DI DALAM GUA, BAYANGAN SEEKOR MONSTER

(Translator : Zerard)


Para petualang memilih untuk tidak menunggu hingga malam tiba, dan mendaki gunung utara dengan segara.

“Betapa beruntungnya. Kita hanya menggunakan satu mantra saja,” Lizard Priest berkata dengan girang. “Saya yakin bahwa kesempatan terbaik kita adalah untuk melakukan serangan pertama dan mengakhiri ini dengan itu.”

Tidak ada yang keberatan. Setelah Apprentice Cleric dan Priestess selesai berdoa untuk roh yang pergi meninggalkan tubuh bocah kelinci dan para sasquatch, mereka berangkat. Syukurnya—jika seseorang dapat menyebutnya seperti itu—rintangan jalan kali ini tidaklah sesulit tantangan yang mereka hadapi ketika berjalan menuju desa.

“Mereka sama sekali nggak pikir panjang kemana mereka berjalan,” Harefolk Hunter mengeluh dari depan barisan party. Dan benar, para sasquatch tampak hanya sekedar menumbangkan pohon ke sampinh seraya mereka berjalan. Itu setidaknya membuat jalan datar dan mudah dan tampak jelas, mereka tidak akan tersesat walau di dalam badai sekalipun.

Priestess menghela lega, namun dia masih tidak dapat terlalu bersantai. “Apa rumah mereka jauh?”

“Nggak,” Harefolk Hunter menjawab dengan loncatan, menunjuk dengan satu jari berbulunya. “Lihat, itu ada di sana.”

Di antara salju yang menghembus, satu titik hitam tampak mencolok di antara retakan gunung, menyebar layaknya sebuah noda.

“Gua...Tipikal banget.” High Elf Archer berkata, mengintip ke dalam gua dan menjentikkan telinganya.

“Ada yang bisa kamu dengar?” Priestess berkata.

“Hm... Apa itu...musik?” High Elf Archer mengernyit. “Gendang, sepertinya. Cuma tepukan nggak bernada, seperti pesta minum para dwarf.”

“Ah, bacot. Lebih baik dari pada menyeruput minuman seperti kalian para elf.” Dwarf Shaman memberikan belaian kesal di jengotnya dan meneguk anggur. “Tapi, ada sesuatu yang membuat perasaanku nggak enak di sini.”

“Apa itu?”

“Roh. Bagus-bagus saja sih kalau roh es dan salju berdansa, tapi mereka benar-benar nggak ingat waktu.”

“Well, iyalah, ini kan musim salju.” High Elf Archer membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan betapa bodohnya rasa cemas dwarf itu, namun Dwarf Shaman memberikan tatapan kepada sang elf seolah dia adalah manusia.

“...Intinya, mereka sepertinya nggak bersiap menyambut roh musim semi.” Dia menghela dan meneguk kembali. Kemudian menyerahkan botol kepada Lizard Priest yang memperhatikan Jalan masuk gua.

“Terima kasih,” sang kadal berkata, meneguk dengan berisik. “Jadi apa yang anda maksud adalah bahwa anda tidak merasakan adanya kehadiran musim semi sama sekali?”

“Setidaknya, nggak di sekitar sini.”

“Mmm,” Lizard Priest mendengus serius. “Sungguh perihal antara hidup dan kematian.”

“Jadi gara-gara itu para sasquatch itu begitu sombong.” High Elf Archer berkata seraya mengernyit. Bahkan di antara para elf pencinta bunga dan perawat alam, High Elf Archer sangatlah riang dan ceria. Tentunya dia lebih memilih musim semi dan panas di bandingkan musim dingin. Namun dia tidak akan mencoba untuk mengubah lingkaran alam untuk dapat menikmati musim itu. Berjuang melawan musim itu merupakan satu hal. Tindakan pencegahan untuk dapat selamat dalam musim itu juga tidak masalah. Namun tidak kehancuran. Para elf mengetahui bahwa tidak seorangpun, siapapun dia, dapat atau harus mengontrol alam. Di sini di gunung ini, sebuah benih Kekacauan telah mekar, sesuatu yang tidak dapat di hiraukan oleh seorang elf.

“...Kurasa kita nggak bisa Cuma sekedar tebas dan libas jalan kita di sini.” Priestess berkata. Menerobos melewati gerombolan goblin sudahlah cukup sulit. Dan terlebih untuk monster lain.

“Tapi dengar,” Rookie Warrior berkata. “Mengontrol musim seperti itu—apa itu mungkin?”

“Yah, sederhananya, itu nggaklah mustahil...” Dwarf Shaman menjawab, meneguk kembali minumannya yang telah di kembalikan Lizard Priest. “Terutama pengguna roh yang kuat mungkin bisa melakukannya, atau salah satu dari wizard terkenal.”

“Sepertinya harapan kita nggak besar kalau begitu,” High Elf Archer berkata. “Aku ragu kamu bisa berhadapan dengan ‘salah satu dari wizard terkenal’ itu dwarf.”

“Papan itu nggak bisa bicara.”

“Oh, apa? Tapj itu benar, kan?”

Perdebatan mereka di mulai. Priestess membersihkan tenggorokannya. Lizard Priest memperhatikan, dan Priestess menyela. “Po-pokoknya... Apa mungkin ini sesuatu yang lain selain seorang pembaca mantra?”

“Hmmm,” Dwarf Shaman berkata serius. “Bisa juga dengan benda sihir. Dengan salah satu dari itu, siapapun bisa melakukannya.”

“Begitu, jadi begitu,” Apprentice Cleric bergumam, menarik perhatian dari party. Normalnya, dia akan malu, namun sekarang dia sedang terhanyut berpikir. “Wahyu dari Supreme God...”

“Hei, wahyunya itu bilang pergi dan ‘ambil’ sesuatu, kan...?” Rookie Warrior menambahkan dan menepuk kedua tangannya. “Itu dia!”

“Yah, sekarang kita punya tujuan,” Priestess mengangguk. Dan dia tidak dapat membayangkan para dewa akan melihat mereka dengan curiga karena menuruti wahyu para dewa.”

“Jika begitu, pertanyaannya adalah apakah kita hsrus mengirim seorang scout,” Lizard Priest berkata.

“Bisa saja, sepertinya mereka sama sekali nggak memperhatikan sama sekali,” High Elf Archer menyindir.

“Kalau begitu, kenapa kita harus repot-repot lagi?”

Priestess setengah mendengarkan mereka, tiba-tiba mendapati dirinya terliputi oleh sensasi yang membuat seluruh rambut di tubuhnya berdiri. Dia menyentuh leher dengan tangan dan memang benar, mendapati bahwa bulu kuduknya berdiri, dan dia berkeringat.

Apaan ini...?

Priestess tidak mengenaLi perasaan ini. Dia tidak mengetahui apa arti dari ini, namun dia merasa bahwa dia telah melupakan sesuatu, seperti panik karena melupakan sesuatu.

“Ada apa?” Dwarf Shaman berkata, menepuk pinggul Priestess perlahan. Priestess sedikit terkejut.

“Ng-nggak, nggak apa-apa... Cuma sedikit kedinginan.”

“Yang benar?” Dwarf Shaman membelai jenggot, menyeringai, dan cekikikan. “Yah,  jangan terlalu di bawa perasaan. Kamu mau Beardcutter memujimu kan?”

“G-goblin Slayer nggak—!”

nggak ada hubungannya dengan ini. Kalimat itu tertelan oleh angin dan menghilang.

*****

High Elf Archer berjingkrak seolah dia sendiri adalah seekor kelinci. Priestess mengerahkan segenap tenaganya untuk dapat mengikuti. Satu-satunya alasan mengapa Priestess masih dapat berada di dekat scout mereka adalah karena High Elf Archer sering berhenti, telinga panjangnya mengepak.

“Kamu yakin soal ini? Maksudku, berpencar seperti ini.”

“Aku yakin. Soalnya...kita nggak akan...bertarung...” Priestess mengelap keringat dari dahi, mencoba untuk menangkap napasnya. “Lagipula, aku meminta mereka ikut denganku juga waktu itu.”

Mereka berdua sedang dalam pengintaian. Mereka telah meninggalkan Lizard Priest dan Dwarf Shaman yang lamban, sementara Harefolk Hunter berdiri mengawasi gua. Tentunya mereka menyuruh Rookie Warrior dan Apprentice Cleric untuk duduk juga; Hanya sang elf dan Priestess yang masuk ke dalam. Harefolk Hunter bersikeras untuk ikut bergabung dengan Priestess, tetapi...

“Terlalu bahaya sendirian, dan jujur saja, aku nggak nyaman pergi dengan hanya aku dan orang yang belum berpengalaman.” Priestess menjelaskan.

“Huh,” High Elf Archer berkata datar, menatap mengarah gua, yang menganga bagaikan rahang makhluk buas. “Yah, kalau kamu sudah pikirkan dengan mayang, okelah. Bisa di bilang, sudah seperti pemimpin.”

“Oh, sudahlah...”

Sekarang mereka sudah begitu dekat bahkan walau tanpa telinga sang elf, Priestess dapat mendengarnya.


Musim dingin telah tiba, musim dingin telah tiba,

Musim kami telah datang.

Ha, mainkan kartu sihirmu,

Rapalkan mantramu dan angkat suaramu.

Dadu tidaklah berarti apapun,

Akal dan tenaga lengan kami

Lengan kami untuk bertarung, sekarang mari bertarung.

The Witch of Ice telah berbicara:

Puncak ini tidak memerlukan mereka yang lemah.

Musim panas akan kematian telah berlalu

Di sini dengan bangga teratai hitam bersemi.

Musim dingin telah tiba, musim dingin telah tiba,

Musim kami telah datang!


Nyanyian para sasquatch bergema di seluruh gua, di iringi dengan tabuhan gendang primitif, sebuah suara seperti seseorang terdengar. Priestess merinding. Rasa dingin yang dia rasakan sebelumnya masih belum sirna.

“Ayo.”

“Oh, baik!”

High Elf Archer melangkah dengan tenang masuk ke dalam gua, Priestess dengan cepat mengikuti.

Andaikan aku punya cahaya... pikir sang elf.

Gua ini sangatlah gelap di dalam, terdengar suara gesekan kering di setiap langkah mereka. Salah satu sisi baik dari tidak adanya cahaya adalah dia tidak dapat mengetahui dengan pasti tulang apa yang dia injak.

Tentunya, mereka tidak dapat menyalakan api. Tidak seperti ekpedisi pembasmian goblin biasa mereka, mereka sama sekali tidak boleh ketahuan sekarang ini.

Aroma memualkan yang mengambang di sekitar adalah aroma yang tidak di kenali oleh Priestess. Makhluk besar dengan bulu mereka. Daging membusuk dan organ tubuh, dan bau akan darah. Sebuah aroma yang berbeda dari bau para goblin beserta kotoran mereka.

Adalah benar-benar berbeda, Priestess menyadari itu. Sebuah pengingat bahwa ini adalah sarang sasquatch.

Priestess menyadari bahwa cincin pada tongkat deriknya berdenting. Itu adalah di karenakan tangannya yang bergetar.

“Oh, ah...!”

Kenapa? Itulah pikiran yang memenuhi kepalanya. Priestess memaksa tangannya untuk tetap diam. Aku takut.

Dia merasakan terror yang belum pernah dia alami bahkan ketika dia berhadapan dengan sasquatch sebelumnya. Dia berada di tanah asing. Berjalan masuk ke dalam sarang para monster. Bukanlah berarti pembasmian goblin tidak membuatnya takut. Namun ini adalah petualangan.

“Noman, Noman membunuh kakakku!!”

Jeritan bergema itu membuat Priestess membeku.

“Shh,” High Elf Archer berbisik dengan jari di bibir. “Sini.” Dia menarik Priestess ke dalam bayangan. Priestess merasa bersyukur atas kehangatan yang terasa di tangannya.

“Hentikan omong kosongmu!” Suara ini terdengar bernada tinggi, datang dari ruangan di depan.

Telinga High Elf Archer naik dan turun, dan dia membimbing tangan Priestess. Tampaknya ada sebuah api yang membara di ruangan berikutnya, dan Priestess mengintip dengan takut, sepelan sebisanya.

“Kalau tidak ada pria yang dapat melakukannya, apa itu berarti kamu mengakui bahwa kamu melakukannya sendiri?”

Seorang wanita, berkulit dan berambut putih . Pakaian tipis yang dia kenakan juga berwarna putih, begitu pula perhiasannya. Satu-satunya yang tidak putih berada tepat di bawa rambutnya yang terikat : sepasang mata yang bersinar merah seperti darah.

Sang wanita putih tengah berdiri di atas batu yang terukir, di kelilingi oleh para sasquatch. Api berada di sana tampaknya bukan untuk menghangatkan, tetapi hanya sekedar untuk memberikan penerangan. Bayang-bayang akan obor berdansa di sini dan di sana, bermain di sekitar tubuh sanb wanita. Para sasquatch tengah memegang sebuah gendang aneh.

Mata Priestess tertuju pada salah satu sesuatu yang tampak janggal berada di samping altar primitif itu. Benda itu berkelip redup dalam cahaya api; dia dapat mengetahui bahwa itu terbuat dari baja. Tentunya bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi tabuhan para sasquatch pemakan manusia di dalam gua ini.

Itu dia. Priestess mengetahui secara insting. Bahwa itu adalah apa yang mereka incar.

“Tetap tegar! Setelah semua yang aku lakukan untuk menidurkan roh musim semi, dan mencuri harta kecil para kelinci!”

Apa?

Apa yang di bicarakan wanita itu? Priestess berpikir, kemudian menggelengkan kepala, tidak. Adalah lebih penting  mendengar di banding berpikir untuk saat ini.

“Tapi, kak. Apa menurutmu iblis itu berkata jujur?” salah satu sasquatch bertanya, mengunyah tulang-belulang yang mungkin adalah sisa dari harefolk atau manusia; adalah mustahil untuk mengetahuinya. “Yang katanya misal Demon Lord kembali, keseluruhan dunia akan terliputi musim dingin selamanya?”

“Entahlah,” sang wanita putih menjawab dan mendengus. “Kurasa dia cuma menganggap bahwa itu adalah alasan bagus untuk memanfaatkan kita demi keuntungannya sendiri, tapi aku tidak masalah dengan itu.”

“Eh, maksudnya...?”

“Kita juga manfaatkan dia.” Sebuah senyum dingin menyeringai di wajahnha. “Kita makam para kelinci untuk meningkatkan tenaga kita, dan kemudian kita hancurkan para iblis itu.”

“Ide bagus! Kakak kita memang hebat!”

“Yah, kalau kamu percaya aku, maka tabuh gendang-gendang itu! Semua akan percuma kalau musim semi datang lagi!”

“Siap!”

Dan kemudian tabuhan mereka semakin meningkat. Genderang itu terdengar begitu nyaring, sebuah gelombang suara. Tidak; bahkan, rasanya seperti terperangkap dalam badai salju. Priestess berkedip cepat, memeluk dirinya sendiri seraya dia merinding.

Dengan keadaan yang seperti ini...

...Itu mungkin saja dapat berhasil.

Priestess tidak mengetahui “harta” apa yang di singgung oleh sang wanita, namun mempertimbangkan apa yang party mereka miliki saat ini, akan ada jalannya. Persis seperti di reruntuhan bawah tanah yang mereka kunjungi kala itu. Stupor dan Silence. Tidurkan mereka, heningkan semua suara, dan kemudian, dalam sekali libas...

Priestess tersenyum pahit pada dirinya sendiri. Dia hanya menyalin strategi pria itu secara keseluruhan.

Aku nggak mengira kalau aku sangat bergantung padanya sebanyak ini...

“Hei, ayo...!” High Elf Archer berkata tajam, menarik lengan Priestess. Telinganya menengang ke belakang, dan bahkan di dalam kegelapan, High Elf Archer tampak sangat pucat.

“Kenapa? Aku lagi mencoba memikirkan rencana...”

“Lupakan rencananya, ayo...!”

High Elf Archer tidak akan menerima rasa keberatan apapun. High Elf Archer menarik pergelangan tangan Priestess dan mulai membimbing gadis itu keluar dari gua. Genggamannya begitu kuat hingga terasa sakit, dan suara Priestess tak sengaja keluar. “O-ow...! Ada apa sih?”

“Apa kamu nggak sadar?”

Sadar apa? Priestess memiringkan kepala. Apakah dia telah melewatkan sesuatu tentang kekuatan tempur musuh, atau faktor penting lainnya?

“Wanita itu—dia nggak mempunyai bayangan.”

“Huh...?” Priestess, berlari menuju pintu masuk, melirik ke belakangnya. Tabuhan itu tampak seperti mengikutinya, walaupun sekarang terdengar lebih pelan. Rasa merinding tak bernama menjalar di lehernya kembali.

Seorang wanita putih—sang Witch of Ice.

Benar, ini semua sangatlah berbeda dengan pemburuan goblin.

*****

“Aku nggak tahu siapa atau apa si Witch of Ice itu, tapi ‘harta’ yang dia maksud, kurasa kemungkinan itu adalah panah.” Telinga Harefolk Hunter berayun ketika cerita itu terumbar. Bahkan suara tabuhan itu masih dapat terdengar hingga ke celah ini.  Para petualang saling bertukar pandang ketika mereka mendengar nyanyian itu. “Panah ayahku...”

“Apa ada sesuatu yang spesial tentang itu?” Apprentice Cleric bertanya.

“Uh-huh.” Harefolk Hunter mengangguk. “Dulu sekali, seorang pembawa pesan dari Supreme God datang ke desa kami membawa sebuah panah silver dan beberapa obat.”

“Kami menyimpan benda-benda itu,” Harefolk Hunter berkata datar.

Priestess mengigit bibirnya. Adalah mudah untuk membayangkan: Pria-kelinci pemburu pemberani pergi dengan pusaka dari leluhur di tangannya untuk menyelamatkan desa—dan kemudian mati dalam menjalankan misinya.

Panah silver dan obat...

“Jadi panahnya hilang sekarang...” Priestess berkata.

“Tidaklah sepenuhnya benar,” Lizard Priest berkata tenang. Semua orang menatap kepadanya, dan dia melanjutkan dengan serius, “Apa yang membuat permainan mengerikan untuk di buru bukanlah pembunuhannya, melainkan anda harus memberanikan diri untuk menaklukkan rasa takut diri anda sendiri untuk dapat memburu semuanya.”

“Artinya...” Dwarf Shaman membelai jenggot. “...Apaan sih?”

“Nama Witch of Ice dengan jelas bermakna bahwa dia adalah seorang pembaca mantra. Mungkin dia telah menginvestigasi dan menyegel panah ini.”

“Jadi memang masih ada di sana selama ini!” Telinga Harefolk Hunter melompat. Namun, telinganya dengan cepat melemas kembali. “Oh, tapi...”

“Kenapa?” Rookie Warrior bertanya. “Ada yang belum di ceritakan?”

“Bukan Cuma panahnya,” sang kelinci berkata, “Ayah mengambil obatnya juga...”

“Apa itu sesuatu yang langka?” Priestess bertanya.

“Yeah, Harefolk Hunter menjawab, dan kemudian melentangkan telapak berbulunya. “Menurut legenda, kamu membutuhkan rambut seorang witch dan kelopak teratai, dan kemudian mungkin kamu campur dengan mutiara hitam atau sesuatu...”

“...’atau sesuatu,’ huh?” Apprentice Cleric mengembungkan pipi dan merautkan wajah. Priestess sendiri juga melakukan hal yang sama. Itu karena, satu-satunya witch yang ada di sekitar adalah witch yang mereka hadapi. Dunia terselimuti dengan salju; musim semi tampak begitu jauh; dan terlebih dari semua itu, mereka berada di sisi sebuah gunung.

Harefolk Hunter terlihat putus asa. “Tapi tanpa itu semua, mereka bilang kami nggak akan pernah menghilangkan kejahatan...”

“Kedengarannya seperti pekerjaan untuk seorang dwarf!” High Elf Archer berkicau, menunjuk kepada Dwarf Shaman.

“Dengar,” Dwarf Shaman menggerutu, namun dia tetap saja merogoh isi tas katalis dengan jari gemuknya. “Itu bukan berarti aku membawa setiap macam benda di bawah terik matahari di sini. Coba ku lihat...” Dia mengeluarkan sebuah botol berisi bunga kering, sebuah permata hitam yang berkelip, dan sebuah benang hitam panjang. “....Tuh. Kelopak teratai, mutiara hitam, dan  rambut witch. Kalau kamu nggsk tahu proporsinya, kita bisa masukin semuanya sekaligus.”

“Oh tuh kan, kamu memang punya.” High Elf Archer mengendus dan membusungkan dadanya bangga.

“Um,” Priestess menambahkan, tersenyum resah. “Rambut itu... apa itu milik...”

“Oh bukan, bukan dia,” Dwarf Shaman berkata dengan tawaan. “Aku membelinya dari seorang Witch Hunter. Dia mengklaim witch ini tengah menyebarkan wabah di beberapa desa.”

“Tetap aja kedengaranya masih mengerikan.” High Elf Archer membalas.

“Kamu perlu apa yang kamu butuhkan,” Dwarf Shaman membalas. “Nggak seperti salah satu dari kita yang menghabiskan semua uang kita. Kamu tahu nggak seberapa kerasnya aku bekerja untuk mendapatkan teratai hitam ini?”

“Oh, sudahlah! Aku membeli benda yang aku inginkan karena aku mau!”

“Dan yang ku maksud itu kamu boros dengan uangmu, Datar!”

Priestess tidaklah begitu senang melihat mereka berdebat, namun tetap saja dia memegang dadanya, merasa lega.

“Jadi kalau kita bisa dapat panah ini, kita mungkin bisa melakukan sesuatu.” Harefolk Hunter berkata, menggiring kedua telapak tangan berbulunya menjadi satu dengan riang, dan Priestess mengangguk.

“Kalau begitu,” Priestess berkata, berpikir, “pertanyaannya adalah, di mana panahnya?”

Mereka tidak membutuhkan waktu yang lama dalam mencari. Hari berikutnya para sasquatch akan datang kembali, dan akan warga kelinci mungkin akan di makan lagi.

Kalau kita harus mencari setiap sudut dari gua yang rumit itu...

Itu akan memakan waktu yang lebih banyak dari waktu yang mereka miliki. Priatess tidak tahu apakah gua itu buatan atau alami, namun sangatlah jelas bahwa gua itu penuh dengan percabangan jalan. Dan jika para sasquatch tinggal di sana, Priestess dapat membayangkan tempat ini akan mempunyai banyak ruangan.

Tidak ada waktu.

Priestess menggigit bibir. Pria itu pernah berkata kepadanya bahwa selalu ada jalan, tetapi...

Apa yang Priestess miliki di kantungnya? Apakah ada sesuatu...?

“Seorang witch, witch...” Rookie Warrior bergumam, tangan berlipat. Kemudian berteriak, “Hei! Aku tahu! Itu dia!”

“Apaan? Jangan teriak...” Apprentice Cleric menegur bocah itu dengan sikunya, yang menambahkan teriakan bocah itu dengan “Aduh!”

“Para sasquatch itu akan mengetahui keberadaan kita...!” Sang gadis menegur.

“Tu-tunggu, dengar!” Rookie Warrior berkata, mengelus pinggul sampingnya. “Benda itu! Benda yang kita dapatkan waktu itu?”

“Apa?....Oh!” Butuh beberapa detik bagi gadis itu, namun ketika Apprentice Cleric menyadari apa yang di bicarakan bocah itu, dia segera merogoh isi tasnya.

Bukan ini, bukan itu; dia membalik isi tasnya, bermacam barang tak penting terhambur ke segala arah. Priestess mengambil sebuah sisir lama, membersihkan saljunya seraya tersenyum. Duku, dia juga pernah seperti itu.

“Ini! Ini dia!” Apprentice Cleric akhirnya mendapatkan lilin yang hampir habis terbakar. “Seeking Candle kami!”

“Apa itu sihir?” High Elf Archer mendekati, hidungnya berkedut seolah berusaha mengendus aromanya. “Aku terkejut kamu mempunyai ini. Bukannya kalian berdua punya benda lain yang lebih baik untuk di beli?”

“Seseorang memberikannya pada oami,” Apprentice Cleric berkata, tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. “Aku senang kami nggak menghabiskannya...”

“Dengan ini masalah terselesaikan.” Lizard Priest melihat kepada mereka dengan gerakan perlahan leher panjangnya. “Kita masuk; kita rebut kembali panah silver; dan akhirnya, kita bunuh musuh kita.”

Setuju? Untuk sebuah strategi, sangatlah sederhana dan langsunh. High Elf Archer tersenyum senang. “Kurasa nggak akan semudah itu.”

“Tapi mengingat apa yang sudah kita ketahui,” Dwarf Shaman berkata dengan tegukan anggur, “kamu punya ide yang lebih bagus?”

“Aku bukan penggemar hal yang ribet... kalian?” Ketika Harefolk Hunter menepis tawaran itu, Apprentice Cleric dan Rookie Warrior salinh bertukar oandang.

“Yah, itu...” Apprentice Cleric berkata.

“Kami berdua, selalu hanya berburu tikus di saluran air...” Rookie Warrior menambahkan.

Perdebatan terus berlanjut, terasa begitu lama—tidak, Priestess menyadari bahwa hanya dirinya lah yang merasa seperri itu; ini tidaklah berlangsung selama itu. Hanyalah sekedar orang yang lelah ketika argumen terus berlanjut tanpa adanya titik terang. Terutama dalam kasus seperti ini, dengan tidak ada jawaban benar yang jelas.

Kira-kira ada apa ya, Priestess mendapati dirinya sendiri berpikir. Hal seperti ini sangatlah jarang terjadi sebelumnya. Mengapa ini tidak pernah terjadi sampai sekarang? Terdapat satu jawaban pasti. Goblin Slayer. Bagaimanapun juga, pria itu membuat keputusan dengan cepat. Bukan berarti pria itu tidak pernah ragu. Priestess menyadari itu selama pertarungan di mana mereka harus membakar benteng gunung, namun walaupun begitu, pria itu memutuskan. Dia bertindak, itu adalah kuncinya.

Dalam satu hal itu, party pertama Priestess juga seperti itu. Mereka dapat menghabiskan waktu mereka berdiskusi dan bersiap. Namun jika mereka melakukannya, para wanita yang di culik tidak akan dapst selamat, karena itu, Priestess berpikir, keputusan mereka adalah benar.

Ayo lakukan.

Priestess meremas tongkat derik dan mengangguk. Dia telah menjawab pertanyaan ini ketika dia menjadi petualang.

“Ayo masuk ke sana, cari panah silver, dan selesaikan pekerjaan.” Keseluruhan party menatapnya, berpikir cepat, Priestess melanjutkan, “Ada caranya. Aku baru saja kepikiran, tapi...”

Semua ada di kantungnya. Semua kemungkinan pilihan.

Tidak ada yang keberatan. Telinga High Elf Archer naik dan turun riang. “Kamu kedengaran kayak Orcbolg.” Entah itu bagus atau nggak. Dia cekikikan, dan Priestess tersipu.

“Yah, itulah pertumbuhan.” Dwarf Shaman menambahkan.

“Saya akan sangat bersyukur akan janji sebuah kesempatan untuk menghangatkan tubuh saya.”

Para petualang berdiri. Masing-masing memeriksa perlengkapan mereka, memastikan semua penjepit di kencangkan dan senjata di siapkan, dan mereka memeriksa ganda kembali perlengkapan rekan mereka.

“Baiklah.” Apprentice Cleric dan Rookie Warrior saling mengangguk.

“Antiracun!”

“Cek!”

“Suplai P3K!”

“Salep dan herba, cek!”

“Lampu!”

“Lentera dari perlengkapan petualang, beberapa minyak, dan obor! Ada lilin?”

“Seeking Candle itu pastinya... Um, peta!”

“Nggak ada kali ini! ...Nggak ada, kan?”

“Nggak. Sekaranh senjata dan armor!”

“Chest burster, cek! Roach Killer, cek! Pisau, cek!”

“...Kamu kasih nama yang buruk sekali.”

“Oh, siapa peduli? Yang penting, kedengarannya keren—armor kulit dan helm, cek! Coba kamu berputar.”

“Iya, baik.”

Apprentice Cleric berputar agar Rookie Warrior dapat memeriksa lagi perlengkapan gadis itu yang di siapkannya. Hal ini mengingatkan Priestess akan waktu di mana pria itu menginspeksi armor miliknya. Armor itu masih di sana, di balik seragamnya, salah satu dari rekan terlamanya. Dia hampir pernah kehilangan armor ini, namun memilikinya sekarang merupakan suatu kelegaan.

“Hei, jangan ketawain mereka,” High Elf Archer berbisik kepadanya, namun Priestess menggeleng kepala.

“Nggak, ini...ini Cuma membuatku teringat waktu dulu.”

“Oh yeah? ...Kurasa aku paham. Waktu itu bergerak cepat dan lamban secara bersamaan, huh?”

Jika di ucapkan seperti itu, Priestess menyadari bahwa itu adalah benar. Dia telah melakukan ini hampir selama dua tahun. Priestess berkedip.

“Kamu yakin soal ini?” Harefolk Hunter bertanya resah, mengangkat tas. “Mereka bilang sesuatu tentang Demon Lord kan? Itu kedengarannya seperti masalah besar. Apa kita benar-benar...?”

Akan sangat menggembirakan bagi desa jika Ice Witch dan para sasquatch di hancurkan. Tapi apakah tidak lebih baik untuk kembali ke ibukota, untuk memberitahu raja dan pasukannya? Itu akan lebih baik bagi para manusia dan teman-temannya, dia sangat yakin. Itu karena, semua korban yang berjatuhan di sini hanyalah beberapa kelinci.

Ucapan itu membuat Priestess mengulas kembali partynya. High Elf Archer mengangkat bahu, sementara Lizard Priest memutar kedua mata dengan riang di kepala. Apprentice Cleric dan Rookie Warrior masih terpaku pada daftar periksa mereka. Di samping mereka, Dwarf Shaman menyeringai di balik jenggotnya.

“Ha.Gadis, Kamu yang berpengalaman di sini.,” Dwarf Shaman berkata. “Coba kamu kasih tahu dia?”

Priestess berkedip kembali, hanya sekali, kemudian membersihkan tenggorokannya perlahan. Membusungkan dada kecilnya semampunya, dia berputar mengarah Harefolk Hunter. “Ada satu alasan bagus,” dia berkata. “Karena kami adalah petualang.”