GOBLIN SLAYER, MASUK MENUJU BADAI

(Translator : Zerard)

 

Tidak ada alasan khusus mengapa para goblin memutuskan untuk pergi ke sumur.

Ya, dia sedang haus. Tapi sebagian besar, dia sudah muak dengan ogre yang sok penting itu. Hanya karena ogre itu sedikit lebih kuat dari mereka semua, dia pikir dia dapat memaksa semua orang. Dia membuat mereka semua goblin bekerja! Mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk bersenang-senang. Hanya kerja, kerja, kerja—benar-benar terburuk.

Idiot lainnya semua sedang memfokuskan diri mereka pada pekerjaan tanpa pikir panjang, jadi dirinya mengira dia dapat bersembunyi untuk beristirahat sejenak. Mungkin tidur-tiduran selama beberapa menit di tempat teduh, bergumam dengan marah—bukanlah sesuatu yang yang lainnya tidak pernah lakukan. Ini bukanlah hal buruk untuk di lakukan…

Jadi dia mendapati ember sumur lebih berat dari yang dia duga, dia tidak dapat menerka alasan mengapa ini sangat berat, dia hanya mengumpat kepada para dewa.

“?!”

Tidak lama, dia berhenti berpikir sama sekali, ketika sebuah tangan menyembur dari dalam air, mencengkramnya di tenggorokan, dan mengirim kesadarannya tenggelam ke dalam kegelapan dengan suara sesuatu yang retak. Hingga penghujung kehidupannya, dia tidak pernah berpikir bahwa ini adalah kesalahannya sendiri.

Mayat goblin di tarik ke dalam sumur, menghilang di bawah air dengan cipratan pelan. Gadis Sapi menjerit pelan ketika tubuh itu terjatuh, namun pria itu berfokus untuk mempelajari daerah sekitarnya.

Pria itu adalah Goblin Slayer.

“Bagus. Ayo naik.”

Dia telah memanjat keluar sumur dan berdiri di sana dengan air menetes, mengamati sekitarannya yang sunyi. Dia memanggil Gadis Sapi dengan suara pelan, Gadis Sapi mengangguk kecil, kemudian dengan gugup memegang tali dan mulai memanjat ke atas dinding. Walaupun banyaknya pegangan tangan, sisi dinding sumur sangatlah licin, dan Gadis Sapi tidak dapat menyingkirkan perasaan kaku yang datang dari rasa cemas dan ketakutannya. Ketika dia mengira tangannya tidak dapat bergerak lagi, sebuah sarung tangan menjulur dan menggapainya, kemudian menarik dirinya sampai ke atas.

“Te………terima kasih.”

“Ya.”

Dia tidak mengatakan apapun lagi, dan menunduk rendah dan mulai berjalan cepat. Dia tidak berbicara, namun Gadis Sapi melihat instruksi implisit tersebut dan mulai mengikutinya dan menirunya. Apapun itu, Gadis Sapi tidak dapat bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka terpisah. Hal itu membuatnya menjadi sangat penurut.

Terdengar raungan lantang dari desa yang tidak berada terlalu jauh dan terlalu dekat dari mereka. adalah jelas bahwa raungan itu berasal dari monster itu, berteriak kepada goblinnya. Mereka tidak mempunyai banyak waktu.

Gadis Sapi melihat pria itu bergerak menjauh dari sumber suara itu, jadi Gadis Sapi mengira bahwa mereka mungkin akan mundur. Adalah sebuah ekspektasi yang Gadis Sapi tahu pasti akan salah. Pria itu tidak akan meninggalkan satu goblinpun hidup. Bukankan pria itu sudah pernah mengatakan itu dulu sekali?

“…….Danau…..?”

“Benar.”

Mereka kembali pada danau beku yang mereka kunjungi sebelumnya. Dia berjongkok, mengeluarkan pisau dan menusukkannya ke dalam es. Gadis Sapi, tidak yakin apa yang harus di lakukan, duduk di samping pria itu. Tubuhnya yang basah mulai merinding, walaupun dia mengira bahwa cincin ini seharusnya menepis tubuhnya dari perasaan dingin.

Oh yea. Aku harus mengeringkan diriku.

Itu adalah sesuatu yang yang pria itu katakana sebelumnya. Gadis Sapi akan terkena radang dingin. Tetap saja, Gadis Sapi terlalu malu untuk melepaskan pakaiannya di sini, jadi yang hanya dia dapat lakukan hanyalah memeras lengan baju dan bagian baju lainnya. Bajunya menghasilkan banyak air. Pakaiannya bergantung tidak nyaman di kulitnya, dan rambutnya sangat terasa berat.

“…Kamu nggak apa-apa?” dia Gadis Sapi bertanya.

“Apa maksudmu?”

“Nggak keringkan badanmu.”

“Ya.” Pria itu menjawab dengan anggukan pelan. “Sebentar lagi aku bakal hangat. Aku baik-baik saja.” Dia berkata. Kemudian menambahkan, “Sebentar lagi.”

“Yeah…?” Terdapat banyak hal yang tidak dapat di pahami oleh Gadis Sapi tentang apa yang pria itu katakan.

Gadis Sapi memeluk lututnya, meringkuk menjadi bola, menggetarkan tubuhnya untuk mengenyahkan dingin. Tidak…bukanlah dingin. Tetapi sebagian besar dari rasa takutnya.

Walaupun dengan pakaiannya yang basah, dia dapat merasakan kehangatan samar dalam tubuhnya sendiri. Tapi ini sama sekali tidaklah cukup untuk menghangatkannya.

“Hei…”

Itulah mengapa, akhirnya, dengan ragu, Gadis Sapi memanggil pria itu. Tidak ada hal lain yang dapat dia lakukan.

“Apa?” Suara pria itu pelan, tangannya bekerja tanpa henti, dan dia tidak menoleh kepada Gadis Sapi.

Gadis Sapi melamun, berharap mendapatkan kata yang bahkan dia tidak yakin untuk di tanyakan, namun akhirnya dia mendekapkan wajahnya pada kedua lutut dan berkata, “Monster itu… Dia berkata sesuatu tentang kamu membunuh saudaranya…”

“Ya.”

Gadis Sapi menelan liut. “Apa itu benar?” dia bertanya dengan suara kecil.

Jawaban pria itu acuh. “Aku nggak ingat.”

“Jadi mungkin itu…kesalahpahaman. Salah orang…?”

“Dia juga nggak mengingat siapa yang sudah dia bunuh juga.”

Gadis Sapi berharap untuk sesuatu, seberapapun kecilnya dengan pertanyaan dia. Pria itu memutuskan harapan itu.

“Nggak ada pengaruhnya denganku.”

“Begitu.” Gumam lembut bibir Gadis Sapi. “Iya, pasti begitu.”

Dalam jeda panjang, pria itu mengambil es yang dia kikir dan ukir dengan pisaunya, kemudian melemparkannya kepada Gadis Sapi.

“Eep!” Gadis Sapi menjerit di karenakan dinginnya es situ, namun kemudian Goblin Slayer juga memberikannya sebuah kain yang cukup kering.

“Gosok itu.”

“I-ini?”

“Aku akan buat beberapa lagi.”

“Uh, oke…”

Terus? Gadis Sapi menelan pertanyaan dan mulai menggosok. Goblin Slayer kembali terdiam mengikir es.

Gadis Sapi tidak mengetahui seberapa banyak waktu yang mereka habiskan melakukan ini. Dia hanya meletakkan satu kepingan lagi ketika akhirnya pria itu mendengak ke atas.

“Sepertinya badai sudah selesai.”

“Iya juga…” Gadis Sapi berkedip dan mendengak ke langit. Di balik awan putih di atas mereka, matahari tampak mengintip di balik awan.

“Aku nggak bisa mengharapkan para dewa untuk melemparkan kita dadu bagus, tapi…”

“Ini kesempatan bagus.” Setelah bisikan itu lepas dari bibirnya, dia mengambil kepingan es yang telah di gosok Gadis Sapi.

“Aku pergi,” dia berkata acuh. “Kamu, tinggalkan desa.”

“Apa…?” Gadis Sapi berkedip. Salju yang ada di alisnya terjatuh.

“Aku akan buat keributan. Mereka akan fokus padaku. Kalau ada sarang lain, beberapa dari mereka mungkin dapat lari, tapi…” Dia mengatur genggaman pada es yang licin, bergumam sesuatu tentang wilayah desa, dan kemudian melanjutkan dengan datar, “Syukurnya, si apapun-makhluk-itu kemungkinan nggak akan membiarkan itu. Jadi kamu seharusnya bisa lari.”

Gadis Sapi telah memprediksi pria itu akan mengatakan ini. Lari—itulah mengapa mereka telah berlari selama ini. Dan sekarang dia akan membunuh.

Seperti biasanya.

“…Oke.” Dengan itu Gadis Sapi tidak mendebat, namun hanya mengangguk. Seperti yang selalu Gadis Sapi lakukan. “Aku pulang terus… Aku buatkan makanan hangat yang enak untukmu.”

“Ya,” dia berkata pendek, dan kemudian dia mulai berjalan perlahan menuruni jalan bersalju. Hal itu membuat sang gadis terkejut, dia tidak dapat mendengar langkah kaki pria itu.

Untuk beberapa saat, Gadis Sapi memperhatikan pria itu dengan seksama seraya dia berjalan menjauh dari dirinya. Gadis Sapi membuka mulut, dan kemudian menutupnya kembali. Apa yang dapat dia katakan? Sesuatu yang tidak akan membebani pria itu. Berjuanglah?  Pria itu selalu berjuang.

Terdapat banyak hal yang ingin dia tanyakan. Hal yang dia harap pria itu akan katakana. Setelah beberapa saat penuh kebimbangan, Gadis Sapi berkata, dengan suara yang terancam akan tergiring angin: “Kamu akan pulang, kan?”

Pria itu tidak berhenti. Dia hanya terus berjalan tanpa suara.

Mustahil pria itu dapat mendengar sang gadis. Yah, jika begitu, tidak ada pilihan lain. Gadis Sapi menggosok kedua matanya, mengangguk, kemudian berputar perlahan. Dia harus pergi dari tempat ini dengan cepat—mencari desa di suatu tempat, memberi tahu mereka apa yang terjadi, meminta bantuan.

Di saat Gadis Sapi hendak pergi, sesuatu mengejutkannya.

“Aku nggak berniat kalah.”

Beberapa kalimat singkat dengan suara pelan, di ucapkan dengan datar—kalimatnya, suaranya.

Benar: seperti itulah pria itu.

Argh, dia sama sekali nggak tahu apa yang aku rasakan.

Dia menghela perlahan, kemudian mulai berjalan melintasi salju.

*****

Bahkan setelah mereka selesai mendirikan kemah di desa, bahkan dengan tawanan dan pasukannya yang ada di dekatnya, sang ogre masih saja merasa marah.

“GOROGB!”

“GGOBOGGGR!!”

Sang goblin tertawa hina seraya mereka bersenang-senang dengan seorang tawanan. Mereka sama sekali tidak memiliki kehendak untuk menahan diri, mereka akan terus melanjutkannya hingga cahaya pudar dari mata wanita itu dan mereka membunuhnya.

Adalah sama seperti sekarang. Para monster terkekeh-kekeh dan menghunuskan pedang kepada wanita itu, oleh karena itu monster itu melotot pada mereka untuk membungkam mereka.

Argh, goblin memang bagus buat tumbal perang.

Mereka sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk mengikuti perintah apapun, namun tunjukkan pada mereka sedikit kemurkaaan, dan mereka dalam sekejap akan segera patuh. Walaupun begitu, mereka mungkin tetap saja mengumpat dirinya dari dalam hati mereka. seperti itulah para goblin.

Kobolds bakal lebih bagus untuk menjadi bawahan!

Bahkan walau dia telah berhasil memfitnah goblin dan beastmen secara bersamaan, sang ogre menatap pada pasukannya penuh dengan kemarahan. Penghuni gua ini sama sekali tidak layak untuk bekerja di luar gua, namun mereka adalah apa yang hanya di miliki oleh sang ogre, fakta lain yang juga membuatnya kesal.

“Lambat sekali…! Aku sudah memberikan mereka batas waktu, dan batasnya hampir habis….!” Dia mendengak, dia dapat melihat matahari yang di benci berada di bali awan putih di langit, menyengat kedua matanya. Dia tidak mengetahui apa yang di rencanakan oleh para raksasa bodoh dan witch e situ di atas pegunungan, namun badai salju ini tampak sudah berhenti.

Hal ini membuat ogre marah juga, kursinya berdecit.

Mereka semua—sama sekali tidak kompeten…!

“GOBGR! GOOBOGR!”

“Oh, diam!”

Seekor goblin mendekatinya, menundukkan kepala menyembah. Mungkin itu untuk menunjukkan perasaan yang dia rasakan. Sang ogre memberi tahunya goblin itu dengan menendangnya. Kemudian dia mengangkat botol yang di pegang oleh sang goblin itu, yang berguling mengarah dirinya. Adalah sebuah botol akan anggur yang tersegel dengan tanah liat. Terdengar guncangan air ketika dia mengocoknya; masih terdapat sesuatu di dalamnya.

Sang ogre menarik segel dan meminumnya dengan sekali teguk.

“Masih mengincarku, petualang….?!”

“…GOBBG.”

“Apa, kamu takut…?” Dia menghiraukan kepatuhan setengah hati dan tatapan sombong sang goblin, melemparkan wadah yang sekarang sudah kosong. Jika memang ini yang terjadi, maka terjadilah. Ini hanya menunjukkan bahwa para petualang itu curang, pengecut, dan lemah. Sang ogre akan menyelesaikan ini, kemudian menyerang kota, mencari pria itu, menyiksa dirinya dengan cara yang tidak berprikemanusiaan, dan akhirnya membunuhnya. Dia akan membunuh keseluruhan keluar petualang tepat di depan matanya, memperkosa mereka, memakan mereka, membuat pria itu memohon untuk mati sebelum dia memainkan mereka.

Atau mungkin dia akan mematahkan setiap tulang pada tubuh pria itu. Jeritan pria itu akan Tolong aku! Akan berubah menjadi rintihan menyedihkan akan Cepat bunuh aku!

Sang ogre menjilat beberapa anggur dari bibirnya, mengambil palu perangnya dan berdiri.

“Sepertinya kamu sudah di tinggalkan,” dia berkata kepada wanita yang ada pada salib, namun respon mereka hanyalah diam. Hanyalah “Ah” atau “Ugh”, pelan dan rinding samar akan tubuh mereka di karenakan dingin. Namun sang ogre menyadari itu: percikan sama di dalam kedua mata buram, nan gelap wanita itu.

Seperti itulah yang hanya dapat kamu harapkan dari para manusia. Mereka mungkin berharap untuk mati, mereka mungkin akan pasrah terhadap segalanya, namun itu tidak akan terjadi. Sang ogre mendengus dan menggenggam palu dengan kedua tangannya.

“Aku akan membantu kalian,” Dia berkata. “Kamu bisa kasih tahu aku yang mana dari kalian yang ingin mati duluan.”

Tentunya dia tidak berucap untuk mati dengan cepat dan mudah. Para wanita hanya dapat saling bertukar pandang.

Masing-masing dari mereka ingin mati  cepat. Namun mereka tidak ingin mati. Biarkan yang lain yang menjadi pertama. Namun mereka tidak ingin mengatakan itu.

“Kenapa, nggak bisa memutuskan?” Sang ogre mendengus kembali, kemudian mengisyaratkan para goblin dengan gerakan tajam dari dagunya.

“GBOORG!”

“GBG! GOORGB!”

Di manakah hinaan itu beberapa menit sebelumnya? Para goblin tersenyum ala monster dan menyerbu para wanita yang menjerit akan “Tidaaaak!” seraya mereka merasakan para goblin berkerumun di kaki mereka.

“Cepat dan pilih, atau aku akan membiarkan mereka menangani ini. Coba kamu bayangkan bagaimana ekspresi para petualang ketika melihat tubuh kalian…”

Shff. Terdengar sebuah suara salju yang tertendang ke samping, sebuah langkah kaki.

“…..?!”

Para goblin tidak berhenti. Namun sang ogre melihatnya. Para wanita juga, mengangkat kepala mereka dengan lemah.

Adalah sebuah bayangan gelap.

Bayangan itu muncul dari antara puing-puing rumah dan mengarah menuju mereka.

Berjalan menuju mereka dengan acuh, hampir terlihat santai, adalah petualang yang terlihat menyedihkan. Dia menggunakan armor kulit kotor, sebuah helm baja yang terlihat murahan. Di pinggul bergantung sebuah pedang dengan panjang yang aneh, dan pada lengannya sebuah perisai kecil bundar.

Kakakku di bunuh oleh orang yang seperti itu? Dan aku juga yakin mereka bilang ada seorang gadis yang bersama pria itu…

Yah, terserahlah. Itu adalah laporan seekor goblin. Kamu tidak dapat mempercayai mereka.

Sang ogre mengangkat tangan untuk menghentikan para goblin dan, terlihat senang, berkata, “Aku kagum kamu bisa sampai ke sini sendirian. Sedikit terlambat, tapi…yah, aku memaafkanmu.”

Pria itu tidak mengatakan apapun. dia tampak hanya berdiri di sana, helm tidak bergerak. Apakah dia takut? Sang ogre mendengus. Baiklah, kalau memang pria itu takut, maka baiklah.

“Aku nggak seperti dirimu. Kalau aku menggunakan sandraku sebagai perisai, menghabisimu hanyalah sebuah masalah sepele. Tapi itu bakal tidak ada artinya.” Sang ogre mengangkat palunya secara perlahan, menunjuk pada sang petualang dengan gerakan angkuh. “Karena itu, aku akan memberikanmu kesempatan untuk bertarung. Ini adalah balas dendam untuk kakakku, dan aku mau kamu mati dengan….terperinci.”

“Aku nggak peduli mengapa kamu salah, tapi kamu salah,” pria itu berkata pelan. “Kamulah yang akan mati, dan akulah yang akan membunuh.”

“Kalian para petualang, selalu menggongong seperti anjing!”

Pada petintah ogre, para goblin berteriak dan menyerbu ke depan.

Goblin Slayer menarik pedang dan maju menuju badai.

Pertarungan di mulai.

*****

“Hraah!!”

“GOROB?!”

Kilau pedang Goblin Slayer menyayat hidung goblin. Darah hitam meledak mengenai helmnya seraya dia menendang goblin itu menjauh dan bergerak ke depan.

“GOROOOOGB!”

“Hmph…!” Seraya musuh berikutnya melompat, dia menghadangnya dengan perisai pada lengan kirinya.

“GORGGB?! GOOORGB?!”

Ujung yang terasah menghantam mata monster tersebut, sang goblin terhuyung ke belakang menjerit dan terjatuh ke dalam salju. Yang pertama, dan ini yang kedua, mungkin masih hidup, namun kehidupan tidaklah akan begitu berharga bagi mereka. jika nyawa seekor goblin bisa di katakan berharga…

“….” Goblin Slayer membersihkan darah yang menetes dari senjata, kemudian menoleh sekitaran dengan perlahan.

“GOROO…!”

“GBGR… GBBG!”

Sang goblin menggerutu, mengambil satu atau dua langkah mundur.

Seharusnya ini mustahil. Musuh mereka hanyalah seorang pria. Jumlah mereka banyak. Dan di belakang mereka adalah raksasa besar, tinggi, berteriak, dan mengancam mereka.

Seharusnya, sang petualang merasa takut, atau menyerang mereka dengan putus asa—seperti petualang seharusnya. Itu karena, para petualang sangatlah bodoh. Sejauh goblin peduli, semua orang terkecuali diri mereka sendiri adalah makhluk tolol. Mereka semua berpikir demikian.

Itulah yang membuat mereka marah. Itulah yang membuat mereka ketakutan. Tidak seharusnya ada orang lain selain mereka yang tidak bodoh.

Lingkaran tidak rapi terbentuk mengelilingi Goblin Slayer yang berada di tengahnya. Masing-masing dari goblin sangat percaya diri, walaupun mereka tidak mempunyai bukti, bahwa dirinya sendiri tidak akan berakhir tragis. Kepercayaan diri tak berdasar itu secara perlahan berubah menjadi ketakutan: goblin menginginkan dirinya sendiri terhindar dari takdir ini. Di keseluruhan dunia, tidak ada yang namanya goblin pemberani yang tidak mengenal takut. Masing-masing dari diri mereka hanya memikirkan keuntungan, kejayaannya sendiri, dan mengalahkan semua musuhnya. Jika tidak, mengapa mereka menyerang banyak orang? Mengapa mereka mencoba untuk mencuri dari banyak orang?

“GOORGBB?!”

Goblin Slayer bahkan tidak berputar ketika menghadapi upaya sergapan; dia hanya memegang pedangnya secara terbalik dan menusukkannya ke dalam perut makhluk itu. Sang goblin yang isi tubuhnya terkoyak kasar telah terjatuh, merintih kesakitan, isi perutnya terburai keluar. Goblin Slayer mengambil langkah maju, dan semua goblin yang ada di depannya mengambil langkah mundur.

Salju telah berhenti terjatuh. Angin telah berhenti berhembus. Selimut putih yang meliputi puing desa telah tergores dengan darah, dan tidak akan lama untuk tertutupi kembali.

“GOBR…”

“GBBBRG…”

Para goblin saling bertukar pandang, bimbang. Ini bukanlah apa yang mereka duga. Apakah mereka semua perlu menyerang secara bersama? Namun siapa yang akan mengambil gerakan pertama? Mereka berpikir dengan otak kecil menjijikkan mereka untuk memperbutkan control. Adalah yang kedua atau ketiga dalam bertindak yang akan mendapatkan paling banyak keuntungan. Tidak ada yang mau menjadi yang pertama. Tetapi…

“Apa yang kalian semua takutkan, kalian makhluk kecil pemalas…?!”

Salah satu monster berdiri pada ujung luar dari lingkaran tiba-tiba menyerang dengan teriakan dan palu perang. Adalah, tak perlu di ragukan, palu milik sang ogre. Dia mengayunkan palu dengan putus asa untuk membersihkan darah, kemudian memaparkan giginya, murka. “Kalau kalian nggak bisa menjadi lawan dia, maka kalian akan melawanku sebagai pemanasan.”

Darahnya mengalir panas pada keinginan untuk membalas dendam. Matanya bersinar, menyebabkan para goblin ketakutan.

“GGORG!!”

“GOR! GGOOBOG!”

Dengan musuh yang ada di depan dan belakang, para goblin mulai menjerit. Jika mereka tidak menyerbu orang bodoh ini, maka yang menunggu mereka semua adalah kematian. Dan mereka tentunya tidak ingin mati. Tidak seorangpun yang ingin mati. Ini semua adalah kesalahan petualang itu, mereka sangat yakin…

“Petualang itu” tidak melepaskan kesempatan sekejap ini yang tersaji di depannya.

“Bodoh,” Goblin Slayer meludah, kemudian, menyerang ujung luar dari lingkaran, menghantam musuh dengan perisainya. Ukuran dan perlengkapannya memberikan keuntungan beban dalam melawan goblin, hingga satu atau dua dari mereka tidak akan dapat menghentikan pria ini.

“GOOBG?!” Dia menyerang satu goblin, menginjaknya seraya dia berlalu, menghancurkan dua atau tiga tulang musuhnya, dan tidak berhenti.

“GBGG?! GBGO?!”

“GOOROGOGO!”

Para goblin tidak dapat menerima ini; mereka menyerbu ke depan, sebanyak mungkin, menggunakan rekan mereka sebagai perisai. Akan baik-baik saja, serangan petualang akan mengenai goblin lain. Mereka hanya perlu membunuh pria itu selagi pria itu teralihkan—!

“Satu…!”

“GOOBG?!”

Pedang Goblin Slayer menusuk goblin pertama pada menembus tenggorokan, begitu menyakitkannya bagi makhluk itu. Goblin kedua dan ketiga terlontar di karenakan Goblin Slayer, bahkan seraya mereka mentertawakan rekan mereka yang tenggelam dalam darahnya sendiri.

“GOR?!”

“GBBGR?!”

Akan tetapi…

Ketika goblin yang di depan mengangkat pentungannya, dia mengankatnya begitu jauh hingga dia mengenaik rekan di belakangnya tepat di kepala, rekannya kemudian memberikan dia tendangan marah.

Sementara itu, ayunan pedang dari samping, menggigit ke dalam pundak dari rekan yang ada di depan; dia mulai berteriak dan meronta kesakitan.

“Hmph!”

“GOOBOGR?!”

Sementara mereka bertarung, Goblin Slayer merajut jalannya mendekat ke ujung luar lingkaran. Dia mengayun sebuah pedang yang masih ada mayat yang menempel di pedangnya, melepaskannya dan menghantam dua atau tiga goblin lagi dengan pedang itu. Dia melompat masuk ke dalam celah yang dia buat, memukul goblin di wajah dengan tangan kanannya yang bebas.

Makhluk itu menjerit dan terhuyung ke belakang, yang di mana pria itu mengambil pedang dari pinggul makhluk itu dan menancapkannya pada goblin yang ada di kejauhan.

“GRGB?!”

“Dua!”

Sang goblin terjatuh ke belakang dengan pedang yang mencuat dari tenggorokan. Goblin Slayer menggunakan goblin itu sebagai batu pijakan dan terus berlari.

Menginjak tubuh, menendangnya. Tinggi tubuh, tidak terlalu tinggi. Waktu mengambang, tidak begitu lama. Selama kamu berada di udara, kamu tidak dapat bergerak dengan mudah, kamu sangat tidak berdaya.

“GOOOG?!”

“Dengan ini tiga!”

Dia mendarat pada goblin seraya dia mencapai tanah, mematahkan tulang punggungnya. Namun ini belum selesai. Goblin terus mendekat di sekelilingnya. Mereka meremas senjata, meludah dan saling berteriak. Goblin Slayer mengambil postur rendah dan menyandung salah satu goblin dengan ayunan kakinya.

“GOBGR?!”

Satu goblin, sungguh tidak beruntungnya bagi dia, terjatuh ke depan—dan tentu saja, ada goblin lain yang berada di belakangnya. Jika begitu, apa yang terjadi?

“GR GOROOGB?!”

“GOBB?!”

Tentunya, dia terlumat. Dan yang menghancurkan dia kehilangan keseimbangannya. Jadi apa yang terjadi dengan yang berada di belakangnya?

“GOROG?!”

“GOOBGGG?!”

Tersandung, terinjak, menggeliat, meronta, tersedot, dan terjatuh—semua terjadi pada beberapa goblin secara sekaligus.

Goblin Slayer, masih dengan postur rendah, berhasil melompati keributan itu dalam sekejap.

“GOOB?!”

Tetapi dia tidak lupa untuk meminjam sebuah pentungan dari salah satu goblin yang meronta seraya dia berlalu.

“Dasar goblin bodoh…! Bagaimana mungkin aku memiliki banyak dari kalian, dan kalian masih sama sekali nggak berguna?!” Monster lainnya, apapun dia, sangat, sangat marah, Goblin Slayer mendengar dia di kejauhan selagi dia menghancurkan tengkorak dari goblin ke empat.

“GOBBG?!”

Empat. Dia menarik pentungannya kembali, mengangkatnya untuk menghalangi serangan berikutnya, dan menggunakan momentum itu untuk berlari kembali. Sang goblin, terheran beberapa saat di karenakan senjatanya yang di tepis, mendapati dirinya sendiri terlempar ke belakang masuk ke dalam rekannya. Terdengar semacam ejekan, dan goblin itu berhenti bergerak. Goblin Slayer mengambil tombak tangan yang terjatuh, melemparnya ke dalam grup dan percaya bahwa dia akan mengenai sesuatu.

“GOBBGRRG?!”

Seekor goblin yang sekarang mempunyai tombak yang menancap di dadanya, terjatuh ke balakang, membawa beberapa rekannya ikut terjatuh. Seraya tubuh mereka saling terdorong, mereka tidak dapat bergerak lagi untuk beberapa saat.

Goblin Slayer mengambil setiap senjata yang mereka jatuhkan dan mulai melemparnya ke segala arah.

Semua adalah repetisi. Tuhan, kemanapun Goblin Slayer melihat, hanyalah ada goblin, goblin, goblin. Pria itu bisa saja mengayunkan senjatanya secara acak dan masih dapat membunuh sesuatu.

Satu hal yang tidak akan di lakukan Goblin Slayer: menghadapi keseluruhan pasukan di lahan terbuka dan berhasil menang. Untungnya, goblin tidak memiliki konsep untuk menerapkan taktik massal. Setidaknya selama tidak ada goblin lord di antara mereka!

“GOOGG?!”

“Dua belas!” Goblin Slayer berkata, tentunya mengatur kebenciannya. Frustrasi. Ketakutan. Kemarahan.  Kekacauan agar menyebar seperti domino yang terjatuh. Dan Goblin Slayer terus mengobrak-abrik gerombolan goblin yang semakin rusak.

“Petualangggggg!!”

Menunggu pria itu adalah monster besar itu. Goblin Slayer terus memakukan tatapannya pada makhluk itu, berlari lurus bagaikan salah satu panah High Elf Archer.

Di sana terdapat palu raksasa itu, yang di mana tentunya telah banyak merenggut nyawa. Baja itu berkelip samar dalam pantulan cahaya dari salju. Satu serangan dari senjata itu akan akan sangat berpotensi luka parah. Persis seperti pertarungan itu dulu sekali, Goblin Slayer tidak dapat berasumsi dia akan selamat dari serangan semacam itu.

Dan apa yang dia miliki? Sebuah pentungan, perisai, dan beragam benda lain di kantungnya.

Nggak masalah.

Postur Goblin Slayer begitu rendah hingga hampir menyentuh lantai, namun dia terus mempercepat larinya.

“Matiiiii!!” Palu perang menghujam. Ayunan itu menghasilkan siulan angin seraya mencari tengkorak dan tulang punggung pria itu untuk di hancurkan dalam satu serangan. Dalam waktu sekejap itu, Goblin Slayer memukul lantai dengan kedua tangan. Lumpur dan salju kecoklatan terlontar ke atas seperti cipratan dari sebuah genangan air.

Apakah benturan dari palu itu yang menyebabkannya, ataukah dia hanya mencoba untuk berhenti dengan terburu-buru? Apapun itu, efeknya tetap sama, dan sekejap. Dalam sepersekian detik, dan setipis helai rambut, kilau dari palu perang itu tertanam di tanah persis di depan Goblin Slayer.

Lembek!

Selagi sang ogre mencoba untuk mencabut palu dari lumpur, Goblin Slayer beraksi. Jalannya berubah—seperti salah satu panah High Elf Archer.

“Ngrrrr!!” sang ogre meraung. Petualang yang di benci telah menggunakan palu berharganya sebagai lontaran, pijakan, untuk mencapai ke atas dirinya. Adalah hal yang memalukan bagi seekor ogre. Dia mengubah genggaman pada palunya, bersiap untuk melancarkan serangan kepada sang petualang dengan perlengkapan yang menyedihkan ini.

Namun Goblin Slayer sama sekali tidak mempedulukan perasaan seekor monster yang namanya bahkan dia tidak ketahui. Tentu saja tidak. Di saat Goblin Slayer mendarat di tanah, dia berguling untuk menetralkan benturan, kemudian berdiri dan terus bergerak maju. Dia bergerak—tidak menuju monster, bahkan tidak menuju goblin.

“Oh…”

“Kamu hidup.”

Suaranya begitu pelan, dan Respon Goblin Slayer begitu pendek. Wanita yang di paku pada salib, berkedip. Dari belakang pria itu terdengar raungan ogre dan para goblinnya. Waktu bukanlah pendek, tetapi tidak ada sama sekali. Goblin Slayer menggunakan beberapa detik yang tersisa untuk memberi tahu sesuatu kepada sang wanita.

“Ini akan sakit, tapi setelah ini akan berakhir.”

“…Ergh.” Sang wanita mengangguk lemah. Dengan gerakan mekanikal kejam, Goblin Slayer mencabut wanita itu dari salib. “Waah, ahh…?!”

Wanita itu menjerit seraya paku mencabit kulitnya. Goblin Slayer mengendongnya di pundak. Masih ada wanita lain. Dia melompat ke satu sisi, berseluncur di atas salju untuk mencapai wanita itu.

“Bajingan!! Menyelamatkan tawanan—sepertinya kamu punya banyak sekali waktu senggang, eh!!” sang ogre menghantam palu perangnya ke tanah, terlihat seolah akan membunuh pria itu hanya dengan tatapan, dan dengan satu senyuman brutal.

“Nggak juga.” Seraya dia merespin pelan, Goblin Slayer menarik tangannya keluar yang sudah berada di dalam tas peralatannya dari tadi.

“Grah?!” Terdengar klak kering akan sesuatu yang memantul dari wajah ogre, dan noda merah tersebar bagaikan butir salju. Sang monster berteriak dan menekan wajah dengan tangan, terhuyung kebelakang.

Adalah sebuah cangkang telur, terisi dengan merica dan zat membutakan lainnya. Tidak peduli monster apapun, mata dan hidung selalu menjadi sasaran empuk.

“Apa ini, mainan anak kecil…kah?!”

Sang ogre telah meremehkan pria itu. Terlalu mengganggap enteng. Seperti yang para goblin lakukan kepada mereka yang lebih lemah dari dirinya sendiri. Pengelihatan ogre merah, secara harfiah dan kiasan, dan dia mengayunkan palunya secara ceroboh dan membabi buta.

“GOROOGB?!”

“GOB?! GOGR?!”

Dia merasakan menghancurkan dan mencabik. Namun itu hanyalah goblin, dan bukan Goblin Slayer. Sang petualang, yang telah menggunakan perisainya untuk mendorong goblin ke arah ogre, terus berlanjut menuju Sandra berikutnya. Dia tidaklah cepat, di karenakan dia sudah mempunyai satu mantan Sandra di pundaknya. Akan tetapi, dia, berada di luar ingkaran. Sedangkan pada sisi ogre, berteriak marah dan mengayunkan palunya sembarangan. Para goblin hanya dapat melihat dari kejauhan, dan Goblin Slayer memanfaatkan penuh hal ini.

“Bersiaplah.”

“O…ke…” Wanita ini menjawab dengan tenaga dalam suaranya, dan ketika Goblin Slayer mencabut dia dari salib, wanita itu menggigit bibirnya dan menahan rasa pedih.

Sekarang para tawanan telah bebas. Membawa mereka bagaikan karung di pundak, Goblin Slayer berputar menghadapi musuhnya.

Sekarang pergerakannya menjadi lambat. Dia hanya mempunyai satu tangan yang bebas. Dia ragu dia dapat menggunakan senjata. Jika dia harus bertarung, kemungkinan dia akan kalah.

Dia tidak perlu menyelamatkan mereka. dia bisa saja meninggalkan mereka. namun pikiran itu tidak pernah melintas di benaknya. Jika hanya lakukan atau tidak lakukan, maka dia akan melakukannya. Itulah salah satu hal pertama yang telah di ajarkan kepadanya.

“Petualang dungu… Apa seperti itu keinginanmu untuk mati?” sang ogre, akhirnya berhasil membersihkan bubuk perih dari matanya, menyeringai bagaikan hiu.

Manusia semuanya bodoh. Itulah apa yang goblin katakan, dan sekali-sekali, mereka benar. Mereka akan menghabiskan waktu untuk menyelamatkan tawanan—apakah itu di karenakan rasa cemas terhadap apa yang orang-orang pikir tentang mereka, atau di karenakan mereka memiliki hati yang lembut, tidak masalah. Terdapat beberapa orang yang akan meninggalkan tawanan, namun orang seperti mereka akan segera tersesat dari jalan Ketertiban.

Sedangkan untuk katagori petualang ini, adalah jelas untuk di lihat. Dan untuk mengirim tipe seperti masuk ke dalam jurang keputusasaan, itulah kenikmatan tertinggi akan mereka para Karakter-Tidak-Berdoa.

“Baiklah sesuai keinginanmu—aku akan membunuhmu selagi para wanita itu memperhatikan. Itu adalah kesialan mereka di karenakan penyelamat mereka adalah orang tolo…” Sang ogre mulai berlari ke depan. Goblin Slayer tidak merespon. Dia hanya mendengak ke langit. Di balik putih awan, matahari dapat terlihat bersinar dengan terang. Adalah lewat tengah hari. Suryanya begitu terang seperti seharusnya dalam musim ini.

Inilah momen yang sudah ku tunggu.

“GGBBOOR?!” Satu goblin memberikan teriakan kebingungan. Beberapa goblin lain mengikutinya, melihat ke langit.

Adalah asap. Sebuah asap mengepul. Mereka dapat merasakan panas di dalam angin. Lidah merah sedang menjilat surga.

Api.kebakaran besar.

“GROOG?!”

“GGOOBOR?!”

“Apa…?!” Sang ogre tercengang. Api telah membakar sekitaran desa. Dia menghiraukan para goblin, yang di mana masing-masing dari mereka mencoba saling melempar tanggung jawab untuk menangani api. Gagang dari palunya berdecit dalam genggaman tangan ogre,

Bajingan ini punya bala bantuan?!

Seraya ogre melotot terkejut, Goblin Slayer meludah, “Siapa yang mau bertarung secara adil dengan makhluk sepertimu?”

Asap yang mengambang terbawa angin sudah mulai menyelimuti pusat desat. Kabut tipis, hitam tinta akan menghalangi pengelihatan, bahkan bagi mereka yang dapat melihat di kegelapan. Dia merasakan panas. Jika dia dapat menghalangi pengelihatan dengan api-asap panas, maka keuntungan dari makhluk-makhluk ini akan sirna.

Sang ogre tidak dapat menerka ini.

Ogre tidak dapat mengetahui bahwa Goblin Slayer telah mengambil kepingan-kepingan es yang telah di potong dan Gadis Sapi poles, dan menempatkannya di berbagai macam lokasi di sekitar desa. Semua berlangsung selagi ogre menunggu, berdiam diri, untuk Goblin Slayer muncul, sang petualang telah memasang perangkap dengan tenang. Atau sinar matahari itu telah menyinari es dengan begitu panas hingga dapat menyalakan api. Atau kayu-kayu kering dari rumah ini, bersama dengan kayu dan ranting yang terkubur, dapat terbakar dengan sempurna walau dengan adanya salju, atau karena pria ini mengetahui seribu satu cara untuk menangani kemampuan goblin untuk dapat melihat di kegelapan.

“Aku nggak peduli monster macam apa kamu.”

Para goblin panic, ketakutan, sang ogre menggenggam palu dengan tangan gemetar. Asap mengepul, jelaga dan api berdansa berlalu. Setengah terhalang oleh tirai abu, sang petualang berbicara dengan tenang, datar. Suaranya tidak pernah sekalipun pecah atau meninggi, hampir mekanikal.

“Tapi aku akan membunuh semua goblin.”

*****

Goblin Slayer berlari melintasi asap dan putaran api, para wanita masih bergantu di atas pundaknya.

“GOORGB!”

“GB! GOR!”

Semua di sekelilingnya adalah ceracau menjijikkan para goblin. Namun walau monster ini dapat melihat di kegelapan, asap dapat menghalangi pandangan mereka. hal ini juga berlaku bagi sang ogre, yang dapat terdengar marah dan menghancurkan bangunan yang sudah hancur ini di sekitarnya. Para wanita terkesiap dengan takut di setiap benturan dan rauangan, namun Goblin Slayer tidak mempedulikan mereka. setiap detik, setiap saat sangatlah berharga. Mereka sudah kalah jumlah. Mereka benar-benar tidak boleh kehilangan inisiatif.

Goblin Slayer melepaskan tubuh para wanita untuk beberapa detik, merogoh kantung peralatannya. Dia menarik beberapa batu kecil dan tajam dan menyebarkannya ke lantai di belakang dia.

“GOORGB?!”

“GGBB?!”

Para goblin mengejar mereka—Goblin Slayer hanya berasumsi mereka berada di sana—menjerit kesakitan. Luka kaki akan memperlambat mereka, membuat mereka semakin sulit untuk melintasi api.

Itu akan menyelesaikan beberapa dari mereka.

Berikutnya, dia melemparkan sebuah kerikil ke arah acak. Kerikil itu memantul menjauh.

“GGOBR!”

“GORB GGBRO!”

Beberapa goblin dapat terdengar berteriak dan berlari mengarah kerikil itu. Tanpa ragu, Goblin Slayer melemparkan belati mengarah mereka.

“GOOBRG?!”

Sebuah jeritan. Kemungkina menembus tenggorokan. Dia sudah hapal mati dalam ingatan tinggi lemparan yang benar. Dia sudah terbiasa bertarung tanpa dapat melihat. Namun itu tidak berlaku bagi para goblin. Tidak ada goblin yang membayangkan bahwa mereka akan berada dalam situasi seperti ini.

Itu bukan alasan untuk nggak mengurangi keunggulan musuh.

Seperti itulah tekad dari Goblin Slayer, dan dia senang dengan hasilnya.

Kemudian, selagi para goblin sedang sibuk kebingungan, Goblin Slayer menuju sebuah sumur yang dia temukan.

“Aku akan menaruhmu di sini sekarang.”

“…Ap—?”

Sebuah suara ketakutan. Pembasmi para goblin meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja, kemudian memasangkan cincin pada tangan para wanita yang terperban.

“Kamu akan bisa bernapas. Mustahil mereka akan menemukanmu. Sampat keadaan senyap, sembunyi di sini dan tunggu.”

“…Ah…Mmmm…”

Dia melihat anggukan kecil dari para wanita, kemudian mendudukkan mereka ke dalam ember di dalam sumur dan menurunkan mereka. terdengar suara sesuatu yang berat menghantam air, kemudian suara kedua. Akan tetapi, para goblin tidak mendengar suara seperti itu. Bahkan mereka mungkin tidak sadar sama sekali.

Baiklah.

Jika teman lamanya telah berhasil memperingatkan semua orang, maka para petualang akan datang. Mengingat situasi ini, mereka tidak akan sekedar mengirimkan seseorang yang tidak terlatih untuk mencari para peyintas. Dia yakin bahwa walaupun dia akan mati di sini, para wanita ini akan di selamtakan…

“……..Mmm.”

Seraya pikirannya mencapai titik itu, Goblin Slayer mendengus pelan. Dia mungkin mati. Sudah sepantasnya untuk merencanakan sesuatu untuk mencegah kemungkinan itu, dan itu bukanlah sesuatu yang dapat di keluhkan olehnya saat ini. Akan tetapi, tiba-tiba, dia mendapati dirinya memikirkan Gadis Sapi dan Priestess, Gadis Guild, dan semua temannya, yang terlintas di pikirannya.

Apakah mereka akan sedih? Kemungkinan besar. Yang lainpun juga akan begitu. Namun petualang yang mati adalah hal yang sudah sangat biasa bagi mereka semua. Dia yakin bahwa mereka akan meminum anggur, mulai bercakap ria dan tertawa, dan suatu hari, mereka akan dapat kembali ke kehidupan biasa mereka.

 “Sempurna,” dia berbisik. Dia tidak dapat mengharapkan sesuatu yang lebih lagi. Untuk di perlakukan sebagai petualang!

“Tapi mungkin bukan hari ini.”

Goblin Slayer mengesampingkan imajinasi gembiranya, kembali kepada realita. Kematian—kematian itu sendiri adalah sesuatu yang dapat di terima, namun dia tidak berniat untuk. Dua hal itu sangat berbeda.

“Baiklah, sekarang…”

Dia memeriksa senjata dan perlengkapan, mengulas peta mental dari desa yang secara terperinci dia buat.

“GGBORB!”

“GOROOBG!”

Goblin berteriak dari segala penjuru. Ini tidaklah berarti banyak. Namun dia juga dapat mendengar amukan sang ogre. “Kamu ketakutan, petualang?! Kamu dan trik murahanmu… hanya itu yang membuatmu menang melawan kakakku!!”

“Setuju.” Goblin Slayer tidak mengetahui siapa kakaknya ini, namun dia selalu menggunakan beragam trik, jadi dia tidak yakin apakah ogre ini mengatakan yang sebenarnya.

Dia mengambil beberapa lumpur dan salju cair di kaki dan melemparnya mengarah arah teriakan. Terdengar suara slap basah, dan ogre meraung, “Di sana kamu!!”

“Aku di sini,” Goblin Slayer bergumam, dan kemudian dia berpaling dan berlari.

Lari, lari, lari, lari. Berlari bagaikan pedang yang menyayat asap, berlari menuju suatu tempat.

Adalah jelas bahwa para goblin—dan bahkan makhluk-apapun-itu yang memimpin mereka—tidak mengetahui geografis desa ini.

Sudah ku duga mereka tolol.

Para monster mengikuti tanpa panjang lebar, tanpa mengetahui kemana pria itu membimbing mereka.

Tidak lama kemudian, asap telah lenyap secara tiba-tiba. Mereka telah tiba pada sebuah tempat yang cukup luas. Sang ogre mengedipkan asap terakhir dari matanya, kemudian mengambil langkah yang menggetarkan bumi. Di sana, akhirnya, adalah sang petualang. Armor kulit kotor, helm baja yang terlihat murahan, pedang dengan panjang yang aneh, dan perisai bundar pada lengannya. Seorang pria menyedihkan, seorang pemula akan mempunyai perlengkapan yang lebih baik.

“Kehilangan wanitanya, petualang?!”

Goblin Slayer tidak menjawab, namun secara perlahan mengambil langkah mudur, langkah demi langkah, menjaga jaraknya.

Ogre menganggap ini sebagai rasa takut dan tertawa seolah dia menemukan buruan baru untuk di mangsa. “Aku tahu apa yang terjadi! Kamu meninggalkan mereka ketika mereka menjadi terlalu berat! Menjatuhkan mereka seperti karung tepung, dasar bajingan tengik!”

Di balik helmnya, Goblin Slayer mendengus pelan. Para goblin berhambur di belakang ogre. Mereka berjumlah lebih banyak dari yang dia kira. Penyintas menjijikkan , pintar yang telah berhasil merajut jalannya melintasi api dan asap, serta amukan dari tuan mereka, ada di sini sekarang.

Oleh karena itu Goblin Slayer mengambil satu langkah mundur. Ogre memperpendek jarak, dan goblin mengikutinya.

“GOOBORG!”

“GGBRG!”

Para goblin saling bertukar pandang dengan bisikan tawaan. Petualang itu sudah sama saja dengan mati. Ini akan berhasil. Mereka telah selamat. Mereka akan di hadiahi. Tidak di ragukan. Semua ini adalah hal yang sangat jelas di dalam dunia goblin. Mereka tidak pernah meragukan bahwa ketangguhan dan kemampuan sangat terkenal bagi semua makhluk dan mereka akan mendapatkan kompensasi sesuai dengan semua pekerjaan yang telah mereka lakukan.

Yang semakin menguatkan alasan mereka untuk menyiksa petualang ini. Kepalanya akan ideal, tapi setidaknya satu atau dua jari. Mereka butuh bukti bahwa dia telah mati, bahwa pekerjaan telah selesai.

Saling bertatapan, memperhatikan masing-masing dengan curiga, gerombolan goblin mulai mengelilingi petualang.

“,,,,…”

Goblin Slayer tidak berkata apapun, hanya memegang pedang di tangan, melotot kepada mereka. dia berputar di tempat, menjaga jarak dengan monster. Jika mereka semua menyerang dia secara bersamaan, semua akan berakhir. Dia sangat paham akan hal ini.

Memperhatikan jarak yang semakin menyempit di antara dia dan musuh, Goblin Slayer mengambil satu langkah mundur lagi.

Kemudian sang ogre menerobos lingkarang yang mengelilingi Goblin Slayer dengan mudah, mendekati pria itu. Di tangannya adalah palu perang raksasa, yang tidak di ragukan mampu menghancurkan siapapun yang secara tidak beruntung berada di bawahnya ketika palu itu menghujam. Ogre memberikan ayunan lebar di udara, mengejek petualang. “Petualang, menyedihkan, penuh noda sepertimu… Bertobatlah, dan mati di pukul seperti paku di peti mati!!”

“Aku mau tanya satu hal,” Goblin Slayer berkata. Dia merogoh di dalam kantung peralatannya, menggenggam sesuatu di tangan. “Kakakkmu ini---apa dia juga nggak bisa melakukan apapun selain mengayunkan senjatanya?”

“…?!” Napas sang ogre tertahan, dia tidak dapat memahami secara pasti pertanyaan itu, namun nada dari maksud pertanyaannya sangatlah jelas.

“Kalau benar, maka mungkin aku ingat,” Sang petualang melajuntkan. “Ada goblin besar di bawah kota air.”

“Tapi,” Goblin Slayer berkata bingung.” Kamu nggak kelihatan seperti goblin.”

“Dasar bajingan, anjing tengik--!!” Palu menghujam hantaman yang menggetarkan, menghambur salju dan es. Goblin Slayer melompat ke belakang, hampir  berguling. Sang ogre mengumpat dan meludah kepada seraya dia menepis es dari senjatanya. “Aku kira paluku akan cukup untuk melumat serangga sepertimu, tapi…!” Dia menunjuk dengan tangan yang menjulur. Goblin Slayer melihat cahaya yang terkumpul di ujung jarinya. “Carbunculus… Creacunt…!”

Sihir mulai terkumpul, memanaskan udara seraya kata akan mantra bergema. Cahaya mulai berubah menjadi api, api berputar menjadi lingkaran, intensitas bertambah, mengeringkan udara, membara menyilaukan. Akhirnya, pada titik terpanasnya, membara merah, biru, dan bahwa putih, api ini menerangi keseluruhan medan, di balik awan-awan.

Salju mencari, menjadi uap. Goblin Slayer mengambil postir rendah. Seberapapun terangnya, ini tidaklah seberapa dengan terangnya cahaya gadis itu.

Iacta…?!” Pada momen itu, seraya bola apinya meroket terbang dari ogre… “Ap… Apa…?!” Kakinya terpeleset, atau lebih tepatnya, tenggelam. Bola apinya tertembak ke arah yang acak, dan kemudian ikut tenggelam juga, menyebabkan ledakan uap panas.

Ini adalah mustahil. Sang ogre berkedip dan memperhatikan sekitar. Pemandangan aneh ini tidak berhenti hanya pada apa yang berada di bawah kakinya saja.

“GBOOORGB?!”

“GOBR?! GOORGB?!”

Para goblin tenggelam. Pertama kaki mereka, kemudian naik hingga dada mereka, kemudian hingga kepala mereka, sampai hanya terdapat lengan mereka yang meronta yang tampak di atas permukaan dari….bumi.

Bumi?!

Untuk pertama kalinya, sang ogre menyadari rasa dingin yang menusuk dan menggigit.

Tida ada bumi. Ini bukan bumi! Ini adalah—ini adalah air!

“Pe-petualang—!!” Dia mencari musuhnya seolah ingin mendapatkan jawaban. Namun petualang itu telah hilang tanpa jejak. “Sialaaaaaaaan!!”

Palu ogre, yang begitu dia banggakan, sekarang telah membebaninya dengan berat dari palu ini. Terhanyut ke dalam air hitam, di mana ogre tertelan ke dalam bersama dengan para goblin yang tersedak.

Goblin Slayer memperhatikan semua ini dengan seksama di dekat mereka. dia telah melemparkan dirinya sendiri masuk ke dalam salah satu lubang di dalam es yang telah dia gali sebelumnya. Kelip di tangannya adalah cincin Breath. Percikan yang bersinar itu adalah sambungan nyawanya.

Tidak peduli apakah seseorang dapat menggunakan sihir atau memiliki palu besar raksasa: menghasilkan hantaman yang cukup keras pada danau membeku, dan inilah yang akan terjadi. Jika seseorang sudah menduga ini, seseorang itu dapat melompat ke dalam air duluan. Maka tidak akan mungkin untuk tenggelam.

Dan ini telah mengeliminasi semua goblin secara sekaligus—atau mungkin tidak, mungkin masih ada beberapa penyintas di dalam desa. Menarik dirinya ke atas pada sebuah rumput di tepian, dia mengeluarkan tubuhnya yang basah kuyup naik ke atas tanah. Menungging, dia terbatuk-batuk, kemudian berputar terlentang dan menarik napas penuh syukur.

Tubuhnya terasa begitu berat. Apakah lelah? Pastinya. Dingin juga. Dia sangatlah begitu capek.

“…..”

Dua, tiga kali dia menarik napas keluar dan masuk, kemudian berdiri dengan sempoyongan. Dia tidak ingin mengambil satu langkahpun, tetapi dia harus bergerak. Jika begitu, dia harus bergerak. Semuanya adalah tentang lakukan, atau tidak lakukan. Tidak ada mencoba. Ini bukanlah masalah akan bisa atau tidak bisa.

Tidak waktu untuk menghitung. Dan dia tidak mengetahui seberapa banyak goblin yang mungkin tersisa di desa. Tetapi Goblin Slayer perlu untuk menghabisi mereka.

“…Waktunya pergi.”

Dia melihat mengarah desa. Asap masih mengepul dari rumah-rumah; teriak goblin masih dapat terdengar. Para wanita masih bersembunyi, mereka belum di temukan. Namun dia tidak ingin membuat mereka menunggu. Gadis itu, teman lamanya—dia selalu membuat gadis itu menunggu. Hari ini, setidaknya, dai dapat bergegas.

“Apa namanya tadi…?”

Monster itu?

Goblin Slayer berpikir sejenak, namun rasa lelah menghalau kata itu untuk masuk ke dalam pikirannya.

Terserahlah. Daripada berpikir dengan keras, dia berputar mengarah danau dan menghela. “Masih ada goblin yang harus—“

“Pe…tualaaaaaaaa….nnnnngg!!!!”

Air meledak ke atas. Terbatuk dan tersedak, raksasa terbang tinggi di langit sebelum mendarat pada tanah dengan beban tubuihnya.

Adalah sulit untuk mengetahui apakah Goblin Slayer memahami dengan segera apa yang sedang terjadi. Jika dia menyadari ogre ini, alih-alih melepaskan palunya, dan dengan sengaja tenggelan. Maka dia telah melontarkan dirinya dengan tendangan yang sangat kuat dari dasar danau.

Apapun itu, Goblin Slayer menggerakkan lengan dan kakinya yang berat, menyiapkan perisainya, mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi penyeranganya.

Dia dapat melihat monster itu mendatanginya, sebuah kekuatan mematikan mendekatinya, dan dia— Dia—

*****

“O Ibunda Bumi, yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di dalam kegelapan!”

*****

Terdapat kilauan cahaya, begitu terang dan begitu intens hingga terlihat seperti matahari yang turun ke bumi.

“Nraaghh?!” Sang ogre terbutakan untuk sementara, terhuyung. Dia sudah tidak mengetahui kemana arah ayunan palunya. Goblin Slayer, hampir tidak mempercayai apa yang terjadi, menendang tanah dan melompat ke belakang.

Setipis rambut. Palu untuk menghantam ke bawah, melontarkan cipratan salju dan es, dan air juga.

Seharusnya tidak mungkin. Goblin Slayer berdiri, menstabilkan napasnya.

“Pak Goblin Slayer!” Suara itu mensirnakan kecemasan yang tercampur dengan kebahagiaan. Dia dapat mendengar panggilan gadis itu dari ujung pegunungan. Goblin Slayer menoleh kepadanya.

Disana.

Di sanalah gadis itu, dia dan rekannya, menaiki kereta luncur. Priestess berada di depan party, tongkat deriknya terangkat tinggi. Angin menghembus rambut emasnya di sekitar pipi dan dahi, namun matanya tidak bergeming.

“Kali ini…kita berhasil tepat waktu…!”

Goblin Slayer tersenyum. Di dalam helmnya, bibirnya tersenyum begitu kecil—tidak lebih. “Seluncuran kain?”

“Ya, benar.” Dwarf Shaman tertawa, berseluncur melintasi salju dan turun di samping Goblin Slayer. “Gadis ini, dia bilang untuk mencelupkan selimut ke dalam air dan kemudian menggunakan Weathering untuk langsung membekukannya.”

“Ha-ha-ha-ha-ha-ha, beliau telah benar-benar menerapkan ajaran dari Tuanku Goblin Slayer.”

“Ajaran? Yang benar itu kegilaan! Sudah ku kasih tahu, Orcbolg ini merusak pemudi kita ini!”

Lizard Priest bergerak perlahan, dan High Elf Archer mengikuti, Priestess hanya semakin tersipu.

Dia mencoba untuk sedikit menyuarakan keberatannya. “Yah, aku…

Namu Goblin Slayer menggeleng kepalanya. “Itu ide yang bagus,” dia berkata pendek, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Terima kasih.”

“…Iya pak!” senyumnya semakin cerah, menyaingi terangnya keajaiban beberapa waktu yang lalu. “Tapi bukankah seharusnya ada seseorang yang lain di sini…?”

Kemungkinan Priestess bermaksud Gadis Sapi, dia terdengar cemas. Goblin Slayer mengangguk. “Dia aman,” dia berkata, dan kemudian, mungkin berpikir bahwa ini masih belum cukup, “Aku menyuruhnya lari.”

“Syukurlah…” Priestess memegang dadanya lega.

“Sudah ku duga.” High Elf Archer, panah di tangan, dengan lincah berdiri sejajar dengan Priestess. “Jujur saja, kamu bisa melihatmu dari jauh.” Dia terlihat bosan seraya dia memperhatikan raksasa monster itu mulai berdiri, menyokong tubuh dengan palu perangnya. “Dan ternyata malah ada ogre, dari semua makhluk. Di sini pula, dari semua tempat…”

“Ogre,” Goblin Slayer mengulang pelan. “Jadi itu sebutannya.”

“Paling nggak kamu harus mengingatnya!” High Elf Archer mendengak ke surge. “Kita sudah pernah melawan satu ogre di petualangan pertama kita!”

“Petualangan…” Goblin Slayer menatap ogre, mengingat kembali reruntuhan itu. Jadi itu dia. Itu adalah sebuah petualangan. “….Aku ingat itu.”

Helm itu mengangguk perlahan, memicu sebuah “Baiklah!” puas dari High Elf Archer.

“Jika begitu, saya rasa ini akan menjadi pertarungan ulang. Sebuah kesempatan sempurna untuk mengenyahkan rasa malu kita pada pertemuan sebelumnya.” Lizard Priest tersenyum riang—yang di mana bisa di bilang, mengerikan.

Dwarf Shaman meneguk fire winenya. “Jadi, apa rencananya, Beardcutter? Kamu baru saja menyelesaikan petualangan kami sendiri, dan kami merasa sedikit lelah.”

“…Aku punya rencana.” Goblin Slayer menjawab. Dia selalu mempunyai sesuatu di dalam kantungnya. Dengan mereka semua yang berkumpul bersama, terdapat banyak jumlah rencana. “Ayo lakukan.”

“Ya, ayo…!”

Party mereka bergerak secara serentak. Goblin Slayer mengambil postur rendah, pedang dan perisai bersiap. Lizard Priest berada di sampingnya dengan Swordclaw yang terpoles. High Elf Archer menarik tali busurnya, sementara Priestess dengan tongkat, Dwarf Shaman menggapai tas berisikan katalisnya.

Adalah formasti yang sudah mereka gunakan berkali-kali. Siasat biasa untuk menghadapi monster manapun.

Sang ogre, palu di tangan, terlihat curiga pada apa yang ada di depannya.

“Jadi begitu…!”

Petualang.

Mereka adalah petualang.

“Aku paham kamu ini apa!!”

“Aku setuju,” Goblin Slayer mengulangi. “Kurasa kamu tahu!”

Dan kemudian, walaupun dengan kelelahannya, dia menerjang musuh ke depan.

*****

“Nrrrragghhh!!”

Rauangan di iringi dengan hantaman palu, namun para petualang masing-masing menghindar dengan lincah. Satu hantaman akan menjadi fatal. Itu, setidaknya tidak berbeda dari sebelumnya.

High Elf Archer mengernyit, memperbaiki bidikannya seraya dia berteriak, “Apa yang akan kita lakukan, Orcbolg?!”

“Jatuhkan,” Goblin Slayer berakata singkat.

“Bukannya sudah kamu lakukan itu tadi?!” Panahnya bersiul lebih cepat dari ucapannya, menancap pada dada ogre satu persatu. Namun ogre mematahkan semua batangnya dengan ayunan besar dari palunya, luka itu sama sekali tidak membuatnya bergeming.

“Payah sekali, elf!”

“Yipes!” High Elf Archer melompat menjauh dari palu yang mendatanginya. Bongkahan metal besar itu bukanlah lelucon. Jika itu mengenainya, dia akan masih beruntung jika masih memiliki anggota tubuh untuk menembak panahnya. Ketika dia membayangkan dirinya di lumat seperti serangga di bawah telapak tangan seseorang, darah terkuras dari wajahnya yang ayu.

Secara perlahan menilai jarak mereka, Goblin Slayer berkata, seolah ini sangatlah alami. “Kita lakukan lagi.”

“Aw, yang…!” Sudahlah. High Elf Archer tersenyum seolah mereka tidak berada di dalam keadaan genting, berlari begitu ringannya hingga dia hampir tidak meninggalkan jejak di salju.

Goblin Slayer melirik kepada pemanahnya, memperhatikan tembakan elf itu. Namun pertanyaannya adalah untuk Dwarf Shaman. “Mantra?”

“Kurasa aku bisa sekali atau dua kali.”

“Simpan satu untukku.”

“Baiklah!”

Akhirnya, Goblin Slayer menoleh Priestess.  Dia menyiapkan ketapelnya. Terlihat tekad bulat dalam ekspresinya, namun pipinya sangat pucat di karenakan lelah. Dia bahkan mungkin tidak mempunyai tenaga lagi untuk mewujudkan keajaiban lain.

“Jangan—“

“—lakukan hal gila? Nggak akan.” Priestess menjawab tegas, dengan senyum mengetahui. “Kalau gila atau berlebihan bisa membantuku menang, maka nggak masalah sama sekali.”

“Bagus,” Goblin Slayer mengangguk. Kemudian dia menoleh mengarah kontes antara High Elf Archer dan ogre. High Elf Archer menembak, berlari, melompat, memaksa tangan ogre itu. Palu menghantam pohon, menghancurkan ranting. Namun dia melambung bagaikan dedaunan yang terbang di bawah surya mentari, dan tiba-tiba dia berada pada ranting lain. Hutan ini mungkin sudah mati dan kering, namun ini masih tetaplah hutan. Sang elf seperti seekor ikan yang berada di dalam air. Dia akan menahan monster itu untuk sementara waktu.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Goblin Slayer.

“Mungkin anda pernah mendengar sebuah syair yang di nyanyikan dahulu sekali dari tempat yang jauh?” Lizard Priest menepuk pundak Goblin Slayer dengan ekor, memutar mata dengan keriangan murni. “Konon mereka berkata bahwa seekor raksasa, tidak peduli seberapa besar, tidak dapat melarikan diri dari gravitasi. Dan mereka hanya berjalan dengan menggunakan dua kaki…”

“Kalau begitu, sudah di putuskan.” Goblin Slayer mengeluarkan kail pengait dari kantung peralatan, melempar ujung kail kepada Lizard Priest. “Tarik kencang.”

“Dan ikat di sekitar pohon paling kokoh yang dapat saya temukan, begitu. Baiklah!”

Hanya dengan beberapa pertukaran kata singkat ini sudah sangat cukup, dan dua sosok mulai berlari melintasi salju. Dan di saat High Elf Archer melihat mereka, dia mengetahui apa rencana mereka. dia menggenggam ranting dan berputar melompat menuju puncak pohon dengan begitu ringan hingga membuatnya tampak tidak mempunyai berat.

“Bantu aku!”

“Oke!”

Mendengar suara rekannya yang tanpa ragu, Priestess membidik dengan batu di ketapelnya. Dia menerbangkan batu dengan sebuah siulan, dan—mungkin karena sasarannya begitu besar, atau mungkin ini berkat semua latihan itu—dia mengenai ogre tepat di wajahnya.

“Boleh juga! Kamu pikir satu batu terbang dari gadis kecil sepertimu akan mengalahkanku?”

“Kalau begitu, gimana kalau ini? Aku masih punya banyak panah untukmu kali ini…!” High Elf Archer menarik panah dari tempatnya, menggigitnya dengan keras menggunakan gigi kecil putihnya, dan memuatnya ke dalam busur. Tali busur bernyanyi, hampir terdengar musical, seraya sang elf menerbangkannya. Panahnya terbang lurus mengarah sang ogre—

“Gragh?!”

Tidak lama kemudian panah itu menancap ke dalam bola matanya dan patah. Sang ogre terlihat tercengang.

“Heh,” High Elf Archer mengendus bangga, mengayunkan dirinya menuju titik tembak lain. “Kamu baru saja menarik panahku sebelumnya dan sembuh dari luka itu, jadi aku pikir aku akan coba sesuatu yang beda. Elf itu terkenal karena kecerdasannya tahu!”

“Aku nggak yakin soal itu.” Telinga panjang High Elf Archer berkedut seraya dia mendengar komentar Dwarf Shaman. Dia ingin membalas komentarnya dengan sesuatu, namun mereka sedang berada di tengah pertarungan. dia akan berdamai untuk saat ini. “Sekarang atau nggak sama sekali, Orcbolg!”

Goblin Slayer tidak merespon. Lizard Priest selesai mengikat tali di sekitar pangkal pohon.  “Siap, Tuanku Goblin Slayer!”

Goblin Slayer menunduk di sekitar kaki ogre, satu, dua kali. Sebuah kabel pemicu dapat membuat para goblin berjatuhan. Tidak mungkin makhluk sebesar ini akan gagal untuk jatuh.

“Groohhh…!!”

Dia menarik kencang tali; tali itu mengikat kencang di karenakan beban sang ogre. Dia memaksa dirinya untuk tidak terpeleset di salju. Dia mengeratkan gigi, rasa lelah membuat ototnya kaku.

“Nrrragghhh…! Mana mungkin trik murahan seperti ini bisa…!!”

Hal itu juga berlaku bagi sang ogre, dia bertahan, mencoba untuk menjaga tubuhnya tetap tegak bahkan seraya dia mencoba mencabut pecahan panah dari matanya. Dia sudah lepas kendali tentang ini. Melupakan untuk menyiksa mereka, dia hanya akan membantai mereka semua.

“Carbunculus.. Crescunt…”

Dia menunjuk jarinya kembali, kata akan kekuatan sejati keluar dari mulutnya. Cahaya sihir bersinar pada ujung jarinya. Lizard Priest mendorong batang pohon untuk menjaga pohon itu agar tidak tumbang, matanya melebar. Mereka membutuhkan dia, yang terbesar dari partynya, untuk menjaga kail pengait tetap terpasang pada posisinya. “Mantra Fireball akan datang…!!”

“Kita sudah mendengar ini sebelumnya!” High Elf Archer mengernyit. Apakah sang dwarf yang melakukannya pada waktu itu?”

“…Ini…dia…!” Sosok terkecil dari mereka semua, yaitu Priestess,  bergerak ke depan menghadapi badai sihir yang berputar. Dia mengusung tinggi tongkat derik dengan kedua tangan. Dengan tekad di dalam hati dan matanya yang tertutup, dia mengumandangkan lantunan kalimatnya. “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di dalam kegelapan…!!”

Keajaiban Holy Light telah di gunakan sekali belum lama ini. Jika musuh mereka mengetahui mantra ini akan datang, adalah masalah sederhana hanya dengan menutup mata mereka dari kilauan itu. Keajaiban ini sangatlah efektif untuk membutakan musuh, namun keajaiban ini tidaklah lebih dari itu.

Karena itu sang ogre, memahami apa yang sedang terjadi, melirik menjauh dari Priestess…

“—?!”

…dan kemudian matanya terbuka lebar ketika tidak ada yang terjadi.

Ketika Priestess melihat ekspresi monster itu, sebuah senyum tak terduga tersirat di wajanya yang muda dan berkeringat.

Aku nggak kaget. Dia menunjuk tongkat deriknya mengarah ogre, dada kecilnya penuh akan kebanggaan. Aku hanya mengucapkan kalimat dari doa!

“Sekarang!” Priestess berteriak.

“Baiklah!!” Dwarf Shaman, mulut penuh dengan fire wine siap untuk beraksi, mengukir sebuah lambang di udara dengan jarinya. “Pixie, pixie, cepatlah kemari! Tidak ada manisan untukmu—aku hanya butuh trikmu!”

Dan para peri menyukai trik-trik. Jika ada sebuah pekerjaan yang perlu di lakukan dengan cepat, mereka akan dengan senang hati data. Makhluk bersayap kecil yang tertawa mengikat kaki sang ogre.

Sekarang hanya ada satu hal yang dapat terjadi.

“Gaaaaahhhh?!” sang ogre kehilangan konsentrasinya, kata akan kekuatan sejatinya telah lenyap tanpa jejak, cahaya memudar dari jarinya. Tidak dapat berpijak dengan benar, dia terjatuh ke belakang tidak berdaya, berguling ke dalam dananu.

“Yaaah…!” Seraya cipratan air terlontar ke udara, Goblin Slayer melompat. Satu teriakan dan dia terbang. Dia membidik dada dari ogre yang tenggelan, pedangnya di genggam terbalik. “Putus talinya…!”

“Segera!” Lizard Priest melolong, dan kemudian dia menyayat tali dengan cakar tajamnya. Tali terputus, dan ogre, tanpa apapun untuk dapat di pegang, terpeleset masuk ke dalam air.

Bahkan seraya ogre meronta dan tenggelam, Goblin Slayer menusukkan pedang ke dalam tenggorokannya.

“Gragh?! Pe-petualang…!!” Kesakitan dan tersedak dengan darahnya sendiri, mata ogre masih berkilau.

Ah. Walaupun makhluk itu terluka. Namun itu bukanlah serangan kritikal. Petualang ini, dengan pedang buruknya, tidak akan dapat berharap untuk mencabut nyawa ogre ini dengan satu serangan penentuan. Dia sangatlah bodoh, pecundang, pikir sang ogre. Dia hanya akan tenggelam lagi dan naik ke atas kembali. Menggunakan trik yang sama dua kali adalah tanda keputus-asaan…

“Gadis kecil itu, dan teman elfmu juga—aku akan memakan mereka semua selagi kamu menonton…!” Sang ogre meludah. Goblin Slayer melihat tanpa ekspresi pada wajah ogre itu. Satu mata merah membara, bersinar bagaikan api, menatap orgre.

Dan kemudian dia berbicara.Tenang, mekanikal, dengan suara dingin sedingin angin yang berhembis di lembah. “Tenggelam.”

“Ap…?”

“Dan kita naik!!” Sebelum ogre dapat memahami apa yang di maksud pria itu, Dwarf Shaman berteriak. Jari gemuknya membentuk banyak lambang di udara. “Kemarilah, kalian gnome, dan lepaskan! Ini dia, lihatlah ke bawah! Balikkan semua ember itu—tumpahkan semuanya ke tanah!”

Sang ogre, merasa berat dan kaku seolah dia terkekang dengan rantai, tenggelam ke dalam air membeku. “Apa—kenapa—Pet—tualangg—tengikhhh…!!” Air hitam mengisi mulut, hidung. Dia terbatuk dan tersedak hingga akhinya dia tidak dapat berbicara.

Ogre berusaha memperhatikan pria itu, berfokus padanya. Namun air hitam sudah mengelilingi di sekitarnya, dan dia tidak dapat melihat apapun. air menyelimutinya bagaikan lumpur, akan tetapi tidak peduli seberapapun dia meronta dan berenang, dia tidak dapat mendapatkan apapun untuk di genggam. Dia sedang di paksa untuk jatuh. Dengan sangat, sangat perlahan.

Apakah kamu menurutmu ogre itu menyadari bahwa ini adalah hasil dari Falling Control?

Ogre ingin melompat naik ke daratan. Dia berkeinginan untuk mencabik para petualang itu. Dia tidak menginginkan kematian menyedihkan seperti ini. Dia tidak ingin untuk tenggelam. Tidak. Namun teriakannya hanyalah menjadi gelembung, pecah dan menghilang sebelum gelembung itu mencapai permukaan danau.

Dan itu adalah akhir kehidupannya.

“…Sudah selesai.” Goblin Slayer naik ke tepian dan berguling terlentang, tampak jelas sangat kelelahan. Tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ini terasa seolah seperti keseluruhan tubuhnya terbuat dari besi. Bahkan bernapaspun terasa sulit, dan dia merasakan keinginan untuk melepas helmnya. Tidak, dia tidak boleh. Masih terdapat goblin. Masih ada goblin. Dia tidak dapat melepaskannya. Masih ada…

“Pak Goblin Slayer, ini.”

Pikirannya terusik oleh tawaran sebuah botol dari sampingnya. dia menoleh dan melihat Priestess, yang tentunya terlihat lelah juga, menatap helm pria itu dan memegang stamina potion.

 “Ah,” Goblin Slayer berkata, suaranya lemas. “…Terima kasih. Ini sangat membantu.”

“Nggak usah di pikirkan,” Priestess menjawab, tersipu malu dan menunduk ke bawah. “Kamu selalu membantuku.”

Begitu? Goblin Slayer meminum potion.

Benar. Priestess duduk dengan berat di sampingnya.

Goblin Slayer akhirnya berhasil menarik napas panjang.

“Astaga, kita baru saja mengalahkan ogre secara langsung,” High Elf Archer berkata seolah dia tidak dapat mempercayainya. Dia menatap ke air, permukaannya masih bergelombang dengan riak-riak kecil. Kemudian dia menjentikkan telingnya bangga dan berputar mengarah partynya dengan senyum lebar. “Bukannya itu berarti kita sama hebatnya dengan petualang tingkat Gold?!”

“Jangan mulai,” Dwarf Shaman berkata dengan lambaian tangan menepis. “Sekali kamu jadi Gold, kamu bakal terlibat sama politik, dan semua itu berbahaya tanpa adanya laba.”

“Oh yeah, benar juga,” High Elf Archer membalas, terdengar kecewa. Dia tampak sudah benar-benar melupakan perdebatan kecilnya dengan dwarf di tengah pertemburan.

Gampang banget, Dwarf Shaman tertawa sendiri, membelai jenggot dan meneguk fire wine.

“Benar sekali. Seseorang mungkin memiliki kekuatan untuk menjadi Gold, namun untuk dapat tetap terhindar dari segala macam tetek bengek tersebut, seseorang harus tetap menjadi Silver. Yah, mengemban tingkatan dengan santai adalah yang terbaik.” Lizard Priest, melepaskan kail pengait dari tempat di mana itu tertancap pada pohon, memutar matanya gembira. Tali telah terppotong, namun kail itu masih bagus. Petualang sesungguhnya memahami kepentingan untuk menggunakan kembali beragam material sebisa mungkin, bahkan benda kecil seperti ini. “Ini benar-benar kualitas tinggi,” dia menambahkan, mengangkat palu perang yang di lepaskan ogre selama dia meronta. Lizardmen secara tradisi, hanya bertarung menggunakan cakar dan taring dan tidak menggunakan senjata, namun walaupun begitu, mereka mempunyai mata yang tajam terhadap kerajinan metal yang berharga. Ini bukanlah tengkorak ataupun jantung, namun ini akan menjadi piagam yang bagus. “Sekarang, Tuanku Goblin Slayer, saya berasumsi bahwa berikutnya kita akan bersih-bersih.”

“Ya.” Goblin Slayer memberikan anggukan kecil dan melihat mengarah puing desa, yang di mana asap masih mengepul. Di sana masih ada goblin. Dan mantan tahanan wanita juga masih tersembunyi di sumur, menunggu pertarungan berakhit. Sekarang pertarungan utamanya telah berakhir, mereka harus menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung. Mengurangi jumlah goblin di dunia.

Terdapat bergitu banyak hal yang masih harus di lakukan, dan ini masih bukan waktunya dia untuk mati.

“Jadi… Ogre ya?” Goblin Slayer merasa tenaganya kembali berkat dari potion; dia berdiri. Sedikit sempoyongan dan Priestess membantu pria itu dengan tangan gemulainya. Goblin Slayer berbicara kembali: “Goblin Jauh lebih menyeramkan.”