan kebangkitan Dark God, gerbang menuju alam lain, atau neraka itu sendiri, kamu nggak akan bertahan hidup kalau kamu nggak tahu bagaimana cara melihat apa yang ada di sekelilingmu.”

“Dengarin dia.” Heavy Warrior menopang dagu dengan tangan dan tatapan kesal namun tanpa ada tanda untuk membalas ucapan wanita itu. Mungkin, dia merasa , wanita itu berbicara yang sebenarnya. “Biar aku jelaskan,” Dia berkata, menatap para bocah dan gadis yang tidak dapat membayangkan petualangan yang dapat menyelamatkan dunia. “Andai kalian lagi dalam quest memburu monster, dan jauh di dalam gua, kalian menemukan reruntuhan yang menuju ke bagian yang lebih dalam lagi. Kalian past memeriksanya kan?” 

“Pastinya dong.” Gadis Druid berkata, menepuk tangan rhea kecilnya dan mengangguk. Hal ini dia pahami. “Itu mungkin tempat asal para monsternya, dan lagipula, reruntuhan yang belum di ketahui mungkin penuh dengan harta berharga.”

“Ya, tapi.” Half Elf Light Warrior masuk ke dalam percakapan dengan gerakan elegan. “Beberapa persiapan perlu di lakukan. Kalau sekedar masuk tanpa pikir panjang, itu sama saja mengundang kematian.”

“Yeah, harus hari-hati!” Knight Wanita membusungkan pipinya kesal, dan Heavy Warrior berhasil menahan dirinya hanya dengan senyuman.

“Yang artinya itu sama saja dengan, Kurasa kita lebih baik pergi ke kota air. Mereka punya kuil di sana—dan wanita ini adalah pengikut dari Supreme God.” Heavy Warrior melepaskan tawaan kecil dari mulutnya seraya dia memberikan Knight yang mengambek sebuah tepukan di kepalanya. “Kita punya semacam koneksi dengan Kuil Ibunda Bumi juga. Kita harus menggunakan koneksi itu kalau kita ingin mencari tahu tentang rumor ini.”

“Hmm… Kira-kira apa yang harus ku lakukan…” Spearman mengenyit, menambahkan sesuatu di balik napasnya tentang dia cukup buruk dalam menjadi “petualang kota.” Jika di pikir lagi, dia seharusnya lebih memperhatikan petualang Bronze yang dia temui di tahun pertamanya. Trik dalam menghadapi Rock Eater itu tentunya akan berguna.

“Aku kenal seorang pria yang lagi ada di kota air sekarang, seorang petualang. Kurasa setidaknya aku bisa pergi denganmu sejauh itu.”

Witch merespon pada gumaman pikiran dari Spearman dengan “Itu, benar” dan sebuah anggukan menawan. “Sepertinya…Ini, dapat, berubah, menajadi…besar.” Dia mengeluarkan sebuah pipa rokok dari dada besarnya, menyalakan ujung rokok itu dengan sebuah mantra. Sebuah siraman kecil akan sebuah percikan sihir di ikutin dengan hirupan kepul asap wangi. “Tidak, ada…salahnya, untuk mempunyai…pilihan, lebih.”

“Yeah, tapi—“

“Hei—“

Rookie Warrior dan Apprentice Cleric, yang tengah mendengarkan tanpa suara, saling bertukar pandang dan mengangguk.

“Aku ingat tahun sebelumnya, ketika kebun itu di serang—kamu bilang dia nggak akan membantu kalau itu bukan quest.”

“Hufh.” Harefolk Hunter berkata, pipinya penuh dengan bubur jelai. “Afu nggaf tafu fenfang fumor ini afau femacamnya,tafi—“ Dia mengepakkan telinganya dan menelan. “…Apa yang kalian maksud dia ini pria baik kan.”

“Aw, sudahlah! Itu sudah menjadi kewajiban pria untuk menolong wanita cantik yang kesulitan!” Spearman yang adalah yang paling bersikeras, namun para bocah dan gadis saling cekikikan dan mengobrol bersama. Heavy Warrior, Knight Wanita, dan Half Elf Light Warrior terhibur memperhatikan mereka. dan kemudian Witch, dengan senyuman, menoleh kepada pria itu.

“…” Goblin Slayer tidak dapat mengatakan apapun, dia hanya berdiri di satu tempat dan menonton. Bukanlah keraguan ataupun keengganan. Dia sendiri tidaklah yakin apa yang harus dia katakan.

“Heh-heh!” Tawa itu sangatlah merdu di dengar, bagaikan cuitan sebuah burung. Di sanalah wanita itu, duduk di sebuah bangku yang biasanya di tempati oleh Goblin Slayer. “Itulah petualang.” High Elf Archer menggepakkan telinga dan menyeringai kepadanya. Di sampingnya adalah Dwarf Shaman, dagu bertopang di tangan, menggunakan ekspresi yang menunjukkan bahwa dia tidak mempunyai pilihan. Lizard Priest tengah berdiri di depan dinding dengan tatapan memahami di wajahnya/

Dan kemudian Priestess, di kelilingi oleh mereka, terlihat sedikit bingung. Namun kemudian dia mendengak dan melihat pria itu. Wajahnya berseri menjadi senyuman. “Pak Goblin Slayer, um…!”

Dia menggelengkan kepalanya perlahan dari samping ke samping. Di balik helmnya, mereka mendeteksi bibir pria itu yang sedikit melembut.

Adalah selalu seperti ini. Seperti yang pernah di katakan masternya, dia tidaklah begitu cerdas. Sepeti biasanya, orang lain tampak lebih mengerti tentang apa yang terjadi di bandingkan dirinya. Seperti itulah yang selalu berjalan.

“Ya,” dia berkata. “Aku pergi sekarang.”

Dan kemudian Goblin Slayer mulai berjalan menuju teman dan rekannya. Di bandingkan dengan perjalanan panjang pulang, langkahnya terasa mudah dan ringan.