GUA SEORANG ICE WITCH

(Translator : Zerard)


“Baiklah, kalian semua! Waktunya bersiap!” sang Ice Witch berteriak, menyebabkan para sasquatch berdiri. “Kalau kalian gagal membawa satu kelincipun hari ini, seperti idiot kemarin, kalian akan menerima ganjarannya—lagi!”

“Kalau kalian kelaparan sedikit, itu adalah salah kalian sendiri.” Mendengar itu, semua sasquatch melotot pada salah satu anggota grup mereka. Dia bergumam sesuatu yang mengejek namun tidak mempunyai keberanian untuk menentang rekan-rekannya.

Baguslah, pikir sang Ice Witch. Biarkan para idiot melotot satu sama lain dan saling berkelahi. Dan jika salah satu dari mereka memalingkan kebencian mereka kepadanya, itu tidak akan masalah. Dia sudah mengambil langkah pencegahan tentang kemungkinan itu...

Monster-monster ini memang perlu sedikit dibimbing.

Masalah untuk mengatur mereka, masalah untuk menyatukan gerombolan yang sangat mudah di manipulasi. Lihat: hanya dengan beberapa kata tajam, dia telah membuat keseluruhan grup melotot pada salah satu dari mereka. Sangatlah mudah. Permasalahannya adalah, Ice Witch menduga, pengalihan kecil ini telah membuat mereka melupakan perintah dia.

Sang Ice Witch menepuk kedua tangan, tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya. “Ayo, ayo, apa kalian sudah melupakan apa yang ku katakan?!”

“Tapi tikus ini, dia—“

“Cepatlah, atau matahari terik itu akan sudah tinggi di langit saat kalian pergi keluar sana!” Satu lototan bagus dan para sasquatch bergegas berpencar dengan hiruk-pikuk langkah yang menggema. Hari ini, sekali lagi Ice Witch akan menyuruh mereka menjarah desa harefolk—sebuah tugas sederhana. Akan terlalu cepat untuk membuat tindakan berani. Sekarang adalah waktunya untuk membangun tenaga mereka.

Waktu berada di sisi mereka. Tidak perlu terburu-buru. Dia akan memastikan bahwa roh musim semi akan tetap tertidur, mengulur musim dingin, membuat para sasqutach miliknya semakin menjadi kuat. Dan kemudian...

Tidak ada yang perlu di takuti—adalah kalimat yang tidak dapat dia ucapkan dengan lantang.

Bagaimanapun juga, semua akan tentunya akan menjadi lebih mudah. Dia tidak perlu menguasai ibukota; merebut satu kota saja sudah cukup. Dia dapat hidup selama berabad-abad setelah itu. Pria-kelinci rasanya sangat lezat, namun dia sudah mulai bosan memakan mereka. Dia sangat mendambakan untuk menikmati rasa gadis muda yang sehat...

“...Oh?”

Sang Ice Witch baru akan menjilat bibirnya ketika dia mencium aroma itu. Aroma akan seorang gadis yang begitu muda yang mungkin masih menggunakan popok. Dia memperhatikan sekitar, hidung mengendus, dan menemukan sesosok figur berdiri tegak di pintu masuk gua miliknya. Orang ini pendek dan langsing, anak kecil bimbang berseragam ala priest dan memegang tongkat derik.

“Petualang?!”

“Itu Noman!”

Hampir di saat sang sasquatch selesai berbicara, sang gadis mengangkat tongkat deriknya tinggi. “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahayamu pada kami yang tersesat di kegelapan!!”

Terdapat kilauan cahaya menyilaukan, kilau akan matahari melenyapkan kegelapan gua.

*****

“Sekarang kesempatan kita!” Priestess menjerit. “Ayo!”

“Baiklah! Dan darah pertama jatuh kepada para lizard! Eeeeyaaaaaaaahhhhh!!”

Seraya para sasquatch terhuyung kebalakang, mata mereka terbakar oleh Holy Light, Lizard Priest terjun ke arah mereka dengan seruan perang yang memekikkan telinga. “O tanduk dan cakar leluhur kami, iguanodon, jadikanlah empat bagian tubuh menjadi dua kaki untuk berjalan di muka bumi ini!!”

Di belakangnya, seekor Dragontooth Warrior memberikan seruan tak bersuara, tulang bergemerincing seraya makhluk itu maju ke depan.

Cakar, taring, dan ekor menyerang mengarah kaki para sasquatch; mereka terus berteriak dan berdansa ke belakang.

“Gyaaah!”

“Yowww!”

Keadaan semakin menjadi buruk bagi mereka ketika hujan panah yang datang melintasi udara. Para sasquatch memiliki bulu tebal, namun ini masih terasa bagaikan di sengat oleh serangga beracun, lagi dan lagi.

Panah itu terus berdatangan masuk ke dalam ruangan. Menusuk kaki para sasquatch, bagaikan pohon di hutan hujan. High Elf Archer menyiapkan panah berikutnya. “Ayolah, dwarf! Kamu ini lambat banget!”

“Cih, Telinga Panjang! Sudah ku bilang sabarlah dikit...!”

Jika kaki sasquatch bahaikan pohon, maka satu serangan bagus dari sebuah kapak akan dapat menumbangkannya. Dwarf Shaman menggenggam kapaknya menghadap monster yang tersandung seperti penebang pohon di dalam elemennya.

“Yaaaah!!”

“?!?!?!?!”

Bahkan tidak ada teriakan lagi. Satu sasquatch, jempolnya bergantung di kakinya hanya dengan sehelai kulit, terjatuh di tanah dengan gedebuk nyaring, menggenggam kakinya dan tersedu.

“Apa-apan yang kalian semua lakukan?!” sang Ice Witch berteriak, tangan masih menutupi mata dari sinar menyilaukan, menyela ocehan dari bawahannya.

Ini adalah kese patan yang tidak boleh di lewatkan.

“Sekarang, kalau kamu bisa...!” Priestess memanggil High Elf Archer, dan kemudian mulai berlari. High Elf Archer menendang sebuah dinding untuk mendapatkan titik tinggi dan membidik telinga para sasquatch.

“Serahkan padaku!”

Itulah jawabannya—dan teriakan para sasquatch. Priestess berlari maju dan tiga sosok mengikuti: Rookie Warrior, Apprentice Cleric, dan Harefolk Hunter.

“Whoa, mantap...!” Rookie Warrior menghela, memperhatikan Lizard Priest menghantam sasquatch dengan ekor dan membuatnya melayang. Dia dan mereka berdua terlihat sangat bersemangat seraya mereka berlari di dalam ruangan yang rusuh ini.

“Sulit dipercaya,” Apprentice Cleric berkata, mencoba untuk menenangkan pernapasannya, “dia langsung menyerang begitu saja...”

“Di momen seperti ini, lebih sederhana terkadang lebih baik,” Priestess berkata. “Butakan mereka, kemudian incar kakinya... Lebih mudah.” Masih berlari, Priestess melirik ke belakang pada mereka bertiga. Dua dari mereka, pernah bekerja bersama dirinya, namun ini adalah pertama kalinya dia bertarung bersama Harefolk Hunter. Kelinci itu bergerak cukup kencang, terbiasa berlari melewati pegunungan. Namun sejauh pengalaman sebagai petualang—walaupun dia membenci untuk membandingkan dirinya dengan kelinci itu—sang kelinci sama sekali tidak memilikinya.

Priestess mencoba untuk berbaik hati kepada Harefolk Hunter. Seperti pria itu selalu lakukan kepada dirinya. “Kita akan masuk ke dalam!” Priestess mengumumkan, dan Harefolk Hunter mengangguk. Semua itu di perlukam untuk mengetahui apa yang harus di lakukan. “Tapi ke arah mana?”

“Bentar...!” Apprentice Cleric berfokus kepada lilin di tangannya. Syukurnya, sihir api tidak menunjukkan adanya tanda akan padam setelah pertarungan sebelumnya. Di bandingkan itu, adalah ukuran lilin yang semakin mengecil lah yang membuat Apprentice Cleric khawatir—tetapi tampaknya mereka akan baik-baik saja untuk saat i i. “Sebelah sana! Lewati lorong tengah!” Dia menunjuk pada salah satu terowongan yang tak terbatas.

Telinga Harefolk Hunter menjentik. “Tapi aku nggak yakin para sasquatch akan bisa mengikuti kota ke dalam...!”

“Malah lebih bagus!” Priestess mengangguk dan mendekap tongkatnya seraya dia berlari menuju terowongan itu. “Ayo!”

Ya, Kalau Ice Witch itu memang master dari para sasquatch...

Maka tentunya wanita itu tidak akan membiarkan para monyet besar itu untuk memegang panah silver itu, pikir Priestess. Wanita itu akan meletakkannya di suatu tempat yang mustahil bagi para sasquatch untuk mendapatkannya. Dan jika Priestess dapat menemukan panahnya, mereka akan dapat menghindari pertarungan melawan sasquatch. Mereka hanya perlu menghindari mereka untuk saat ini.

Ini akan butuh sedikit...oke, banyak keberuntungan, tapi...

Dia merasa senang semua telah berjalan lancar sejauh ini. Priestess merasa lega secara mental.

“Aku bukan ahlinya, tapi pasti seperti ini, kan? Masuk dan dapatkan!” Rookie Warrior berteriak, pentungan di genggam di tangan. Tampak jelas dia sangat bersemangat, mungkin terinspirasi dari melihat tiga petualang tingkat Silver bertarung di depan matanya.

Priestess tersenyum sedikit melihat prilaku Serahkan saja padaku! Yang terpancar dari tatapan bocah itu. “Itu baru semangat—tapi ayo cepat, dan berhati-hati. Aku menduga berikutnya akan—“

Sebelum Priestess dapat menyelesaikan ucapannya, hembusan angin pengap bertiup dari belakang mereka.

“...Yikes, sepertinya ini nggak akan bagus.” Harefolk Hunter merinding, telinganya melemas.

Priestess mendengarnya juga. Sebuah suara aneh. Zazaza, seperti pasir yang di mengalir di tanah. Sesuatu sedang terjadi. Sesuatu. Tetapi apa...?

“Ugh...”

“Masa di sini juga...!”

Rookie Warrior dan Apprentice Cleric sama-sama terlihat ketakutan, seolah ini melampaui apa yang dapat mereka tangani. Suara itu mendekati dari belakang mereka, seolah hendak menelan keseluruhan party. Priestess, memegang tongkat dan menoleh ke belakang, melihat sebuah bayang-bayang iblis yang timbul dari mulut terowongan.

“Dasaaaaar....cacing....kurang ajaaaaar!!” Sang Ice Witch mengumpat mereka, di iringi dengan hembusan dingin yang mendistorsi bayangan di sekitarnya.

Tidak... Itu bukanlah bayangan. Mereka datang, berderu, seperti ombak pasang yang akan menelan Priestess...

“Tikus raksasa?!” Priestess menjerit.

“Oohdaaaaraa!!” Rookie Warrior berteriak hampir bersamaan dengan momen itu. Dia melancarkan hantaman pada makhluk yang berada tepat di depannya, menangkap satu atau dua lagi dalam satu ayunan. Mereka melambung di udara, masih mengeluarkan suara aneh itu, hingga mereka menabrak dinding terowongan, kejang sekali, dan terdiam.

Rookie Warrior menghabiskan begitu banyak waktu melawan tikus dan kecoa di saluran air. Dia melompat ke depan, mengayunkan pentungan di taangan, hantam, hantam, hantam.

“Andai saja mereka bayar tikus yang kita bunuh sekarang!!” Dia berteriak.

“Berhenti ngoceh, mereka datang lagi!!”

Mengayunkan pentungan membutuhkan ruang yang cukup besar, dan musuh mereka sangat banyak. Itu tidaklah berbeda dari biasanya. Apprentice Cleric mengambil  kepingan es dari lantai, mengikatnya dengan kain dan melemparnya seperti belati. Tikus tersungkur ke belakang, memaparkan perut mereka, yang di mana di hancurkan oleh Rookie Warrior.

“Rasakan chestburster ku!”

Perut adalah tempat terbaik untuk menembus kulit tebal tikus. Dia menghujam pedangnya dengan genggaman terbalik di tangan kiri, turun ke dada mereka, membelahnya hingga terbuka. Kemudian dia mengayun kembali, mendaratkan hantaman dengan pentungan dan menghindari cipratan darah dari musuh yang terjatuh, semua dalam satu gerakan. Dia mendorong mayatnya ke samping.

“Kalau sampai darahnya masuk ke mulutmu, kita semua bakal rugi, beneran...!”

“Yeah, harus simpan uang selama kita bisa! Hei, gimana kalau kamu tutupi mulutmu?!”

“Nggak ada waktu!”

Apprentice Cleric melempar batu, dan Rookie Warrior terus menggerakkan pedangnya seraya mereka berdebat. Priestess memperhatikan mereka takjub, sebelum dia kembali tersadarkan dengan hembusan napas kuat. “...Kurasa ini bisa berhasil!” dia mengangguk pada dirinya sendiri.

“Tapi, aku nggak terlalu suka ini sih!” Apprentice Cleric berteriak. Bahkan seraya dia berbicara, pedang dan timbangannya terus bekerja, menyerang tikus terdekat. Dia sudah benar-benar terbiasa dengan ini. “Aku nggak bisa janji kita bisa menghentikan mereka semua, tapi untuk saat ini, kamu bisa serahkan bagian belakang pada kami...!”

“Kamu dengar dia, maju kalian!!” Rookie Warrior berteriak, memanfaatkan pentungannya sebaik dia bisa dalam tempat sempit ini.

“Jangan sombong!” Apprentice Cleric menegurnya, melotot. Priestess mengira bahwa dia melihat kilasan akan seseorang yang tidak asing dalam tatapan itu; Priestess berkedip.

“Baiklah, kami menyerahkannya pada kalian!” Priestess memanggil.

“Baik!”

Apprentice Cleric melempar lilin keoada Priestess dan  Priestess melanjutkan berlari dengan Harefolk Hunter. Remukan dan hantaman terus berlanjut terdengar di belakang Priestess. Dia mendengar teriakan gadis itu, seekor tikus berdecit, Ice Witch mengunpat dan meludah. Priestess menggosok ke dua matanya, kemudian menyadari seekor tikus raksasa hendak mendekatinya, salah satu yang berhasil lolos dari mereka berdua.

“Yah!”

Tampaknya, yang hanya di perlukan untuk membuat tikus itu terhambur adalah sebuah pukulan telak—mereka bukanlah goblin.

Harefolk Hunter, berlari di samping Priestess, bergumam, “...Mereka semua hebat banget...”

“Iya!” Priestess berteriak, mencoba untuk menjaga napasnya stabil bahkan di saat dia mendengar pujian temannya. “Mereka semua hebat, kan?”

High Elf Archer, Lizard Priest, Dwarf Shaman. Dan juga Apprentice Cleric dan Rookie Warrior. Orang-orang hebat, mereka semua.

Tidak seperti dirinya.

“...” Harefolk Hunter memiringkan kepalanya penasaran. “Maksudku kamu juga termasuk, mbak.”

“Huh...?” Tiba-tiba, Priestess terdiam, terus melihat ke depan. Dia dapat merasakan pipinya memanas seraya dia berlari. Dia senang bahwa sekarang berada di tempat gelap. “I-ihh, apa kamu...serius?”

“Yep.”

Kalau itu benar...

Kalau mereka benar jujur, maka itu bukanlah karena tenaganya sendiri. Semua adalah karena apa yang pria itu lakukan, walaupun dia sedang tidak bersama mereka pada saat ini.

Api lilin membara dengan kuat di tangan Priestess.

Panah silver sudah dekat.

*****

Di tengah semua keributan, Ice Witch, sesuai namanya, tetap dingin seperti danau beku. Para raksasa meronta dan berhambur di belakangnya; di depannya begitu banyak gerombolan tikus.

Siapa yang dapat menyebabkan ini semua?

Dia tidak perlu berpikir panjang untuk mengetahui jawabannya. Adalah gadis kecil itu, dengan tongkatnya dan teriakannya. Gadis itu memimpin mereka.

Seragam putih. Seorang priestess, yang menerima cinta Ibunda Bumi. Noman.

Gadis itu, dia kuncinya!

“Kamu... Hrgh!”

“Ada satu! Satu lagi, di kanan!!”

“Seriusan?!”

Ice Witch merasa kesal, dua petualang yang hampir tidak cukup umur untuk pekerjaan mereka,  menghalau tikus dia dengan pe uh percaya diri.

Eh, setidaknya itu bisa membuat mereka sibuk.

Ice Witch tertawa, memaparkan tenggorokannya yang merah seperti darah. Taring tajam berkilau dengan  pantulan salju.

Kemudian, dalam sekejap, tubuhnya terpencar menjadi butir kecil tak terhingga, menyelinap melewati tikus-tikus dan gadis serta bocah itu. Mereka merinding di karenakan angin yang menggigit tulang mereka, namun mereka tidak terlalu mempedulikannya.

Jika mereka ingin selamat, mereka harus bertarung. Itu berlaku untuk mereka semua yang ada di sini.

*****

“Ooh, apa seperti ini?” Setelah berjalan melewati keremangan, mencoba untuk memperhatikam kedua kaki dan punggung mereka, Harefolk Hunter berhenti, telinga berkedut.

Priestess berkedip, dan melihat sebuah peti udang yang terdapat di dalam sebuah turunan. Lilin di tangannya membesar, begitu panas hingga sulit untuk di pegang. Sepertinya kelinci itu benar.

“Apa kamu bisa buka?” Priestess bertanya, menenangkan pernapasannya.

“Eh, kita lihat saja,” Harefolk Hunter berkata santai, kemudian menggapai belakang telinganya. “Harus di coba. Kalau nggak kita buka, kita bakal tamat.”

Sang hunter mengeluarkan sesuatu yang kecil, sekecil ranting dan memasukkannya ke dalam kunci. Setelah berusaha untuk meraba sekitarnya, dan mematahkan dua atau tiga ranting, terdengar suara klik.

“Dah, berhasil.”

“Apa ada jebakan...?”

“Mm, Cuma satu cara buat mengetahuinya. Aku belum memeriksa tutupnya ini.”

Priestess melirik ke belakang pada duara tak henti akan pertarungan yang bergema melintasi terowongan di belakang mereka, namun Jarefolk Hunter mengangguk. Keliahatannya nggak apa-apa, pikir sang hunter, dengan keoptimisan khas warga kelinci. Lagipula, sang Ice Witch mungkin tidak pernah membayangkan adanya seseorang selain dirinya yang membuka peti ini. Itu tidak akan memberikannya alasan untuk memasang perangkap pada peti. Dan kalaupun peti akan memicu alarm, terserah. Itu tidak akan berarti banyak untuk sekarang.

Dan perangkap sihir? Kita akan tangani itu kalau memang terjadi.

Sebuah tapak berbulu menggerakkan pisau pipih dan tumpul di antara celah tutup dan peti, memeriksa jika ada sebuah kabel, dan begitu saja.

“Bagaimana kalau kita coba buka benda ini?”

“Iya, tolong!”

Tutup mulai terangkat dengan decitan keras, kemudian akhirnya terjatuh di lantai gua dengan nyaring.

Di dalamnya adalah sebuah silver yang berkelip menyilaukan.

Sebuah panah dari metal termurni.

Mata Priestess terbelalak: dalam setahun atau dua tahun petualangannya, dia dapat menghitung dengan jari, berapa banyak harta yang dia lihat yang memiliki nilai setara dengan ini. Kesempatan untuk melihat perlengkapan sihir—tidak termasuk perlengkapan Lizard Priest—sangatlah jarang dan langka. Akan tetapi, dia mengetahui bahwa ini bukanlah panah biasa. Adalah sebuah senjata suci, semacam benda yang sering di ceritakan dalam sebuah lagu.

“Dengan ini...!”

“Dengan ini mungkin bisa berhasil!” Harefolk Hunter berkata.

Mendekap erat tongkat deriknya, Priestess mencoba menggapai lembut panah itu. Dia merasakan sebuah kehangatan samar yang menjalar di jarinya. Ketika dia mengangkatnya, panah ini sangatlah ringan seperti bulu.

Dia memegang dengan canggung. “Er, ini.”

“Ha?” Mata kecil Harefolk Hunter terbelalak. “Aku?”

“Aku punya beberapa pengalaman dengan ketapel, tapi aku nggak pernah menembak panah...”

 Lagipula, ini milik ayahmu.

Priestess tersenyum. Harefolk Hunter menelan liur, kemudian mengambil panah dengan kedua tangan berbulunya. “O-oke, kalau begitu, aku nggak akan sungkan...”

“Iya, semoga beruntung ya!”

Di saat mereka memiliki panah itu, Harefolk Hunter memastikan bahwa panah itu tersimpan dengan baik bersama dengan kapak. Kemudian sang kelinci mulai meraba di sekitarannya. “O-obatnya...”

“Jangan panik, oke? Kamu nggak mau itu sampai jatuh.”

“Pastinya!”

Ini akan cukup. Sekarang yang perlu mereka lakukan adalah kembali. Mereka berdua saling mengangguk dan mulai kembali ke jalan yang mereka lalui. Mereka harus melewati mayat tikus yang berada di sini dan di sana, mayat-mayat itu membeku dengan darah hitam yang lengket.  Mereka tidak ingin mengetahui apa yang terjadi jika mereka salah mengambil langkah dan terpeleset di sini.

Suara akan pertarungan semakin mendekat. Serangan dan hantaman. Seorang bocah dan gadis berteriak. Decitan para tikus.

“Seperti ya mereka masih bertahan...!”

“Syukurlah kita tepat waktu!”

Priestess dan Harefolk Hunter saling mengangguk, sang cleric tersenyum. Mereka sudah dekat. Dia menarik roknya ke atas dan berlari, memanggil dengan riang, “Kami kembali...!!”

Kemudian itu terjadi.

Sebuah angin brutal dan dingin menghembus mereka.

*****

“Ap...?” Priestess berkedip untuk membersihkan salju dari alisnya. Di sampingnya, Harefolk Hunter mengucapkan sesuatu. Jauh darinya, dia dapat mendengar Rookie Warrior dan Apprentice Cleric. Namun semua itu tertutupi oleh erangan yang memekikkan telinganya.

Priestess mendapati dirinya terperangkap di tengah-tengah badai salju.

Dingin, dia membungkuk ke depan, hanya untuk menemukam sesuatu yang terasa lembut. Jarinya menyentuh kulitnya.

“Ap...? Oh... Tidak...?!”

Aku telanjang...?!

Di kala dia menyadari bahwa dia tidak mengenakan sehelai benangpun, Priestess tersipu merah dan meringkuk. Dingin dan di permalukan, dia merinding. Walaupun wajahnya terasa panas, rasa dingin menusuk hingga ke tulangnya. Badai salju berhembus begitu kuat hingga terasa sakit, memaksa air mata dari matanya. Dia merasakan sensasi menusuk di leher. Dia meraba tongkat deriknya, menemukannya, dan berhasil menyokong dirinya sendiri.

Ketika dia berdiri dan mencoba untuk berjalan, angin menyerang tubuh gemulainya, melemparnya. Dia tidak dapat mengambil satu langkah. Dengan tidak mengetahui apa yang harus di lakukan, Priestess mulai tersedu dan meringis.

“Hei.” Suara yang begitu pelan nan dingin terdengar ketika jiwanya berada di puncak kebingungan.

Priestess berkedip kembali, berusaha melihat apapun di balik kabut putih di sekitarnya. “Oh...!” Wajahnnya berubah menjadi senyum gembira, seperti sebuah bunga yang menghadap matahari.

Armor kulit kotor, helm yang terlihat murahan. Perisai bundar di lengan. Pedang dengan panjang aneh di punggulnya.

Tidak di ragukan—pastilah...!”

“Goblin Slayer...!”

Menghiraukan rasa menusuk di lehernya, Priestess berdiri dan berlari mengarahnya. Angin berderu, telinganya masih berdenging; dia tidak dapat mendengar apapun.

“Ya. Kamu nggak apa-apa?”

Akan tetapi, entah bagaimana, suara pelan pria itu mencapai telinganya. Pria itu mengulurkan tangan kepadanya, sarunh tangan kasar dan keras menyentuh kulit Priestess. Priestess hampir menutup matanya, menikmati sensasi ketika pria itu membelai pipinya. Dia hampir dapat melupakan rasa sakit di lehernya.

“I-iya, aku nggak apa-apa... Tapi kenapa kamu ada di sini...?” Priestess menatapnya, ke dalam helm pria itu, hampir seperti bisikan. Seperti biasa, Priestess tidak dapat melihat ekspresi pria itu. Hanya terdapat mata yang bersinar di dalam helmnya. Priestess menyentuh leher sendiri seolah sedang menyisir rambutnya yang kusut. Bulu kudungnya berdiri tegak. Priestess mengendus. Sebuah aroma darah yang tidak pernah dia cium sebelumnya, menusuk hidung Priestess. “Er, a-apa kamu terluka...?”

“Nggak,” Pria itu menjawab, menggelengkan kepala. “Tapi mungkin kamu bisa rapalkan keajaiban untukku nanti.”

Priestess menelan liur. Dia menghiraukan rambut di lehernya, mengambil tongkat deriknya. “Dan goblinnya...?”

“Goblin?” Pria itu berhenti seolah kata itu terdengar begitu aneh baginya, dan menggelengkan kepala secara perlahan. “Aku lebih khawatir soal kamu.” Suaranya begitu lembut, dan pria itu menyentuh Priestess di lehernya. Sarung tangan kulit itu begitu dingin seperti es, dan Priestess merinding. “Aku punya permintaan. Berikan aku panah silvernya.”

“Oh, baik. Er, panah silver, kan?”

Aku mengerti. Priestess mengangguk. Adalah sebuah anggukan gembira. Priestess tersenyum. Dia menarik napas dalam, membiarkan keberanian mengisi dada kecilnya. Dan kemudian Priestess berucap:

“O Ibunda Bumi, yang maha pengasih, ulurkanlah tanganmu pada luka anak ini!”

*****

Badai salju tergantikan oleh jeritan yang menusuk Priestess bagaikan batang besi panas.

“Ah... YIEEEEAAAAGHHHHHHH?!”

Priestess, tiba-tiba mendapati dirinya kembali ke gua, memperhatikan kekesalan Ice Witch; Priestess menghela, terbengong.

Ilusi... atau mungkin pesona.

Adalah salah satu kekuatan supranatural yang konon di miliki oleh vampire. Priestess merinding; dia masih dapat merasakan dingin, tajam menusuk lehernya. Apa yang akan terjadi jika dia terus membiarkan ini berlanjut? Sangatlah mengerikan untuk di bayangkan. Apa yang akan terjadi jika dia tidak dengan cepat mengingat Monster Manual?

Pria itu terus bertindak seperti yang di harapkan oleh Priestess. Mengkhawatirkan dirinya, memuji dirinya, memegang wajahnya. Tentu saja, untuk beberapa saat pria itu menujukkan rasa cemas dengan cara canggungnya sendiri, tetapi...

“Bukan yang seperti itu.”

Dia ini kan nggak peka sama sekali.

Priestess tersenyum kecil pada pikiran itu, di dalam lubuk hatinya. Itulah mengapa, dengan harapan tipis, dia melantunkan sebuah keajaiban. Sebuah keajaiban penyembuhan, yang tidak akan melukai pria itu jika memang benar itu adalah Goblin Slayer.

Namun bagi Tidak-berdoa yang terkutuk, bagi sang undead, keajaiban para dewa adalah bagaikan sebuah racun.

Akhirnya aku menggunakan Minor Heal setelah sekian lamanya, dan seperti ini cara aku memakainya? Priestess tidak begitu senang dengan ini, namun dia menoleh ke arah samping dan melihat.

“Ice Witch!” Harefolk Hunter berteriak, dengan suara yang menggema di dalam gua, begitu lantang hingga membuat Priestess tidak percaya bahwa suara itu berasal dari kelinci kecil ini. Sang hunter berdiri di hadapan witch, menggenggam sebuah busur silang kecil. Tali berbunyi seraya di tarik, dan walaupun di dalam gua gelap ini, setitik silver keputihan murni berkelip di ujung panah itu.

Mengenali cahaya yang meliputi panah, witch berteriak seolah dia terancam, “Kamuuuuuuuuu!”

“Ini adalah panah dari suku kelinci!”

Dentingan tali panah memiliki nada dan keindahan bagaikan instrumen musik. Panah melintasi udara dingin, bertujuan untuk menyelesaikan misi yang telah di berikan semenjak panah ini tercipta. Panah menusuk Ice Witch menembus jantung, darahnya menciprat keluar.

“—“

Kali ini, wanita itu tidak menjerit— Tidak, dia menjerit, walaupun dengan nada yang begitu tinggi untuk dapat di dengar telinga manusia. Sang witch meronta dan mengerang, mencoba untuk menarik panah dari dadanya. Namun panah itu membakar jarinya hingga menjadi jelaga dan hancur.

Inilah akhirnya.

Ice Witch, bahkan di dalam ujung kematian, memusatkan pandangan dan semua kebenciannya pada satu orang.

Priestess yang berdiri membersihkan seragam, menunjuk wanita itu dengan tongkat deriknya.

Dialah yang menyebabkan semua ini.

Ku bunuh kamu! Bunuh dia! Bunuh dia!

Adalah apa yang pantas gadis itu dapatkan. Tubuh witch mulai berubah menjadi arang hinggz ke tenggorokan, dan sekarang yang hanya dapat dia gunakam adalah kedua matanya. Pupil mata, merah dan melotot yang memantulkan bayangan Priestess, berkelip dengan cahaya, dan kemudian—

“Dewa hukum, pangeran pedang, pengemban Timbangan, tunjukkanlah kekuatanmu!!”

sebuah keajaiban dari para dewa menyambarnya.

Pedang dan timbangan terusung. Bermandikan darah tikus, menyandarkan pundak pada teman masa kecilnya, adalah seorang gadis. Mereka berdua telah selesai menghabisi para hama dan menyadari sesuatu yang aneh sedang terjadi di belakang mereka.

Karena itu—demi teman mereka, demi Hukum, demi Ketertiban, demi pegunungan indah ini tempat bersemayamnya para kelinci putih—sang gadis, tatapannya tajam, mengusung pedang akan Supreme God.

Petir, begitu panas hingga membuat udara mendidih, berubah arah yang hanya dapat di lakukan dengan kekuatan supranatural, menyambar masuk ke dalam panah silver.

“-------?!?!?!?!”

Akhirnya hancur, kali ini witch benar-benar tidak membuat suara, tubuhnya yang kejang-kejang bagaikan sebuah tarian penghujung kematian. Dalam sela satu atau dua detik, tubuhnya terpanggang. Cairan yang meledak dari mata merahnya, satu-satunya yang tersisa dari makhluk itu, menggores pipi dan beberapa helai rambut Priestess sebelum akhirnya mendarat pada dinding. Timbunan abu pada lantai gua terbang terbawa oleh hembusan angin dingin dan menghilang dalam sekejap.

Panah silver, dengan misinya yang telah tercapai, mulai berkarat di saat mereka memperhatikannya, berkarat secara keseluruhan.

Satu-satunya sisa dari vampire yang di kenal dengan Witch of Ice adalah garis tipis akan darah ya b berada di pipi Priestess.

Dengan itu, semua telah selesai.

*****

Ledakan halilintar terdengar bahkan dindalam keriuhan pertarungan di ruangan utama. Para raksasa, banyak namun tidak memiliki pemimpin, tidak yakin bagaimana harus bertindak. Para petualang berlari di sekitar kaki mereka, melancarkan serangan di sini dan hantaman di sana, menggigit bagaikan serangga beracun.

“Dwarf! Aku ke sana!”

“Baik! Apa waktu itu soal ukuran kepala dan kecerdasan...?”

“Walaupun begitu, raksasa adalah puncak dari ranting evolusi!”

Mereka tidak dapat lengah. Mereka bertiga semua memahami itu.

Sang gadis—Priestess, dan tiga orang yang pergi bersamanya. Sampai mereka menyelesaikan misi mereka, tidaak ada satu musuhpun yang dapat di biarkan lari. Mereka tidak memiliki waktu untuk lengah. Mereka menembakkan busur, mengayunkan kapak, dan menikam dengan cakar, gigi, ekor mereka tanpa henti.

Sangat menyiksa. Raungan dan jeritan, para raksasa menghentakkan kaki dan menghujamkan tinju ke bawah. Apa yang para petualanh sebagai ruangan utama besar adalah ruangan sempit bagi para raksasa. Mustahil untuk menahan kekacauan ini.

Itulah ketika kilatan petir datang. Pedang  pembelah dosa akan para dewa menyayat melintasi remangnya pertarungan dalam sekejap.

“Ap-apa-apaan itu...?”

“Apa itu petir...?

Para monster, terbengong oleh suara yang tidak pernah mereka dengar di manapun selain di puncak gunung, berhenti dan saling bertukar pandang. Bahkan para petualang, pundak mereka naik dan turun, berhenti menyerang. Mereka bertiga berkumpul di tengah ruangan, saling bertukar kalimat.

“...Kalau begitu, apa mereka berhasil,” High Elf Archer berbisik, telinga panjangnya berayun.

Dwarf Shaman mengatur genggaman kapak di tangan. “Kamu nggak bisa cari tahu?” dia menatap sang elf. “Ayolah, elf. Mana telinga panjang yang kamu banggakan itu?”

“Suara nyaring barusan itu mengacaukan pendengaranku...”

“Hmm,” Lizard Priest berkata riang, mata berputar di kepalanya. “Apapun yang terjadi, hasilnya adalah apa yang ada di depan mata anda... menurut saya.”

Dan memang benar. Di ruangan yang sekarang menjadi hening, langkah kaki cepat dapat terdengar dari ruangan dalam, semakin keras dikit demi sedikit. Adalah tidak lain dari empat orang yang pergi sebelumnya.

Rookie Warrior, memegang pentungan dengan kedua tangan, belepotan dengan darah hitam dari kepala hingga kaki, Apprentice Cleric, memegang pedang dan timbangan dengan tampang yang begitu bangga. Harefolk Hunter, memegang busur silanh dan berkedip seraya berlari.

Dan kemudian berada di depan barisan, dengan tatapan penuh tekad dan memegang tongkatnya—dan dengan luka tipis yang menggores pipinya—adalah Priestess.

“A-apa ini...? Apa yang terjadi sama Witch of Ice...?”

“Ternyata Noman...”

“...Entahlah.”

Para raksasa mulai bergumam di antara mereka. Priestess menggigit bibir dan mengambil langkah ke depan. Kemudian dia menarik napas dalam sebisa mungkin, menggetarkan tongkatnya dengan begitu dramatis.

“Witch of Ice...sudah mati!”

Ada jeda sebelum para raksasa memahami apa yang gadis itu katakan. Namun apa yang terjadi berikutnya—hanya ada satu kemungkinan.

“Ap—apaaaaa....?!”

“Semua sudah berakhir! Itulah kenapa aku memberitahumu, aku bilang jangan menuruni gunung itu!”

“Kurasa sudah sedikit telat untuk itu!!”

Panik menyebar. Para raksasa membuang gendang berharga mereka dan benda lainnya seraya mereka mulai berlari mengarah mulut gua. Para petualang saling bertukar pandang, mempertimbangkan apakah mereka perlu untuk mengejar mereka. High Elf Archer masih memiliki panah pada busurnya, Dwarf Shaman dengan batu pada ketapelnya.

“Nggak...Nggak usah.”

Mereka terhenti oleh ucapan Priestess. Dia memperhatikan para raksasa berlari, hentakan langkah mereka menggema yang secara perlahan mulai menghilang, dan menghela napas lega.

“Kamu yakin?” High Elf Archer bertanya, berjalan mendekatinya. Jari kurus sang elf membelai pipi Priestess dengan lembut, menyebabkan Priestess terkesiap; terasa geli. “Mereka melarikan diri...”

“Ya,” Priestess berkata dengan anggukan kecil dan senyum malu. “Soalnya, mereka bukan goblin.”

High Elf Archer mengernyit mendengar itu, menghela dan akhirnya  cekikikan. “...Iya sih. Bukan goblin sama sekali.”

Benar mereka bukanlah goblin. Pertarungan telah selesai, ancaman dari Witch of Ice telah hilang, dan musim dingin panjang akan segeran berakhir. Desa kelinci telah terselamatkan.

Harefolk Hunter  sedang memperhatikan rungan yang sekarang telah kosong ketika dia mendengar sebuah suara dari atas kepalanya.

“Jika kita telah meraih kemenangan, maka itu adalah hasil terbaik!”

Telinga sang hunter menjentik, dan sang kelinci mendengak untuk melihat Lizard Priest. Sang lizard menjulurkan lidahnya dan berkata serius. “Sejauh ini... Anda telah membuktikan bahwa anda memang benar memiliki kekuatan darah dari ayah anda.”

Harefolk Hunter mengangguk menyetujui. Ayah telah wafat. Para kelinci adalah pemenang. Darah ayah mengalir di dalam nadi sang hunter. Harefolk Hunter tidak mengetahui apapun mengenai agam para lizardman namun memahami bahwa Lizard Priest telah mengatakan sesuatu seperti rasa hormat dan penting.

Semua darah yang telah tertumpah hingga detik ini tidaklah sia-sia. “...Itu artinya ayahku benar-benar hebat.”

“Kurasa begitu.” Rookie Warrior berkata, melempar pedang dan pentungan dengan lelah dan terduduk di tanah.

“Ugh, coba sopan sedikit.” Apprentice Cleric menegur, namun dia sendiri tidak terlihat begitu baik. Apprentice Cleric duduk di samping bocah itu. Di samping Apprentice Cleric, Harefolk Hunter duduk dan berkata, “Aku juga lapar! Aku punya beberapa sayuran kering, kamu mau?”

“Yeah!”

“Aku juga...!”

Lelah, atau mungkin baru bisa bersantai, mereka bertiga menyeruput air dari botol dan merogoh tas mereka. Mereka sama sekali tidak menunjukkan kesiagaan yang biasanya mereka miliki...

Lizard Priest memperhatikan, kemudian mengangguk. “Betapa memukaunya pertarungan tadi,” dia berkata kepada Priestess, memutar leher mengarah gadis itu.

Priestess menggaruk pipi malu, goresan itu masih tampak di pipi. “Oh, sudahlah. Aku nggak melakukan apapun... Semuanya berkat kalian semua.”

“Apa?” Apprentice Cleric menyela, menelan sebuah wortel. “Minor Heal tadi itu mantap banget!”

“Huh, kamu menggunakan Minor Heal?!” High Elf Archer nimbrung percakapan, berteriak, “Aku lama melihatnya!” dengan mata berkilau dengan penasaran. Telinga panjang menegang ke belakang dan dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap, kepada Priestess, dengan riang.

“Yah... Aku nggak terlalu ingin melakukannya...”

Mengesampingkan apa yang tidak terlalu ingin dia lakukan.

Lizard Priest membuat gerakan aneh dengan kedua tangan. Satu hal telah terselesaikan. Menuju ke permasalahan berikutnya. “Bagaimana menurut anda , Master Pembaca Mantra? Tentang genderang perang ini?”

“...Mm, yah, gimana jelasinya ya...” Dwarf Shaman, sendirian memeriksa genderang para sasquatch yang telah terlupakan, menggosok perut dan membuat ekspresi. “Ini cukup bagus, walaupun terlalu terlumur darah.”

Benda ini pasti pernah di gunakan untuk festival atau ritual. Instrumen ini memiliki kualitas yang tidak seharusnya berada di tempat ini. Di dalam persembuyian para raksasa, benda-benda i i telah terkubur di dalam sampah—termasuk korban para raksasa. Mantra dan benda shir sudah terinfluansi oleh pikiran dan perasaan apa yang ada di sekitarnya. Terlebih jika pikiran dan perasaan itu berasal dari orang-orang yang berasosiasi dengan roh. Jika genderang ini, lama di gunakan untuk menyanyikan pujian akan musim dingin, yang selalu menghasilkan suara murni tanpa memperdalam kutukannya, itu hanya dapat di lakukan setelah membinasakan kemurkaan dan kebencian yang meresap dalam jiwa mereka.

“Menurutku, mungkin bakal bagus kalau teman berbulu kita ini mengambil benda ini dan menjernihkannya.”

“Yah, kurasa nggak akan sebagus seperti di desaku sendiri, tapi...” Lizard Priest berdiri di samping Dwarf Shaman, sebuah tatapan hormat pada wajahnya, dan menatap genderang-genderang itu. Dalam pikirannya, tiba-tiba dia mendengar suara tegas, lantunan doa untuk kematian teman dan musuh pemberani di dalam pertarungan.

Seperti itulah seharusnya sebuah pertarungan. Mata Lizard Priest memutar di kepala. “ Jika begitu, kita akan mengembalikan ini ke desa, dan semua akan selesai.”

“Mudahan begitu,” Dwarf Shaman berkata, membelai jenggot dengan cara yang menandakan bahwa dia tidak terlalu mempercayainya.

“Apakah ada yang mengusik anda?”

“Mungkin karena kita tidak ada Beardcutter di sini,” Dwarf Shaman menjawab. “Atau mungkin karena aku nggak terbiasa sampai sejauh ini pada ujung sebuah quest. Apapun itu, sesuatu terasa janggal.”

“Sungguh sulit sekali,” Lizard Priest memutar mata riang, dan Dwarf Shaman menyetujui, membelai jenggot dengan riang. “Mari kita lihat apakah perasaan anda tidak berubah dengan segelas perayaan di desa nanti.”

“Sepertinya ide yang bagus, Scaly.”

Mungkin sesuatu juga mengganjal pada Priestess, memperhatikan mereka, mendapati jari kurusnya menggosok leher.

*****

Ketika mereka keluar dari gua, mereka mendapati angin dingin berhembus perlahan; mereka di sambut oleh kilau arunika di salju. “Wow,” Priestess menghela, menyebabkan Harefolk Hunter cekikikan.

“Matamu nanti sakit kalau kamu melihatnya secara langsung. Paling nggak tanpa sesuatu untuk meredupkan terangnya.” Dengan satu tapak berbulu, sang kelinci mengeluarkan sebuah papan kayu dengan celah tipis di tengahnya. Seraya sang hunter mengangkat alat itu dan mengikatnya dengan benang, seperti sepasang kacamata, High Elf Archer bergumam. “Ooh, keren juga.” Dia berkedip cepat—mungkin dia sudah terlalu lama menatap cahaya itu—namun dia dengan acuh memberikan sentilan kecil pada Lizard Priest. “Terang sih memang, tapi aku yakin kamu pasti senang dinginnya sudah mereda sedikit.”

“Yah, saya mendapatkan kesempatan luar biasa untuk dapat masuk ke dalam gua itu. Darah saya sudah membaik dan menghangat sekarang.” Dia mengangguk, kemudian merinding dengan sangat. “Namun cukup terasa dingin jika hanya berbekal dengan sisik. Beberapa bulu akan sangat saya sambut sekarang.”

“Lupakan saja, Scaly. Kurasa aku nggak akan pernah bisa ngebayangin memanggilmu Furry.” Dwarf Shaman mengejek, meneguk panjang anggur. Dia menyodorkan fire wine kepada Lizard Priest, yang meneguk penuh dan kemudia  menawarkan kepada High Elf Archer.

Telinganya menegang ke belakang dan matanya melebar. “Oh, hentikan. Sudah ku bilang, aku nggak butuh!”

“Beberapa selera nggak pernah dewasa sama sekali. Anak muda. Mau coba?”

Rookie Warrior dan Apprentice Cleric saling bertukar pandang, mereka berdua sudah benar-benar kelelahan. Mereka telah bertarung sengit dengan tikus raksasa tidak lama sebelumnya. Lelah tergambar di keseluruhan wajah mereka.

“Yah...”

“...Kalau, begitu, mungkin sedikit.”

Mereka menerima anggur dan mencicipi, menjulurkan lidah mereka merasakan kekeringan minuman ini. Namun tidak lama anggur ini menghangatkan mereka, deru sipu lembut tersebar di wajah sang bocah dan gadis. Tampaknya sangat efektif. Mereka mengembalikan kendi kepada Dwarf Shaman bersama ucapan terima kasih; Dwarf Shaman menyengir kepada High Elf Archer.

“...Oh, apa?”

“Nggak apa-apa. Cuma mikir kalau ini mungkin terlalu dini buatmu nona telinga panjang.”

“Kalau kamu mau ngajak ribut, ayo sini, perut kentung!!”

Telinga High Elf Archer menegang ke belakang kepala, sementara Dwarf Shaman hanya menyengir kepadanya. Mereka berlanjut berdebat. Priestess, sudah terbiasa dengan rekan-rekannya sekarang, hanya tersenyum.

Sekarang yang perlu mereka lakukan hanyalah mengambil genderang dan menuruni gunung. Petualangan mereka telah selesai. Mereka telah mendaki puncak bersalju, melakukan pertarungan dengan para sasquatch, menyelinap ke dalam gua Ice Witch, mengambil panah silver, menghancurkan penjahat. Wahyu yang telah di berikan Supreme God kepada Apprentice Cleric sekarang telah terpenuhi. Petualangan telah sukses. Kemenangan sejati. Yang hanya perlu mereka lakukan hanyalah pulang. Untuk pergi ke sana dan kembali lagi: itulah petualangan.

Akan tetapi...

...Perasaan menggelitik apa yang di rasakan di leher Priestess? Priestess menyentuh tengkuknya lembut, kemudian mulai berjalan, salju remuk di bawah kakinua. Mereka perlu kembali ke desa dan memberi tahu mereka apa yang sudah terjadi. Dan kemudian masih ada permasalahan tentang sasquatch, yang mereka biarkan hidup.

Priestess merasakan kegugupan yang janggal; dia tidak ingin lama-lama berada di sini.

“Semuanya, ayo.”

Para petualang mengangguk, dan party mereka mulai berjalan pulang. Tidak ada sesuatu yang istimewa terjadi dalam perjalanan kembali. Dengan angin musim dingin yang telah mereda, kemungkinan adanya predator salju yang akan menerkam mereka sudah tidak ada. High Elf Archer dan Harefolk Hunter terus menyiagakan telinga mereka, namun tampaknya itu tidaklah di perlukan. Lelah dan efek akibat dari pertarungan mulai menjalar, mereka mulai merasakan rasa berat yang membebani tubuh mereka. Langkah mereka tidaklah lamban, namun juga pastinya tidaklah cekatan.

Priestess dan yang lain bercakap ria, menikmati pemandangan—keputihan akan salju dan bentang biru langit. Ketika mereka melihat ke bawah pada lembah yang menjalar di antara puncak, salju tampak bertumpuk di sana bagaikan lautan dengan ombak pasang. Mereka hampir berharap untuk bisa terbang turun ke sana...

Tentunya, hal seperti itu adalah mustahil, tetapi pikiran sulit untuk di tepis.

Pegunungan memang bukanlah tempat untuk orang awam. Mungkin tempat ini-pun bukanlah untuk para gremlin seperti Ice Witch. Ini adalah singgasana dari dewa jahat. Pastinya itulah mengapa Supreme God telah memanggil Apprentice Cleric untuk menghancurkan kejahatan yang ada di sini.

“...Aku penasaran apa aku benar-benar berhasil.”

Priestess mendengar bisikan sangat pelan dari gadis yang membawa pedang dan timbangan. Priestess berputar untuk mengatakan sesuatu, namun kemudian membatalkan niatannya. Rookie Warrior sedang berbicara pelan kepada Apprentice Cleric, yang di mana gadis itu merespon dengan senyuman. Itu sudah cukup. Tidak ada yang perlu di ucapkan Priestess. Priestess kembali menghadap depan, bertumpu pada tongkatnya seraya dia berjalan.

Seseorang mungkin berpikir bahwa menuruni gunung lebih mudah dari mendakinya, namun perbedaannya tidaklah begitu jauh. Tentunya, hati Priestess terasa ringan. Mereka hanya perlu turun ke sana. Namun beban pada tubuhnya tidaklah kunjung sirna.

Mengambil beberapa waktu istirahat, party mereka membuat kemajuan yang berkelanjutan.

“---------“

Seberapa jauh mereka dari gua Ice Witch?

“Ada masalah?” Lizard Priest bertanya, berdiri di samping Priestess, yang tiba-tiba berhenti berjalan.

Priestess hanya bergumam “Nggak” tanpa memalingkan pandangannya pada satu titik.

“Huh? Ada apa?” High Elf Archer berkata dari sekitar. Dia mendatangi Priestess, yang menekan lehernya, dan mengikuti arah pandangan Priestess. Turunan terjal akan bukit terhiasi oleh hunian yang telah lama di tinggalkan. “Hmm?” High Elf Archer berkata namun kemudian, matanya melebar. “Oh!”

Asap. Asap mengepul dari desa.

“Pertarungan, mungkin?” Dwarf Shaman berkata ragu.

“Saya rasa begitu,” Lizard Priest mengangguk percaya diri. “Bau daging dan darah, aroma peperangan. Pertanyaan yang tersisa untuk kita adalah, perang dengan apa?”

“Tapi desa itu sudah di tinggalkan, kan? Apa bagusnya buat di bakar...?”

Apakah ada bandit di sana atau semacamnya? Tidak akan ada yang marah dengan party mereka di karenakan menghiraukan sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Akan tetapi, Priestess merasakan hembusan dingin dan merinding. Bulu kuduknya berdiri; dia merasakan sesuatu yang aneh seperti menjilati lehernya.

“Goblin...?” Kata itu terucap olehnya bagaikan sebuah wahyu, seperti inspirasi.

Rookie Warrior dan Apprentice Cleric bertukar pandang. Harefolk Hunter tampak bingung.

“...Awww, aduh, seharusnya aku tahu.” High Elf Archer mengeluh, menyentuh pipi dengan kedua tangan dan mendengak ke langot. Semenjak dia telah satu tim dengan pria itu, dia sama sekali tidak pernah istirahat!

Tidaklah begitu adil untuk menyalahkan surga. Dwarf Shaman memberikan tepukan kecil di bokongnya, menghiraukan jeritan elf itu. “Bukan waktunya mengeluh, gadis. Gunakan energi itu untuk berpikir apa yang akan kamu lakukan, eh?”

“I-iya, aku tahu!” High Elf Archer memanyunkan bibirnya.

“Tetap saja, kita masih mempunyai pilihan : pergi ke sana, atau kembali.” Lizard Priest berputar mengarah Priestess, kemudian memutar mata seolah ingin mengatakan bahwa semua ini sangatlah menyenangkan bagi dirinya. “Apa yang akan kita lakukan?”

“Kita pergi,” Priestess berkata tanpa ragu. Kemudian dia menggigit bibirnya, menatap tajam pada desa sebelum dia bertanya. “Bagaimana kelihatannya?”

“Hmm,” Lizard Priest berkata, memaparkan taring besar nan mengerikan. Dia memahami pertanyaan itu; pria itu sering bertanya kepadanya.

Walaupun gadis ini masih belum sepenuhnya keluar dari cangkang telurnya...

“Jika musuh kita memang benar adalah para iblis kecil, maka saya rasa kita tidak perlu memabawa genderang ini bersama kita. Namun pertanyaannya adalah, seberapa lama ini akan memakan waktu kita.”

“...Aku setuju.”

Lizard Priest benar. Terdapat dua permasalahan. Genderang—mereka perlu memberitahu desa tentang bahaya ini juga. Kemudian terdapat permasalahan seberapa lama waktu yang di butuhkan untuk mencapai ke sana.

Apa yang akan pria itu lakukan?

Priestess berpikir. “Rencana itu selalu ada,” pria itu berkata. Selalu. Itulah yang pria itu katakan kepadanya, jadi pasti ada sesuatu sekarang. Pasti.

“...Kita masih punya mantra kan?”

“Mmm,” Dwarf Shaman berkata, menepuk perutnya bangga. “Cukup banyak malah.”

“Kalau begitu...”

Apa yang harus di lakukan? Mempertimbangkan bagasi, perlengkapan, mantra, keseluruhan situasi...

“H-hei, bagaimana dengan kami? Apa yang harus kami lakukan...?” Pertanyaan bimbang Rookie Warrior memecahkan pikiran Priestess. Bocah itu tidak dapat menyembunyikan rasa lelahnya, namun tetap saja dia berdiri di sana, menatap Priestess tepat di matanya. Kilau matanya sendiri menunjukkan bahwa dia masih dapat bertarung.

Tatapan itulah yang menginspirasi Priestess untuk mengatakan, “Tolong lekas pergi ke desa.” Priestess dan yang lain akan menghadapi para goblin. 

Mungkin Rookie Warrior menganggap Priestess merasa kasihan pada dirinya, karena dia membusungkan dadanya bangga. “Ka-kami masih bisa bertarung... Yeah, kami nggak apa-apa!”

“’Kami masih bisa bertarung’ adalah cara lain untuk mengatakan bahwa kalian sudah di ambang batas,” Priestess berkata, menepis tindakan kepahlawanannya. Seberapa sering pria itu mengatakan hal yang sama kepada dirinya? “Kalau kamu bisa menang dengan melakukan sesuatu yang gila atau bodoh, oke saja, tapi kalau kamu bisa yakin bisa menang dengan cara itu, maka kita nggak perlu repot-repot mengkhawtirkan ini.”

Priestess cemas. Kepalanya pusing. Suaranya pecah. Setiap kali dia bernapas, patu-parunya di sengat oleh dingin. “Dan ada contohnya di lapangan latihan. Akan buruk banget kalau sampai desa harefolk sampai di serang...”

“...Kita harus memberitahu mereka kan?” Harefolk Hunter, merasa desa kelinci masih belum aman, mengangguk gugup. “Kalian serahkan saja pada kami. Kami juga akan membawa genderangnya ke sana, dan memastikan semua orang tahu apa yang terjadi.”

“Baiklah,” Priestess berkata dengan anggukan kepala.

“Kalau begitu, selesai ya” Apprentice Cleric  berkata, menghela. “Ayo turun dari gunung ini. Jangan buang waktu.”

“Aw, ayolah,” Rookie Warrior berkata sedih, “Pertama di kebun, kemudian di lapangan latihan—aku nggak pernah benar-benar bertarung!

“Ha-ha-ha-ha-ha-ha, Jika ini memberatkan hati anda, maka buatlah diri anda dapat berjalan sedikit lebih lama,” Lizard Priest menyeringai menepuk riang pundak Rookie Warrior.

Aduhhh!” dia menjerit.

“Di karenakan tidak ada yang lebih penting di banding pendukung infanteri yang dapat berjalan jarak jauh. Bukankah anda setuju, Master Pembaca Mantra?”

“Benar. Prajurit dwarf bisa bertarung dari subuh sampai senja dan nggak ada capeknya.”

“Selama dia nggak kelaparan,” High Elf Archer menyeringai, yang di mana Dwarf Shaman membalas dengan busung dada. “Memang benar. Berikan kami anggur dan makanan, dan kami dapat bertarung selamanya. Itulah kebanggan para dwarf.

High Elf Archer tampaknya sangat paham denga  harga diri para dwarf, tidak mengatakan apapun, dan hanya tersenyum, sejuk dan ramah “Kamu dengar si elf ini—sifatnya memang begitu. Kami akan tangani di sini. Pasti ada dalang di balik semua ini.

Ucapan itu membuat Rookie Warrior mengangguk cepat. Jadi masih bekum selesai. Tidak akan baik bagi banyak orang jika mereka semua belum di hancurkan saat ini juga. “Baiklah.., Aku paham. Kami akan kembali, kami beritahu mereka, kami tunggu, dan kemudian kita semua pulang bersama.”

“Bocah pintar,” High Elf Archer menyengir, kemudian memberikan kedipan elegan. Rookie Warrior tersipu merah, mendapatkan pukulan dari Apprentice Cleric. Gadis itu menghiraukan jeritan sang bocah dan menundukkan kepalanya dengan sopan.

“Kalau begitu, sampai jumpa nanti...!”

Priestess menyadari perasaan tersembunyi yang ada di balik ucapan itu. Dia mengangguk, membalas dengan lambaian pelan. “Ya. Nanti.”

Ketiga pemuda saling bertukar pandang, dan kemudian  mereka pergi bersama dengan genderang. Langkah mereka pasti; tampaknya tidak perlu untuk mengkhawatirkan mereka seraya mereka menuruni gunung.

“Dengan ini...sisa permasalahan terakhir.” Priestess berkata pelan, berpaling dari sosok yang mulai menghilang secara perlahan.

Kolom asap mengepul dari desa dengan berbagai ukuran dan jumlah. Api? Atau serangan dengan api? Apapun itu, mereka harus menghadapinya. Dan jika pria itu ada di sana, maka...

“...” Priestess mengepal tangan dan menepuk dadanya.

“Mau kita lakukan seperti apa?” High Elf Archer bertanya, mengikat ulang busurnya. “Tempak itu menanjak banget.”

“Kalau mengikuti tepian gunung, kita nggak akan pernah sampai,” Dwarf Shaman berkata dengan kernyitan dahi dan tegukan anggur. “Di saat kita sampai, semuanya akan sudah berakhir.”

“Apakah anda sudah mengetahui apa yang hendak anda lakukan, Nona Priestess?” Lizard Priest terdengar seperti dia sedang sangat menikmati ini.

Priestess menggeleng kepala, tersenyum sedih; dia menarik napas dan menghelanya kembali. Akan baik-baik saja. Pasti akan baik-baik saja. Ini adalah apa yang pria itu akan lakukan, Priestess yakin. Jadi ini tidak mungkin salah.

Mantra, perlengkapan, situasi—dia telah mempertimbangkan semua. Tidak ada yang tertinggal, dia cukup yakin.

Tidak: bahkan jika ada sesuatu yang lebih baik, ini adalah rencana terbaik untuk saat ini. Dan untuk memikirkan rencana yang lebih baik sekarang, sama sekali tidak akan bermanfaat bagi mereka.

Dengan itu, dengan segenap tenaganya, Priestess berkata tegas. “Ya, aku punya rencana.”