AKAN BAGAIMANA PARA GOBLIN TIDAK LAYAK UNTUK MEMIMPIN

(Translator : Zerard)


“Blargg! Apa kalian belum menemukan mereka?!” Dalam kemurkaan, sang ogre menendang sebuah tumpukkan puing yang dia gunakan sebagai pijakan.

Di tengah keramaian goblin yang dengan rapi menjaga jarak mereka dengan harapan agar tidak terkait dalam kemarahan pemimpin mereka kepada goblin yang sedang bersujud seraya memberikan laporan. Sang ogre terlalu memahami sikap menyembah seperti itu, namun dia paham dan mengetahui bahwa bawahannya benar-benar tunduk kepadanya. Itu karena, goblin dapat di sebut sebagai sinonim dari pengkhianat. Sebodoh dan setolol-tololnya mereka, mereka berpikir bahwa mereka adalah makhluk terhebat di dunia, dan semua hal lainnya tidaklah penting.

Tapi, mereka berguna, kalau kamu tahu cara menggunakan mereka.

Pion buangan pertempuran, itulah guna mereka. Setidaknua, sang ogre harus mengakui kapasitas itu. Jumlah mereka tak terhitung, dan sangat ideal untuk di lepaskan melawan musuh dalam amukan mereka yang tak pandang bulu. Dan jika mereka berpikir bahwa mereka dapat membangkang, tidak ada satu goblin hidup-pun yang dapat menang membunuh seekor ogre. Tak satupun dari ini yang dapat terjadi dengan para dark elf.

Dark elf...

Ini adalah hal lainnya dalam dzftar sesuatu yang membuat jengkel sang ogre.

Demon Lord yang terhormat mengakui salah satu komandannya.

Dengan kata lain, pertarungan itu benar-benar telah menjadi musibah. Assasin manusia yang menyebut dirinya sendiri sebagai pahlawan telah membasmi satu per satu para jendral, rencana mereka tenggelam bersama kematian mereka. Pertempuran di mana pasukan Ketertiban dan Kekacauan yang berhadapan untuk menyelesaikan permasalahan juga telah menghilang, dan sang Demon Lord telah di hancurkan. Sang ogre yang telah kehilangan pasukannya, melarikan diri ke pegunungan dengan teriakan akan “Ini bukan kekalahan!”, tetapi—

“Sungguh, lolongan para anjing lari terbirit-birit.”

Seperti itulah ucapan dark elf yang muncul di depannya, seorang pria yang menutupi dirinya dengan mantel dengan lagak merendahkan dan menghina.

Respon standar ogre pada prilaku seperti itu adalah mencabik hidup-hidup orang ini dan memakan isi tubuhnya. Namun sekarang, dengan armornya yang rusak dan panahnya yang habis, ancaman seperti itu tampak lucu.

Sebagai gantinya, sang ogre bertanya apa keperluan dark elf itu kepadanya, yang di mana mulut pria itu, merah seolah terlumasi dengan darah, menyeringai tersenyum, dan dia berkata. “Aku mendengar sebuah kisah dari rekanku, di ceritakan oleh seorang rhea petualang yang ada bersamanya.”

Sang petualang yang membunuh kakaknya dengan begitu brutal, dia bercerita kepada sang ogre, konon hidup di suatu tempat di perbatasan barat...

Ogre tahu bahwa dia telah terpancing umpannya. Bahwa dia telah menjadi bidak sang dark elf. Dia tahu bahwa dia hanyalah menjadi sebuah umpan untuk mengalihkan apapun dari apa yang di rencanakan dark elf itu. Namun memangnya kenapa? Sang ogre memiliki perlengkapan, dia mempunyai pasukan—walaupun bahkan hanya goblin—dan elf itu tentunya akan membalaskan dendam untuk kakaknya.

Jika sang elf dapat meraih itu, maka apapun yang akan terjadi bukanlah menjadi masalah baginya.

Kalau begitu, kenapa...?

Napas marah sang ogre mengepul dari mulutnya. Salju terus turun, udara masih dingin, dan moral para goblin sangatlah rendah. Bahkan moral bukan kata yang tepat. Mereka hanya tidak ingin melakukan apapun.

“Lelah menyiksa tawanan? Eh?”

Dia memberikan goblin yang mengeluh sebuah teguran, membuat mereka berlarian tidak teratur. Benar, para goblin bertingkah kuat—ketika mereka sedang sibuk menyiksa seseorang yang lebih lemah dari mereka. Argh, tidak ada yang bisa di lakukan dengan mereka.

Tidak di ragukan kepala mereka penuh akan kebencian di karenakan harus mengikuti ogre ke sini. Kalau aku mengalahkan raksasa dungu itu dan menjadikan diriku sebagai pemimpin, pasti ada makanan panas dan wanita untukku, isi pikiran dari masing-masing dari para goblin. Ketololan. Ketololan yang menggebu di dalam kepala kecil mereka.

Aku nggak bisa bertanya apa yang mereka pikirkan.

Dia melirik kepada desa terpencil, terkurung oleh debu salju, di mana di kejauhan, terdengar teriakan lainnya. Teriakan itu seperti seekor babi yang hendak mati—namun dia tahu bahwa itu adalah jeritan kesakitan seorang wanita yang berada di ujung kematian.

Para goblin bangsat...!

Mungkin dia harus membunuh beberapa dari mereka sebagai contoh. Dan dia hampir melakukannya, namun kemudiam dia menggeleng kepala, memikirkan hal yang lebih baik.

“Ah, iya, seperti itu saja.” Ya, terdapat rencana lain. Goblin, menjadi goblim, melihat sesuatu dari...sudut pandang yang lebih rendah dari dirinya. “Sebuah contoh mungkin adalah apa yang mereka perlukan.”